Upload
nguyenkhanh
View
221
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Penelitian
Studi Kualitatif untuk
Survei Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
pada Kelompok Anak Jalanan di Sumatra Selatan
untuk
Departemen Kriminologi, FISIP-UI
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Semiarto Aji Purwanto
NIP 196812151998031003
2010
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Bab 1.
Pendahuluan
Sesuai dengan hasil pemetaan masalah, kota-kota yang dijadikan sebagai lokasi survei di
Sumatera Selatan adalah Palembang, Lubuk Linggau, Lahat dan Prabumulih. Selama 20 hari,
tanggal 5-24 Juli 2010, penelitian secara terstruktur dilakukan dengan menyebar kuesioner.
Tim peneliti terdiri dari 10 orang yang merupakan relawan di Yayasan Intan Mandiri,
Palembang, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang penanggulangan
dampak HIV/AIDS dan narkotika. Tiga pewawancara yang direkrut adalah mantan pecandu
narkoba. Hal ini memudahkan mereka mengawali pertanyaan pada para pemakai, mendekati
komunitas pemakai dan mampu mengajukan pertanyaan yang sensitif. Peneliti lainnya
berpengalaman melakukan survei mengenai harm reduction dan familiar dengan isu anak
jalanan.
Empat peneliti fokus untuk menyelesaikan pengumpulan data di kota Palembang, lima peneliti
bertugas mencari data di kota-kota lain. Satu orang peneliti berfungsi sebagai bagian administrasi
proyek. Di Palembang penelitian difokuskan di pasar-pasar dan persimpangan jalan yang
ditengarai sebagai tempat berkumpulnya anak jalanan. Di pasar, aktivitas utama mereka adalah
sebagai penjual asoy (kantung plastik). Puluhan anak biasa dijumpai di pasar-pasar kota.
Sementara di persimpangan jalan, anak-anak itu menjajakan koran dan majalah atau mengamen.
Sementara itu, di Lubuk Linggau, penelitian difokuskan di stasiun kereta api yang melayani
trayek Palembang-Lubuk Linggau via Lahat. Anak-anak jalanan biasa berkumpul malam hari,
antara jam 18-20.00 saat kereta api tiba dari Palembang dan bersiap kembali lagi. Mereka
menjajakan lembaran kardus sebagai alas duduk atau tidur para penumpang yang tidak kebagian
tempat duduk. Di Prabumulih, kawanan anak-anak yang bekerja di stasiun kereta api, ramai
ditemui pada sore hingga malam. Di sini, kebanyakan mereka mengamen. Selain di stasiun
kereta api, responden di Lubuk Linggau, Prabumulih dan Lahat ditemui di sepanjang jalan
protokol dan di warung-warung makan. Menarik untuk mengamati bagaimana di Palembang,
Lubuk Linggau, Prabumulih dan Lahat, banyak anak jalanan yang mengamen, menjajakan koran
dan menyemir sepatu di restoran-restoran.
Keempat kota mempunya kendala yang khas dalam pengumpulan data. Di Palembang, tidak
terlalu sulit mencari anak jalanan untuk dijadikan responden. Mereka dapat ditemui dengan
relatif mudah di pasar, jalanan, sekitar kompleks perumahan dan tempat umum lainnya.
Kesulitan yang seringkali muncul adalah mengajak mereka untuk tetap berkonsentrasi menjawab
pertanyaan; terutama pada mereka yang ditemui ketika sedang bekerja. Di stasiun kereta api
Lubuk Linggau, sekitar 30-an anak diwawancarai. Mulanya agak sulit karena mereka
menyatakan sibuk menjual karton, tetapi setelah melihat rekan lain diwawancara sebagian
menjadi lebih terbuka dan bersedia diwawancara. Kumpulan anak-anak di stasiun Prabumulih
juga sempat menolak diwawancarai. Seorang anak menjelaskan bahwa mereka pernah
diwawancara untuk menceritakan kehidupan mereka oleh satu instansi pemerintah, dan
dijanjikan bantuan. Nyatanya, sampai sekarang, tidak ada satupun program untuk mereka. Di
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Lahat, tidak begitu banyak anak jalanan dijumpai. Mereka biasanya berada di depan rumah
makan di sekitar pasar dan pusat pertokoan. Tidak dijumpai anak-anak penjual tas plastik seperti
di Palembang.
Mewawancarai anak-anak di jalanan, terutama yang mobilitasnya tinggi, seperti berjualan koran
atau mengamen cukup merepotkan. Para peneliti mengembangkan cara menjaring responden
dengan wawancara berkelompok untuk menarik perhatian anak-anak jalanan. Cara ini cukup
efektif dilakukan di Lahat dan Prabmulih. Anak-anak yang sedang menjajakan koran atau
mencari pelanggan semir, tertarik dengan kerumunan tiga-empat anak yang sedang diwawancara
oleh dua-tiga peneliti. Ketika mereka mendekat, peneliti segera mengajak bergabung dan mulai
melakukan wawancara satu-persatu secara lebih personal. Di stasiun Lubuk Linggau strategi ini
juga berjalan dengan baik; namun di Palembang, anak-anak di jalanan utama tidak terlalu hirau
dengan kegiatan wawancara. Kondisi jalanan terlalu ramai dengan kendaraan dan lalu lalang
orang melintas sehingga perhatian mereka tidak tertuju pada satu titik saja. Di Palembang,
kendala demikian diatasi dengan langsung mendatangi lokasi-lokasi yang menjadi tempat anak
jalanan berkumpul.
Keuntungan tim dengan adanya tiga peneliti yang pernah hidup di jalanan dan mencandu
narkoba sungguh tak ternilai. Selain mampu mengidentifikasi komunitas pemakai dan mendekati
komunitas anak jalanan secara lebih mudah, juga mereka mampu meyakinkan calon responden.
Anak-anak jalanan tidak terlalu curiga karena peneliti mampu berkomunikasi dengan istilah
sehari-hari yang seringkali mereka pakai. Sekalipun demikian, ada juga di antara anak-anak yang
justru merasa terintimidasi dengan pengetahuan peneliti eks-pecandu yang demikian hapal
tingkah mereka. Calon responden di Prabumulih dan Palembang ada yang menolak diwawancara
dengan alasan takut datanya justru membahayakan mereka atau teman-temannya. Salah satu
sebab adalah para peneliti seringkali tidak sabar dalam mengorek pertanyaan sehngga
wawancara justru berubah menjadi semacam teror bagi responden. Untuk mengatasinya, setelah
beberapa kali wawancara gagal, wawancara dilakukan dengan memakai dua peneliti. Satu
peneliti untuk mentralisir suasana; sementara peneliti eks pecandu melakukan wawancara.
Setelah beberapa kuesioner, peneliti eks-pecandu justru menjadi ujung tombak untuk mulai
masuk ke komunitas anak jalanan yang ditengarai memakai narkoba.
Selain mengumpulkan data melalui wawancara dengan anak, juga dilakukan serangkaian
wawancara mendalam dengan narasumber yang terkait. Tim memilih beberapa anak dengan
kasus khusus untuk diperdalam informasinya. Karena berbeda hari wawancaranya, di
Palembang, dua kali terjadi, calon informan tdak diketahui keberadaannya sehingga terpaksa
dicari gantinya. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan narasumber. Kesulitan utama
untuk melakukan penggalian data adalah mencari waktu yang tepat untuk wawancara.
Beruntung, para peneliti mempunyai relasi yang baik dengan Perguruan tinggi, Instansi
Pemerintah dan sesama LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak.
Metoda lain yang digunakan adalah wawancara berkelmpok dengan FGD. Dua kelompok anak
dengan karakteristik anak-anak jalanan pengguna dan bukan pengguna narkoba dipandu untuk
mengungkapkan kehidupan sehari-hari mereka. Lokasi FGD adalah di kantor yayasan. Kesulitan
terutama terjadi pada kelompok pengguna karena mereka diambil dari komunitas berbeda yang
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
belum kenal sebelumnya. Perlu waktu agar mereka dapat nyaman berbicara tentang pengalaman
mereka menggunakan narkoba.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Bab 2.
Gambaran umum lokasi
Sumatera Selatan merupakan provinsi yang kaya dengan sumberdaya alam, baik hutan, tambang
maupun potensi laut. Di samping itu, sektor perkebunan mulai dari karet, sawit sampai buah-
buahan juga ditemui secara luas di wilayah ini. Kota-kotanya berkembang sebagai basis industri
atau pasar dari sumberdaya tersebut; Palembang dan Plaju misalnya, berkembang sebagai kota
indutri pengolahan minyak bumi. Baturaja menjadi pusat industri semen. Sementara Prabumulih,
Sekayu dan Muara Enim merupakan kota-kota yang berkembang dari eksplorasi tambang
minyak bumi dan batubara.
Dewasa ini, perkembangan wilayah dan kota-kota di Sumatera Selatan menyebabkan pemekaran
wilayah tak terelakkan lagi. Dari semula delapan kabupaten dan kota, sepuluh tahun terakhir ini
menjadi 15 kabupaten dan kota. Berikut daftar nama kabupaten dan/atau kota di Sumatera
Selatan beserta ibukotanya.
Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Banyuasin Pangkalan Balai
2 Kabupaten Empat Lawang Tebing Tinggi
3 Kabupaten Lahat Lahat
4 Kabupaten Muara Enim Muara Enim
5 Kabupaten Musi Banyuasin Sekayu
6 Kabupaten Musi Rawas Muara Beliti Baru
7 Kabupaten Ogan Ilir Indralaya
8 Kabupaten Ogan Komering Ilir Kota Kayu Agung
9 Kabupaten Ogan Komering Ulu Baturaja
10 Kabupaten Ogan Komering Ulu
Selatan
Muaradua
11 Kabupaten Ogan Komering Ulu
Timur
Martapura
12 Kota Lubuk Linggau Kota Lubuk Linggau
13 Kota Pagar Alam Pagar Alam
14 Kota Palembang Palembang
15 Kota Prabumulih Prabumulih
Dari kelimabelas kota di atas, tim peneliti telah memilih empat kota dengan pertumbuhan dan
perkembangan wilayah yang cepat yang potensial untuk ditemukan anak jalanan. Kota pertama
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
adalah Palembang. Sebagai kota tua, yang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya,
berkembang menjadi kota industri dan kota perdagangan yang ramai. Posisi geografisnya terletak
di tepian Sungai Musi, tidak jauh dari Selat Bangka, membuatnya sangat strategis. Walaupun
tidak tepat berada di tepi laut, Palembang dapat disinggahi kapal-kapal besar sehingga
pelabuhannya menjadi ramai.
Berdasar hasil Sensus Penduduk 2010, Palembang dihuni oleh 1.452.840 jiwa. Mereka terdiri
dari penduduk asli beretnik Melayu Palembang dengan varian orang Banyuasin, Lahat, Ogan
Komering Ulu, Ogan Komering Ilir, Linggau dan Pagar Alam. Walaupun sama-sama berbahasa
Melayu, namun dialek mereka berlainan, seringkali sampai susah dimengerti orang dari lain di
provinsi ini. Tradisi dan pengaruh agama Islam menjadi ciri pemersatu mereka. Menariknya,
orang Palembang menerima pengaruh yang besar dari dua budaya besar yaitu Jawa dan Cina
dalam ragam tradisi mereka.
Keberadaan anak jalanan di kota Palembang tidak lepas dari pesatnya perkembangan fisik kota.
Wilayah perkotaan dibangun secara masif, terutama sepuluh tahun terakhir ini. Stadion dan
kawasan perumahan bari di Jakabaring, infrastruktur jalan raya menuju bandara dan pelabuhan,
dan puluhan pusat pertokoan, mal dan plaza modern menghiasi kota. Dari sebelumnya hanya ada
International Plaza, sekarang telah berdiri mal megah dan modern Palembang Square dan pusat
perniagaan Palembang Trade Center. Tak ketinggalan toko-toko lama berhias dan mengubah diri
ke dalam bentuk modern. Di balik perkembangan fisik kota, angka penyandang masalah
kesejahteraan sosial, khususnya anak jalanan dan penyalahguna narkoba meningkat.
Sebuah artikel mengenai anak jalanan di media massa1 menyebutkan bahwa di Sumatera Selatan
disinyalir mencapai 5.088 orang yang di 15 kabupaten dan kota. Di Palembang sendiri, anak
jalanan diperkirakan berjumlah 3.690 anak. Rina Bakrie, ketua Yayasan Puspa Indonesia, di
kantornya, Jalan Radial Palembang, menduga peningkatan jumlah anak jalanan ini sebagai
dampak pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Menurut Rina, anak jalanan tidak dapat dihapus selama kemiskinan terus melanda
Indonesia. "Mereka itu korban dari pembangunan yang diterapkan pemerintah
yang tidak memikirkan rakyat, sehingga melahirkan banyak keluarga miskin. Di
kota banyak orangtua kehilangan pekerjaan, di desa banyak petani kehilangan
lahan. Mereka lahir dari kondisi itu," kata Rina yang bersama organisasinya
mendampingi anak jalanan selama 20 tahun.
Pernyataan Rina itu mengomentari pernyataan Wakil Gubernur Sumatera Selatan
Mahyuddin yang mengatakan anak jalanan di Sumatera Selatan mencapai 5.088
anak, saat bertemu dengan Tim Komisi VIII DPRD-RI di Palembang, di kantor
Pemerintah Sumatra Selatan, Jalan Kapten A. Rivai Palembang, Senin
(14/04/2008) kemarin.
Dijelaskan Mahyuddin, dari jumlah itu, baru 4.105 anak jalanan yang dibina oleh
107 panti. Yakni di Palembang mencapai 2.100 anak, Ogan Komering Ilir 340
anak, Banyuasin 325 anak, serta beberapa kabuapten dan kota lainnya rata-rata
1 „Anak Jalanan di Sumsel Capai 5.088‟ dimuat di detikNews Selasa, 15/04/2008
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
kurang dari 200 anak. Sedangkan di Pagaralam hanya 30 anak jalanan yang
dibina.
Sekalipun upaya untuk menangani anak jalanan itu telah dilakukan pemerintah di tingkat pusat
maupun daerah, persoalan tetap belum selesai. Bahkan upaya Pemda Sumatera Selatan untuk
menyantuni setiap anak jalanan dengan dana Rp 6.000,00 per orang per hari, justru banyak
dikritik pengamat sosial dan anggota DPRD2.
Pemerintah Kota Palembang akan memberi uang saku sebesar Rp. 6.000,- per hari
bagi anak jalanan. Pada tahap awal akan dikucurkan kepada 60 anak jalanan yang
lolos seleksi. Menurut Kepala Dinas Sosial Kota Palembang Hasbullah Tuwi,
bantuan uang tunai ini merupakan program Kementerian Sosial yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bila anak jalanan penerima
bantuan tertangkap masih turun ke jalan, maka secara otomatis bantuan uang saku
diputus.
Program pemberian uang saku kepada anak jalanan ini justru mendapat tanggapan
miring kalangan anggota DPRD Sumatera Selatan. Menurut anggota komisi II
DPRD Sumsel, Arudji Kartawinata bantuan ini tidak efektif karena rawan
penyelewengan, dan untuk mendeteksi yang benar-benar anak jalanan bukanlah
perkara yang mudah.
Sementara bagi para aktivis dan pengamat sosial yang ditemui selama penelitian, upaya
penanganan anak jalanan di kota Palembang belum sepenuhnya dilakukan secara tepat.
Seringkali hanya dikaitkan dengan program dari pemerintah pusat atau bersifat memecahkan
masalah secara sesaat saja.
Berbeda dengan Palembang yang kota besar dan ramai, Lubuk Linggau adalah kota kecil yang
bersih yang sempat menerima hadiah Adipura untuk kebersihan dan ketertiban kota.
Berpenduduk 201.217 jiwa, Lubuk Linggau adalah kota transit kendaraan dari jalur Palembang,
Padang dan Bengkulu. Kota ini terletak tepat di simpang tiga jalan Lintas Sumatera. Semula,
Lubuk Linggau adalah ibu kota kabupaten Musi Rawas, tapi sekarang dimekarkan menjadi Kota
Lubuk Linggau. Fasilitas pemerintah kota, seperti kantor Pemda baru dibangun, sedangkan
fasilitas lama masih ditempati oleh Pemda Musi Rawas. Di luar kota Lubuk Linggau ke arah
Palembang, terletak Lapas Narkotika.
Suasana kota ramai pada hari kerja, ketika lintasan kendaraan dari berbadai daerah lewat,
namun terlihat sepi pada siang hari terutama saat libur atau hari Minggu. Sekalipun demikian,
keberadaan anak jalanan selalu dapat dijumpai dengan mudah di lokasi-lokasi berikut:
1. Di warung-warung makan Pasar Atas, terdapat sekitar 5-10 anak yang bekerja sebagai
tukang parkir dan pengamen. Sebagai tukang parkir, jasa yang ditawarkan adalah
mencarikan lokasi parkir dan menutup motor atau kaca mobil dengan karton pada siang
hari yang panas. Mereka berkumpul seharian dari pagi sampai malam menjelang penjual
makanan tutup, sekitar jam 11.
2 Opini Ekonomi Kesra, 1 April 2010
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
2. Stasiun Kereta Api adalah lokasi yang paling banyak dijumpai anak-anak jalanan.
Mereka menjadi penjual kardus, tissue, rokok dan air mineral. Ada sekitar 20-30 anak
yang mangkal di stasiun, lelaki dan perempuan, berusia 5-17 tahun. Umumnya mereka
pulang ke rumah, nyaris tidak ada yang tidur di stasiun. Sebagian di antara mereka masih
berkerabat.
3. Lapangan Merdeka, sebuah alun-alun kota yang disulap menjadi plaza terbuka
merupakan ruang publik yang sering digunakan sebagai tempat berkumpul, janjian dan
menggelar acara terbuka. Beberapa penjual makanan, mainan anak dan stiker
bergerombol di sana. Lapangan ini ramai dikunjngi setelah magrib dan pada malam hari
digunakan juga untuk para ABG nongkrong. Sering pula dijumpai PSK.
Umumnya anak-anak jalanan di Linggau terbuka dengan peneliti, mereka bisa diajak ngobrol
dan senang menceritakan pekerjaan mereka. Keterlibatan mereka dengan narkoba tidak begitu
dalam, mereka bukan konsumen narkotika melainkan penghirup aroma lem aica aibon dan
sebagian kecil obat-obatan, terutama dextro.
Fenomena kurang lebih serupa juga dijumpai di Lahat, kota yang terletak di jalur jalan
Palembang-Lubuk Linggau. Penduduk kota menurut Sensus Penduduk 2010 tercatat 370.146
jiwa. Konsentrasi pertokoan dan pasar di tengah kota, membuat Lahat terlihat lebih ramai dari
Lubuk Linggau. Lahat juga merupakan kota transit, persimpangan menuju jalur Baturaja yang
menuju Lampung, menghubungkan kota-kota utama di Sumatera dari ujng utara menuju ke
Jawa. Penduduknya terutama bekerja di sektor perkebunan, dengan komoditas utama karet, kopi
dan buah-buahan. Sebagai sebuah kota tua, sejarah kota Lahat dapat ditelusur semenjak masa
kesultanan Palembang awal abad XIX. Di wilayah Kabupaten Lahat telah ada marga, yang
merupakan kelompok kerabat yang meluas sehingga mendekati besaran kelompok etnik. Marga-
marga seperti : Lematang, Pasemahan, Lintang, Gumai, Tebing Tinggi dan Kikim, merupakan
cikal bakal adanya Pemerintah di Kabupaten Lahat3.
Anak jalanan di Lahat merupakan kelompok kecil yang terdiri dari 5-6 anak, tergabung dalam
kelompok penyemir sepatu. Mereka bisa secara tiba-tiba berubah menjadi pengemis manakala
melihat pengunjung masuk restoran atau pertokoan di jalan protokol. Ada tiga lokasi utama anak
jalanan di kota ini, yakni;
1. Stasiun kereta api Lahat. Anak jalanan yang sering dijumpai di sini adalah kelompok
penjual koran yang berkumpul pagi hari ketika mobil pengangkut koran dari
Palembang tiba. Seorang koordinator membagi-bagikan koran kepada anak-anak
untuk dijajakan. Sekalipun di stasiun, tidak banyak dijumpai anak-anak penjual
karton sebagaimana di stasiun Lubuk Linggau.
2. Sekitar pusat pertokoan di jalan protokol dan Supermarket SM. Anak-anak jalanan
yang mendominasi adalah tukang semir dan pengangkut belanjaan.
3. Pasar Lama, PTM dan taman kota adalah lokasi lain dari anak-anak jalanan. PTM
atau Pasar Tradisional Modern, biasa dikenal sebagai PTM Square, adalah bangunan
3 Mengenai kelompok marga ini, Dr. Minako Sakai, seorang ahli antropologi dari Jepang telah menulis disertasi
untuk PhD.nya di ANU Australia mengenai marga Gumay. Salah satu artikel yang dihasilkan adalah „Remembering
Origins: Ancestors And Places In The Gumai Society Of South Sumatra‟ dalam buku The Poetic Power Of Place:
Comparative Perspectives on Austronesian Ideas of Locality, yang disunting J.Fox (2006).
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
baru untuk menampung para pedagang di Pasar Serelo atau pasar lama. Sejak awal
tahun 2008, pasar itu ditutup dan pedagang direlokasi di PTM. Gedung dan los sudah
tersedia namun tidak banyak yang menempati. Los-los kosong itu kemudian
digunakan sebagai tempat tidur anak-anak yang tidak pulang kerumah.
Di lahat, tingkat jangkit anak-anak jalanan terhadap narkoba relatif rendah. Jenis-jenis yang
dikonsumsi adalah lem aica aibon, merokok dan minuman keras.
Kota terakhir yang dijadikan lokasi pengamatan adalah Prabumulih, kota kecil seluas 336,56
km2 dengan jumlah penduduk menurut hasil Sensus Penduduk 2010 berjumlah 161.814 jiwa.
Prabumulih juga merupakan kota transit yang dilewati jalur lintas Trans-Sumatera sehingga
ramai disepanjang jalan lintas. Sejak sepuluh tahun terakhir ini, perkantoran pemerintah baru
dibangun dengan arsitek modern seperti: kantor DPRD, Kantor Pemda, lapangan olahraga untuk
PON dan pusat perniagaan. Industri pertambangan, terutama minyak dan gas bumi menjadi
tulang punggung perekonomian kota Prabumulih. Dari sektor ini, sektor lain yang terkait lalu
berkembang pesat misalnya jasa transportasi dan pengankutan barang, hotel dan restoran, dan
perniagaan. Dampak samping dari perkembangan industri ini adalah kesenjangan ekonomi
sebagai akibat dari ekspektasi perusahaan terhadap sumberdaya manusia lokal yang tidak
terpenuhi. Akibatnya sektor informal juga berkembang di Prabumulih. Tidak cuma warga
dewasa, tetapi anak-anak juga terlibat dalam sektor informal dan berkeliaran di jalan.
Tempat-tempat anak jalanan bermain dan beraktivitas adalah di sepanjang kaki lima pertokoan
jalan utama. Seperti di Palembang dan Lahat, rumah makan menjadi tempat favorit mereka,
misalnya di depan Rumah Makan Padang Simpang Raya di Jalan Sudirman. Anak-anak
penyemir sepatu, pengasong makanan ringan (jangek), penjual koran berkeliaran di sekitarnya.
Ada sekitar 10-15 anak bekerja sebagai penjual koran, 5-10 berprofesi sebagai penjual jangek
dan 5-10 penyemir sepatu sekeliling rumah makan. Seperti di Lubuk Linggau, stasiun kereta
menjadi lokasi paling banyak dijumpai anak jalanan. Pengamen, penjual minuman dan makanan,
penjual kardus dan anak-anak punk berkumpul di stasiun. Malam hari ketika jadwal kereta tiba,
stasiun ramai dengan puluhan pengamen. Sebagian lagi hanya berada di stasiun untuk bermain-
main menghabiskan waktu di stasiun. Wilayah sekitar stasiun dikenal sebagai areal padat dan
kumuh yang ditinggali pekerja kasar di bidang industri dan pekerja sektor informal.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Bab 3
Studi Kasus
3.1. Penjual koran bercita-cita Tentara
Namaku Denata, usiaku 13 tahun. Saudaraku 2 laki-laki dan 1 perempuan. Aku anak
nomor tiga dari empat bersaudara.Aku punya seorang kakak tiri yang sudah berkeluarga Aku
dipanggil Tata oleh keluarga dan teman-temanku. Tentara atau jadi Pegawai Negri Sipil adalah
cita-citaku dan jualan koran ku lakukan untuk membantu ibu dan biaya sekolah. Aku tidak mau
menggunakan narkoba walau ada temanku yang menawari narkoba, seperti lem dan ganja.
Narkoba sering dipakai oleh orang-orang disekitar tempatku berjualan dan sekitar rumahku.
Temanku banyak merokok dan minum minuman keras. Ada orang disekitarku yang menghisap
lem. Liburan ke kampung papa sebelum papa meninggal dan lebaran bersama keluarga adalah
kenangan indah dalam hidupku. Mobil dengan remote control adalah hadiah terindah dari
saudaraku. Meninggalnya Papa mengubah hidupku dan mengantarkan aku kejalan dan
berjualan koran saat ini. Wasiat papa agar jangan mabok dan narkoba menjadi tekadku untuk
tidak menggunakan narkoba.
Tata, anak lelaki berumur 13 tahun, bekulit sawo mateng, rambut agak kemerahan
perawakan kurus, setiap hari menjajakan koran sepulang sekolah di perempatan lampu merah
simpang Polda Sumsel. Rutinitas ini sudah di jalaninya sejak ayahnya meninggal pada Januari
2010. Kegiatan sehari-hari dimulai dari pagi sekolah, sepulang sekolah jualan koran sampai sore.
Malam kembali kerumah dengan kegiatan belajar, tidur.
Saat ini Tata tercatat sebagai siswa kelas 9 SMP Negeri 3 Palembang. Dari SD dia sering
mendapatkan rangking disekolahnya, prestasi adalah rangking 3 semester 1 dan rangking 5
semester 2 dikelas 8 SMP. Tata biasanya mengulang pelajaran dirumah setelah sholat Isya. Tata
rutin melakukan shalat magrib, isyak dan subuh karena disuruh ibunya. Sedangkan zohor dan
asyar tidak sempat dia lakukan karena jualan koran.
Tidak ada masalah berarti yang dihadapi disekolah, hanya saja ia pernah dimarah guru
lantaran teman sekelasnya ribut saat jam pelajaran berlangsung dan guru menyangka dia menjadi
biang keributan “Waktu itu guru menyangka saya yang buat ribut dikelas, saya tidak terima
tuduhan tersebut. Sehingga dimarah guru, tapi saya minta maaf dan saat ini hubungan kami
sangat baik, ” jelas Tata.
Tata hobi sepakbola, ia bermain bola bersama teman-temannya di lapangan kecil di
dekat rumahnya jika ada waktu sepulang jualan koran. Jika ditanya cita-citanya, maka Tata
menjawab jadi tentara atau kalau tidak bisa jadi tentara jadi PNS.
“Cita-cita saya dari dulu ingin menjadi Tentara atau jadi PNS oleh karena itu dari sekarang
saya rajin berolah raga dan ikut dalam organisasi Paskib di sekolah. Yang paling penting saya
selalu berusaha untuk rajin belajar.”
Sebelum ayah Tata menikah dengan Ibunya, ayahnya telah menikah dan mempunyai
seorang anak lelaki. Ayahnya tamat SMA dan dulu bekerja sebagai buruh bangunan. Tata merasa
bangga terhadap sang ayah yang bekerja keras agar dapat menafkahi keluarganya. Banyak
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
kenangan manis bersama sang ayah. Dalam ingatannya, Almarhum memiliki sifat yang baik,
pendiam, hanya saja ayah mendidiknya dengan tegas dan bahkan memukul jika sang anak tidak
menurut perintahnya. Tata pernah di tampar sang Ayah karena tidak mengindahkan perintah
yang telah berulang kali, tetapi Tata mengakui bahwa itu kesalahannya.
“Jarang Papa main tangan, paling bila saya selalu membantah apa yang disuruhnya berulang
kali. Mungkin, Papa kesal kalau dibantah terus. Tapi itu saya jadikan pelajaran dan tidak
menimbulkan dendam. Seingat saya , Papa pernah menamparku gara-gara aku keluar rumah
sampai magrib belum pulang. Papa sering mengingatkan aku supaya tidak terlalu sering keluar
rumah sampai magrib. Tetapi aku sering melanggar, sehingga Papaku marah. Sewaktu Papa
masih hidup kami dilarang keluar rumah sampai magrib. “
Tata mengaku sangat akrab dengan ibunya. Apa yang menjadi masalah dalam hidupnya
selalu berbagi dengan Ibu yang menjadi orang tua tunggal saat ini.
“Mama orangnya baik, selalu menasehati saya untuk berbuat baik. Walau terkadang cerewet,”
jelas Tt sambil tertawa. Ibunya tamat SMA dan saat ini berjualan makanan di salah satu Sekolah
Dasar di Palembang. Tata memiliki dua orang kakak bernama Tama yang saat ini masih duduk
dikelas 3 SMA, Dino kelas 2 SMA, dan satu orang adik perempuan bernama Anggi yang masih
kelas 6 SD. Selain itu dia punya seorang kakak tiri yang sudah berkeluarga dan tinggal di
Palembang, Tata mengaku akrab dengan saudara-saudaranya, mereka saling jaga dan saling
melindungi. Namun terkadang mereka berempat juga pernah berselisih paham. “Kadang ribut
dengan saudara gara-gara masalah uang jajan. Tapi biasanya salah paham tersebut hanya
sebentar dan langsung baik lagi,“ ceritanya.
Ayahnya berasal dari desa Tulung Selapan OKI, dan mereka tinggal disana sebelum
pindah ke Palembang. Sebelum keluarganya pindah ke Palembang, , kedua kakaknya terlebih
dahulu tinggal di Palembang untuk bersekolah. Mereka tinggal di daerah Pahlawan dengan
nenek. Tt pindah ke Palembang bersama orangtuanya sejak dia masuk Sekolah Dasar. Mereka
tinggal di daerah Pahlawan sampai saat ini.
Peristiwa yang paling mengesankan Tata dalam hidupnya adalah jika libur sekolah dan
lebaran mereka pulang kampung bersama papanya. Sejak papanya meninggal kebiasaan ini
terasa kurang.
“Dulu setiap liburan sekolah kami sekeluarga sering pulang ke Tulung Selapan kampung
halaman Papa, mengunjungi kebun jeruk punya kami,” jelasnya.
Hal yang tak kalah membahagiakan bersama saudaranya ketika lebaran tiba. Saat itu
dijadikan ajang silaturahmi kepada keluarga besar yang diisi dengan jalan-jalan bersama
kerumah keluarga. Itulah kebersamaan yang indah. Perhatian besar dari saudaranya juga
dirasakan saat dirinya bertambah usia Ketika kecil ia pernah diberi hadiah mainan mobil remote
control.
Tata menaklukan Jalanan
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
“Aku berjualan untuk membantu ibuku dan sekolah ku. Sejak Papaku meninggal, aku
bertekad untuk kerja demi uang dan kelanjutan sekolahku. Aku mulai dengan menjadi penjual
koran. Awalnya, saya ini lagi pusing mikirin bagaimana bisa membantu orang tua sekaligus
tetap bersekolah, kebenaran ada tawaran dari kakak angkat untuk berjualan koran di
perempatan lampu merah Polda Sumsel . Kakak angkatku yang mendaftarkan saya di salah
satu harian lokal Palembang,” .
Dalam satu hari Tata bisa mendapatkan uang sebanyak Rp5.000-Rp15.000 dari seluruh
koran yang dijajakan, selain itu dari salah satu harian lokal Palembang ia mendapatkan
penghasilan perbulan sebesar Rp 450.000 dengan rincian Rp 15.000 persetengah harinya.
Penghasilannya sangat membantu Ibunya yang hanya seorang penjaja kue di sekolah
dasar. Penghasilannya itu ia serahkan ke ibunya.
…“Biasanya semua penghasilan bulanan itu saya berikan ke Ibu, hanya Rp 50.000 yang
saya ambil, sedangkan penghasilan harian saya bagi dua sama ibu,“ …
Selama ia menjajakan koran, Tata tidak pernah mengalami kekerasan fisik dan mental
dari teman sesama penjaja koran atau dari orang-orang sekitar perempatan lampu merah. Mereka
berteman baik dan sering saling membantu, apalagi terkait dengan masalah penjualan koran.
”Kami sering saling tolong kalau ada teman yang sedikit penjualannya kami patungan untuk
menutupi sisa koran teman yang belum terjual,” jelasnya.
Tidak ada orang yang dituakan atau yang menjadi pemimpin mereka di jalan. Hanya ada
agen tempat mereka menyetor hasil penjualan koran. Mereka semua sederajat dan akrab satu
sama lain, ini yang membuatnya merasa betah dan nyaman. Solidaritas dan saling peduli antar
sesama ditunjukkan dengan saling menutupi kekurangan penjualan koran. Keakraban mereka
juga terlihat jelas dari seringnya mereka bercanda tawa bersama saat di jalanan atau makan nasi
bungkus bersama-sama. Namun, rasa menghormati orang yang lebih tua memang ada. Selama
berjualan koran pernah Tata mengalami razia dari Polisi Pamong Praja, beberapa temannya
tertangkap. Tata sendiri menghindar dengan cara masuk komplek polda dan sembunyi diwarung.
Kehidupan dijalan sangat keras termasuk dunia pecandu narkoba. Anak-anak jalanan
sering menghisap lem aibon Tata pernah melihat anak jalanan menghisap lem atau ganja.
Biasanya mereka di tempat sepi agar tidak di lihat orang. Disekitar tempat tinggalnya pun
narkoba banyak beredar dan banyak pula orang yang memakainya, tetapi dengan yakin Tata
mengatakan untuk menghindari pemakaian narkoba. Dia berniat dan bertekat kuat untuk
menjauhi barang yang disalah gunakan tersebut. Almarhum papanya tidak pernah bosan untuk
memperingati dia dan saudara-saudaranya untuk tidak sekali-sekali memakai narkoba karena
tidak ada gunanya. Nasehat papaku yang selalu ku ingat,
“ kalau narkoba jangan pernah disentuh.”
Tata pernah ditawari oleh temannya untuk memakai narkoba. Dengan berbagai alasan dia
berusaha menolak dengan cara yang sopan agar tidak menyinggung perasaan orang yang
menawarinya.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
“ Pernah ditawari kawan minum dan aibon, tapi aku berusaha menghindar. Biasanya
alasannya ingin pulang dulu, mau makan, mandi atau apa saja yang membuat teman mengerti.
Kita boleh berteman dengan siapa saja, tetapi kebiasaan yang tidak baik harus kita hindari.”
Namun Tata masih beruntung, teman yang menawarinya tidak memaksa agar dirinya mau
mencoba barang yang dapat merusak masa depan bila salah penggunaan tersebut. Tata masih
sering berinteraksi dengan teman-temannya yang pernah menawari narkoba, walau dia
menolaknya. Tata mengetahui bila narkoba memiliki kegunaan.
“Saya pernah membaca buku kalau narkoba dapat digunakan untuk menambah detak
jantung bagi pasien yang sedang mengalami koma. Tetapi narkoba disalahgunakan oleh orang-
orang yang tidak mengerti. Penyalahgunaan narkoba dapat membuat pikiran tidak jernih bagi
pemakainya. Selain itu, pemakaian narkoba yang tidak sesuai dengan kegunaannya dapat
merusak tubuh penggunanya sehingga menimbulkan sikap pemalas dan tidak memiliki nafsu
hidup para penggunanya hingga berujung pada kematian.”
Kerentanan penggunaan narkoba tidak hanya di kalangan anak jalanan. Di lingkungan
rumah dan sekolah pun sebenarnya peredaran narkoba sangat banyak beredar. Tata mengatakan
untuk mendapatkan narkoba memang tidak sulit. Karena memang lingkungan sekitarnya banyak
pengguna. Untuk menghindari pemakaian narkoba menurut Tata kembali kepada individu yang
bersangkutan.
Tata sering melihat pesan layanan masyarakat baik di media elektronik maupun cetak
tentang bahaya penyalahgunaan narkoba. Hal ini yang menyebabkan dia semakin mantap untuk
mengatakan tidak memakai narkoba. Tata pernah mengajak temannya untuk berhenti minum
alkohol dan memakai narkoba. Tata pernah melihat salah satu teman yang lebih muda darinya di
beri minuman oleh orang dewasa. Tanpa sadar minuman tersebut ditambah penyedap rasa oleh
orang tersebut. Akibatnya teman Tata merasa mulas.
Dari kejadian tersebut Tata menasehati temannya agar tidak lagi minum alkohol karena
tidak baik untuk kesehatan dan hanya menghabiskan uang orang tua.
“Berhentilah kamu pakai narkoba dan minum, tidak ada gunanya, malah buat susah
orang tua.” Ada temannya yang minum dan merokok. Tetapi ada juga teman yang tidak
mendengarkan ajakan Tata untuk berhenti menggunakan narkoba. Malah Tata mendapat teguran
dari temannya yang saat ini sudah pindah ke kota lain. “Sudahla, kamu tidak usah ikut campur”.
Dengan bekal yang dimilikinya dari sekolah dan amanat papanya, Tata berusaha sekuat
mungkin untuk menghindari pemakaian narkoba. “Amanat dari papa akan selalu ku ingat,
bahwa kami tidak boleh memakai narkoba”. Tata bisa bertahan bersih dari pengaruh narkoba dan
minuman ditengah kerasnya kehidupan jalanan. Kepeduliannya terhadap keluarga dan
kemauannya sendiri untuk menjajakan koran agar bisa membantu ibu dan membiyai
pendidikannya.
3.2. Buyung “Aibon” Raka dengan nama jalanan Buyung “Aibon” berumur 16 tahun, anak ke 3 dari tiga
bersaudara. Hobi nongkrong dan menghabiskan waktu dipasar punya cita-cita hidup enak,
pernah sekolah sampai kelas 4 SD. Ibunya sudah meninggal ketika buyung berumur 10 tahun
dan bapaknya sekarang sudah tua. Ia mulai hidup di jalan karena bosan dirumah. Buyung
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
merasa senang di jalan karena dapat uang dan banyak teman. Buyung mulai menghisap aibon
sejak umur 15 tahun. Awalnya dikenalkan teman sesama anak pasar. Bapaknya sangat marah
ketika mengetahui Buyung menghisap lem, tapi tidak dipedulikan hingga dia kecanduan.
Pengalaman kekerasan
Siang itu cukup menyengat, aktivitas jual beli di pasar 16 ilir, pasar tradisional terbesar di
Kota Palembang seperti layaknya pasar, ramai. Diantara lapak pedagang, di salah satu lorong di
area parkir samping gedung pasar, biasanya menjadi tempat tongkrongan anak jalanan.
Menurut pengakuannya, namanya Raka, usia 16 tahun. Namun teman-temannya
(menurut pengamatan) memanggilnya dengan sebutan “Buyung”. Lelaki perawakan kurus
dengan rambut di cat pirang ini merupakan anak kedua dengan seorang kakak laki-laki,
“sebenernyo aku anak ketigo, yang pertamo ninggal pas masi kecik, yang keduo masi ado
sekarang, ketigo aku, yang keempat ninggal jugo”, ungkapnya. (Sebenarnya saya anak ketiga,
yang pertama meninggal saat masih kecil, yang kedua masih ada sekarang, ketiga saya, yang
keempat meninggal juga)
Ditanya mengenai hobi, dia menjawab seadanya “yoo..cak inilah duduk-duduk,
nongkrong, bekelakar samo wong pasar ini” (Yaa..seperti ini, duduk-duduk, bercanda dengan
orang di pasar ini). Kesehariannya kebanyakan menghabiskan waktu di pasar, membantu
pedagang buah jualan, mendorong gerobak, dan mengatur parkiran, seperti yang
diungkapkannya “ngrewangi wong jualan buah agek dapet seseran dikit, pas balek ngrewang
dorong gerobak abes jualan, jadila balek pegi dikasi 7 ribu, dak tu jago parker ni la…”
Keinginan tentang hidupnya juga tidak muluk-muluk, ingin punya uang dan memulai
usaha dagang, harapannya pun ingin hidup enak meski pendefenisiannya tentang hidup enak itu
masih absurd. “Aku tu pengen jualan, pengen idup lemak, ngliat wong bejualan tu caknyo lemak
nian, bejajo, tawar rego, dapet duet, untuk cita-cita aii..cakmano yuk e, sekolah sudah idak lagi,
jadii….lemak la jualan be caknyo”
Tentang keluarga, dia bercerita kalau ayahnya adalah tamatan SD, dan sehari-harinya
menjadi pemulung keliling. “Bapak aku la tuo yuk, la 85 taon, nyari buruk‟an keliling”.
Menurutnya, bapaknya adalah sosok ayah yang baik dan penyayang, didunia ini tidak ada orang
tua yang ingin menjerumuskan anaknya ke hal-hal yang tidak baik. “Bapak wongnyo baek,
sayang samo aku, dak pernah dimarahinyo aku, namonyo wong tuo pasti sayang, yo kecuali
anaknyo ngelakuke hal dak bener, wajar be keno marah, pernah sih sekali waktu aku ketauan
ngelem, yo namonyo wong tuo,katek yang pengen anaknyo nakal” jelasnya antusias. (Bapak
orangnya baik, sayang sama saya, saya tidak pernah dimarahinya, namanya orang tua pasti
sayang anak, kecuali kalau anaknya melakukan hal yang tidak benar, wajar saja kena marah.
Pernah saya kena marah saat ketahuan menghisap lem, ya namanya orang tua tidak ada yang
ingin anaknya nakal)
Begitu pula dengan ibu, yang sebagai ibu rumah tangga biasa, dengan pendidikan hanya
sampai SD, telah meninggal 6 tahun lalu (tahun 2004). Dalam kenangannya adalah sosok ibu
yang baik dan penyayang, tidak pernah marah. “Ibu aku dulu wongnyo baek niaan, sayang samo
aku, dak pernah marah, iyolah..aku kan anak paling kecik, sejak anak pertamo samo yang
terakhir meninggal, jadi aku yang disayang. Ibu sayang samo aku, aku jugo sayang nian samo
ibuk aku, waktu itu dio ninggal kerno sakit”, ceritanya.
(Ibu saya dulu orangnya baik sekali, sayang sama saya, tidak pernah marah.. Karena saya anak
paling kecil, sejak anak pertama dan terakhir meninggal jadi saya yang paling disayang. Ibu
sayang sama saya, aku juga sayang sekali dengan ibu, waktu itu beliau meninggal karena sakit).
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Sementara kakak kandungnya, saat ini telah memiliki keluarga, dengan pendidikan tamat
SMA, bekerja sebagai pedagang baju keliling di kampungnya. Sama seperti bapak ibunya,
menurutnya kakaknya ini orangnya baik, penyayang dan humoris. “Kakak aku la bebini anak
sikok, bininyo di dusun sano, jadi kadang dateng ke plembang cak sebulan sekali untuk ngambek
barang dagangan. Kalo kakak ado di Palembang, seneng lah, ado kawan ngobrol, kawan
bekelakar hahahaa”, ceritanya senang. (Kakak saya sudah beristri, istrinya di kampung sana, jadi
datang sebulan sekali untuk mengambil barang dagangan. Kalau kakak ada di Palembang, saya
senang karena ada kawan cerita dan bercanda).
Diceritakannya dengan antusias, keluarganya berasal dari Dusun Pedamaran, OKI.
Bapaknya dulu sudah tinggal di Palembang sebagai tukang buah. Kadang-kadang mereka mudik
pulang kampung. Sepeninggal ibunya di tahun 2004, dia diboyong bapaknya ke Palembang, di
daerah 10 ulu.
Hal yang dianggapnya berkesan tentang bapaknya, seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, adalah pernah kena marah saat ketahuan menghisap lem aibon. “Bapak aku dak
pernah marah yuk, tapi pernah sekali…waktu itu aku ketauan ngelem, nah keno marahnyo aku,
abes tu aku nak tobat, dak do lagi nian nak ngisep”, ¢eritanya antusias sambil tersenyum
(menurut pengamatan, anak ini adalah anak yang periang, selalu bercanda)
(Bapak saya tidak pernah marah, tetapi pernah sekali saat ketahuan menghisap aibon. Saya kena
marah, setelah itu saya pengen tobat, tidak ingin lagi menghisap aibon).
Begitu pula dengan sang ibu, dalam ingatannya ibu adalah sosok yang baik, jadi saat
ditanyakan tentang hal yang berkesan tentang ibunya adalah hal-hal yang baik. “Aku tu manjo
nian samo ibuk dulu, secaro paling mudo” (Aku manja sekali dengan ibu, karena paling muda).
Tentang kakaknya, dia bercerita pernah diajak jalan-jalan ke IP seharian, nongkrong, beli baju,
pokoknya senang-senang.
Mengenai riwayat sekolah, raka mengungkapkan bahwa dia mengeyam sekolah hanya
sampai kelas 4 SD. Dia mengaku bahwa dia adalah anak yang pemalas, sering minggat waktu
sekolah. “Aku sekolah sampe kelas 4 SD yuk, aku ni dulu pemales, memang dasarnyo pemales,
bukan lolo bukan, sering minggat sekolah. Tapi sekarang aku nyesel, nyesel nian brenti sekolah,
jingok budak make baju sekolah tu rasonyo pengen sekolah lagi. Kalo sekarang nak sekolah,
maluuu…la besak cak ini madak’i kelas 4 SD hehehe”
(Saya sekolah sampai kelas 4 SD, saya dulu pemalas, memang dasarnya pemalas. Bukan bodoh.
Sering minggat sekolah. Sekarang saya menyesal sekali berhenti sekolah, lihat anak pakai baju
sekolah rasanya pengen sekolah lagi. Kalau sekarang mau sekolah, malu. Sudah besar, masa
kelas 4 SD hehehe)
Di sekolah seingatnya baik-baik saja, tidak ada masalah besar yang berarti, hal yang
menurutnya berkesan dan masih diingatnya adalah pernah berkelahi dengan teman sekelasnya
yang mengakibatkan dia dan temannya dihukum guru dengan dijewer telinganya. “Pernah
bebala samo kawan, trus dijewer bu’ guru, abes tu kami disuruh salaman maafan, yo wajarlah
keno marah guru kalo nakal”. Waktu ditanya alasan berkelahi, dia juga tidak begitu ingat “nah
lupo, ngapola biso bebala tu, namonyo jugo masi kecik, kelas 4 SD, belom ngerti”. Hubungan
guru dengan muridnya di sekolah seingatnya baik-baik saja. Harmonis. “Akorr…murid samo bu
guru, tapi kalo nakal keno marah kan wajar”, lanjutnya.
Latar belakang raka sering berada di jalanan adalah karena dia merasakan suntuk
dirumah, tidak ada pekerjaan berarti, di pasar dia bisa mencari uang. “Di pasar biso dapet duet,
ngrewangi wong jualan, bekelakar samo wong-wong sini, daripada nyusahi wong tuo, ujung-
ujungnyo jadi maling”.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Sebelum di pasar, dia sering berada di lorong-lorong sekitar rumahnya di 10 ulu. Karena
pasar lebih ramai dan lebih dia suka, maka dia sering berada di pasar. “Dulu awalnyo aku
disuruh ngrewang ndorong gerobak, dikasi 7 ribu..jadilah.. Mano wong-wong sini rami bekelakar
galo, jadi seneng aku”
Kehidupan di jalanan menurutnya aman-aman saja. Mempunyai banyak teman, namun
ada dua orang yang dianggapnya teman sejati. Teman semakan seminum (yang namanya enggan
dia sebutkan). Jalinan pertemanan dijalanan sangat harmonis, mereka awalnya teman main bola
di lapangan dekat pasar (sekitar BKB), senasib secara ekonomi, seperti yang tersirat dalam
ucapannya, “Kawan-kawan sini baek-baek galo, yoo…yang samo-samolah… Yo..kito yang cak
ini, milih kawan tu yang samolah, kalo bekawan samo wong yang dipucuk kito, aii…mereka
pasti nganggepnyo kito ni dak selevel dio, jadi mending kito bekawan yang samo-samo dak
punyo bae”. Selama ini, tidak ada yang mengganggu mereka, dengan pedagang-pedagang pasar
pun semua akrab. Tidak ada yang dituakan, semua sama. Seperti bersaudara. “Disini kami akrab
galo, bedulur cak adek beradek, katek yang ganggu..yo kareno kito dak ado salah, yoo aman-
aman bae..Akoorrr galo. Tapi men penesan sekali-sekali sesamo kami yo wajar bae, tapi itulah
yang buat akrab” tambahnya.
(Disini kami akrab semua, tidak ada yang ganggu, karena kita tidak ada salah jadi aman-
aman saja. Akur semua).
Dia merasa senang dijalanan, menemui hal yang dia cari, yaitu keramaian. Menurutnya,
kalau cuma berada dirumah otak menjadi beku. Suntuk.
Tentang narkoba, dia mengaku hanya menghisap lem aibon. Sejak setahun lalu, saat dia
berumur 15 tahun. Tidak ada yang mengenalkan, mengajak atau menawarkannya menggunakan
barang itu. Ketertarikannya menghisap lem karena penasaran melihat orang lain menghisap lem
aibon dijalanan. “Aku tu jingok wong, ngisep-ngisep lem, apo dio rasonyo pikir aku.
Naahh…awalnyo tuh aku nak nampel ban sepeda yang bocor, ngliat lem aibon.. Nahh ini dio
yang diisep-isep cak wong itutu, trus aku cubo.. Ehh..lemak trus kecanduan”, ceritanya sambil
mempraktekan didekat sepeda yang sedang di parkir dekat lokasi wawancara.
(Saya mellihat orang menghisap lem, apa rasanya? Pikir saya. Nah..awalnya saya mau nambal
ban sepeda yang bocor, melihat lem aibon. Nah ini dia yang dihisap seperti orang itu, terus saya
coba.. Enak dan kecanduan).
Keadaan hatinya saat menhisap lem menurut pengakuannya adalah biasa-biasa saja. Suka-suka,
kalau lagi ingin saja. “Dulu sih tiap hari, tapi akhir-akhir ini la jarang, kan la keno marah
bapak”, jelasnya. (Dulu sih tiap hari, tetapi akhir-akhir ini jarang, kan sudah kena marah bapak)
(Dia mengaku sekarang sudah tidak separah dulu, kalau dulu tiap hari bisa 2 kaleng, tetapi
menurut orang-orang pasar, sampai sekarang dia masih sering ngelem, tiap hari, makanya disana
dia sering dipanggil „Aibon‟ –sebelum dan selama wawancara, pembawaannya riang, sesekali
bercanda dengan pedagang)
Dia mengaku hanya memakai lem aibon, untuk jenis narkoba lain, belum pernah.
Pertama kali menghisap aibon, rasanya tidak enak, hidung pedas, agak pusing. Tetapi setelah itu
rasanya seperti melayang. “Aku cuma ngelem bae, untuk make yang laen, idak nian. Tapi kalo
minum tuak iyo jugo, ngrokok jugo. Kalo minum tuak, biasonyo dicampur dengan kuku bima,
biar manis. Kalo rokok sehari tu pacak 7-8 batang”, ceritanya.
Dia pun menjelaskan beda menghisap lem dan minum tuak, “kalo ngelem tu wongnyo
jadi lembut, kalo minum jadi keras, gawenyo nak marah be.. Kalo ngelem, apo be kito angguk-
angguk be”, jelasnya.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Menghisap lem baginya untuk kesenangan semata, menghilangkan suntuk. Namun dia
menyadari setelah rutin menghisap lem aibon, dia merasa menjadi lebih bodoh. “Setelah make tu
otak cak dak jalan, otak jadi lolo”.
Ada pihak-pihak yang menginginkan dia berhenti menghisap lem aibon, selain
keluarganya, yaitu orang-orang di pasar. Menurutnya, mereka memintanya untuk berhenti
menghisap aibon adalah karena mereka sayang padanya. “Iyoo banyak yang nyuruh berenti,
bapak aku la marah, kakak aku la marah, nak tobat nian aku, trus wong-wong sini jugo nyuruh
berenti, itu tu kerno mereka tu sayang samo aku”, jawabnya sambil tersenyum.
3.3. Funk Penggali Kubur akrab miras dan narkoba
Kadir Ali 16 tahun, anak ke 3 dari 3 bersaudara, Kedua kakaknya sudah meninggal, orang tua telah
bercerai dan sekarang Ali tinggal dengan Om dan tante dari pihak ibu. Waktu kecil dia bercita-cita jadi
Polisi, saat ini dia bercita-cita punya Band sendiri. Ia memulai hidup dijalan sejak kelas 3 SMP dengan
alasan ingin bebas, cari uang sendiri dan menghindari kemarahan oom. Di rumah dia sering diomeli
dan dimarahi oleh oomnya. SejakSMP dia akrab dengan kehidupan jalanan, kerja serabutan sebagai
penggali kuburan, ngamen dan nongkrong dengan teman-teman. Kenal narkoba sejak SMP, awalnya
dikenalkan oleh sepupunya. Inex (extacy) adalah narkoba yang pertama dia gunakan., ganja sering dia
gunaka untuk menghilangkan stress. Tuak dan asoka adalah jenis minuman keras sering dikonsumsiny
sejak umur 15 tahun. Masa yang paling indah dalam hidupnya adalah ketika dia tinggal bersama ibunya
di Bali waktu kelas 5 sampai dengan kelas 6 SD.
Anak ke tiga dari tiga bersaudara, Kadir merupakan hasil keluarga yang “broken home” karena
sejak usia 4 (empat) tahun kedua orang tuanya sudah bercerai dan ayahnya tidak diketahui
keberadaannya. Dia sering diberitahu bahwa ayahnya sudah meninggal. Sejak saat itu Kadir titipkan oleh
ibunya dengan saudaranya (pamannya). Pamannya bekerja sebagai sopir angkutan salah satu perusahaan
swasta.
“…Aku tinggal dirumah oom ku. Dio sering nguwak-nguwak ngomeli aku. Kalo aku balik
kerumah baru depan pintu aku lah dimarahi. Aku malu dengan tetanggo. Dulu aku dibelike ibu motor,
tapi kato oom duitnyo dari dio. Suatu hari waktu aku SMP aku balik sore, jam 4.30. aku masuk pagar aku
dimarahi, motorku di tendangi sampai rusak… sejak itu aku jarang balik kerumah… . (Aku tinggal
dirumah paman, paman sering membentak dan mengomeli saya jika saya pulang kerumah. Dia marah
didepan pintu dan semua tetangga tahu, sehingga aku malu. Aku pernah dibelikan motor oleh ibu tapi kata
paman uangnya bukan dari ibuku, tapi dia yang membli. Waktu aku SMP pernah aku pulang sore sekitar
pukul 4.30. aku dimarahi paman depan pintu dan motorku ditendang sampai rusak. Sejak itu aku jarang
pulang kerumah.)
Sejak jarang pulang dia sering nongkrong dan menjadi buruh pembuat batu nisan, penggali kubur
di TPU Puncak Sekuning. Dia juga sering nongkrong dengan anak jalanan yang menamakan diirinya anak
Funk. Ketika kecil Kadir bercita-cita menjadi polisi, setelah kumpul dengan anak Funk dia bercita-cita
punya band sendiri.
Kedua saudaranya sudah meninggal. Kakak nya yang tertua meninggal saat berumur 15 tahun
karena dibunuh ayahnya. Kakaknya yang kedua meninggal saat berumur 11 tahun. Ketika itu umur kadir
sekitar 9 tahun. Kadir dilahirkan dan dibesarkan di Palembang, jadi dia merasa asli orang Palembang, dia
tidak mengetahui asal daerah kedua orang tuanya. Kadir pernah ikut ibunya di Bali waktu kelas 5
sampai naik kelas 6 SD. Itulah waktu yang paling senang dalam hidupku. Selain itu pernah juga ibuku
pulang ke Palembang sebelum kakaknya meninggal, aku senang sekali. Setelah kakakku meninggal ibu
tidak pernah pulang.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Kadir sekolah hanya sampai kelas 1 (satu) SMU swasta. Waktu sekolah dia termasuk murid
yang biasa-biasa saja. Kadir sekolah di SD, SMP dan SMU di kota Palembang. Disekolah Kadir tidak
memiliki masalah yang berarti, Hubungan dengan guru serta sesama murid lain berjalan dengan baik dan
wajar. Kenangan paling indah saat sekolah bagi kadir adalah kebaikan gurunya serta teman-teman
kelasnya.
RIWAYAT KE JALAN
Karena sering bertengkar dan dimarahi oleh pamannya, Kadir memutuskan untuk berhenti
sekolah dan mencari uang sendiri.. Sejak berhenti sekolah kadir lebih sering menginap dirumah
temannya. Bersama temannya kadir suka mengamen dan menghabiskan banyak waktu dijalan. Hal ini
membuat kadir jadi terbiasa dan merasa lebih senang dan memperoleh kebebasan, Selain itu keinginan
mencari uang juga menjadi alasan utama Kadir tetap berada dijalan. Pada pagi sampai siang hari kadang-
kadang Kadir ikut bekerja dalam pembuatan batu nisan, menggali liang kuburan serta membersihkan
kuburan di areal TPU. Puncak Sekuning saat ada peziarah yang datang. Sore hingga malam hari Kadir
dan temannya menghabiskan waktu dengan mengamen di bus kota, rumah makan maupun di perempatan
lampu merah merupakan tempat kadir dan temannya mencari uang.
Kadir hidup dijalan bersama 2 (dua) orang temannya, malam hari kadir tidur dirumah salah satu
temannya. Namun tidak jarang mereka menghabiskan malam dan tidur dijalan karena bosan dirumah.
Dalam jalinan pertemanan mereka merasa memiliki kebersamaan, saling membutuhkan dan solidaritas
yang tinggi. Hanya Polisi Pamong Praja (POL.PP) yang merupakan ganguan utama bagi mereka saat
melakukan aktifitas dijalan. Karena kalau tertangkap, kadir dan teman-temannya harus membayar
sejumlah uang untuk bisa dibebaskan.
Ada kalanya Kadir merasa ingin kembali kesekolah, kembali kerumah pamannya karena
kehidupan dijalan tidak membawa banyak perubahan dalam hidupnya. Namun jika teringat sikap
pam,anya maka dia malas pulang.
RIWAYAT PENGGUNAAN NARKOBA
Mengenal NARKOBA pertama kali saat kelas 2 (dua) SMP, diberi oleh sepupunya ( anak
pamannya). Karena ingin tahu rasanya Kadir memakai NARKOBA. Rasonnyo pahit dan palak pening…
penjelasanya tentang pengalaman pertama kali mencoba ineks. (Rasanya pahit dan membuat kepala
pusing).
Waktu itu dia sedang banyak masalah dirumah karena dimarahi oomnya. Sebelum mencoba
NARKOBA, Kadir mengenal minuman beralkohol. Sampai saat ini, Kadir masih sering mengkonsumsi
minuman beralkohol untuk happy dan menghilangkan stress. Kadir juga pernah mencuba sabu-sabu.
Tetapi karena Ineks dan Sabu-sabu harganya cukup mahal, ia lebih sering menggunakan Ganja. Ketika
pertama menggunakan NARKOBA jenis ineks, Kadir tidak begitu mengerti rasanya, Hanya seluruh
badan terasa dingin. Tidak ada kenikmatan apa lagi ketenangan jiwa. Saat ini dia lebih sering
menggunakan Ganja. Hanya untuk menghilangkan “stress” bersama teman-teman..
3.4. Pengedar Narkoba bercita-cita jadi Presiden
Ibata (iblis bawah tanah), nama beken Risa dijalan. Ia hobi main music dan pernah bercita-cita jadi
Presiden, namun cita-cita sekarang berubah ingin menjadi manusia normal seperti orang kebanyakan. Ia
mulai menghisap ganja ketika berumur 11 tahun. Selain menggunakan dia juga menjual ganja dan
dekstro dengan alasan untuk mendapatkan uang untuk bersenang-senang. Narkoba didapat dari preman
atua Bandar yang dia kenal. Ibata sering membuat onar disekolah, tuwuran dan berkelahi merupakan
alasan mengapa dia dikeluarkan dari sekolah. Ibata tidak pernah mengenal bapaknya, tapi dia
mengganngap ibunya sebagai wanita yang penuh perhatian dan tanggung jawab. Ia sangat terkesan dan
salut pada ibunya yang pernah mengengurus agar dia tidak ditahan polisi.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Wawancara di mulai dengan pertemuan yang natural & situasinya dibuat santai & senyaman mungkin
sehingga respoden tidak merasa terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan saya tanyakan dalam
wawancara ini.saya mulai menanyakan tentang identitas diri responden,nama responden Reza alias Ibata
namun responden lebih nyaman di panggil dengan nama Ibata.
Keinginan responden ternyata tidak terlalu muluk-muluk atau seperti kebanyakan orang pada
umumnya,Ibata panggilan akrab responden ingin menjadi orang normal seperti orang-orang lainnya.Ibata
ingin mencari uang secara halal,bekeluarga dan hidup normal. Ketika saya singgung mengenai harapan
Ibata hidup di jalanan,ternyata menurut Ibata di jalanan dia menemukan jati diri “Jati diri menurut
Ibata”.jati diri yang hanya di dapatkan ketika dia berada di jalanan.
Keluarga Ibata sendiri sudah mengalami cobaan ketika Ibata baru berumur 3th,orang tuanya
bercerai.pendidikan Ayah Ibata adalah tamat SMA,pekerjaan Ayahnya seingat Ibata adalah buruh karena
pada saat orang tua Ibata bercerai Ibata masih sangat kecil,ingatannyapun masih terbatas.Ayah Ibata
orang yang cuek”Tidak perhatian”,tidak bertanggung jawab.memberi nafkah kepada keluarga tidak rutin
bisa di bilang,sangat jarang memberikan uang kepada Ibu dan Ibata sendiri. Sedangkan Ibunya menurut
pandangan Ibata adalah wanita yang tangguh,bertanggung jawab,perhatian,ramah sehingga menurut Ibata
Ibunya adalah sosok Ibu yang ideal. Ayah Ibata keturunan Jawa,sedangkan Ibunya adalah orang
palembang asli.ayahnya merantau dari jawa ke Sumatra dan pada akhirnya bertemu dengan Ibu
Ibata.Ibata anak pertama dari dua orang bersaudara.peristiwa paling berkesan dari Ayahnya tidak ada
yang berkesan,sedangkan peristiwa yang paling berkesan dari Ibu Ibata adalah menyelesaikan atau
mengurusi permasalahan hukum ketika Ibata tertangkap Polisi.
Setelah saya menayakan tentang identitas/biodata responden,saya mulai menanyakan sejarah/riwayat
sekolah Ibata.responden bersekolah sampai SMA.SD responden,SD 80,SMP responden SMP 6,dan SMA
Responden adalah SMA Arinda.adapun permasalahan yang dihadapi responden di sekolah cukup banyak
seperti Minggat,tawuran,mabuk-mabukan bersama teman Ibata di sekolah.responden sering mendapatkan
masalah dengan gurunya.ada satu peristiwa yang paling berkesan dengan gurunya ketika responden
tertidur di kelas,responden ditegur oleh gurunya.namun responden membantah & melawan gurunya
sehingga akhirnya responden di usir dari kelas dan dibawa menghadap kepala sekolah.peristiwa paling
berkesan yang pernah di alami oleh responden dengan teman-teman satu sekolahnya adalah ketika
responden tawuran antar pelajar dari sekolah yang berbeda.
Riwayat responden di jalanan
Alasan responden hidup di jalanan karena responden merasa mendapatkan kebebasan dan bisa lebih
berkreatifitas “Menurut responden”.latar belakang responden hidup mengelandang di jalanan karena
responden merasa terkekang di rumahnya.sehingga responden merasa lebih nyaman hidup di
jalanan.adapun lokasi tempat responden beraktivitas di cinde,pasar 16,mal-mal di palembang..mobilitas
responden di jalanan,responden berpindah-pindah tempat dari Lampung,Jakarta,beberapa kabupaten di
Sum-sel.Adapun suka duka hidup di jalanan.dukanya tempat tinggal atau tempat responden tidur
kotor,makan seadanya kehidupan jalanan yang keras.sukanya responden merasa mendapatkan kebebasan
dan kenyamanan yang hanya bisa didapatkan responden di jalanan.
Menurut responden mereka(Anjal) bisa berkumpul dan bersatu karena persamaan nasib sesama
anjal,persamaan latar belakang sehingga solidaritas sesama anak jalanan sangat tinggi.Namun ada
beberapa faktor yang mengganggu mereka ketika sedang berada di jalanan antara lain Sat Pol pp dan
Polisi.sebagai contoh responden bercerita bagaimana Sat pol pp mengusir dan menangkap anjal-anjal
ketika mereka sedang berada di jalanan,begitu juga ketika Polisi menangkap mereka karena melakukan
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
tawuran atau mabuk-mabukan di jalan.cara mereka mengatasi “Gangguan menurut mereka”.kalau Sat pol
pp mereka lawan namun jika Polisi mereka mengatasinya dengan cara berlari sekencang-kencangnya.
Secara struktur sosial,menurut responden ada “Pemimpin” dan ada orang yang dituakan, pemimpin
mereka menurut responden bernama Soegeng malam satu suro.Responden mendapatkan banyak hal di
jalanan arti “sebuah kehidupan yang keras,kejam dan banyak fenomena-fenomena yang unik”.
Riwayat responden tentang penyalahgunaan Narkoba
Responden mulai mengenal atau mengkonsumsi narkoba ketika umur responden 11 th atau kelas 5
SD,yang mengenalkan responden tentang narkoba adalah orang yang lebih tua atau anjal yang lebih
tua.bagaimana anjal bisa tertarik untuk menggunakan narkoba dari rasa ingin tau dan faktor
lingkungan.jenis narkoba yang pertama kali digunakan responden jenis ganja.sensasi awal yang dirasakan
ketika responden menggunakan narkoba adalah rasa senang yang berlebihan atau euphoria.kenikmatan
atau ketenangan jiwa yang dirasakan responden adalah “pikiran menjadi tenang”namun menurut
responden banyak sisi negatif dari sisi positifnya dari penggunaan narkoba.
Riwayat responden mengedarkan narkoba
Tahun 2005 responden mulai mengedarkan narkoba jenis ganja dan dekstro,alasan responden
mengedarkan narkoba karena tergiur untuk mendapatkan uang secara mudah dan dipengaruhi oleh
preman di jalanan.peristiwa paling berkesan menurut responden adalah ketika responden
menjual/transaksi narkoba,konsumen atau pembeli tidak memberikan uang kepada responden.adapun
uang hasil dari penjualan narkoba digunakan responden untuk makan,bersenang-senang dan lain
sebagainya.sedangkan cara responden mendapatkan narkoba dengan cara membeli dari preman atau
Bandar yang lebih besar.
Oleh responden narkoba tersebut dikemas lagi menjadi kemasan-kemasan kecil lalu dijual kembali.untuk
menjaga atau menyimpan narkoba,narkoba disimpan ditempat yang menurut responden aman responden
juga menggunakan mata-mata dari sesama anjal. Di akhir wawancara responden mengatakan ingin
menjadi orang yang memiliki kehidupan normal,karena bagaimanapun juga anjal merupakan bagian dari
kehdupan manusia yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.
3.5. Narkoba membuatku Happy dan Pecaya Diri
Johan 18 tahun adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya cuek,tapiibu sangat
perhatian. Hobi bola kaki dan laying-layang. Bercita-cita menjadipengusaha sukses. Sekolah
sampai kelas 1 SMU dan berhenti karena berkelahi. Mulai mengkosumsi narkoba pada usia 15
tahun. Ganja dan aplzolam membuat dia happy dan percaya diri. Minuman keras sejenis tuak,
anggur merah dan asoka. Pernah mencoba berhenti tapi belum berhasil.
Pada saat melewati jalan puncak sekuning tempat pemakaman umum atau jalan yang
membelah pemakaman itu. Kami melihat ada anak-anak jalanan sedang menjual kembang dan
ada yang sedang membersikan kuburan di puncak sekuning. Kami menemui salah satu dari
mereka, dan menjelaskan maksud dan tujuan kami. Merekapun senang hati dan terbuka terhadap
kedatangan kami.
Salah satu dari mereka menceritakan tentang kehidupannya hidup di jalan, “ saya disini
biasa di panggil Johan, dan umur saya sudah 18 tahun. Saya memiliki hobi bola kaki dan
bermain layangan bersama teman-teman, kurang lebih saya berada dijalan sekitar 12 jam.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Biasanya dari pagi hingga sore hari saya berada di pemakanan ini untuk menjual kembang dan
membersihkan kuburan jika ada keluarga almarhum yang meminta kuburannya dibersihkan. Ini
saya lakukan untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin
bertambah. Dan kadang-kadang saya berkumpul bersama teman-teman pada malam harinya
untuk melepas kebosenan dan kepenatan, kami bermain dan bercanda bersama”. Sebenarnya
saya bercita-cita ingin menjadi pengusaha sukses. Tetapi apa boleh buat kondisi dan keadaan
keuangan keluarga tidak memungkinkan untuk memenuhi harapan itu. Jangankan jadi pengusaha
sukses, cewek pun jauh karena posisi dan pekerjaan saya yang mungkin tidak seperti mereka
dambakan, “ keinginan saya saat ini adalah ingin mempunyai pacar atau cewek yang mengerti
akan keadaaan dan kondisi saya saat ini, dengan harapan untuk membina rumah tangga yang
bahagia.”
Keluarga khususnya kedua orangtua saya masih lengkap. Ayah saya bernama Beduh dan
bekerja sebagai pembuat pedapuran untuk kuburan, pendidikannyapun hanya sampai pada
sekolah dasar (SD) saja. Sedangkan ibu saya bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Karakter ayah
saya bersifat temperamental (tampak kasar dan suka marah-marah), ingin menang sendiri dan
tidak mau peduli benar atau salah, berbeda sekali dengan ibu yang sangat lembut, sabar dan
penuh perhatian terhadap kami anaknya.
Saya mempunyai tujuh saudara dan saya sendiri merupakan anak kelima dari tujuh
bersaudara. Empat saudara perempuan dan dua suara laki-laki. Kakak sulung saya sudah
menikah dan tidak tinggal bersama kami lagi, karena ikut suaminya. Sedangkan dua adik laki-
laki saya masih duduk di sekolah dasar.
Kalau sejarah pendidikan saya, awalnya bersekolah di SD N 127 kemang manis hingga
selesai lalu melanjutkan sekolah SMP Tridarma selama tiga tahun walaupun tidak begitu pintar
tapi saya naik kelas terusdan melanjutkan kejenjang berikutnya yaitu SMU Srijaya Negara yang
berlokasi di Bukit dekat SMA 1 Palembang. Tapi sayangnya ketika saya duduk di kelas satu
SMA saya melakukan tindakan yang bodoh karena saya berkelahi dengan teman sekolah dan
sering bolos. Lalu pada akhirnya saya memutuskan untuk berhenti dari pada saya sering bolos
dan hubungan saya dengan teman-teman tidak sehat lagi lebih baik saya berhenti sekolah.
Semenjak saya putus sekolah, saya selalu menghabiskan waktu di jalan puncak sekuning
ini untuk mendapatkan uang bersama teman-teman yang senasib dan sepenanggungan serta
saling bantu sehingga kekeluargaan di lingkungan ini masih sangat erat. Jika ada yang
mempunyai masalah atau konflik kami selalu membantu dan secara tidak langsung terbentuklah
sebuah kelompok.
Dilingkungan ini saya mengenal narkoba, awlanya pada saat saya duduk di kelas dua
SMP pada usia 14 tahun. Saya mengenal narkoba dari teman-teman dan sayaupn terpengaruh
untuk memakainya awalnya ingin coba-coba tetapi sekarang jadi ketagihan. Sebelumnya dia
tidak tahu bahwa yang diberikan temannya itu adalah ganja.
“….. apo dio itu? Lah ciciplah dulu..awakni dak gaul nian… Setelah itu aku sering
mengkonsumsi hingga ketagaihan (Apa itu? Tanya Johanes kepada temannya. Temannya
menjawab, “ Cobalah dulu!”. Setelah itu dia sering menggunakan sehingga ketagihan)”.
Jenis narkoba yang sering saya gunakan adalah ganja, dan obat alpazolam. Saya
menggunakan narkoba ini karena dengan mengonsumsinya saya merasa senang, dan percaya
diri. Apalagi kalau keadaan saya lagi sedih atau kesal dengan memakai narkoba perasaan sedih
dan frustasipun hilang. Biasanya saya memakai ganja tiga sampai empat kali. Saya juga
mengkonsumsi obat-obatan sejenis obat tidur yaitu alpazolam dua sampai tiga butir untuk sekali
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
konsumsi bersama ganja. Reaksi yang ditimbulkannya sangat menyenangkan, rasanya mencari
uang sangatlah gesit dan rajin perasaanpun tenang, pokoknya menurut saya narkoba itu sangat
nikmat rasanya. Ada juga teman-teman yang memperingati saya untuk berhenti mengonsumsi
narkoba, sebenarnya saya sudah pernah mencoba untuk berhenti tapi itu tidak bisa, karena sangat
sulit untuk pisah dengan narkoba yang sudah memberikan kenikmatan dan rasa percaya diri yang
tinggi. Tetapi saya hanya mengonsumsi saja tidak mengendarkan narkoba tersebut karena untuk
menjadi Bandar narkoba membutuhkan biaya dan modal serta keberanian yang besar. Jadi saya
hanya memakainya tidak pernah terbesit dalam benak saya untuk mengedarkan narkoba. Lagian
kalau diketahui warga bias-bisa saya di laporkan kepolisi kalau mengedarkan narkoba tersebut.
Selain narkoba saya juga sering minum-minuman keras, saat berkumpul bersama teman-
teman. Pokoknya memakai jenis narkoba dan minum-minuman keras sudah menjadi kebiasaan
saya dan teman-teman.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
Bab 4
Penutup: Pola Penggunaan narkoba pada Anak Jalanan
Beberapa kasus menarik yang muncul selama survei di Sumatera Selatan dan menunjukkan pola-
pola penggunaan narkoba pada anak jalanan, adalah sbb:
1. Anak jalanan di Sumatera Selatan dalam pengamatan para pemerhati masalah sosial di
Palembang adalah respons dari industri dan pertumbuhan kota yang menyebabkan sebagian
warga termarginalkan dari sisi ekonomi. Dalam wawancara dengan aparat di Dinas Sosial
Sumatera Selatan, terungkap pandangan bahwa
Orang tua hanya peduli dengan uang yang mereka dapatkan, karena sebagian
besar anak-anak jalanan yang didapati adalah mereka yang berasal dari tingkat
ekonomi yang rendah, jadi ini jatuhnya semacam eksploitasi anak. “Yaa kasihan
juga, ini sebagian besar karena faktor ekonomi, kemiskinan, dan faktor mental
yang mendarahdaging, yaitu malas dan tidak disiplin”,
Anak-anak menjadi terbiasa bekerja, mencari uang dan menggunakannya sendiri. Belanja
konsumtif untuk kebutuhan sekunder berupa makanan kecil, minuman dan rokok menjadi tinggi.
Untuk mengajak mereka kembali ke bangku sekolah, nampaknya tidak mudah karena sudah
bukan urusan ekonomi semata yang jadi masalah, namun juga sikap mental.
2. Tingkat kerawanan anak jalanan terhadap penyalahgunaan narkoba, merokok dan konsumsi
alkohol sangat tinggi. Mereka tidak mendapat perlindungan dari orang tua dan keluarga inti,
malah hidup dalam lingkungan sosial yang permisif terhadap perilaku penyimpangan tersebut.
Komunitas anak jalanan yang di dalamnya menganut tata nilai dan solidaritas antar anggota
kelompok justru menjadi jalan masuk untuk narkoba. Sekali ada anggota yang memakai, anggota
yang lain lain cenderung ikut memakai. Kasus minum minuman keras, misanya, adalah perilaku
konsumsi alkohol yang dilakukan bersama. Di Palembang, anak-anak jalanan sangat akrab
dengan minuman keras dan rokok. Mereka terbiasa minum minuman tradisional (arak) yang
dapat dibeli dengan mudah dan murah.
3. Penggunaan narkoba jenis shabu dan putauw tidak banyak dikonsumsi karena terlalu mahal;
ganja juga relatif sedikit konsumennya. Paling banyak adalah anak-anak yang menghirup aroma
lem, khususnya aica aibon, satu kegiatan yang dikenal sebagai ngelem atau ngaibon. Lem yang
murah, berkisar 1000-2000 rupiah perkaleng kecil membuat ngelem sangat populer di kalangan
anak jalanan. Caranya sangat mudah, lem dibuka dan diselipkan ke balik kaos t-shirt yang
mereka pakai. Pada saat itu, kepala terutama bagian hidung dimasukkan, menelusup, ke kaos.
Seringkali dilakukan dengan menarik bagian leher kaos ke atas, sampai menutup hidup sehingga
aroma lem dapat terhirup dengan maksimal. Kegoatan ini di Palembang, Lahat, Prabumulih dan
Lubuk Linggau dilakukan secara relatif terbuka. Sambil berjalan-jalan atau duduk-duduk di
ruang publik.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010
4. Pendapat tentang penyalahgunaan NAPZA, pelecehan seksual dan kekerasan dijalan di
kalangan birokrat sangat khas. “Penyalahgunaan NAPZA, pelecehan seksual, dan kekerasan di
jalan dikalangan anak-anak jalanan memang rentan, karena mereka sebagian besar berpendidikan
rendah, ekonomi ke bawah, dan adapula korban broken home”, ujar Abi Sujak. Masih menurut
menurut Abi Sujak penggunaan narkoba dikalangan anak jalanan tersebut dikarenakan mereka
tergabung dalam satu kelompok, sehingga mau tidak mau mereka secara bersama-sama
melakukan kegiatan ngelem.
Selama ini, berdasarkan penjaringan, yang terjadi di Palembang, anak-anak yang memakai
narkoba itu masih sebatas ngelem aibon, pernah ada anjal yang ditangkap, kemudian diberi
peringatan, bila perlu surat pernyataan diatas segel lalu dibawa ke Panti selama 1 minggu. Untuk
pelecehan seksual, pernah ditemukan anak perempuan yang tuna rungu dalam keadaan hamil,
konon dikerjakan sesama anjal, namun karena dia tuna rungu jadi tidak bisa bersaksi, setelah itu
dia tidak lagi di jalanan, mungkin dibawa orang tuanya.
5. Upaya yang sudah dilakukan meliputi kebijakan, program dan tindakan langsung oleh aparat.
Dinas Sosial bekerja sama dengan Pol PP sesuai mandat MoU Dinsos – Pol PP, Pol PP
membantu untuk menjaga di persimpangan lampu merah dan jalan protokol di Palembang,
berupa pencegahan, pengusiran dan penangkapan. Kegiatan Rutin yang dilakukan, yaitu patrol 2
kali sehari, pada pukul 11.00 dan pukul 16.00, ditambah dengan patroli malam yang disesuaikan
dengan kondisi dilapangan. Untuk penangkapan anak jalanan, mereka akan dikumpulkan di
Panti PGOT, setelah itu dijadwalkan untuk mengikuti sidang yustisi oleh Pol PP berdasarkan
Perda No.44 Tahun 2002 tentang Ketertiban Umum. Jika mereka telah berulang kali tertangkap,
bisa berpeluang untuk dihukum kurungan untuk menimbulkan efek jera, namun ini seringkali
dikaitkan dengan unsur manusiawi, sering tidak tega, apalagi mengacu pada UUD 1945 pada
pasal 34 yaitu fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara..”, jelas Abi Sujak selaku
Kasi Perlindungan Sosial.
Pembinaan tentang anak jalanan juga telah diprogramkan oleh Dinas Sosial, Kabid.
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Malik Danil,SE, mengungkapkan bahwa ada program yang
dijalankan Dinas Sosial, yaitu mengarahkan mereka sesuai dengan minat dan bakat, berupa
kursus otomotif, seni dan keterampilan, merakit kompor, menyetir mobil hingga mendapatkan
SIM, agar anak-anak mendapatkan keterampilan dan bisa mencari pekerjaan yang lebih layak.
Untuk sekolah pun disediakan dari tingkat SD sampai SMA. Program ini dilakukan di 2 panti,
yaitu khusus laki-laki di PRAN (Panti Rehabilitas Anak Nasional), dan khusus perempuan di
PBAR (Panti Bina Anak Remaja), keduanya terletak di kawasan KM 6 Palembang. Adapula
program subsidi dari pusat yaitu bagi anak jalanan yang masih sekolah, diberikan uang
Rp.300.000/bulan.
Survei nasional..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2010