36
LAPORAN PENDAHULUAN SISTEM PERKEMIHAN DENGAN KASUS BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH) DI RUANGAN POLI INTERNA RSUD KOTA MAKASSAR Oleh : FLORIANUS SITU 4114107 CI LAHAN CI INSTITUSI ............................................................... ........................................................ PROGRAM STUDY PROFESI NERS ANGKATAN XI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GEMA INSAN AKADEMIK MAKASSAR 2015

LP BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia. Seiring masa penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi, baik dari struktur anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh yang terganggu akibat proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada sistem genitourinari lansia pria, masalah yang sering terjadi akibat penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) (DeLaune & Ladner, 2002).

Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN SISTEM PERKEMIHAN DENGAN KASUS

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

DI RUANGAN POLI INTERNA

RSUD KOTA MAKASSAR

Oleh :

FLORIANUS SITU

4114107

CI LAHAN CI INSTITUSI

...............................................................

........................................................

PROGRAM STUDY PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

GEMA INSAN AKADEMIK

MAKASSAR

2015

A. Pendahuluan

Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia. Seiring masa

penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi, baik dari struktur

anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh yang terganggu akibat

proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada sistem genitourinari lansia pria,

masalah yang sering terjadi akibat penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign

Prostatic Hyperplasia (BPH) (DeLaune & Ladner, 2002).

Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign Prostate

Hyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang prevalensi dan insidennya

meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Parsons (2010) menjelaskan bahwa BPH

terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika Serikat, dan 80 persen pada

pria berusia 70 tahun ke atas. Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan

meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20

juta pria (Parsons, 2010).

Di Indonesia sendiri, data Badan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH merupakan

penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di Indonesia.

Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi dengan

kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun penanganan dini

sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen (2007) menjelaskan bahwa

pandangan stereotip yang mengatakan pria itu kuat, akan mengarahkan pria untuk

cenderung lebih mengabaikan gejala yang timbul di awal penyakit. Pria akan

menguatkan diri dan menghindari penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri.

Sementara, ketika wanita sakit, wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan

berusaha mencari perawatan kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih

banyak kasus yang sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani

dengan prosedur pembedahan.

TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu prosedur

pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering dilakukan. Rassweiler

(2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan representasi gold standard manajemen

operatif pada BPH. TURP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur

bedah untuk BPH lainnya. Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak

dibutuhkan insisi dan dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih

aman bagi pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003).

Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi masalah

pembesaran kelenjar prostat.

B. Anatomi fisiologi

1. Anatomi

Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di

bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia

profunda dari diafragma urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis

dan dipisahkan jaringan lemak serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior

memisahkan jaringan prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya

dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.

Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan

ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis

terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus

posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih

berdiameter 1 mm terdiri dan serabut fibromuskular yang merupakan tempat

perlekatan ligamentum pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5

lobus : lobus anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi

uretra.

Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan

glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral

(menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%).

Perbedaan zona-zona ini penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering

sebagai tempat asal keganasan, dan zona transisional sebagai tempat asal benigna

prostat hiperplasia.

Gambar: Pembesaran Prostat

Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk prostat.

Bagian proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan prostat dan

bersinggungan dengan kelenjar periutheral dan sfingter preprostatik. Pada tingkat

veromontanium, urethra membentuk sudut anterior 350 dan urethra pars prostatika

distal bersinggung dengan zona perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar

pada individu muda, tapi dengan bertambahnya usia zona ini atrofi secara

progresif. Sebaliknya zona transisional membesar dengan membentuk benigna

prostat hiperplasia.

Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui

potongan sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :

a. Stroma fibromuskular anterior

Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan anterior

prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran otot polos disekitar

urethra proksial pada leher buli, dimana lembaran ini bergabung dengan

spinkter interna dan otot detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks

otot polos ini bergabung dengan striata yang mempunyai peranan sebagai

spinkter eksterna.

b. Zona perifer

Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67 % dari

seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari zona ini.

c. Zona Sentral

Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan dibelakang

verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral dan zona perifer

berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.

d. Zona transisional

Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik pertemuan

urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh massa prostat. Pada

zona ini asiner banyak mengalami proliferasi dibandingkan ductus periurethra

lainnya.

2. Fisiologi

Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai

tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai

ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia

mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut

mulai berdegenerasi bersamaan dengan penurunan pembentukan testosteron oleh

testis.

Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan

bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan

koagulasi serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar

prostat akan berkontraksi bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat

keluar bercampur dengan segmen yang lainnya.

C. Pengertian

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai pembesaran

kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih, yang menghambat

aliran urin, serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis,

BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada

bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan

adanya proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan

terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.

Price&Wilson (2005).

Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang

keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi

orifisium uretra.

D. Klasifikasi

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005)

secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :

1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan

penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml

2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas

atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.

3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak

dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.

4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

E. Etiologi

Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan bahwa

terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya

peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi

prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel

prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya

proses apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar

bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya

kematian sel.

BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat

menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS (lower

urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding

symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih

meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus

(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi

retensi urin (IAUI, 2003).

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti

penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi

prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses

penuaan

F. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah

inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari

dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang

dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,

antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan

periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia

lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi

testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan

adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini

sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat

hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa

reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam

sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan

kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya

perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi

yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi

uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi

detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang

trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah

terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika

dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan

jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke

dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut

trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.

Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel.

Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.

Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi

urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.

Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat

sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,

menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi

terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan

merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau

dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,

miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu

lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter

dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi

kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal

akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari

obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang

menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan

hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang

menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria

menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan

bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

G. Tanda dan gejala

Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua

tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal

berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi

melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama

(hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan

waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena

overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran

prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun

belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan

gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari

(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi

(disuria) (Mansjoer, 2000)

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :

a) Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine

sampai habis.

b) Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine

walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa

ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.

c) Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d) Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara

periodik (over flow inkontinen).

Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari

BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-

anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat

berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih),

retensi urine akut.

Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :

a) Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :

Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.

Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.

Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.

Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.

Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.

b) Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh

kencing dahulu kemudian dipasang kateter.

Normal : Tidak ada sisa

Grade I : sisa 0-50 cc

Grade II : sisa 50-150 cc

Grade III : sisa > 150 cc

Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

H. Pemeriksaan diagnostik

1. Urinalisa

Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,

sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan

adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran

kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.

Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari

fungsi ginjal dan status metabolik.

Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan

perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak

perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen

density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,

sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml

2. Pemeriksaan darah lengkap

Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua

defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya

menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan

pernafasan harus dikaji.

Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,

BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.

3. Pemeriksaan radiologis

Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan

sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi

buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus

urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik

sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan

ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,

hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria,

residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,

mendeteksi residu urin dan batu ginjal.

BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat

bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi

ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,

sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat

adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat

adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

I. Penatalaksanaan

1. Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH

tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a) Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan

pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti

alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera

terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.

Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian

lama.

b) Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan

biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)

c) Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila

diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai

dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka

dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.

d) Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita

dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian

terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan

pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan

obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan

memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH

dapat dilakukan dengan:

a) Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi

kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok

dubur.

b) Medikamentosa

Mengharnbat adrenoreseptor α

Obat anti androgen

Penghambat enzim α -2 reduktase

Fisioterapi

c) Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi

ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,

hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:

TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat

melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada

kandung kemih.

Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen

bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung

kemih.

Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi

diantara skrotum dan rektum.

Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula

seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada

abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung

kemih pada kanker prostat.

d) Terapi Invasif Minimal

Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan

ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung

kateter.

Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)

Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

2. Keperawatan

a. Pre operasi

Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT,

BT, AL)

Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia

Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax

Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum

pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen

puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan

masuknya udara

b. Post operasi

1. Irigasi/Spoling dengan Nacl

Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit

Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit

Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit

Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit

Hari ke 4 post operasi diklem

Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah

(urin dalam kateter bening)

2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah

(cairan serohemoragis < 50cc)

3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi

selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan

baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.

4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post

operasi

5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi

dengan betadin

6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)

7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi

8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.

9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi

10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan

untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih

dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat

melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.

Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.

11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan

tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan

abdomen, perdarahan

12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol

berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai

kontrol berkemih.

13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan

kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah

pembedahan.

14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan

sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena

tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi

dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan

kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.

J. Pengkajian keperawatan

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.

Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :

1. Sirkulasi

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus

preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan

oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi

sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan

volume cairan.

2. Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya

karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat

dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

3. Eliminasi

Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh

pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin,

aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,

nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi

karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya

obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan

mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan

bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna

keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada

kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena

protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena

perubahan pola makan dan makanan.

4. Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek

penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada

postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan

berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran

baik cairan maupun nutrisinya.

5. Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar

yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.

Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul

tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.

6. Keselamatan/ keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan

tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk

menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu

dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti

adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi

balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada

saluran perkemihannya.

7. Seksualitas

Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami

masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut

inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat

ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.

8. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun

postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin,

urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan

pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas

dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

K. Penyimpangan KDM

L. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign

Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :

1. Pre operasi

Nyeri akut

Cemas

Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh

Kerusakan eleminasi urin

2. Post operasi

Nyeri akut

Resiko infeksi

Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan

Defisit perawatan diri

M. Intervensi Keperawatan

Pre Operasi

No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan

1

Nyeri akut

Definisi : Sensori dan

pengalaman emosional

yang tidak menyenangkan

yang timbul dari

kerusakan jaringan aktual

atau potensial, muncul

tiba-tiba atau lambat

dengan intensitas ringan

sampai berat dengan

akhir yang bisa

diantisipasi atau diduga

dan berlangsung kurang

dari 6 bulan.

Faktor yang

berhubungan : Agen

injuri (biologi, kimia, fisik,

psikologis)

Batasan karakteristik :

Laporan secara verbal atau non verbal adanya

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ….x 24 jam, klien dapat: 1. Mengontol nyeri Definisi : tindakan seseorang untuk mengontrol nyeri Indikator:

Mengenal faktor-faktor penyebab

Mengenal onset/waktu kejadian nyeri

tindakan pertolongan non-analgetik

Menggunakan analgetik melaporkan gejala-gejala

kepada tim kesehatan (dokter, perawat)

nyeri terkontrol Keterangan:

1 = tidak pernah dilakukan

2 = jarang dilakukan

3 = kadang-kadang dilakukan

4 = sering dilakukan

5 = selalu dilakukan

1. Manajemen Nyeri

Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat kenyamanan yang dapat diterima pasien Intervensi:

1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik, waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus

2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif

3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran 4. Gunakan komunikasi terapeutik agar klien dapat

mengekspresikan nyeri 5. Kaji latar belakang budaya klien 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas

hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan, pekerjaan, tanggungjawab peran

7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri kronis

8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan

9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga 10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa

lama terjadi, dan tindakan pencegahan 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur ruangan, penyinaran, dll)

nyeri

Fakta dari observasi Posisi untuk

menghindari nyeri

Gerakan melindungi Tingkah laku berhati-

hati Muka topeng

Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)

Terfokus pada diri sendiri

Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)

Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)

Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)

2. Menunjukkan tingkat nyeri

Definisi : tingkat keparahan dari nyeri yang dilaporkan atau ditunjukan Indikator: Melaporkan nyeri Frekuensi nyeri Lamanya episode nyeri

Ekspresi nyeri: wajah Posisi melindungi tubuh Kegelisahan Perubahan Respirasirate Perubahan Heart Rate Perubahan tekanan Darah Perubahan ukuran Pupil Perspirasi Kehilangan nafsu makan

Keterangan:

1 : berat

2 : agak berat

3 : sedang

4 : sedikit

5 : tidak ada

12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi, (ex: relaksasi,

guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase)

14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri 15. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon

klien 16. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup 17. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri

secara tepat 18. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi

keluhan 19. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota

keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan preventif

20. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri

2. Pemberian Analgetik Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri Intervensi:

1. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan sebelum pengobatan

2. Berikan obat dengan prinsip 12 benar 3. Cek riwayat alergi obat 4. Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan

digunakan 5. Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu

analgetik jika telah diresepkan 6. Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID)

berdasarkan tipe dan keparahan nyeri. 7. Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian

analgetik

Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)

Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)

Perubahan dalam nafsu makan dan minum

8. Monitor reaksi obat dan efeksamping obat 9. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang

tidak diinginka. 10. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek

analgetik (konstipasi/iritasi lambung)

3. Manajemen lingkungan : kenyamanan Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan terapeutik Intervensi :

1. Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat 2. Batasi pengunjung 3. Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan

seperti pakaian lembab 4. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih 5. Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman 6. Sediakan lingkungan yang tenang 7. Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan 8. Atur posisi pasien yang membuat nyaman.

2

Cemas Definisi : Perasaan gelisah yang tak jelas dari ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai respon autonom (sumner tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan keprihatinan disebabkan dari antisipasi terhadap bahaya. Sinyal ini merupakan peringatan adanya ancaman yang

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama......x24 jam pasien menunjukan dapat : 1. Mengontrol cemas: Definisi : Tindakan seseorang untuk mengurangi perasaan tertekan/terbebani dan ketegangan dari sumber yang tidak dapat diidentifikasi Indikator :

Monitor intensitas cemas Meghilangkan penyebab

cemas

Menurunkan cemas Definisi : meminimalkan rasa takut, cemas, merasa dalam bahaya atau ketidaknyamanan terhadap sumber yang tidak diketahui Intervernsi:

1. Tenangkan pasien 2. Jelaskan seluruh prosedurt tindakan kepada pasien dan

perasaan yamng mungkin muncul pada saat melakukan tindakan

3. Berusaha memahami keadaan pasien 4. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan tindakan 5. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan dan

meningkatkan kenyamanan 6. Dorong pasien untuk menyampaikan tentang isi perasaannya 7. Kaji tingkat kecemasan

akan datang dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk menyetujui terhadap tindakan. Faktor yang berhubungan : terpapar racun, konflik yang tidak disadari tentang nilai-nilai utama/tujuan hidup, berhubungan dengan keturunan/herediter, kebutuhan tidak terpenuhi, transmisi iterpersonal, krisis situasional/maturasional, ancaman kematian, ancaman terhadap konsep diri, stress, substans abuse, perubahan dalam: status peran, status kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, lingkungan, status ekonomi. Batasan karakteristik: Perilaku :

Produktivitas berkurang

Scanning dan kewaspadaan

Kontak mata yang

Menurunkan stimulus lingkungan ketika cemas

Mencari informasi untuk menurunkan cemas

Gunakan strategi koping efektif

Melaporkan kepada perawat penurunan lama cemas

Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas

Mempertrahankan hubungan sosial

Mempertahankan konsentrasi Melaporkan kepada perawat

tidur cukup

Melaporkan kepada perawat bahwa cemas tidak mempengatruhi keadaan fisik

Tidak adanya tingkahlaku yang menunjukan cemas

Keterangan 1 :Tidak pernah menunjukkan

2 : Jarang menunjukkan

3 : Kadang-kadang

menunjukkan

4 : Sering menunjukkan

5 : Selalu menunjukkan

8. Dengarkan dengan penuh perhatian 9. Ciptakan hubungan saling percaya 10. Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa menimbulkan

kecemasan 11. Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal yang membuat

cemas 12. Ajarkan pasien teknik relaksasi 13. Berikan obat obat yang mengurangi cemas

buruk

Gelisah Pandangan sekilas Pergerakan yang

tidak berhubungan, (misal : berjalan dengan menyeret kaki, pergelangan tangan/lengan

Menunjukkan perhatian seharusnya dalam kejadian hidup

Insomnia Resah

Affektive:

Penyesalan Irritable Kesedihan yang

mendalam

Ketakutan Gelisah, gugup Mudah tersinggung Rasa nyeri hebat dan

menetap

Ketidakberdayaan meningkat

Membingungkan Ketidaktentuan Peningkatan

kewaspadaan

Fokus pada diri Perasaan tidak

adekuat

2. Koping yang baik Definisi : Tindakan untuk mengelola stressor yang menggunakan sumber individu Indikator : Mengenal koping efektif Mengenal koping tak efektif

Memverbalkan kemampuan kontrol

Melaporkan menurunnya stress

Memverbalkan penerimaan terhadap situasi

Mencari informasi yang berkaitan dengan penyakit dan pengobatannya

Modifikasi gaya hidup sesuai kebutuhan

Beradaptasi dengan perubahan perkembangan

Menggunakan support sosial yang memungkinkan

Mengerjakan sesuatu yang menurunkan stress

Mengenal strategi koping multipel

Menggunakan strategi koping efektif

Menghindari situasi penuh stress

Memverbalkan kebutuhan akan bantuan

Mencari pertolongan

Ketakutan Distress Kekhawatiran, prihatin Cemas Fisiologis :

Suara gemetar Gemetar, tangan

tremor

Goyah Respirasi meningkat

(simpatis) Keinginan kencing

(parasimpatis) Nadi meningkat

(simpatis)

Berkeringat banyak Wajah tegang Anorexia (simpatis) Jantung berdetak kuat

(simpatis)

Diare (parasimpatis) Keragu-raguan dalam

berkemih (parasimpatis)

Kelelahan (Simpatis) Mulut kering

(simpatis) Kelemahan (simpatis) Wajah kemerahan

(simpatis)

professional yang sesuai

Melaporkan menurunnya keluhan fisik

Melaporkan menurunnya perasaan negatif

Melaporkan kenyamanan psikologis yang meningkat

Keterangan: 1 :Tidak pernah menunjukkan 2 : Jarang menunjukkan 3 : Kadang-kadang

menunjukkan 4 : Sering menunjukkan 5 : Selalu menunjukkan

3

Ketidakseimbangan

nutrisi: kurang dari

kebutuhan tubuh

Definisi : Intake nutrisi

tidak cukup untuk

keperluan metabolisme

tubuh

Batasan karakteristik :

bawah ideal Dilaporkan adanya

intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily Allowance)

Membran mukosa dan konjungtiva pucat

Kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah

Luka, peradangan pada rongga mulut

Mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan

Dilaporkan atau fakta adanya kekurangan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. X 24 jam klien dapat menunjukkan 1. status nutrisi yang baik Definisi : Nutrisi cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh Indikator :

Masukan nutrisi - Masukan makanan

dan cairan

Tingkat energi cukup Berat badan stabil Nilai laboratorium

Keterangan:

1 : Sangat bermasalah

2 : Cukup bermasalah

3 : Masalah sedang

4 : Sedikit bermasalah

5 : Tidak ada masalah

1. Manajemen Nutrisi

Definisi : membantu dengan atau menyediakan masukan diet seimbang dari makanan dan cairan Intervensi :

1. Catat jika klien memiliki alergi makanan 2. Catat makanan kesukaan klien 3. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan 4. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup 5. Dorong asupan zat besi 6. Tawarkan makanan ringan 7. Berikan gula tambahan k/p 8. Tawarkan bumbu sebagai pengganti garam 9. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang

mudah dikonsumsi 10. Berikan pilihan makanan 11. Sesuaikan diet dengan gaya hidup klien 12. Ajarkan klien cara membuat catatan makanan 13. Monitor asupan nutrisi dan kalori 14. Timbang berat badan secara teratur 15. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan

bagaimana memenuhinya 16. Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan 17. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan

nutrisinya

2. Monitor nutrisi Definisi : mengumpulkan dan menganalisa data dari pasien untuk mencegahatau meminimalkan malnutrisi. Intervensi :

1. BB klien dalam interval spesifik 2. Monitor adanya penurunan BB 3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa

makanan

Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa

Perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan

Miskonsepsi Kehilangan BB dengan

makanan cukup

Keengganan untuk makan

Kram pada abdomen

Tonus otot jelek Nyeri abdominal

dengan atau tanpa patologi

Kurang berminat terhadap makanan

Pembuluh darah kapiler mulai rapuh

Diare dan atau steatorrhea

Kehilangan rambut yang cukup banyak (rontok)

Suara usus hiperaktif Kurangnya informasi,

misinformasi

Faktor yang

berhubungan :

Ketidakmampuan

pemasukan atau

4. Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang mengharuskan makan.

5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan. 6. Monitor lingkungan selama makan. 7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam

makan. 8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi 9. Monitor turgor kulit 10. Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah. 11. Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah,

peningkatan perdarahan, dll. 12. Monitor mual dan muntah 13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht. 14. Monitor kadar limfosit dan elektrolit. 15. Monitor makanan kesukaan. 16. Monitor pertumbuhan dan perkembangan. 17. Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan. 18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan

konjungtiva. 19. Monitor kalori dan intake nutrisi. 20. Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah

dan cavitas oral. 21. Catat jika lidah berwarna merah keunguan.

mencerna makanan atau

mengabsorpsi zat-zat gizi

berhubungan dengan

faktor biologis, psikologis

atau ekonomi.

Post Operasi

1

Nyeri akut

Definisi : Sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan aktual atau potensial, muncul tiba-tiba atau lambat dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang bisa diantisipasi atau diduga dan berlangsung kurang dari 6 bulan. Batasan karakteristik :

Laporan secara verbal atau non verbal adanya nyeri

Fakta dari observasi Posisi untuk

menghindari nyeri

Gerakan melindungi Tingkah laku berhati-

hati Muka topeng

Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama ….x 24 jam,

klien dapat:

1. Mengontol nyeri Definisi : tindakan seseorang untuk mengontrol nyeri. Indikator:

Mengenal faktor-faktor penyebab Mengenal onset/waktu kejadian

nyeri Tindakan pertolongan non-

analgetik Menggunakan analgetik Melaporkan gejala-gejala kepada

tim kesehatan (dokter, perawat)

Nyeri terkontrol

Keterangan: 1 = tidak pernah dilakukan

2 = jarang dilakukan

3 = kadang-kadang dilakukan

4 = sering dilakukan

5 = selalu dilakukan

2. Menunjukkan tingkat nyeri Definisi : tingkat keparahan dari nyeri yang dilaporkan atau ditunjukan

1.

1. Manajemen Nyeri Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat kenyamanan yang dapat diterima pasien Intervensi:

1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus

2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif

3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran 4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat

mengekspresikan nyeri 5. Kaji latar belakang budaya klien 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas

hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan, pekerjaan, tanggungjawab peran

7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri kronis

8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan

9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga 10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa

lama terjadi, dan tindakan pencegahan 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur ruangan, penyinaran, dll)

12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,

Terfokus pada diri sendiri

Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)

Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)

Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)

Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)

Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis,

Indikator:

Melaporkan nyeri Frekuensi nyeri Lamanya episode nyeri Ekspresi nyeri: wajah Posisi melindungi tubuh Kegelisahan Perubahan Respirasirate Perubahan Heart Rate

Perubahan tekanan Darah Perubahan ukuran Pupil Perspirasi Kehilangan nafsu makan

Keterangan:

1 : berat

2 : agak berat

3 : sedang

4 : sedikit

5 : tidak ada

guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase)

14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan

15. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga 16. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa

lama terjadi, dan tindakan pencegahan 17. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur ruangan, penyinaran, dll)

18. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri 19. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,

guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase)

20. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri 21. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon

klien 22. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup 23. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri

secara tepat 24. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi

keluhan 25. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota

keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan preventif

26. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri

2. Pemberian Analgetik Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri. Intervensi:

Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan

keparahan sebelum pengobatan

Berikan obat dengan prinsip 5 benar Cek riwayat alergi obat Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan

digunakan

Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu analgetik jika telah diresepkan

Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri

Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian analgetik

Monitor reaksi obat dan efeksamping obat Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang

tidak diinginkan

Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek analgetik (konstipasi/iritasi lambung)

3. Manajemen lingkungan : kenyamanan Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan terapeutik Intervensi : Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat Batasi pengunjung

Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan seperti pakaian lembab

Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman Sediakan lingkungan yang tenang

Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan Atur posisi pasien yang membuat nyaman.

2

Resiko infeksi

Definisi : Peningkatan

resiko masuknya

organisme patogen

Faktor-faktor resiko :

Prosedur Invasif Ketidakcukupan

pengetahuan untuk menghindari paparan patogen

Trauma Kerusakan jaringan

dan peningkatan paparan lingkungan

Ruptur membran amnion

Agen farmasi (imunosupresan)

Malnutrisi Peningkatan paparan

lingkungan patogen

Imonusupresi Ketidakadekuatan

imum buatan

Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama … x 24 jam,

klien menunjukan

1. Pengetahuan klien tentang kontrol infeksi meningkat

Definisi : Tindakan untuk mengurangi ancaman kesehatan secara aktual dan potensial Indikator:

Menerangkan cara-cara penyebaran

Menerangkan factor-faktor yang berkontribusi dengan penyebaran

Menjelaskan tanda-tanda dan gejala

Menjelaskan aktivitas yang dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi

Keterangan:

1 : Tidak pernah menunjukkan

2 : Jarang menunjukkan

3 : Kadang-kadang menunjukkan

4 : Sering menunjukkan

5 : Selalu menunjukkan

1. Kontrol Infeksi Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen infeksi Intervensi : 1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh

klien 2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan 3. Batasi jumlah pengunjung 4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu 5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat 6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan 7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan

setelah meninggalkan ruangan klien 8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien 9. Lakukan universal precautions 10. Gunakan sarung tangan steril 11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV 12. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat 13. Tingkatkan asupan nutrisi 14. Anjurkan asupan cairan 15. Anjurkan istirahat 16. Berikan terapi antibiotik 17. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala

dari infeksi 18. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah

infeksi

inflamasi)

Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik)

Penyakit kronik

2. Pengetahuan tentang deteksi resiko meningkat

Definisi : Tindakan untuk mengidentifikasi ancaman kesehatan Indikator : Mengenali tanda dan gejala

yang mengindikasikan resiko

Mengidentifikasi resiko kesehatan potensial

Mencari pembenaran resiko yang dirasakan

Memeriksakan diri pada interval waktu yang ditentukan

Berpartisipasi dalam screening pada interval waktu yang ditentukan

Mengetahui keadaan kesehatan keluarga saat ini

Selalu mengetahui / memonitor keadaan kesehatan keluarga

Selalu mengetahui / memonitor kesehatan diri

Menggunakan sumber-sumber informasi untuk tetap mendapatkan informasi tentang resiko potensial

Menggunakan sarana pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan

Keterangan:

1 : Tidak pernah menunjukkan

2 : Jarang menunjukkan

3 : Kadang-kadang menunjukkan

2. Proteksi infeksi Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen infeksi Intervensi : 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain 2. Pertahankan teknik isolasi 3. Batasi pengunjung bila perlu 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat

berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai

dengan petunjuk umum 10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi

kandung kencing 11. Tingktkan intake nutrisi 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu

4 : Sering menunjukkan

5 : Selalu menunjukkan

3. Status nutrisi yang baik, Definisi : Nutrisi cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh Indikator :

Masukan nutrisi Masukan makanan dan cairan Tingkat energi cukup Berat badan stabil Nilai laboratorium

Keterangan:

1 : Sangat bermasalah

2 : Cukup bermasalah

3 : Masalah sedang

4 : Sedikit bermasalah

5 : Tidak ada masalah

4. Luka sembuh, dengan Indikator:

Kulit utuh Berkurangnya drainase purulen Drainase serousa pada luka

berkurang

Drainase sanguinis pada luka berkurang

Drainase serosa sangunis pada luka berkurang

Drainase sangunis pada drain

3. Manajemen Nutris Definisi : membantu dengan memberikan diet makanan dan cairan yang seimbang.

Intervensi :

1. Tanyakan pada klien tentang alergi terhadap makanan 2. Tanyakan makanan kesukaan klien 3. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah kalori dan

nutrisi yang dibutuhkan 4. Anjurkan masukan kalori yang tepat yang sesuai dengan

gaya hidup 5. Anjurkan peningkatan masukan zat besi yang sesuai 6. Anjurkan peningkatan masukan protein dan vitamin C 7. Anjurkan untuk banyak makan buah dan minum 8. Pastikan diit tidak menyebabkan konstipasi 9. Berikan klien diit tinggi protein, tinggi kalori

berkurang

Drainase serosasanguinis pada drain berkurang

Eritema disekitar kulit berkurang Edema sekitar luka berkurang Suhu kulit tidak meningkat Luka tidak berbau

3

Kurang pengetahuan

tentang : penyakit,

diet, pengobatan

Definisi : tidak adanya

atau kurangnya informasi

kognitif sehubungan

dengan topik spesifik

Batasan karakteristik :

memverbalisasikan

adanya masalah,

ketidakakuratan mengikuti

instruksi, perilaku tidak

sesuai.

Faktor yang

berhubungan :

keterbatasan kognitif,

interpretasi terhadap

informasi yang salah,

kurangnya keinginan

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama 1 x 24 jam

pengetahuan klien dan keluarga

meningkat tentang:

1. Proses penyakit dengan Indikator:

Mengenal nama penyakit Menjelaskan proses penyakit Menjelaskan penyebab/fakor

yang berkontribusi

Menjelaskan factor-faktor resiko

Menjelaskan efek dari penyakit Menjelaskan tanda-tanda dan

gejala

Menjelaskan tentang komplikasi dan tanda gejalanya

Menjelaskan tentang perawatan dirumah

Keterangan:

1 : tidak pernah

2 : terbatas

1. Pendidikan kesehatan: Proses penyakit

Intervensi :

1. Gali pengetahuan tentang proses penyakit 2. Jelaskan patofisiologi penyakit 3. Jelaskan tanda dan gejala penyakit 4. Terangkan proses penyakit 5. Identifikasi proses kemungkinan penyebab 6. Berikan informasi tentang kondisi pasien 7. Hindari memberi harapan palsu 8. Berikan informasi kondisi pasien pada keluarga 9. Diskusikan perubahan gaya hidup untuk mencegah

komplikasi di masa depan 10. Diskusikan pilihan terapi 11. Terangkan rasional tindakan 12. Terangkan komplikasi kronik 13. Terangkan tanda dan gejala yang harus dilaporkan 14. Jelaskan cara mencegah atau meminimalkan efek

samping penyakit.

untuk mencari informasi,

tidak mengetahui sumber-

sumber informasi.

3 : sedang

4 : Sering

5 : Selalu

2. Diet, dengan indikator: Menggambarkan diet yang

dianjurkan Menyebutkan keuntungan dari

mengikuti anjuran diet

Menyebutkan tujuan dari diet yang yang dianjurkan

Menyebutkan makanan-makanan yang diperbolehkan dalam diet

Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang

Memilih makanan-makanan yang dianjurkan dalam diet

Keterangan:

1 : Tidak pernah

2 : Terbatas

3 : Sedang

4 : Luas

5 : Sangat luas

3. Pengobatan, dengan indikator:

Menggambarkan metode pengobatan yang tepat

Menggambarkan tindakan-

2. Ajarkan : Diet Intervensi :

1. Kaji pengetahuan klien tentang diet yang dianjurkan 2. Tentukan sikap keluarga klien terhadap diet 3. Jelaskan tujuan diet 4. Informasikan berapa lama diet harus diikuti 5. Anjarkan klien tentang makanan yang boleh dan

tidak boleh dimakan 6. Bantu klien untuk mencatat makanan kesukaan

dalam diet yang dianjurkan 7. Observasi pilihan makanan klien sesuai dengan diet

yang dianjurkan 8. Anjurkan membuat rencana makan 9. Dorong untuk mengikuti informasi yang diberikan

oleh tenaga kesehatan lain 10. Konsul ahli gizi 11. Libatkan keluarga

3. Ajarkan : pengobatan Intervensi :

1. Jelaskan klien utk mengenal karakteristik obat 2. Informasikan nama generik dan nama dagang 3. Jelaskan tujuan dan kerja obat 4. Jelaskan dosis, rute dan durasi obat 5. Evaluasi kemampuan klien menggunakan obat 6. Ajarkan klien untuk melakukan prosedur sebelum

minum obat 7. Informasikan apa yang dilakukan jika dosis obat

hilang

tindakan dalam pengobatan

Menggambarkan efek samping dalam pengobatan

Menyebutkan interakasi obat dengan agen yang lainnya

Menyebutkan rute pemberian obat yang tepat

Keterangan :

1 : Tidak pernah

2 : Terbatas

3 : Sedang

4 : Luas

5 : Sangat luas

8. Informasikan akibat tidak minum obat 9. Informasikan efek samping obat 10. Jelaskan tanda dan gejala over dosis obat 11. Jelaskan cara menyimpan obat 12. Jelaskan interaksi obat 13. Jelaskan cara mencegah atau mengurangi efek

samping obat 14. Berikan informasi tertulis tentang aksi, tujuan, efek

samping obat, dll

4

Defisit Perawatan Diri

(kurang perawatan diri :

mandi, berpakaian,

makan, dan toileting)

Definisi : Gangguan

kemampuan untuk

melakukan ADL pada diri

Batasan karakteristik :

ketidakmampuan untuk

mandi, ketidakmampuan

untuk berpakaian,

ketidakmampuan untuk

makan, ketidakmampuan

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama … x 24 jam,

klien mampu melakukan perawatan

diri: Activities of Daily Living (ADL),

dengan indikator:

makan berpakaian toileting mandi berhias hygiene oral hygiene ambulasi: berjalan ambulasi: wheelchair transfer performance

1. Bantu dalam perawatan diri (mandi, berpakaian, berhias, makan, toileting)

Definisi : membantu pasien untuk memenuhi ADL Intervensi :

1. Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.

2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.

3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.

4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki.

5. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.

6. Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian,

untuk toileting

Faktor yang

berhubungan :

kelemahan, kerusakan

kognitif atau perceptual,

kerusakan

neuromuskular/ otot-otot

saraf.

Keterangan:

1: bergantung total

2 : dibantu orang dan alat

3 ; dibantu orang

4 : dibantu alat

5: mandiri

untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.

7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan. 8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan

aktivitas sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.

2. Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.

3. DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New

York: Delmar.

4. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., (1999), Rencana asuhan

keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan

pasien. Edisi 3. EGC: Jakarta.

5. IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH di

Indonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 17 Februari

2015).

6. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.

Komnas Lansia: Jakarta

7. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan kaum

renta. Style sheet:

http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid =26.

(Diunduh 16 Februari 2015)

8. Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius,

Jakarta.

9. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting the

health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier

10. Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract

symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder Dysfunct

Rep, 5:212–218.

11. Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.

12. Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:

http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-kota.html.

(Diunduh 16 Februari 2015).

13. Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,

pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th

ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.

14. Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal

782–786): Jakarta

15. Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical

surgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

16. Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri:

Mosby

17. Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi

9. EGC : Jakarta