18
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Pada masa Bani Umayyah pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum kelihatan.Pengaruh baru nyata kelihatan di masa Bani Abbas, karena yang berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang Arab, tetapi orang-orang Persia yang telah lama berkecimpung dalam kebudayaan Yunani. Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishaq Al-Kindi, Ia pandai berbahasa Yunani dan di Bagdad ia terbawa arus penterjemahan yang sedang giat pada waktu itu. Sebagia penulis meragukan bahwa ia juga menterjemahkan buku- buku filsafat, tetapi sekurang-kurangnya ia turut memperbaiki terjemahan Arab dari beberapa buku.Disamping itu ia juga membuat ringkasan dari beberapa karangan Aristoteles. Al-Kindi dalam teologi Islam menganut aliran Mu’tazilah, karena ia adalah satu-satunya filosof Islam yang berasal dari keturunan Arab, makaia disebut Failusuf Al-‘Arab (Filosof Orang Arab). 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi filsuf islam Al-Kindi dan Al-Farabi? 2. Bagaimana pola pemikiran ketuhanan,kemanusiaan, serta alam semesta Al-Kindi dan Al-Farabi? 3. Bagaimana perbandingan pemikiran antara filsuf Islam Al- Kindi dan Al-Farabi?

Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Disini mengemukakan mulai dari biografi kedua tokoh yang dibahas serta pemikirannya.

Citation preview

Page 1: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-

ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Pada masa Bani Umayyah pengaruh

kebudayaan Yunani terhadap Islam belum kelihatan.Pengaruh baru nyata kelihatan di masa

Bani Abbas, karena yang berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang Arab, tetapi

orang-orang Persia yang telah lama berkecimpung dalam kebudayaan Yunani. Filosof

kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishaq Al-Kindi, Ia pandai berbahasa

Yunani dan di Bagdad ia terbawa arus penterjemahan yang sedang giat pada waktu itu.

Sebagia penulis meragukan bahwa ia juga menterjemahkan buku-buku filsafat, tetapi

sekurang-kurangnya ia turut memperbaiki terjemahan Arab dari beberapa buku.Disamping

itu ia juga membuat ringkasan dari beberapa karangan Aristoteles. Al-Kindi dalam teologi

Islam menganut aliran Mu’tazilah, karena ia adalah satu-satunya filosof Islam yang berasal

dari keturunan Arab, makaia disebut Failusuf Al-‘Arab (Filosof Orang Arab).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi filsuf islam Al-Kindi dan Al-Farabi?

2. Bagaimana pola pemikiran ketuhanan,kemanusiaan, serta alam semesta Al-Kindi dan

Al-Farabi?

3. Bagaimana perbandingan pemikiran antara filsuf Islam Al-Kindi dan Al-Farabi?

4. Apa saja kontekstualisasi pemikiran kedua filsuf pada problematika sosial kegamaan?

1.3 Tujuan Makalah

1. Menegetahui biografi filsuf Islam Al-Kindi dan Al-Farabi

2. Mengetahui pola pemikiran ketuhanan, kemanusiaan, sera alam semesta Al-Kindi dan Al-

Farabi

3. Mengetahui perbandingan pemikiran antara Al-Kindi dan Al-Farabi

4. Mengetahui kontekstualisasi yang terjadi dalam problematika sosial keagamaan

Page 2: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Al-Kindi dan Al-Farabi

Al-Kindi dilahirkan di Kuffah, beliau memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub Ibn

Ishaq Sabbah Ibn Ismail Al-Ash’ats Ibn Qais (180-260 H/769-873 M),adalah filosof muslim

pertama. Nama Al-Kindi dinisbahkan pada salah satu suku besar Arab pra-Islam, yakni Kindah.

Kakeknya, Al-Ash’ats Ibn Qais, adalah salah seorang muslim dan bahkan dianggap sebagai salah

satu sahabat Nabi SAW1., sementara ayahnya, Ishaq As-Sabbah adalah gubernur Kuffah ketika

Daulah Abbasiyah diperintah oleh Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid, ayahnya meninggal ketika ia

masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu yang

baik.

Sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh tentang pendidikannya, ia pindah dari

Kuffah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam, tidaklah mengherankan jika Al-

Kindi menguasai banyak macam ilmu pengetahuan, karena ia tumbuh dan dibesarkan di Kuffah

yang merupakan kota pusat perkembangan ilmu. Semasa muda Al-Kindi menetap di Baghdad,

ibukota khalifah Bani Abbasiyah yang juga sebagai jantung kota kehidupan intelektual pada

waktu itu, ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu, oleh karena itu tidaklah

mengherankan apabila Al-Kindi mendapat pengetahuan dan menguasai ilmu astronomi, ilmu

ukur, ilmu alam, ilmu pasti, seni musik, meteorologi, optikal, kedokteran, matematika, filsafat

dan politik. Al-Kindi adalah orang Islam pertama keturunan Arab dalam jajaran filosof

terkemuka.

Terlepas dari sedikitnya informasi biografi tentang Al-Kindi, sumber-sumber klasik

menyebutkan bahwa sumbangan besar Al-Kindi bagi perkembangan filsafat dan sains Islam, Ibn

Nadim (w. 995) seorang pustakawan yang terpercaya menyebutkan adanya 242 buah karya Al-

Kindi,2 dalam bidang yang telah kami sebutkan di atas. Selain karya yang berbentuk buku, Al-

Kindi juga menulis sejumlah makalah yang menyangkut studi agama India, Chalden dan Harran.

1 Taufik Abdullah,Ensikilopedi Tematis Dunia Islam,Ikhtiar Baru Van Hoven, Jakarta, Cet. 4, h. 174 2 Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and Misticisme,diterjemahkan oleh Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Mizan, Bandung, 2001, Cet. I hlm.26

Page 3: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

Khalifah al-Makmum menjadikan aliran mu’tazilah sebagai mazhab negara, lewat

kesempatan inilah Al-Kindi menghalalkan filsafat sebagai salah satu khazanah pengetahuan

Islam setelah ia menyesuaikan terlebih dahulu dengan pemahaman agama. Al-Kindi dalam

risalahnya tentang “filsafat pertama”, mengatakan “ diantara usaha-usaha yang tinggi derajat dan

dasar kemanusiaan ialah usaha filsafat, yang tujuannya mengetahui semua yang ada dengan

hakekatnya sekedar kekuatan otak manusia, karena maksud ahli-ahli filsafat ialah mencari yang

benar dengan ilmunya, beramal yang benar dengan amalnya, bukan pekerjaan yang tidak tentu

ujung pangkalnya, karena pekerjaan itu kita pegang dan pekerjaan itu selesai apabila kita sudah

sampai pada kebenaran”.3 Al-Kindi juga memperoleh kedudukan yang terhormat pada masa itu,

bahkan diangkat sebagai guru bagi Ahmad putra khalifah al-Mu’tasim. Namun, kedudukannya

ini bukan berarti ia lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir.

Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, Daulah Bani Abbas kembali menjadikan ahlu

sunnah wa al-jama’ah sebagai mazhab negara, suasana ini dimanfaatkan oleh kelompok yang

berpegang secara ketat pada doktrin ini tidak menyukai filsafat, akhirnya Al-Kindi sebagai tokoh

filsafat Islam pada saat itu di dera dan perpustakaannya yang bernama Al-Kindiyyah disita, akan

tetapi hal ini tidak berlangsung lama kemudian perputakaannyya dikembalikan lagi.

Al-Kindi termasuk orang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis menulis, tulisannya

cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu, akan tetapi amat disayangkan kebanyakan karya

tulisnya telah hilang, informasi terakhir merupakan suatu kegembiraan karena sebagian risalah

Al-Kindi yang hilang tersebut telah ditemukan kembali. Untuk lebih jelasnya dibawah ini

dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi sebagai berikut :

1. Fi Al-Falsafah al-ula

2. Fi hudud al-asy ya’wa rusumuha

3. Fi al-fa’ill al-haq al-awwal al-fam

4. Fi ilati’ i-kaun wal fasad

5. Fi al-qaul fi nafsih

3 Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramdani, Jakarta, 1982, Cet. 2, h. 43

Page 4: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

6. Fi wahdaniyatillah wa tanahir jirmi’i ‘alam

7. Fi ‘il ‘aql4

Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatudesa di Farab (Transoxania) pada

tahun 870 M.6 Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Ia

berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang

Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa

disebut orang Persia atau orang Turki.5

Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi,

menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia

meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan

Timur, lama sepeninggalnya Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik

Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah

pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di

daerah yang mengambil alih kekuasaan.6

Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat

Islam. Sebagaimana sudah disinggung diatas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi

memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara.

Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.

Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih

terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik. Para ahli

sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur

dan juru bicara Plato dan Aristoteles

pada masanya.

Ia belajar logika keadaa Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika,

meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi. Kehidupan al-

Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun.

4 Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, Cet. 2, h. 11 5 Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt), h. 666 Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophyalih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim (Bandung : Mizan, 1992), h. 55

Page 5: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al-

Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia. Periode kedua adalah periode usia

tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad

ke-4/10.Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan

penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka

adalah Pemikiran Metafisika. Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk beberapa lama ia belajar

dengannya.16 Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya.

Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia

berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan

dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai

ulama istana.

Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-

tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun yan terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia

kebanyakan mendapat ilham menulis buku-buku filsafat. Begitu mendalam penyelidikanya

tentang filsafat Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari

julukan Mu’alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles,

disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.

Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan

mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis

beberapa irama musik, yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik

India. Orde Maulawiyah dari Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang.7

Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih berupa

naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis

oleh D’Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam. Pengetahuan

estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M

dalam usia 80 tahun.

Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles

Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih

7 Osman Bakr, Hierarki Ilmu, h. 42.

Page 6: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

berupa naskah; dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam

kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan

politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan

system pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. Diantara judul karya al-Farabi

yang terkenal adalah:

1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah

2. Ihsha’ al-Ulum

3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah

4. Kitab Tahshil al-Sa’adah

5. ‘U’yun al-Masa’il

6. Risalah fi al-Aql

7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu

8. Risalah fi Masail Mutafariqah

9. Al-Ta’liqat

10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat8

2.2 Pokok Pemikiran Al-Kindi dan Al-Farabi

2.2.1 Ketuhanan Menurut Al-Kindi

Sebagaimana yang telah dikemukakan, kegiataan manusia yang paling mulia

adalah mencari dan mengamalkan kebenaran, yaitu berfilsafat, dan filsafat yang paling

utama adalah filsafat pertama yang tidak lain dari sebab pertama yakni Tuhan.

Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan, antara lain dalam tulisannya fi al-

falsafat al-ula dan fi wahdaniyyat al-Allah wa tanahil jiran al-‘a’lam,26 dari tulisan-

8 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islamii, hlm 28

Page 7: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

tulisan tersebut pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan

bertentangan dengan pendapat Plato, Aristoteles dan Plotinus.

Allah bagi Al-Kindi adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada

kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan selalu ada selamanya, Allah

adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud yang lain, wujudnya tidak

berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujudnya.27 Oleh karena itu pencipta (Allah)

itu tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak terbilang, Maha Suci dan Maha Tinggi,

sejauh-jauhnya dalam penyelewengan agama, Dia tidak menyerupai alam ciptaan, karena

sifat banyak itu ada secara nyata pada setiap ciptaan dan sifat itu sama sekali tidak ada

pada-Nya.28

Oleh karena itu berbeda dengan keberadaan alam, Al-Kindi memandang bahwa

alam, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturan-Nya (sunatullah) tidak qadim, tetapi

mempunyai permulaan, alam diciptakan oleh Allah dari tiada menjadi ada (creation

exnihilo) atau menurut istilah yang digunakan (izh- hak al-ayai’ an laisa)29

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Tuhan bagi Al-Kindi adalah, Yang

Maha Esa, dalam arti sesungguhnya, sedangkan Esa-esa yang lain yang terdapat dalam

alam, hanyalah dalam arti majazi, keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan,

sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan itu, tiap-tiap benda mempunyai

dua hakikat, yaitu hakikat juz’i (individual, disebut aniyah) dan hakikat kulli (umum

disebut mahiyah) yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jenis) dan

spesies (macam), maka Tuhan dalam filsafat Al-Kindi, tidaklah demikian “Tuhan tidak

mempunyai hakikat dalam arti aniyah dan mahiyah” tidak aniah karena Tuhan tidak

termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah pencipta alam.

Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk (hayullah), juga Tuhan tidak mempunyai

hakekat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan tidak merupakan genus atau spesies, Tuhan

hanya satu, tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik, Ia adalah yang

benar pertama dan yang benar tunggal, Ia semata-mata satu, hanyaIalah yang satu, selain

dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak”.30

Sesuai ajaran paham Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan

penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal di

Page 8: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan, karena itu dalam hal ini Ia lebih

dekat dengan filsafat platonus yang mengatakan bahwa yang maha satu (to-hen) adalah

sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada31.

Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi menggunakan tiga jalan, yaitu:

1. baharunya alam,

2. keanekaragaman dalam wujud (katstrah fil mujudat)

3. kerapian alam.32

Untuk jalan pertama Al-Kindi memulai jalan pembuktian dengan mengajukan

pertanyaan, mungkinkah sesuatu itu menjadi sebab bagi wujud darinya ataukah tidak

mungkin? Lalu dia menjawabnya sendiri bahwa, hal itu tidak mungkin karena tidak

masuk akal sesuatu menciptakan dirinya sendiri, dengandemikian alam ini adalah baharu

(muhdah) dan mempunyai permulaan waktu karena alam ini terbatas. Selanjutnya jalan

kedua bahwa alam ini mesti ada penyebab terjadiya karena tidak mungkin ada benda

dengan sendirinya, untuk jalan ketigayaitu jalan kerapian Al-Kindi mengatakan bahwa

alamlahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat tidak nampak, zat

yang tidak nampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan

kerapian yang terdapat dalam alam ini.33

2.2.2 Pemikiran Al-Kindi Terhadap Alam Semesta

Mengenai alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti

Aristoteles Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan ”alam ini kekal”,

sedangkan al-Kindi mengatakan ”alam ini tak kekal”. Dalam hal ini ia memberikan

pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara

matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang

tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut

adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[17] 

Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi

mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus

yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari

Page 9: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi

ini kelihatannya tidak jelas dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas

menulis tentang hal itu.[18]

Menurut al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti

dari baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama, semua

benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama

besar. Kedua, jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama

besarnya dalam aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas

tidak bisa tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari dua benda yang sama

besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak

sama besar. Kelima, jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada

benda semula. Keenam, jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan

kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh,

tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas. Kedelapan, jika

benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan ber sama,

maka jumlahnya juga akan terbatas.[19]

Kesimpulan dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam

semesta ini pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang

mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan alam

dan perdaran alam ini sebagai bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.

Mengenai jiwa dan akal, al-Kindi juga membantah pendapat Aristoteles. Para

filosof muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam al-Qur’an yaitu,

al-ruh. Kemudian kata ruh ini di indonesiakan menjadi tiga bentuk, pertama nafsu yaitu

dorongan untuk melakukan perbuatan yang diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif

maka nafsu ini mendekati dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu

(keinginan yang jelek). Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda

kehidupan seseorang. Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa dirangkaikan

bentuknya. Karena al-Qur’an telah menginformasikan bahwa manusia tidak akan

mengetahui akan hakikat roh, roh adalah urusan Allah bukan urusan manusia. Allah

menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. Al-Isra’ 17 : 85.

Page 10: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk

urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya

dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-

masing dari akal yang dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia

akan mendapatkan pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang

banyak berpikir dengan akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang

yang hanya menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara

seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan al-

Qur’an pada Surat az-Zumar ayat 9:

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang

beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)

akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang

yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang

yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa

manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi

adalah badan dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan

hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa

materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud

tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena

jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya

membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa

kemusnahan jiwa. Dalam hal ini al-Kindi sependapat dengan Plato yang mengatakan

bahwa kesatuan jiwa dan badan adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak

membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan

bahwa jiwa berasal dari alam ide.

Page 11: Makalah Filsafat Al-Kindi & Al-Farabi

Menurut al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana) tetapi

mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jawahara) berasal dari

substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan

matahari. Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu.

Roh yang masih kotor dan beluim bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil

membersihkan diri di sana, baru pindah ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi

setingkat hingga akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam

lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.[20]

Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles

membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin

menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen

ini dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan

takkan rusak. Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam;

pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam

roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual, keempat;

akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksudkan dengan akal ”kedua” yaitu tingkat

kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.

[21]

Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa

mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekurangan yasng menggerakkannya dari luar. Dan

oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar

roh manusia, dan bermakna: akal yang selamanya dalam aktualitas (al’aqlu ladzi bil fa’il

abadan). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang

bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut

menjadi ’akil (’akal) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh

akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal ’aklul kharaji). Akal yang selalu bertindak (akal

pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universals (al-kuliyat

mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama

merupakan yang banyak (awwalu muktatsar).[22]