Upload
raisa-ariestha
View
19
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Good Marriage
1. Perkawinan
Perkawinan adalah persatuan cinta antara sepasang pria dan wanita yang
dikukuhkan di depan petugas agama atau pencatatan sipil1. Sedangkan menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I
Dasar Perkawinan Pasal 1, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan yang Maha Esa2.
Bagi kebanyakan orang, perkawinan adalah sesuatu yang sangat diharapkan dan
sangat dipersiapkan. Oleh karena itu, tidak jarang orang mencari berbagai informasi
mengenai perkawinan. Kadang yang tidak kalah penting bagi calon pasangan suami-
istri adalah juga bagaimana pesta pernikahan akan diselenggarakan, pakaian apa yang
akan dikenakan, dan kemana akan berbulan madu. Namun, yang paling penting dari
semua persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri.
Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan
memahami pasangan serta memahami arti pernikahan bagi diri sendiri. Dalam tahap
persiapan pernikahan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis
merupakan hal yang penting dan perlu dijalani7.
Pasangan yang mantap untuk membina rumah tangga dan memasuki kehidupan
perkawinan adalah pasangan yang telah mengenal pasangannya masing-masing,
memiliki kesamaan minat dan tujuan hidup, saling terbuka, saling percaya, saling
menghormati, dan saling memahami. Hal ini tidak berarti pasangan memerlukan
waktu pacaran yang lama untuk saling mengenal dan memahami. Yang terpenting
adalah bagaimana calon pasangan mampu untuk selalu berusaha saling mengenal dan
mendalami pasangan masing-masing, tanpa harus memaksakan kehendak pribadi
kepada pasangannya, dan dapat menerima pasangan kita apa adanya7.
2. Unsur perkawinan
Keluarga yang bahagia atau keluarga yang ideal adalah keluarga yang seluruh
anggotanya merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekacauan
dan merasa puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan
1
aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial. Dalam tahapan
pembentukannya dimulai dari perkawinan dengan tujuan terwujudnya kelanggengan
rumah tangga. Adapun unsur-unsur yang dapat menjamin kelanggengan perkawinan
sebagai berikut:
Pertama, kehendak untuk membahagiakan pasangan1. Cinta merupakan kekuatan
yang mampu menarik dua orang dalam satu ikatan yang tidak terpisahkan, yang
dinamakan perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan akan kuat ketika dilandasi oleh
cinta7. Maka cinta suami-istri lebih merupakan suatu keputusan daripada hanya
sekedar rasa kasmaran (eros) saja. Keputusan tersebut dikukuhkan menjadi suatu
keputusan yang definitif dalam upacara pernikahan di depan petugas agama atau
pencatatan sipil. Oleh karena itu, suami-istri yang mendasarkan perkawinannya hanya
pada perasaan saja, kemungkinan besar akan menyesal di kemudian hari, karena
perasaan cinta asmara itu dapat datang dan pergi dengan cepat, dan dapat berubah
pada saat-saat menghadapi realitas kehidupan perkawinan1.
Kedua, kesetiaan. Kesetian merupakan pelaksanaan konkrit dari kehendak untuk
saling membahagiakan, yaitu akan tetap saling mencintai dan saling membahagiakan,
yaitu akan tetap saling mencintai dan saling membahagiakan dalam keadaan seperti
apa pun (baik dalam suka maupun duka, dalam untung maupun malang), sebab ikatan
cinta dalam perkawinan merupakan suatu keputusan yang definitif. Kesetiaan
semacam ini menuntut usaha yang keras untuk tetap berpegang pada apa yang telah
diputuskan, mau memperteguh dan memperbaharuiya, lebih-lebih di saat-saat
menghadapi godaan, kekecewaan dan kesulitan-kesulitan lain dalam hubungan dengan
pasangannya. Maka suami-istri yang setia juga berarti mau menerima pasangannnya
dengan segala kekurangan dan kelebihannya, mau mengerti atau memahami
pasangannya, mau memaafkan dan mau meminta maaf, mau berusaha melakukan
berbagai cara untuk menjaga agar hubungan mereka tetap romantic, sabar dalam
mengusahakan perbaikan hidup pasangan, dan lain sebagainya1.
Ketiga, pemberian diri secara total, yang berarti bahwa dirinya secara utuh (jiwa
dan raga) diserahkan kepada pasangannya, tidak dibagi-bagi seperti poloandri.
Pemberian diri secara total ini akan terwujud apabila kedua belah pihak mau terbuka
dan saling mempercayai, mau berkorban dan mengesampingkan kepentingan pribadi,
2
penuh perhatian dan tanggungjawab terhadap kebahagian pasangan, siap membantu
dan mau melayani kebutuhan pasangan, dan lain sebagainya1.
Hal penting lain yang perlu dipersiapkan dan selalu dijalankan oleh pasangan
dalam perkawinan adalah komitmen (keterikatan). Bentuk komitmen yang pasti dalam
kehidupan perkawinan Katolik adalah keterikatan pada sumpah perkawinan, yaitu:
“Apa yang sudah dipersatukan oleh manusia tidak dapat diceraikan oleh manusia”
serta “Aku akan bersamamu dalam susah dan senang sampai maut memisahkan kita”.
Komitmen bukanlah berarti keterikatan yang membabi buta tetapi keterikatan yang
didasari saling pengertian. Komitmen adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
kehidupan perkawinan. Komitmen jangka panjang dalam perkawinan memungkinkan
pasangan suami-istri melakukan pengorbanan demi masa depan bersama, misalnya
suami memberikan izin kepada istrinya untuk mengikuti pendidikan yagn lebih tinggi
atau istri bersedia mengikuti suaminya pindah kerja ke kota lain (Waite & Gallagher,
2000)7.
Komitmen juga terwujud dalam keputusan untuk memiliki anak. Dalam situasi
kehidupan sekarang ini, banyak pasangan yang memutuskan untuk menunda
mempunyai anak untuk jangka waktu yang lama atau justru memutuskan untuk tidak
memiliki anak. Jika pasangan sudah memiliki komitmen untuk bersatu, maka memiliki
anak merupakan suatu konsekuensi dari komitmen tersebut. Komitmen untuk
memiliki anak ini juga mengandung arti bahwa pasangan suami istri akan
memperhatikan perkembangan anak secara fisik dan psikologis secara bersama-sama.
Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak bukan hanya tanggung jawab istri,
tetapi juga tanggung jawab suami. Peran sebagai orang tua haruslah dijalani bersama
oleh suami dan istri. Hal ini semakin disadari oleh suami pada masa sekarang,
sehingga semakin banyak suami yang mendampingi istri saat melahirkan, membantu
menjaga bayi, memberikan susu botol, menggantikan popok, mengantar anak sekolah,
serta membantu anak belajar. Banyak hal yang dapat dilakukan seorang ayah bagi
anaknya. Yang pasti tidak bisa dilakukan oleh ayah hanyalah memberikan ASI7.
3. Dinamika hubungan suami-istri
Hidup perkawinan bukanlah jalan yang selalu lurus dan rata, tetapi seringkali
merupakan jalan yang berliku serta penuh onak dan berduri. Namun, perjalanan
3
perkawinan tetap akan menyenangkan dan menggairahkan jika pasangan tidak banyak
mengeluh, keras kepala, defensif, dan menarik diri dari pasangan7. Masalah-masalah
dalam perkawinan selain dapat timbul karena pengaruh dari luar, juga dapat timbul
karena pengaruh dari luar, juga dapat diambil dari dalam hubungan perkawinan itu
sendiri. Pada umumnya setiap perkawinan mengalami masa romance, masa
kekecewaan, dan masa kebahagiaan atau kegagalan. Karena dinamika hubungan
suami-istri ini dapat menjadi sumber masalah dalam suatu perkawinan, maka perlu
kita ketahui mengapa masalah-masalah itu bisa timbul1.
a. Harapan yang tidak realitas
Dalam masa romance, yang berlangsung selama pacaran dan tahun-tahun
pertama perkawinan, hubungan terasa sangat erat dan mesra, perhatian dan
pengertian terhadap satu sama lain besar sekali, pokoknya semuanya terasa indah
dan dunia ini seolah-olah hanya milik mereka berdua. Suasana hubungan semacam
ini tidak jarang menimbulkan harapan-harapan yang tidak realistis baik di pihak
suami maupun istri. Misalnya, mereka akan bahagia selamanya, dengan
perkawinan ini pasangan mereka pasti akan berubah menjadi lebih baik. Harapan-
harapan yang tidak realities ini, bila dihadapkan dengan realitas kehidupan sehari-
hari sebagai suami-istri, dapat menimbulkan kekecawaan kedua belah pihak.
Pertengkaran-pertengkaran sering terjadi, mereka lalu merasa bahwa perkawinan
mereka tidak berjalan seperti yang mereka harapkan, mereka merasa telah salah
pilih, dan merasa lebih bisa dimengerti oleh orang lain daripada pasangannya
sendiri. Kalau suami-istri dapat mengatasi masa kekecewaan ni dengan baik, akan
terjalin hubungan yang semakin erat dan semakin membahagiakan atas dasar
kenyataan, bukan impian-impian. Hubungan perkawinan mereka menjadi semakin
masak dan realitis. Sebaliknya, kalau suami-istri tidak dapat mengatasi masa
kekecewaan ini, sudah boleh dipastikan perkawinan itu mengalami kehancuran1.
b. Sumber konflik dalam perkawinan
Konflik-konflik dalam perkawinan yang dapat menyebabkan keretakan
hubungan suami-istri atau bahkan dapat juga menyebabkan perceraian, biasanya
4
bersumber-sumber pada kepribadian suami-istri dan hal-hal yang erat kaitannya
dengan perkawinan. Konflik yang bersumberkan pada kepribadian pada umumnya
disebabkan oleh ketidak-matangan kepribadian, adanya sifat-sifat kepribadian
yang tidak cocok untuk menjalin hubungan perkawinan, dan adanya kelainan
mental. Sedangkan konflik-konflik yang bersumberkan pada hal-hal yang erat
kaitannya dengan perkawinan, biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan sikap
dan pandangan suami-istri dalam hal-hal tertentu. Misalnya menyangkut masalah
keuangan, kehidupan sosial, pendidikan anak, masalah agama, hubungan dengan
mertua-ipar, serta penyelewengan dalam hubungan seksual1. Dalam hal
menyangkut sumber-sumber konflik tersebut, pasangan tetap perlu membina
komunikasi yang lancar dan saling terbuka, saling berbagi cerita, saling
menyatakan keinginan secara terbuka, saling asertif, saling mengoreksi kesalahan
pasangan, dan bersedia menerima kesalahan tanpa berdebat dan merasa sakit hati.
Dengan adanya komunikasi yang lancar, pasangan akan lebih mudah untuk
mengatasi masalah serta mengambil keputusan bersama7.
c. Ketidak-puasan seksual
Masa kekecewaan yang mengakibatkan mengendorkan hubungan pribadi
suami-istri, mempunyai pengaruh juga dalam hubungan seksual mereka.
Kesulitan-kesulitan atau ketidak-puasan dalam hubungan seksual biasanya
merupakan akibat konflik-konflik yang dialami oleh suami-istri. Sebaliknya,
ketidak-puasan dalam hubungan seksual ini akan memperburuk hubungan suami-
istri yang kurang harmonis tersebut. Kalau hal ini terus berkelanjutan, akan
menjadi lingkaran setan yang akhirnya dapat menghancurkan perkawinan1.
Mengingat begitu kompleksnya masalah perkawinan dan banyaknya tantangan
yang harus dihadapi oleh keluarga-keluarga dewasa ini, maka boleh dikatakan
bahwa perkawinan yang tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh akan
mendatangkan banyak kesulitan dan kemungkinan besar gagal. Usaha
mempersiapkan perkawinan dengan serius hanyalah memperkecil risiko timbulnya
masalah yang dapat meretakkan hubungan perkawinan. Masalah dan segala hal
yang buruk masih mungkin terjadi, sebab tidak ada pasangan suami-istri yang
sempurna. Maka kalau ikatan keluarga, baik ikatan suami-istri maupun ikatan
5
orang tua-anak, tidak diperkokoh, masalah-masalah yang timbul dalam
perkawinan maupun keluarga dapat mengendorkan atau bahkan memutuskan
ikatan tersebut1.
4. Tolak ukur Keluarga Bahagia
Tahap pembentukan keluarga dimulai dari pernikahan yang dilanjutkan dengan
membentuk rumah tangga. Kondisi keluarga yang bahagia merupakan keluarga ideal
yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap pasangan suami-istri. Kriteria
kebahagiaan sebuah rumah tangga/keluarga ditentukan oleh bermacam-macam
faktor, namun yang pasti kebahagiaan sebuah rumah tangga itu ditentukan oleh
kebahagiaan lahir maupun batin, artinya selama rumah tangga hanya mengalami
kebahagiaan secara lahiriah saja maka belum dapat disebut bahagia. Dalam
pandangan agama kristen, keluarga bahagia itu bisa terjadi apabila mereka
mempraktekkan ajaran cinta kasih Yesus kristus yang menjadi dasar membangun
sebuah rumah tangga bahagia. Dengan demikian kriteria sebuah keluarga bahagia
itu adalah apabila telah terpenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan
papan tetapi sekaligus juga kebutuhan keagamaan, kebutuhan sosial keagamaan
maupun kemasyarakatan9.
Kebahagiaan sebuah keluarga itu bisa diukur berdasarkan apa yang dilihat,
apa yang dirasakan dan apa yang dialami atau realitas nyata sehari - hari. Rumah
tangga bahagia itu terjadi apabila keharmonisan keluarga (suami, istri, anak - anak)
benar - benar dialami dan dirasakan, terutama kebutuhan - kebutuhan dasarnya atau
kebutuhan pokoknya sehari-hari. Kebutuhan - kebutuhan dasar tersebut diantaranya:
a. Terpenuhinya kebutuhan pangan. Kebutuhan akan makan adalah syarat utama bagi
kehidupan manusia baik bagi pasangan yang akan membangun sebuah keluarga atau
yang sudah berkeluarga sekalipun. Bagaimana mungkin sebuah rumah
tangga/keluarga akan mengalami kebahagiaan apabila kebutuhan dasarnya saja tidak
terpenuhi. Malah tidak tercukupnya kebutuhan pangan sebaliknya bisa menimbulkan
ketidak bahagiaan sebuah rumah tangga.
b. Terpenuhinya sebuah sandang. Kebutuhan sandang merupakan kebutuhan dasar bagi
manusia beradab dimanapun dan kapanpun, karena selama manuasia berada di bumi
ini maka kebutuhan sandang itu akan menjadi hal yang mendasar, bahkan di dalam
6
dunia modern ini kebutuhan akan sandang telah menjadi kebutuhan yang
mempunyai kedudukan penting dalam pergaulan sosial.
c. Terpenuhinya kebutuhan papan (tempat tinggal). Rumah bagi keluarga merupakan
kebutuhan yang sangat - sangat mendasar sebagai tempat tinggal atau berkumpul /
pertemuan seluruh anggota keluarga. Dapat dibayangkan bagaimana sebuah
keluarga ( suami, istri, anak - anak ) hidup tanpa memiliki rumah tempat mereka
berlindung dari panas dan hujan, karena itu sebuah keluarga bisa disebut bahagia
kalau mereka memiliki tempat tinggal untuk hidup bersama ( bandingkan keluarga -
keluarga yang tinggal di bawah kolong jembatan ).
d. Terpenuhinya kebutuhan akan kesehatan. Kebutuhan akan kesehatan merupakan
syarat penting dalam membangun kebahagiaan sebuah keluarga karena tidak
mungkin ada kebahagiaan kalau keluarga itu tidak sehat atau sering sakit - sakitan,
karena itu kesehatan tidak bisa diabaikan apabila sebuah keluarga ingin mencapai
tingkat kebahagiaan yang memadai. Di negara-negara maju kebutuhan akan
kesehatan atau hidup sehat merupakan prioritas utama dalam keluarga. Hal ini
ditandai dengan masing-masing keluarga memiliki dokter keluarga sehari - hari.
e. Terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan. Pendidikan merupakan syarat penting
dalam keluarga apabila keluarga itu mau disebut keluarga bahagia, karena dengan
pendidikan yang baik, besar kemungkinan tingkat kesejahteraan keluarga akan lebih
baik. Dengan demikian kesejahteraan keluarga yang baik akan menunjang
kebahagiaan di dalam keluarga. Pendidikan bagi negara maju merupakan kebutuhan
penting dalam membangun dan menunjang kesejahteraan negaranya.
f. Terpenuhinya kebutuhan biologis. Kebutuhan biologis atau seks merupakan
kebutuhan dasar bagi sebuah rumah tangga yang ingin mengalami kebahagiaan.
Dalam banyak pengalaman hidup rumah tangga karena unsur kebutuhan biologis
tidak terpenuhi maka sering terjadi pertengkaran suami/istri yang membawa masalah
di dalam rumah tangga / keluarga. Bahkan kadang kala kebutuhan biologis/seks
menjadi sumber pecahnya sebuah keluarga atau perselingkuhan dan kemudian
perceraian.
g. Terpenuhinya kebutuhan akan ketenangan hidup. Sekalipun sebuah keluarga cukup
makan, cukup papan dan sandang tetapi apabila tidak ada ketenangan di dalam
hidup maka akan menjadi sumber perpecahan dan masalah yang merongrong
keutuhan dan kebahagiaan di dalam keluarga. Sebab itu faktor ketenangan batin di
7
dalam kehidupan rumah tangga itu merupakan kebutuhan yang sangat mendasar
bagi keluarga kalau mau disebut keluarga bahagia. Ketenangan batin itu tidak akan
datang tidak sendirinya tetapi harus diciptakan, diusahakan dan direbut oleh kedua
pihak baik suami maupun istri9.
Adapun 5 konsep dasar keluarga bahagia menurut pandangan Islam adalah
sebagai berikut:
1. Dalam keluarga itu ada mawaddah dan rahmah (Q/30:21). Mawaddah adalah
jenis cinta membara, yang menggebu-gebu dan “nggemesi”, sedangkan rahmah
adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap melindungi kepada yang
dicintai. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga,
sebaliknya, rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah.
2. Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti
pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,
Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu (a) menutup aurat, (b) melindungi diri
dari panas dingin, dan (c) perhiasan. Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus
menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu
kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga
sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter,
begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami
juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran tampil menarik
orang banyak, di rumah “nglombrot” menyebalkan.
3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap
patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19).
Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan
nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami.
4. Suami istri senantiasa menjaga Makanan yang halalan thayyiban. Menurut hadis
Nabi, sepotong daging dalam tubuh manusia yang berasal dari makanan haram,
cenderung mendorong pada perbuatan yang haram juga (qith`at al lahmi min al
haram ahaqqu ila an nar). Semakna dengan makanan, juga rumah, mobil, pakaian
dan lain-lainnya.
5. Suami istri menjaga aqidah yang benar. Akidah yang keliru atau sesat, misalnya
mempercayai kekuatan dukun, majig dan sebangsanya. Bimbingan dukun dan 8
sebangsanya bukan saja membuat langkah hidup tidak rasional, tetapi juga bisa
menyesatkan pada bencana yang fatal10
Good Parenting9
1. Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas Kepala Keluarga
dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap
dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998). Secara tradisional, Nuclear
Family atau Keluarga Inti terdiri dari Ayah, ibu, anak tinggal dalam satu rumah
ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya
dapat bekerja diluar rumah3. Sehingga dapat disimpulkan keluarga merupakan unit
terkecil dalam masyarakat, terdiri atas 2 orang atau lebih, adanya perikatan tali
perkawinan atau tali darah, hidup dalam satu rumah tangga, dibawah asuhan seseorang
kepala rumah tangga, berinteraksi diantara sesama anggota keluarga, setiap anggota
keluarga mempunyai peran masing-masing, serta diciptakan mempertahankan suatu
kebudayaan11.
Setelah menikah dan hidup membentuk keluarga dan memiliki anak, pasangan
suami-istri akan mulai berperan sebagai orang tua. Orang tua pun dituntut bertanggung
jawab terhadap kelanjutan hidup anak-anaknya. Selanjutnya pola asuh menentukan
sukses tidaknya tugas sebagai orang tua. Adapun pola asuh orang tua sendiri
merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya
pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku di
masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Pola interaksi tersebut
tak lepas dari 4 dimensi yang dikemukan oleh Baumrind (1994) sebagai berikut:
a. Kendali Orang Tua (Control): tingkah menunjukan pada upaya orang tua dalam
menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan laku yang sudah dibuat
sebelumnya
b. Kejelasan Komunikasi Orang Tua-anak (Clarity Of Parent Child Communication):
menunjuk kesadaran orang tua untuk mendengarkan atau menampung pendapat,
keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orang tua dalam memberikan
hukuman kepada anak bila diperlukan.
c. Tuntutan Kedewasaan (Maturity Demands): menunjuk pada dukunganprestasi,
sosial, dan emosi dari orang tua terhadap anak
d. Kasih Sayang (Nurturance): menunjuk pada kehangatan dan keterlibatan orang tua
dalam memperlihatkan kesejahteraan dan kebahagiaan anak8.
2. Tipe Pola Asuh Orang Tua
10
Responsivenss
demandingness
High
Low High
Low
Indulgent Authoritative
Uninvolved Authoritarian
Dalam interaksi antara orang tua dan anak dalam suatu keluarga, tak terlepas dari tipe
pola asuh yang dipilih dan diterapkan. Tipe tersebut nantinya akan menentukan
kualitas anak dibawah asuhan orang tuanya. Berikut tipe pola asuh orang tua.
Diadaptasi dari: Four types of parenting styles (Baumrind, 1971 & Maccoby and Martin, 1983)
a. Orang tua dengan tipe indulgent atau permissive identik dengan tipekal hangat,
hubungan menyayangi antara orang tua dan anak, tetapi kekurangannya adalah
tingkah laku anak yang seringkali diluar dugaan4. Pada pola asuh tipe permissive
ditemukan kondisi kualitas anak sebagai berikut:
Regulasi emosi kurang
Sering memberontak dan menentang apabila keinginan dilarang
Ketekunan mengerjakan tugas rendah
Tingkah laku antisosial5
b. Orang tua dengan tipe authoritarian berharap pemenuhan dan kesesuaian terhadap
aturan dan perintah orang tua. Situasi ini dapat dijelaskan sebagai kondisi tidak
adil dan mengancam4. Dengan pola asuh tipe authoritarian ditemui kualitas anak
sebagai berikut:
Watak cemas, menarik diri, dan tidak bergembira
11
Reaksi miskin terhadap frustasi (seringkali ditandai pada anak perempuan mudah
menyerah dan anak laki-laki bermusuhan)
Melakukan tugas dengan baik di sekolah (penelitian menunjukkan sebanding
dengan tipe authoritative)
Kemungkinan tidak mengikuti kegiatan antisosial (contoh: penyalahgunaan obat
dan alkohol, vandalism, gang)5
c. Orang tua dengan tipe authoritative berusaha secara langsung terhadap aktivitas
anak tetapi tidak rasional, pola orientasi. Orang tua memiliki harapan yang tinggi
terhadap tingkah laku anaknya sementara anak diijinkan menyampaikan
keinginannya. Aturan dan anjuran orang tua mengharuskan anak jujur dan terbuka.
Orang tua pun mengajarkan anak tentang sebab dan akibat, mengambil keputusan
dan pemenuhan diri sendiri4. Pada tipe authoritative yang dirasakan ideal
ditemukan kualitas anak sebagai berikut:
Watak senang dan bersemangat
Percaya diri dengan kemampuan terhadap tugas utama
Regulasi emosi yang berkembang baik
Kekakuan berkurang terhadap jenis kelamin (contoh. Sensitivitas pada laki-laki
dan kemandirian pada perempuan)5
d. Tipe uninvolved atau neglectful dijelaskan sebagai langkah menuju tipe pola
permissive. Orang tua dengan tipe ini mungkin menyediakan makanan dan tempat
berlindung, tetapi pada umumnya tidak secara emosional terhadap kehidupan
anak4. Pada anak-anak dengan pola asuh orang tua uninvolved atau neglectful
adaah sebagai berikut:
Anak sering barada di luar rumah tetapi orang tidak tua tidak memperhatikan
sampai kejadian yang berpotensial membahayakan anak terjadi
Anak sering mengasingkan merasa dendam terhadap orang tua dan
mengasingkan diri saat memasuki masa dewasa5
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
12
Menurut Hurlock (1993) faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
a. Pendidikan orang tua
Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menetapkan
pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan dengan orang
tua yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih
memahami kebutuhan anak.
b. Kelas sosial
Orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif dibanding
dengan orang tua dari kelas sosial bawah.
c. Konsep tentang peran orang tua
Tiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang bagaimana
seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung
memilih pola asuh yang ketat dibanding orang tua dengan konsep
nontradisional.
d. Kepribadian orang tua
Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua. Orang tua
yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan
anak dengan ketat dan otoriter.
e. Kepribadian Anak
Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi pemilihan
pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersifat
lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang datang pada dirinya
dibandingkan dengan anak yang introvert.
f. Usia anak
Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi oleh anak. Orang tua yang
memberikan dukungan dan dapat menerima sikap tergantung anak usia pra
sekolah dari pada anak8.
13
Selain itu juga dipengaruhi oleh pemegang kekuasaan dalam keluarga. Di
Indonesia terdapat Patriakal (dominan dan memegang kekuasaan dalam
keluarga adalah pihak Ayah), Matriakal (dominan dan memegang kekuasaan
dalam keluarga adalah pihak Ibu) serta Equlitarian (memegang dalam keluarga
adalah Ayah dan Ibu)11. Siapa yang nantinya memegang kekuasaan nantinya
berpengaruh terhadap pola asuh orang tua.
4. Prinsip Komunikasi Efektif Orang tua
Begitu pentingnya peran orang tua terhadap perkembangan anak, maka
diperlukan komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik adalah sebuah keterampilan
penting sebagai orang tua yang ideal. Berikut prinsip dasar menjadi orang tua yang
dengan komunikasi yang baik dengan anak:
Biarkan anak tahu bahwa orang tua tertarik dan menghendaki akan membantu jika
diperlukan6 dengan cara menghargai anak. Hargai keberadaan anak. Jangan hanya
menganggapnya sebagai anak kecil. Kalaupun sedang bicara dengan anak,
posisikan dirinya sebagai sosok yang dihargai dan sederajat. Dalam beberapa hal
tertentu ada yang lebih diketahui anak ketimbang orang tua. Jadi ada baiknya
orang tua pun belajar untuk menghargai dan mendengarkan pendapat anaknya12.
Hindari komunikasi lewat telepon saat anak memberitahukan hal penting6. Jangan
tunggu sampai anak bermasalah, setiap kali ada kesempatan, manfaatkan momen
tersebut untuk mengajak anak berbicara. Bicara di sini tidak sekedar basa-basi,
menanyakan apa kabarnya hari ini, akan tetapi sebaiknya orang tua juga bisa
menyelami perasaan senang, sedih, marah maupun keluh kesah anak12.
Dengarkan dengan seksama dan dengan sopan. Jangan menginterupsi anak saat ia
berusaha bercerita6. Orang tua sebaiknya belajar untuk menjadi pendengar aktif
bagi anaknya. Dengan demikian anak akan tahu bahwa orang tua mampu
memahaminya seperti yang mereka rasakan. Cara ini akan membuat anak merasa
penting dan berharga. Selain itu anak akan belajar untuk mengenali, menerima,
dan mengerti perasaan mereka sendiri, serta menemukan cara untuk mengatasi
masalahnya12.
14
Jangan bertanya “mengapa”, tetapi tanyakan “ada apa”6. Dalam komunikasi
dengan anak, orang tua sebaiknya berusaha untuk mengerti dunia anak,
memandang posisi mereka, mendengarkan apa ceritanya dan apa pendapatnya.
Mengenali apa yang menjadi suka dan duka, kegemaran, kesulitan, kelebihan,
serta kekurangan mereka12.
Bantu anak dalam merencanakan beberapa langkah spesifik jalan keluar6.
Hubungan yang erat dapat mempersempit jurang pemisah antara orang tua dan
anak.Dengan demikian anak mau bersikap terbuka dengan menceritakan seluruh
isi harinya tanpa ada yang ditutup-tutupi di hadapan orang tua12.
Jangan gunakan kata-kata atau kalimat seperti dungu, bodoh malas6. Sebaliknya
berikan sentuhan/dekapan fisik dan kontak mata. Usahakan setiap hari untuk
menyentuh, melakukan kontak mata dan dekapan fisik dengan anak. Anak akan
merasakan kasih sayang dan kehangatan dari orang tuanya12.
Perkuat anak dengan menjaga komunikasi terbuka6. Komunikasi yang baik
memerlukan waktu yang berkualitas dan ini yang kadang tidak dipikirkan oleh
orang tua.Tak sedikit orang tua yang meyakini bahwa yang penting adalah kualitas
bukan kuantitas. Padahal dalam hal ini komunikasi, kuantitas juga diperlukan .Bila
orang tua bisa memberikan waktu yang berkualitas bagi anaknya, maka itu berarti
ia sudah mengasihi dan memperhatikan anaknya12.
15
Daftar Pustaka
1. Hadisubrata, M.S. 1992. Keluarga dalam dunia modern: tantangan dan
pembinaannya. Jakarta: Gunung Mulia.
2. Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 Tentang Pernikahan.
3. http://creasoft.files.wordpress.com/2008/04/keluarga.pdf . diakses pada tanggal 12
Februari 2012
4. The Four Common Types of Parenting Styles. http://ezinearticles.com/?The-Four-
Common-Types-of-Parenting-Styles&id=1332200. diakses pada tanggal 12
Februari 2012
5. Diana Baumrind's (1966) Prototypical Descriptions of 3 Parenting Styles.
http://www.devpsy.org/teaching/parent/baumrind_styles.html. diakses pada
tanggal 10 Februari 2012
6. Guidelines For Parent/Child Communication.
http://childdevelopmentinfo.com/parenting/communication.shtml. diakses pada
tanggal 12 Februari 2012
7. Chairy, Liche Seniati. Psikologi Suami-Istri.
http://staff.ui.ac.id/internal/131998622/material/PsikologiSuamiIstri-Liche.pdf. diakses
pada tanggal 15 Februari 2012
8. http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/
Artikel_10500364.pdf. Diakses pada tanggal 15 Februari 2012
9. Tolok Ukur Rumah Tangga Bahagia. http://www.persit-kckjaya.org/rohani/rohani-
protestan/145-rohani-protestan. diakses pada tanggal 15 Februari 2012
10. 5 Konsep membangun keluarga bahagia.
http://yunce.multiply.com/journal/item/102/5_Konsep_Membina_Keluarga_Bahagia?
&show_interstitial=1&u=/journal/item. diakses pada tanggal 15 Februari 2012
11. Pengertian keluarga. http://sobatbaru.blogspot.com/2008/12/pengertian-
keluarga.html. diakses pada tanggal 15 Februari 2012
12. Tips Menjadi Orang Tua yang Ideal. http://www.makananbayi.org/makanan-bayi-
tips-menjadi-orang-tua-yang-ideal.html. diakses pada tanggal 15 Februari 2012
16