37
Kosep-konsep inti demokrasi lokal Kewarganegaraan dan masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah. Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya terkandungunsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antarkelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung bersama-sama. Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses “pendidikan politik”. Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat, yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi – yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat – semakin mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat berarti mengurangi jurang pemisah antara para elite politik dan anggota masyarakat. Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial. Masalah-masalah umum yang menghantui demokrasi lokal di seluruh dunia adalah: n Menyediakan pelayanan sosial dasar – seperti jaringan air bersih dan transportasi — secara berkesinambungan; n Urbanisasi, atau arus perpindahan masyarakat dari desa ke kota, dan tekanan yang diakibatkannya terhadap lingkungan dan kapasitas pemerintah untuk mengatasinya;

madani

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asf

Citation preview

Kosep-konsep inti demokrasi lokal

Kewarganegaraan dan masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.

Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya terkandungunsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antarkelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung bersama-sama. Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses “pendidikan politik”. Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat, yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi – yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat – semakin mungkindan efektif. Peran serta masyarakat berarti mengurangi jurang pemisah antarapara elite politik dan anggota masyarakat.

Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial.

Masalah-masalah umum yang menghantui demokrasi lokal di seluruh dunia adalah:n Menyediakan pelayanan sosial dasar – seperti jaringan air bersih dan transportasi— secara berkesinambungan;n Urbanisasi, atau arus perpindahan masyarakat dari desa ke kota, dan tekananyang diakibatkannya terhadap lingkungan dan kapasitas pemerintah untukmengatasinya;n Vitalitas ekonomi, atau menciptakan peluang mendapatkan pekerjaan danmeraih kemakmuran di pasar global; dann Membina perdamaian sosial dalam kondisi kehidupan sosial yang majemuk,yang menuntut berbagai kelompok etnis dan agama untuk hidupberdampingan.

5.1.1 Pentingnya Partisipasi MasyarakatAda berbagai alasan mengapa partisipasi dan kolaborasi masyarakat perlu didorong dan difasilitasi. Alasan yang mendasar, mungkin, adalah karena partisipasi itu sendiri adalah bagian inti dari makna hakiki demokrasi. Partisipasi

masyarakat penting bagi sebuah pemerintahan yang baik dalam upayanya untuk meningkatkan arus informasi, akuntabilitas, memberikan perlindungan kepada masyarakat, serta memberi suara bagi pihak-pihak yang paling terimbas oleh kebijakan publik yang diterapkan. Pakar demokrasi Robert Dahl menggarisbawahi pentingnya konsep “partisipasi efektif” – yakni warga masyarakat memiliki peluang yang cukup dan sama untuk menyatakan pilihan mereka, mengajukan pertanyan-pertanyan mengenai agenda, dan menyampaikan alasan mengapa mereka lebih mendukung salah satu solusi atau opsi.

Prosedur-prosedur yang mengutamakan dan melestarikan partisipasi (masyarakat) dalam pemilu dan berbagai pengambilan keputusan yang didukung konsensus dapat menghasilkan keputusan yang lebih tinggi keabsahannya sebab masyarakat sudah dilibatkan dalam menyusun keputusan itu, seperti ditegaskan oleh Jane Mansbridge dalam bukunya Beyond Adversary Democracy. Buku itu terutama memaparkan bagaimana pengambilan keputusan kolektif yang dilakukan di sebuah tempat kerja dan gedung balaikota di daerah New England (Amerika Serikat) dapat menghasilkan solusi-solusi yang lebih mantap ketimbang keputusan yang ditempuh lewat metode pemilu atau melalui pendekatan kekuasaan.

Salah satu hasil praktis dari partisipasi adalah terciptanya apa yang disebut “modal sosial” (social capital). Modal sosial adalah kepercayaan dan keyakinan yang terbentuk manakala pemerintah dan masyarakat sipil bertemu dan berembug untuk mengupayakan kebaikan bagi semua pihak, demikian dijelaskan ilmuwan politik Robert Putnam. Modal sosial merupakan basis legitimasi bagi lembagalembaga pemerintahan resmi, dan sangat penting untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien. Tanpa adanya modal sosial ini – maksudnya jika kepercayaan dan keyakinan masyarakat demikian rendah – pekerjaan pemerintah akan terhambat; dan pada akhirnya, masyarakat yang tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah itu akan menjadi masyarakat yang tidak mampu menjalankan fungsi sebagaimana diharapkan; dan skenario terburuk yang bisa terjadi adalah merebaknya tindak kekerasan di antara kekuatan-kekuatan sosial yang bersaing. Kegiatan masyarakat kolaboratif dapat menjadi peranti yang amat penting dalam menyegarkan kembali modal sosial yang sudah ada, atau menyemaikannya jika belum ada.

Dengan kian meningkatnya kemajemukan masyarakat, proses-proses pengambilan keputusan yang kolaboratif dapat menyediakan metode-metode baru untuk mencegah, menangani, dan mengatasi pertikaian masyarakat. Di AS, misalnya, para aktivis pemerintahan lokal banyak mengambil inisiatif untuk mengintegrasikan kemajemukan masyarakat di sana ke dalam berbagai bentuk partisipasi yang baru. Laporan dari National Civic League tahun 1997 menyatakan:Seiring dengan kian meningkatnya jumlah dan kemajemukan para aktor yang ingin berperan serta di dalam keputusan-keputusan masyarakat, proses pengambilan keputusan yang memungkinkan mereka mengakses ke prosesproses itu juga wajib ditingkatkan. Menyatukan berbagai aktor itu – mencari kesamaan visi dan mendefinisikan kepentingan bersama – merupakan sebuah proses pencarian jati diri di mana segenap anggota masyarakat akan menyadari bahwa mereka memiliki bakat dan ide-ide yang diperlukan untuk meningkatkan kehidupan mereka sendiri dan tetangga di sekitarnya. Akhirnya, tekanan masyarakat internasional terhadap pemerintah lokal juga akan meningkat, sebab sistem perekonomian internasional jelas berdampak pada berbagai isu penting yang ditangani oleh para pengambil keputusan di tingkat lokal, bersama dengan kian ketatnya standar internasional mengenai pengambilan keputusan yang demokratis. Perlunya meningkatkan partisipasi (masyarakat) dalam pemerintahan lokal tampaknya merupakan konsekuensi langsung dari berubahubahnya tekanan yang muncul dari dunia industri yang kian mengglobal. Untuk mewujudkan pembangunan lokal yang berkesinambungan, suatu pemerintahan yang partisipatoris merupakan syarat utama.

5.2.3 Peranan Pejabat PublikPeranan apa – jika ada - yang perlu diberikan kepada para pejabat lokal di dalam proses partisipatoris seperti ini? Haruskah mereka dijadikan sebagai penasihat yang akan membantu mendefinisikan masalah sekaligus mengajukan solusinya, sebagai penengah bagi berbagai kelompok masyarakat, sebagai pendengar yang baik dan akhirnya berperan sebagai arbitrator, atau sebagai fasilitator bagi proses itu? Sebenarnya para pejabat lokal dapat memainkan berbagai peranan di waktu yang berbeda-beda, atau bahkan beberapa peranan sekaligus pada waktu yang sama.

Dalam kondisi apa pun, peranan-peranan itu menuntut mereka untuk bertindak lebih dari sekadar pejabat lokal; keterampilan mereka sebagai penengah di tengah masyarakat (social mediator) sangat diperlukan. Pejabat-pejabat lokal harus mampu:

Membangun koalisi; Mendengarkan berbagai sudut pandang/pemikiran dengan seksama; Bersikap terbuka terhadap ajakan persuasif; Melakukan negosiasi dan menjadi penengah bagi kekuatan-kekuatan sosial yang saling bertentangan/bersaing; Membangun konsensus; dan, Jika konsensus itu sudah berhasil dibuat, memutuskan apakah konsensus itusulit dilaksanakan atau tidak akan mendapat respon positif.Para staf ornop atau LSM dan warga masyarakat pun harus memiliki keterampilanketerampilan tersebut, sehingga dalam proses pembuatan kebijakan berdasarkonsensus itu nanti mereka tidak bisa dimanipulasi oleh para pejabat atau kelompokkepentingan yang lebih kuat.Peran-peran yang dapat dimainkan oleh pejabat lokal dalam prosespengambilan keputusan kolaboratif adalah sebagai berikut: Pemrakarsa. Pejabat publik mengambil inisiatif sebagai pemrakarsa,menentukan struktur pertemuan, menetapkan peserta-pesertanya, sifat

partisipasi mereka, agenda, hasil-hasilnya, sekaligus implementasi darikeputusan yang diambil. Kekuatan pejabat daerah/kotapraja sebagai pengambilprakarsa menunjukkan bahwa pihaknya memiliki legitimasi dan kapasitasuntuk mengumpulkan semua pihak yang berkepentingan ke meja perundingandan memfasilitasi peranserta mereka. Mediator. Seorang mediator bertindak sebagai fasilitator yang mengumpulkankelompok-kelompok atau tokoh-tokoh yang berselisih ke meja perundingan.Istilah mediasi itu mengandung pengertian bahwa pejabat yang bersangkutanmungkin perlu memanipulasi situasi sedemikian rupa sehingga pihak-pihakyang bertentangan itu dapat mencapai kesepakatan, misalnya lewat pemberianinsentif finansial atau justru penjatuhan sanksi – namun pada dasarnya pihakpihak yang bertikai itu sendirilah yang harus memiliki itikad baik untuk mencarisolusi bagi masalah mereka. Katalisator. Pihak penguasa dapat memperlancar proses musyawarah, danbekerja sama dengan kelompok-kelompok masyarakat untuk mengadakaninisiatif-inisiatif partisipatoris yang nantinya akan dijalankan sepenuhnya olehpihak lain – misalnya dengan mendirikan paguyuban rukun kampung dansebagainya. Penyandang dana. Pada beberapa kasus, pemerintah lokal lebih suka

membiarkan kelompok-kelompok lain membuat konsep proses partisipatorisberikut seluruh implementasi hasilnya, namun (pemerintah) tidak terlibatlangsung di dalamnya. Sebagai alternatif, pemerintah dapat memberikansuntikan dana kepada sebuah ornop atau organisasi masyarakat yang lain,yang kemudian akan mendesain dan menangani inisiatif itu. Penyedia bantuan teknis. Demikian juga, apabila dalam proses partisipatorisitu nanti muncul masalah yang berkaitan dengan penetapan batas daerahkhusus (zoning) atau sanitasi, misalnya, para pejabat lokal dapat berperansebagai penyedia bantuan teknis. Pembangun kapasitas. Para pejabat lokal dapat memberdayakan kelompokkelompok masyarakat tertentu untuk berpartisipasi dengan membantu merekamembangun kapasitas/kemampuannya. Untuk maksud ini mungkin perludiadakan pelatihan, pendidikan, dukungan keuangan, atau nasihat-nasihatyang bersifat informal. Mitra. Pejabat lokal pun dapat menjalin kemitraan dengan kelompokkelompok masyarakat seperti ornop untuk mengadakan sekaligus mengelolaproses partisipatoris itu. Di dalam kemitraan perlu diatur pembagian tugas,pemaduan berbagai sumber daya, sikap saling mendukung, dan berbagitanggung jawab.

Mencari dan Berbagi Informasi Survei, jajak pendapat. Survei yang dimaksud di sini didesain sedemikian rupauntuk menentukan/menemukan kisaran pandangan masyarakat mengenaisuatu isu atau opini. Di dalam melakukan survei, perlu diseleksi perwakilanpopulasi, kemudian menyusun kuesioner, melakukan survei lewat wawancara,kemudian menganalisa hasilnya. Jajak pendapat adalah metode sejenis yangmengidentifikasi berbagai pandangan dan mengkaji intensitas preferensiresponden. Rapat publik dan forum masyarakat yang inovatif. Rapat umum adalah salahsatu bentuk tradisional upaya mencari dan berbagi informasi. Kadang-kadangmetode ini menurut hukum harus dilakukan manakala ada keputusan sulityang harus diambil atau telah diambil, atau jika muncul masalah yang dapatmembahayakan masyarakat. Beberapa pemerintah daerah memiliki undangundang yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi, yangmengharuskan para pejabat secara rutin menyebarluaskan informasi mengenaiisu-isu penting – misalnya tentang ancaman lingkungan atau soal anggaran –dan ini sering dilakukan lewat rapat-rapat/pertemuan publik yang terbukaatau pada forum masyarakat. Akhir-akhir ini, persoalan yang menjadi fokusutama adalah bagaimana cara mendesain pertemuan publik yangmemungkinkan terjadinya dialog interaktif. Riset partisipatif. Sekelompok pejabat pemerintah, warga, atau ornop/LSMmelalukan riset bersama mengenai suatu masalah yang dihadapi olehmasyarakat. Proses riset itu mungkin mencakup identifikasi masalah,menetapkan kisaran opini tentang penyebab masalah itu, cara-cara untukmengatasinya, dan menyusun rekomendasi tentang opsi-opsi kebijakan yangdapat ditempuh.

Membangun Masyarakat MadaniKalau kita membuka kembali lembaran sejarah lama, maka kita akan segera mengetahui bahwa institusi masyarakat lebih dahulu terbentuk dibanding negara. Negara hadir, justru karena dibentuk oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang semakin kompleks, masalah yang sudah tidak dapat lagi diselesaikan oleh mereka sendiri. Hanya saja perkembangan negara, dalam beberapa situasi, justru mengalami penguatan secara berlebih. Posisi negara menjadi lebih kuat dibanding masyarakat, menghegemoni dalam setiap aspek kehidupan. Negara tidak lagi memosisikan masyarakat sebagai subjek dari proses pembangunan.

Sejarah Indonesia juga menunjukkan wajah konflik antara negara dan masyarakat, negara tidak lagi hadir sebagai instrument untuk menyelesaikan masalah yang ada pada masyarakat, tapi justru sebaliknya. Kondisi tersebut diperparah dengan pola pikir feodal yang menghinggapi aktor negara, mereka memosisikan negara dengan keabsolutan, sehingga berimplikasi pada terbentuknya negara yang anti kritik, berbagai tindakan perlawanan terhadap kepatuhan diganjar dengan hukuman.

Hegemoni kekuasaan negara di Indonesia terhadap masyarakat pada akhirnya berakhir dengan kelahiran reformasi pada tahun 1998, otoritarianisme memang selalu mengandung janin dan benih perlawanan. Benar bahwa reformasi yang terjadi memang tidak serta merta membuat kondisi menjadi lebih ideal, tetapi setidaknya ada upaya dan proses menuju ke arah sana.

Reformasi membuat negara tidak lagi menjadi aktor dan subjek satu-satunya dalam pembangunan, ada upaya serius untuk melepaskan masyarakat atau rakyat dari posisinya sebagai subordinasi kekuasaan. Negara harus berdampingan dengan rakyat, juga pasar, dalam menuju keseimbangannya. Karena itu, penciptaan masyarakat madani menjadi sesuatu yang mendesak untuk diwujudkan.

Masyarakat Madani

Masyarakat madani dalam bahasa inggris berarti civil society atau masyarakat sipil. Dalam abad modern, masyarakat madani atau masyarakat sipil merupakan gagasan tentang model masyarakat yang diperlukan agar negara mampu menjalankan kekuasaannya dengan demokratis. Ia berfungsi untuk mengawasi aktivitas negara agar tidak berlaku despotis terhadap rakyatnya, menjaga agar negara tidak menjalankan kekuasaannya secara absolut.

Dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai kontrol sosial bagi negara, masyarakat sipil harus menjadi komunitas masyarakat di mana keadilan dan kesetaraan menjadi budayanya. Selain itu, mereka juga harus menjadi anggota masyarakat yang sadar hukum, menyadari hak dan kewajiban. Dengan kata lain, menurut Fahri Hamzah, masyarakat sipil adalah sebuah masyarakat yang mempunyai kemandirian atau dapat mengatur kehidupan dirinya sendiri. Kemandirian sebuah masyarakat adalah modal berharga untuk melakukan kontrol sosial terhadap aktivitas negara.

Masyarakat sipil vis a vis negara tidak harus berada pada posisi saling berseberangan, negara pada satu sisi sedangkan masyarakat sipil pada sisi yang lain. Kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat sipil tidak harus membuatnya menjadi bermusuhan dengan negara.

Gagasan masyarakat sipil adalah gagasan tentang kesetaraan antara rakyat dan penguasa. Kesetaraan tersebut membuat tidak ada satupun lembaga negara, memiliki otoritas untuk memaksakan kehendaknya. Kesetaraan tersebut membuat kebijakan publik yang dihasilkan oleh lembaga negara berasal dari proses yang demokratis, ia merupakan hasil dari kesepakatan bersama.

Selain itu, kesetaraan yang terjadi membuat masyarakat sipil berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan sebuah kebijakan publik. John Locke menjelaskan bahwa kesetaraan tersebut membuat negara tidak lagi menjadi absolut, negara harus mempunyai batasan. Menurut Locke, hak dasar manusia yang kemudian disebut dengan proferty; hak kehidupan, hak kemerdekaan dan hak kepemilikan, yang kemudian membatasi kekuasaan negara.

Gagasan tentang masyarakat sipil di eropa berawal saat Lech Walesa memimpin gerakan perlawanan rakyat Polandia terhadap otoritarianisme pemerintahan Jenderal Jeruzelski. Gagasan masyarakat sipil juga dianggap memiliki akarnya pada Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Prancis, gagasan tersebut menjadi budaya dan tradisi dalam masyarakat Eropa.

Selain itu, masyarakat madani juga mengacu kepada konsep negara-kota madinah yang dibangun oleh Muhammad SAW, pendapat itu dibuktikan dengan Piagam Madinah yang menjelaskan betapa majunya masyarakat tersebut saat itu. Piagam madinah bahkan dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia, ia bahkan mengatur tentang hak sipil atau yang lebih dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Robert N. Bellah bahkan mengungkapkan bahwa masyarakat madinah sudah menjadi masyarakat modern untuk ukuran saat itu.

Indonesia Madani

Indonesia saat ini mengalami fase transisi dari masa otoritarianisme menuju konsolidasi yang dicitakan, fase transisi yang tentu saja acap kali memunculkan kegaduhan kecil yang diakibatkan sisa perseteruan antara negara dan rakyat. Tidak jarang kegaduhan tersebut justru muncul akibat dendam kelompok kecil masyarakat terhadap aktor negara, lembaga negara sering kali dijadikan sebagai alat bagi sekelompok masyarakat untuk melancarkan dendam tersebut.

Indonesia madani adalah cita-cita bersama, ia mengacu kepada kondisi di mana terwujudnya masyarakat sipil yang kuat. Masyarakat tersebut tidak lagi menjadi subordinasi negara, tetapi ia justru sebagai subjek dan aktor utama proses pembangunan. John Keane menjelaskan bahwa keberadaan masyarakat sipil dapat memajukan demokrasi, selain dengan membantu terjadinya fase transisi, masyarakat sipil juga berperan dalam mengkonsolidasi demokrasi.

Penguatan masyarakat madani di Indonesia tentu bukan pekerjaan mudah, ia memerlukan kerja sama semua elemen, termasuk negara dan anggota masyarakat itu sendiri. Negara harus

dipastikan mampu menjalankan kepemimpinannya dengan demokratis, model kepemimpinan transformasional model Burns dan Bass dapat dijadikan sebagai referensi.

Negara harus memberi masyarakat sebuah ruang publik yang luas, Free Public Sphere, sebagai tempat dan sarana bagi masyarakat untuk mengekspresikan aspirasinya. Masyarakat harus mendapatkan kebebasan, mendapatkan posisi dan hak yang sama untuk melakukan kerja sosial dan politik, keadilan sosial menjadi hal yang tidak dapat ditawar.

Pilar penegak masyarakat madani, seperti LSM, Pers, Perguruan Tinggi dan Partai Politik, harus mengalami penguatan, karena mereka mempunyai peran vital di tengah masyarakat. Selain berperan membatasi kekuasaan negara, elemen-elemen tersebut juga berfungsi melakukan pendidikan serta menjadi saluran demokrasi, mendorong partisipasi politik, serta melakukan rekruitmen dan kaderisasi pemimpin politik baru.

masyarakat madani adalah masyarakat yang saling menghormati satu sama lain, hal tersebut berarti bahwa ada pemahaman yang utuh tentang hak dan kewajiban masing-masing. Menghormati anggota masyarakat lainnya tidak akan pernah bisa tanpa sebelumnya mengetahui kewajiban diri dan hak orang lain. Penghormatan terhadap hak orang lain juga harus dipastikan secara hukum, tegaknya supremasi hukum menjadi indikasi hal tersebut.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang penuh dengan keberagaman, karena itu sejak lama masyarakat indonesia dikenal dengan sifat keramahan, keterbukaan, toleransi serta gotong royong. Sikap tersebut menjadi modal yang berharga untuk menciptakan masyarakat madani, tinggal lagi negara harus memastikan tegaknya supremasi hukum.

Epilog

Sangat lama memang Indonesia mengalami saat di mana otoritarianisme negara menghegemoni semua aspek kehidupan masyarakat, sehingga sedikit banyak karakter feodal tersebut melekat dalam kekuasaan negara. Menggoda para pemimpin politik untuk mengikuti jejak kelam para tiran dalam mengelola negara Indonesia.

Akan tetapi Indonesia mempunyai modal yang berharga untuk membentuk masyarakat madani, sikap kolektif yang dikenal dengan istilah gotong royong menjadi modal penting untuk memulai upaya ke arah sana, selain bahwa Indonesia juga sudah 17 tahun mengalami fase transisi pasca reformasi.

Tidak mudah memang, tetapi upaya untuk membentuk masyarakat madani harus terus diupayakan. Keberadaan masyarakat madani sangat penting untuk memastikan keberadaan negara menjadi efektif, ia tidak lagi menjadi tujuan politik, tetapi justru sarana untuk mensejahterakan masyarakat. keberadaan masyarakat madani membuat masyarakat tidak lagi menjadi penonton, ia justru menjadi pelaku dan subjek utama dalam pembangunan

Membangun Budaya Politik Masyarakat, Mewujudkan Demokrasi Partisipatif09 April 2012 05:17:02 Dibaca : 3,533

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari kegiatan interaksi dan komunikasi dengan manusia lainnya.. Manusia senantiasa akan selalu berinteraksi dengan yang lainnya dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Melalui proses interaksi dan komunikasi ini pula lahirlah sebuah budaya dalam kehidupan masyarakat. Suatu budaya yang diterapkan dalam kehidupan suatu sistem sosial akan mempengaruhi sistem komunikasinya pula. Karena itulah komunika memiliki kaitan yang sangat erat. Sama halnya yang dikatakan oleh Edward T. Hall, “Budaya adalah komunikasi” dan “Komunikasi adalah budaya”. Budaya adalah hasil dari proses komunikasi yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam berkomunikasi, budaya sangat mempengaruhinya baik secara pola, jenis ataupun konteks. Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu sistem sosial yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia.

Politik dan Budaya Politik

Banyak definisi tentang politik, tidak ada yang absolud dalam mendefinisikan tentang politik, “politik” menurut Pierre Bourdieu, adalah suatu perjuangan demi gagasan-gagasan, tetapi demi suatu tipe gagasan yang sama sekali khusus, yaitu gagasan-kekuasaan gagasan yang memberi kekuatan dengan berperan sebagai kekuatan memobilisasi (P Bourdieu, 2000, hal.63). Menurut Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi. Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya.

Budaya politik merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem politik itu. Bisa dikatakan budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap objek sosial—sistem politik—yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian). Budaya politik merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem politik itu. Bisa dikatakan budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap objek sosial—sistem politik—yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian).

Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi kemudia komunikasi juga ikut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan

budaya. Ini berlaku juga pada budaya politik yang berpengaruh kuat terhadap komunikasi politik di Indonesia. Jika budaya politik Indonesia A maka komunikasi politik yang terjadi pun akan A.

Dalam kehidupan masyarakat, Almond dan Verba mengatakan bahwa ada tiga tipe budaya politik yang dapat ditemukan, yaitu budaya parokial, kaula, dan partisipan. Untuk Indonesia sendiri saat ini ada dua budaya politik yang ada dalam masyarakat, yaitu budaya politik parokial dan kaula. Masyarakat Indonesia masih tertinggal dalam hak dan kewajiban akan politiknya. Hal ini disebabkan pengalaman politik di kehidupan masa lalu, seperti imperialisme, feodalisme, dan patrimonialisme. Hanya sebagian saja yang sudah memiliki budaya partisipan dalam kehidupan politknya, yaitu kalangan elite politik dan masyarakat perkotaan. Hal ini ditopang oleh kemampuan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi.

Sistem politik demokratis yang dijalankan Indonesia saat in masih belum seiring dengan kebudayaan politik yang ada di dalamnya. Idealnya, negara yang demokratis bisa didapatkan jika budaya politik masyarakat yang partisipan. Namun, kembali pada budaya politik yang terdapat di Indonesia―parokial dan kaula―belum bisa mewujudkan sistem yang demokrasi. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, kalangan pemerintah dan elite politik harus mengambil langkah-langkah strategis demi mewujudkan budaya politik partisipan (demokrasi). Ini dilakukan untuk mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis. Kepentingan dan aspirasi rakyat harus menjadi pusat perhatian dalam pengambilan kebijakan.

Penerapan Demokrasi Partisipatif

Penerapan suatu konsep seringkali menjadi kabur ketika akan diaplikasikan di dalam praktek berpolitik dalam kehidupan sehari-hari, namun proses institusionalisasi demokrasi partisipatif akan terdorong melalui desentralisasi dan devolusi kewenangan ke tigkat lokal karena partisipasi maksimum masyarakat dapat ditingkatkan dengan mengurangi ukuran dari unit pengambilan keputusan. Demokrasi pertisipatif juga dapat ditingkatkan dengan memfasilitasi terbangunnya institusi masyarakat seperti asosiasi berbasis tempat tinggal, mata pencaharian, hobi dan sebagainya yang memungkinkan berlangsungnya solidaritas antar individu dan upaya kolektif. Keberadaan komite masyarakat, forum masyarakat dan bentuk-bentuk asosiasi yang demokratis lainnya dianggap strategis untuk mengimplementasikan demokrasi partisipatif.

http://www.kompasiana.com/soefir_dianaperon/membangun-budaya-politik-masyarakat-mewujudkan-demokrasi-partisipatif_550f332a813311c62cbc65c1

Ketika menjelaskan keterkaitan antara status sosial dan demokrasi dalam konteks demokratisasi di Amerika Serikat, Seymor Martin Lipset (1959), seorang pemikir politik, di dalam bukunya berjudul Political Man membuat pernyataan provokatif: “The more well-to-do a nation, the greater the chances that it will sustain democracy”  (Semakin sejahtera suatu bangsa, semakin besar kemungkinan bangsa itu untuk mengembangkan Demokrasi) (Lipset 1959:50). bagi Lipset, konsep “well-to-do” dipahami dalam konteks yang luas meliputi modernisasi, pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, urbanisasi, dan tingkat pendidikan yang memadai. Di antara semua aspek tersebut, Lipset menganggap tingkat pendidikan adalah faktor penggerak demokrasi yang

paling penting karena pendidikan yang memadai akan mendorong manusia untuk berpikir rasional sehingga tidak mudah dibujuk oleh ekstremitas yang dikembangkan oleh para demagog. Dengan kata lain, mereka yang memiliki latar belakang pendidikan memadai cenderung menentukan pilihannya secara rasional dalam memilih partai politik maupun pemimpin politik (Lipset 1959: 56-57).

Sejak munculnya karya Lipset pada tahun 1959, banyak para pakar memperdebatkan keterkaitan antara status sosial (kekayaan dan tingkat pendidikan) dengan perkembangan demokrasi. Salah seorang murid Lipset, Amy Gutmann (1987) di dalam bukunya Democratic Education menawarkan konsep “Democracy Treshold” (Ambang Batas Demokrasi), yakni demokrasi akan tumbuh subur bila suatu bangsa memiliki tingkat pendidikan yang memadai dan merata. Syarat ini menjadi penting karena melalui pendidikan yang memadai masyarakat mampu berperan dalam beberapa hal penting dalam memperkuat demokrasi. Pertama, pendidikan dapat mengarahkan masyarakat untuk menjadi “pemilih rasional” (rational voters), yakni pemilih yang menggunakan kalkulasi rasional dalam menentukan pilihan politik sehingga dapat meredam sentimen-sentimen primordial (etnis, agama, dll.) yang dapat merusak esensi demokrasi. Pilihan rasional juga dapat menjamin terpilihnya para pemimpin politik yang kompeten. Kedua, pendidikan yang merata dapat menentukan terbentuknya masyarakat sipil yang memiliki kesadaran politik (politically vibrant civil society) yang mampu mengontrol jalannya pemerintah melalui mekanisme di luar parlemen dengan berbagai tulisan kritis, seminar, demonstrasi, protes, dll. Di banyak negara demokratis, tingkat kedewasaan demokrasinya seringkali ditentukan oleh ada-tidaknya masyarakat sipil yang memiliki kesadaran politik untuk melakukan partisipasi politik. Ketiga, pendidikan yang memadai cenderung membentuk kelompok berketrampilan cukup yang menjadi pekerja (salary earners) baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Mereka inilah yang menjadi komponen utama kelas menengah (middle class). Kelompok ini oleh Lipset disinyalir sebagai kelompok yang mempunyai dorongan partisipasi politik tinggi karena mereka merasa perlu ikut menentukan arah kebijakan politik pemerintah yang berpengaruh langsung terhadap kepentingan sosial, ekonomi dan politik mereka.

Tampak bahwa korelasi pentingnya pendidikan bagi perkembangan demokrasi dapat dilihat pada tiga macam kontribusi pendidikan bagi tumbuhnya demokrasi, yang meliputi: (1) tumbuhnya perilaku rasional yang menafikan primordialisme; (2) tumbuhnya politically vibrant civil society yang mendorong tingkat partisipasi politik; dan (3) munculnya kelas menengah yang berpretensi ikut mempengaruhi arah kebijakan pemerintah melalui partisipasi dalam pemilihan umum dan pemilihan daerah.

Dalam konteks demokratisasi di Indonesia, pertanyaan yang relevan untuk dikemukakan adalah: apakah skenario kontribusi pendidikan bagi perkembangan demokrasi di negara tersebut dapat ditemukan? Upaya menjawab pertanyaan tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai ancaman bagi demokrasi di Indonesia dan melihat bagaimana pendidikan mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Sebagai negara yang mewarisi tradisi otoritarianisme dalam jangka waktu cukup lama sejak 1959 ketika Presiden Sukarno memerintah melalui sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) hingga pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto (1966-1998), demokrasi di Indonesia menghadapi beberapa macam ancaman krusial yang dapat diatasi dengan pendidikan yang mencerahkan.

Ancaman pertama adalah primordialisme (sentimen etnis, agama, dan kedaerahan) yang dapat menggerogoti demokrasi karena pengingkaran terhadap pluralisme dan toleransi. Dalam politik nasional pun, para pengamat sering menyebut politik di Indonesia diwarnai oleh “politik aliran” (political streams). Menulis tentang konstelasi politik di Indonesia pada dekade 1950-an, Herbert Feith dan Lance Castles (1970) dalam Indonesian Political Thinking, 1945-1965 menyatakan bahwa pemikiran politik di Indonesia diwarnai oleh lima macam aliran, yakni: (1) Nasionalisme Radikal; (2) Demokrasi Sosial; (3) Komunisme; (4) Tradisionalisme Jawa; dan (5) Islamisme. Walaupun kelompok-kelompok aliran tersebut belum tentu akurat dalam menggambarkan aliran pemikiran politik di Indonesia saat ini, tetapi kemunculan berbagai organisasi politik di Indonesia – termasuk partai politik – sedikit-banyak diinspirasi oleh kelima aliran tersebut. Bersamaan dengan memudarnya Komunisme dan berkurangnya pengaruh kaum priyayi sebagai penjunjung Tradisionalisme Jawa, saat ini partai-partai politik di Indonesia  didirikan atas dasar tiga aliran penting: nasionalisme, demokrasi sosial, dan Islamisme. Ketika partai politik berbasis Islam masih mengandalkan pada sentimen keagamaan dalam menggalang dukungan dalam pemilihan, maka demokrasi dapat terancam karena proses rekrutmen politik kemungkinan terkontaminasi oleh primordialisme. Pendidikan – yang mengutamakan pikiran rasional – akan mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari belenggu primordialisme. Dalam demokrasi, kehadiran para pemilih rasional dalam menentukan pilihan kepada para pemimpin yang kompeten – seperti ditunjukkan oleh para pemilih di Jakarta dalam memilih pasangan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI – menunjukkan betapa rasionalitas telah mengalahkan primordialisme sehingga DKI mendapat pemimpin yang sungguh-sungguh dianggap kompeten.

Ancaman kedua bagi demokrasi di Indonesia adalah budaya klientilisme (clientilism), yakni kekuatan politik berada di tangan para “patron” yang menggunakan pengaruh dan harta kekayaannya untuk menggalang dukungan dan loyalitas para “clients” , sehingga membuka jalan bagi praktik nepotisme dan politik uang (money politics). Maka, tidaklah mengherankan jika Indonesia termasuk negara yang menghabiskan dana politik yang paling fenomenal dalam pemilihan di tingkat nasional maupun lokal. Untuk menghindari agar politik “biaya tinggi” ini tidak mengakar di negara ini, maka kehadiran tingkat pendidikan yang memadai niscaya dapat membuat para pemilih menggunakan daya pikir rasionalnya untuk menghindari jebakan praktik nepotisme, vote-buying, dan money politics. Dengan demikian, dalam konteks ini pendidikan membawa dua hal penting: (1) penghematan biaya politik dalam pemilihan pemimpin politik di tingkat pusat dan daerah; dan (2) proses pemilihan pemimpin politik yang dituntun oleh pertimbangan rasional sehingga sedikit-banyak memberikan jaminan terpilihnya pemimpin yang dianggap kompeten.

Ancaman ketiga bagi perkembangan demokrasi di Indonesia adalah munculnya ekstremisme agama yang secara frontal menolak sistem demokrasi yang dianggap bertentangan dengan doktrin agama tertentu. Kelompok ini – yang oleh Larry Diamond (1990) disebut “the elements of disloyalty” (elemen yang tidak loyal kepada demokrasi) – dapat mengancam demokrasi karena metode kekerasan yang mereka pergunakan untuk mengintimidasi lawan, terutama kelompok yang memiliki haluan politik berbeda dengan mereka. Berbagai peristiwa global dalam dua dekade terakhir ini seperti penindasan terhadap minoritas Muslim di Bosnia dan Kosovo serta perang global melawan terorisme (Global War on Terrorism) yang dipelopori oleh Amerika Serikat pasca serangan teroris 11 September 2000 telah memunculkan apa yang oleh Samuel

Huntington (1996) dengan fenomena “sindrom negara sejawat” (kin country syndrome), semacam solidaritas primordial untuk membentuk front pembelaan terhadap kaum Muslim yang tertindas. Di Indonesia, peristiwa Bosnia dan Kosovo telah mendorong pembentukan berbagai kelompok Islam radikal yang mengintimidasi kaum minoritas. Dalam keadaan ini, kehadiran pendidikan sangat diperlukan untuk menghidari jebakan tribalisme dan chauvinisme golongan yang dapat mengancam demokrasi yang menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi. Kemunculan elemen yang berpotensi merusak demokrasi ini harus diminalisir karena dapat menafikan keberadaan politically vibrant civil society yang merupakan elemen utama demokrasi.

Sebagai negara demokrasi baru, Indonesia perlu melakukan upaya terus-menerus untuk mendewasakan demokrasi yang sudah kita bangun dengan bersusah-payah. Tampak jelas bahwa negara ini perlu memperjuangkan Democratic Threshold (syarat minimal pendidikan) dengan mengembangkan pendidikan yang mencerahkan untuk mencetak masyarakat yang memiliki kesadaran politik, rasional, bebas dari kontaminasi primordialisme, dan bebas dari ikatan budaya klientilisme.

http://pip.unpar.ac.id/publikasi/buletin/sancaya-volume-02-nomor-02-edisi-maret-april-2014/membangun-demokrasi-melalui-pendidikan/

DAFTAR PUSTAKA

 Affandi, Idrus. (1996) Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik. Disertasi Pasca Sarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Almond, Gabriel. (1990) Budaya Politik, Tingkah Laku, Demokrasi di Lima Negara Jakarta: Bumi Aksara.  ,

Al Muchtar, Suwarma (2000) Pengantar Studi Sistem Politik Indonesia. Bandung. Gelar Pustaka Mandiri.

Arikunto, Suharsimi. (1998) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta Rineka Cipta.

Budiardjo, Miriam. (1998) Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama

Djahiri, A Kosasih (1904) Landasan organisasi Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan, Bandung: Lab PKn UPI.

____________________. (1996) Dasar-Dasar Umum Metodologi dan Pengajaran Nilai-Nilai PVCT. Laboratorium PKN.

____________________. (1999) Modul Politik Kenegaraan dan Hukum. Universitas Terbuka. Jakarta.

Djuharie, Otong Setiawan. (2001) Pedoman Penulisan Skripsi Tesis Desertasisi. Bandung: Yrama Widya.

Kartono, Kartini. (1990) Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.

Kantaprawira, Rusadi. (2004) Sistem Polilik Indonesia: Suatu Model Pengantar Bandung: Sinar Baru Algensindo

Koentjaraningrat. (1994) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Nadzir, Mohammad. (1988) Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Prasetyo, Bambang dan Lina, Miftahul Jannah. (2005) Melode Penelitian Kuantitalif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sastroatmodjo, Sudijone. (1995) Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press

Simandjuntak, B.,Pasaribu, I.L. (1990) Membina dan Mengembangkan Generasi Muda. Bandung: Penerbit Tarsito.

Sirozi, Muhammad. (2005) Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Politik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Surbakti, Ramlan. (1999) Memahami Ilmu Polilik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sumantri, Endang. (2003) Diktat Pendidikan Generasi Muda. Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. FPIPS. Tidak diterbitkan.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas (2006) Departeman Pendidikar. Nasional.

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003) Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

PENDIDIKAN POLITIK Uung Mashuri

1.      Pengertian Pendidikan Politik

Istilah pendidikan politik dalam Bahasa Inggris sering disamakan dengan istilah political sucialization. Istilah political sosialization jika diartikan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia akan bermakna sosialisasi politik. Oleh karena itu, dengan menggunakan istilah political sosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan politik dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki makna yang hampir sama. Dengan kata lain, sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit.

Menurut Ramlan Surbakti, dalam memberikan pengertian tentang pendidikan politik harus

dijelaskan terlebih dahulu mengenai sosialisasi politik. Surbakti (1999:117) berpendapat bahwa:

Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.

Pendapat di atas secara tersirat menyatakan bahwa pendidikan politik merupakan bagian dari

sosialisasi politik. Pendidikan politik mengajarkan masyarakat untuk lebih mengenal sistem politik

negaranya. Dapat dikatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan

orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik inilah para anggota

masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam

masyarakat.

David Easton dan Jack Dennis (Suwarma Al Muchtar, 2000:39) dalam bukunya Children in the Political System memberikan batasan mengenai political sosialization yaitu bahwa "Political sosialization is development process which persons acquire arientation and paternsof behaviour” . Sedangkan Fred I. Greenstain (Suwarma Al Ntuchtar, 2000:39) dalam bukunya Political Socialization berpendapat bahwa:

Political sosialization is all political learning formal and informal, delibrete and unplanne, at every stage of the life cycle inchiding not only explicit political tearning but also nominally nonpolitical learning of political lie relevant social attitudes and the acquistion of politically relevant personality characteristics.

Kedua pendapat di atas mengungkapkan bahwa pendidikan politik adalah suatu bentuk pendidikan yang dijalankan secara terencana dan disengaja baik dalam bentuk formal maupun informal yang mencoha untuk mengajarkan kepada setiap individu agar sikap dan perbuatannya dapat sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku secara sosial. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa pendidikan politik tidak hanya mempelajari sikap dan tingkah laku individu. Namun pendidikan politik mencoba untuk mengaitkan sikap dan tingkah laku individu tersebut dengan stabilitas dan eksistensi sistem politik.

Kartini Kartono (1990:vii) memberikan pendapatnya tentang hubungan antara pendidikan dengan politik yaitu "pendidikan dilihat sebagai faktor politik dan kekuatan politik. Sebabnya, pendidikan dan sekolah pada hakekatnya juga merupakan pencerminan dari kekuatan-kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa, dan merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada".

Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa pendidikan dan politik adalah dua unsur yang saling mempengaruhi. Pengembangan sistem pendidikan harus selalu berada dalam kerangka sistem politik yang sedang dijalankan oleh pemerintahan masa itu. Oleh karena itu segala permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan akan berubah menjadi permasalahan politik pada saat pemerintah dilibatkan untuk memecahkannya.

Pengertian dari pendidikan politik yang lebih spesifik dapat diambil dari pendapatnya Alfian (1981:235) yang mengatakan bahwa:

"pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka rnemahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun".

Dari dua definisi yang tertera di atas, dapat kita ambil dua tujuan utama yang dimiliki oleh pendidikan politik. Pertama, dengan adanya pendidikan politik diharapkan setiap individu dapat mengenal dan memahami nilai-nilai ideal yang terkandung dalam sistem politik yang sedang diterapkan. Kedua, bahwa dengan adanya pendidikan politik setiap individu tidak hanya sekedar tahu saja tapi juga lebih jauh dapat menjadi seorang warga negara yang memiliki kesadaran politik untuk mampu mengemban tanggung jawab yang ditunjukkan dengan adanya perubahan sikap dan peningkatan kadar partisipasi dalam dunia politik

Rusadi Kartaprawira (1988:54) mengartikan pendidikan politik sebagai "upaya untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya."

Berdasarkan pendapat Rusadi Kartaprawira tersebut, maka pendidikan politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami perkembangan. Pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks, bersegi banyak, dan berubah-ubah.

Merujuk pada semua pengertian pendidikan politik yang disampaikan oleh beberapa ahli di

atas, pada akhirnya telah membawa penulis sampai pada kesimpulan yang menyeluruh. Bahwa yang

dimaksud dengan pendidikan politik adalah suatu upaya sadar yang dilakukan antara pemerintah

dan para anugota masyarakat secara terencana, sistematis, dan dialogis dalam rangka untuk

mempelajari dan menurunkan berbagai konsep, simbol, hal-hal dan norma- norma politik dari satu

generasi ke generasi selanjutnya.

2.      Perkembangan Pendidikan Politik

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi.

Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan yang ada di negara tersebut.

Pemaparan di atas telah menggambarkan secara jelas bahwa terdapat hubungan yang erat

dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas

empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menarik perhatian

banyak kalangan.

a.      Perkembangan Pendidikan Politik di Dunia Barat

Di negara-negara Barat, kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politik telah dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic. Plato merancang suatu sistem pendidikan yang bukan hanya menghasilkan suatu pandangan yang benar dan pemikiran yang tepat mengenai para pemimpin di masa datang, namun juga mengadakan seleksi terhadap orang-orang yang seharusnya tidak dapat dipilih menjadi pemimpin.

Menurut Plato, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Plato menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan. Kontrol tersebut terletak di tangan kelompok-kelompok elite yang secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktititas politik. Walaupun secara umum dan singkat,

analisis Plato tersebut telah meletakkan dasar bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan ilmuwan ke generasi berikutnya.

Perkembangan dari pendidikan politik yang dilaksanakan secara universal pernah terjadi di Inggris pada abad 19. Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya persaingan di bidang ekonomi dan industri telah menjadi alasan untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih berpendidikan. Selama ini, sistem pendidikan di Inggris dianggap gagal dan tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Semuanya itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Inggris yang diwarnai dengan banyaknya pengntiguran, generasi muda yang tidak dapat diatur, dan lunturnya rasa kebersamaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah Inggris berusaha untuk mengembangkan sistem pendidikan yang mampu mengajarkan rasa hormat yang lebih baik kepada orang lain, rasa penerimaan terhadap kekuasaan, dan terciptanya suatu masyarakat yang terbiasa hidup disiplin.

Sistem pendidikan yang berlaku saat itu adalah sistem pendidikan liberal dalam tradisi pendidikan, liberal, ilmu politik menjadi tidak relevan. Sistem pendidikan ini beranggapan bahwa berbagai konsep dan kegiatan politik tidak layak untuk diperkenalkan pada murid-murid sekolah. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan politik diajarkan secara sembunyi-sembunyi.

Pendidikan politik dengan berbagai muatannya pernah menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan para ahli pendidikan maupun ahli politik di Inggris. Terdapat golongan yang mendukung dan juga golongan yang menentang

Argumen-argumen yang mendukung pendidikan politik datang. baik dari golongan kanan maupun dari golongan kiri dunia politik. Tokoh-tokoh yang mendukung keberadaan pendidikan politik antara lain Nicholas Haines, Denis Heater, Robert Stradling, Robert Dunn, dan Profesor Ridley. Sedangkan tokoh-tokoh yang menentang pelaksanaan pendidikan politik di persekolahan antara lain adalah Samuel Beers, Roger Scruton, Sir Karl Popper, Michael Oakeshott, dan Michael Polanyi.

Argumen yang sangat mendukung keberadaan pendidikan politik datang dan Denis Heater. Heater mengemukakan bahwa golongan orang dewasa seharusnya dapat membuat pilihan dan sudah siap untuk ambil bagian dalam beberapa kegiatan politik di dalam suatu sistem demokrasi yang representatif. Untuk itu, pendidikan politik harus diperkenalkan sejak dini agar mereka sudah sangat memahami prosedur politik yang benar pada saat dewasa nanti.

Untuk mendapatkan hal tersebut, anak-anak bukan hanya harus diajarkan politik dan diberi keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi melainkan juga harus diperbolehkan untuk ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan. Kesemuanya itu dapat dilakukan dalam lingkup lembaga kecil, salah satunya yaitu sekolah.

Pendapat Denis Heater tersebut sangat berlawanan dengan argumentasi yang datang dari Michael Oakeshott dan Michael Polanyi yang menyatakan hahwa sangat ganjil mengajarkan keahlian berpolitik kepada generasi muda.

Oakeshott menegaskan bahwa dalam mempelajari muatan dari suatu mata pelajaran membutuhkan proses yang lain. Ketika masuk universitas maka, barulah siswa mulai dapat memberikan kritik dan kontribusi mereka terhadap mata pelajaran tersebut. Jadi, ide bahwa murid dapat atau bahkan harus belajar kritis sejak dini hanyalah omong kosong belaka.

Argumentasi yang sama juga berlaku untuk politik. Oakeshott ; Robert Brownhill, 1989:16)

menyatakan bahwa "polities is an art which it e can only gradually learn through experiences and by

watching and listening to others.. Keahlian dan pengetahuan tidak diberikan secara langsung oleh guru di

sekolah, namun didapat oleh murid dengan cara memperhatikan, mendengarkan, dan akhirnya

mempraktekkannya. Jadi, pada dasarnya kemampuan memahami dan mempraktikkan politik hanya

dapat diperoleh melalui pengalaman di dalam suatu tatanan politik dengan cara berlatih sebagai pemula

terlebih dahulu.

Dalam artian yang, lehih luas, para penentang pendidikan politik mengatakan bahwa para pendukung pendidikan politik di sekolah kurang memahami tidak hanya sifat proses belajar saja namun juga sifat dunia politik. Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan politik secara langsung dianggap kurang tepat. Pendidikan politik di sekolah hanya akan mengajarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai politik yang kurang begitu dipahami dan juga sikap kritis tanpa dilandasi pemahaman tentang apa yang dikritiknya tersebut.

Pro dan kontra yang terjadi di Inggris dalam memperdebatkan keberadaan pendidikan politik

tidak dapat kita lepaskan dari bentuk pemerintahan negara Inggris yang mengambil model

demokrasi representatif Inggris sebagai negara demokrasi dengan model representatif tentunya

mencoba untuk mengajarkan warga negaranya agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam berbagai

kegiatan politik. Hal tersebut penting dilakukan untuk mendukung dan mempertahankan jalannya

pemerintahan. Namun, di kalangan para ahli sendiri masih tersimpan pertanyaan besar, apakah

usaha untuk menanamkan kesadaran berpolitik tersebut harus dilakukan melalui jalur sekolah

ataukah tidak?

b.      Perkembangan Pendidikan Politik di Dunia Islam

Keterkaitan yang lebih jelas antara pendidikan dan politik dapat kita lihat di dunia Islam. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh M. Sirozi (2005:3) bahwa "perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat terlihat bahwa institusi politik pada waktu itu turut mewarnai corak pendidikan yang berkembang. Keterlibatan penguasa dalam kegiatan pendidikan tidak hanya sebatas dukungan moril saja, namun juga dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum.

Masjid-masjid dan madrasah yang pada waktu itu sering dijadikan tempat belajar ilmu Islam tidak luput dari pengaruh institusi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah dijadikan fondasi untuk mendukung kokohnya kekuasaan politik para penguasa.

Kedudukan politik di dalarn Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sangat sulit bahkan mustahil untuk bisa ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Di lain pihak, pendidikan bergerak dalam usaha untuk menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti tentang syariat bila tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan adalah sarana dakwah.

Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideolodi negara atau tulang yang

menopang kerangka politik. Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang

militan dalam memperluas peta kekuasaan namun juga para ulama yang berhasil membangun

tatanan masyarakat yang sadar hukum dan taat pada pemerintah.

c.       Perkembangan Pendidikan Politik di Indonesia

Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai herkembang dalam wacana publik. Walaupun belum menjadi satu bidang ka jian akademik. Publikasi berbagai seminar ataupun diskusi yang mengangkat tema tentang pendidikan dan politik masih kurang terdengar. Andaipun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek substantif hubungan politik dan pendidikan, hanya masih di seputar aspek-aspek ideologis politik pendidikan. Walaupun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara politik dan pendidikan sudah mulai terbentuk.

Mochtar Buchori (M. Shirozi, 2005:30) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pemikiran yang

mendukung mulai berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap hubungan antara pendidikan dan

politik yaitu:

Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Penjelasan Muchtar Buchori di atas menggambarkan suatu keyakinan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik. Terdapat keyakinan yang sangant kuat bahwa melalui pendidikan dapat menghasilkan pemimpin politik yang berkualitas.

Paparan penjelasan di atas, pada akhirnya dapat menimbulkan satu pertanyaan mengenai hubungan pendidikan dengan politik. Akankah politik harus memasuki wilayah pendidikan untuk menjalankan fungsi dan tujuannya dan juga sebaliknya? Melalui pendidikan seorang siswa akan paham secara tidak langsung mengenai seluk beluk politik. Begitu pula sebaliknya, bahwa dunia politik adalah salah satu sarana untuk rnengaplikasikan berbagai ilmu yang telah didapat siswa melalui dunia pendidikan. Para siswa tidak dapat acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi di luar dunia sekolahnya.

Sekiranya penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat dan tak

dapat dipisahkan antara pendidikan dan politik. Kedua aspek tersebut memiliki hubungan yang saling

memengaruhi dan saling membutuhkan satu sama lain.

Untuk lebih jelas memahami kaitan antara pendidikan politik di jalur persekolahan, akan

dipaparkan secara lebih lanjut mengenai konsep pendidikan politik dan Pendidikan

Kewarganegaraan dalam bahasan selanjutnya

3.      Landasan Hukum Pendidikan Politik

Pendidikan politik merupakan suatu sarana untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan hernegara yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan terencana. Pelaksanaan pendidikan politik, harus berpegang teguh pada falsafah dan kepribadian bangsa Indonesia. Secara tidak

langsung pendidikan politik merupakan bagian integral dari keseluruhan pembangunan bangsa yang dilaksanakan sesuai dengan landasan yang telah mendasari kehidupan bangsa Indonesia.

Berdasarkan Inpres No. 12 tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda (1982:13), maka yang menjadi landasan hukum pendidikan politik adalah sebagai berikut:

Landasan pendidikan politik di Indonesia terdiri dari:

a. landasan ideologis, yaitu Pancasila

b. landasan konstitusi, yaitu UUD 1945

c. landasan operasional, yaitu GBHN

d. landasan historis, yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 17 Auustus 1945".

Landasan yang tersebut di atas merupakan landasan pokok pendidikan politik yang disertai

landasan kesejarahan. Hal ini penting karena warga negara terutama siswa harus mengetahui

sejarah perjuangan bangsa agar memiliki jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 1945.

4.      Fungsi Pendidikan Politik

Fungsi pendidikan politik sangat penting sebab pendidikan politik meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kehidupan politik yang pada gilirannya akan mendorong timbulnya kesadaran politik secara maksimal dalam suatu sistem politik.

Merujuk pada beberapa pengertian pendidikan politik yang telah disebutkan sebelumnya, maka pendidikan politik mempunyai dua tujuan utama. Pertama, fungsi pendidikan politik adalah untuk mengubah dan membentuk tata perilaku seseorang agar sesuai dengan tujuan politih yang dapat menjadikan setiap individu sebagai partisipan politik yang bertanggung jawab. Kedua, fungsi pendidikan politik dalam arti yang lebih luas untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan politik yang ingin diterapkan.

Inti dari pendidikan politik adalah mengenai bagaimana rakyat direkrut dan disosialisasikan. Jadi, fungsi dari pendidikan politik adalah untuk menjelaskan proses perekrutan dan upaya sosialisasi kepada rakyat untuk mengerti mengenai peranannya dalam sistem politik serta agar dapat memiliki orientasi kepada sistem politik.

Fungsi yang disampaikan di atas lebih menonjolkan fungsi pendidikan politik dalam mengubah

tatanan masyarakat yang ada menjadi lebih baik dan lebih mendukung tercapainya proses

demokrasi. Sedangkan fungsi pendidikan politik bagi individu antara lain adalah:

1) peningkatan kemampuan individual supaya setiap orang mampu berpacu dalam lalu lintas

kemasyarakatan yang menjadi semakin padat penuh sesak dan terpolusi oleh dampak bermacam-

macam penyakit social dan kedurjanaan.

2) di samping mengenai kekuasaan, memahami mekanismenya, ikut mengendalikan dan mengontrol

pelaksanaan kekuasaan di tengah masyarakat.

Fungsi pendidikan politik bagi individu yang tertera di atas tidak hanya mengubah individu tapi juga membentuk individu yang baru. Dalam artian bahwa seseorang individu dengan melalui pendidikan politik tidak hanya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang politik tapi juga mempunyai kesadaran dan sensitifitas dalam berpolitik yang direalisasikan dalam bentuk perbuatan yaitu dengan ikut berpartisipasi atau ditunjukkan dengan sikap dan perilaku politif yang lebih luas dalam usahanya untuk mencapai tujuan politik.

5.      Tujuan Pendidikan Politik

Tujuan diadakannya pendidikan politik secara formal terdapat dalam Inpres No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang menyatakan bahwa:

Tujuan pendidikan politik adalah memberikan pedoman kepada generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tujuan pendidikan politik lainnya ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Berdasarkan pemaparan tentang tujuan pendidikan politik di atas, penulis berpendapat

bahwa yang menjadi tujuan utama dari pendidikan politik adalah agar generasi muda saat ini

memiliki kemampuan untuk memahami situasi sosial politik penuh konflik. Aktifitas yang dilakukan

pun diarahkan pada proses demokratisasi serta berani bersikaf kritis terhadap kondisi masyarkat di

lingkungannya. Pendidikan politik mengajarkan mereka untuk mampu mengembangkan semua

bakat dan kemampuannya aspek kognitif wawasan kritis, sikap positif, dan keterampilan politik.

Kesemua itu dirancang agar mereka dapat mengaktualisasikan diri dengan jalan ikut berpartisipasi

secara aktif dalam bidang politik.

Dari tujuan pendidikan politik di atas, dapat dilihat bahwa antara tujuan pendidikan politik dengan

fungsi yang dimilikinya hampir sama. Tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan politik merupakan

keberhasilan dari diadakannya pcndidikan politik itu sendiri.

6. Bentuk Pendidikan Politik

Keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat tercapai jika tidak dibarengi dengan usaha

yang nyata di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan politik akan erat kaitannya dengan bentuk

pendidikan politik yang akan diterapkan di masyarakat nantinya. Oleh karena itu, bentuk pendidikan

politik yang dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan pendidikan politik

ini.

Bentuk pendidikan politik menurut Rusadi Kartaprawira (2004:56) dapat diselenggarakan

antara lain melalui:

1. bahan bacaan seperti surat kabar, majalah, dan lain-lain bentuk publikasi massa yang biasa membentuk pendapat umum.

2. siaran radio dan televisi serta film (audio visual media).

3. lembaga atau asosiasi dalam masyarakat seperti masjid atau gereja tempat menyampaikan khotbah, dan juga lembaga pendidikan formal ataupun iniformal.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita lihat bahwa pendidikan politik dapat diberikan melalui verbagin jalur. Pemberian pendidikan politik tidak hanya dibatasi oleh lembaga seperti persekolahan atau organisasi saja, namun dapat diberikan melalui media, misalnya media cetak dalam bentuk artikel.

Apapun bentuk pendidikan politik yang akan digunakan dan semua bentuk yang disuguhkan di atas sesungghnya tidak menjadi persoalan. Aspek yang terpenting adalah bahwa bentuk pendidikan politik tersebut mampu untuk memobilisasi simbol-simbol nasional sehingga pendidikan politik mampu menuju pada arah yang tepat yaitu meningkatkan daya pikir dan daya tanggap rakyat terhadap masalah politik. Selain itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih harus mampu meningkatkan rasa keterikatan diri (senseof belonging) yang tinggi terhadap tanah air, bangsa dan negara.

Apabila diasosiasikan dengan bentuk politik yang tertera di atas, maka menurut penulis yang menjadi tolak ukur utama keberhasilan pendidikan politik terletak pada penyelengaraan bentuk pendidikan politik yang terakhir yaitu melalui jalur lembaga atau asosiasi dalam masyarakat. Dalam hal ini penulis sangat sependapat bila pendidikan politik lebih ditekankan melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan politik formal yaitu pendidikan pulitik yang diselenggrakan melalui lembaga resmi (sekolah).

7.      Urgensi Pendidikan Politik

Pendidikan politik dapat dikatakan sebagai media penyampaian konsep politik yang memiliki tujuan akhir untuk membuat warga negara menjadi lebih melek politik. Warga negara yang melek politik adalah warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban sehingga dapat ikut serta dalam kehidupan berbangsa dan hernegara dalam setiap proses pembangunan. Pendidikan politik diperlukan keberadaannya terutama untuk mendidik generasi muda saat ini yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa.

Eksistensi pendidikan politik di sini adalah sebagai tongkat estafet kepada generasi selanjutnya dalam dalam memahami konsep-konsep politik kenegaraan. Fungsi pendidikan politik yang paling periling adalah sebagai penyaring (filter) terhadap berbagai pemikiran baru, ideologi baru. dan berbagai ancaman, tantangan, hambatan. serta gangguan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Pemerintah telah menyadari bahwa generasi muda saat ini tengah hidup di dalam era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan kompetisi antar individu. Kebebasan menjadi satu bagian yang penting dalam era ini. Sadar akan hal tersebut, pemerintah mencoba untuk membangun tameng yang dapat melindungi generasi muda saat ini dari pelunturan dan penghilangan jati diri bangsa. Kekhawatiran pemerintah ini tercermin dalan Inpres No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang di dalamnya menyebutkan bahwa:

Kaum muda dalam perkembangannya berada dalam proses pembangunan dan modernisasi dengan segala akibat sampingannya yang bisa mempengaruhi proses pendewasaanya sehingga apabila tidak memperoleh arah yang jelas maka corak dan warna masa depan negara dan bangsa akan menjadi lain daripada yang dicita-citakan.

Perkembangan zaman yang terasa sangat cepat jika tidak dibarengi dengan wawasan berpikir

yang luas hanya akan membawa generasi muda bangsa ini ke dalam kehidupan yang lepas kendali.

Oleh karena itu, pendidikan politik diperlukan sebagai .filter terhadap segala pengaruh buruk yang

mungkin datang.

Jadi, pada kesimpulannya pendidikan politik merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh

pemerintah dalam memberikan arah pada generasi muda saat ini agar memiliki pemahaman yang

jelas terhadap arah tujuan bangsa.

8.      Pokok-Pokok Materi Pendidikan Politik

Pokok-pokok materi pendidikan politik sepenuhnya tertuang sebagai muatan yang terkandung

dalam kurikulum pendidikan politik. Kurikulum pendidikan politik adalah jarak yang harus ditempuh oleh

seorang siswa dalam mencapai target yaitu melek politik yang ditandai dengan menguatnya daya nalar

terhadap berbagai aktifitas politik dalam infrastruktur maupun suprastruktur politik

Robert Brownhill (1989:110) mengajukan beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam

proses pembuatan kurikulum pendidikan politik, yaitu:

1) an ethical base should be develop, which would include respect for other, tolerances, and an understanding of the principle of treating others as one would like to be treated one self;

2) aconsideration of how rules can be changed;

3) nature of rules and authority;

4) conceptof obligation to legitimate authority;

5) an understanding of some basicpolitical concepts, e.g, freedom, equality, justice, the rule of law, and of some of the arguments related to these concepts;

6) an understanding of the basic structure of central and local government.

7) Some understanding of the working of the national and international economy;

8) Some knowledge of recent Brotish and international history;

9) Self analysis.

Berdasarkan pendapat Robert Brownhill di atas, jelas terlihat bahwa dalam mengembangkan kurikulum pendidikan politik, seorang guru harus pula memasukan mata pelajaran lain yang sekiranya ada hubungannya dengan pendidikan politik seperti di atas disebutkan yaitu mata pelajaran sejarah dan ekonomi dalam artian bahwa mata pelajaran lain tersebut bersifat sebagai pelengkap (komplementer) terhadap pendidikan politik.

Kurikulum pendidikan politik yang dicanangkan oleh Robert Brownhill di atas telah cukup lengkap. Seperti kita lihat, Brownhill tidak hanya memasukkan unsur materi politik namun juga terdapat unsur etika, ketaatan pada hukum dan kekuasaan, pemahaman terhadap jalannya pemerintahan dan pembuatan kebijakan, serta masalah ekonomi dan sejarah.

Hal-hal yang mengenai kurikulum pendidikan politik diatur dalam Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang menyebutkan bahwa bahan pendidikan politik antara lain:

a. penanaman kesadaran berideologi, berbangsa, dan bernegara,

b. kehidupan dan kerukunan hidup beragama;

c. motivasi berprestasi;

d. pengamalan kesamaan hak dan kewajiban, keadilan sosial, dan penghormatan atas harkat dan martabat manusia;

e. pengembangan kemampuan politik dan kemampuan pribadi untuk mewujudkan kebutuhan dan keinginan ikut serta dalam politik;

f. disiplin pribadi, sosial, dan nasional;

g. kepercayaan pada pcmcrintah;

h. kepercayaan pada pembangunan yang berkesinambungan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa terdapat satu materi yang

membedakan kurikulum pendidikan politik menurut Brownhill dengan bahan kurikulum pendidikan

politik di Indonesia. Dalam kurikulum pendidikan politik di Indonesia, telah memasukkan unsur

materi agama yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam bahan pendidikan politik.

Bahan pendidikan politik di Indonesia harus bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berbagai makna yang dipetik dari perjuangan bangsa Indonesia. Semua bahan ajar pendidikan politik tersebut telah tercakup dalam mata pelajaran PKn.