Upload
misbakhulfirdaus
View
158
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
ETIKA PROFESIONAL
KONSELING AGAMA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Konseling Agama
Dosen Pengampu :
Agus Maemun, S.Pd
Disusun Oleh :
Indah Nurul Safitri (1113500094)
Kumala Rahmayani ()
Rizqi Amalia (113500115)
Zudika Riko (1113500023)
BK (4B)
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyusun
makalah yang berjudul “Etika Profesional Konseling Agama” tepat pada
waktunya.
Makalah ini berisi uraian mengenai etika yang perlu diperhatikan dalam
melakukan suatu konseling. Penulis akan membahas dari mulai etika konseling
secara umum hingga pada inti bahasan yaitu etika konseling agama.
Apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan maupun kekeliruan dari
susunan kalimat maupun dalam penulisan, penulis mohon maaf dan selalu terbuka
menerima masukan dan kritik. Penulis mengharapkan saran dari rekan-rekan
semua khususnya kepada dosen pengampu yaitu Bapak Agus Maemun, S.Pdi
M.Pd selaku dosen mata kuliah konseling agama, tentunya kritik dan saran yang
sifatnya membangun guna perbaikan makalah selanjutnya. Dan semoga
penyusunan makalah ini dapat membantu para pembaca untuk lebih memahami
dan mendalami tentang etika dalam melakukan konseling agama.
Tegal, 16 Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................... i
Kata Pengantar.............................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Etika Konseling............................................................ 3
2.2 Definisi dan Tujuan Konseling Agama...................................... 4
2.3 Etika Profesional Konseling secara Umum................................ 5
2.4 Etika Profesional Konseling Agama.......................................... 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 10
3.2 Saran............................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 11
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam masalah bimbingan dan konseling kode etik sangat dibutuhkan.
Kode etik merupakan seperangkat aturan atau kaidah-kaidah, nilai-nilai yang
mengatur segala perilaku (tindakan dan perbuatan serta perkataan) suatu
profesi atau organisasi bagi para anggotanya.
Kode etik dibutuhkan ketika seseorang (konselor) hendak membimbing
seorang atau individu (konseli) kearah pengembangan pribadinya. Peran kode
etik yaitu sebagai acuan dan tuntunan dalam memberikan masukan-masukan
kepada konseli agar masukan yang diberikan oleh konselor tidak
menyeleweng atau keluar dari aturan-aturan, nilai-nilai maupun norma-norma
yang berlaku dimasyarakat maupun di kalangan konselor sendiri. Atas dasar
nilai yang dianut oleh konselor dan konseli, maka kegiatan layanan
bimbingan dapat berlangsung dengan arah yang jelas dan atas keputusan-
keputusan yang berlandaskan nilai-nilai.
Para konselor seyogianya berfikir dan bertindak atas dasar nilai-nilai,
etika pribadi dan profesional, dan prosedur yang legal. Dalam hubungan
inilah para konselor seharusnya memahami dasar-dasar kode etik bimbingan
dan konseling, terutama dalam melaksanakan konseling agama. Etika
konseling disini berarti suatu aturan yang harus dilakukan oleh seorang
konselor dan hak-hak klien yang harus dilindungi oleh seorang konselor.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah,
penulis mengidentifikasikan permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa pengertian dari etika konseling?
b. Apa pengertian konseling agama?
c. Bagaimana etika profesional dalam pelaksanaan konseling secara umum?
d. Bagaimana etika profesional dalam melaksanakan konseling agama?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah konseling
agama.
2. Untuk mengetahui etika dalam penerapan konseling agama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Etika konseling
Etika berasal dari bahasa Yunani yakni “Ethos”, yang berarti norma-
norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku
manusia yang baik. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh
individu untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu
salah atau benar, buruk atau baik. Etika atau etik sebagai pandangan manusia
dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Dalam sistematika
filsafat, etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia yang
dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Menurut Hunsen dalam Sitti Hartinah (2006: 49), etika atau etik
merupakan standar tingkah laku seorang atau satu kelompok orang, yang
didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Setiap kelompok profesi pada
dasarnya merumuskan standar tingkah lakunya yang dijadikan sebagai
pedoman dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesional. Standar
tingkah laku profesional itu diterjemahkan dari nilai-nilai hubungannya
dengan orang lain, klien dan masyarakat.
Sedangkan konseling menurut Achmad Juntika Nurihsan (2006: 10) yaitu
upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi
antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan
lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan
berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan
efektif perilakunya.
Jadi, etika konseling berarti suatu aturan yang harus dilakukan oleh
seorang konselor dan hak-hak klien yang harus dilindungi oleh seorang
konselor. Oleh karena itu, kode etik sangatlah di perlukan guna menunjang
profesionalitas seorang konselor dalam melakukan konseling. Karena kode
etik dibutuhkan ketika konselor hendak membimbing konseli kearah
pengembangan pribadinya. Selama proses konseling berlangsung, seorang
konselor harus bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya sendiri.
Pada dasarnya peran kode etik ini adalah sebagai acuan dan tuntunan dalam
memberikan masukan-masukan kepada konseli agar masukan yang diberikan
oleh konselor tidak menyeleweng atau keluar dari aturan-aturan atau norma-
norma yang berlaku dimasyarakat maupun di kalangan konselor sendiri.
2.2 Definisi dan Tujuan Konseling Agama
Konseling agama pada dasarnya tidak berbeda dengan aktifitas konseling
pada umumnya. Hal ini disebabkan seluruh aktifitas konseling memiliki
aturan-aturan yang bersifat umum. Menurut Sitti Hartinah (2006: 29),
konseling agama hanya memiliki perbedaan dalam objek permasalahan saja,
yakni lebih spesifik pada masalah-masalah yang berkaitan dengan agama.
Namun kini konseling agama mengalami perluasan makna, artinya bahwa
konseling agama tidak lagi terfokus pada konseli yang memilki masalah-
masalah keagamaan. Akan tetapi konseling agama juga dipakai dalam
menghadapi konseli yang memiliki masalah umum, di mana ajaran-ajaran
atau nilai-nilai agama dijadikan alat untuk mengatasi masalah-masalah
konseli. Dengan kata lain, konseling agama dimaknai sebagai aktifitas
konseling yang menggunakan pendekatan agama.
Konseling agama diartikan sebagai usaha pemberian bantuan kepada
seseorang yang mengalami kesulitan baik lahiriah maupun batiniah yang
menyangkut kehidupannya di masa kini dan di masa mendatang. Bantuan
tersebut berupa pertolongan di bidang mental dan spiritual, agar orang yang
bersangkutan mampu mengatasinya dengan kemampuan yang ada pada
dirinya sendiri maupun dorongan dari kekuatan iman dan takwa kepada
Tuhan.
Adapun pengertian konseling agama lebih spesifik lagi yaitu proses
pemberian bantuan kepada individu agar menyadari kembali eksistensinya
sebagai makhluk Allah SWT yang seharusnya dalam kehidupan
keagamaannya senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah SWT,
sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Pada
konseling ini penekanannya pada upaya kuratif atau pemecahan masalah yang
dihadapi seseorang, secara Islami berarti konseling agama Islam membantu
individu menyadari kembali keberadaan atau eksistensinya sebagai makhluk
Allah, sebagai ciptaan Allah yang diciptakan-Nya sesuai dengan petunjuk-
Nya. Menyadari eksistensinya sebagai makhluk Allah berarti menyadari
bahwa dalam dirinya Allah telah menyertakan fitrah untuk beragama Islam
dan menjalankan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa konseling
agama ini bertujuan untuk membantu konseli agar ia memiliki pengetahuan
tentang posisi dirinya dalam melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang
baik, benar dan bermanfaat untuk kehidupannya di dunia dan untuk
kepentingan akhirat.
2.3 Etika Profesional Konseling Secara Umum
Tidak dapat dipungkiri bahwa konseling merupakan pekerjaan
profesional. Salah satu ciri sebuah pekerjaan profesional itu bahwa cara
kerjanya diatur dalam sebuah kode etik yang jelas. Kode etik adalah moral
yang menjadi landasan bagi pekerja profesional.
Setiap pekerjaan profesional pada dasarnya memiliki kode etik ini. Setiap
anggota profesional itu harus mempelajari sekaligus melakukan pekerjaannya
sesuai dengan ketentuan yang ada pada kode etik. Pelanggaran terhadap kode
etik adalah suatu yang tidak diharapkan dan pelanggaran terhadap kode etik
itu disebut tindakan yang malpraktik.
Ada empat etika yang penting dalam proses konseling, yakni:
a. Profesional Responsibility.
Selama proses konseling berlangsung, seorang konselor harus
bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya sendiri. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan:
Responding fully, artinya konselor harus bertanggung jawab untuk
memberi perhatian penuh terhadap klien selama proses konseling.
Terminating appropriately, yakni kita harus bisa melakukan terminasi
(menghentikan proses konseling) secara tepat.
Evaluating the relationship yakni relasi antara konselor dan klien
haruslah relasi yang terapeutik namun tidak menghilangkan yang
personal.
Counselor’s responsibility to themselves, artinya konselor harus dapat
membangun kehidupannya sendiri secara sehat sehingga ia sehat
secara spiritual, emosional dan fisikal.
b. Confidentiality.
Artinya bahwa seorang konselor harus bisa menjaga kerahasiaan
konseli. Ada beberapa hal yang perlu penjelasan dalam etika ini, yaitu
yang dinamakan previleged communication, yakni konselor secara
hukum tidak dapat dipaksa untuk membuka percakapannya dengan klien,
namun untuk kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan, hal seperti ini bisa
bertentangan dari aturan etika itu sendiri. Dengan demikian tidak ada
kerahasiaan yang absolute.
c. Conveying Relevant Information to The Person In Counseling.
Maksudnya klien berhak mendapatkan informasi mengenai
konseling yang akan mereka jalani. Informasi tersebut adalah:
Counselor qualifications: konselor harus memberikan informasi
tentang kualifikasi atau keahlian yang ia miliki.
Counseling consequences : konselor harus memberikan informasi
tentang hasil yang dicapai dalam konseling dan efek samping dari
konseling
Time involved in counseling: konselor harus memberikan informasi
kepada klien berapa lama proses konseling yang akan dijalani oleh
klien. Konselor harus bisa memprediksikan setiap kasus
membutuhkan berapa kali pertemuan. Misalnya konselor dan klien
bertemu seminggu sekali selama 15 kali, kemudian sebulan sekali, dan
setahun sekali.
Alternative to counseling: konselor harus memberikan informasi
kepada klien bahwa konseling bukanlah satu-satunya jalan untuk
sembuh, ada faktor lain yang berperan dalam penyembuhan, misalnya:
motivasi klien, natur dari problem, dll.
d. The Counselor Influence.
Yakni konselor mempunyai pengaruh yang besar dalam relasi
konseling, sehingga ada beberapa hal yang perlu konselor waspadai yang
akan mempengaruhi proses konseling dan mengurangi efektifitas
konseling. Hal-hal tersebut adalah:
The counselor needs : kebutuhan-kebutuhan pribadi seorang konselor
perlu dikenali dan diwaspadai supaya tidak mengganggu efektifitas
konseling.
Authority: pengalaman konselor dengan figur otoritas juga perlu
diwaspadai karena akan mempengaruhi proses konseling jika kliennya
juga figur otoritas.
Sexuality: konselor yang mempunyai masalah seksualitas yang belum
terselesaikan akan mempengaruhi pemilihan klien, terjadinya bias
dalam konseling, dan resistance atau negative transference.
The counselor `s moral and religius values: nilai moral dan religius
yang dimiliki konselor akan mempengaruhi persepsi konselor
terhadap klien yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ia pegang.
2.4 Etika Konseling Agama
Ada sejumlah tingkah laku konselor yang perlu memperoleh
perhatian dan ini berkaitan dengan aspek nilai-nilai klien. Menurut Sitti
Hartinah (2006: 47). Tingkah laku ini misalnya soal sentuhan dengan
klien yang berbeda jenis kelamin. Soal itu sangat erat kaitanya dengan
nilai-nilai yang berlaku, khususnya dimasyarakat kita. Sebagian klien
menganggap tidak tepat jika konselor yang berlawanan jenis melakukan
sentuhan jasmaniah, misalnya jabatan tangan dan menepuk-nepuk diatas
bahu. Selain itu ada sebagian klien yang menganggap bahwa cara-cara
demikian ini menunjukan penerimaan yang baik dari konselor kepada
klienya. Menghadapi hal demikian, konselor perlu memahami nilai-nilai
yang dianut oleh klien, untuk menjaga agar konselornya tidak melakukan
tindakan-tindakan yang dianggap “aneh” atau bertentangan dengan nilai-
nilai yang dianutnya. Bagi konselor, yang terpenting bukanya melakukan
kontak hubungan secara jasmaniah, tetapi menciptakan iklim yang
bersahabat dalam proses konseling, meskipun maksud konselor
melakukan kontak jasmaniah tadi untuk keperluan terapik.
Jika konselor ditolak (secara halus) oleh klien pada saat mengajak
jabatan tangan, adalah tidak perlu menjadi persoalan bagi konselor.
Konselor secepatnya menyadari bahwa klien memiliki nilai yang berbeda
dan bersikap toleran terhadap persoalan ini.
Demikian juga terhadap adanya klien yang memilih konselornya
yang sejenis. Laki-laki atau perempuan. Perlu dipahami bahwa pada
sebagian masyarakat Indonesia, ada yang beranggapan bahwa kontak
laki-laki dan perempuan pada ruang tertutup sebagaimana yang
diselenggarakan dalam hubungan konseling dilarang dalam hukum
agamanya. Jika kita menjumpai klien yang tidak bersedia dikonseling
karena lawan jenis, yang hal ini didasarkan atas nilai-nilai yang
dianutnya, tidak perlu menjadi persoalan bagi konselor. Konselor perlu
mencarikan koleganya yang lain yang lebih dapat diterima oleh klien
sepenuhnya. Konselor tidak dapat memaksakan kehendaknya sendiri
kepada klien. Keberhasilan konseling selain ditentukan oleh strategi yang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah disajikan diatas, maka penulis
mengambil kesimpulan bahwa suatu profesi tidak bisa dikatakan profesional
apabila seorang konselor atau seorang guru bimbingan dan konseling tidak
memperhatikan etika dalam melakukan konseling dengan konseli.
Pada konseling agama ini, seorang konselor perlu memahami nilai-nilai
yang dianut oleh konseli, untuk menjaga agar konselor tidak melakukan
tindakan-tindakan yang dianggap “aneh” atau bertentangan dengan nilai-nilai
yang dianut konseli. Soal-soal yang berkaitan dengan nilai-nilai ini misalnya
soal sentuhan dengan klien yang berbeda jenis kelamin seperti jabatan tangan
dan menepuk-nepuk diatas bahu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan nilai-
nilai yang berlaku, khususnya dimasyarakat kita. Untuk itu, memahami etika
sangat dibutuhkan dalam melakukan suatu konseling, khususnya pada
konseling agama.
3.2 Saran
Bagi konselor ataupun guru bimbingan dan konseling hendaknya:
Dalam melaksanakan konseling sebaiknya konselor maupun guru
bimbingan dan konseling sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam
melaksanakan konseling. Misalnya pada konseling agama, maka
konselor maupun guru bimbingan dan konseling sadar akan kaidah atau
etika dalam melaksanakan konseling agama.
Memahami betul nilai-nilai, norma dan keyakinan yang dianut konseli,
terutama pada mereka (konseli) yang mempunyai nilai-nilai, norma dan
keyakinan yang berbeda dengan dirinya (konselor).
Memahami kode etik konseling dan mengamalkannya ketika
memberikan pelayanan konseling kepada konseli.