Upload
keniten
View
171
Download
32
Embed Size (px)
DESCRIPTION
zxcvbnm,asdfghjk
Citation preview
LAPORA PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN EPILEPSI
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat
atau sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh
disfungsi otak sesaat dimanisfestasikan sebagai fenomena motorik, sensorik,
otonomik, atau psikis yang abnormal. Epilepsi merupakan akibat dari
gangguan otak kronis dengan serangan kejang spontan yang berulang
(Satyanegara, 2010).
Epilepsy adalah gejala kompleks dari gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Sehingga epilepsi bukan penyakit
tetapi suatu gejala (Brunner & Sudarth)
Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai idiopatik atau simtomatik
(Sylvia A. Price):
1. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya lesi
sentral
2. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, suatu kelainan otak
menyebabkan timbulnya respon kejang. Penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan epilesi sekunder adalah cedera kepala, gangguan
metabolisme dan gizi (hipoglikemia, feniketonuria, defisiensi vitamin
B6), faktor toksik (uremia, intoksikasi alkohol, putus obat narkotik),
ensefalitis, stroke, hipoksia atau neoplasma otak, dan gangguan elektrolit
terutama hiponatremia dan hipokalsemia.
B. Etiologi
Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik disritmia pada sel
saraf pada salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan
muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol (Brunner and
Sudarth).
Menurut Mansjoer Arif, etiologi dari epilepsi adalah:
1. Idiopatik; sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik
2. Faktor herediter; ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis,
hipoglikemi, hipopratiroidisme, angiomatosis ensefalotrigeminal,
fenilketonuria.
3. Faktor genetik; pada kejang demam dan breath holding spell
4. Kelainan kongenital otak; atrofi, poresenfali, agenesis korpus kolosum
5. Gangguan metabolic; hipernatremia, hiponatremia, hipokalsemia,
hipoglikemia
6. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
8. Neoplasma otak dan selaputnya
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen.
10. Keracunan; timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
11. Lain-lain; penyakit darah, gangguan keseimbangan hormone,
degenerasi serebral, dll.
C. Manifestasi Klinis
1. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya.
Jenis kejang dapat bervariasi antara pasien, namun cenderung serupa
2. Kejang komplek parsial dapat termasuk gambaran somatosensori atau
motor fokal.
3. Kejang komplek parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran
4. Ketiadaan kejang dapat tampak relatif ringan, dengan periode perubahan
kesadaran hanya sangat singkat (detik)
5. Kejak tonik klinik umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu
dikaitkan dengan kehilangan kesadaran
(Yuliana Elin, 2009)
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsi dibagi
menjadi: (Ali, Zaidin)
1. Kejang umum (generalized seizure); jika aktivasi terjadi pada kedua
hemisfer otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:
a. Tonic-clonic convulsion (grand mal)
Merupakan bentuk paling banyak terjadi pada pasien tiba-tiba jatuh,
kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur, bisa terjadi sianosis,
ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian
diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.
b. Absence attack/lena (petit mal)
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal
remaj. Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip,
dengan kepala terkulai, kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan
sering tidak disadari.
c. Myoclonic seizure
Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami
sentakan yang tiba-tiba. Jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa
terjadi pada pasien normal
d. Atonic seizure
Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangann kekuatan otot jatuh, tapi
bisa segera recovered.
2. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang
parsial terbagi menjadi:
a. Simple partial seizure
Pasien tidak kehilangan kesadaran, terjadi sentakan-sentakan pada
bagian tertentu dari tubuh.
b. Complex partial seizure
Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali, gerakan
mengunyah, meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran
D. Klasifikasi
Ada dua golongan utama epilepsi, yaitu serangan parsial atau fokal yang
mulai pada suatu tempat tertentu di otak, biasanya didaerah korteks serebri dan
serangan umum yang agaknya mencakup seluruh korteks serebri dan
diensefalon. (Price,1995)
1. Epilepsi parsial dapat dimanifestasikan dengan gejala-gejala dasar ataupun
kompleks. Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang
mencakup gejala-gejala motorik atau sensorik. Pada epilepsi parsial
sederhana, hanya satu jari atau tangan yang bergertar atau mulut dapat
tersentak tak terkontrol. Indivisu ini bicara yang tidak dapat
dipahami,pusing,mengalami sinar,bunyi,ban atau rasa yang tidak umum atau
tidak nyaman. Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan
fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi seperti proses ingatan dan
proses berpikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secera otomatis
tetapi tidak tepat dengan waktu dan tepat atau mengalami emosi berlebihan
yaitu : marah, takut, kegirangan atau peka rangsangan. Fokus epileptik pada
jenis epilepsi ini sering kali pada lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi
parsial tersebut dapat menyebar dan menjadi serangan umum ( motorik
umum )
2. Kejang umum lebih umum disebut sebagai kejang grand mall, melibatkan
kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi.
Mungkin ada kekakuan pada seluruh tubuh yang diikuti dengan kejang yang
bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (kontraksi tonik-klonik
umum). Epilepsi tonik-klonik merupakan serangan epilepsi yang klasik.
Serangan epilepsi ini ditandai oleh adanya aura diikuti oleh hilangnya
kesadaran dan kejang tonik-klonik. Aura merupakan suatu indikasi sensorik
yang menyatakan akan datangnyaserangan epilepsi. Aura ini dapat berupa
suatu sensasi penglihatan, pendengaran atau penciuman yang hanya
berlangsung selama beberapa saat.
Serangan epilepsi dimulai dengan menghilangnya kesadaran secara
cepat. Klien kehilangan kemampuannya untuk tetap mempertahankan tubuh
dalam posisi yang tegak, gerakan tonik kemudian klonik,inkontinensia urine
dan feses, disertai dengan disfungsi otonom lainnya. Pada fase tonik, otot-
otot berkontraksi dan posisi tubuh dapat terganggu. Fase ini berlangsung
hanya beberapa detik. Fase klonik berupa kontraksi dan relaksasi kelompok
otot-otot yang berlawanan sehingga menimbulkan gerakan yang tersentak-
sentak. Kontaksi sedikit demi sedikit berkurang frekuensinya tetapi tidak
kekuatannya. Lidah dapat tergigit seperti yang terjadi pada sekitar separuh
dari klien yang mengalami kejang (spasme rahang dan lidah). Serangan itu
berlangsung sekitar 3-5 menit dan diikuti dengan periode tidak sadar yang
berlangsung selama beberapa menit sampai sekitar setengah jam. Klien yang
sadar kembali tampak bingung, stupor atau bodoh. Stadium ini disebut
stadium postikal. Biasanya klien tidak dapat mengingat serangan yang
telah dialaminya.
E. Patofisiologi
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari
sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut
memberikan muatan listrik yang abnormal,berlebihan,secara berulang dan
tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah
suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari
lesi. Lesi pada mesensefalon, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar
bersifat epileptogenik sedangkan lesi pada serebllum dan batang otak biasanya
tidak menimbulkan serangan epilepsi (Brunner,2003)
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena
biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah :
1. Ketidastabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan.
2. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun sehingga mudah
terangsang dan dapat terangsang secara berlebihan
3. Terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi, atau
terhentinya repolarisasi)
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada
waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal mengalami
perubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan membran neuron
mengalami depolarisasi.
F. Pathway
Faktor Predisposisi :
riwayat demam tinggi
Gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak
Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan secara berulang dan tidak terkontrol
( distribusi)
Periode pelepasan impuls yang tidak diinginkan
Aktivitas kejang umum lama akut , tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan
Status epileptikus
Kebutuhan metabolik besar
Gangguan pernafasan
Hipoksia Otak
Kerusakan otak permanenEdema
Petitmal
Hilang tinus otot
Hambatan Mobilitas fisik
Kejang Parsial
Peka rangsang
Kejang Umum Gangguan perilaku, alam ,perasaan, sensasi dan persepsi
Kejang berulang
Resiko Tinggi Injuri
Penurunan Kesadaran
Perubahan status kesehatan
Respons pascakejang (postikal)
Respon Fisik: konfusi dan sulit bangun serta keluhan sakit kepala atau otot
Nyeri Akut
Defisit Perawatan Diri
Defisiensi Pengetahuan
G. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG,
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di
otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG
dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis
dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi
(OAE).26
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG.
Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT
Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak
yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang
berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya
berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk
serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila
berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika
kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit
dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam
per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa
ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi
terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung
mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila
kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin
meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi
sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan
penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.
Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu:
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita
epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang
biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara
efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE
harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang
berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat
dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang
dapat mengatasi kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian
yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber
serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal
terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat
yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai
dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet
ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme
kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui
secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan
dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari
orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan.
Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio
kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein
adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80
kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan
kombinasi diet dan obat antiepilepsi.
Pertolongan Pertama
Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen,
kompor api, dan
b. lain – lain).
b. Jangan pernah meninggalkan penderita.
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak
menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju
di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada).
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut
dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau
pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan
penderita. Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti
memberi minum, penahan lidah.
g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan
meninggalkan penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian
biarkan penderita beristirahat atau tidur.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada penderita epilepsi, yaitu:
ANAMNESA
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien
ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang.
Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada
keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien
mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja?
Mekanisme koping apa yang digunakan? Obsevasi dan pengkajian selama dan
setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan
penatalaksanaannya.
2. Selama serangan :
a. Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
b. Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
c. Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
d. Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
e. Apakah pasien menggigit lidah.
f. Apakah mulut berbuih.
g. Apakah ada inkontinen urin.
h. Apakah bibir atau muka berubah warna.
i. Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
j. Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada
satu sisi atau keduanya.
3. Sesudah serangan
a. Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan
bicara
b. Apakah ada perubahan dalam gerakan.
c. Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.
d. Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi
denyut jantung.
e. Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
a. Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
b. Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
c. Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
a. Sejak kapan serangan terjadi.
b. Pada usia berapa serangan pertama.
c. Frekuensi serangan.
d. Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
e. Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai
dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
f. Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
g. Apakah makan obat-obat tertentu
h. Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. KU / kesadaran
b. Tanda Vital : TD, RR, N
c. Mata
d. THT
e. Leher
f. Jantung
g. Paru
h. Abdomen
i. Ekstremitas
2. Status Neurologis
a. Reflek fisiologis
b. Reflek patologis
B. Diagnosa
1. Hambatan Mobilitas fisik bd Penurunan kendali otot akibat epilepsi
2. Resiko tinggi injury
3. Nyeri akut bd respon pasca kejang
2. Defisit perawatan diri
3. Defisiensi Pengetahuan bd kurang informasi
C. Intervensi
NO Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 2 3 4
1. Defisit perawatan diri mandi
Definisi: hambatan kemampuan
untuk melakukan atau
menyelesaikan mandi/aktivitas
perawatan diri untuk diri sendiri
Batasan karakteristik:
a. Ketidakmampuan untuk
mengakses kamar mandi
b. Ketidakmampuan
mengeringkan tubuh
c. Ketidakmampuan mengambil
perlengkapan mandi
d. Ketidakmampuan menjangkau
sumber air
e. Ketidakmampuan mengatur air
mandi
f. Ketidakmampuan membasuh
tubuh
Faktor yang berhubungan:
a. Gangguan kognitif
b. Penurunan motivasi
c. Kendala lingkungan
d. Ketidakmampuan merasakan
bagian tubuh
e. Ketidakmampuan merasakan
hubungan spasial
f. Gangguan muskuloskeletal
g. Gangguan neuromuskular
NOC
a. Activity intolerance
b. Mobility: physical impaired
c. Self care deficit hygiene
d. Sensory perception,
auditory disturbed
Kriteria hasil:
a. Perawatan diri ostomi:
tindakan pribadi
mempertahankan ostomi
untuk eliminasi
b. Perawatan diri: aktivitas
kehidupan sehari-hari
(ADL) mampu untuk
melakukan aktivitas
perawatan fisik dan pribadi
secara mandiri atau dengan
dibantu oleh keluarga
c. Perawatan diri mandi:
mampu untuk
membersihkan tubuh sendiri
secara mandiri dengan atau
tanpa alat bantu
d. Perawatan diri hygiene:
mampu untuk
mempertahankan
kebersihan dan penampilan
yang rapi secara mandiri
dengan atau tanpa alat bantu
NIC
Self-care assistance:
bthing / hygiene
a. Pertimbangkan budaya
pasien dan keluarga
ketika mempromosikan
aktivitas perawatan diri
b. Pertimbangkan usia
pasien dan keluarga
ketika mempromosikan
aktivitas perawatan diri
c. Menentukan jumlah dan
jenis bantuan yang
dibutuhkan keluarga dan
pasien untuk melakukian
perawatan diri mandi
d. Tempat handuk, sabun,
deodorant, alat pencukur,
dan aksesoris lainnya
yang dibutuhkan di
samping tempat tidur
atau di kamar mandi
e. Menyediakan artikel
pribadi yang diinginkan
pasien dan keluarga
(misalnya deodorant,
sikat gigi, sabun mandi,
sampo, lotion, dan
h. Nyeri
i. Gangguan persepsi
j. Ansietas berat
e. Perawatan diri hygiene oral:
mampu untuk merawat
mulut dan gigi secara
mandiri dengan atau tanpa
alat bantu
f. Mampu mempertahankan
mobilitas yang diperlukan
untuk ke kamar mandi dan
menyediakan perlengkapan
mandi
g. Membersihkan dan
mengeringkan tubuh
h. Mengungkapkan secara
verbal kepuasan tentang
kebersihan tubuh dan
hygiene oral
produk aromaterapi)
f. Menyediakan lingkungan
yang terapeutik dengan
memastikan hangat,
santai, pengalaman
pribadi dan personal
g. Memfasilitasi pasien
menyikat gigi dengan
sesuai
h. Memfasilitasi pasien
mandi
i. Memantau pembersihan
kuku menurut
kemampuan perawatan
diri pasien
j. Memantau integritas
kulit pasien
k. Menjaga kebersihan
ritual
l. Memberikan healt
education kepada pasien
dan keluarga pasien
mengenai pentingnya
perawatan diri mandi
m. Memberikan healt
educatiin pada keluarga
pasien mengenai tatacara
perawatan diri pasien
1 2 3 4
2. Defisit perawatan diri eliminasi NOC NIC
Definisi: hambatan kemampuan
untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas eliminasi
sendiri
Batasan karakteristik
a. Ketidakmampuan melakukan
hygiene eliminasi yang tepat
b. Ketidakmampuan menyiram
toilet atau kursi buang air
(commode)
c. Ketidakmampuan naik ke toilet
atau commode
d. Ketidakmampuan
memanipulasi pakaian untuk
eliminasi
e. Ketidakmampuan berdiri dari
toilet atau commode
f. Ketidakmampuan untuk duduk
di toilet atau commode
Faktor yang berhubungan
a. Gangguan kognitif
b. Penurunan motivasi
c. Kendala lingkungan
d. Keletihan
e. Hambatan mobilitas
f. Hambatan kemampuan
berpindah
g. Gangguan muskuloskeletal
h. Gangguan neuromuskular
i. Nyeri
j. Gangguan persepsi
k. Ansietas berat
a. Activity intolerance
b. Mobility: physical impaired
c. Fatique level
d. Anxiety self control
e. Ambulation
f. Self care deficit toileting
g. Self care deficit hygiene
h. Urinary incontinence :
functional
Kriteria hasil:
a. Pengetahuan perawatan
ostomy: tingkat pemahaman
yang ditunjukkan tentang
pemeliharaan ostomi untuk
eliminasi
b. Perawatan diri: ostomi:
tindakan pribadi untuk
mempertahankan ostomi
untuk eliminasi
c. Perawatan diri: aktivitas
kehidupan sehari-hari
(ADL) mampu untuk
melakukan aktivitas
perawatan fisik dan pribadi
secara mandiri atau dengan
alat bantu
d. Perawatan diri hygiene:
mampu untuk
mempertahankan
kebersihan dan penampilan
yang rapi secara mandiri
dengan atau tanpa alat bantu
Self care assistance: toileting
a. Pertimbangkan budaya
pasien dan keluarga
ketika mempromosikan
aktivitas perawatan diri
b. Pertimbangkan usia
pasien dan keluarga
ketika mempromosikan
aktivitas perawatan diri
c. Lepaskan pakaian yang
penting untuk
memungkinkan
penghapusan
d. Membantu pasien ke
toilet/commode/bedpan/f
raktur pan/ urinoir pada
selang waktu tertentu
e. Memantau integritas
kulit pasien
f. Memberikan healt
education kepada pasien
dan keluarga pasien
mengenai pentingnya
kebersihan saat
eliminasi
g. Memberikan healt
educatiin pada keluarga
pasien mengenai tatacara
menjaga kebersihan
toileting
l. Kelemahan e. Perawatan diri eliminasi:
mampu untuk melakukan
aktivitas eliminasi secara
mandiri atau tanpa alat
bantu
f. Mampu duduk dan turun
dari kloset
g. Membersihkan diri setelah
eliminasi
h. Mengenali dan mengetahui
kebutuhan bantuan untuk
eliminasi
3 Resiko Cedera
Definisi : bereriko mengalami
cedera sebagai akibat kondisi
lingkungan yag berinteraksi
dengan sumber adaptif dan
sumber defensive individu.
Factor Resiko :
Eksternal
a. Biologis (mis., tingkat
imunisasi komunitas,
mikroorganisme)
b. Zat kimia (mis., racun,
polutan, obat, agenens
farmasi, alcohol, nikotin,
pengawet kosmetik,
pewarna)
c. Manusia (mis., agens
nosokomial,
polaketegangan, atau factor
kognitif, afektif, dan
psikomotor)
d. Cara pemindahan / transport
e. Nutrisi (mis.,desain, struktur
dan pengaturan komunitas,
bangunan dan atau
peralatan.
Internal
a. Profil darah yang abnormal
( mis., leukositosis /
leucopenia, gangguan factor
koagulasi, trombositopenia,
sel sabit, talasemia,
NOC
a. Risk Control
Kriteria Hasil
a. Klien terbebas dari
cedera
b. Klien mampu
menjelaskan cara /
metode untuk mencegah
injury/ cedera
c. Klien mampu enjelaskan
factor resiko dari
lingkungan / perilaku
personal
d. Mampu memodifikasi
gaya idup untuk
mencegah injury
e. Menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada
f. Mampu mengenali
perubahan status
kesehatan
NIC
Environment Management
( Manajemen lingkungan )
a. Sediakan lingkungan
yang aman untuk
pasien
b. Identifikasi
kebutuhan keamanan
pasien, sesuai dengan
kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien
dan riwayat penyakit
terdahulu pasien
c. Menghindarkan
lingkungan yang
berbahaya (misalnya
memindahkan
perabotan )
d. Memasang side rall
tempat tidur
e. Menyediakan tempat
tidur yang nyaman
dan bersih
f. Menematkan saklar
lampu ditempat yang
mudah dijangkau
pasien
g. Membatasi jumlah
pengunjung
h. Menganjurkan
keluarga untuk
menemani pasien
penurunan hemoglobin)
b. Disfungsi biokimia
c. Usia perkembangan
( fisiologis psikososial)
d. Disfungsi efektor
e. Disfungsi imun-autoimun
f. Disfungsi integrative
g. Malnutrisi
h. Fisik (mis.,integritas kulit
tidak utuh, gangguan
mobilitas)
i. Psikologis (orientasi afektif)
j. Disfungsi sensorik
k. Hipoksia jaringan
i. Mengontrol
lingkungan dari
kebisingan
j. Memindahkan
barang-barang yang
dapat membahayakan
k. Berikan penjelasan
pada pasien dan
keluarga aau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan
penyebab penyakit.
4 Hambatan mobilitas fisik.
Definisi : keterbatasan pada
pergerakan fisik tubuh atau
satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah.
Batasan karakteristik :
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak balik
posisi
c. Melakukan aktivitas lain
sebagai pengganti
pergerakan {mis.,
meningkatkan perhatian
pada aktivitas orang lain,
mengendalikan perilaku,
focus pada
ketunadayaan/aktivitas
sebelum sakit)
NOC
a. Joint Movement : Active
b. Mobility Level
c. Self Care : ADLs
d. Transfer Perfomance
Kriteria Hasil :
a. Klien mengingkat dalam
aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
c. Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan kekuatan
dan kemampuan
berpindah
d. Memperagakan
penggunaan alat
e. Bantu untuk mobilisasi
NIC
Exercise therapy :
ambulation
a. Monitoring vital sign
sebelum/sesudah
latihan dan lihat
respon pasien saat
latihan
b. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
rencana ambulasi
sesuai dengan
kebutuhan
c. Bantu klien untuk
menggunakan tongkat
saat berjalan dan
cegah terhadap cedera
d. Ajarkan pasien atau
d. Dispnea setelah beraktivitas
e. Perubahan cara berjalan
f. Gerakan gemetar
g. Keterbatasan kemampuan
melakukan keterampilan
motorik halus
h. Keterbatasan melakukan
keterampilan motorik kasar
i. Tremor akibat pergerakan
j. Ketidakstabilan postur
k. Pergerakan lambat
l. Pergerakan tidak
terkoordinasi
Factor yg berhubungan :
a. Deficit visua parsial
b. Pelo
c. Sulit bicara
d. Gagap
e. Deficit penglihatan total
f. Bicara dengan kesulitan
g. Menolak bicara
Factor yg berhubungan :
a. Ketiadaan orang terdekat
b. Perubahan konsep diri
c. Perubahan system saraf
pusat
d. Defek anatomis (mis., celah
palatum, perubahan
neuromuscular pada system
penglihatan,pendengaran
dan aparats fonatori)
e. Tumor otak
(walker) tenaga kesehatan lain
tentang teknik
ambulasi
e. Kaji kemampuan
pasien dalam
mobilisasi
f. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
g. Damping dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien
h. Berikan alat banu jika
pasien memerlukan
i. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika
diperlukan.
Communication
Enchancement :
Hearing Deficit
Communication
Enchancement :
Visual Deficit
Anxiety Reduction
Active Listening
f. Harga diri rendah kronik
g. Perubahan harga diri
h. Perbedaan budaya
i. Penurunan sirkulasi ke otak
j. Perbedaan yg berhubungan
dengan usia perkembangan
k. Gangguan emosi
l. Kendala lingkungan
m. Kurang informasi
n. Hambatan fisik (mis.,
trakeostomi, intubasi)
o. Kondisi psikologi (mis,
psikosis, kurang stimulus)
p. Harga diri rendah
situasional
q. Stress
r. Gaya hidup monoton
s. Gangguan sensori
perseptual
5 Defisiensi Pengetahuan
Definisi : keadaan atau defisiensi
informasi kognitif yg
berkaitan dengan topic
tertentu
Batasan Karakteristik :
a. Perilaku hiperbola
b. Ketidakakuratan mengikuti
perintah
c. Ketidakakuratan mengikuti
tes
NOC
a. Knowledge : disease
process
b. Knowledge : health
behavior
Kriteria Hasil
a. Pasien dan keluarga
menyatakan pemahanan
tentang penyakit,
kondisi, prognosis, dan
program pengobatan
NIC
Teaching : disease process
a. Berikan penilaian
tengtang tingkat
pengetahuan pasien
tentang proses
penyakit yang spesifik
b. Jelaskan patofisiologi
dari penyakit dan
bagaimana hal ini
berhubungan dengan
d. Perilaku tidak tepat (mis.,
hysteria, bermusuhan,
agitasi, apatis)
e. Pengungkapan masalah
Factor yg berhubungan :
a. Keterbatasan kognitif
b. Salah intepretasi informasi
c. Kurang pajanan
d. Kurang minat dalam belajar
e. Kurang dapat mengingat
f. Tidak familier dengan
sumber informasi.
b. Pasien dan keluarga
mampu melaksanakan
prosedur yg dijelaskan
secara benar
c. Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan perawat/ tim
kesehatan lainnya.
anatomi dan fisiologi,
dengan cara yg tepat
c. Gambarkan tanda dan
gejala yang biasa
muncul pada penyakit
dengan cara yg tepat
d. Gambarkan proses
penyakit dengan cara
yg tepat
e. Identifikasi
kemungkinan
penyebab, dengan
cara yang tepat
f. Sediakan informasi
pada pasien tentang
kondisi dengan cara
yg tepat
g. Hindari jaminan yg
kosong
h. Sediakan bagi
keluarga atau SO
informasi tentang
kemajuan pasien
dengan cara yg tepat
i. Diskusikan perubahan
gaya hidup yg
mungkin diperlukan
untuk mencegah
komplikasi di masa
yang akan dating dan
atau proses
pengontrolan penyakit
j. Diskusikan pilihan
terapi atau
penanganan
k. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara
yg tepat atau
diindikasikan
l. Rujuk pasien pada
grup atau agensi di
komunitas local,
dengan cara yg tepat
m. Instruksikan pasien
mengenal tanda gejala
untuk melaporkan
pada pemberi
perawatan dengan
cara yg tepat.
6 Nyeri Akut
Definisi : pengalaman sensori dan
emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jarngan yg
actual atau potensial atau di
digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikian rupa
( International Association for
study of Pain ) : awitan yang
tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat
NOC
a. Pain level
b. Pain control
c. Comfort level
Kriteria Hasil :
a. Mampu mengontrol
nyeri ( tahu penyebab
nyeri, mampu
menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri,
mencari bantuan )
b. Melaporkan bahwa nyeri
NIC
Pain Manajemen
a. Lakukan pengkajian
nyeri secara
komprehensif
termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
dan factor presipitasi
b. Observasi reaksi
nonverbal dari
ketidaknyamanan
c. Gunakan teknik
diantisipasi atau prediksi dan
berlangsung < 6 bulan.
Batasan Karakteristik :
a. Perubahan selera makan
b. Perubahan tekanan darah
c. Perubahan frekuensi jantung
d. Perubahan frekuensi
pernafasan
e. Laporan isyarat
f. Diaphoresis
g. Perilaku distraksi (mis.,
berjalan mondar-mandir,
mencari orang lain dan atau
aktivitas lain, aktivitas yang
berulang )
h. Mengekspresikan
perilaku(mis.,gelisah,
merengek, menangis)
i. Masker wajah (mis., mata
kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata
berpencar, atau tetap pada
satu focus meringis)
j. Sikap melindungi nyeri
k. Focus menyempit ( mis,.
gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berpikir,
penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
l. Indikasi nyeri yang dapat
diamati
m. Perubahan posisi untuk
berkurang dengan
menggunakan
manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri
( skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri
)
d. Menyatakan rasa aman
setelah nyeri berkurang.
komunikasi terapiutik
untuk mengetahui
pengalaman nyeri
pasien
d. Kaji kultur yg
memperngaruhi
respon nyeri
e. Evaluasi pengalaman
nyeri masa lampau
f. Evaluasi bersama
pasien dan tim
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan
control nyeri masa
lampau
g. Bantu pasien dan
keluarga untuk
mencari dan
menentukan dukungan
h. Control lingkungan yg
dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu,
ruangan,
pencahayaan, dan
kebisingan
i. Kurangi factor
presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
( farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
menghindari nyeri
n. Sikap tubuh melindungi
o. Dilatasi pupil
p. Melaporkan nyeri secara
verbal
q. Gangguan tidur.
Faktor yg berhubungan
a. Agen cedera (mis., biologis,
zat kimia, fisik, psikologis )
k. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi
m. Evaluasi keefektfan
control nyeri
n. Tingkatkan istirahat
D. Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan. Dari kasus tersebut tindakan yang harus
dilakukan memberikan HE kepada keluarga mengenai penyebab dan cara
mengatasi penyakit epilepsy
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat
untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa,
perencanaan, dan pelaksanaan tindakan. Disini criteria hasil yang diharapkan
perawat sebagai pembuat rencana keperawatan adalah Pasien tidak mengalami
cedera, tidak jatuh, tidak ada memar Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak
mengalami apnea dan aspirasi, Pasien dapat berinteraksi kembali dengan
lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder), Pola napas normal, TTV
dalam batas normal, Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan
aktifitas sehari- hari secara normal, Organ sensori dapat menerima stimulus dan
menginterpretasikan dengan normal, Ansietas pasien dan keluarga berkurang,
pasien tampak tenang, Status kesadaran pasien membaik
DAFTAR PUSTAKA
A. Setiaji.2014. Epilepsi. (online) Eprints.Undip.ac.id. (Diakses 19 Oktober 2015)Dychan. 2008. Epilepsi.(online) www.medicastore.com. (Diakses 19 Oktober
2015).
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sistem Persyarafan. Jakarta; Salemba Medika
NANDA NIC-NOC. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA. Jogjakarta: Mediaction.
NANDA, 2001, Nursing Diagnosis: Definition & Classification 2001-2002, Philadelphia, North American Nursing Diagnosis Association
Piogama. 2009. Epilepsi.(online) www.wikipedia.com. (Diakses 19 Oktober 2015). Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi:Konsep Klinis proses-proses penyakit Edisi $. Jakarta; EGC
Ro, Cahyanti. 2014. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Epilepsi. (online) Eprints.ums.ac.id. (diakses 19 Oktober 2015)
Turana, Yuda. 2007. Epilepsi dan gangguan fungsi kognitif.(online) www.medikaholistikcom. (Diakses 19 Oktober 2015).