64
BAB 5. Organ Tubuh Yang Terserang Lupus Posted by Admin YLI On September 26, 2011 1 Comment Organ Tubuh Yang Terserang Lupus Lupus dapat menyerang organ tubuh vital seperti : mata, syaraf, sendi, ginjal, hati, paru, jiwa, jantung, kulit, darah, paru dan hati. Namun, serangan penyakit Lupus jarang mengenai seluruh organ tubuh sekaligus. Apabila seseorang mengalami dua atau lebih dari gejala- gejala Lupus maka harus segera diwaspadai “menderita Lupus”. Penyakit ini tidak mudah diketahui. Contoh kasus banyak terjadi pasien datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan parah dan terjadi komplikasi.

Lupus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

-

Citation preview

BAB 5. Organ Tubuh Yang Terserang LupusPosted by Admin YLI On September 26, 2011 1 Comment

Organ Tubuh Yang Terserang Lupus

Lupus dapat menyerang organ tubuh vital seperti : mata, syaraf, sendi, ginjal, hati, paru, jiwa, jantung, kulit, darah, paru dan hati. Namun, serangan penyakit Lupus jarang mengenai seluruh organ tubuh sekaligus. Apabila seseorang mengalami dua atau lebih dari gejala-gejala Lupus maka harus segera diwaspadai menderita Lupus. Penyakit ini tidak mudah diketahui. Contoh kasus banyak terjadi pasien datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan parah dan terjadi komplikasi. Padahal jelas bahwa penyakit Lupus sangat berpotensi mengancam jiwa manusia .

Lingkaran Lupus

Lupus dapat menyerang:

Organ Tubuh Vital yang Terkena pada Lupus

Pada Ginjal :

Kelainan ginjal ringan ( infeksi ginjal ).Kelainan ginjal berat ( gagal ginjal )Kebocoran ginjal ( terbuangnya protein berlebihan melalui urine).Tanda gangguan ginjal se[erti bengkak seluruh tubuh.

50% Pasien Lupus alami kebocoran ginjal. Nefritis Lupus adalah salah satu yang serius dari SLE yang cukup sering ditemukan dan merupakan gejala lupus yang serius.

Kerusakan ginjal pada penderita Lupus, umumnya terjadi kebocoran sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya untuk menyaring zat zat yang masih diperlukan tubuh.

Protein, misalnya, yang seharusnya tetap dipertahankan dalam tubuh, ikut dikeluarkan bersama zat lain yang tidak diperlukan tubuh dalm bentuk air seni. Tubuhpun akan kekurangan protein.

Jika kadar zat yang diperlukan tubuh masih teap tinggi dalam urine seperti protein dan sel darah merah, berarti terjadi kebocoran ginjal.Kerusakan ginjal sangat berbahaya karena sel sel ginjal yang rusak tidak bisa diperbaiki. Rusaknya ginjal juga bisa mengakibatkan penderita lupus terkena penyakit teanan darah tinggi (hipertensi). Karena ginjal sangat berperan dalam mengatur tekanan darah.

Akibat hilangnya protein melalui air seni (urine) dari lupus nepritis yang menyebabkan penumpukkan cairan sehingga mengakibatkan kelebihan berat badan dan pembengkakan (edema), pada kondisi seperti ini dapat mengakibatkan pembengkakan di kaki, sendi atau jari. Bengkak seperti ini sering merupakan gejala pertama dari lupus nephritis yang mudah terlihat dari kondisi pasien.

Pada banyak pasien, ketidak normalan urine sangat samar, mungkin muncul pada satu pemeriksaan, akan tetapi tidak terlihat pada pemeriksaan berikutnya. Akan tetapi pada beberapa pasien, temuan tidak normal pada pemeriksaan urine berlangsung lama atau semakin lama malah semakin memburuk. Pasien dengan nephritis lupus seperti ini mempunyai risiko kehilangan fungsi ginjal. Oleh karena itu pada kondisi semacam ini, pasien memerlukan pemeriksaan tambahan untuk mengevaluasi tingkat kegawatan nefritis lupusnya serta untuk menentukan pendekatan pengobatan terbaik dalam mengendalikan penyakit mereka.Pemeriksaan untuk menguji Nefritis Lupus

Ada beberapa pemeriksaan yang biasanya dilakukan dokter untuk menguji penyakit ginjal pada pasien Lupus, yaitu :

1. Pemeriksaan air seni (urinalysis).

yaitu analisa terhadap urine sejauh ini merupakan pemeriksaan yang mudah dan

paling sering digunakan untuk memeriksa nephritis lupus. Dalam pemeriksaan ini,

contoh urine diuji untuk mengetahui keberadaan protein dan sel darah yang tidak

biasanya ditemukan di dalam urine. Protein dan sel darah berkumpul pada ginjal

dan keluar melalui urine.

Keberadaan protein (proteinuria), sel-sel darah merah (hematuria). Sel-sel darah putih

(leukocyturia) atau buangan dalam urine memberi kecenderungan terhadap

kemungkinan nephritis lupus dan umumnya merupakan indikasi perlunya pemeriksaan

lebih lanjut.

2. Urine yang dikumpulkan selama 24 jam.

yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap urine yang diperoleh dalam waktu lebih

dari 24 jam sangat peka dalam menentukan keterlibatan ginjal pada pasien lupus.

Pemeriksaan ini mengukur kemampuan ginjal untuk menyaring sisa buangan (lulus

pemeriksaan creatinine) dan jumlah yang tepat dari protein yang hilang melalui urine

dalam waktu lebih dari 24 jam (protein urine 24 jam).

3. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk menguji apakah ginjal menjalankan

fungsi dengan baik. Urea nitrogen darah (blood urea nitrogen/BUN) dan serum

creatinine adalah dua pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan apakah sisa

buangan sudah cukup dibuang oleh ginjal dan tidak tersisa di dalam darah. Kehilangan

protein melalui urine dapat menyebabkan rendahnya tingkat protein dalam darah dan

biasanya diukur dengan serum albumin Albumin dalam darah. Pemeriksaan darah

juga dapat dilakukan untuk mengetahui ketidaknormalan sistem kekebalan yang sering

terjadi pada pasien dengan nephritis lupus. Pengukuran tingkat serum complement dan

anti DNA antibodi dalam darah ini adalah dua jenis pemeriksaan yang sering

digunakan oleh dokter untuk mengawasi nephritis lupus.

4. Pemeriksaan sinar X (X-ray).

yaitu pemeriksaan pada ukuran dan bentuk ginjal yang dapat ditentukan dengan

intravenous pyelogram atau sonogram. Pemeriksaan seperti ini biasanya dilakukan

sebelum biopsi ginjal yang bertujuan untuk memberi panduan kepada dokter pada saat

melakukan biopsi ginjal.

5. Biopsi ginjal.

Untuk mendeteksi seberapa jauh kerusakan ginjal, dilakukan biopsi ginjal.

Caranya, mngambil sebagian sel ginjal untuk diteliti. Melalui cara ini bisa

ditemukan seberapa parah kerusakan ginjal sehingga bisa ditentukan pengobatan yang

tepat.

Biopsi biasanya dilakukan dengan cara memasukkan jarum menembus kulit

dipinggang bagian belakang dan mengambil sepotong kecil ginjal.

Cara pengobatan nefritis lupus

Prinsip dasar pengobatan adalah untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk, pengobatan ini memerlukan waktu yang sangat lama.

Dapat dilakukan dengan cara therapi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien. Dua bentuk therapy sebagai pengobatan khusus bagi nephritis lupus, yaitu :

1. Kortikosteroid digunakan untuk mengendalikan peradangan pada ginjal.

therapy corticosteroid seperti prednisone, prednisolone atau methylprednisolone

therapy ini sering digunakan untuk mengobati nephritis lupus. Walaupun

corticosteroid sudah digunakan hampir empat dekade untuk mengendalikan nephritis

lupus , tetapi sampai saat ini masih meninggalkan banyak pertanyaan yang tak

terjawab mengenai bagaimana sebenarnya obat-obatan tersebut bekerja dan bagaimana

mungkin mereka lebih efektif untuk digunakan. Secara umum corticosteroid dosis

tinggi bisa digunakan secara oral atau disuntikkan melalui vena.

2. Therapy obat-obatan sitotoksik (immunosupresif) , untuk menekan aktivitas sistem kekebalan ini seperti azatioprin (Imuran) atau siklofosfamid (cytoxan), Terapi obat ini biasanya digunakan pada pasien yang penyakitnya tidak bereaksi terhadap pengobatan corticosteroid.

Kesimpulan :

Akibat lain yang ditimbulkan dari nephritis lupus yang terjadi pada beberapa pasien nephritis lupus adalah hilangnya fungsi ginjal secara progresif atau terjadinya gagal ginjal. Pada kondisi semacam ini untuk mendukung penggunaan fungsi ginjal dapat dilakukan melalui penggunaan alat cuci darah tiruan (artificial dialysis).

Pada Jantung dan Paru :Penderita akan merasakan gangguan pernafasan, ini muncul akibat terjadinya peradangan selaput yang membungkus paru-paru (pleuritis) dan jantung (perikarditis) sehingga menyebabkan terjadinya sesak nafas atau jantung terasa berdebar-debarTerjadi pengumpulan cairan di dalam rongga selaput paru ( Efusi Pleura ) atau jantung ( Efusi Pericard ).Gangguan irama jantung, denyut nadi cepat.Radang otot jantung.Gagal Jantung.Perdarahan paru / batuk darah.

Rentang derajat keterlibatan serangan terhadap jantung dan paru-paru ini dapat mengancam jiwa si pasien Lupus. Kenyataannya, serangan jantung merupakan peringkat ketiga dari penyebab kematian bagi pasien Lupus.

Jantung

Serangan Lupus dapat mempengaruhi seluruh bagian dari jantung, termasuk pericardium (kantung/selaput yang mengelilingi jantung), mycardium (lapisan otot jantung), endocardium (lapisan di bagian dalam jantung) dan arteri koroner (pembuluh koroner/jantung).Kantung/selaput yang mengelilingi jantung (Pericardium)

Merupakan penyakit yang biasanya terjadi pada jantung pasien pengidap lupus. Hal

ini terjadi saat lapisan pericardium diserang oleh auto-antibodi dan terjadi radang.

Gejala yang sering terjadi, yaitu rasa sakit yang sangat pada dada kiri di bagian bawah

tulang dada, demam,detak jantung terasa cepat dan kadang bernafas pendek-pendek.

Rasa sakit dapat berubah dengan mengubah posisi badan. Biasanya rasa sakit akan

berkurang dengan mencondongkan badan agak ke depan. Rasa sakit di dada tersebut

rasanya mirip seperti terkena serangan jantung. Dalam kasus pericardium, pasien

tidak mempunyai gejala apapun. Pemeriksaan darah, rontgen dada, EKG

(electrocardium) dan electrodiogram yang dapat membantu untuk melakukan

diagnosis pericarditis. Electrodiogram adalah ultrasound dari jantung dari hasil

pemeriksaan ini dokter dapat mengetahui apabila terdapat cairan disekeliling jantung.

Pada pasien Lupus, tidak biasanya ditemukan jumlah cairan yang berlebihan

disekeliling jantung.Lapisan otot jantung ( Myocardium )

Terjadi apabila lupus menyebabkan peradangan pada myocardium maka terjadilah

myocarditis, yaitu penyakit otot pada jantung yang signifikan dan tidak umum terjadi

pada SLE. Gejala dari myocarditis merupakan irama dari jantung yang cepat dan

tidak dapat dijelaskan penyebabnya (tandanya hasil dari EKG tidak normal, gagal

jantung dan detak jantung yang tidak teratur). Myocarditis sering dihubungkan

dengan peradangan otot lain di tubuh pederita.

Pengobatan lupus myocarditis biasanya menggunakan kortikosteroid. Obat-obatan

immunosuppressive (cytoxan, Imuran) bisa ditambahkan apabila terjadi peradangan

yang tidak bisa dikendalikan dengan steroid. Myocarditits dapat membuat kerusakan

pada jaringan dan menggantikan jaringan jantung dengan jaringan berparut.Lapisan di bagian dalam jantung ( Endocardium )

Apabila lupus menyebabkan peradangan pada endicardium/lapisan bagian dalam

jantung (endocartis) maka bisa mengakibatkan kerusakan katup jantung, tetapi

jarang berakibat buruk pada efisiensi pemompaan jantung. Permukaan-permukaan

jantung bisa menebal atau tumbuh kutil (atau luka Libman-Sacks) hal itu dapat

menyebabkan bunyi berdesir pada jantung (heart murmurs), biasanya pertumbuhan

tersebut tidak mempunyai efek yang berarti pada fungsi katup-katup jantung. Jika

terdapat bakteri pada pertumbuhan tersebut dan mengakibatkan infeksi (bacterial

infection) yang sangat serius - sehingga pasien harus dirawat inap di rumah sakit.

Namun, peradangan ini jarang berlanjut yang menimbulkan kecacatan yang

mengharuskan pasien melakukan penggantian katup.Pembuluh koroner/jantung ( Coronary Arteries )

Pembuluh koroner penderita lupus dapat menyempit sebelum waktunya (prematur).

Pembuluh (arteri) ini mengirimkan darah dan oksigen ke otot jantung yang sangat

vital bagi fungsi pemompaan jantung. Penyempitan atau hambatan pada arteri tersebut

(penyakit pembuluh koroner) dapat menyebabkan rasa sakit di dada dan serangan

jantung. Penyempitan pembuluh koroner dapat terjadi sehubungan dengan dinding

pembuluh (artherosclerosis) serta gumpalan darah beku. Artherosclerosis umumnya

menjadi penyebab penyakit pembuluh koroner pada lupus.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilmuwan di Amerika, menyatakan

bahwa pasien lupus yang menerima steroid beresiko tinggi terhadap terjadinya

artherosclerosis. Tindakan pencegahan adalah dengan cara pengobatan utama (primary

treatment) terhadap penyakit pembuluh koroner.

Paru

Lupus juga dapat menyerang bagian paru-paru dengan berbagai cara. Radang selaput dada (pleurisy) biasanya merupakan perwujudan terlibatnya paru-paru pada SLE. Pleura adalah selaput yang berada diantara bagian luar paru-paru dan bagian dalam rongga dada. Selaput tersebut memproduksi cairan secukupnya yang berfungsi melumasi ruang diantara paru-paru dan dinding dada. Apabila selaput ini diserang oleh autoantibodi dan terjadi peradangan disebut pleuritis atau pleurisy. Kadangkala jumlah cairan yang berlebihan dapat terakumulasi di dalam ruang pleural. Hal ini disebut pleral efusion dan terjadinya tidak sesering pleuritis.

Apabila efusi cukup banyak, efusi tersebut dapat terlihat pada hasil rontgen dada.

Gejala dari pleuritis (radang selaput dada) adalah rasa berat (severe) seperti rasa ditusuk pisau, rasa sakit yang menusuk terjadi pada daerah tertentu di bagian dada. Rasa sakit kadang bertambah pada saat menarik nafas dalam-dalam, pada saat batuk, bersin atau tertawa. Obat-obatan analgesik (penghilang rasa sakit), anti radang non-steroid , dengan atau tanpa kortikosteroid dapat digunakan untuk mengobati pleuritis. Pleural efusion biasanya berkurang dengan pengobatan tersebut atau akan hilang dengan sendirinya bersamaan waktu.

Radang paru ( Pneumonitis ) adalah peradangan yang terjadi dalam jaringan paru yang bisa disebabkan oleh infeksi atau oleh lupus.

Infeksi sering menjadi penyebab pneumonitis pada pasien Lupus. Infeksi tersebut dapat disebabkan oleh organisme seperti bakteri, virus dan jamur/protozoa. Kadang pneumonitis bisa terjadi tanpa infeksi (pneumonitis non infeksi). Gejala pneumonitis adalah demam, sakit dibangian dada dan nafas pendek. Untuk memastikannya pasien dapat melakukan pemeriksaan darah, sputum (ludah atau dahak) dan rontgen untuk memastikan diagnosa pnemonitis. Sedangkan Bronchoscopy atau biopsi paru juga bisa dilakukan untuk menentukan benar/tidaknya infeksi sebagai pencetus pneumonitis. Pengobatan awal, pneumonitis diawali dengan penggunaan obat antibiotik.

Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan kemampuan menyerap oksigen (chonic diffuse interstitial lung disease) adalah kelainan yang biasanya terjadi pada SLE. Penyakit tersebut adalah bentuk kronik dari lupus pneumonitis. Gejalanya adalah serangan berangsur-angsur sampai kronik, batuk yang tidak produktif, rasa sakit di dada seperti pleuritis dan rasa sulit bernafas pada saat melakukan aktivitas fisik. Lupus pneumonitis kronik dapat mengakibatkan bekas luka atau parut pada paru-paru dan menurunkan kemampuan menyuplai oksigen ke dalam darah. Parut pada jaringan paru dalam menghambat oksigen untuk mudah menyerap secara normal (diffuses) dari paru-paru ke dalam darah.

Tingkat keparahan serta aktivitas dari penyakit kronik ini dapat diukur dan diikuti dengan tes fungsi paru-paru (tes pernafasan). Kapasitas sebaran oksigen (difusi) pada paru-paru merupakan ukuran mudah atau sulitnya pergerakan oksigen dari paru-paru ke aliran darah. Kemampuan ini umumnya berkurang pada pasien Lupus pneumonitis kronik. Pengukuran secara periodik dari kapasitas sebaran dapat mengidentifikasikan respon terhadap pengobatan dn memungkinkan dokter mengikuti perkembangan penyakit tersebut.

Pengobatan utama pada lupus pneumonitis kronik dengan menggunakan kortikosteroid dan masing-masing pasien seringkali memberi respon yang berbeda. Perkembangan dari penyakit ini juga berbeda. Pasien mungkin segera membaik kemudian stabil atau keadaannya semakin lama malah semakin parah. Adakalanya penderita lupus mengalami tekanan darah tinggi pada paru-parunya (pulmonary hypertension) atau tekanan darah tinggi pada pembuluh darah di dalam paru-paru.

Jika keadaan semakin parah, dapat mengancam jiwa si pasien dan kecil kemungkinannya untuk sembuh. Tidak ada tindakan medis yang sukses bagi penderita pulmonary hypertension. Tranplantasi jantung adalah satu-satunya cara bagi pasien dengan pulmonary hypertension yang disebabkan oleh SLE.

Keimpulan :

Terserangnya paru-paru pada lupus adalah hal biasa. Pleuritis (radang selaput dada) dan infeksi adalah kondisi yang sering terjadi pada paru-paru. Pneumonitis (radang paru-paru) pada penderita lupus biasanya disebabkan oleh infeksi, akan tetapi bakteri atau virus juga sering menjadi penyebab. Semua pasien Lupus yang mengalami serangan batuk secara tiba-tiba atau rasa sakit di dada seperti pleuritis harus segera memberitahukan dokternya.

Pada umumnya masalah jantung- paru berkaitan dengan lupus akan cepat beraksi terhadap pengobatan. Akan tetapi harus ditindak lanjuti secara seksama, cepat dan akurat diagnosanya terhadap masalah serta pengobatan yang agresif untuk mengurangi kerusakan pada organ tubuh adalah sangat penting bagi suksesnya pengendalian penyakit jantung dan paru-paru pada lupus.

Pada Syaraf :

Susunan Syaraf Pusat :Kejang, sawan ( epilepsi ), gangguan jiwa ( psikosis ).Kelumpuhan anggota gerak tubuh sebelah ( stroke ).Radang selaput otak.Radang pada sumsum tulang belakang.

Susunan Syaraf Tepi :Gangguan rasa raba.Kelemahan gangguan otot akibat gangguan syaraf.

- Syaraf Otonom

Bagaimana cara lupus mempengaruhi sistem syaraf ?

Sistem syaraf memerlukan aliran darah yang terus menerus ke jaringan untuk menyediakan oksigen and nutrisi yang diperlukan agar tetap berfungsi secara normal. Nutrisi dan oksigen dikirimkan melalui pembuluh darah dan memberi makan ke otak, urat syaraf tulang belakang dan syaraf sendiri. Jika aliran terlambat atau terputus, sel-sel syaraf akan terluka (injured) sehingga tidak mampu berfungsi secara normal.

Sistem syaraf terbagi dalam 3 bagian, yaitu :

1. Sistem syaraf pusat (central nervous system/CNS) yang terdiri dari otak dan urat

syaraf tulang belakang.Vasculitis CNS menunjukan peradangan pada pembuluh darah

di otak, hal ini terjadi 10% dari seluruh pasien Lupus. Ciri-cirinya : demam

tinggi, kejang-kejang, kejiwaan dan rasa kaku di leher seperti terkena meningitis

(radang selaput otak/sumsum tulang belakang) jika tidak ditangani dengan tepat

penderita akan pingsan atau menderita koma. Vasculitis CNS adalah bentuk serius

dari SLE dan biasanya mengharuskan penderita menjalani rawat inap dan diberikan

terapi obat corticosteroid dalam dosis tinggi.

Gejalanya :

1. Tidak berfungsinya kesadaran (cognitive dysfunction)

Pada 50% pasien lupus tergambar perasaan bingung, lelah, kerusakan memori dan

kesulitan dalam menyatakan pikiran mereka. Kumpulan dari gejala-gejala tersebut

disebut tidak bekerjanya fungsinya pengenalan/kesadaran cognitive dysfunction.

2. Sakit kepala lupus.

Sakit kepala lupus dapat diobati seperti mengobati sakit kepala yang disebabkan

tekanan darah atau migran, terapi obat corticosteroid sangat membantu pasien.

3. Sindrom antiphospholipid.

Sepertiga dari penderita lupus mempunyai hasil penelitian spilis positip yang palsu,

positip anticardiolipin atau prolonged clotting time test (pemeriksaan waktu

penggumpalan yang berlangsung lama) yang disebut PTT hal ini disebut sebagai

lupus anticoagulant atau antiphospholipid antibodi.

4. Sindrom organ otak (organic brain syndrome).

Penderita lupus dengan sejarah stroke atau vasculitis akan mengalami kerusakan

pada otak yang berganti dengan jaringan berparut ini merupakan serangan

mendadak yang berupa kesulitan menggerakkan otot, ingatan, konsentrasi dan

orientasi. Pasien Lupus yang mengalami sindrom organ otak dan biasanya tidak

terdapat bukti yang memperlihatkan aktivitas lupus di dalam darah atau sumsum

tulang belakang. Pengobatan dengan steroid akan memperburuk gejala yang ada.

Sindrom otak dapat diobati dengan dukungan emosional.

5. Fibromyalgia (sindrom fibrositis).

20% pasien Lupus mengalami sindrom fibromyalgia (fibrositis) berlanjut yang

diwujudkan dengan titik-titik lembut (tender points) dan meningkatnya rasa sakit

pada jaringan lunak. Pasien mengalami menurunnya kemampuan untuk

berkonsentrasi , susah tidur dan tidak memiliki stamina. Sindrom ini dapat diobati

dengan obat-obat anti depressan, konsultasi dengan psikiater dan terapi fisik jika

diperlukan.

2. Sistem syaraf tepi (periphal nervous system) yang terdiri dari serat syaraf yang

memberikan tenaga yang diperlukan oleh kulit dan otak untuk merasa dan bergerak.

Pada sistem syaraf tepi lupus, berbagai gejala dapat terjadi tergantung syaraf mana

yang terlibat. Terserangnya syaraf pada tengkorak (cranial) dapat menyebabkan

gangguan pengelihatan, rasa sakit di wajah, kelopak mata terasa berat, suara

berdenging ditelinga dan pusing-pusing. Radang pada pembuluh darah ke syaraf tepi

dapat berakibat mati rasa atau perasaan geli di lengan dan kaki. Adakalanya kehilangan

sensasi atau terasa lemah otot tangan dan kaki dapat terjadi.

3. Sistem syaraf otonom (autonomic nervous system) yang membantu mengatur syaraf tulang belakang, syaraf tepi dan mengendalikan organ-organ bagian dalam.

Bagaimana dokter mengevaluasi gejala pada sistem syaraf ?

Apabila tubuh Anda mengalami gejalap-gejala sistem syaraf seperti disebut diatas, segera beritahukan dokter Anda. Sebab, sebab-sebab munculnya gejala-gejala tersebut bisa saja karena kondisi di luar Lupus (misal pengaruh obat atau pola hidup yang tidak baik). Langkah penanganan awal yang perlu Anda lakukan adalah konsultasi dengan dokter, pemeriksan badan dan laboratorium. Proses diagnosa sistem syaraf sangat susah karena tidak adanya tes khusus untuk mengetahui keterlibatan sistem syaraf oleh Lupus.

Tes yang selama ini telah digunakan, yaitu tes neurodiagnostik seperti CTScan

dan MRI brain scans, gelombang otak/EEG dan cairan tulang belakang sudah dapat digunakan.

Kesimpulan :

Pengobatan sistem syaraf lupus tergantung dari sumber gejalanya. Pengobatan dapat menggunakan steroid, immunosppresant, pengencer darah, antibiotik, anti convulsant, anti depresi, konsultasi dengan psikiater atau operasi pembedahan. Pada banyak pasien Lupus, keterlibatan sistem syaraf tidak bisa disembuhkan sama sekali.

Pada Kulit :Ruam ruam merah melintang pada kedua pipi dan hidungBercak bercak merah bentuknya seperti uang logam bisa tampak rata atau timbul.Kadang bersisik dan terasa gatal.Bercak bercak ini dapat muncul di bagian kulit mana saja ( muka , kaki , tangan, perut, dada, punggung , kepala).Pada gejala semacam ini, penderita akan sangat rentan terhadap sinar matahari.Terkena sinar matahari saja akan menyebabkan kulit memerah seperti luka terbakar matahari.

Penyakit kulit sering kali dialami penderita lupus erythematosus. Ruam dan luka pada kulit pasien SLE dapat di bagi dalam ruang dan luka kulit yang spesifik lupus serta yang terjadi karena penyakit selain lupus. Ada dua luka spesifik yang berkaitan dengan SLE, yaitu :

1. Luka discoid

Istilah discoid secara harafiah adalah berbentuk koin. Luka parut berbentuk koin,

biasanya terlihat pada daerah dimana kulit terkena langsung cahaya (diberi istilah

discoid lupus erythematosus). Seorang dokter tidak dapat menentukan, apakah ya atau

tidak luka discoid lupus terjadi pada keberadaan atau ketidakberadaan gambaran

sistemik hanya dengan memeriksa bentuk/ukuran dari luka.

Lalu apa hubungan antara discoid lupus dan systemic lupus erythematosus? Lupus

erythematosus sebaiknya dilihat sebagai rangkaian kesatuan dari spektrum (aneka

warna) penyakit. Pada ujung spektrum, kebanyakan luka dicirikan dengan luka kulit

berparut berbentuk coin yang diberi istilah luka discoid. Sedangkan pada ujung lain

dari spektrum, yaitu penderita lupus yang tidak mempunyai luka kulit, tapi memiliki

gambaran sistemik (misalnya radang sendi atau sakit pada ginjal).

Pada seseorang yang memiliki luka discoid, tanpa gambaran sistemik umumnya

tidak memiliki auto-antibodi dalam serum darah mereka. Sedangkan bagi pasien

Lupus SLE dicirikan dengan adanya satu jenis atau lebih auto antibodi di dalam darah

mereka. Dari hasil penelitiannya bahwa diantara 5% sampai 10%

pasien Lupus memperlihatkan luka discoid lupus berbentuk koin yang kemudian

berkembang menjadi sistemik. Berdasarkan penelitian bahwa, suatu saat proses

penyakit lupus bergerak dinamis seiring waktu, sejumlah kecil pasien Lupus yang

memiliki luka discoid tersebut pada akhirnya berkembang menjadi luka sistemik.

2. Luka cutaneous sub-akut (subacute cutaneus lesions)

Jenis luka spesifik ini ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir tahun 70-an.

Ciri-ciri luka ini tidak berparut, erythematosus (berwarna merah) berbentuk koin yang

sangat sensitif terhadap sengatan matahari (akan bertambah parah jika terkena sinar

ultraviolet). Jenis luka seperti ini berciri cutaneous lupus sub akut bisa terjadi

penderita lupus. Luka cutaneous lupus sub akut kadangkala dapat menyerupai luka

psoriaris (semacam penyakit kulit yang kronis) atau berupa luka tidak berparut

berentuk koin. Luka seperti ini dapat terjadi di wajah dalam pola kupu-kupu atau

dapat mencakup area yang luas di tubuh. Tidak seperti luka discoid lupus, luka

cutaneous lupus sub akut tidak menyebabkan parut tapi dapat menjadi masalah

kosmetis utama yang signifikan.

Yang tidak spesifik :Rambut rontok

Luka yang tidak spesifik lupus antara lain : rambut akan mengalami kerontokan

(alopecia) yang tidak berkaitan dengan luka discoid lupus di kulit kepala. Penderita

sistemik lupus yang penyakitnya parah mungkin akan mengalami kebotakan. Akibat

serangan SLE yang parah dapat mengganggu pertumbuhan rambut dan

menyebabkannya menjadi rapuh dan gampang rusak. Rusaknya rambut, khususnya di

bagian tepi kulit kepala akan memberikan ciri penampakan- yang disebut rambut

lupus, tetapi kelak rambut ini secepatnya tergantikan oleh rambut baru.

Vasculitis

Pada pasien SLE juga bisa berkembang menjadi penyakit radang pembuluh darah

(vasculitis). Luka vasculitis bisa berupa bilur berwarna merah yang melibatkan area

yang luas di tubuh. Luka seperti ini juga dapat muncul berupa garis kecil berwarna

merah pada ujung lipatan kuku di ujung jari atau berupa jendul merah di kaki yang

dapat menjadi borok.

Photosensitivity (peka terhadap sinar matahari)

Kepekaan terhadap cahaya merupakan gambaran umum dari lupus erythematosus.

Sekitar 40% sampai 70% pasien Lupus akan mendapati bahwa proses penyakit

mereka termasuk penyakit kulit akan bertambah buruk bila terkena cahaya matahari.

Pengobatan

Pengobatan penyakit kulit pada lupus erythematosus dapat menggunakan cream steroid, plester steroid untuk menutup luka lupus atau dengan suntikan steroid dosis Sedangkan luka lupus yang menyebar luas seringkali diobati dengan menggunakan hydroxychloroquine (plaquenil) atau dikombinasi dengan menggunakan steroid oral dosis tinggi yang diberikan untuk waktu yang singkat. Krem pelindung matahari digunakan untuk mencegah luka kulit lupus. Karena itu pasien Lupus sebaiknya menghindar dari terkena cahaya matahari secara langsung dalam waktu lama.

Kesimpulan :

Perlu diingat : adakalanya luka discoid lupus muncul di kulit kepala yang dapat mengakibatkan kebotakan berparut di tempat tersebut (atau istilahnya alopecia). Yang kemudian luka discoid ini akan menjalar ke bagian tengah dari wajah dan hidung yang berbentuk ruam kupu-kupu. Jenis lupus seperti itu mempunyai implikasi kosmetik yang signifikan maksudnya luka discoid lupus akan menebal, bersisik (hyperkeratotic atau luka cutaneous lupus hypertrophic). Luka discoid lupus bisa saja terjadi pada bagian lapisan dasar kulit yang kacau (thickening) atau diberi istilah profundus lupus.

Berdasarkan hasil penelitian saat ini, luka discoid lupus merupakan hasil dari proses

peradangan di dalam kulit dimana kelenjar getah bening pasien (utamanya sel T) memegang peranan utama. Hal ini berlawanan dengan systemic lupus erythematosus, dimana formasi auto-antibodi dan immune complex bertanggung jawab terhadap banyak gejala klinis.

Pada Jiwa :Gangguan alam perasaan : cemas ,depresi.Gangguan proses berpikir.Gangguan lain : sakit kepala, pusing, lupa daya ingatan, gangguan mental.

Pada Sendi & Otot :

Rasa sakit pada sendi dan otot adalah gejala yang paling umum pada SLE. Karena pada kenyataannya 90% dari pasien Lupus suatu saat selama terserang penyakit ini mereka akan mengalami rasa sakit di sendi atau otot.

Masalah yang sering dihadapi oleh pasien radang sendi dan otot bermacam-macam.

Kadang seringkali, menimbulkan rasa sakit di sendi (arthralgia) dan bagian otot

(myalgia) menyerupai penyakit yang disebabkan oleh virus atau flu. Rasa sakit

lainnya, tidak hanya terasa sakit pada sendi tetapi juga membengkat, hangat dan

lembek. Sedangkan rasa sakit pada radang otot lebih hebat lagi, mengakibatkan

melemah dan hilangnya kekuatan otot secara cepat sebagai penambah terhadap rasa

sakit di otot.

Radang Sendi Lupus

Rasa sakit di sendi pada radang sendi lupus bisa terjadi kapan saja. Serangan pada seseorang bisa terjadi selama berhari-hari atau berbulan-bulan tapi setelah itu akan mereda. Sendi-sendi yang jauh dari batang tubuh (contoh jari, pergelangan tangan, siku, lutut dan pergelangan kaki) adalah yang paling sering terkena. Tanda-tandanya biasanya dimulai dengan rasa kaku atau sakit di pagi hari, yang kemudian berlanjut dengan rasa lelah dan rasa sakit tersebut akan kembali menyerang beberapa hari berikutnya.

Ciri lain dari radang sendi lupus adalah bahwa rasa sakit yang timbul biasanya simetris, maksudnya akan mempengaruhi sendi yang sama pada kedua sisi tubuh. Oleh karena itu, rasa sakit dan bengkak kronis hanya akan terjadi pada satu sendi meskipun terjadi pada seseorang yang didiagnosa lupus. Radang sendi lupus tidak selalu disebabkan oleh kelainan bentuk atau kerusakan pada sendi. Tidak adanya kerusakan pada sendi ini dapat diamati (secara klinis) maupun melalui rontgen.

Diagnosa

Pola dari rasa sakit di sendi dengan keadaan riwayat pasien dapat dijadikan sebagai petunjuk terbaik dalam menentukan jika rasa sakit itu disebabkan oleh SLE atau bukan. Biasanya hasil rontgen sendi yang terasa sakit pada penderita radang sendi lupus umumnya normal. Pada kenyataannya, apabila hanya radang sendi yang menjadi gejala lupus, pemberian diagnosa akan sangat sulit dalam kasus ini perlu dilakukan pemeriksaan yang cermat dan penilaian kembali dari dokter terhadap gejala SLE lain yang mungkin akan berkembang dalam membuat diagnosa baru.

Pemeriksaan laboratorium seperti : pemeriksaan anti-nuclear antibody (ANA) serta pemeriksaan terhadap faktor rematik dapat membantu. Paling tidak 76% orang biasa (bukan penderita lupus) akan memiliki antiibodi (faktor rematik) dalam darah mereka. Paling tidak 95% penderita SLE akan memiliki berbagai bentuk antibodi lain (yaitu ANA) di dalam darah mereka. Tetapi perlu ditegaskan disini : bahwa tidak ada satupun dari antibodi tersebut yang spesifik bagi radang sendi rematik ataupun SLE.

Pengobatan

Radang sendi pada lupus dapat diobati dengan obat-obat anti radang non steroid (NSAIDs) seperti aspirin, ibuprofen dan naproxen. Obat-obatan ini efektif digunakan pada sebagian besar kasus dan umumnya dapat ditolerir oleh penderita. Namun, jika obat-obatan ini tidak efektif, dapat digunakan obat-obatan anti malaria seperti hydroxycloroquine (plaquenil).

Sedangkan terapi obat corticosteroid (prednisone) jarang digunakan dan akan digunakan hanya jika sendi-sendi tetap bengkak dan terasa sakit meskipun telah dilakukan pengobatan lain. Namun yang tak kalah penting bagi pasien Lupus yang mengalami radang sendi lupus, mereka harus belajar mengisitirahatkan sendi-sendi tersebut selama serangan radang sendi lupus dengan tidak melakukan gerakan-gerakan yang dapat menambah rasa sakit.

Radang Otot (myositis) lupus

Gejala rasa sakitnya tidak seperti pada radang sendi. Rasa sakit pada radang otot justru bisa mengalami kerusakan yang parah akibat SLE. Kerusakan ini disebabkan oleh rasa lemah dan hilangnya kekuatan otot, kecuali pasien secepatnya diberi pengobatan yang tepat. Radang otot lupus tidak hanya memberi rasa sakit, tetapi juga akan terasa lembek bila disentuh. Lemah otot ini merupakan gejala yang paling sering terjadi pada radang otot (myositis).

Diagnosa

Diagnosa terhadap radang otot SLE bisa dilakukan secara langsung dengan melakukan pemeriksaan pada saat kondisi tidak normal ini. Pemeriksaan seperti ini dapat digunakan untuk menentukan parahnya kondisi otot yang terlibat : semakin tinggi level enzim tersebut di dalam darah maka semakin parah pula radang otot.

Pemeriksaan dapat dilakukan melalui EMG (electromyogram) untuk menentukan ciri-ciri kerusakan otot pada radang otot lupus. Apabila memang terjadi radang hasil EMG akan memperlihatkan pola khas dari tanggapan elektris. Sedangkan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop terhadap jaringan otot (biopsy) yang diambil dari otot yang terasa sakit dapat dilakukan untuk mengkonfirmasikan keberadaan radang dan membantu mengindentifikasi parahnya radang otot tersebut.

Pengobatan

Terapi obat corticosteroid juga bisa diberikan untuk mengobati radang otot lupus dengan menggunakan dosis tinggi atau menggunakan pengobatan prednisone atau sejenisnya per hari sebagai permulaan, dengan tujuan untuk menekan dan mengendalikan radang secepatnya. Pemakaian dosis steroid secara bertahap dapat dikurangi sepanjang radang otot telah mereda. Sebagian besar pasien Lupus menanggapi terapi pengobatan ini secara cepat dan baik terhadap penggunaan steroid . Setelah fase peradangan akut, pasien radang otot lupus perlu diberikan program latihan olah raga yang terarah dan benar yang bertujuan untuk membantu pasien memperoleh kembali kekuatan dan fungsi otot yang normal.

Kesimpulan :

Karena itu bagi pasien Lupus, program latihan olah raga perlu dirancang secara rutin untuk membantu mencegah terjadinya lemah otot pada penderita radang otot lupus.

Pada Mata :

vasculitis yang melibatkan pembuluh darah kecil pada retina dapat terjadi

pada lupus. Retina adalah jaringan yang berada di bagian belakang mata yang mengandung sel-sel yang harus diaktifkan untuk membentuk gambaran pengelihatan.

Vasculitis di mata tidak menyebabkan gejala apapun. Biasanya ditandai dengan

pengelihatan menjadi buram yang terjadi secara tiba-tiba dan kadang menetap

menjadi buta.

Pada Darah :

Hematologist adalah spesialis dalam kelainan darah yang sangat membantu dalam pengelolaan medis terhadap pasien SLE. Pada umumnya, jarang terjadi tanda-tanda awal lupus muncul di dalam darah. Tetapi pada beberapa pasien Lupus, kelainan darah merupakan gejala utama. Gejala kelainan darah utama pada SLE adalah anemia, thrombocytopenia (rendahnya jumlah keping darah/platelet), gangguan pembekuan dan rendahnya jumlah sel darah putih.

Anemia

Ketidak normalan darah paling sering terjadi pada SLE adalah anemia, yaitu berkurangnya jumlah sel darah merah. Anemia diketahui pada setiap pemeriksaan : hematocrit, konsentrasi hemoglobin dalam darah atau jumlah sel darah merah. Umumnya, sekitar separuh dari pasien dengan Lupus aktif mengalami anemia. Parah atau tidaknya sebanding dengan tingkat aktivitas lupus pada penderita. Kelelahan dan perasaan menderita pada pasien dengan lupus aktif merupakan tanda-tanda dari anemia. Kekurangan zat besi juga merupakan penyebab umum lainnya dari anemia terjadi karena kekurangan darah dari dalam tubuh.

Anemia hemolytic pada pasien Lupus terjadi karena antibodi langsung berlawanan dengan sel-sel darah merah. Hal ini disebut autoimmune hemolytic anemia pada kondisi ini auto antibodi berinteraksi dengan sel-sel darah merah yang menyebabkan sel-sel tersebut dimusnahkan di dalam limpa atau hati oleh sel-sel pemakan bangkai (macrophages).

Steroid seperti prednisone biasanya efektif dalam pengobatan anemia jenis ini. Namun pada beberapa pasien Lupus tidak bereaksi terhadap pengobatan jenis ini,sehingga

membutuhkan pembedahan untuk mengangkat limpa- nya (splenectomy), jika anemia-nya parah, transfusi darah mungkin diperlukan.

Rendahnya jumlah kepingan darah (Thrombocytopenia)

yaitu kepingan darah atau platelet (thrombocytes) adalah partikel kecil di dalam darah yang berguna untuk pembekuan darah. Kekurangan kepingan darah disebut thrombocytopenia, kondisi ini dapat mengarah kepada lebam berlebihan pada kulit dan pendarahan dari gusi, hidung atau bagian dalam perut. Petechiate, menunjukkan adanya pendarahan dalam kulit, merupakan tanda khas thrombocytopenia. Masih banyak kasus thrombocytopenia , oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan terhadap sum-sum tulang untuk memperjelas hasil diagnosa. Pemeriksaan sum-sum tulang umumnya dilakukan dengan mengambil contoh sum-sum tulang dengan menggunakan jarum.

Penyebab thrombocytopenia yang paling sering terjadi pada pasien Lupus adalah immune thrombocytopenia atau biasa di kenal dengan ITP. Kondisi ini disebabkan karena antibodi berlawanan dengan keping darah atau antibodi merusak keping darah. Terjadinya ITP banyak dialami pasien Lupus, bahkan dianggap sebagai gejala lupus satu-satunya.

Pada kasus yang (jarang terjadi), ITP dan autoimmune hemolytic anemia muncul

bersamaan. ITP biasanya diobati dengan steroid (prednisone) tetapi pada beberapa kasus

spllenectomy (bedah untuk mengangkat limpa) mungkin diperlukan.

Pada kasus kehamilan, anti platelet antibodi dapat menyeberangi plasenta kemudian

memasuki janin dan mengakibatkan thrombocytopenia.

Lupus anti-coagulant (gangguan pembekuan)

Pada beberapa pasien SLE tubuh yang menghasilkan antibodi berdampak pada

pemeriksaan pembekuan darah atau disebut partial thromboplastin time (PTT). Antibodi ini disebut lupus anti coagulant. Istilah coagulant biasanya menunjuk ke suatu bahan/zat yang bercampur dengan mekanisme pembekuan darah yang normal dan merupakan hasil dari pendarahan yang tidak normal atau parah.

Lupus anti coagulant hampir tidak pernah dikaitkan dengan pendarahan yang tidak normal, bahkan ketika terluka atau pembedahan. Pada beberapa pasien dengan lupus anti coagulant cenderung terbentuk ketidak normalan pembekuan darah, khususnya pada vena yang merupakan hasil dari kondisi tersebut disebut venous thrombosis. Venous

thrombosis perlu diobati dengan obat-obat anti-coagulant seperti : heparin dan coumadin, terutama dalam kasus yang berkaitan dengan pulmonary embolus. Pulmonary embolus

adalah suatu kondisi dimana serpihan dari pembekuan di vena memasuki sirkulasi dan tinggal di paru-paru. Lupus anti-coagulant diketahui pada kasus keguguran yang berulang.

Rendahnya jumlah sel darah putih

Pada SLE, salah satu dari dua jenis utama sel darah putih yaitu : granulocytes dan

lymphocytes (mungkin akan berkurang) yang menyebabkan terjadinya granulocytopenia

(jumlah granulocyte rendah) dan lymphocytopenia (jumlah lymphocyt rendah). Namun,

ketidak normalan ini tidak berbahaya dan tidak menyebabkan terjadinya gejala apapun juga.

Infeksi Pada Lupus:

Sebelum dicapai kemajuan medis dalam mendiagnosa dan pengobatan lupus banyak penderita lupus menemui ajalnya karena gagal ginjal dan serangan sistem syaraf pusat (central nervous system). Sekarang ini banyak kasus Odapus meninggal karena infeksi dari penyakit sistemik lupus aktif

Pasien Lupus lebih rentan terhadap infeksi dibandingkan dengan orang kebanyakan dengan dua alasan, yaitu :Lupus secara langsung mempengaruhi sistem kekebalan sehingga mengurangi kemampuan pasien dalam mencegah dan melawan infeksi.

Pasien Lupus memiliki ketidak normalan dalam sistem kekebalan yang

menyebabkan cenderung berkembangnya infeksi dalam tubuh.Banyak dari obat-obatan yang digunakan untuk mengobati lupus yang menekan fungsi kekebalan sehingga menjadikan pasien Lupus cenderung terkena infeksi.

Obat-obatan seperti cortisone (prednisone) dan cytotoxic seperti azatthioprine

(Imuran) dan cyclophosphamide (cytoxan) dapat meningkatkan kerentanan pengguna

terhadap infeksi akibat obat-obatan tersebut sehingga menekan sistem kekebalan

pada kondisi tubuh yang normal ataupun yang tidak normal.

Jenis-Jenis Infeksi Pada LupusInfeksi yang terjadi pada pasien Lupus terdiri dari dari dua golongan. Golongan pertama adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang dapat menyebabkan infeksi pada penderita lupus dan orang kebanyakan.Golongan kedua terdiri dari infeksi oportunistik, disebabkan oleh organisme yang mampu menyebabkan penyakit hanya jika sistem kekebalan melemah. Kebanyakan infeksi oportunistik disebabkan oleh jamur, parasit atau protozoa.

Infeksi yang sering paling sering terjadi pada pasien Lupus melibatkan saluran pernafasan, kulit dan saluran kemih. Setiap penderita lupus yang mengalami demam sebaiknya dievaluasi secara menyeluruh. Khususnya jika pasien menggunakan aspirin, obat-obat anti radang non-steroid (misalnya : Advil, Naprosyn) atau steroid yang dapat menurunkan suhu tubuh. Bagi pasien yang mengalami infeksi yang dapat mengancam jiwa tapi tidak diketahui sumber infeksinya, sebaiknya di rawat inap untuk dilakukan pemeriksaan untuk membantu mempercepat diagnosa.Vasculitis Pada Lupus:

Pengertian Vasculitis

Vasculitis adalah radang yang terjadi pada pembuluh darah. Radang di sini adalah suatu kondisi dimana jaringan pembuluh darah dirusak oleh sel-sel darah yang memasukinya. Sel-sel darah tersebut kebanyakan adalah sel-sel darah putih yang bersirkulasi dan menjalankan tugas sebagai pertahanan utama kita melawan infeksi. Biasanya sel-sel darah putih akan menghancurkan bakteri atau virus. Akan tetapi mereka juga dapat merusak jaringan normal jika mereka menyerang. Vasculitis juga dapat mempengaruhi pembuluh darah yang sangat kecil (kapiler), pembuluh darah ukuran menengah (arterioles atau venules), atau pembuluh darah yang besar (arteri/vena).

Beberapa hal yang terjadi pada pembuluh darah yang mengalami radang. Jika radang terjadi pada pembuluh darah kecil, maka akan pecah dan menghasilkan area kecil pendarahan di dalam jaringan. Pada area ini akan muncul seperti noda kecil berwarna merah atau unggu di atas kulit. Tetapi, jika radang terjadi pada pembuluh darah besar, maka akan terjadi pembengkakan dan menghasilkan noda yang akan terlihat jika pembuluh tersebut berada di dekat permukaan kulit. Bagian dalam dari tabung pembuluh darah akan menjadi sempit sehingga aliran darah berkurang atau bahkan tertutup total (akibat adanya darah beku yang terbentuk pada tempat peradangan). Jika aliran darah berkurang atau berhenti, jaringan yang menerima darah dari pembuluh tersebut akan mati. Contohnya seseorang dengan vasculitis pada arteri ukuran sedang di bagian tangannya (jari-jarinya) akan menjadi dingin (cold finger) dan terasa sakit jika digerakkan hal ini bisa berkembang menjadi gangrene.

Penyebab Vasculitis

Vasculitis dapat disebabkan oleh :

1. Infeksi pada dinding pembuluh darah.

Kasus semacam ini jarang terjadi. Apabila terjadi, bakteri, virus atau jamur

menginfeksi pembuluh darah dan sel-sel darah putih bergerak masuk untuk

menghancurkan benda penyebab infeksi tapi sel tersebut juga akan merusak pembuluh

darah ini merupakan kondisi serius dan membutuhkan pengobatan antibiotik yang

tepat.

2. Reaksi kekebalan atau alergis pada dinding pembuluh darah.

Reaksi kekebalan sering terjadi. Yang menyebabkan reaksi kekebalan ini

menyababkan reaksi alergis atau disebut antigen. Antigen tersebut menyebabkan

tubuh memproduksi protein (atau antibodi) yang diikatkan ke antigen dengan tujuan

untuk membersihkan atau membuangnya. Antigen dan antibodi yang terikat bersama

disebut immune complexes. Dua cara utama immune complexes menghancurkan

antigen dengan cara : (1). Menarik sel-sel darah putih ke inti antigen. (2). Dengan

mengaktifkan substansi tubuh lainnya untuk membantu menghancurkan antigen.

Beberapa immune complex tidak menjalankan fungsinya, yaitu menghancurkan antigen , mereka malah tinggal terlalu lama di dalam tubuh dan ikut bersilkulasi bersama darah dan akhirnya mengendap di dalam jaringan sehingga mengakibatkan terjadi penumpukkan di dalam dinding pembuluh darah yang akhirnya dapat menyebabkan peradangan. Kemungkinan besar beberapa sel darah putih yang menghancurkan antigen (sel-sel cytotoxic) secara tidak sengaja juga merusak pembuluh darah dan mengakibatkan vasculitis.

Konsultasi ke dokter

Jika Anda mengalami vasculitis sebaiknya segera konsultasikan ke dokter. Ingat : vasculitis bisa sangat ringan bisa sangat parah atau mengancam jiwa.

Diagnosa Vasculitis

Diagnosa vasculitis bisa didapat berdasarkan catatan kesehatan pasien untuk melihat gejala-gejala yang ada, pengujian fisk secara lengkap serta hasil pemeriksaan laboratorium. Ketidak normalan pada darah dapat terjadi apabila vasculitis muncul adalah terlihat dari naiknya tingkat pengendapan darah, anemia serta jumlah darah putih dan keping darah (platet) yang tinggi. Pemeriksaan darah digunakan untuk mengenali immune complexes atau antibodi dalam sirkulasi darah yang menyebabkan vasculitis dan mengukur tingkat complement normal atau tidak, selain itu dokter juga akan melakukan analisa air seni (urine).

Pengobatan Vasculitis

Pengobatan yang akan digunakan pada vasculitis bergantung pada parahnya penyakit tersebut. Banyak kasus vasculitis yang tidak memerlukan pengobatan. Sebagai contoh beberapa noda di kulit (jika tidak diikuti gejala lain) tidak memerlukan pengobatan apapun. Kebanyakan dokter merekomendasikan pengobatan dengan menggunakan obat-obat jenis cortisone seperti prednosone, prednisolone atau methyprednisolone (medrol) sebagai pengobatan awal terhadap vasculitis.

Bagi pasien dengan vasculitis parah atau vasculitis yang tidak beraksi dengan baik terhadap obat-obat jenis cortisone perlu diobati dengan obat-obat cytotoxic obat ini dapat menghancurkan sel-sel yang menyebabkan radang dalam pembuluh darah. Dua obat yang paling sering digunakan adalah azathioprine (Imuran) dan cyclophosphamide (Cytoxan). Obat-obat cytotoxic ini bisanya digunakan dalam kombinasi dengan prednisone dan efektif untuk mengobati vasculitis.

Kesimpulan :

Ada beberapa akibat yang di derita dari vasculitis. Pada banyak pasien, vasculitis terbatas pada kulit (pada kasus vasculitis pada lupus tidak mengancam jiwa).

Sedangkan bagi pasien vasculitis yang parah (menyerang organ utama) biasanya menyebabkan cacat secara permanen. Umumnya, pasien vasculitis dapat menghilang, tetapi akan muncul lagi nanti dan memerlukan pengobatan lagi.http://yayasanlupusindonesia.org/bab-5-organ-tubuh-yang-terserang-lupusterapiImunosupresif AzathioprinAzathioprine adalah agen pertama yang digunakan secara luas dalam tranplantasi organ. Obat ini merupakan prodrug yang dikonversi pertama-tama menjadi 6-mercaptopurine (6m-p) dan kemudian menjadi nukleotida yang sesuai, thioionsinic acid. Efek imunosupresif azathioprine disebabkan oleh analog nukleotida ini. Karena proliferasinya yang cepat dalam respon immun dan ketergantungan dalam sintesis purin de no vo yang dibutuhkan untuk pembelahan sel, limfosit paling banyak berpengaruh oleh efek sitoksik azathioprine. Catatan obat ini memiliki sedikit efdek dalam menekan respon imun kronis. Toksisitas non imun yaitu bersifat supresi susum tulang. Penggunaan secara bersamaan dengan menghambat enzim pengkonversi enzim angiostensin atau kotrimoksazol pada pasien tranplantasi ginjal menyebabkan respon leokopenia yang berlebihan. Allopurinol suatu agen digunakan untuk mengobati gout, secara signifikan menghambat metabolism azhatioprine; oleh sebab itu dosis azhathioprine harus dikurangi 65 -70 %. Mekanisme kerjaa. Pembentukan nukleotida : untuk mengeluarkan efek antileukemiknya, 6-MP harus menembus target dan menjadi analog nukleotida, 6 MP harus menembus sel target dan diubah menjadi analog nuleotida, 6 MP- ribose fosfat (lebih dikenal sebagai 6 thiosinic acid. Selain itu, ribose fosfat dikatalisis oleh enzim pada jalur penyelamatan yaitu hypoxanthine- guanine phosphoribosyl transferase (HGPRT).b. Inhibisi sintesis purine: sejumlah proses metabolic yang melibatkan interkonversi dan biosintesis purin dipengaruhi oleh analog nukleotida, TIMP. Seperti adenosine monophopat (AMP), guanosin monofhosfat (GMP) dan inosin monofosfat (IMP), TIMP juga menghambat pembentukan AMP dan xanthinuric acid dari inosinic acid.c. Penyatuan dalam asam nukleat: TIMP diubah menjadai tioguanin monofosfat (TGMF), yang sesudah fosfrilasi menjadi di-dan tri fosfat dapat disatukan dalam RNA. Analog deoksirubonukleotida yang juga terbentuk disatukan dalam DNA. Hal ini menghasilkan DNA dan RNA non funsional (tidak berfungsi).Resistensi : resistensi terkait dengan 1). Ketidakmampuan untuk biotranformasi 6-MP menjadi nukleotida yang sesuai karena penurunan HGPRT( Misal pada sindroma lesch-Nyhan, yang ditandai penurunan enzim ini pada penderita), KortikosteroidStruktur dan fungsi Kortikosteroid alamiah dan buatan secara garis besar terbagi dalam mineralokortikoid dan glukokortikoid. Walaupun pada saat ini pada preparat yang baru semakin diusahakan untuk hanya mempunyai efek glukokortikoid, tetap masih mempunyai efek minerelokortikoid walaupun sedikit.Mekanismekerja 1. Obat golongan kortikosteroid sebenarnya memiliki efek yang sama dengan hormon cortisone dan hydrocortisone yang diproduksi oleh kelenjar adrenal, kelenjar ini berada tepat diatas ginjal kita (lihat gambar). Dengan efek yang sama bahkan berlipat ganda maka kortikosteroid sanggup mereduksi sistem imun (kekebalan tubuh) dan inflamasi, makanya kalo orang dengan penyakit-penyakit yang terjadi karena proses dasar inflamasi seperti rheumatoid arthritis, gout arthritis (asam urat) danalergi gejalanya bisa lebih ringan setelah pemberian kortikosteroid.1. Walaupun tampaknya ada bermacam efek pada fungsi fisiologik, kortikosteroid tampaknya mempengaruhi produksi protein tertentu dari sel. Molekul steroid memasuki sel dan berikatan dengan protein spesifik dalam sitoplasma. Kompleks yang terjadi dibawa ke dalam nukleus, lalu menimbulkan terbentuknya mRNA yang kemudian dikembalikan ke dalam sitoplasma untuk membantu pembentukan protein baru, terutama enzim, sehingga melalui jalan ini kortikosteroid dapat mempengaruhi berbagai proses. Kortikosteroid juga mempunyai efek terhadap eosinofil, mengurangi jumlah dan menghalangi terhadap stimulus. Pada pemakaian topikal juga dapat mengurangi jumlah sel mast di mukosa. Kortikosteroid juga bekerja sinergistik dengan agonis 2 dalam menaikkan kadar cAMP dalam sel.1. Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspormenembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmikglukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dankemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen danprotein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya.1. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya denganDNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA.1. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh proteinspesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkanekspresi unsur respons glukokortikoid utama.1. Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpanbalik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsiIndikasi untuk penyakit alergi Indikasi utama adalah untuk reaksi alergi akut berat yang dapat membahayakan kehidupan, seperti status asmatikus, anafilaksis, dan dermalitis exfoliativa. Selain itu, juga untuk reaksi alergi berat yang tidak membahayakan kehidupan tetapi sangat mengganggu, misalnya dermatitis kontak berat, serum sickness, dan asma akut yang berat. Indikasi lain adalah untuk penyakit alergi kronik berat sambil menunggu hasil pengobatan konvensional, atau untuk mengatasi keadaan eksaserbasi akut pada pasien yang memakai kortikosteroid dosis rendah jangka panjang, harus dinaikkan dosisnya bila terjadi eksaserbasi.Pedoman pemakaian1. Pengobatan kortikosteroid, terutama dengan jangka panjang, menimbulkan banyak efek yang tidak diinginkan maka sebelum memulai pengobatan harus dipertimbangkan untung dan ruginya terlebih dahulu.1. Pada asma akut gunakan kortikosteroid dengan kombinasi obat lain secara tepat waktu, sesuai dengan konsep inflamasi yang terjadi pada asma .Penggunaan kortikosteroid pada asmaLokasiStadium asmaPenggunaan kortikosteroid

Rumah sakitBagian daruratDi rumahDi rumahStatus asmatikusAsma akutKeluhan sesakAsma berulangPermulaan ISPAYaYaYaYa

Catat dengan baik kondisi alergi atau imunologi apa yang memberikan respons baik terhadap kortikosteroid sebelumnya. Kortikosteroid hanya dipakai bila obat konvensional tidak menolong, jadi untuk pasien asma berikan dulu obat metilxantin dan golongan adrenergik. Selain itu hindari penggunaan kortikosteroid pada pasien yang sedang mendapat vaksin virus.Gunakan kortikosteroid dengan dosis serendah mungkin yang dapat mengontrol penyakitnya Tujuan untuk meringankan penyakit lebih dapat diterima daripada untuk menghilangkan gejala. Sedapat mungkin gunakan kortikosteroid yang bekerja dalam jangka pendek (prednison, prednisolon, dsb), dan untuk pemakaian jangka panjang kalau dapat gunakan secara topikal misalnya krem untuk kelaian kulit dan inhalasi untuk pengobatan asma kronik. Batasi penggunaan kortikosteroid untuk 5-7 hari saja, atau bila perlu terapi jangka panjang berikan dosis intermiten selang sehari pada pagi hari. Kortikosteroid yang diberikan 3-4 kali sehari, atau pada malam hari, lebih menekan fungsi kelenjar adrenal daripada yang diberikan sehari sekali atau pagi hari.Komplikasi yang mungkin terjadi untuk pemakaian jangka panjang harus diawasi secara ketat misalnya glaukoma, katarak, gastritis, osteoporosis, dan sebagainya. Jangan menghentikan pemberian kortikosteroid jangka panjang dan dosis tinggi secara mendadak karena akan menyebabkan insufiensi kelenjar supraadrenal dan eksaserbasi penyakit yang sedang diobati.Protokol yang dianjurkan untuk menghentikan pemberian kortikosteroid jangka panjang adalah sebagai berikut. Mulai pengurangan dengan hati-hati (misalnya 2,5-5 mg prednison tiap 3-7 hari) dan awasi keadaan penyakitnya. Bila terjadi peningkatan aktivitas penyakit naikkan kembali dosisnya, kemudian coba lagi mengurangi dengan dosis yang lebih rendah. Usahakan sampai dapat diberikan dosis sekali sehari pada pagi hari dan selanjutnya diberikan setiap 2 hari. Tambahkan dosis kortikosteroid bilamana pasien sedang mendapat stres, untuk stres ringan (gastroenteritis, influensa, otitis media, faringitis, atau tindakan bedah ringan) cukup ditambahkan selama 2 hari, sedang untuk stres berat (trauma atau tindakan bedah besar) tambahkan dosis kortikosteroid untuk 3-4 hari atau sampai stresnya teratasi.Efek Samping Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadapbanyaknya efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidakdiinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindromcushing iatrogenik. Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasiEfek samping jangka pendek1. Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)1. Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.1. Peningkatan tekanan darah1. Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang *orangnya jadi tambah tembemEfek samping jangka panjang. 1. Katarak1. Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga mudah patah.1. Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal1. Menstruasi tidak teratur1. Mudah terinfeksi1. Penyembuhan luka yang lamaSindrom Cushing iatrogenic1. Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma,limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi. Iatrogenic Cushings syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikalendogen.1. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur kadarkortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar inimerupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushings syndrome terkait dengan dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.1. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptorglukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroidberdifusi ke dalam sel melewati membran sl dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalambentuk aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messengerRNA (mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatanuptake glukosa1. Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kerasedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci.1. Limfositopeni Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darahmenuju organ-organ limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi inilebih banyak mempengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yangmendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: migrasi hebatkeluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkanlimfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normalsetelah 24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalahpenghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yangberedar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (selKupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag, karenatempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag.1. Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerjakortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluhdarah, bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat olehkortikosteroid pada kadar suprafarmakologik.1. Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang menggunakan 35 70 mg prednison per oral.Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi. Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi bakterisidanyamenurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid padamakrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksipada penggunaan kortikosteroid setiap hari.1. Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofagpada hari tersebut masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebihsensitif daripada netrofil terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid.1. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga mengurangi pelepasanenzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas membranlisosom pada kadar farmakologik.1. Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen. Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadapreseptornya pada fagosit mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5adan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi padapemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara invitrodengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secarainvivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.1. Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadigangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkinterjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik danhipertensi.1. Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutamainfeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderitaharus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi.1. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon.1. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa penderita.1. Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosisbesar kortikosteroid.1. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, danmungkin menyebabkan glaukoma.1. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Padadosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan padaanak-anak.1. Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroidseperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoidselain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan sertahilangnya kalium.1. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal,hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnyapeningkatan tekanan darah.1. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema.1. Pada penderita penyakit jantung, tingkatretensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.Penanganan Efek Samping1. Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunankonsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off).1. Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering penderita yang resisten denganinsulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis.1. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukanKloroquinNama generik : KlorokuinNama dagang di Indonesia: Riboquin (Dexa Medica) dan Nivaquine (Rhone Poulenc Rorer Indonesia).

Klorokuin telah menjadi obat pilihan untuk pengobatan dan kemoprofilaksis malaria yang disebabkan P. vivak, P. malaria, P. ovale, dan P. falcifarum yang sensitif (P. falcifarum yang tidak resisten terhadap Klorokuin). Kloroluin dengan depat mengakhiri demam (dlam 24 48 jam) dan membersihkan parasitemia (48 72 jam) yang disebabkan oleh parasit yang sensitif. Selain untuk pengobatan Klorokuin juga merupakan agen kemoprofilaksis yang lebih disukai pada wilayah malaria tanpa malaria falcifarum yang resisten.Klorokuin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan psoriasis atau porfuria, karena berpotensi mencetuskan serangan akut dari penderita tersebut. Secara umum, sebaiknya Klorokuin tidak digunakan pada pasien dengan kelainan retina atau miopati. Agen antidiare kaolin dan antasida yang mengandung kalsium dan magnesium menganggu penyerapan Klorokuin dan sebaiknya tidak diberikan bersama-sama Klorokuin. Klorokuin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan 150 mg. berikut ini akan dijabarkan mengenai dosis Klorokuin yang digunakan sebagai profilaksis dan serangan akut.

1. Profilaksis

a. Anak

Klorokuin basa 5 mg/kg/minggu pada hari yang sama disetiap minggunya (tidak lebih dari 300 mg Klorokuin basa/dosis). Pemberian ini dimulai 1-2 minggu sebelum berada di daerah endemik, dilanjutkan 4-6 minggu setelah berada di daerah endemik.

b. Dewasa

Klorokuin basa 300 mg/minggu pada hari yang sama disetiap minggunya. Pemberian ini dimulai 1-2 minggu sebelum berada di daerah endemik, dilanjutkan 4-6 minggu setelah berada di daerah endemik.

2. Serangan Akut

a. Anak

Dosis awal Klorokuin basa 10 mg/kg, dilanjutkan dengan dosis tunggal sebesar 5 mg/Kg yang diberikan setelah 6 jam, kemudian dosis tunggal sebesar 5 mg/Kg/hari selama 2 hari.

b. Dewasa

Dosis awal Klorokuin basa 600 mg, dilanjutkan 6 jam kemudian dengan 300 mg, selanjutkan 300 mg/hari selama 2 hari (dosis kumulatif rata-rata 25 mg/kg Klorokuin basa).

Efek samping yang timbul karena penggunaan Klorokuin adalah gangguan saluran cerna, sakit kepala, kejang, depigmentasi atau rambut rontok, reaksi kulit (ruam, pruritis). Pemberian obat setelah makan dapat mengurangi beberapa efek yang tidak diinginkan seperti gangguan saluran pencernaan. Reaksi yang jarang terjadi meliputi hemolisis pada pasien yang mengalami defisiensi Glucase 6-Phosphate Dehidrogenase (G6PD), dan hipotensi. Pemberian dosis tinggi dalam jangka panjang pada penderita rematik akan menimbulkan ototoksisitas irreversible, retinopati, miopati, dan neuropati perifer. Abnormalitas ini jarang dijumpai bila diberikan dengan dosis standar mingguan untuk profilaksis.

Penggunaan Klorokuin pada penderita gangguan fungsi ginjal sebaiknya dihindari atau dosisnya dikurangi karena Klorokuin diekskresi lewat urin. Dosis bagi pasien gagal ginjal sebesar 50% dari dosis dewasa. Penggunaan Klorokuin pada wanita hamil masuk dalam kategori C. Penggunaan Klorokuin tersebut, dilihat dari rasio risk and benefit. Dosis lazim untuk dewasa dapat diberikan pada wanita hamil yang menderita malaria ringan. Tetapi terapi radikal untuk infeksi P. ovale dan P. vivak dengan menggunakan Primaquin harus ditunda sampai kehamilan berakhir. Sedangkan Klorokuin harus diteruskan dengan dosis 600 mg tiap minggu selama kehamilan. Klorokuin dapat diekskresi ke air susu, sehingga penggunaan Klorokuin pada ibu menyusui tidak direkomendasikan.https://yosefw.wordpress.com/2008/page/12/