38
PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati disebut juga “Biodiversitas”. Keanekaragaman atau keberagaman dari makhluk hidup dapat terjadi karena akibat adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur, penampilan dan sifat-sifat lainnya. Keanekaragaman hayati tidak saja terjadi antar jenis, tetapi dalam satu jenis pun terdapat keanekaragaman. Adanya perbedaan warna, bentuk, dan ukuran dalam satu jenis disebut variasi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang tingkatan keanekaragaman hayati, diantaranya sebagai berikut: 1. Keanekaragaman Hayati Tingkat Gen Gen pada setiap individu, walaupun perangkat dasar penyusunnya sama, tetapi susunannya berbeda- beda bergantung pada masing-masing induknya. Susunan perangkat gen inilah yang menentukan ciri atau sifat suatu individu dalam satu spesies. Perkawinan antara dua individu makhluk hidup sejenis merupakan salah satu penyebab keanekaragaman hayati. Keturunan dari hasil perkawinan memiliki susunan perangkat gen yang berasal dari kedua induk. Kombinasi susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan menyebabkan keanekaragaman individu dalam satu spesies berupa varietas-varietas (varitas) yang terjadi secara alami atau secara buatan. 2. Keanekaragaman Hayati Tingkat Jenis 1

Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

  • Upload
    mike-fkh

  • View
    2.614

  • Download
    17

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas waktu dapet mata kuliah konservasi exsitu

Citation preview

Page 1: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

PENDAHULUAN

Keanekaragaman hayati disebut juga “Biodiversitas”. Keanekaragaman

atau keberagaman dari makhluk hidup dapat terjadi karena akibat adanya

perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur, penampilan dan sifat-sifat

lainnya. Keanekaragaman hayati tidak saja terjadi antar jenis, tetapi dalam

satu jenis pun terdapat keanekaragaman. Adanya perbedaan warna, bentuk,

dan ukuran dalam satu jenis disebut variasi. Untuk mendapatkan gambaran

yang lebih jelas tentang tingkatan keanekaragaman hayati, diantaranya

sebagai berikut:

1. Keanekaragaman Hayati Tingkat Gen

Gen pada setiap individu, walaupun perangkat dasar penyusunnya

sama, tetapi susunannya berbeda-beda bergantung pada masing-masing

induknya. Susunan perangkat gen inilah yang menentukan ciri atau sifat suatu

individu dalam satu spesies. Perkawinan antara dua individu makhluk hidup

sejenis merupakan salah satu penyebab keanekaragaman hayati. Keturunan

dari hasil perkawinan memiliki susunan perangkat gen yang berasal dari

kedua induk. Kombinasi susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan

menyebabkan keanekaragaman individu dalam satu spesies berupa varietas-

varietas (varitas) yang terjadi secara alami atau secara buatan.

2. Keanekaragaman Hayati Tingkat Jenis

Untuk mengetahui keanekaragaman hayati tingkat jenis pada tumbuhan

atau hewan dapat diamati antara lain ciri-ciri fisiknya. Misalnya bentuk dan

ukuran tubuh,warna, kebiasaan hidup dan lain-lain. Walaupun hewan-hewan

termasuk dalam satu familia, tetapi diantara mereka terdapat perbedaan-

perbedaan sifat yang mencolok.

3. Keanekaragaman Hayati Tingkat Ekosistem

Di lingkungan manapun di muka bumi ini, maka akan ditemukan

berbagai jenis makhluk hidup. Semua makhluk hidup berinteraksi atau

berhubungan erat dengan lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan hidup

meliputi komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik meliputi

berbagai jenis makhluk hidup mulai yang bersel satu (uni seluler) sampai

makhluk hidup bersel banyak (multi seluler) yang dapat dilihat langsung oleh

1

Page 2: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

kita. Komponen abiotik meliputi iklim, cahaya, batuan, air, tanah, dan

kelembaban. Ini semua disebut faktor fisik. Selain faktor fisik, ada faktor

kimia, seperti salinitas (kadar garam), tingkat keasaman dan kandungan

mineral. Di dalam ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di

dalamnya selalu melakukan hubungan timbal balik, baik antar makhluk hidup

maupun makhluk hidup dengan lingkungnnya atau komponen abiotiknya.

Hubungan timbal balik ini menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu

ekosistem. Perbedaan letak geografis antara lain merupakan faktor yang

menimbulkan berbagai bentuk ekosistem.

Kelestarian keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem akan

terganggu bila ada komponen-komponennya yang mengalami gangguan.

Gangguan-gangguan terhadap komponen-komponen ekosistem dapat

menimbulkan perubahan pada tatanan ekosistemnya. Besar atau kecilnya

gangguan terhadap ekosistem dapat merubah wujud ekosistem secara

perlahan-lahan atau secara cepat pula. Contoh-contoh gangguan ekosistem ,

antara lain penebangan pohon di hutan-hutan secara liar dan perburuan hewan

secara liar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Gangguan tersebut

secara perlahan-lahan dapat merubah ekosistem sekaligus mempengaruhi

keanekaragaman tingkat ekosistem. Bencana tanah longsor atau letusan

gunung berapi, bahkan dapat memusnahkan ekosistem. Tentu juga akan

memusnahkan keanekaragaman tingkat ekosistem.

Keanekaragaman Hayati Indonesia

Indonesia terletak di daerah tropik sehingga memiliki keanekaragaman

hayati yang tinggi dibandingkan dengan daerah subtropik (iklim sedang) dan

kutub (iklim kutub). Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia ini

terlihat dari berbagai macam ekosistem yang ada di Indonesia, seperti:

ekosistem pantai, ekosistem hutan bakau, ekosistem padang rumput,

ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem air tawar, ekosistem air laut,

ekosistem savanna, dan lain-lain. Masing-masing ekosistem ini memiliki

keaneragaman hayati tersendiri.

2

Page 3: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Fauna (hewan) di Indonesi memiliki keankaragaman. Hewan-hewan di

Indonesia memiliki tipe Oriental (Kawasan Barat Indonesia) dan Australia

(Kawasan Timur Indonesia) serta peralihan. Hewan-hewan di bagian Barat

Indonesia (Oriental) yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, memiliki

ciri-ciri sebagai berikut:

1. Banyak spesies mamalia yang berukuran besar. Mamalia berkantung

jumlahnya sedikit, bahkan hampir tidak ada.

2. Terdapat berbagai macam kera, misalnya: bekantan, tarsius, orang utan.

3. Terdapat hewan endemik, seperti: badak bercula satu, binturong (Aretictis

binturang), monyet (Presbytis thomari), tarsius (Tarsius bancanus), kukang

(Nyeticebus coucang).

4. Burung-burung memiliki warna bulu yang kurang menarik, tetapi dapat

berkicau.

Jenis-jenis hewan di Indonesia bagian timur, yaitu Irian, Maluku,

Sulawesi, Nusa Tenggara, relatif sama dengan Australia. Ciri-ciri hewannya

adalah:

1. Mamalia berukuran kecil

2. Banyak hewan berkantung

3. Tidak terdapat species kera

4. Jenis-jenis burung memiliki warna yang beragam

Sedangkan daerah peralihan meliputi daerah di sekitar garis Wallace

yang terbentang dari Sulawesi sampai kepulauan Maluku, jenis hewannya

antara lain tarsius (Tarsius bancanus), maleo (Macrocephalon maleo), anoa,

dan babi rusa (Babyrousa babyrussa).

Pada makalah ini kami akan membahas mengenai salah satu

keanekaragaman fauna yang dilindungi di Indonesia yaitu sapi bali dan

banteng.

3

Page 4: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

PEMBAHASAN

A. Sapi Bali (Bos sondaicus)

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli

Indonesia, yang merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah

mengalami proses domestikasi sebelum 3.500 SM di wilayah Pulau Jawa atau

Bali dan Lombok (Wibisono 2009). Selain itu, sapi bali termasuk jenis sapi yang

unik dan hingga saat ini masih hidup liar di Taman Nasional Bali Barat, Taman

Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon (Saputra 2008). Sapi Bali

dikenal dengan nama Balinese cow atau Bibos javanicus, meskipun sapi Bali

bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus.

Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae, kedudukan sapi Bali

diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos

(Wibisono 2009).

Gambar 1. Sapi Bali (Bos sondaicus) (Wibisono 2009).

1. Morfologi dan Ciri-Ciri Sapi Bali

Menurut Wibisono 2009, sapi Bali asli mempunyai bentuk dan

karakteristik yang sama dengan banteng. Morfologi dan ciri-ciri fisik sapi bali

adalah sebagai berikut :

a. Warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis

kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih

“pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah

dewasa Sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi

4

Page 5: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Bali betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata

menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin

sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna

hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu

dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosteron.

b. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna

putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam

kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu

putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga.

Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan

bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan

ditemukan sekitar kurang dari 1% . Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus

(halus) pendek-pendek dan mengkilap.

c. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.

d. Badan padat dengan dada yang dalam.

e. Tidak berpunuk dan seolah tidak bergelambir

f. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.

g. Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis

belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.

h. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam

i. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya

untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.

A B

Gambar 2. A. Sapi Bali Jantan, B. Sapi Bali Betina (Wibinoso, 2009).

5

Page 6: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

2. Kondisi Sapi Bali Sebagai Hewan Asli Indonesia

Ternak sapi merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui sebagai

salah satu aset nasional yang sangat berharga. Di antara berbagai jenis sapi  yang

ada di dunia, sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan jenis sapi yang unggul. Sapi

bali di domestikasi pertama kali di Pulau Bali. Hal ini menunjukkan bahwa sapi

bali sudah dipelihara oleh nenek moyang masyarakat Bali sejak berabad-abad

yang lalu, sehingga ternak ini sudah menjadi ciri khas Daerah Bali. Sapi Bali telah

menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia (Handiwirawan dan Subandriyo

2004), namun yang masih terjamin kemurnian genetiknya adalah yang ada di Bali.

Perkembangan sapi Bali yang sangat cepat dibandingkan dengan breed

sapi potong lainnya di Indonesia, breed ini lebih diminati oleh petani kecil. Di

daerah Bali peranan sapi Bali dapat dikategorikan peranannya secara makro dan

fungsi khusus. Peranannya secara makro adalah sebagai penyedia daging untuk

konsumen, sebagai tenaga kerja dalam memproduksi pangan, sebagai komoditi

antarpulau, sebagai bahan baku industri dan sebagai pendukung keperluan

pariwisata (penyedia daging, hiburan dan pertunjukan). Sapi Bali berperan pada

pendapatan asli daerah, karena peranan subsektor peternakan dalam hal ini cukup

menonjol, belum termasuk tenaga kerja dan pupuknya yang sangat berarti bagi

petani. Sedangkan secara mikro peranannya yaitu sesuai dengan tujuan

pemeliharaannya yaitu sumber pendapatan/penghasilan rumah tangga, sumber

peningkatan pendapatan, sumber pupuk yang potensial, memberikan lapangan

kerja bagi pemeliharanya. Peranan dan fungsi khusus sapi bagi orang Bali adalah

sebagai sarana upacara Pitra Yadnya sebagai pengantar roh ke surga.

Dalam aspek reproduksi terjadi penurunan ‘calf crop’ dari tahun ke tahun.

Pada tahun 1983, 1986, 1987 di Kabupaten Enrekang terjadi penurunan ‘calf

crop’ sebesar 50,20 %, 39,40 % dan 28,10 %, sedangkan di Kabupaten Wajo dari

tahun 1984, 1985, 1986 sampai 1987 ‘calf crop’ masing-masing sebesar 61,20 %,

29,40 %, 27,40 % dan 31,70 % . Menurut beberapa ahli standar rata-rata berat

lahir anak sapi Bali adalah 15,9 kg atau bevariasi antara 12,6-18 kg dan antara

11,0-12,5 kg. Dari uraian singkat diatas menunjukkan bahwa telah terjadi

penurunan kualitas genetik sapi Bali di Sulawesi Selatan yang dapat disebabkan

oleh banyak faktor yaitu adanya pengeluaran bibit sapi dari Sulawesi Selatan

6

Page 7: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

dengan tinggi badan sapi 105 cm, (kemudian turun menjadi 102 cm) pada umur

1,5 - 2,0 tahun dan adanya peraturan pemerintah yang melarang mengeluarkan

sapi potong dari Sulawesi Selatan yang beratnya kurang dari 275 kg.

Gambar 3. Peran sapi bali dibidang peranian (Handiwirawan 2004).

3. Perkembangan dan Persebaran Sapi Bali Saat Ini di Indonesia

Sapi Bali yang berasal dari Pulau Bali dipandang sebagai pusat

perkembangan sekaligus sebagai pusat pembibitan, yang kemudian menyebar dan

berkembang hampir ke seluruh pelosok nusantara. Penyebaran sapi Bali di luar

Pulau Bali merambah ke Sulawesi Selatan pada tahun 1920 dan 1927 (Herweijer

1950 dan Pane 1991), ke Lombok pada abad ke-19 (Hardjosubroto dan Astuti

1993), ke Pulau Timor pada tahun 1912 dan 1920 (Herweijer 1950). Selanjutnya

sapi Bali berkembang sampai ke Malaysia, Philipina dan Australia bagian Utara.

Sapi Bali diintroduksi ke Australia antara tahun 1827-1849 (National Research

Council 1983).

Sejak munculnya penyakit Jembrana pada tahun 1964 hingga saat ini Bali

tidak mengeluarkan sapi pembibitan lagi. Penyebaran yang dilakukan hampir ke

seluruh wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini berasal dari daerah Lombok,

Timor dan Sulawesi Selatan melalui berbagai proyek (Pane 1990). Menurut

Guntoro 2002, pada Tahun 1990 jumlah populasi sapi Bali di seluruh Indonesia

mencapai sekitar 3 juta ekor yang tersebar di berbagai provinsi, mulai dari Aceh

hingga Irian Jaya. Dari populasi tersebut sekitar 82% terdapat di 4 provinsi utama,

dengan urutan populasi sebagai berikut Sulawesi selatan sekitar 1.200.000 ekor,

NTT 600.000 ekor, dan provinsi Bali 450.000 ekor. Peringkat berikutnya adalah 7

Page 8: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

NTB yang memiliki sapi Bali sebanyak 350.000 ekor. Berdasarkan Entwistle et al

2001, sekitar 2.916.944 ekor terkonsentrasi pada beberapa daerah seperti Bali,

NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Sumatera. Sementara pada tahun 2002 seluruh

populasi sapi Bali di Indonesia diperkirakan mencapai hampir 3,5 juta ekor

(Guntoro 2002).

Di antara berbagai bangsa sapi yang terdapat di Indonesia sapi Bali

merupakan salah satu jenis sapi yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak

dan tersebar hampir ke seluruh Indonesia. Penyebaran yang lebih luas terjadi sejak

adanya kebijakan menggalakan penyebaran sapi Bali. Dengan adanya kebijakan

menggalakan penyebaran sapi Bali melalui program intensifikasi dan

ekstensifikasi peternakan, maka diperlukan bibit sapi Bali yang berkualitas baik

dengan jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan sapi pembibitan ini.

Melalui UU Peternakan No.6 tahun 1968 Pemerintah memutuskan bahwa pulau

Bali merupakan sumber bibit sapi Bali murni, sehingga ke pulau ini tidak

diperkenankan memasukkan bangsa sapi lain ke pulau ini.

Gambar 4. Peta Persebaran Sapi Bali (Guntoro 2002)

4. Kelebihan dan Kelemahan Sapi Bali

Kelebihan Sapi Bali

Pedet Sapi Bali termasuk jenis yang disukai oleh para peternak karena

dwiguna, disamping bisa sebagai sapi pekerja juga sapi pedaging, serta

mempunyai banyak keunggulan seperti :

8

Page 9: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

1. Subur (cepat berkembang biak/ fertilitas tinggi)

Sapi bali memiliki penampilan reproduksi dan produksi yang unggul 

sebagai jenis sapi tipe pedaging. Secara umum sapi induk betina dapat

melahirkan anak satu ekor per periode melahirkan, dengan bobot lahir

anak sekitar 16.5 ± 1.54 kg untuk anak jantan, dan 15.12 ± 1.44 kg untuk

anak betina, (Pastika & Darmadja 1976). Sedangkan bobot sapihnya (umur

205 hari) sekitar 87.6 ± 7.23 kg untuk yang jantan, dan 77.9 ± 7.53 kg

untuk yang betina. Umur pubertas sapi bali jantan adalah 21 bulan dan

sapi bali betina, sekitar 15 bulan, namun umur betina yang dianjurkan saat

kawin pertama minimal 18 bulan. Lama bunting sekitar 285.59 ± 14.72

hari, dan interval beranak berkisar antara 528 ± 155 hari, (Darmadja

1980). Berat badan pada saat dewasa (umur 3-4 tahun) dapat mencapai

335 ± 75 kg, sedangkan yang betina 247 ± 39 kg.

2. Mudah beradaptasi dengan lingkungannya,

3. Dapat hidup di lahan kritis.

4. Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan.

5. Persentase karkas yang tinggi.

6. Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat.

7. Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu

jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant

Catarrhal Fever). Sapi Nusa Penida juga dapat menghasilkan vaksin

penyakit jembrana.

8. Kandungan lemak karkas rendah.

9. Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor.

Kelemahan Sapi Bali

Dari berbagai kelebihan tersebut, Sapi Bali juga memiliki kelemahan

walaupun hanya sedikit, diantaranya :

1. Pertumbuhan yang lambat

2. Tekstur daging yang alot dan warna yang gelap sehingga kurang baik

digunakan sebagai steak, slice-beef, sate dan daging asap

3. Dapat terserang virus Jembrana yang menyebar melalui media “lalat”.

9

Page 10: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Tahun 1964 muncul suatu wabah penyakit baru yang dikenal sebagai

penyakit jembrana. Penyakit ini sangat fatal pada sapi Bali, tetapi sapi lain

lebih tahan. Puluhan ribu sapi Bali di Bali mati dalam tempo singkat

ketika wabah pertama timbul. Baru pada tahun 1991, sebuah tim penyidik

berhasil mengidentifikasi virus lenti sebagai penyebab penyakit jembrana.

Virus ini masih satu famili dengan (virus) HIV, penyebab penyakit AIDS

pada manusia.

4. Rentan terhadap penyakit ingusan (snot ziekte) atau malignant catarrhal

fever (MCF). Di antara ras sapi, sapi Bali paling peka terhadap infeksi

virus MCF. Penyakit ini tidak menular dari sapi ke sapi, tetapi virus

penyebabnya ditularkan domba (biri-biri) yang bertindak sebagai

pembawa virus, tanpa menderita sakit. Gejala sebelum kematian tidak

tampak sama sekali.

5. Penyakit lain bernama Bali Ziekte karena banyak ditemukan pada sapi

bali. Penyakit disebabkan oleh tanaman yang mampu merusak sel-sel hati

(hepatotoksik) dan menimbulkan dermatitis fotosensitisasi. Pada musim

kemarau, apabila hijauan makanan ternak langka, sapi Bali akan makan

tanaman yang tidak lazim dimakan. Karenanya saat menjelang musim

kemarau sebaiknya ternak sapi Bali diawasi dan dipelihara dengan baik

terutama menyangkut penyediaan pakan.

6. Selain itu yang biasa menyerang sapi Bali berupa penyakit Sura dan

Brucellosis serta penyakit internal lainnya tapi masih dalam stadium yang

tidak membahayakan. Kasus penyakit dan berakibat kematian sangat

minim, kalaupun ada kematian biasanya disebabkan karena salah

penanganan oleh peternak.

5. Metode Peningkatan Kualitas Genetik Sapi Bali

Peningkatan kualitas genetik sapi Bali biasanya dilakukan dengan dua

cara, yaitu secara alami (kawin dengan sapi jantan pemacek) dan dengan

inseminasi buatan (IB). Dalam hal ini, inseminasi buatan dilakukan menggunakan

semen dari jantan sapi Bali unggul. Sedangkan kawin alami dapat dilakukan

dengan pengadaan sapi Bali betina yang baik dan sapi Bali pejantan yang unggul

10

Page 11: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

(Wello 2010). Tetapi, perkawinan secara alami biasanya tidak dihasilkan anak

yang baik, mengingat sapi jantan pemaceknya tidak cukup baik. Untuk

mendapatkan anak sapi yang baik, perkawinan dengan inseminasi buatan lebih

menjanjikan mengingat inseminasi buatan menggunakan sperma dari sapi

pejantan unggul (Hidayat 2010). Teknologi inseminasi buatan (IB) ini dipilih

karena dari seekor pejantan IB dapat menghasilkan sekitar 20.000 keturunan

dibandingkan jika secara alami yang hanya 40 ekor dalam setahunnya. Teknologi

ini menuntut suatu jaminan bahwa pejantan yang digunakan harus bermutu unggul

dan tidak menurunkan karakter yang jelek. Oleh karena itu setiap calon pejantan

IB harus menjalani uji zuriat (progeny test) terlebih dahulu. Inseminasi buatan

(IB) adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina

dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan

alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara

alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari,

sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan

hanya satu spermatozoon. Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan

sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang unggul dapat dimanfaatkan secara

efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez 1993).

Ada tiga tahapan yang harus dilakukan secara berurutan untuk

meningkatkan kualitas genetik sapi bali (Wello 2010):

Tahap I.

Pada tahap ini dilakukan pembelian dan atau seleksi sapi Bali betina

sebanyak 100-300 ekor sebagai populasi dasar. Kriteria yang digunakan pada

seleksi ini ialah:

- Sapi betina siap kawin

- umur sapi ± 1,5 tahun (umur rata-rata siap kawin).

- berat badan sapi diatas rata-rata berat pada umur 1,5 tahun.

- berasal dari induk yang subur

Disamping kriteria diatas juga diperhatikan anatominya (exterior), kondisi tubuh,

kesehatan dan juga sifat keindukan (mothering ability).

11

Page 12: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Tahap II.

Setelah populasi dasar dipelihara selama 3-4 tahun (penyesuaian

lingkungan), dilakukan seleksi tahap II dengan memilih 90% dari populasi dasar.

Sapi yang tidak terpilih, digemukkan kemudian dijual sebagai sapi finisher. Sapi

betina yang terseleksi dikawinkan dengan pejantan unggul (IB) yang akan

menghasilkan F1. Semua semen yang digunakan adalah semen sapi Bali yang

direkomendasikan oleh Dirjen Peternakan. Diharapkan dengan IB ini minimal

90% yang bunting dan melahirkan dengan baik sehingga akan diperoleh anak sapi

(F1) yang kualitas genetiknya lebih baik dari populasi dasar dan jauh lebih baik

dari sapi rakyat. Secara teoritis akan diperoleh 50% betina dan 50% jantan. Anak

sapi dipelihara bersama dengan induknya sampai pada umur 6-7 bulan, (standar

umur berat sapi umur 200 hari). Mortalitas anak sapi diharapkan maksimal 5%.

Untuk memaksimalkan mutu genetik maka semua anak sapi diberikan pakan

konsentrat, demikian pula induknya, sebab kemampuan genetik hanya bisa

nampak secara maksimal pada fenotipe jika didukung oleh lingkungan yang baik

termasuk kualitas pakan.

Tahap III.

Setelah anak sapi betina mencapai umur 365 hari dan jantan 550 hari maka

dilakukan seleksi terhadap F1. Banyaknya yang akan diseleksi tergantung kepada

kebutuhan, yang dapat dilihat dari 2 aspek yaitu:

1. Keinginan untuk mendapatkan bibit betina yang lebih banyak untuk

mempercepat penyebaran bibit F1.

2. Keinginan untuk meningkatkan kualitas bibit betina lebih banyak dalam

Mini Ranch, yang berarti F1 yang disebarkan ke petani lebih sedikit, dan

lebih banyak F1 sapi betina yang dipertahankan dalam Ranch untuk

menghasilkan F2. Tetapi masing-masing mempunyai kelebihan dan

kekurangan. Untuk mendapatkan F2 maka kita melakukan perkawinan

secara ‘Out Breeding’ untuk menghindari ‘Inbreeding’ dengan sistem

‘Back Cross’, selanjutnya dilakukan lagi seleksi seperti pada F1.

Dengan cara seperti diatas kita dapat melanjutkan untuk mendapatkan F3

dan seterusnya agar kelak kita dapat memperoleh bibit-bibit betina elit dan

pejantan unggul. Khusus untuk mendapatkan pejantan unggul sebagai donor

12

Page 13: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

sperma maka seleksi perlu dilanjutkan dengan ‘Progeny test’. Seleksi Tahap I, II,

III dan seterusnya dilakukan setiap tahun sehingga peningkatan genetik sapi

petani dapat meningkat terus dan dalam waktu yang sama kita juga berusaha

memperoleh bibit yang lebih baik dalam pusat-pusat pembibitan di setiap

kabupaten.

Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez 1993) adalah

sebagai berikut :

a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;

b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik;

c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding);

d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan

dalam jangka waktu yang lama;

e) Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian

walaupun pejantantelah mati;

f) Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan

karena fisik pejantan terlalu besar;

g) Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang

ditularkan dengan hubungan kelamin.

Peningkatan kualitas genetik sapi Bali juga dapat dilakukan dengan perkawinan

alami walaupun hasil yang di dapat tidak sebanyak dan secepat jika menggunakan

IB. Perkawinan silang dengan bangsa sapi Bos Taurus dan Bos indicus juga

mampu manghasilkan sapi hasil persilangan yang memiliki produktivitas cukup

baik. Peningkatan kualitas sapi Bali dapat dilakukan dengan menghindari adanya

inbreeding pada perkawinanalamisapi Bali ataupun pada IB.

13

Page 14: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

A B

Gambar 5, A. Proses Inseminasi Buatan dan B. Proses kawin alami pada sapi bali (Hafez 1993).

6. Kendala Dalam Peningkatan Kualitas Sapi Bali

Penurunan kualitas genetik pada sapi Bali saat ini menjadi perhatian

khusus untuk dapat meningkatkan kembali produksinya kerena sapi Bali dianggap

sebagai sapi asli Indonesia yang mampu bertahan dan tumbuh dengan baik di

Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas genetik

sapi Bali adalah dengan menyilangkan sapi Bali dengan banteng. Banteng

merupakan nenek moyang sapi Bali sehingga upanya penyilangan ini diharapkan

dapat meningkatkan kembali kualitas genetik sapi Bali. Namun terdapat beberapa

kendala dalam sistem ini salah satunya karena jumlah banteng asli Indonesia (Bos

javanicus) yang memiliki daya tahan dan adaptasi yang baik di wilayah tropis

seperti Indonesia semakin berkurang jumlahnya.

Adanya penurunan populasi dan kelangkaan Banteng lebih disebabkan

oleh perburuan liar dan berkurangnya habitat akibat pembukaan lahan untuk

pemukiman dan pertanian. Penurunan populasi juga disebabkan oleh persaingan

dengan binatang lainnya dan pemangsaan yang berlebih oleh Ajag (Cuon alpinus).

Kendala lainnya adalah tingkat kematian pedet pra sapih yang mencapai 15

sampai 20 % serta peningkatan kualitas genetik sapi memerlukan jangka waktu

yang lama dan biaya yang cukup besar. Menurut Ternakonline (2010), meskipun

14

Page 15: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

kemampuan reproduksi sapi Bali merupakan yang terbaik diantara sapi-sapi lokal.

Hal ini disebabkan sapi Bali bisa beranak setiap tahun.

Secara umum, ada beberapa cara yang dapat ditempuh dan dikombinasikan

satu dengan yang lain untuk mempercepat peningkatan kualitas genetik dan

sekaligus meningkatkan populasi ternak sapi Bali yaitu (Arismunandar 2009):

1. Melakukan pengebirian terhadap semua sapi jantan atau anak sapi jantan

yang bukan pejantan atau yang tidak akan digunakan sebagai pejantan.

2. Mendatangkan pejantan unggul untuk dijadikan pejantan atau sebagai

donor sperma.

3. Membangun pusat  pembibitan pada tingkat kabupaten yang potensil dan

pada tingkat propinsi.

4. Solusi lainnya, dengan menggalakkan Inseminasi Buatan dengan

menggunakan sperma dari pejantan sapi Bali unggul yang ada ataukah

mendatangkan sperma dari pusat IB seperti di Lembang. Selain itu, dengan

menggalakkan Transfer Embrio yang dikombinasikan dengan IB.

Namun mewujudkan kelima poin di atas tidaklah mudah, adanya

kebijakan pemerintah mengenai pengeluaran plasma nutfah atau bibit unggul dari

luar daerah diatur sedikit ketat. Upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali yang saat

ini telah dilakukan melalui seleksi dan uji keturunan berhasil mendapatkan sapi

dengan nilai pendugaan yang lebih baik. Pejantan elit yang dihasilkan diharapkan

dapat memperbaiki sapi Bali secara keseluruhan melalui program IB. Peningkatan

produktivitas ternak dapat dilakukan melalui perbaikan mutu pakan dan program

pemuliaan melalui seleksi dan persilangan. Perbaikan mutu pakan dan manajemen

dapat meningkatkan produktivitas, tapi tidak meningkatkan mutu genetik.

Perbaikan produktivitas tersebut sering kali bersifat sementara dan tidak

diwariskan pada turunannya. Perkawinan silang dapat meningkatkan produktivitas

dan mutu genetik, namun membutuhkan biaya besar dan harus dilakukan secara

bijak dan terarah, karena dapat mengancam kemurniaan ternak asli, (Rusfidra

2006).

B. Banteng (Bos javanicus)

15

Page 16: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Banteng Liar atau biasa disebut dengan Banteng saja merupakan hewan

mamalia yang berkerabat dengan sapi. Banteng Jawa (Bos javanicus) merupakan

satu dari 5 (lima) spesies Banteng yang ada di dunia (satu spesies telah punah)

(Alamendah 2010). Banteng (Bos javanicus) terdiri atas tiga subspesies (sub-

jenis) yakni Bos javanicus javanicus (terdapat di Jawa, Madura, dan Bali,

Indonesia), Bos javanicus lowi (terdapat di Kalimantan) dan Bos javanicus

birmanicus (terdapat di Indocina). Banteng merupakan satwa yang dilindungi di

Indonesia. Populasinya semakin mengalami penurunan. Oleh IUCN Redlist,

Banteng dikategorikan dalam status konservasi “Endangered” atau “Terancam

Kepunahan”.

Gambar 6. Banteng (Bos Javanicus) (Alamendah 2010).

Selain Banteng Jawa (Bos javanicus) sedikitnya terdapat 4 spesies banteng

lainnya diseluruh dunia. Satu spesies telah dinyatakan punah. Kelima spesies

Banteng tersebut adalah:

Bos javanicus (Banteng)

Bos gaurus (Indian Bison) yang biasa diadu dengan matador di Spanyol

Bos mutus (Wild Yark)

Bos souveli (Grey Ox)

Bos primigenius (Auroch) yang telah punah (Alamendah 2010).

1. Morfologi dan Ciri-Ciri Banteng

Banteng merupakan hewan yang besar, tegap dan kuat dengan memiliki

bahu depan yang lebih tinggi daripada bagian belakang. Pada bagian kepala

terdapat sepasang tanduk. Pada bagian tengah dada terdapat gelambir (dewlap)

memanjang dari pangkal kaki depan hingga leher, tetapi tidak mencapai daerah

16

Page 17: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

kerongkongan. Banteng (Bos javanicus) mempunyai tinggi sekitar 160 cm dengan

panjang antara 190-225 cm. Meskipun beberapa banteng mampu memiliki berat

hingga 1 ton tetapi rata-rata banteng jantan memiliki berat berkisar antara 600-800

kg, sedangkan Banteng betina memiliki berat dan ukuran yang lebih kecil.

Banteng memiliki sepasang tanduk dikepalanya yang panjangnya berkisar antara

60-75 cm. Kulit kaki bagian bawah, punuk, dan daerah sekitar mata dan moncong

Banteng (Bos javanicus) berwarna putih. Pada Banteng berkelamin jantan

memiliki kulit berwarna biru kehitam-hitaman atau coklat gelap dengan punuk di

bagian pundak dan tanduk yang melenkung ke atas, sedangkan pada Banteng

betina memiliki kulit berwarna coklat kemerahan tanpa punuk dan tanduk yang

mengarah ke dalam.

A B

Gambar 7. A. Banteng jantan, B. Banteng betina (Huffman 2005).

Banteng mampu hidup hingga berumur 20 tahun dengan masa kedewasaan

ketika berusia 2-3 tahun. Banteng betina mempunyai lama kehamilan hingga 285

hari dan umumnya hanya melahirkan satu anak saja dalam satu masa kehamilan.

Bayi Banteng akan disapih ketika berusia 6-9 bulan. Banteng hidup secara

berkelompok dengan jumlah kawanan antara 2-40 individu dengan satu Banteng

jantan. Banteng-banteng jantan muda hidup sendirian atau dalam kelompok-

kelompok kecil bujang.

Banteng merupakan binatang herbivora yang memakan rumput, dedaunan,

dan buah-buahan. Diperkirakan Banteng sangat menyukai jenis rerumputan dari

spesies Ischaemum muticum, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, dan

Cynodon dactylon. Banteng umumnya aktif baik pada siang ataupun malam hari.

17

Page 18: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Namun pada wilayah-wilayah yang dekat dengan pemukiman manusia Banteng

cenderung untuk beradaptasi sebagai binatang nokturnal yang aktif pada malam

hari (Saari 2002).

2. Kondisi Banteng Saat Ini di Indonesia

Saat ini populasi banteng yang terdapat di Indonesia hanya terdapat di

area-area yang terisolasi di Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa. Selain itu, karena

populasinya yang dapat dikatakan sangat rendah, maka jarang sekali ditemukan di

hutan-hutan yang bukan merupakan kawasan taman nasional. Penurunan akan

populasi banteng semakin lama semakin menurun. Menurut Jason 2008, di benua

Asia sendiri populasi banteng telah menurun sebesar 80% selama 20 tahun

terakhir. Hal ini telah dialami pada beberapa kawasan taman nasional. Pada

Taman Nasional di daerah Garut, karena terjadi kerusakan hutan seluas 68 ha,

populasi banteng liar Jawa (Bos javanicus javanicus) yang biasa hidup di kawasan

pesisir selatan Jawa Barat sudah tidak ditemukan lagi.

Populasi banteng terus-menerus turun di Taman Nasional Alas Purwo dari

tahun 1999 sampai tahun 2003 dari populasi yang tadinya berjumlah 110 ekor

hingga menurun drastis hingga 17 ekor. Namun, karena terus dilakukan upaya

rehabilitasi terhadap banteng, maka populasi naik hingga 62 ekor walaupun

jumlah tersebut dirasa belum maksimal (Zulka 2009).

3. Perkembangan dan Persebaran Banteng Saat Ini di Indonesia

Populasi banteng Di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) diperkirakan

terdapat 300-700 ekor Banteng (tahun 2003), 200 ekor di Taman Nasional Meru

Betiri (2000), 200 ekor di Taman Nasional Baluran (2002), 80 ekor di Taman

Nasional Alas Purwo (2002). Populasi-populasi yang lebih kecil juga terdapat di

beberapa tempat seperti di Cagar Alam Cikepuh-Cibanteng, Pangandaran,

Malang, dan Kediri.

18

Page 19: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Gambar 8. Peta Persebaran Banteng (Guntoro 2002).

4. Tingkat Kelangkaan Banteng Sebagai Nenek Moyang Sapi Bali

Karena populasi banteng yang terus mengalami penurunan sejak tahun

1996, banteng dinyatakan dalam status konservasi “Endangered” (EN; Terancam

Punah) oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature). Namun,

sampai saat ini hewan ini belum terdaftar dalam CITES (Convention on

International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora) meskipun

sejak 1996 telah diusulkan untuk didaftar dalam CITES Apendiks I. Berdasarakan

19

Page 20: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

lampiran peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 7 tahun 1999 tanggal 27

januari 1999, banteng masuk dalam daftar jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang

dilindungi.

Salah satu penurunan populasi dan kelangkaan Banteng lebih disebabkan

karena ulah manusia dan adanya hewan pemangsa di alam bebas yang

mengancam keselamatan hidup banteng. Hal-hal tersebut juga dapat menyebabkan

keluarnya populasi banteng yang tadinya berdiam di kawasan taman nasional,

keluar dari kawasan tersebut.

Tiuria et al 2008, menyatakan beberapa kendala yang menyulitkan

pertambahan populasi satwa liar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perambahan dan gangguan habitat oleh penduduk

2. Kompetisi anatra satwa badak dan banteng dalam hal penggunaan ruang

3. Kulaitas genetik yang makin menurun akibat in breeding

4. Rasio jantan betina yang tidak seimbang

5. Penyakit hewan yang dapat menyebabkan kematian maupun penurunan

kemampuan reproduksi.

Walaupun begitu, upaya rehabilitasi dari penambahan populasi terus

dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan upaya domestikasi terhadap

banteng. Upaya ini telah banyak dilakukan di banyak lokasi, sebagian besar upaya

ini dilakukan di Pulau Bali, dimana telah dilakukan perkawinan antara banteng

dengan sapi daerah lokal, yang keturunannya lebih dikenal dengan sapi bali.

Sampai saat ini telah dihasilkan populasi banteng domestikasi sebanyak kurang

lebih 1,5 juta di pulau tersebut (Huffman 2005).

5. Kesamaan Genetik Banteng Dengan Sapi Bali

Kesamaan genetik antara banteng dan sapi bali dapat dilihat dari:

a) Jenis kromosom yang identik sama antara sapi bali dengan banteng.

b) Kesamaan dalam bentuk tulang kepala.

20

Page 21: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

A B

Gambar 9. A. Bentuk tulang kepala Banteng dan B. bentuk tulang kepala Sapi bali.

c) Banteng betina dan sapi bali betina memiliki kesamaan kulit coklat

kemerahan, tanduk pendek yang mengarah ke dalam dan tidak berpunuk.

d) Banteng jantan dan sapi bali jantan memiliki kesamaan pada warna bulu yang

lebih gelap dibanding dengan betina, warna berubah dari merah bata menjadi

coklat tua atau hitam setelah mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun

dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun, serta tanduk panjang

berkembang ke arah keluar kepala.

e) Memiliki bagian putih pada kaki yang biasa disebut kaos kaki (banteng di

seluruh bagian kaki; sapi bali di bawah persendian carpal dan tarsal).

f) Memiliki cermin putih (white mirror) di bagian pantat.

21

A B

C D

Gambar 10, Persamaan antara A. Banteng betina dan B. Sapi Bali betina. C. Banteng jantan dan D. Sapi Bali jantan.

Page 22: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sulitnya Persilangan Antara

Banteng Dengan Sapi Bali.

Banteng mempunyai sifat menyukai daerah yang luas dan tidak ada

gangguan alami, daerah yang banyak terdapat garam, daerah moonson forest,

savanna dan blang, suka hidup berkelompok, dan suka melakukan perjalanan jauh

sambil makan, serta kurang tahan terhadap terik matahari sehingga banteng sering

berlindung di bawah pohon rindang dekat padang rumput atau savanna.

Selain itu, banteng juga sulit dihandle sehingga sulit pula untuk dilakukan

peningkatan genetik misalnya melalui inseminasi buatan (IB) dan masa

kebuntingannya cukup lama yaitu 285 hari serta umumnya hanya melahirkan satu

anak saja dalam satu masa kehamilan (Alamnedah 2010).

Kawin alam sebagai alternatif lain untuk meningkatkan populasi agak sulit

diwujudkan mengingat padang penggembalaan yang berfungsi sebagai sumber

makanan, tempat makan, tempat istirahat, tempat perkawinan, tempat melahirkan

dan membesarkan anak lebih banyak tertutup oleh Bambu Jajang (Giganthochloa

apus), Plumping (Panicium repens L.), Telekan (Lantana camara L.) sehingga

banteng tidak dapat melakukan kawin alam. Faktor yang menyebabkan

berkurangnya populasi banteng selain karena faktor utama habitatnya rusak. Juga

karena faktor alam. Banteng tersebut sering kali ditemukan mati terperosok ke

jurang. Hal ini dikarenakan oleh banteng mempunyai daya jelajah yang sangat

jauh, karena tidak mengenal medan, banteng itu seringkali terjebak dan terperosok

jurang hingga mati.

7. Usaha Persilangan Banteng dan Sapi Bali di Indonesia.

Pada bulan Maret 2010 Taman Nasional Ujung Kulon bekerjasama dengan

Disnakeswan kabupaten Pandeglang akan mengembangkan ternak hasil

perkawinan bateng dengan sapi bali. Hasil dari kegiatan ini belum dilapokan.

Namun kegiatan yang dilakukan merupakan solusi yang tepat untuk meningkakan

kualitas sapi bali. Selain di Taman Nasional Ujung Kulon, perkawinn secara

buatan (IB) antara banteng dan sapi bali juga dilakukan di Taman Safari II (TSI

II) Prigen Pasuruan, bahkan oleh kementrian pertanian, kehutanan dan LIPI, TSI

22

Page 23: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

II ditunjuk sebagai tempat rekayasa genetika untuk persilangan sapi bali dengan

banteng.

KESIMPULAN

Secara genetik, banteng merupakan nenek moyang sapi bali. Hal ini

terlihat dari adanya kemiripan genetik antara banteng dan sapi bali. Saat ini

banteng terasuk dalam kategori satwa yang dilndungi menurut PP no 7 tahun 1999

dan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) temasuk ke

dalam endarged animal. Persilangan antara sapi bali dengan banteng dapat

dilakukan. Hal ini terlihat dari upaya yang telah dilakukan oleh Taman Nasional

Ujung Kulon dan di Taman Safari Indonesia II untuk melakukan perkawinan

banteng dan sapi bali melalui IB. Namun, sejauh ini perkawinan antara banteng

dan sapi bali belum dilaksanakan secara maksimal di Indonesia. Hal ini

dibuktikan dengan kurangnya data tentang hasil perkawinan tersebut.

SARAN

Untuk mengatasi terjadinya kelangkaan dalam peningkatkan kualitas mutu

genetik , sebaiknya dilakukan:

1. Menjaga populasi sapi Bali dan banteng dengan tujuan untuk mencegah

agar tidak terjadi kepunahan.

2. Mengoptimalkan sumberdaya alam hayati secara lestari.

3. Menjadikan bibit sapi bali dan banteng sebagai plasma nutfah yang

harus dilindungi kualitas genetiknya.

4. Mengoptimalkan kegiatan pengawinan sapi Bali dan banteng agar

kualitas genetik sapi bali meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Arismunandar. 2009. Potensi dan Keragaman Sumber Daya Genetik Sapi Bali. [terhubung berkala] http://ciqquittaris.blog.com/ [24 Mei 2010]

Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius.

Hafez ESE. 1993. Artificial insemination. In: HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 424-439.

Hardjosubroto W. dan J.M. ASTUTI. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Herweizer CH. 1950. Enkele aantekenigen btreffende de geschiedenis van derunderveeteelt op het Eiland Timor. Hemera Zoa 56: 689.

Hidayat. 2010. Beternak Sapi Bali. http://uripsantoso.wordpress.com/2010/01/17/beternak-sapi-bali-3/. [24 Mei 2010]

Huffman B. 2005. Adult male banteng :Bos javanicus. http://www.ultimateungulate.com/Images/Bos_javanicus/B_javanicus3.html. [22 Mei 2010].

Meijer WCP. 1962. Das Balirind. A. Ziemsen Verslag, Wittenberg Lutherstandt.

Namikawa T, O Takenaka and K Takahashi. 1983. Hemoglobin Bali (bovine): βA18(Bl)Lys → his: One of the “missing links” between βA and βB of domestic cattle exists in the Bali cattle (Bovinae, Bos banteng). Biochemical Genetics.

[National Research Council]. 1983. Little-Known Asian Animals with a Promising Economic Future. Washington, D.C.: National Academic Press.NOZAWA, K. 1979. Phylogenetic studies on the native domestic animals in East and Southeast Asia. Proceeding Workshop Animal Genetic Resources in Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO). Hlm 23-43.

.Pane I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi

Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung Pandang.

Payne WJA, and Rollinson, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7, 13–21.

[Pengendali Ekosistem Hutan]. 2009. Laporan Kegiatan Pengamatan Terkonsentrasi Banteng (Bos javanicus) di Tempat Minum/ Kubangan STPNW 1 Bengkol. Situbondo: Balai Taman Nasional Baluran.

24

Page 25: Makalah Banteng Dan Sapi Bali_new

Purwanti M dan Harry. 2006. Upaya Pemuliaan dan Pelestarian Sapi Bali di Provinsi Bali. Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 1 No. 1, Mei 2006.

Rusfidra A, 2006. Dasar Fisiologis Pewarisan Sifat. Bahan ajar Dasar Pemulian Ternak, Fakultas Peternakan UNAND Padang.

Saari J. 2002. Bos javanicus : Banteng. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Bos_javanicus.html. [22Mei 2010].

Saputra E D. 22 Juli 2008. Sapi Bali sebagai plasma nutfah dan peranannya bagi petani. [terhubung berkala]. http://balivetman.wordpress.com. [19 Mei 2010]

[Ternakonline]. 2010. Bangsa-Bangsa Sapi Potong. [terhubung berkala]. http://ternakonline.wordpress.com/2009/08/15/bangsa-bangsa-sapi-potong/ [23 Mei 2010]

Timmins, R.J., Duckworth, J.W., Hedges, S., Steinmetz, R. & Pattanavibool, A. 2008. Bos javanicus. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.1. www.iucnredlist.org. [22 Mei 2010].

Tiuria R, Jimmy P, Ripta M, Bambang P, Adhi R. 2008. Kecacingan trematoda pada badak jawa dan banteng jawa di taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal veteriner juni 2008 vol. 9 no 2: 94-98.

Wello B dan Ismartoyo. 2010. Strategi Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi Bali di Sulawesi Selatan. [terhubung berkala] http;//disnaksulsel.info/index.php?option=com_docman&task=doc..[24 Mei 2010].

Wibisono A. 30 Juni 2009. Silsilah sapi Bali. [terhubung berkala]. http://duniasapi.com. [19 Mei 2010].

Zulka A. 2009. Populasi Banteng Jawa di Alas Purwo Bertambah. http://www.koran-jakarta.com/berita-detail-terkini.php?id=2586. [22 Mei 2010].

25