Upload
indo-halil
View
73
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tugas Matakuliah Kewiralembagaan
Citation preview
Tugas Mata kuliah Kewirausahaan Kelembagaan dan Bisnis Berkelanjutan
Analisis Review Jurnal
A Critical Realist Approach To Institutional Entrepreneurship
Dosen :
Dr. Ir. Bagus P. Yudha Kurniawan, MP
Disusun oleh:
H a l i l NIM. P601132188
Efie Fadjrijah ED. NIM. P601132184
Hasbiadi NIM. P601132189
Rizal Umami NIM. P601132192
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TERAPAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kewirausahaan kelembagaan merujuk pada kegiatan para aktor yang
memiliki kepentingan dalam pengaturan kelembagaan tertentu dan menjadi
sumber pengaruh untuk menciptakan lembaga baru atau untuk mengubah yang
sudah ada. Istilah kewirausahaan kelembagaan selalu dikaitkan pada DiMaggio
(1988: 14), yang berpendapat bahwa "lembaga-lembaga baru muncul ketika
pelaku secara terorganisir dengan memperhatikan sumber daya yang ada,
memaksimalkan kesempatan untuk mewujudkan kepentingan mereka". Aktor-
aktor ini menciptakan sistem baru, makna baru, serta fungsi yang berbeda dari
lembaga sebelumnya. Peran dari masing-masing “aktor” menjadi kunci sukses
kelancaran selama proses perubahan.
Penyebab tindakan aktor menjadi objek dari banyak penelitian untuk
memahami lebih lanjut mengenai niatan dari si aktor dalam setiap tindakannya.
Banyak teori berpendapat bahwa dalam rangka memahami tindakan aktor, perlu
untuk melihat motif yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Pemahaman
deterministik memberikan gambaran bahwasanya setiap kelembagaan memiliki
pola untuk mereproduksi dirinya sehingga perubahan menjadi sustu keniscayaan.
Namun pertanyaannya apakah perubahan tersebut mampu memberikan ekses
positif bagi lembaga yang baru? Di sisi lain, aktor harus juga menghadapi
persoalan apa yang kita pahammi sebagai paradoks kelembagaan. Dalam
pandangan tersebut, sangat penting untuk mengatasi paradoks kelembagaan misal
bagaimana perubahan instusional memungkinkan jika niat, tindakan dan
rasionalitas aktor dikondisikan oleh lembaga yang ingin dirubah (Battilana and
Boxenbaurn, 2004; Dorado, 2005; Seo and Creed, 2002; Holm, 1995).
Kembali pada alasan yang menjadi dasar tindakan aktor, menurut penulis
yang kami kaji jurnalnya menjelaskan bahwa dalam melihat tindakan aktor, perlu
mengkaji kewirausahaan kelembagaan dengan melihatnya dari sudut pandang
critical realism. Critical realism melihat bahwa tindakan manusia dalam melihat
kenyataan tidak hanya selesai pada level empiris. Domain empiris hanya akan
mereduksi kebenaran ontologis dan epistemologis terhadap kajian yang dimaksud.
Dengan kata lain, untuk memahami kebenaran yang hakiki, peneliti harus pula
memahami dan mampu mengkorelasikan kebenaran dalam domin empiris dengan
domain yang lebih tinggi yaitu domain actual dan domain riil.
Pemaparan di atas memberikan gambaran bahwasanya dalam memahami
tindakan aktor, perlu untuk mengkaji landasar –atau dalam critical realism disebut
struktur- dari tindakan aktor sehingga aktor mampu secara efektif dan efisien
membawa lembaga menuju kepada kelembagaan baru yang mampu memberikan
lebih banyak manfaat bukan hanya kepada lembaga itu sendiri tetapi kepada
masyrakat dalam struktur sosial yang menjadi tuntutan paradigma ekonomi
bahwasanya setiap prilaku bisnis harus mampu menyeimbangkan antara
kepentingan profit, planet dan people.
Dalam kajiannya, Lecca (penulis Jurnal) mengajukan enam langkah,
diantaranya adalah : pada bagian pertama, kami menyajikan hal utama dari
critical realism. Kami kemudian menggambarkan hal itu untuk mengembangkan
poin ini, kedua, garis besar teori non-conflating kelembagaan yang didasarkan
pada critical realism. ketiga, kami menunjukkan bagaimana kewirausahaan
kelembagaan dapat dikonsep melalui pendekatan itu, sebagai aktor yang
menggunakan kekuatan causal struktur yang sudah ada untuk membuat lembaga
baru atau sebagai tantangan bagi lembaga yang sudah ada. Ini menjelaskan
bagaimana mereka dapat membuat atau mengubah lembaga sebagai bagian dari
kelembagaan. keempat, kami menyajikan implikasi metodologis menggunakan
critical realism. kelima, kami menyediakan kasus ilustratif yang membuat
penggunaan empiris pertama dari model ini. Kami mempelajari bagaimana
ARESE berkontribusi melegitimasi dan melembagakan Socially Responsible
Investment (profit dan sosial) di Prancis. Kami menunjukkan bagaimana critical
realism dapat membantu untuk memahami strategi ini di khususkan untuk
penggunaan structure’s causal power, keenam, kita mendiskusikan implikasi dan
mengembangkan saran untuk penelitian di masa depan.
1.2 Permasalahan
Permasalah utama yang kami kaji adalah bagaimana memahami prilaku
aktor dengan melihat aktor dari sudut pandang critical realism yang dikemukakan
oleh Bhaskar dengan mengkaji jurnal yang ditulis oleh Bernard Leca dengan judul
: A Critical Realist Approach To Institutional Entrepreneurship.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Critical Realism
Critical realism didasarkan pada kajian yang dilakukan oleh Roy Bhaskar
yang selalu diidentikkan sebagai realist. Awalnya Bhaskar menyebutnya dengan
istilah Trancendental Realism. Perkembangan lebih lanjut banyak ahli yang
mencoba untuk memberikan pemahaman dengan lebih mengerucut pada
postpositivisme. Bahkan ada yang mengasumsikan bahwa critical realism sebagai
perbaikan dari positivisme. Hingga akhirnya dikenal dengan istilah Critical
Realism. Dilihat dari sudut pandang struktur filsafat keilmuan, Critical realism
berada diantara positivisme dan relativisme.
Bhaskar (1998:41) menjelaskan bahwa terdapat tiga domain kebenaran
yang menjadikan dasar teori critical realism. Untuk lebih jelasnya perhatikan
tabel berikut :
Domain Empirical adalah domain dari peristiwa yang dapat diobservasi.
Hal Ini melibatkan perasaan, kesan, dan persepsi realitas dari aktor. Aktor
memiliki akses langsung ke domain ini. Domain actual termasuk peristiwa, baik
diamati atau tidak. Hal-hal seperti ini bisa terjadi secara independen dari
pengalaman dan persepsi pelaku. Kondisi ini bisa terjadi, namun tidak dapat
ditransfer ke dalam domain empiris sampai prilaku manusia telah diidentifikasi
dengan benar terhadap peristiwa-peristiwa tersebut dan mengubah peristiwa
tersebut menjadi pengalaman (Bhaskar, 1978). Para peneliti akan mampu
mengidentifikasi peristiwa yang mungkin luput dari persepsi pelaku, karena fokus
utama peneliti dan karena pemahaman peneliti. Memang, domain actual adalah
ranah teori oleh para sarjana. Namun, domain actual masih face (sebagian kecil)
dari realitas (Selboe, 2002). Hal ini terjadi jika kekuatan kausalitas objek dan
struktur diaktifkan. Salah satu faktor kunci dari critical realism adalah penjelasan
yang menembus pemahaman realitas untuk mengakses domain actual,
mengidentifikasi struktur dan kekuatan penyebab, dan cara mereka bertindak
(Sayer, 1992, 2000; Selboe, 2002).
Domain real terdiri dari struktur dan kekuatan kausal yang menghasilkan
peristiwa. Struktur memiliki kemampuan kausal tertentu. Tsang dan Kwan
mencatat bahwa kekuatan “struktur” adalah kekuatan untuk mengatakan sesuatu
tentang apa yang akan atau dapat dilakukan, dalam kondisi yang sesuai, dalam
alam intrinsik '(Tsang dan Kwan, 1999: 762, penekanan ditambahkan). Kekuatan
kausal adalah transfactual. Ada atau tidaknya mereka beroperasi dalam konteks
tertentu yang diteliti. Menurut Tsoukas (1989: 553), dari sudut pandang realis,
penjelasan kausal bukan tentang asosiasi pola peristiwa deterministik atau
stokastik, atau tentang pengalaman, tetapi anggapan kekuasaan kausal untuk
(struktur) . Singkatnya, kekuatan kausal dapat eksis secara independen dari hasil
empiris. Menurut Critical realism, hukum sebab-akibat dipandang sebagai
transfactual. Sikap ini diinformasikan oleh kenyataan bahwa dunia sosial adalah
sistem terbuka di mana kekuatan kausal yang berbeda dapat hidup berdampingan
(Archer, 1998; Sayer, 1992).
2.2 Pendekatan Critical Realism Pada Analisis Kelembagaan
Banyak penelitian yang dilakukan analisis kelembagaan, dimana
pendekatan kelembagaan dibagai menjadi tiga tingkat Critical Realism. Domain
empiris, merupakan analisis kelembagaan yang didasarkan pada tindakan aktor,
pengalaman dan persepsi empiris para aktor. Pada domain ini, tindakan,
pengalaman, dan persepsi empiris yang dimiliki oleh aktor belum tentu bisa
diterapkan untuk kasus lain. Dengan demikian analisis terhadap domain empiris
sangat tergantung pada konteks dimana aktor berada. Konteks dimana aktor
berada menjadi bagian tida terpisahkan dengan tindakan yang akan dilakukan oleh
aktor.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, lembaga harus dipersepsikan juga
dalam domain actual. Seperti yang didefinisikan dalam teori tradisi kelembagaan,
perilaku pola lembaga berulang mereproduksi dirinya sendiri (Jepperson, 1991;
DiMaggio dan Powell, 1991). Lembaga secara bertahap memperoleh status moral
dan ontologis yang diterima begitu saja terhadap fakta-fakta yang pada gilirannya,
membentuk interaksi masa depan (Barley dan Tolbert, 1997: 94). Akhirnya,
pelaku akan mereproduksi lembaga tanpa benar-benar menyadarinya, dan tanpa
mempertanyakan efisiensi atau bahkan melegitimasi (Scott, 1995). Namun, meski
pelaku tidak menciptakan lembaga baru, dari kelembagaan yang sudah ada. Dari
sudut pandang pendidikan, para peneliti akan dapat mengungkapkan dan
mengkarakterisasi pola perilaku yang berulang tersebut, hingga kemudian
memenuhi syarat sebagai lembaga. Inilah sebabnya mengapa lembaga harus
dilihat dari domain actual. Disinilah peran peneliti dalam memahami keterkaitan
antara tindakan yang dilakukan aktor dan hal itu dilakuakn secara berulang
dengan prilaku, prakttek, pemahaman baru dalam perusahaan.
Banyak penelitian yang menempatkan kelembagaan sebagai domain
actual. Lembaga adalah hasil dari cara-cara di mana aktor merubah logika
kelembagaan melalui naskah yang tepat, aturan, dan norma-norma dalam konteks
tertentu. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut :
Institutional Logic merupakan seperangkat praktek material dan sistem
simbolik termasuk asumsi, nilai-nilai, dan keyakinan dimana individu dan
organisasi memberikan makna pada aktivitas sehari-hari, mengatur waktu dan
ruang, dan mereproduksi kehidupan dan pengalaman mereka.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Posisi Critical Realism
Pendukung critical realism menganggap bahwa pelaku tidak membuat
atau membangun realitas sosial di masa sekarang. Struktur realitas sosial selalu
merupakan kodrati. Apapun yang dilakukan aktor terjadi dalam kondisi yang
sudah ada (Archer, 1995; Bhaskar, 1989). Dengan demikian, untuk bertindak,
pelaku harus menggunakan struktur, dan, lebih tepatnya, kekuatan causal mereka.
Dengan demikian, mereka dapat mereproduksi institusi yang ada atau
mengubahnya. Reproduksi kelembagaan tidak memerlukan upaya khusus, prilaku
lembaga sudah berpola mereproduksi dirinya sendiri. Di sisi lain, perubahan
kelembagaan atau penciptaan menyiratkan upaya tertentu, karena itu
kewirausahaan kelembagaan harus melampaui rutinitas yang ada untuk
menguraikan dan membangun yang baru.
Critical Realist menekankan bahwa pelaku memiliki refleksivitas (ciri-ciri
umum dalam kehidupan sosial) dan tidak hanya “culture dopes” (obat bius budaya
–mengharapkan masa depan yang stabil dengan bertindak sesuai dengan bangunan
sosial yang sudah ada– ). Namun, refleksivitas ini tidak berkembang dan tidak
berlaku dalam kelembagaan (Archer, 2002). Untuk mengembangkan model baru,
aktor membangun logika kelembagaan yang ada yang merupakan kondisi yang
diperlukan dari setiap tindakan manusia yang disengaja. Mereka dapat saling
bertentangan serta saling melengkapi (Friedland dan Alford, 1991). Hal ini
terutama berlaku dalam masyarakat kontemporer barat, di mana ada banyak logika
tidak konsisten (Berger dan Luckmann, 1995; Bolstanski dan Thevenot, 1991).
Keragaman logika kelembagaan mendefinisikan dunia kognitif beragam di mana
aktor dapat menemukan prinsip-prinsip untuk membenarkan lembaga baru dan
menantang yang sudah ada. Logika institusional tidak memberikan lembaga 'siap
pakai'. Kewirausahaan kelembagaan hanya dapat menggunakannya sebagai
prinsip-prinsip yang mendasari untuk membenarkan yang ingin membangun
lembaganya. Kewirausahaan kelembagaan tersebut harus melihat lembaga secara
nyata sesuai dengan logika yang dipilih dan kepentingan sekutu potensial mereka
(Benford dan Snow, 2000).
Untuk lebih memahamidari posisi masing antara struktur, causal dan efek
perhatikan gambar berikut :
Poin penting di sini adalah sifat yang muncul dari struktur (Bhaskar,
1979), yang menyiratkan bahwa kewirausahaan kelembagaan dapat menggunakan
logika kelembagaan tanpa sepenuhnya menyadari semua kekuatan kausal mereka.
Kewirausahaan kelembagaan mengembangkan pengetahuan praktis logika
kelembagaan. Misal pengetahuan tentang kekuatan kausal yang mereka harapkan
untuk digunakan dalam konteks tertentu di mana mereka beroperasi.
3.2 Pentingnya Konteks Bagi Kewirausahaan Kelembagaan
Kekuatan kausal logika kelembagaan tergantung pada konteks, lembaga
tertentu mungkin bisa tetapi belum tentu untuk lembaga lain. Menurut critical
realism, sebab-akibat yang muncul dari struktur dan tindakan aktor membuat
setiap kausalitas deterministik mustahil. Critical realism menolak gagasan bahwa
kekuatan kausal akan selalu menghasilkan efek yang sama dalam konteks yang
berbeda. Terkait dengan argumen ini, kewirausahaan kelembagaan yang terampil
harus memilih logika kelembagaan di mana mereka berniat untuk mendasarkan
lembaga, tergantung pada konteks di mana mereka beroperasi. Namun, mereka
tidak bisa memastikan efek empiris kekuatan kausal yang mereka gunakan.
Sebuah prinsip critilal realism adalah bahwa masa depan terbuka (Sayer, 2000).
Logika kelembagaan yang digunakan kewirausahaan kelembagaan akan
tergantung pada bidang organisasi di mana mereka beroperasi. Untuk beberapa
hal, anggota bidang organisasi berbagi ideologi umum (DiMaggio, 1983).
Ideologi ini termasuk logika kelembagaan yang dominan, dan bervariasi
tergantung di lapangan. Referensi prinsip-prinsip tertentu akan tindakan yang sah
dalam bidang-bidang tertentu, tetapi tidak pada orang lain. Studi empiris
menunjukkan bahwa sebagian besar kewirausahaan kelembagaan tidak memiliki
sumber daya yang cukup untuk bertindak sendiri dan harus memastikan dukungan
dari aktor-aktor lain (misalnya Fligstein dan Mara Drita, 1996; Garud et al, 2002;.
Greenwood et al, 2002). Untuk memastikan dukungan tersebut, mereka harus
memobilisasi logika kelembagaan yang mungkin sesuai dengan minat dan/atau
nilai-nilai sekutu potensial. Dengan demikian, strategi yang digunakan oleh
kewirausahaan kelembagaan menyangkut politik dan budaya (Fligstein dan Mara-
Drita, 1996; Rao, 1998). Kewirausahaan kelembagaan merupakan aktor
terorganisir yang terampil menggunakan logika kelembagaan untuk membuat atau
mengubah lembaga, dalam rangka mewujudkan suatu kepentingan yang mereka
nilai penting (DiMaggio 1988;. Haveman dan Rao, 1997). Pemilihan logika
kelembagaan akan tergantung pada sekutu yang mendukung. Kewirausahaan
kelembagaan akan menggunakan logika kelembagaan yang mungkin dihargai oleh
sekutu yang potensial, karena mereka mendukung nilai-nilai mereka dan/atau
kepentingan mereka. Dengan kata lain, kewirausahaan kelembagaan akan memilih
struktur tergantung pada konteks, untuk memastikan bahwa kekuatan kausal dari
struktur yang mereka ingin gunakan akan bekerja. Critical realism juga
menunjukkan metode tertentu untuk menghubungkan domain yang berbeda.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
critical realism memberikan dasar yang kuat untuk mengembangkan
model non-conflating (Conflation : mengacu pada masalah dalam mengurangi
“struktur” untuk bertindak, atau tindakan untuk “struktur”, atau penggabungan
keduanya) kewirausahaan kelembagaan yang bertanggung jawab kepada lembaga
perusahaan dan kapasitasnya untuk membentuk lembaga baru. Berdasarkan model
tersebut, penulis membuat saran tentang bagaimana seorang kewirausahaan
kelembagaan dapat menggunakan logika institusional sebagai kekuatan untuk
membuat atau mengubah lembaga yang ada. Kajian tersebut didasarkan pada
model melalui studi kasus penciptaan oleh ARESE di Prancis. Penulis
menunjukkan bagaimana kekuatan pengukuran causal yang dikembangkan dalam
situasi ini. Penulis membedakan antara kekuatan-kekuatan causal yang diaktifkan
sebagai bagian dari strategi ARESE, dan orang-orang yang muncul dalam konteks
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
DiMaggio, P. 1988. Interest and agency in institutional theory. In Institutional
patterns and culture, L. Zucker (ed.), Cambridge, MA: Ballinger
Publishing Company: 3-22.
Bhaskar, R at all. 1998. Critical Realism Essential Reading. by Routledge 11 New
Fetter Lane, London EC4P 4EE.
Bhaskar, R. 1978. A Realist Theory of Science, 2nd edn. Brighton:
HarvesterWheatsheaf.
Bhaskar, R. 1979. The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the
Contemporary Human Science, 1st edn. Atlantic Highlands, NJ:
Humanities Press.
Bhaskar, R. 1989. The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the
Contemporary Human Science, 2nd edn. Atlantic Highlands, NJ:
Humanities Press.
Sayer, A. 1992. Method in Social Science, 2nd edn. London and New York, NY:
Routledge.
Selboe, E. 2002. 'Critical Realism as a Framework for Analysing Political
Practices and Identities in Dakar, Senegal, paper presented at the Joint
PhD Course 'Philosophy of Science and Methodology in 'Global/Local'
Analyses' (online) www.geogr.ku.dk/courses/phd/glob-loc/papers/
Selboe.pdf
Patricia H. Thornton, at al. 2012. The Institutional Logics Perspective: A New
Approach to Culture, Structure and Process. Published to Oxford
Scholarship Online: May 2013