34
LAPORAN PENDAHULUAN CVA – SAH (Cerebrovascular Accident - Subarachnoid Hemorrhage) Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medikal di Ruang 26 Stroke RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang OLEH: Yananda Maulina NIM. 105070200111007

LP CVA-SAH.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LP CVA-SAH.doc

LAPORAN PENDAHULUAN

CVA – SAH(Cerebrovascular Accident - Subarachnoid Hemorrhage)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medikaldi Ruang 26 Stroke RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang

OLEH:

Yananda MaulinaNIM. 105070200111007

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA

2015

Page 2: LP CVA-SAH.doc

CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE

(CVA-SAH)

1. DEFINISI

Stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu pada setiap gangguan neurologik mendadak

yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak.

( Sylvia A. Price, 2006 )

Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) pada tahun 2009

mendefinisikan subarakhnoid hemorrhage (SAH) adalah stroke perdarahan dimana darah dari

pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid yaitu ruang di antara lapisan dalam (Pia mater)

dan lapisan tengah (arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges). Penyebab paling

umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam arteri basal otak atau pada sirkulasi willisii.

2. EPIDEMIOLOGI

Stroke perdarahan subarachnoid memiliki kasus yang signifikan di seluruh dunia,

menyebabkan kecacatan dan kematian. Terjadi sekitar 5-15% dari kejadian seluruh kejadian

stroke. Perdarahan Subarachnoid biasanya didapatkan pada usia dewasa muda baik pada laki-laki

maupun perempuan. Insidens perdarahan subarachnoid meningkat seiring umur dan lebih tinggi

pada wanita daripada laki-laki. Populasi yang terkena kasus perdarahan subarachnoid bervariasi

dari 6 ke 16 kasus per 100.000, dengan jumlah kasus tertinggi di laporkan di Finlandia dan

Jepang. Selama kehamilan, resiko untuk terjadinya rupture malformasi arteriovenous meningkat,

terutama pada trimester ketiga kehamilan.

3. ETIOLOGI

Dewanto et all (2009) menyebutkan bahwa etiologi perdarahan subarakhnoid meliputi:

1. Ruptur aneurisma sakular (70-75%)

2. Malformasi arteriovena

3. Ruptur aneurisma fusiform

4. Ruptur aneurisma mikotik

5. Kelainan darah: diskrasia darah,

penggunaan antikoagulan, dan

gangguan pembekuan darah

6. Infeksi

7. Neoplasma

8. Trauma

4. FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi aneurisma SAH menurut

Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996) dalam Lemonick (2010) meliputi:

Page 3: LP CVA-SAH.doc

a. Riwayat keluarga dengan aneurisma

intrakranial

b. Hipertensi

c. Merokok

d. Atherosklerosis

e. Kontrasepsi oral

f. Usia lanjut

g. Jenis kelamin

h. Pecandu alkohol berat

5. PATOFISIOLOGI

CVA subarakhnoid hemorrhage (SAH) sebagian besar disebabkan oleh rupturnya

aneurisma serebral. Segera setelah perdarahan, rongga subarakhnoid dipenuhi dengan eritrosit di

CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa jalan kecil di otak. Beberapa eritrosit akan

berikatan menjadi bekuan pada area perdarahan. Sebagian besar eritrosit akan berikatan dengan

arachnoid villi dan trabekulae. Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah

dari ruang subarakhnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah perdarahan.

Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki ruang subarakhnoid melalui

pembuluh meningeal, dapat secara langsung memecah eritrosit di CSF atau merubahnya menjadi

bekuan darah (Hayman et al., 1989). Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak menjadi

berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya iskemi pada jaringan otak dan lama-lama akan

menyebabkan terjadinya infark serebri.

Selanjutnya, jaringan otak yang mengalami iskemi/ infark akan menyebabkan gangguan/

kerusakan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih hidup, sering mengalami

kelumpuhan pada saraf kranial kiri, paralisis, aphasia, kerusakan kognitif, kelainan perilaku, dan

gangguan psikiatrik (Bellebaum et al., 2004 dalam American Association of Neuroscience

Nurses, 2009).

6. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009, gejala CVA SAH dapat

dilihat dari derajatnya, yaitu:

Derajat GCS Gejala1 15 Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku kuduk

ringan.2 15 Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk, defisit

neurologis tidak ada (selain parese saraf otak).3 13-14 Kesadaran menurun (drowsiness) atau defisit neurologis

fokal.4 8-12 Stupor, hemiparesis moderate sampai berat, permulaan

desebrasi, gangguan vegetatif.5 3-7 Koma berat, deserebrasi.

Page 4: LP CVA-SAH.doc

Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis nyeri kepala mendadak,

adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah, foto fobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk),

penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis fokal (disfasia, hemiparesis,

hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh). Kesadaran sering

terganggu dan sangat bervariasi. Ada gejala/tanda rangsangan meningeal. Edema papil dapat

terjadi bila ada perdarahan sub arachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri (Dewanto et al.,

2009).

Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba perjalanan penyakit perdarahan subarochnoid yang

khas dimulai dengan sakit kepala yang sangat hebat (berbeda dengan sakit kepala biasa), onset

biasanya 1-2 detik hingga 1 menit dan sakit kepalanya sedemikian rupa sehingga mengganggu

aktivitas yang dilaksanakan oleh penderita. Sakit kepala makin progresif, kemudian diikuti nyeri

dan kekakuan pada leher, mual muntah sering dijumpai perubahan kesadaran (50%) kesadaran

hilang umumnya 1-2 jam, kejang sering dijumpai pada fase akut (sekitar 10-15%) perdarahan

subarochnoid sering diakibatkan oleh arterivena malformasi. Umumnya onset saat melakukan

aktivitas 24-36 jam setelah onset dapat timbul febris yang menetap selama beberapa hari.

7. PEMERIKSAAN FISIK

a. Pemeriksaan fisik : pemeriksaan kemampuan neurologis, gerak tubuh, dan kekuatan otot

ekstremitas, rasa kebas/ mati rasa, gangguan penglihatan, gangguan koordinasi, gangguan

bicaram dan sebagainya .

NEUROLOGIS FUNGSI

Nervus I persepsi penciuman, inpuls saraf menjalar ke lobus temporalis untuk di interpretasikan.

Nervus II penglihatan (vision)

Nervus III pergerakan otot bola mata dan sebagai pembuka kelopak mata serta konstraksi pupil.

Nervus IV gerakan sadar bola mata.

Nervus V mengunyah. Somatosensory information (touch, pain) dari muka dan kepala; muscles for chewing.

Nervus VI memutar mata kearah luar.

Nervus VII memproduksi kelenjar lakrimalis, sub mandibularis, Memberi informasi untuk rasa manis, asam dan asin pada 2/3 anterior lidah, Mempersarafi otot-otot wajah.

Nervus VIII penerjemahan suara (Hearing; balance).

Page 5: LP CVA-SAH.doc

Nervus IX Menelan, Respon sensoris terhadap rasa pahit pada 1/3 bagian lidah posterior.

Nervus X Inpuls motor sensorik dibawah faring dan laring, Serat saraf parasimpatis luas mempersarafi, faring, laring dan trakea meluas ke torax dan abdomen, Cabang toraks dan abdomen mempengaruhi fungsi esofagus, paru-paru, aorta, lambung, kandung empedu, limfa, usus halus, ginjal, dan 2/3 bagian atas usus besar.

Nervus XI Bekerja sama dengan saraf vagus untuk memberi informasi kepada otot faring dan laring, Mempersarafi muskulus travesius (otot dilengan tempat menyuntik) dan otot sternokleidomastoid.

Nervus XII Control otot pergerakan lidah

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Radiologis

- CT Scan

Hasil yang di dapatkan menunjukkan bahwa darah SAH pada CT Scan tanpa

bentuk berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak, kemudian membentuk sesuatu

yang secara normal berwarna gelap muncul menjadi putih. Efek ini secara khas muncul

sebagai bentuk bintang putih pada pusat otak seperti gambar berikut ini.

Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns, fisura sylvian,

atau fisura interhemisper yang mengindikasikan ruptur saccular aneurysma. Darah

berada di atas konfeksitas atau dalam parenkim superfisial otak sering mengindikasikan

arteriovenous malformation atau mycotic aneurysm rupture (AANN, 2009).

Page 6: LP CVA-SAH.doc

PERHITUNGAN VOLUME PERDARAHAN OTAK PADA CT-SCAN KEPALA

Keterangan :

A : panjang maximum (cm)

B : lebar maximum (cm)

C : jumlah slice yang terdapat gambaran perdarahan

: A

: B

Pungsi lumbar

Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat xanthochromia (CSF berwarna kuning

yang disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana sensitivitas pemeriksaan ini

lebih besar dari 99% (AANN, 2009).

CTA (computed tomography angiography)

Dilakukan jika diagnosis SAH telah dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.

Rotgen toraks

Untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.

- MRI

VOLUME PERDARAHAN (cc) = A x B x C

2

ICH SDH EDH

Page 7: LP CVA-SAH.doc

MRI dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama setelah

perdarahan. MRI dapat digunakan untuk mendeteksi lesi structural, edema, dan herniasi

- CT non kontras otak

untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna

untukmembedakan stroke dari patologi intrakranial lainnya.CT non kontras

dapatmengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm

b. Pemeriksaan laboratorium

- Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosis setelah

terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et al., 2009).

- Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis (Weiner, 2000).

- Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.

- Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.

9. PENATALAKSANAAN

1. Pemeriksaan umum

a) Sistem jalan nafas dan kardiovaskuler. Pantau ketat di unit perawatan intensif atau

lebih baik di unit perawatan neurologis.

b) Lingkungan. Pertahankan tingkat bising yang rendah dan batasi pengunjung sampai

aneurisma ditangani.

c) Nyeri. Morfin sulfat (2-4 mg IV setiap 2-4 jam) atau kodein (30-60 mg IM setiap 4

jam).

d) Profilaksis gastrointestinal. Ranitidin (150 mg PO 2x sehari atau 50 mg IV setiap 8-12

jam) atau lansoprazol (30 mg PO sehari)

e) Profilaksis deep venous thrombosis. Gunakan thigh-high stockings dan rangkaian

peralatan kompresi pneumatik; heparin (5000 U SC 3x sehari) setelah terapi

aneurisma.

f) Tekanan darah. Pertahankan tekanan darah sistolik 90-140 mmHg sebelum terapi

aneurisma, kemudian jaga tekanan darah sistolik < 200 mmHg.

g) Glukosa serum. Pertahankan kadar 80-120 mg/dl; gunakan sliding scale atau infus

kontinu insulin jika perlu

h) Suhu inti tubuh. Pertahankan pada ≤ 37,2 0C; berikan asetaminofen/ parasetamol

(325-650 mg PO setiap 4-6 jam) dan gunakan peralatan cooling bila diperlukan.

i) Calcium antagonis. Nimodipin (60 mg PO setiap 4 jam selama 21 hari).

j) Terapi antifibrinolitik (opsional). Asam aminokaproat (24-48 jam pertama, 5g IV

dilanjutkan dengan infus 1,5 g/jam)

Page 8: LP CVA-SAH.doc

k) Antikonvulsan. Fenitoin (3-5 mg/kg/hari PO atau IV) atau asam valproat (15-45

mg/kg/hari PO atau IV)

l) Cairan dan hidrasi. Pertahankan euvolemi (CVP, 5-8mmHg); jika timbul vasospasme

serebri, pertahankan hipervolemi (CVP, 8-12 mmHg atau PCWP (pulmonal capillary

wedge pressure) 12-16 mmHg.

m) Nutrisi. Coba asupan oral (setelah evaluasi menelan) untuk alternatif lain, lebih baik

pemberian makanan enteral.

2. Terapi lain

a) Surgical clipping. Dilakukan dalam 72 jam pertama

b) Endovascular coiling. Dilakukan dalam 72 jam pertama

3. Komplikasi umum

a) Hidrosefalus. Masukkan drain ventrikular eksternal atau lumbar.

b) Perdarahan ulang. Berikan terapi suportif dan terapu darurat aneurisma.

c) Vasospasme serebri. Beri nimodipin; pertahankan hipervolemi atau hipertensi yang

diinduksi dengan fenilefrin, norepinefrin, atau dopamin; terapi endovascular

(angioplasti transluminal atau vasodilator langsung)

d) Bangkitan. Lorazepam (0,1 mg/kg, dengan kecepatan 2 mg/menit) atau diazepam 5-

10 mg, dilanjutkan dengan fenitoin (20 mg/kg IV bolus dengan kecepatan < 50

mg/menit sampai dengan 30 mg/kg).

e) Hiponatremia. Pada SIADH: restriksi cairan; Pada serebral salt wasting syndrome:

secara agresif gantikan kehilangan cairan dengan 0,9% NaCl atau NaCl hipertonis.

f) Aritmia miokardia. Metoprolol (12,5-100 mg PO 2x sehari); evaluasi fungsi ventrikel;

tangani aritmia

g) Edema pulmonal. Berikan suplementasi oksigen atau ventilasi mekanik bila perlu.

4. Perawatan jangka panjang

a) Rehabilitasi. Terapi fisik, pekerjaan, dan bicara

b) Evaluasi neuropsikologis. Lakukan pemeriksaan global dan domain specifik,

rehabilitasi kognitif

c) Depresi. Pengobatan antidepresan dan psikoterapi

d) Nyeri kepala kronis. NSAIDs, Antidepresan trisiklik, atau SSRIs; gabapetin.

TERAPI MEDIKAMENTOSA :

1. Edatif – tranquilizer : fenobarbital (luminal) dan diazepam (valium)

Untuk menghindari kegelisahan dan tensi yang meningkat

Page 9: LP CVA-SAH.doc

2. Antiemetik : dimenhidrat

3. Analgetika : kodein fosfat, meperidin HCL, morfin, dan fentanil

4. Antikonvulsan : fenitoin (dilantin), karbamazepin, fenobarbital

dengan dosis 30 mg peroral 3 kali perhari

5. Pencahar : diotil Na, sulfosuksinat, psilium hidrofilik musiloid

sedium 100 mg peroral perhari

6. Antasida : magnesium aluminium hidroksida, simetidin, ranitidin

7. Diuretik/ antiedema : furosemid (lasix), manitol

8. Steroid : deksametason (oradexon, kalmethasone)

9. Antifibrinolitik : epsilon-amino-kaproat (amicar), asam traneksamik

Pemberian anti fibrolitik dianggap bermanfaat untuk memecah

perdarahan ulang akibat lisis atau bekuan darah ditempat yang

mengalami perdarahan

10. Antidiuretik : vasopresin (pitresin)

11. Obat hipotensif intrakranial : tiopental (pentotal)

Page 10: LP CVA-SAH.doc

ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE

(CVA-SAH)

I. PENGKAJIAN

Anamnesis

a) Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,

suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosa medis.

b) Keluhan utama pada umumnya akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi neurologis. Keluhan

yang sering didapatkan meliputi: Nyeri kepala mendadak, adanya tanda rangsang meningeal

(mual, muntah, fotofobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan

epileptik, defisit neurologis fokal (disfasia, hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya

ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh).

c) Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi adanya riwayat trauma,

riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada saat klien melakukan aktivitas, keluhan pada

gastrointestinal seperti mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar, di samping gejala

kelumpuhan separuh badan atau ganggguan fungsi otak yang lain, selisah, letargi, lelah,

apatis, perubahan pupil, dll.

d) Riwayat penyakit dahulu meliputi penggunaan obat-obatan (analgesik, sedatif, antidepresan,

atau perangsang syaraf), keluhan sakit kepala terdahulu, riwayat trauma kepala, kelainan

kongenital, peningkatan kadar gula darah dan hipertensi.

e) Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan tentang adanya keluarga yang menderita

hipertensi atau diabetes.

f) Pengkajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, dan perilaku klien.

g) Kemampuan koping normal meliputi pengkajian mengenai dampak yang timbul pada klien

seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan

aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah.

h) Pengkajian sosioekonomispiritual mencakup pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan

dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.

PEMERIKSAAN FISIK

a) Tingkat kesadaran

Tingkat Responsivitas Klinis

Terjaga

Sadar

Letargi

Normal

Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit bingung saat pertama kali

terjaga, tetapi berorientasi sempurna ketika terbangun.

Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika

Page 11: LP CVA-SAH.doc

Stupor

Semikomatosa

koma

dirangsang.

Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak konsisten dalam mengikuti

perintah sederhana atau berbicara satu kata atau frase pendek.

Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak mengikuti perintah, atau

berbicara koheren.

Dapat berespon dengan postur secara refleks ketika distimulasi atau

dapat tidak beresepon pada setiap stimulus.

Respon motorik Respon verbal Membuka mata

Menurut

Terlokalisasi

Menghindar

Fleksi abnormal

Ekstensi abnormal

Tidak ada

6

5

4

3

2

1

Orientasi

Bingung

Kata tidak dimengerti

Hanya suara

Tidak ada

5

4

3

2

1

Spontan

Terhadap panggilan

Terhadap nyeri

Tidak dapat

4

3

2

1

b)  Keadaan umum

Penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur tubuh mengalami ganguan

akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah atau keseluruhan lemah adanya gangguan

dalam berbicara kebersihan diri kurang serta tanda-tanda vital (hipertensi)

1. Sistem Integumen

Kulit tergantung pada keadaan penderita apabila kekurangan O2 kulit akan kebiruan

kekurangan cairan turgor jelek berbaring terlalu lama atau ada penekanan pada kulit

yang lama akan timbul dekubitus.

Kuku jika penderita kekurangan O2 akan tampak kebiruan.

2. Pemeriksaan Kepala atau Leher

Bentuk normal simetris

Bentuk kadang tidak simetris karena adanya kelumpuhan otot daerah muka tampak

gangguan pada mata kadaan onga mulut kotor karena kuang perawatan diri

Bentuk normal pembesaran kelenjar thyroid tidak ada .

3. Sistem pernafasan

Adanya pernafasan dispnoe, apnoe atau normal serta obstrusi jalan nafas, kelumpuhan

otot pernafasan penggunaan otot-otot bantu pernafasan, terdapat suara nafas ronchi dan

whezing.

4. Sistem kardio vaskuler

Bila penderita tidak sadar dapat terjadi hipertensi atau hipotensi, tekanan intrakranial

meningkat serta tromboflebitis, nadi bradikardi, takikardi atau normal.

Page 12: LP CVA-SAH.doc

5. Sistem pencernaan

Adanya distensi perut, pengerasan feses, penurunan peristaltik usus, gangguan BAB

baik konstipasi atau diare .

6. Ekstrimitas

Adanya kelemahan otot, kontraktur sendi dengan nilai ROM : 2, serta kelumpuhan.

7. Pemeriksaan urologis

Pada penderita dapat terjadi retensi urine, incontinensia infeksi kandung kencing, serta

didapatkannya nyeri tekan kandung kencing.

c) Pemeriksaan Neurologis dan Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan saraf cranial

1) Pemeriksaan saraf cranial I (N. Olfaktorius)

Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.Lakukan

pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan

seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut.Lakukan untuk

lubang hidung yang satunya.

2) Pemeriksaan saraf kranial II (N. Optikus)

a. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum pemeriksaan. Periksa

ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart

untuk jarak jauh.

b. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta

untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan

mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal dari arah

luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila pertama melihat benda

tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur

berapa derajat kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan

opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)

3) Pemeriksaan saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)

a. Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan

ptosis kelopak mata

b. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya perdarahan

pupil

c. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal)

yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien

mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya

4) Pemeriksaan saraf kranial V (N. Trigeminus)

Page 13: LP CVA-SAH.doc

a. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,

mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan ya

bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.

b. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di

ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul.

c. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan diketiga area

wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana yang merasakan

sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.

d. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala yang

digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien

mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak

e. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat lurus ke

depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata dan lihat refleks

menutup mata.

f. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi periksa

otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien

melakukan gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula.

5) Pemeriksaan saraf kranial VII (N. Fasialis)

a. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan sentuhkan ke

ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam

b. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua alis

berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa

kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien memejamkan mata kuat-kuat dan

coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan

dengan kedua jari.

6) Pemeriksaan saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)

a. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan weber

test dan rhinne test

b. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri tegak,

kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh,

minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien dapat

mempertahankan posisi

7) Pemeriksaan saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)

a. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila uvula

terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.

b. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring

menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.

Page 14: LP CVA-SAH.doc

c. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air sedikit,

observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat

klien berbicara.

8) Pemeriksaan saraf kranial XI(N. Asesoris)

a. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu secara

bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.

b. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien menoleh ke

kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri

bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi

c. Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan kedua

telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-

kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.

d. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien untuk

menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan

kekuatan daya dorong

9) Pemeriksaan saraf kranial XII (N. Hipoglosus)

a. Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi

kesimetrisan gerakan lidah

b. Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi dengan

ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong kedua pipi dengan

kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain

Pemeriksaan fungsi motorik

Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di korteks cerebri, impuls

berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan

bersinaps dengan lower motor neuron.Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi

dan pemeriksaan kekuatan.

1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi

2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai

persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan

berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan

pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.

a. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku.

Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan

pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi

bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.

Page 15: LP CVA-SAH.doc

b. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan

terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.

c. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.

3. Kekuatan otot :

Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji.Klien secara aktif menahan

tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa.Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan

diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai 0

– 5)

0 = tidak ada kontraksi sama sekali.

1 = gerakan kontraksi.

2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau

gravitasi.

3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.

4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.

5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

Pemeriksaan fungsi sensorik

Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan

sistem persarafan yang lain karena bersifat sangat subyektif. Oleh sebab itu sebaiknya

dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang

menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih

bisa konsentrasi dengan baik).Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien

terhadap beberapa stimulus.Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis stimulus.

Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli

(tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau

perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot,

twitching/kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan

sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:

1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan

refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.

2. Kapas untuk rasa raba.

3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.

4. Garpu tala, untuk rasa getar.

5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :

a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.

b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk

pemeriksaan stereognosis

Page 16: LP CVA-SAH.doc

c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

Pemeriksaan fungsi refleks

Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks

hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :

0 = tidak ada respon

1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)

2 = normal (++)

3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)

4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :

1) Refleks patella

Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 30 0.

Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks

hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.

2) Refleks biceps

Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900, supinasi dan lengan bawah

ditopang pada alas tertentu (meja periksa).Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m.

biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.Normal jika

timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan

pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan

jari-jari atau sendi bahu.

3) Refleks triceps

Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900, tendon triceps diketok dengan

refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).Respon yang

normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan

hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-otot bahu atau

mungkin ada klonus yang sementara.

4) Refleks achilles

Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang

diperiksa bisa diletakkan/disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.Tendon achilles

dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.

5) Refleks abdominal

Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau

digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.

6) Refleks Babinski

Page 17: LP CVA-SAH.doc

Refleks yang paling penting, hanya dijumpai pada penyakit traktus kortikospinal.

Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah

jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika

ibu jari kaki melakukan dorsofleksi dan jari-jari lainnya tersebar.Respon yang normal

adalah fleksi plantar semua jari kaki.

Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan selaput otak

(misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :

1. Kaku kuduk

Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat

menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).

2. Tanda Brudzinski I

Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien

untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada

secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada

sendi panggul dan sendi lutut.

3. Tanda Brudzinski II

Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara

pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.

4. Tanda Kernig

Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi

lutut.Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai

atas.Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap

hambatan.

5. Test Laseque

Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri

sepanjang m. ischiadicus. Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :

a) Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal.

Page 18: LP CVA-SAH.doc

b) Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua

pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan memutar

kedalam dan kaki plantar fleksi.

c) Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau

diencephalon.

d) Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi, ekstensi dan

menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki plantar fleksi.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosis setelah terjadinya

bangkitan atau infeksi sistemik

2. adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis

3. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.

4. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.

5. Glukosa serum untuk menentukan hipoglikemi

6. Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.

7. EKG 12 sadapan untuk melihat aritmia jantung atau perubahan segmen ST (Dewanto et al.,

2009)

8. CT scan kepala tanpa kontras dilakukan < 24 jam sejak awitan.

9. Pungsi lumbal bila CT scan kepala tampak normal.

10. CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH telah dikonfirmasi

dengan CT Scan atau LP

Page 19: LP CVA-SAH.doc

II. PATHWAY

Ruptur aneurisma sakular, Malformasi arteriovena, Ruptur aneurisma fusiform, Ruptur

aneurisma mikotik, Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan gangguan

pembekuan darah, infeksi, neoplasma, trauma

Oksipital Nondomnian

Parietal

Pembuluh darah pecah

Ekstravasasi darah dari pembuluh darah arteri di otak

Masuk ke dalam ruang subarakhnoid

Menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis

Infark serebriPenekanan jaringan otak Edema serebri

Penurunan perfusi jaringan serebralCVARisiko peningkatan TIK

Defisit neurologis

Page 20: LP CVA-SAH.doc

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial,

penekanan jaringan otak, dan edema serebri.

2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebri, oklusi

otak, vasospasme, dan edema otak.

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret, penurunan

mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplegia, kelemahan

neuromuskular pada ekstremitas.

5. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensari, luas lapang pandang.

6. Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan kelemahan neuromuskular,

menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.

7. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara

pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara

umum.

IV. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial,

penekanan jaringan otak, dan edema serebri.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi peningkatan

TIK.

Dominan Frontal

Temporal

Kemampuan penglihatan berkurang dan buta

Gangguan memori Kejang psikomotorTuliKonfabulasi (mengingat pengalaman imajiner)

Gangguan sensorik bilateral

Afasia (tidak mampu berbicara dan menulis)Agrafia (kehilangan kemampuan menulis)Agnosia (tidak mampu mengenali strimuli sensori)

Gangguan : penilaian,penampilan Gangguan afek&proses pikir,fungsi motorik

Disorientasi Apraksia

(kehilangan kemampuan melakukan gerakan bertujuan)

Distorsi konsep ruang

Hilang kesadaran pada sisi tubuh yang berlawanan

Risiko cidera

Kerusakan komunikasi verbal

Kehilangan kontrol volunter

Penurunan kesadaran

Hemiplegia dan hemiparese

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Kerusakan mobilitas fisik

Defisit perawatan diri:Mandi dan eliminasi

Hemiplegia dan hemiparese

Kerusakan mobilitas fisik

Defisit perawatan diri:Mandi dan eliminasi

Page 21: LP CVA-SAH.doc

Kriteria hasil:

- Tidak gelisah

- Keluhan nyeri kepala tidak ada

- Mual dan muntah tidak ada

- GCS 456

- Tidak ada papiledema

- TTV dalam batas normal

Intervensi Rasional Kaji keadaan klien, penyebab koma/ penurnan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK

Memperioritaskan intervensi, status neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk menentukan kegawatan atau tindakan pembedahan.

Memonitor TTV tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebri terpelihara dengan baik. Peningkatan TD, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda peningkatan TIK. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan meningkatkan TIK.

Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan kembali bola mata merupakan tanda dari gangguan saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangansaraf antara simpatis dan parasimpatis merupakan respons refleks saraf kranial.

Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pgi hari.

Tingkah laku non verbal merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluha secara verbal.

Palpasi pembesaran bladder dan monitor adanya konstipasi.

Dapat meningkatkan respon otomatis yang potensial menaikkan TIK.

Obaservasi kesadaran dengan GCS Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna untuk menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.

Kolaborasi:O2 sesuai indikasiDiuretik osmosisSteroid (deksametason)Analgesik Antihipertensi

Mengurangi hipoksemia.Mengurangi edema.Menurunkan inflamasi dan edema.Mengurangi nyeriMengurangi kerusakan jaringan.

2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebri, oklusi

otak, vasospasme, dan edema otak.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam perfusi jaringan otak

dapat tercapai secara optimal.

Kriteria hasil:

Page 22: LP CVA-SAH.doc

- Tidak gelisah

- Keluhan nyeri kepala , mual,

kejang tidak ada

- GCS 456

- Pupil isokor

- Refleks cahaya +

- TTV dalam rentang normal (TD:

110-120/80-90 mmHg; nadi: 60-

100 x/menit; suhu: 36,5-37,50C;

RR: 16-20 x/menit)

Intervensi Rasional Tirah baring tanpa bantal. Menurunkan resiko terjadinya herniasi otak.Monitor asupan dan keluaran. Mencegah terjadinya dehidrasi.Batasi pengunjung. Rangsangan aktivitas dapat meningkatkan

tekanan intrakranial.Kolaborasi:Cairan perinfus dengan ketat.

Monitor AGD bila perlu O2 tambahan.

Steroid Aminofel.Antibiotik

Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan TIK, restriksi cairan dan cairan dapat menurunkan edema.Adanya asidosis disertai pelepasan O2 pada tingkat sel dapat menyebabkan iskemia serebri.Menurunkan permeabilitas kapilerMenurunkan edema serebriMenurunkan konsumsi sel/ metabolik dan kejang.

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret, penurunan

mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam klien mampu meningkatkan dan

mempertahankan jalan nafas tetap bersih dan mencegah aspirasi.

Klriteria hasil:

- Bunyi nafas bersih

- Tidak ada penumpukan sekrest di

saluran nafas

- Dapat melakukan batuk efektif

- RR 16-20 x/menit

Intervensi Rasional Kaji keadaan jalan nafas Obstuksi dapat terjadi karena akumulasi sekret ata sisa

cairan mukus, perdarahan.Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi kedua lapang paru.

Pergerakan dada simetris dengan suara nafas dari paru-paru mengindikasikan tidak ada sumbatan.

Ubah posisi setap 2 jam dengan teratur.

Mengurangi risiko atelektasis.

Kolaborasikan:Aminofisil, alupen, dan bronkosol.

Mengatur venstilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi otot.

Page 23: LP CVA-SAH.doc

DAFTAR PUSTAKA

American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient with Aneurysmal

Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org

Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.

Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.

Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.

Jakarta: Salemba Medika.

Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.

Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC