38
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Definisi Cedera Kepala Cedera kepala merupakan cedera yang bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak. Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Ayu, 2010). 3

LP Cedera Kepala

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan pendahuluan cedera kepala

Citation preview

Page 1: LP Cedera Kepala

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN CEDERA KEPALA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala merupakan cedera yang bisa disebabkan oleh

percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau

karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek

yang tidak bergerak.

Cedera

kepala

( trauma

capitis)

adalah

cedera

mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang

mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan

selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan

gangguan neurologis (Ayu, 2010).

Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma

kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering terjadi

dan menyebabkan penyakit neurologhik yag cukup serius diakibatkan oleh

kecelakaan di jalan raya. Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah

kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon

terhadap cedera dan memnyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

(Smeltzer dan Bare, 2002).

3

Page 2: LP Cedera Kepala

Cedera kulit kepala menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma di

bagian ini dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.

Suntikan prokain melalui subkutan dapat membuat luka menjadi mudah

dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda

asing dan meminimalisir masuknya mikroorganisme yang menyebabkan

infeksi.

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak

yang disebabkan oleh trauma. Hal ini dapat terjadi disertai atau tanpa

kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan

dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan menjadi

terbuka dan tertutup. Jika terjadi fraktur tengkorak terbuka dipastikan

lapisan duramater otak rusak, namun jika fraktur tengkorak tertutup,

duramater kemungkinan tidak rusak. (Smeltzer dan Bare, 2002).

Jenis cedera kepala berdasarkan lokasi terjadinya yang terakhir

adalah cedera otak. Otak merupakan salah satu bagian terpenting dalam

tubuh kita dan kejadian minor dapat membuat otak mengalami kerusakan

yang bermakna. Otak menjadi tidak dapat menyimpan oksigen dan

glukosa jika mengalami kerusakan yang cukup bermakna. Sel-sel serebral

membutuhkan suplai darah terus-menerus untuk memperoleh makanan.

Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati diakibatkan karena darah

yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja, dan kerusakan neuron

tidak dapat mengalami regenerasi.

2. Penyebab Cedera Kepala (Smeltzer, Bare, 2002)

a. Trauma tajam

Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan

robeknya otak. Misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

b. Trauma tumpul

Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat

sifatnya.

4

Page 3: LP Cedera Kepala

c. Cedera akselerasi

Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh

pukulan maupun yang bukan pukulan.

d. Kontak benturan.

Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak suatu obyek.

e. Kecelakaan lalu lintas

f. Jatuh

g. Kecelakaan kerja

h. Serangan yang disebabkan karena olahraga

i. Perkelahian

Berikut jenis etiologi berdasarkan kerusakan spesifik pada kepala :

(Tabel 1.1 Jenis etiologi berdasarkan kerusakan spesifik pada kepala)

Jenis cedera Mekanisme

Coup dan

countrecoup

Objek yang membentur bagian depan (coup) atau bagian

belakang (countrecoup) kepala; objek yang membentur

bagian samping kepala (coup atau countrecoup); kepala

yang mengenai objek dengan kecepatan rendah

Hematom

ekstradural

Kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, kecelakaan saat olahraga

Hematom

subdural

Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada orang

berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol

yang kronik

Perdarahan

intracerebral

Kontusi yang disebabkan oleh gaya dengan kekuataan

yang besar, biasanya akibat kecelakaan lalu lintas atau

terjatuh dari jarak yang jauh

Fraktur campuran Objek yang mengenai kepala dengan kekuatan yang besar

5

Page 4: LP Cedera Kepala

atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat;

fraktur tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak

ke arah atas dari vertebra cervical (fraktur dasar tulang

tengkorak)

Cedera penetrasi Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah

es, kapak, baut)

Cedera aksonal

difus

Kepala yang sedang bergerak dan membentur permukaan

yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur

kepala yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas

(saat kerja atau pejalan kaki); gerakan kepala memutar

3. Klasifikasi Cedera Kepala

a. Menurut Patologi

1) Cedera kepala primer, merupakan akibat cedera awal. Cedera awal

menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel

di area tersebut, yang menyebabkan kematian sel.

2) Cedera kepala sekunder, merupakan cedera yang menyebabkan

kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga

meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon fisiologis

cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan

perubahan hemodinamis serebral, iskemia serebral, hipotensi

sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.

b. Menurut Jenis Cedera

1) Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang

tengkorak dan jaringan otak.

2) Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger

otak ringan dan oedem serebral yang luas.

c. Menurut Berat Ringannya Berdasarkan GCS (Gasglow Coma Scale)

6

Page 5: LP Cedera Kepala

1) Cedera Kepala Ringan (kelompok risiko rendah)

a) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)

b) Kehilangan kesadaran/amnesia tetapi kurang 30 menit

c) Tak ada fraktur tengkorak

d) Tak ada contusio serebral (hematom)

e) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang

f) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

g) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit

kepala

h) Tidak adanya criteria cedera sedang-berat

2) Cedera Kepala Sedang

a) GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

b) Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam

(konkusi)

c) Dapat mengalami fraktur tengkorak

d) Amnesia pasca trauma

e) Muntah

f) Kejang

3) Cedera Kepala Berat

a) GCS 3-8 (koma)

b) Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran

progresif)

c) Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial

d) Tanda neurologist fokal

e) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur cranium

d. Menurut Morfologi

1) Fraktur tengkorak

Kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup

Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa

kelumpuhan nervus VII

2) Lesi intracranial

7

Page 6: LP Cedera Kepala

Fokal: epidural, subdural, intraserebral

Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus

4. Gejala Klinis Cedera Kepala

Menurut Krisanty dkk, 2009 manifestasi klinik cedera kepala sebagai

berikut:

a. Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah atau iritable,papil

edema, muntah proyektil. Penurunan fungsi neurologis seperti:

perubahan bicara perubahan reaksi pupil, sensori,motorik berubah.

Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia).

b. Fraktur tengkorak: CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung,

perdarahan dibelakang membran timpani, periorbital ekhimosis,

battle’s sign (memar di daerah mastoid).

c. Kerusakan saraf kranial dan telinga tengah dapat terjadi saat

kecelakaan atau setelah terjadi kecelakaan: perubahan penglihatan

akibat kerusakan nervus optikus, pendengaran berkurang akibat

kerusakan auditory, hilangnya daya penciuman akibat kerusakan

nervus olfaktorius, pupil dilatasi, ketidakmamuan mata bergerak akibat

kerusakan nervus okulomotor, vertigo akibat kerusakan otolith di

telinga tengah, nistagmus karena kerusakan sistem vestibular.

d. Komosio serebri: sakit kepala sampai pusing, retrograde amnesia, tidak

sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit.

e. Kontusio serebri: Kotusio serebri, tergantung area hemisfer otak yang

terkena. Kontusio pada lobus temporal: agitasi, confuse. Kontusio

frontal: hemiparese, klien sadar. Kontusio frototemporal: aphasia.

Kontusio batang otak, respon segera menghilang dan pasien koma,

penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari-hari, bila kerusakan berat,

pada sistem ritcular terjadi comatuse. Pada perubahan tingkat

kesadaran respirasi dapat normal/periodik/cepat. Pupil simetris,

kontriksi dan reaktif, kerusakan pada batang otak bagian atas pupil

abnormal, tidak ada gerakan bola mata.

5. Pemeriksaan Diagnostik

8

Page 7: LP Cedera Kepala

a. CT Scan (tanpa/dengan kontras)

Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler,

pergeseran jaringan otak.

b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Sama dengan CT Scan dengan / tanpa kontras. Menggunakan medan

magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur frekuensi radio

radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra

MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor, infark dan kelainan

pada pembuluh darah.

c. Angiografi serebral

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan

otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan untuk

mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral vaskuler.

d. Angiografi Substraksi Digital

Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik

komputerisasi untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa gangguan

dari tulang dan jaringan lunak di sekitarnya.

e. EEG

Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang

patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik

lapisan superfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di

luar tengkorak pasien.

f. ENG (Elektronistagmogram)

Merupakan pemeriksaan elekro fisiologis vestibularis yang dapat

digunakan untuk mendiagnosis gangguan system saraf pusat.

g. Sinar X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran

struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen

tulang.

h. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi)

Menentukan fungsi korteks dan batang otak.

i. PET (Positron Emmision Tomografi)

9

Page 8: LP Cedera Kepala

Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme batang otak.

j. Fungsi lumbal, CSS

Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subaraknoid.

k. GDA (Gas Darah Arteri)

Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan

meningkatkan TIK.

l. Kimia / elekrolit darah

Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK

/ perubahan mental.

m. Pemeriksaan toksilogi

Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap

penurunan kesadaran.

n. Kadar anti konvulsan darah

Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif

untuk mengatasi kejang.

(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)

6. Penalataksanaan Medis (Smeltzer, 2001; Long, 1996)

a. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema

serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi

vasodilatasi.

c. Pemberian analgetik.

d. Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu manitol

20% glukosa 40% atau gliserol.

e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau

untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.

f. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18

jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian

diberikan makanan lunak.

g. Pembedahan.

7. Komplikasi Cedera Kepala

10

Page 9: LP Cedera Kepala

Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma

intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi

dari cedera kepala adalah:

a. Peningkatan TIK

Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh

hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK)

dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah

serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat

kerusakan otak iskemik. Pengendalian TIK yang berhasil mampu

meningkatkan outcome yang signifikan. Telah dikembangkan

pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang lebih akurat

dan non invasive. Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa

menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan

mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.

TIK yang normal: 5-15 mmHg

TIK Ringan : 15 – 25 mmHg

TIK sedang : 25-40 mmHg

TIK berat : > 40 mmHg

Sebagian besar CSF diproduksi oleh pleksus choroidalis dari

ventrikulus lateralis, sisanya dihasilkan oleh jaringan otak

kemudian dialirkan langsung ke rongga sub arachnoid untuk

diabsorpsi lewat vili arachnoid di sagitalis.

Pengikatan/penghilangan pleksus choroidalis akan menurunkan

CSF 60%. Produksi CSF 0,3 – 0,5 cc/menit (450-500 cc/hari).

Karena hanya ada volume 150cc CSF di otak dewasa, jadi ada 3

kali penggantian CSF selama sehari. Produksi CSF bersifat konstan

dan tidak tergantung tekanan. Variasi pada TIK tidak

mempengaruhi laju produksi CSF. Absorpsi CSF secara langsung

dipengaruhi oleh kenaikan TIK. Tempat utama penyerapan CSF,

vili arachnoidalis (merupakan suatu katub yang diatur oleh

tekanan). Bila fungsi katub rusak / jika tekanan sinus vena

meningkat, maka absorpsi CSF menurun, maka terjadilah

11

Page 10: LP Cedera Kepala

peningkatan CSF. Obstruksi terutama terjadi di aquaductus Sylvii

dan cisterna basalis. Kalau aliran CSF tersumbat mengakibatkan

hidrocephalus tipe obstruktif.

b. Iskemia

Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat

menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal. Otak

merupakan jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga

episode iskemik yang sangat singkat pada neuron akan

menginduksi serangkaian lintasan metabolisme yang berakhir

dengan apoptosis. Iskemia otak diklasifikasikan menjadi dua

subtipe yaitu iskemia global dan fokal. Pada iskemia global,

setidaknya dua, atau empat pembuluh cervical mengalami

gangguan sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat

kemudian. Pada iskemia fokal, sirkulasi darah pada pembuluh nadi

otak tengah umumnya terhambat oleh gumpalan trombus sehingga

memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma terhambatnya sirkulasi

darah oleh gumpalan trombus disebut vascular occlusion.

(Wikipedia.org)

c. Perdarahan otak

1) Epidural hematom: Terdapat pengumpulan darah diantara

tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh

darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di

duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri

karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam

sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus

temporalis dan parietalis.

Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala,

muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan

dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi,

peningkatan suhu.

12

Page 11: LP Cedera Kepala

2) Subdural hematoma: Terkumpulnya darah antara duramater

dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat

pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya

terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.

Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan

kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik

diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.

3) Perdarahan intraserebral

Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah

arteri, kapiler, vena.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,

komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil,

perubahan tanda-tanda vital.

4) Perdarahan subarachnoid

Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya

pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada

cedera kepala yang hebat.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,

hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

(Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)

d. Kejang pasca trauma.

Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi

di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-

42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma

penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi

kranium, kontusio serebri, GCS <10.

e. Demam dan mengigil

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism

dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan

cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen,

13

Page 12: LP Cedera Kepala

neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan

hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.

f. Hidrosefalus

Berdasarkan lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan

dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi

pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan

terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala

klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil

udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.

g. Spastisitas

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada

kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN.

Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan

ditujukan pada pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan

kontraktur, bantuan dalam posisioning. Terapi primer dengan

koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting,

casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum,

benzodiasepin

h. Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal

dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.

Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat

yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain

dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik,

buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi

lingkungan.

i. Mood, tingkah laku dan kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding

gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian

Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih

terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk

problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue)

14

Page 13: LP Cedera Kepala

72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%,

gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi

kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif.

Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem

gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine,

amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan

fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah

laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-

50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita,

beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku

dapat membaik dengan antidepresan.

j. Sindroma post kontusio

Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera

kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan

15% pada tahun pertama.

Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual,

mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif:

perhatian, konsentrasi, memori

Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan

a. Anamnesis

Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada

gangguan sitem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala

bergantung pada bentuk, lokasi, jenis cedera, dan adanya komplikasi

pada organ vital lainnya. Anamnesis pada cedera kepala meliputi :

keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,

dan penyakit psikososial.

15

Page 14: LP Cedera Kepala

1) Keluhan Utama

Sering menjadi alasan klien untuk menerima pertolongan

kesehatan tergantung seberapa jauh dampak dari trauma kepala

disertai penurunan tingkat kesadaran.

2) Riwayat Penyakit Sekarang

Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat kecelakaan

lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala.

Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS

< 15%), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris

atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada

saluran pernapasan, adanya likuor dari hidung dan telinga, serta

kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran

dihubungkan dengan perubahan di dalam intracranial. Keluhan

perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan

penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma. Perlu

ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila

klien tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan

penggunaan alcohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang

suka ngebut-ngebutan.

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat

hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus,

penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan,

aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol

berlebihan.

4) Riwayat Penyakit Keluarga

Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang men-derita

hipertensi dan diabetes melitus.

5) Pengkajian Psikososiospiritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai

respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan

perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon

16

Page 15: LP Cedera Kepala

atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam

keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang

timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan,

berasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas

secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah

(gangguan body image). Adanya perubahan hubungan dan peran

karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat

gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien

merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak

kooperatif. Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, keadaan

ini mungkin memberi dampak pada status ekonomi klien, akibat

biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak

sedikit. Cedera kepala memerlukan biaya untuk pemeriksaan,

pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga

sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas, emosi dan

pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian

terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis

yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif

keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah :

keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam

hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan

yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam

sistem dukungan individu.

b. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan

klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari

pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara

persistem (B1-B4) dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan

B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari

klien.

17

Page 16: LP Cedera Kepala

Keadaan Umum:

Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan

kesadaran (cedera kepala ringan, GCS : 13-15); cedera kepala sedang

GCS : 9-12; cedera kepala berat, bila CGS kurang atau sama dengan 8)

dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.

1) B1 (Breathing)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari

perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa

keadaan hasil dari pemerikasaan fisik sistem ini akan didapatkan

hasil seperti dibawah ini.

a) Inspeksi didapat klien batuk, peningkatan produksi sputum,

sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan

frekwensi pernapasan. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak

penuh dan kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga

perlu dinilai: retraksi dari otot-otot intercostal, subtrernal,

pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi

abdomen saat respirasi). Pola napas paradoksal dapat terjadi

jika otot-otot intercostal tidak mampu menggerakkan dinding

dada.

b) Pada palpasi, premitus menurun dibandingkan dengan sisi yang

lain akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga

thorak.

c) Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan

melibatkan trauma pada thorak/hemathoraks.

d) Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi,

stridor, ronkhi, pada klien dengan peningkatan produksi secret,

dan kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada

klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.

Pada klien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pusat

pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan

biasanya klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi

klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera kepala berat dengan

18

Page 17: LP Cedera Kepala

pemasangan ventilator secara konprehensif merupakan jalur

keperawatan kritis. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos

mentis, pengkajian pada inspeksi pernapasan tidak ada kelainan.

Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan kiri.

Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.

2) B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok

hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang

dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala

pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau

berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekwensi nadi

cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam

upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi

brakikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak.

Kulit kelihatan pucat menunjukan adanya penurunan kadar

hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya

perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari syok. Pada

beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang

pelepasan antidiuretic hormone yang berdampak pada kompensasi

tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air

oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsenttrasi

elektrolik sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskular.

3) B3 (Brain)

Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama

akibat pengaruh peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan

adanya perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural,

dan epidural. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus

dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

a) Pengkajian Tingkat Kesadaran

Tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan

adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem

19

Page 18: LP Cedera Kepala

pernapasan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat

peningkatan perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala

biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa

sampai koma.

b) Pengkajian Fungsi Serebral

Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, lobus

frontal, dan hemisfer.

(1) Status mental. Observasi penampilan, tingkah laku klien,

nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik

klien. Pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status

mental klien mengalami perubahan.

(2) Fungsi itelektual. Pada beberapa keadaan klien cedera

kepala didapatkan penurunan dalam memori, baik jangka

pendek maupun jangka panjang.

(3) Lobus frontal. Kerusakan fungsi kognitif dan efek

psikologis di dapatkan jika trauma kepala mengakibatkan

adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas memori,

atau kerusakan fungsi intelektual kontikal yang lebih tinggi.

Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang perhatian

terbatas, kesullitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang

motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah

frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah

psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan

oleh emosi yang labil bermusuhan frekwensi, dendam, dan

kurang kerjasama.

(4) Hemisfer. Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan

hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan

mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga

kemungkinan terjatuh kee sisi yang berlawanan tersebut.

cedera kepala yang hemisfer kiri, mengalami hemiparese

kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan

20

Page 19: LP Cedera Kepala

bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan

mudah frustasi.

c) Pengkajian Saraf Kranial

Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf kranial I-XII.

(1) Saraf I : Pada beberapa keadaan cedera kepala diarea yang

merusak fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan

pada fungsi penciuman/anasmea unilateral atau bilateral.

(2) Saraf II : Hematoma palpebra pada klien cedera kepala

akan menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi

saraf optikus. Perdarahan di ruang intrakranial, terutama

hemo-ragia sub araknoidal, dapat disertai perdarahan di

retina. Anomali pembuluh darah di dalm otak dapat

bermanifestasi juga di fundus. Akan tetapi, dari egala

macam kelainan di dalam ruang intrakranial, tekanan

intrakranial dapat dicerminkan pada fundus.

(3) Saraf III, IV, dan VI : Gangguan mengangkat kelopak mata

terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga

orbita. Pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai

anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius

jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda

dini herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi

pada penyinaran. Paralisis otot okular akal menyusul pada

tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat

anisoskoria, bukan midriasis, melainkan miosis yang

bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi lain,

maka pupil yang miotik adalah abnoirmal. Miosis ini

disebakan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang

mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti

pusat siliospinal menjadi tidak aktif, sehingga pupil tidal

berdilatasi melainkan berkonstriksi.

21

Page 20: LP Cedera Kepala

(4) Saraf V : Pada beberapa keadaan cedera kepal menye-

babkan paralisis saraf trigeminus, didapatka penurunan

kemampuanm koordiansi gerakan mengunyah.

(5) Saraf VII : Persepsi pengecapan mengalami perubahan.

(6) Saraf VIII : Perubahan fungsi pendengaran pada klien

cedera kepala ringan biasanya tidak diadapatkan apabila

trauma yang terjadi tidak melinbatkan saraf vestibulo

koklearis.

(7) Saraf IX dan X : Kemampuan menelan kurang baik dan

kesulitan membuka mulut.

(8) Saraf XI : Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobi-

litas klien cukup baik serta tidak ada atrofi otot sterno-

kleidomastoideus dan trapezius.

(9) Saraf XII : Indera pengecap mengalami perubahan.

d) Pengkajian Sistem Motorik

Pada inspeksi umum, di dapatkan hemiplegia karena lesi pada

sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah

satu sisi tubuh, adalah tanda lain.

(1) Tonus otot : Didapatkan menurun samapai hilang.

(2) Kekuatan otot : Pada penilaian ini dengan menggunakan

tingkat kekuatan otot didapatkan tingkat 0.

(3) Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami

gangguan kaena hemiparese dan hemiplegia.

e) Pengkajian Refleks

Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon,

ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon

normal. Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks

fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa

hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan

refleks patologis.

22

Page 21: LP Cedera Kepala

f) Pengkajian Sistem Sensorik

Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terjadi

ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi

persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara

mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial

(mendapat-kan hubungan dua atau lebih objek dalam area

spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.

Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa

kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan

kehilangan propriosepsi(kemampuan untuk merasakan posisi

dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam

menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.

4) B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,

termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan

peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi

pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami

inkontinensia urine karena konfusi, kemampuan

mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk

menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol

motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius

eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan

kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine

yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

5) B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan

menurun, mual, dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah

dihubungakan dengan peningkatan produksi asam lambung

sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi

biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.

Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan

neurologi luas. Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan

23

Page 22: LP Cedera Kepala

penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah

dapat menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus

untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus

dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun

atau hilang dapat terjadi pada paralitik ilues dan peritonitis.

Lakukan observasi bising usus selama ±2 menit. Penurunan

motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal

dari sekitar slang indotrakeal dan nasotrakeal.

6) B6 (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh

ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.

Adanya perubahan warna kulit ; warna kebiruan menunjukkan

adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir,

dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa

dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok.

Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat

terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit

dapat menunjukkan adanya demam, dan infeksi. Integritas kulit

untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk

beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau

paralise/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola

aktivitas dan istirahat.

c. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera

kepala, meliputi hal-hal di bawah ini:

1) CT-scan (dengan tanpa kontraksi)

2) MRI

3) Angiografi Serebral

4) EEG berkala

5) Foto Rontgen

6) PET

7) Pemeriksaan CFS

24

Page 23: LP Cedera Kepala

8) Kadar elektrolit

9) Skrining toksitologi

10) Analisa Gas Darah

2. Diagnosis Keperawatan pada Pasien dengan Cedera Kepala

Menurut Arif Muttaqin (2008), diagnosis keperawatan terkait dengan

cedera kepala, yaitu :

a. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan depresi pada

pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi

paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan dan

perubahan perbandingan O2 dengan CO2, serta kegagalan ventilator.

b. Nyeri akut yang berhubungan dengan agen injuri fisik trauma jaringan

dan reflek spasme otot sekunder.

c. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan

edema pada otak.

d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang

berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan,

peningkatan kebutuhan metabolisme.

25

Page 24: LP Cedera Kepala

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer. 2000. Kapita Selekta ed 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: IAPK Pajajaran

Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3.

Jakarta: EGC

Elizabeth J. Corwin. 1996. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Hudak dan Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Meg Gulanik. 1994. Nursing Care Plans. New York: Mosby

Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Price, Sylvia A. 2002. Patofisiologi: Konsep klinis Proses-proses penyakit.

Jakarta : EGC

Swear Ingen. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta :

EGC

26