19
1 PENDAHULUAN I. Latar Belakang Islam adalah salah satu agama yang menitikberatkan adanya implementasi keimanan atau kepercayaan melalui ibadah. Ibadah merupakan sarana yang menumpu manusia untuk menuju Tuhannya, mencapai kedinamisan tercapainya komunikasi dua arah antara hama sahaya dengan Tuhannya, pencipta semesta raya yang menjadikan Al-Quran yang agung sebagai kitab perjanjian terakhir untuk menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia, Allah. Bagi umat Islam, memiliki beberapa hari raya atau perayaan yang dijadikan sebagai sarana utama untuk beribadah, karena pada hari-hari tersebut ibadah yang

Makalah Agama Islam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

agama

Citation preview

1PENDAHULUAN

I.Latar BelakangIslam adalah salah satu agama yang menitikberatkan adanya implementasi keimanan atau kepercayaan melalui ibadah. Ibadah merupakan sarana yang menumpu manusia untuk menuju Tuhannya, mencapai kedinamisan tercapainya komunikasi dua arah antara hama sahaya dengan Tuhannya, pencipta semesta raya yang menjadikan Al-Quran yang agung sebagai kitab perjanjian terakhir untuk menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia, Allah.Bagi umat Islam, memiliki beberapa hari raya atau perayaan yang dijadikan sebagai sarana utama untuk beribadah, karena pada hari-hari tersebut ibadah yang dilakukan diganjar dengan pahala yang berlipat. Salah satu hari raya tersebut adalah pada saat bulan Ramadhan. Pada bulan ini, umat Islam diwajibkan untuk berpuasa selama sekitar satu bulan, sesuai yang difirmankan oleh Allah SWT pada surat Al-Baqarah (QS 2 : Ayat 183).Idul Fitri adalah sebuah tanda bagi umat Islam bahwa ibadah yang telah dilaksanakan, yaitu puasa pada bulan Ramadhan selama sekitar satu bulan, telah berakhir, dimana pada saat itu manusia diharapkan telah mencapai suatu kepribadian yang baru, yaitu menjunjung tinggi akhlak-akhlak yang luhur dan meninjau setiap perilaku berdasarkan aspek-aspek sosial yang telah dikenalkan agama Islam. Namun pada kenyataannya terdapat beberapa perbedaan dalam menentukan awal ramadhan dan akhir ramadhan. Pada makalah kali ini kami akan membahas tentang penentuan awal ramadhan.

II.Tujuan1.Memberikan pemahaman lebih lanjut dalam berbagai aspek atau perspektif penetapan hari Idul Fitri.2.Memenuhi tugas mata kuliah agama Islam.

III.Manfaat1.Pembaca mampu memperoleh pemahaman mengenai pluralisme dalam penentuan jatuhnya hari Idul Fitri dari berbagai aspek dan perspektif, baik agama atau ilmu pengetahuan.2.Pembaca mampu menentukan sikap dalam penentuan jatuhnya hari Idul Fitri berdasarkan logika dan pemahaman pribadi mengenai hal tersebut, utamanya dengan menjadikan agama sebagai landasan.

IV.Rumusan PermasalahanPada penyusunan makalah ini, terdapat beberapa permasalahan yang diperoleh untuk dibahas pada makalah ini, yaitu sebagai berikut :1.Apa saja yang menjadi syarat-syarat penentuan tanggal jatuhnya hari Idul Fitri?2.Mengapa terdapat beberapa perbedaan dalam penentuan jatuhnya hari Idul Fitri?3.Apa yang menjadi faktor timbulnya perbedaan penentuan jatuhnya hari Idul Fitri?

V.Metode PenelitianDalam penyusunan makalah ini, studi literatur yang dijadikan sebagai sumber referensi adalah buku-buku dan beberapa website terpercaya yang menyediakan informasi mengenai kajian yang akan dibahas pada makalah ini.

VI.Sistematika Penulisan1.Bab I PendahuluanBab ini berisi latar belakang, tujuan, manfaat, rumusan permasalahan, metode penelitian, dan sistematika penelitian. 2.Bab II IsiBab ini berisi pembahasan mengenai penentuan jatuhnya hari Idul Fitri berdasarkan berbagai aspek dan perspektif, yaitu dari sudut pandang agama dan pengetahuan. 3.Bab III - Penutup

BAB IIPembahasan

Adalah sebuah realitas yang tidak bisa dipungkri bahwa secara tekhnis penentuan awal bulan qomariyah memang seringkali memiliki potensi untuk berbeda (Ikhtilaf =Pluralis), apapun landasan fiqih yang digunakan atau metode perhitungan yang dipakai. Dengan kata lain, perbedaan tekhnis ini hanya mungkin diatasi ( disatukan= Turuqul Jam'i) oleh suatu keputusan imam melalui kebijakan pemerintah yang tegas dengan otoritasnya untuk menemukan benang merah kesatuan metode perhitungan dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal, sesuai dengan kaidah Amrul Imam Yarfa'ul Khilaf ( Keputusan Imam/ Pemerintah menghentikan pertikaian pendapat). Namun di satu segi, sampai saat ini pemerintah memiliki asumsi bahwa menyatukan umat Islam di Indonesia khususnya dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal merupakan sesuatu yang sulit dan dilematis. Sebab permasalahannya adalah terletak pada pluralisme keyakinan umat Islam itu sendiri yang sifatnya abstrak. Dan untuk merubah sebuah pluralisme keyakinan adalah bukan hal yang gampang bagi pemerintah atau siapapun seperti membalikkan kedua telapak tangan. Permasalahan pluralitas penentuan bulan qomariyah di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh perbedaan antara hisab dan rukyat saja, akan tetapi juga karena adanya perbedaan intern baik di kalangan hisab maupun rukyat. Permasalahan penentuan awal bulan qomariyah tersebut berkisar pada : Perbedaan hasil hisab dan hasil rukyat ; Perbedaan sistem perhitungan ; Perbedaan sistem rukyat ; Perbedaan kriteria penentuan awal bulan ;

Perbedaan data/ sumber hisab ; kurang adanya pengembangan observasi lapangan ; kurang sosialisasi.

Oleh karena itu, kenyataan perbedaan penentuan awal bulan qomariyah ( Ramadhan dan Syawal khususnya) merupakan kondisi sosial (setting Social) pada saat ini yang tumbuh seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Ketentuan memulai awal bulan Ramadhan dan mengakhirinya sebaiknya dikembalikan kepada nash al-Qur'an dan al-Hadits secara sinergis, yaitu mengkaji ulang (Reconsiderasi) secara utuh teks al-Qur'an dan al-Hadits baik yang qauliyah maupun yang fi'liyah. Perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal sering terjadi pada umat Islam. Di Indonesia yang sering dijadikan kambing hitam adalah perbedaan metode perhitungan dan perbedaan fiqih dalam memahami sejumlah hadits, misalnya : Janganlah berpuasa hingga hilal terlihat. Dan janganlah berbuka (mengakhiri Ramadhan) hingga terlihat bulan pula. Maka jika pandangan kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan bulan sebanyak 30 hari .(HR. Bukhari Muslim). Secara substantif perbedaan ini menimbulkan dua versi, yang secara sederhana bisa disebut Versus Rukyat yang mendasarkan awal bulan pada terlihatnya bulan sabit, dan Versus Hisab yang mendasarkan awal Ramadhan dan Syawal pada perhitungan mutlak. Versus ruyat yang dipegang jumhur ulama berpegang pada nash hadits tersebut. Memang yang diwajibkan adalah berpuasanya, bukan rukyatnya. Namun karena perintah rukyat itu berkaitan dengan sesuatu hal yang bersifat wajib, maka perintah itupun menjadi wajib (Kullu Maa Laayatimmu al- Wajibu Illaa Bihi Fahua Waajibun). Sedangkan Versus Hisab menafsirkan rukyat tidak sekedar bermakna rukyat bil'ainy (dengan mata) namun juga rukyat bil'aqly (dengan akal berarti perhitungan = Hisab). Ulama- ulama terdahulu menolak hisab mutlak karena hisab masih tercampur aduk dengan ilmu nujum (astrologi, meramal nasib dengan bintang) dan juga karena akurasinya yang masih rendah, sehingga hasil hitungan antara ahli hisab satu dengan yang lain masih saling bertentangan, padahal fakta benda langitnya adalah satu. Ketika dewasa ini ilmu astronomi makin maju, dan orang bahkan sudah mampu mendarat di bulan, maka sebagian besar ulama mutaakhirin berpendapat bahwa hisab modern hukumnya mubah, namun rukyat tetap wajib dilakukan karena sesuatu yang mubah tidak menggugurkan sesuatu yang fardhu.1 1 Fahmi Amhar, Aspek Syar'i dan Iptek Dalam Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal. 2 Sofwan Jannah, Republika tanggal 4 Desember 2002. Para ahli hisab dalam mengambil keputusan masuknya bulan qomariyah memerlukan : Pertama, seperangkat tabel atau rumus dan alat hitungnya untuk menentukan posisi bulan dan matahari, saat terbenamnya dan saat ijtimak. Kedua, kriteria Imkan al-Rukyah. Tanpa kriteria data- data itu tidak memberikan informasi apapun tentang kapan masuknya tanggal baru.2 Hisab dipakai untuk memprediksi posisi, arah dan waktu untuk rukyatul hilal. Rukyat tetap dilakukan karena tetap akan ada faktor cuaca yang tak mungkin bisa dihisab. Sedang tekhnologi observasi dikembangkan untuk membantu rukyat agar terhindar dari salah atau untuk mengenali bulan sabit meskipun cahayanya masih lemah. Misalnya telah dikembangkan teleskop rukyat, yakni sensor (kamera) digital baik aktif maupun pasif yang citranya kemudian diperkuat dan direkam. Bahkan juga telah dipikirkan untuk menggunakan platform pesawat terbang sehingga rukyat bisa dilakukan di atas awan. Setelah memahami Manatul Hukmi (fakta hukum) ini sebagai variabel X, maka kemudian baru akan diketengahkan pembahasannya secara syar'i sebagai variabel Y, terutama pada aspek wilayah berlakunya hasil rukyat/ hisab. Rukyat al-hilal adalah melihat bulan sabit setelah ijtima' dan setelah wujud di atas ufuk. Itjima' atau konjungsi adalah saat bulan dan matahari memiliki ekliptika yang sama. Ekliptika adalah sistem koordinat langit untuk menggambarkan posisi matahari, bulan, dan planet-planet dekat. Peristiwa ijtima' terjadi serentak sekali setiap satu periode bulan mengelilingi bumi (sinodis). Dengan demikian pada saat ijtima', ada wilayah di muka bumi yang sedang pagi, siang, sore atau malam hari. Sedangkan hilal hanya bisa di lihat di sore hari, bila tingginya sudah cukup, sehingga pada saat matahari terbenam, bulan masih di atas ufuk (Barat), sehingga ada bagiannya yang memantulkan cahaya matahari ke bumi, sebelum akhirnya bulan terbenam menyusul matahari. Inilah bulan sabit yang di tunggu-tunggu. Oleh karena itu, meski ijtima' terjadi serentak, namun peristiwa hilal tidaklah bisa di rukyat secara serentak, melainkan terikat oleh aspek astronomi (posisi bujur dan lintang pengamat) dan aspek geografi (perbedaan zona waktu). Secara astrogeografi, daerah yang lebih barat (di hitung dari Batas Tanggal Internasional) akan menyaksikan bulan yang lebih tua, sehingga peluang rukyatul hilal pada hari yang sama akan lebih besar. Dalam pelaksanaanya, waktu rukyat adalah amat pendek, yakni kurang dari satu jam setelah matahari terbenam. Maka suatu berita rukyatul hilal yang terjadi sebelum matahari terbenam di tempat tersebut, atau setelah tengah malam, atau bahkan sebelum ijtima' adalah wajib di tolak. Secara teknis, pelaksanaan rukyat mudah di lakukan oleh siapa saja, asalan cuaca baik (tidak mendung), topografi memungkinkan (tidak ada penghalang ke ufuk barat) dan pengamat bermata sehat serta biasa memperhatikan langit. Syarat syar'i untuk pengamat rukyat adalah aqil, baligh dan adil (tidak terkenal gemar berbohong). Tentu saja ini berlaku pada masyarakat yang memang tahu apa yang di sebut hilal. Kepada ummatnya Rasulullah mewajibkan rukyat, karena mereka yang tinggal di padang pasir yang kering dan terbiasa berjalan di padang pasir dengan hanya dipandu oleh bintang-bintang, pasti lebih mudah melihat hilal daripada menghitungnya. Apalagi pada saat itu belum banyak dari kaum muslimin yang mampu menulis atau berhitung. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar : Nabi SAW berkata: Kita ini adalah kaum yang buta huruf, kita tidak menulis dan kita tidak menghitung. Dan bulan itu kadang 29 dan kadang 30 hari (HR. Bukhari) Namun, perbedaan cuaca, topografi, kondisi tubuh serta pengalaman pengamat (subyektifitas pengamat) membuat hasil rukyat bisa berbeda. Sebenarnya perbedaan demikian tidak banyak pengarunya selama daerah-daerah pengamat saling terisolir, karena kemudian seruan untuk menggenapkan bulan menjadi 30 hari (istikmal) tidak akan berkomplikasi. Dengan demikian, tiap daerah akan memiliki kalender yang berbeda, sehingga mereka juga akan rukyat untuk bulan berikutnya pada hari yang berbeda. Sebagai contoh untuk bulan Ramadhan, rukyat di lakukan pada 29 sya'ban, namun kapan 29 sya'ban itu, bisa jadi ikhtilaf. Bila daerah-daerah itu berhubungan, maka sudah sewajarnya bila daerah yang terlambat mengetahui hilal karena faktor cuaca, topografi atau personal, mengikuti penglihatan daerah lain yang lebih dulu melihatnya. Andaikata mereka terlambat puasa, maka mereka harus segera membayarnya seusai Ramadhan. Sedang bila mereka masih berpuasa saat mendengar bahwa hari itu led, mereka wajib langsung berbuka. Namun seberapa jauh hal ini berlaku ? Menurut Abdurrahman al- Jaziri dalam kitab Fiqh' ala al-Mazhahib al-Araba'ah juz I hlm 550, dari empat madzhab fiqh yang terkenal, tiga di antaranya (Hanafi, Maliki, dan Hambali) cenderung kepada rukyat global, yaitu bahwa suatu kesaksian rukyat berlaku untuk kaum muslimin di seluruh dunia. Sedang pengikut Imam Syafi'i condong kepada rukyat lokal yang hanya berlaku satu matla, yang kurang lebih radius 24 farsakh (120 Km). Menurut Imam Syaukani dalam Nailul Authar juz III hlm 125, pendapat kalangan Syafi'i ini berasal dari karancuan memahami hadits Kuraib, yaitu saat menafsirkan ucapan Ibnu Abas -yang tetap berpuasa sesuai rukyatul hilal di Madinah, dan tidak mengikuti hasil penglihatan bulan sabit oleh banyak orang di Damaskus yang satu hari lebih awal. Demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami. (HR. Jama'ah selain Bukhari dan Ibnu Majah). Dalam mengomentari hadits ini, Imam Syaukani berpendapat, bahwa yang layak menjadi hujjah itu adalah riwayat yang mar'fu (yakni ucapan Rasul sendiri), dan bukan ijtihad atau pemahaman Ibnu Abbas atas ucapan Rasul. Sedangkan ucapan Rasul seperti dikutip pada awal tulisan ini, adalah merupakan seruan yang tertuju kepada siapapun diantara kaum muslimin dan tidak di khususkan pada penduduk suatu daerah tertentu. Hal ini karena rukyat (dan juga hisab) global pasti membuat suatu batas tanggal qomariah yang bersifat dinamis (bergeser tiap bulan) dan berbeda dengan batas tanggal internasional. Hanya terkadang batas tanggal kalender qomariyah itu hampir berimpit dengan batas tanggal internasional seperti pada peristiwa Iedul Adha 1418 lalu.3 Memang batas tanggal internasional adalah hanya sebuah kesepakatan belaka (konvensi), namun tanpa adanya batas tanggal, definisi nama hari di dunia menjadi tegas. Sebelum hisab dalam pengertian astronomi modern, hisab sudah terbagi dua menjadi hisab urfi yaitu aturan hitungan kalender yang dibuat dengan kesepakatan dunia Islam dan hisab hakiki yaitu dengan batasan astronomi dalam mendefisikan kapan hilal setelah wujudnya berpotensi untuk bisa di rukyat. Namun meski astronomi modern sudah mencapai taraf akurasi yang sangat tinggi, hisab hakiki harus dibuat dengan asumsi kriteria astronomis tertentu agar selalu cocok dengan rukyat (imkanur ru'yat). Dan disinilah timbul perbedaan kriteria. Ada yang mendasarkan pergantian bulan bila ijtima' telah terjadi sebelum maghrib, atau pada saat maghrib, irtifa' (tinggi bulan) di atas 2 derajat atau 5 derajat, atau bulan sudah berumur minimal 8 jam. Hal ini terjadi karena memang selama ini laporan kesaksian hilal belum di lengkapi dengan dokumentasi secara ilmiah mencakup azimut, irtifa', waktu, posisi pengamat, kondisi cuaca, suhu, tekanan udara dsb. Perbedaan kriteria ini berakibat perbedaan sehari dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal. Bersama-sama dengan faktor astro-geografis, perbedaan ini bisa menjadi dua hari. 3 T. Djamaluddin di. Piiran Rakyat, 15 April 1998 halaman 6) . Bagaimanapun juga perbedaan, baik akibat pemahaman fiqh yang berbeda maupun metode perhitungan yang berbeda serta faktor teknis berkait dengan segudang masalah non teknis seperti persatuan ummat, toleransi mazhab, syiar Islam (kesatuan ummat dalam berhari-raya) dan kemajuan iptek kaum muslimin. Meski puasa sebagai ibadah mahdhah adalah masalah pribadi yang cukup dengan suatu gholabatudhdhon (dugaan yang kuat), namun ketika dihadapkan pada kesatuan ummat, maka masalah ini memerlukan solusi yang tidak lagi bersifat pribadi. Bila di masa lalu kaum muslimin sebagai pemimpin dunia merupakan pelopor astronomi dan astronomi terpakai baik untuk kegiatan ibadah maupun jihad (navigasi armada), kini tidak bersatunya mereka dalam hal awal Ramadhan. Syawal membuat mereka mengalami stigma (keterbelakangan) yang akar masalahnya sebenarnya juga pada faktor teknis yang memustahilkan awal Ramadhan, Syawal di hari yang sama di seluruh Indonesia, kecuali ada langkah non teknis, misalnya berupa maklumat pemerintah, yang otoritasnya baik secara real politik maupun legal konstitusional sah menurut hukum Islam dan diakui oleh kaum muslimin . Otoritas inilah yang kemudian akan mengadopsi (tabbani) salah satu pendapat baik syar'i maupun teknis yang diusulkan oleh para pakar. Seluruh kaum muslimin nantinya harus tunduk kepada keputusannya, karena qaidah syar'i mengatakan Amrul Imam Yarfa'ul Khilaf (Keputusan Amir/ Pemerintah mengangkat perselisihan). Ada beberapa kebijakan pemerintah yang telah ditempuh dalam menyatukan perbedaan tersebut. Pertama, bersifat kebijakan umum yakni : 1) Menghimpun seluruh ulama, para ahli, dan Instansi terkait dalam Badan Hisab dan Rukyat. 2). Mengembangan ilmu Hisab dan Rukyat. 3). Melaksanakan musyawarah/ pertemuan secara reguler dan intensif. 4). Melakukan rukyat bersama. 5). Menyusun dan menyebarkan buku, almanak dll. 6). Melakukan kerjasama Dalam dan Luar Negeri. Kedua, Kebijakan dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah, yakni : 1). Selain bulan Ramadhan dan Syawal berdasarkan Hisab. 2). Untuk bulan Ramadhan dan Syawal (Dzulhijjah) berdasarkan Hisab- Rukyat. 3). Data Hisab dan hasil Rukyat sebagai masukan. 4). Ditetapkan dalam sidang Itsbat. 5). Rukyat dilaksanakan oleh Pegawai Depag, Instansi terait dan masyarakat luas. Oleh karena itu, menyatukan kaum Muslimin di Indonesia sebagai umatan wahidatan dalam satu kesatuan pegangan fiqih dan metode perhitungan adalah agenda prioritas yang paling mendesak bagi pemerintah dan kaum Muslimin Indonesia untuk sampai pada konsensus umum serta merupakan cara menyelesaikan segudang perbedaan kaum Muslimin dalam era globalisasi sekarang. Demikian semoga bermanfaat. Catatan Kaki : Tulisan ini disusun dari kumpulan makalah Hisab-Rukyat yang diperoleh penulis dari pelatihan- pelatihan Hisab- Rukyat yang diselenggarakan oleh Depag RI tahun 1999 s/d 2003 dan Kliping tulisan tentang Hisab-Rukyat yang dimuat di Media Cetak seperti tulisan Fahmi Amhar, T Djamaludin, dan Sofwan Jannah.