Upload
mala-potter
View
125
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah euthanasia
Citation preview
Makalah
Euthanasia
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Keperawatan
Disusun oleh :
1. ANGGI WIBISONO P071201120432. APRILIA RIZKY ARIFIANI P071201120473. DANANG KEMBAR WIDAYAT P071201120514. EFFI MUHARYATI P071201120555. FEBRIANTI EKA WULANDARI P071201120596. KHOIRUL MUSTOFA P071201120637. NORMALASARI DWINUGRAHENI P071201120678. PUTRI PAMUNGKASSARI P071201120719. RISKI OKTAFIAN P0712011207510. UTITA AGUSTINA P07120112079
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2013
KATA PENGANTAR
Ucapan puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang
hanya karena limpahan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah dengan judul
“EUTHANASIA” dengan baik.
Makalah ini disusun secara sistematis mengenai uraian singkat tentang
pengertian eutahanasia yang masih pro dan kontra dikalangan masyarakat. Pada
kesempatan ini,penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dosen mata kuliah Etika Keperawatan.
2. Teman-teman serta semua pihak yang telah membantu penulis.
3. Rekan-rekan yang telah memberikan masukan terhadap makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan atau ilmu
pengetahuan bagi para pembaca.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis sangat mengharap saran dan kritik yang membangan dari
pembaca.
Yogyakarta, Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................
B. Rumusan Masalah .................................................................
C. Tujuan.....................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Euthanasia.............................................................
B. Alasan Dilakukan Euthanasia.................................................
C. Euthanasia Sama Dengan Aborsi............................................
D. Macam-Macam Euthasania....................................................
E. Etika Keperawatan Pada Euthanasia......................................
F. Syarat-syarat Dilakukan Euthanasia.......................................
G. Euthanasia Dari Segi Agama..................................................
H. Euthanasia Dari Segi Hukum Negara.....................................
BAB III PENUTUP
A. Saran.......................................................................................
B. Kesimpulan.............................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dunia kesehatan akan selalu berkembang seiring perkembangan zaman.
Semakin banyak penemuan yang dilakukan oleh para ilmuan untuk
memperkaya dunia kesehatan. Salah satunya euthanasia istilah ini digunakan
untuk menyebutkan sesuatu tindakan mempercepat proses kematian
seseorang secara wajar. Hal ini dilakukan untuk mengakhiri penderitaan si
pasien dengan syarat ada persetujuan dan sesuai prosedur.
Sekitar tahun 400 sebelum Masehi, sebuah sumpah yang terkenal
dengan sebutan “The Aippocratie Oath”.mengatakan “saya tidak akan
memberikan obat mematikan pada siapapun, atau menyarankan hal tersebut
pada siapapun. ”Sekitar abad ke-14 sampai abad ke-20, hukum adat Inggris
yang dipetik oleh Mahkamah Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya :
“Lebih jelasnya, selama lebih dari 700 tahun, orang hukum adat
Amerika Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri
individual ataupun dibantu.”
Tahun 1955, Belanda sebagai Negara pertama yang mengeluarkan UU
yang menyetujui euthanansia dan diikuti oleh Australia yang melegalkan di
tahun yang sama, setelah dua Negara itu mengeluarkan Undang-undang yang
sah tentang euthanansia beberapa Negara masih menganggapnya sebagai
konflik, namun ada juga yang ikut mengeluarkan undang-undang yang sama.
Hal ini akan dibahas lebih lanjut dibab berikutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan euthanasia?
2. Apa sajakah hukum yang mengatur euthanasia?
3. Mengapa dilakukan euthanasia?
4. Apakah perbedaan euthanasia dengan aborsi?
5. Apa saja macam – macam eutanasia?
6. Apakah hubungan euthanasia dengan etika keperawatan?
7. Apakah syarat – syarat dilakukannya euthanasia?
C. Tujuan
Dalam penyusunan makalah ini penulis memiliki tujuan :
1. Memberikan informasi kepada pembaca tentang euthanasia dalam
dunia kesehatan.
2. Menjelaskan kepada pembaca tentang hukum yang mengatur
euthanasia.
3. Menjelaskan kepada pembaca tentang alasan - alasan dilakukannya
euthanasia.
4. Pembaca mampu membedakan antara euthanasia dan aborsi
5. Menjelaskan kepada pembaca tentang jenis-jenis euthanasia.
6. Menjelaskan para pembaca tentang euthanasia menurut etika
keperawatan
7. Menjelaskan para pembaca tentang syarat – syarat dilakukannya
euthanasia
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN EUTHANASIA
Euthanasia secara bahasa berasal dari
bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo,
2003;177). “ Dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-
maut. Menurut istilah kedokteran,
euthanasiaberarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga
euthanasia berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya” ;(Hasan, 1995;145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu aktif
dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat
kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien
tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat
parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan
medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi
sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003;176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker
ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan.
Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003;178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak
mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti
mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter
adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain
yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan
pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin
sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana
pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003;176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis,
orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita.
Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat
mempercepat kematiannya (Utomo, 2003;177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan
dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak
dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan
euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik
kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien
Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti
melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan
nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo,
2003;178).
B. ALASAN DILAKUKAN EUTHANASIA
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang kareana itu
dilakukanya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari
beberapa survei negara dan penyaringan sumber. Berikut ini adalah tiga
alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan.
1. Rasa sakit yang tudak tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si
pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada
zaman ini, penuman semakin gencar untuk mengetasi rasa sakit tersebut,
yang secara langsung meningkatkan presentase “assistea suicede”
berkurang. Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stres
yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga
yan g dinamakan “drugged state” atau suatu saat dimana kita tak
merasakan rasa sakit apapun karean pengaruh obat.
Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada
rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan
bahwa hal tersebut bisa dilakukan dengan mengirim seseorang kedalam
keadan rasa sakit tapi mereka tetap di euthanasiakan karena cara tersebut
tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit dihilangkan,adapun yang sudah sebegitu
parah bisa dikurangi jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan
baik.Tapi euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut.Solusi
terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para
profesional medis dan dengan menginformasikan pada setiap pasien,apa
saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien.
Meskipun begitu,beberapa dokter tidak dibekali dengan “pain
management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit,sehingga
mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien
mengalami rasa sakit yangluar biasa. Jika hal ini terjadi,hendaklah pasien
tersebut mencari dokter lain.
Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan
mengontrol rasa sakit itu,bukan yang akan membunuh sang pasien.Ada
banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak
hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang,namun juga dapat
mengatasi depresi penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa
sakit luar biasa tersebut.
2. Hak untuk melakuakan bunuh diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita
mengangka hal paling dasar dari semuanya,yaitu “HAK” . Tapi jika kita
teliti lebih dalam,yang kita bicarakan disini bukanlah memberi hak untuk
seseorang yang di bunuh,tetepi memberikan hak kepada orang yang
melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain,euthanasia bukanlah
hak seseorang untuk mati,tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri
hidupnya,tapi sebaliknya,ini adalah persoalan mengubah hukum agar
dokter,kerabat,atauorang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup
seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri,hal seperti itu tidak
melanggar hukum. Bunuh didi adalah suatu tragedi,aksi sendiri.
Euthanasia bukanlah aksi pribadi,melainkan membiarkan seseorang
memfasilitasi kematian orang lain. Inibisa mengarah ke suatu tindakan
panyiksaan pada akhirnya.
3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika
medis yang menyatakanbahwa apapun akan dilakukan untuk
mempertahankan pasien untuk tetap hidup.Desakan, melawan permintaan
pasien,menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa
dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih
lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan,tidak bijak, atau tidak
terdengar sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan
di rumah,bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan
membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.
C. EUTHANASIA SAMA DENGAN ABORSI
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan
yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus
menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan
mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan
lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai “kesucian
kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena
mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati.
Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci,
menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan
embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk
menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri
kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai
suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk
dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa negara.
Dalam diskusi-diskusi tentang masalah euthanasia dan aborsi, kini
prinsip kesucian kehidupan mulai dikritik. Nama-nama yang terkenal di
antara kritisi itu adalah Peter Singer dan Helga Kuhse, dan etikawan
terkemuka di Australia. Mereka berpendapat, faham kesucian kehidupan
berasal dari suasana pemikiran moral Kristen dan karena itu tidak boleh
diberlakukan untuk semua orang. Di tengah berlangsungnya sekularisasi kini,
pengaruh agama Kristen sebagai pegangan moral makin berkurang dan makin
banyak orang menempuh alur pemikiran moral yang lain.
Dalam bukunya Practical Ethics(edisi ke-2, 1993, hlm 173) Peter
Singer menandaskan, “the doctrine of the sanctity of human life… is a
product of Christianity. Perhaps it is now possible to think about these issues
without assumsing the Christian moral framework that has, for so long,
prevented any fundamental reassessment”. Peter Singer sendiri menerapkan
pendapat ini bukan saja atas masalah euthanasia dan aborsi, namun juga
dalam anggapannya yang amat kontroversial tentang kemungkinan
mengakhiri kehidupan bayi cacat berat yang baru lahir. Dengan demikian ia
memperluas diskusi tentang masalah aborsi sampai ke infanticide
(pembunuhan anak kecil), yang dalam masyarakat pra-Kristen-Yunani Kuno
dan kekaisaran Roma, umpamanya-memang sering dipraktikkan.
Dalam tulisan ini tentu tidak mungkin membahas topik ini sampai
tuntas. Kita akan membatasi diri pada beberapa catatan saja.
Pertama, benar agama Kristen merasa dirinya tertarik dengan
pengertian“kesucian kehidupan”. Dan hal itu tidak berlaku untuk agama
Kristen saja tetapi untuk agama umumnya dan khususnya untuk ketiga agama
“Ibrahimik”: Jahudi-Kristiani-Islam. Mengapa begitu? Karena agama-agama
ini mempunyai konsepsi jelas tentang kehidupan yang diciptakan Tuhan dan
kedudukan istimewa manusia di antara makhluk-makhluk hidup yang lain.
Tidak bisa dipungkiri, pandangan agama amat cocok dengan “kesucian
kehidupan”.
Kedua, barangkali benar agama juga ikut menciptakan faham
“kesucian kehidupan” ini, dan membantu memperkuat posisinya dalam
pandangan moral. Tetapi dalam hal ini kontribusi agama tidak bisa dipisahkan
dari pengaruh-pengaruh lain. Kemungkinan besar, agama memberi kontribusi
juga dalam penolakan lembaga perbudakan, dalam pengembangan hak asasi
manusia dan demokrasi, dan dalam banyak hal lain lagi. Pandangan moral
kita kini di bidang sosial-politik merupakan buah perkembangan panjang, di
mana antara lain agama berperanan juga.
Ketiga dan terpenting, rupanya khusus dalam etika profesi medis
pengertian “kesucian kehidupan” mempunyai akar lebih mendalam daripada
agama Kristen saja. Pengertian ini sudah terbentuk sejak permulaan pertama
etika profesi medis, yaitu Sumpah Hippokrates. Hippokrates (abad ke-5/ke-
4 SM) yang dijuluki “bapak ilmu kedokteran” bukan saja memberi dasar
ilmiah kepada profesi kedokteran, namun juga menyediakan pandangan moral
yang teguh bagi profesi ini. Melalui Sumpah Hippokrates ia membuat profesi
medis menjadi profesi pertama yang memiliki suatu ethos khusus. Dalam
Sumpah Hippokrates ada tiga kalimat pendek, “Aku tidak akan memberikan
obat yang mematikan kepada siapa pun bila orang memintanya, dan juga
tidak akan menyarankan hal serupa itu. Demikian juga aku tidak akan
memberikan kepada seorang wanita sarana abortif (pesson phthoron).
Dalam kemurnian dan kesucian akan kujaga kehidupan dan seniku”.
Tiga kalimat pendek ini bisa dilihat sebagai awal tradisi anti-
euthanasia dan anti-aborsi dalam ethos profesi medis. Euthanasia dalam arti
kini tentu belum lama dikenal. Tetapi larangan untuk memberi racun telah
mengembangkan tradisi anti-pembunuhan dalam profesi kedokteran. Menurut
hakikatnya, profesi ini harus memperjuangkan kehidupan dan tidak pernah
memihak kematian. Sebaliknya, praktik aborsi sudah dikenal sepanjang
sejarah. Dalam masyarakat Yunani kuno sekitar Hippokrates aborsi malah
diterima sebagai hal lumrah. Tetapi, sejak Hippokrates profesi medis
mengembangkan suatu sikap anti-aborsi yang berlangsung terus sampai
zaman modern.
Faham “kesucian kehidupan” itu sendiri belum ditemukan dalam
sumpah Hippokrates. Tetapi, bila kalimat ketiga tadi langsung boleh dikaitkan
dengan kalimat pertama dan kedua, maka “kemurnian dan kesucian” profesi
medis itu berhubungan dengan hormat atas kehidupan yang diperintahkan
kalimat pertama dan kedua. Kalau begitu, “kesucian kehidupan” adalah
faham yang mudah bisa muncul.
Ada tanda-tanda lain lagi yang menunjukkan kuatnya tradisi kesucian
kehidupan. Jika anjing kita sakit dan tidak bisa disembuhkan, tanpa ragu-ragu
kita menganggap lebih baik membunuhnya. Hal itu sudah dipraktikkan. Yang
baru hanya bahwa kini kita memakai jasa dokter hewan. Hewan kita bunuh
untuk membebaskannya dari penderitaan. Tetapi, kalau manusia, biar pun
penderitaannya besar, menurut penilaian umum cara ini tidak boleh dipakai.
Perbedaan ini cukup mencolok dan berlaku secara universal. Bagi manusia
tidak ada mercy killing seperti bagi hewan. Memang benar, dalam sejarah
ditemukan beberapa pengecualian.
Contoh dikenal adalah beberapa kelompok Eskimo yang mempunyai
kebiasaan membunuh orang tua, jika mereka mulai menginjak usia tua dan
memperlihatkan gejala kelemahan atau penyakit. Tetapi dalam seluruh
peradaban manusia contoh-contoh seperti itu sedikit sekali dan sering dapat
dimengerti karena alasan khusus. Misalnya, Eskimo yang disebut tadi
mempunyai kepercayaan, keadaan manusia di alam baka sama seperti saat ia
meninggal. Karena itu justru dinilai tidak manusiawi, bila penyakit mereka
dibiarkan berkembang sampai kondisinya parah.
Pengecualian serupa itu tidak menghindari kesimpulan bahwa hormat
untuk kehidupan manusia bersifat universal. Bahkan rasa hormat itu
melampaui batas kematian, karena jenazah manusia selalu dikuburkan.
Hewan membiarkan saja bangkai temannya yang mati dalam alam terbuka,
tetapi manusia tidak begitu. Para antropolog melaporkan, manusia sudah
menguburkan sesamanya setidaknya sejak 100.000 tahun lalu (Neandertaler).
Bukankah kebiasaan ini menandakan rasa hormat terhadap manusia melalui
jenazah yang merupakan peninggalannya? Serentak juga kubur menjadi tanda
peringatan akan manusia yang unik ini.
Semua itu tidak berarti, di “pinggiran” kehidupan tidak bisa timbul
dilema-dilema besar. Dan mungkin jalan keluar yang tepat adalah aborsi atau
suntikan mematikan. Tetapi motivasinya tidak pernah karena kehidupan muda
atau kehidupan sekarat itu tidak bermakna. Mungkin masih bisa diterima, bila
dilakukan dengan rasa enggan, sebagai tindakan tak terelakkan. Seandainya
tersedia alternatif lebih baik, dokter tidak akan melakukannya. Dengan
demikian kehormatan untuk kehidupan tetap dipertahankan. Tetapi jika
prinsip ini ditinggalkan, kita menghancurkan kebudayaan kita sendiri.
D. MACAM-MACAM EUTHANASIA
Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja,
dengan aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya
didapatkan oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar.
Kata kuncinya adalah disengaja, artinya jika aksi tersebut dilakukan dengan
tidak sengaja, maka hal tersebut bukanlah euthanasia.
Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama
kali adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara
hukum menyetujui euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan
dengan sangat hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu.
Ada berbagai macam jenis euthanasia menurut cara melakukannya
serta alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, anatara lain:
1. EuthanasiasukarelaApabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk
diakhiri hidupnya.
2. Euthanasianon-sukarela. Apabila pesien tersebut tidak mengajukan
permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnhnya.
3. Involuntary Euthanasia. Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-
sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan
euthanasia lewat ekspresi.
4. Assisted suicide. Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan
suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang
untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter
maka disebut juga, “physician assisted suicide”.
5. Euthanasia dengan aksi. Dengan sengaja menyebabkan kematian
seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah
dengan melakukan suntik mati.
6. Euthanasia dengan penghilangan. Dengan sengaja menyebabkan
kematian seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus yang
dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat
dibiarkan meninggal secara wajar.
Dari beberapa macam jenis euthanasia tersebut, masing-masing negara
memiliki idealisme sendiri dalam hal melegalkan aksi euthanasia.
Beberapanegara bahkan telah melegalkan aksi euthanasia dengan
suntik mati, namun di negara-negara lain hal tersebut adalah melanggar
hukum.
Euthanasia secara umum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. Euthanasia aktif
Menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan
untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan
suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.
2. Euthanasia pasif
Menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian
tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian
nutrisi, air, dan ventilator.
E. ETIKA KEPERAWATAN PADA EUTHANASIA
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai
harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh
oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis
kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan
sosial.
2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai
budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien.
3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan.
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika
diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
5) Dalam menghadapi pasien dalam kondisi kritis yang mengharuskan
euthanasia maka sebagai seorang perawat kita harus membimbing
baik pasien maupun keluarga dengan bimbingan baik moril maupun
spiritual
6) Memberikan pengetahuan tentang tindakan euthanasia kepada pihak
keluarga.
7) Perawat tidak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan
euthanasia kecuali ada intruksi dari dokter.
F. SYARAT-SYARAT DILAKUKAN EUTHANASIA
Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi
sebuah Pengadilan Tinggi di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk
melakukan Euthanasia, yaitu:
1. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan
mengajukan permintaan tersebut dengan serius.
2. Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir atau
dekat dengan kematiannya.
3. Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri.
4. Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan.
5. Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya.
6. Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi.
G. EUTHANASIA DARI SEGI AGAMA
Dalam Ajaran Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya
(Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hakseseorang untuk hidup dan mati,
namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. “Hanya
Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati” (QS
22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam
meskipun tidak ada teks dalam AlQuran maupun Hadis yang secara eksplisit
melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuahayat yang menyiratkan hal
tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlahkamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karenasesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS
2: 195), dan dalam ayat laindisebutkan, "Janganlah engkau membunuh
dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah
kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh
dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun
1981, dinyatakan bahwa tidakada suatu alasan yang membenarkan
dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkanbelas kasihan
(mercy killing) dalam alasan apapun juga .
a. Eutanasia Aktif
Yang dimaksud taisiral-maut al-fa'al (eutanasia aktif) ialah
tindakan memudahkan kematian sisakit (karena kasih saying) yang
dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrument (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak
diperkenankan olehsyara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter
melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis
danini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk
dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori
pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si
sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si
dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang
Menciptakan-Nya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah
Ta'ala, karena Dia-lah yang member kehidupan kepada manusia dan yang
mencabutnya apabila telah tiba adjal yang telah ditetapkan-Nya.
b. Eutanasia Pasif
Eutanasia pasif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada
eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi iahanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan
sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-
akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara’
ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya
menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut
mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada okum mubah.
Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad
sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan
sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah)..
H. EUTHANASIA DARI SEGI HUKUM NEGARA
Euthanasia ditinjau Berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia Dan Hukum Pidana
Kematian adalah suatu fenomena yang diatur oleh Sang Pencipta. Tidak
ada seorangpun yang dapat menunda kematian meskipun iImn pengetahuan
dan teknologi mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat.
Berbicara mengenai kematian, dikenal adanya istilah "euthanasia", yaitu
suatu kematian yang terjadi dengan pertologan atau tidak dengan pertolongan
dokter. Euthanasia ini sudah ada sejak para pelaku kesehatan mengahadapi
penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan, Dalam keadaan seperti itu
tidak jarang pasien ataupun keluarga pasien meminta kepada dokter untuk
segera dilakukannya euthanasia. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan
hukum yang berlaku di Indonesia. Didalam KUHP pengaturan masalah
euthanasia ini diatur di dalam Pasal 344. Pasal ini melarang adanya
euthanasia aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk
mempercepat terjadinya kematian.
Disisi lain Undang-undang No.39 Tahun 1999 yang mengatur tentang
Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa hak yang paling utama yang
dimiliki manusia adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur didalam Pasal 9
ayat 1 dan Pasal 33 ayat 3, dimana didalam hak untuk hidup tersebut
tercakup pula didalamya hak untuk mati, meskipun hak tersebut tidak mutlak.
Jika dikaitkan dengan pidana mati, maka dapat dilihat suatu keganjilan, yaitu
dimana seorang tertuduh yang dijatuhi pidana mati oleh Hakim. Pada
umunmya si tertuduh tersebut juga masih ingin mempertahankan
kelangsungan hidupnya terns. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Hakim
telah memaksa kematian seseorang yang sebenamya masih ingin hidup terns.
Sedangkan pada euthanasia, seorang pasien yang menghendaki kernatian atas
dirinya justru malah dilarang dan dihalang-halangi.
Pendek kata, orang yang masih ingin hidup dipaksa untuk mati oleh
hakim, sedangkan orang yang karena keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi
ingin mati dipaksa untuk hidup terns walaupun dengan penderitaan yang tiada
menentu. Salah satu kasus euthanasia yang masih hangar dibicarakan di
Indonesia adalah kasus yang dialami oleh Hasan Kesuma yang meminta
diIakukannya euthanasiaatas istri tercintanya Agian lsna Nauli, yang tidak
sadarkan diri setelah melahirkan anak melalui operasi caesar. Namun
permintaan tersebut banyak mendapat kecaman dan perdebatan dari berbagi
pihak karena jelas bertentangan dengan peraturan yang berlaku di Indonesia
serta melanggar kode etik kedokteran serta yang paling utama adalah sangat
bertentangan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Maka dalam
menangani dan menanggulangi masalah ini sangatlah dituntut peranan
pemerintah dan penegak hukum untuk mencermati permasalahan tersebut
sehingga tidak menimbulkan perdebatan perselisihan di berbagai kalangan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Euthanasia merupankan suatu proses penghilangan nyawa seseorang
baik dengan penghentian tindakan medis atau memberikan suntikan mati yang
dapat mempercepat kematian secara wajar. Masalaheuthanasia masih dalam
pro dan kontra dikalangan pemuka agama maupun hukum negara. Sebagai
tenaga medis dalam melakukan euthanasia harus memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan yang berlaku.
B. SARAN
1. Saran Untuk Pembaca
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca lebih berpikir
secara rasional akan dampak tindakan euthanasiaitu sendiri .
Jadi sebelum melakukan tindakan euthanasia lebih baik meminta
persetujuan dari keluarga terdekatnya.
2. Saran Untuk Pemerintah
Pemerintah Merupakan aspek yang sangat fundamental dalam
kelangsungan suatu Negara harus mampu secara tegas dalam menangani
dan mengatur UU yang mencantumkan tentang hukum euthanasia
Menegakkan segala aturan sesuai dengan norma hokum yang berlaku
didalam masyarakat Indonesia.
Misalnya dengan membuat UU yang lebih mengacu pada kasus
euthanasia.
3. Saran Untuk Ahli Medis
Ahli medis adalah sebagai sarana dalam penyembuhan penyakit
seorang pasien. Untuk kasus euthanasia,seorang Ahli medis harus
memenuhi syarat yang ditentukan dalam melakukan euthanasia agar tidak
dikategorikan sebagai kasus mal praktik.
DAFTAR PUSTAKA
Agamben, Giorgio; diterjemahkan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN 0-8047-3218-3 .
Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135- 2986-7.
Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.
Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination, sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. San Francisco: Harper &Row. ISBN 0-06-015578-7 .
Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9 .
Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing' legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6 (May 1958).
Kelly, Gerald. "The duty of using artificial means of preserving life" in Theological Studies (11:203-220), 1950.
Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assisted suicide: What are the issues? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2001. (E.g., Engelhardt on secular bioethics)
Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United States" in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997.
Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.
Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
PCSEPMBBR, United States. President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal issues in treatment decisions. Washington, DC: President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research: For sale by the Supt. of Docs. U.S. G.P.O.
Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press, 1986.
Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law Review 27 (1975) 213-269.
Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on euthanasia. Vatican City: The Vatican.
Stone, T. Howard, and Winslade, William J. "Physician-assisted suicide and euthanasia in the United States" in Journal of Legal Medicine (16:481-507), December 1995.