35
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten di ganglia sensoris. 2,8 3.2 Epidemiologi Angka kejadian herpes zoster tergantung pada prevalensi varisela dan belum ada bukti yang menyebutkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan dengan kontak langsung dengan orang yang menderita varisela atau herpes zoster. Insiden herpes zoster ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi hubungan antara host dan virus.(Straus et al, 2008) Di dunia, insiden herpes zoster tidak banyak diteliti, diperkirakan 2-3 kasus tiap 1000 penduduk tiap tahun (rata-rata 750.000 kasus tiap tahun). Insiden yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, karena banyak kasus ringan yang tidak mendapat 22

Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Embed Size (px)

DESCRIPTION

definisi herpes zooster dan berbagai rincian lainnya

Citation preview

Page 1: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh

adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada

dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf

sensoris dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela

zoster endogen yang menetap dalam fase laten di ganglia sensoris.2,8

3.2 Epidemiologi

Angka kejadian herpes zoster tergantung pada prevalensi varisela dan belum

ada bukti yang menyebutkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan dengan kontak

langsung dengan orang yang menderita varisela atau herpes zoster. Insiden herpes

zoster ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi hubungan antara host dan virus.

(Straus et al, 2008)Di dunia, insiden herpes zoster tidak banyak diteliti, diperkirakan 2-3 kasus

tiap 1000 penduduk tiap tahun (rata-rata 750.000 kasus tiap tahun). Insiden yang

sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, karena banyak kasus ringan yang tidak

mendapat perhatian bagi pelayan kesehatan dan tetap tidak terdiagnosis.

Insidennya meningkat terutama pada individu dengan penurunan sistem kekebalan

tubuh atau pada orang tua, insidennya mencapai 50%.3

Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur

dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia

yaitu sejak lahir – 9 tahun: 0,74 / 1000; usia 10 – 19 tahun: 1,38 / 1000; usia 20-29

tahun: 2,58 / 1000. Lebih dari 66% mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari

10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 5% mengenai usia kurang dari 15

tahun.9

Hampir 50% individu dengan usia di atas 80 tahun diperkirakan pernah

mengalami herpes zoster. 3 Faktor resiko lainnya adalah disfungsi imun seluler.

Pasien yang mengalami penekanan sistem imun memiliki resiko 20-100 kali lebih

22

Page 2: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

besar dibandingkan pasien dengan imuno kompeten dengan umur yang sama.

Kondisi imuno supresi yang berhubungan dengan tingginya resiko herpes zoster

adalah infeksi human immunodeficiency virus (HIV), transplantasi sumsum

tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi, dan penggunaan

kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi oportunistik pada orang yang

terinfeksi HIV, dan pada individu lain, herpes zoster merupakan pertanda awal

adanya defisiensi imun. (Straus et al, 2008)Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh

musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedan angka kesakitan

antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan meningkat seiring dengan

peningkatan usia.2 Ras kulit hitam dikatakan mempunyai resiko lebih rendah

dalam mengalami penyakit ini bila dibandingkan dengan ras kulit putih.3

3.3 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh VZV (Varicella Zoster Virus) dan tergolong

virus DNA. Virus ini berukuran 150-200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes

viridae. Virus ini mempunyai sifat khas yang menyebabkan infeksi primer pada

sel epitel, setelah infeksi primer biasanya virus menetap dalam bentuk laten di

dalam ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan

kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran

penjamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta

mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA

polymerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di

dalam sel yang terinfeksi.10

Varicella zoster virus (VZV) adalah anggota keluarga virus herpes. Virus lain

yang patogenik pada manusia adalah herpes simplex virus-1(HSV-1) dan HSV-

2,cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, human herpes virus-6 (HHV-6) dan

HHV-7, yang menyebabkan roseola. Dan Sarkoma Kaposi yang berhubungan

dengan virus herpes dikenal sebagai HHV-8.Gen VZV mengkode sekitar 70 gen

yang kebanyakan memiliki rangkaian DNA dan memiliki fungsi yang homolog

dengan gen pada virus herpes lainnya. Secara cepat produk gen meregulasi

replikasi VZV. Produk gen seperti virus-specific thymidine kinase dan polimerase

DNA virus mendukung replikasi virus. (Johnson et al, 2009)

Page 3: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Gambar 2. Varicella zoster virus ( Burns, 2004)

3.4 Patogenesis

Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varisela dan herpes zoster.

Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu

varisela dikatakan infeksi akut primer sedangkan bila penderita varisela sembuh

atau dalam benuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan

muncul adalah herpes zoster.2

Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini

virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia yang

sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam

sistem retikuloendotelial, selanjutnya mengadakan replikasi kedua yang sifat

viremianya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan

mukosa.2 Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris dan

ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion

sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus

tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai

kemampuan berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi

virus tersebut dapat diakibatkan oleh keadaan yang menurunkan imunitas seluler

seperti pada penderita karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan

imunosupresif termasuk kortikosteroid dan pada orang yang menerima

transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi

sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris. Kemudian virus

Page 4: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan melalui saraf sensoris

akan sampai ke kulit yang kemudiaan dapat menyebabkan timbulnya gejala

klinis.10 Jadi, selama antibodi yang beredar di dalam darah masih tinggi, reaktivasi

dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana

antibodi tersebut turun dibawah level kritis, maka terjadilah reaktivasi virus

sehingga terjadi herpes zoster.2

Secara ringkas, pathogenesis penyakit herpes zoster dapat digambarkan

sebagai berikut: Varisela: virus mukosa saluran nafas atas multiplikasi

pembuluh darah dan limfe kulit lesi primer saraf perifer ganglion

dorsalis infeksi laten.

Herpes zoster virus teraktifasi saraf perifer kulit lesi.

Varisela terjadi di semua belahan dunia dan ditularkan melalui infeksi

droplet dari nasofaring. Pasien berada dalam fase infeksius pada hari ke-2 atau

sebelum hari ke-5 setelah timbulnya ruam. Cairan vesikel mengandung banyak

virus dan perannya dalam transmisi tidak diketahui. Lesi yang kering tidak

bersifat infeksius.(James et al, 2006)

Zoster umumnya bermanifestasi pada satu atau lebih ganglion spinalis

posterior atau ganglion saraf kranial, hal ini agaknya terjadi karena partikel virus

bersembunyi di dalam ganglia dalam fase dorman sejak episode awal varisela. Hal

ini menyebabkan timbulnya nyeri di sepanjang dermatom sensoris yang

berhubungan dengan ganglion tersebut. (Straus et al, 2008)Herpes zoster terjadi paling sering di dermatom yang memiliki densitas

tertinggi untuk dicapai oleh varisela yaitu saraf trigeminal dan ganglia spinalis

sensoris dari T1-L2. Reaktivasi VZV berhubungan dengan keadaan imuno

supresi, stres emosional, tumor yang menyerang ganglion dorsal, trauma lokal

atau manipulasi pada pembedahan spinal dan sinusitis frontal. (Johnson et al,

2009)

Cidera pada saraf perifer dan ganglion saraf memicu sinyal nyeri afferent,

begitu pula inflamasi pada kulit memicu pengeluaran sinyal nosireseptor yang

selanjutnya memperberat nyeri pada kulit. Pengeluaran asam amino eksitatori dan

neuropeptida yang terjadi secara berlebihan dicetuskan oleh impuls afferent

selama fase prodormal dan akut pada herpes zoster menyebabkan rusak dan

Page 5: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

hilangnya interneuron inhibitor pada ganglion spinalis. Rusaknya saraf pada

ganglion dan saraf perifer sangat penting dalam patogenesis dari neuralgia

pascaherpetik. Kerusakan saraf afferent primer dapat menyebabkan saraf ini

hipersensitivitas dan aktif secara spontan terhadap rangsangan perifer. Dimana

secara klinis mekanisme ini berakhir pada allodynia (Nyeri ataupun sensasi yang

tidak menyenagkan yang terjadi oleh rangasangan normal yang tidak

menyakitkan).(Straus et al, 2008)Fungsi normal sensoris tubuh mengalami perubahan pada pasien dengan

neuralgia pascaherpetik. Dalam salah satu studi dikatakan hampir semua pasien

memiliki daerah bekas luka yang insensitive untuk nyeri, dengan sensasi yang

abnormal terhadap sentuhan ringan ataupun perubahan suhu pada dermatom yang

terkena. Nyeri umumnya dipengaruhi oleh gerakan (allodynia mekanis) atau

perubahan suhu (allodynia hangat ataupun dingin). (Kost et al, 1996)

Rasa nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia

pascaherpetik bersifat neuropatik dan merupakan hasil dari cedera yang terjadi

pada susunan saraf tepi dan perubahan pada penghantaran sinyal pada sistem saraf

pusat. Akibat cidera yang terjadi, sususan saraf yang terkena dapat teraktivasi

secara spontan, serta memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah dan

memberikan tanggapan yang berlebihan terhadap suatu rangsangan. Peubahan-

perubahan yang terjadi ini begitu rumit sehingga tidak ada pendekatan terapi

tunggal untuk menagani kelainan ini.(Kost et al, 1996)

3.5 Manifestasi Klinis

Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi

pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang

timbulnya erupsi dan bervariasi mulai dari perasaan kesemutan, sensasi seperti

terbakar hingga perasaan sakit seperti tertusuk. Nyeri ini dapat menetap atau

bersifat hilang timbul dan biasanya diikuti oleh adanya nyeri tekan dan hiperestesi

kulit pada dermatom yang terkena. Nyeri ini menyerupai nyeri yang terjadi pada

peradangan pleura, infak miokard, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik bilier atau

kolik renal, apendiksitis, prolaps diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan

terjadinya suatu kesalahan diagnosis dan penanganan.2 Gejala prodromal sistemik

Page 6: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

(demam, pusing, malaise), maupun gejala prodromal lokal (mialgia, pegal, dan

sebagainya) dapat terjadi biasanya 1-3 minggu sebelum timbul ruam di kulit.5,10

Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata

dan unilateral, jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi

terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensoris.

Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus

kranialis V serta nervus VII.2,10

Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematosa, kemudian dalam

waktu 12 – 24 jam akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi

pustul pada hari ke 3 – 4 dan akhirnya pada hari ke 7 – 10 akan terbentuk krusta

dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali terjadi infeksi sekunder bakterial. Pada

pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, dapat terjadi herpes zoster

diseminata dan dapat mengenai alat visceral seperti paru, hati, otak, dan DIC

(disseminated intravascular coagulation) sehingga dapat berakibat fatal. Lesi

pada kulit biasanya sembuh lebih lama dan dapat mengalami nekrosis,

hemorhagik, dan dapat terbentuk parut.5,10

Masa tunasnya 7 – 12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru

yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi

berlangsung kira-kira 1 – 2 minggu. Disamping gejala kulit, dapat juga dijumpai

pembesaran kelenjar getah bening regional. Pada susunan saraf tepi jarang timbul

kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat, kelainan motorik lebih sering

terjadi. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas.5

Periode inkubasi virus varisela zoster adalah selama 14 hari (rata-rata 10-23 hari).

1. Gejala prodromal

Gejala prodromal yang timbul antara lain: demam, anoreksia, dan

kelesuan, meskipun gejalanya biasanya ringan dan bisa saja tidak berhubungan

dengan gejala klasik pada zoster. Zoster dapat muncul dengan respon sistemik,

misalnya Gejalanya meliputi fenomena sensoris yang menyerang 1 atau lebih

dermatom kulit pada hari 1-10, yang biasanya berupa nyeri atau parestesi

meskipun jarang terjadi. Nyeri prodormal dapat menstimulasi timbulnya sakit

kepala, iritis, neuritis brakhialis, nyeri kardiak, apendisitis atau penyakit

Page 7: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

intraabdomen lainnya yang dapat menyulitkan diagnosis. Setelah timbulnya onset

gejala prodormal, gejala dan tanda yang akan terjadi selanjutnya meliputi:

Patch eritem yang disertai indurasi, yang mengenai area dermatom yang

terlibat.

Limfadenopati regional bisa terjadi pada stadium ini atau sesudahnya.

Lesi yang timbul pada kulit biasanya bersifat unilateral dan alasannya

belum diketahui. (Straus, 2008)Area yang diinervasi oleh saraf trigeminal, khususnya divisi optalmik dan

trunkus dari T3-L2 adalah area yang paling sering terkena, lesi jarang terjadi pada

area distal dari siku dan lutut. Meskipun lesi individual antara varisela dengan

herpes zoster sulit dibedakan, dimana herpes zoster cenderung berkembang lebih

lambat dan biasanya terdiri dari vesikel dengan dasar eritem. Lesi herpes zoster

diawali dengan makula dan papul eritem yang pertama kali muncul di cabang

supervisial dari saraf sensoris yang terkena. Vesikel terbentuk dalam 12-24 jam

dan berubah menjadi pustul setelah 3 hari. Dan kemudian mengering dan menjadi

krusta dalam 7-10 hari. Krusta biasanya bertahan selama 2-3 minggu. Pada

individu normal, lesi baru akan muncul dalam 1-4 hari. Ruam akan lebih parah

pada orang berusia tua dan timbul dalam durasi yang singkat pada anak-anak.

(Johnson et al, 2009)

Zoster juga dapat melibatkan sistem motorik. Hal ini terjadi pada 5% kasus

dan umumnya terjadi pada pasien berusia tua dan menderita suatu penyakit

keganasan, dan pada pasien dengan penekanan kranial yang melibatkan saraf

spinal. Kelemahan motorik biasanya diikuti dengan nyeri dan erupsi, mulai dari

beberapa hari sampai dengan beberapa minggu. Penyembuhan secara sempurna

diperkirakan sebesar 55% dan dan akan mengalami peningkatan di masa yang

akan datang sebesar 30%. Hernia abdominalis pada terjadi pada zoster yang

melibatkan area motorik T10-T11. Zoster pada area anogenital berhubungan

dengan gangguan defekasi dan urinasi.(James et al, 2006)

Berdasarkan lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:

1. Herpes zoster ophtalmikus

Page 8: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Herpes zoster ophtalmikus merupkan infeksi virus herpes zoster yang

mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang

ophtalmikus saraf trigeminus, ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai

gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsung 1

– 4 hari sebelum kelainan kulit timbul, fotofobia, banyak keluar air mata,

kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 1. Herpes zoster opthalmikus sinistra

2. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai

erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra

3. Herpes zoster brakialis

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Page 9: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra

4. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra

5. Herpes zoster lumbalis

Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

6. Herpes zoster sakralis

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra

3.6 Diagnosis

Page 10: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan

berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya

lesi. Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala prodromal

seperti demam, pusing, dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa

eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikel yang dengan cepat

membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih,

setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika

absorpsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta. Pada stadium pra erupsi,

penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya

pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya.

Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari

erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan

dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.2,3,5

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu

menegakkan diagnosis dengan menemukan sel dantia berinti banyak. Demikian

pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron,

serta tes serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel

limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel

pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi ganglion. Partikel virus dapat

dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat

secara imunofluoresensi.2,8

Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis.

Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang

antara lain: isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan

mikroskop elektron, pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi

dengan mengukur imunoglobulin spesifik.2

3.6.1 Pemeriksaan Laboratorik

Pemeriksaan laboratorik yang dibutuhkan pada kasus herpes zoster antara

lain:

1. Preparat Tzank: Apusan dasar vesikel atau cairan vesikel menunjuukkan

sel yang besar dengan nukleus yang banyak pada sel epidermal.

Page 11: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

2. Kultur virus: dengan mengisolasi virus varisela zoster

3. Direct fluorescence antibody test (DFA), dan atau biopsi kulit dapat

membantu menegakkan diagnosis pada kasus yang atipikal. Tes DFA lebih

sensitif dibandingkan kultur virus konvensional karena labilitas VZV.

Zoster memiliki kecenderungan 7 kali lebih besar pada pasien yang

terinfeksi HIV. Jadi, jika ada indikasi klinis HIV pada pasien, lakukan tes

HIV. Penelitian pada populasi rumah sakit menunjukkan adanya

peningkatan insiden zoster pada pasien dengan kanker, khususnya yang

menyerang sistem limforetikuler. Meskipun demikian, studi prospektif

pada pasien yang tidak dirawat di RS tidak menunjukkan perbedaan dalam

insiden antara pasien dengan keganasan dengan pasien tanpa menderita

penyakit keganasan. (Straus et al, 2008)3.6.2 Pemeriksaan Histologi

Diagnosis klinis hampir selalu dapat ditegakkan. Biopsi diindikasikan

untuk kasus yang sulit untuk didiagnosis. Pada kesempatan yang jarang dimana

biopsi dibutuhkan, gambaran histologi yang ditemukan mirip dengan herpes

simplek dan varisela (chickenpox). Degenerasi yang menggelembung (menyerupai

balon) dan akantolisis dari keratinosit menghasilkan timbulnya vesikel

intraepidermal. Multinucleated gient cell dengan materi nuklear pada perifer

adalah ciri khasnya. Dengan vaskulitis leukositoklastik yang mendasari dapat

membantu dalam membedakan zoster dari infeksi herpetik lainnya. (Straus et al, 2008)

Pada herpes zoster stadium akut, terjadi inflamsi pada kulit serta serabut saraf ganglion dorsal. Inflamasi pada serabut saraf perifer terjadi selama seminggu sampai sebulan dan biasanya menyebabkan demielinisasi, degenerasi wallerian , dan sclerosis. Pada akhirnya mungkin menyebabkan parut pada kulit, saraf perifer, dan serabut saraf ganglion dorsal. Perubahan patologis juga terlihat pada system saraf pusat, yaitu degenerasi akut pada dorsal-horn tulang belakang, unilateral dan segmental myelitis leptomeningitis, dan keterlibatan segmen tulang belakang pada tingkat berdekatan dengan lesi kulit yang

Page 12: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

terkena. Pada pasien yang telah terkena herpes zoster, atropi dorsal-horn biasanya ditemukan pada autopsi pasien yang mengalami neuralgia pascaherpetik.(Kost et al, 1996).2.7 Diagnosis Banding

1. Herpes Simplek

Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di

atas dasar kulit yang eritema. Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh

rasa gatal atau seperti terbakar yang terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah

kulit. Herpes simplek terdiri atas 2 tipe yaitu herpes simplek tipe 1 dan tipe 2.

Lesi yang disebabkan oleh herpes simplek tipe 1 biasanya ditemukan pada

bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi penyakit yang

disebabkan oleh herpes simplek tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat,

terutama di sekitar alat genitalia eksterna. Biasanya penyakit ini cenderung

residif di tempat yang sama.5

2. Varisela

Herpes zoster diseminata mungkin dapat dikelirukan dengan varisela ketika

terjadi diseminasi atau penyebaran yang luas dari virus herpes zoster dari area

yang sempit dan tidak terlalu nyeri atau dari ganglion sensoris yang terkena

tetapi tidak menimbulkan erupsi kulit.2

3 Pada nyeri yang merupakan gejala prodromal lokal sering salah diagnosis

dengan penyakit rematik maupun dengan angina pectoris, jika terdapat di

daerah setinggi jantung.5

Diagnosis banding pada herpes zoster dapat dibagi berdasarkan 2 gejala klinis :

1. Stadium prodormal/nyeri lokal: Nyeri prodormal herpes zoster dapat mirip

seperti gejala migren, penyakit kardiak atau paru, abdomen akut, atau

penyakit yang menyerang vertebra.

2. Erupsi dermatom: infeksi zoster bentuk lain seperti herpes zoster, alergi

tumbuh-tumbuhan, dermatitis kontak, impetigo bulosa, erisipelas.(Hefta et

al, 1997)

3.8 Komplikasi

Page 13: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Penyakit herpes zoster dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Secara

garis besar, komplikasi herpes zoster antara lain komplikasi neurologis, kutaneus,

okuler, dan visceral. Kebanyakan komplikasi herpes zoster dikaitkan dengan

penyebaran virus herpes zoster dari ganglion sensoris, saraf, atau kulit baik

melalui aliran darah atau dengan penyebaran neural langsung.2,5

Neuralgia paska herpetik

Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas

penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai

beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun,

persentasenya 10 – 15% dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur

penderita maka semakin tinggi persentasenya.2,5

Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.

Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau

berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan

jaringan nekrotik.5

Kelainan pada mata

Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis

paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, dan neuritis optik.5

Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus,

sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit

yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,

nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.2

Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1 - 5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan

virus secara kontinutatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan.

Paralisis ini biasanya muncul dalam dua minggu sejak munculnya lesi. Berbagai

paralisis dapat terjadi di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika

urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.5

3.9 Pengobatan

Page 14: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Penatalaksaan herpes zoster secara garis besarnya bertujuan untuk mengatasi

infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster,

mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.2

Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan

kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan

defisiensi imun.Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan

pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan

badan.2

Pengobatan Khusus

I. Sistemik

1. Obat antivirus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya

valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA

polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan per oral ataupun

intravena. Asiklovir hendaknya diberikan pada tiga hari pertama sejak lesi

muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari

selama tujuh hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan

pada pasien yang imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum

obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah

valasiklovir. Valasiklovvir diberikan 3x1000 mg per hari selama tujuh

hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga

dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA

polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama tujuh hari.2,5

Untuk individu yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya reaktivasi

infeksi VZV, acyclovir oral dapat menurunkan insiden herpes zoster. Untuk

vesikel yang masih aktif, diberikan pengobatan antiviral yang dimulai

kurang dari 72 jam yang akan mempercepat penyembuhan lesi kulit,

mengurangi durasi nyeri akut dan mengurangi frekuensi PHN. (Hefta et al,

1997)

Pada infeksi primer: Acyclovir topikal-obat yang menghambat

polimerase DNA virus herpes efektif hanya pada durasi singkat dari

Page 15: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

penyakit, obat ini harus diberikan sesegera mungkin pada pasien yang

mulai menunjukkan gejala. Steroid (prednisolon 40-60 mg/hari)

diberikan selama stadium akut dari herpes zoster dan mengurangi nyeri

dan postherapetic neuralgia.

Pada infeksi sekunder: diberikan 1/1000 potassium permanganate atau

topikal atau antibiotik sistemik.( Buxton et al, 2003)2. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh

virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat.

Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak tiga kali,

atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul. Untuk neuralgia

paska herpetik belum ada obat pilihan, dapat dicoba dengan akupungtur.

Obat yang direkomendasikan diantaranya gabapentin dosisnya 1800 mg –

2400 mg sehari. Mula-mula dosis rendah kemudian dinaikkan secara

bertahap untuk menghindari efek samping berupa nyeri kepala dan rasa

melayang. Hari pertama dosisnya 300 mg/hari diberikan sebelum tidur,

setiap tiga hari dosis dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai dosis

1800 mg/hari.5

3. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk sindrom ramsay hunt.

Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis.

Yang biasa diberikan ialah prednisone dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah

seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednisone

setinggi itu, imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan

obatt antivirus.5

II. Topikal

Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel

diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel

agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka.

Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salap antibiotik.5

3.10 Pencegahan

Page 16: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Pencegahan meliputi mencegah infeksi primer (varisela) dengan

memberikan vaksin varisela kepada anak-anak atau dewasa yang rentan terinfeksi

virus ini. Seseorang dengan usia ≥ 60 tahun hendaknya mendapat vaksin zoster

dosis tunggal (sediaan vaksin varisela yang poten), tanpa memperhatikan apakah

sebelumnya seseorang sudah pernah menderita zoster atau belum. Pemberian

vaksin dikatakan dapat menurunkan insiden zoster.8

3.11 Prognosis

Umumnya prognosis baik, walaupun kemungkinan terjadi neuralgia post

herpetik dapat membuat pasien tidak nyaman dan mengurangi kualitas hidup

penderita. Pada herpes zoster ophtalmikus, prognosis bergantung pada tindakan

perawatan secara dini.3,5

3.12 Neuralgia Pasca Herpetika

Neuralgia pascaherpetik adalah komplikasi paling umum dan menakutkan

pada herpes zoster, serta merupakan penyakit neurologis yang paling umum di

Amerika Serikat. Data dari Varicella Zoster Virus Research Foundation di New

York menunjukkan bahwa herpes zoster terjadi pada 850.000 orang di Amerika

setiap tahunnya. Neuralgia pascaherpetik didefinisikan sebagai nyeri persisten

yang terjadi satu bulan setelah penyembuhan ruam hepatic, yang terjadi pada

sekitar sepuluh persen pasien dengan herpes zoster (Watson, 2000)

Neuralgia pascaherpetik ditandai dengan nyeri yang terjadi secara spontan,

dimana nyeri diprovokasi oleh rangsangan yang ringan, dan nyeri ini terjadi lama

setelah penyembuhan ruam herpetik. Banyak pendekatan telah diusulkan untuk

mengobati rasa sakit pada masa akut penyakit ini untuk menghindari

berkembangnya nyeri menjadi neuralgia pascaherpetik dan untuk meringankan

gejala pada neuralgia ini. Namun hanya sedikit dari pendekatan ini yang terbukti

bermanfaat, dan neuralgia pascaherpetik pun masih menjadi sumber frustasi bagi

pasien ataupun klinisi. Pada penulisan refrat kali ini, akan dijelaskan mengenai

patogenesis neuralgia pascaherpetik serta perkembangan dalam pengobatannya

(Kost et al, 1996)

Epidemiologi

Page 17: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

Resiko terkena neuralgia pascaherpetik meningkat sesuai dengan

meningkatnya umur. Sedikit sekali anak-anak yang terkena neuralgia

pascaherpetik, sedangkan berturut-turut 27, 47, dan 73 persen peningkatan angka

kejadian neuralgia pascaherpetik pada orang dewasa diatas 55, 60, dan 70 tahun.

Begitu pula dengan lamanya nyeri yang terjadi pada pasien neuralgia

pascaherpetic terjadi peningkatan sesuai dengan peningkatan umur. Nyeri yang

berlangsung lebih dari satu tahun dilaporkan terjadi 4 persen pada penderita usia

diatas 20 tahun, 22 persen pada penderita diatas 22 tahun, dan 48 persen pada usia

diatas 70 tahun. Angka kejadian neuralgia pasca hepertik juga meningkat pada

pasien dengan optalmik zoster dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan

laki-laki.(Watson et al, 2000)

Patogenesa

Rusaknya saraf pada ganglion dan saraf perifer sangat penting dalam patogenesis

dari neuralgia pascaherpetik. Kerusakan saraf afferent primer dapat menyebabkan

saraf ini hipersensitivitas dan aktif secara spontan terhadap rangsangan perifer.

Dimana secara klinis mekanisme ini berakhir pada allodynia (Nyeri ataupun

sensasi yang tidak menyenagkan yang terjadi oleh rangasangan normal yang tidak

menyakitkan).(Straus et al, 2008)Fungsi normal sensoris tubuh mengalami perubahan pada pasien dengan

neuralgia pascaherpetik. Dalam salah satu studi dikatakan hampir semua pasien

memiliki daerah bekas luka yang insensitive untuk nyeri, dengan sensasi yang

abnormal terhadap sentuhan ringan ataupun perubahan suhu pada dermatom yang

terkena. Nyeri umumnya dipengaruhi oleh gerakan (allodynia mekanis) atau

perubahan suhu (allodynia hangat ataupun dingin). (Kost et al, 1996)

Rasa nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia

pascaherpetik bersifat neuropatik dan merupakan hasil dari cedera yang terjadi

pada susunan saraf tepi dan perubahan pada penghantaran sinyal pada sistem saraf

pusat. Akibat cidera yang terjadi, sususan saraf yang terkena dapat teraktivasi

secara spontan, serta memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah dan

memberikan tanggapan yang berlebihan terhadap suatu rangsangan. Peubahan-

perubahan yang terjadi ini begitu rumit sehingga tidak ada pendekatan terapi

tunggal untuk menagani kelainan ini.(Kost et al, 1996)

Page 18: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

E. Gejala Klinis

Kelanjutan dari zoster yang paling sering adalah post-herpetic neuralgia

(PHN) secara umum didefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang

selama lebih dari 1 bulan setelah onset zoster. Ini jarang terjadi pada anak-anak

dan insidennya meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini terjadi pada sekitar

30% pasien yang usianya di atas 40 tahun dan lebih sering terjadi dengan

keterlibatan saraf trigeminal. Nyeri tersebut memiliki 2 bentuk, yaitu nyeri seperti

terbakar yang terus menerus disertai hiperestesi dan tipe spasmodik yang timbul

tiba-tiba. Allodinia, nyeri yang secara normal disebabkan oleh stimulus nyeri

sering merupakan gejala tambahan yang terjadi pada 90% orang dengan PHN.

(James et al, 2006)

Diagnosis

Untuk menegakkan neuralgia pascaherpetik bila didapatkan sebagai nyeri

yang menetap atau berulang selama lebih dari 1 bulan setelah onset zoster. (James

et al, 2006)

Penatalaksanaan

Saat pertama kasi didiagnosis, neuralgia pascaherpetik sulit untuk diobati.

Untungnya, penyakit ini dapat sembuh sendiri pada beberapa pasien, walaupun

penyembuhan terjadi setelah beberapa bulan.

A. Pengobatan Topikal

Topikal anestesi menggunakan lidocaine 5% secara signifikan

menunjukkan pengurangan rasa nyeri pada neuralgia pascaherpetik pada suatu uji

klinis terkontrol. Dengan menggunakan koyo berukuran 10cm x 14cm yang

mengandung lidocaine 5% sebagai bahan dasar, perekat ,dan bahan-bahan polister

sebagai tambahan sehingga mudah digunakan dan tidak mengakibatkan efek

samping dari lidocaine. Koyo ini dapat digunakan sampai tiga lembaran koyo

untuk menutupi daerah yang terasa nyeri selama 12 jam perhari. Kerugian

penggunaan koyo ini terdapat pada daerah yang ditutupi, seperti kemerahan

ataupun ruam pada kulit, serta membutuhkan biaya yang besar. (Straus et al, 2008)

Capsaicin dalam dosis tinggi dapat menghilangkan zat P, yaitu suatu

neurotransmitter yang berfungsi sebagai kemomediator antara impuls dari

Page 19: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

nosireseptor di perifer ke sistem saraf pusat. Pada suatu uji klinis penggunaan

capsaicin topical dalamwaktu 4 minggu menunjukkan efek yang signifikan dalam

meredakan nyeri pada pasien neuralgia pascaherpetik, dimana 75 persen patien

menunjukkan penyembuhan rasa nyeri. Sayangnya obat salep ini banyak

menyebabkan luka bakar pada banyak pasien. (Kost et al, 1996)

B. Pengobatan Sistemik

Gabapentin menunjukkan angka yang signifikan dalam menurunkan gejala

nyeri pada neuralgia pascaherpetik, yaitu menghilangkan gejala pada 41-43 persen

pasien dengan neuralgia pascaherpetic berbanding 12 – 23 persen pasien yang

menggunakan placebo. Efek samping yang paling sering pada Gabapentin yaitu

somnolen, pusing, dan edema perifer.

Pregabalin menunjukkan dapat menghilangkan gejala pada 50 persen

pasien yang menggunakannya berbanding dengan 20 persen pada placebo. Pusing,

somnolen, dan edema perifer merupakan efek samping utama penggunaan obat

ini, namun pregabalin memiliki komplikasi yang lebih minimal dan onset kerja

yang lebih cepat dibandingkan dengan gabapentin. (Straus et al, 2008)Tricyclic antidepressant merupakan komponen penting dalam pengobatan

neuralgia pascaherpetik. Karena kemampuanya menghambat pengambilan

kembali norepinephrine dan serotonin, obat ini menurunkan nyeri dengan

meningkatkan penghambatan pada serabut saraf spinal pada persepsi rasa nyeri.

Pada lima uji klini penggunaan tricycclic antidepressant untuk pengobatan

neuralgia pascaherpetik dilaporkan menurunkan sampai menghilangkan rasa nyeri

pada 47 sampai 67 persen pasien dengan neuralgia pascaherpetik. Nortripytyline

dan desipramine adalah obet alternative untuk amitriptyline karena memiliki efek

samping yang lebih minimal.(Kost et al,1996)

Dalam suatu uji klinis, desipramine yang merupakan selective inhibitor of

norepinephrine reuptake juga dilaporkan secara signifikan mengurangi rasa sakit

pada pasien neuralgia pasca herpetic pada pemberian selama tiga sampai enam

minggu. Namun obat ini belum dibandingkan dengan amitriptyline.(Kost et

al,1996)

Obat-obat antikonvulsan dapat menurunkan nyeri pedih pada komponen

nyeri neuropatik. Dalam sebuah studi terkontrol, sebagian besar pasien yang

Page 20: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

diobati dengan fenitoin dan natrium valproat melaporkan penurunan gejala nyeri

neuralgia pascaherpetik. Dalam studi double-blind terkontrol, karbamazepin

dilaporkan dapat mengurangi nyeri pedih tetapi tidak efektif untuk sakit yang

terus menerus.(Kost et al,1996)

3. Intervensi Nonpharmacologi

Prosedur pembedahan saraf merupakan jalan terakhir yang dapat diambil

dalam pengobatan neuralgia pascaherpetik dengan nyeri yang tidak tertahankan.

Dalam suatu penelitian kecil dinyatakan pemberian stimulasi listrik pada

cordotomy thalamus dan anterolateral yang dimaksudkan untuk mengganggu jalur

spinotalamikus dapat menurunkan nyeri pada pasien dengan neuralgia

pascaherpetik.

Elektrokoagulasi pada cabang saraf dorsal pada daerah yang terkena

pernah dilakukan, namun teknik ini memiliki resiko besar karena dapat

menyebabkan hemiparese berkepanjangan dan defisit sensorik sehingga

konsensus baru-baru ini tidak menganjurkan penggunaan teknik ini.

Data dari sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa etil klorida semprot

yang dengan cepat dapat menguap dan menyebabkan sensasi beku serta

memberikan stimulasi listrik pada saraf dikatakan dapat menghilangkan rasa sakit

pada beberapa pasien neuralgia pascaherpetik. (Kost et al, 1996)

Pada suatu penelitian uji klinis terkontrol penggunaan intratektal

methylprednisolone-lidokain dilaporkan memberikan efek yang sangat baik dalam

menurunkan rasa nyeri pada neuralgia pascaherperik yaitu sebesar 90 persen

pasien, hal ini berbading dengan 6 persen pada pasien yang hanya mendapatkan

lidokain intratektal. Pada kelompok yang mendapatkan metilprednisolon-lidokain

intratektal jugamenunjukkan perbaikan akan allodynia yang dialaminya yaitu

sebesar 70 persen, berbanding dengan 25 persen pada pasien yang hanya

mendapatkan lidokain intratektal. Dasar dari penelitian ini didasarkan pada proses

inflamasi yang terjadi pada pasien neuralgia pascaherpetik.

DAFTAR PUSTAKA

Page 21: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

1. Davis, C. Shingles [homepage on internet]. c2011 [cited 2011 July 11].

Available from http://www.emedicinehealth.com/shingles/article_em.htm.

Accessed August 22, 2011

2. Straus S, et all. Varicella and Herpes Zoster. In: Freedberg I, Eisen A,

Wolff K, Austen F, Goldsmith L, Katz S (eds). Fitzpatrick’s Dermatology

In General Medicine. 6th ed New York: McGraw-Hill Professional; 2003.

p. 221

3. Eastern J. Herpes Zoster [homepage on internet]. c2011 [cited 2011 May

11]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/1132465-

overview#a0199. Accessed August 22, 2011

4. Centers for Diseases Control and Prevention. Shingles (Herpes Zoster)

[homepage on internet]. No date [cited 2011 January 10]. Available from

http://www.cdc.gov/shingles/about/overview.html. Accessed August 22,

2011

5. Handoko P. Penyakit Virus. Dalam: Djuanda A, hamzah M, Aisah S

(editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal.110-112

6. Tseng H, et all. Herpes Zoster Vaccine in Older Adults and the Risk of

Subsequent Herpes Zoster Disease. JAMA. 2011; 305(2): 160-166

7. Oxman MN: Imunization to reduce the frequency and severity of herpes

zoster and its complications. Neurology. 1995. 45: 541

8. Kaye K. Herpes Zoster [homepage on internet]. No date [cited 2009

December]. Available from

http://www.merckmanuals.com/professional/sec15/ch200/ ch200e.htm

Accessed August 22, 2011

9. Lubis R. Varicella dan Herpes Zoster. Medan: Fakultas Kedokteran

Sumatera Utara; 2008. Hal. 1-13

10. Brooks G, Butel J, Morse S. Herpesvirus. 22nd ed New York: McGraw-

Hill; 2001. p. 81-111

11. Burns,Tony. 2004. Rook’s textbook of Dermatology, 7th edition. Chapter

25. USA:25.25

Page 22: Makalah Herpes Zoster kedokteran keluarga

12. Buxton, Paul K. . ABC of Dermatology, 4th edition. London: 92.

13. Hefta, Joseph& Robert Laffler. 1997. Color Atlas and Synopsis of

Clinical Dermatology, 3th edition . United State of America:1616.14. James WD, Berger TG, Elston DM. 2006. Andrew’s Diseases of Skin, 10th

edition. Chapter 19.Canada: 379.

15. Johnson RA, Klaus W. 2009. Fitzpatrick In colour atlas and synopsis of

clinical dermatology, 6th ed. New York (NY): McGraw-Hill Companies:

837–45.

16. Kotani N, Kushikata T, Hashimoto H, Kimura F, Muraoka M, Yadono M,

et al. 2000. Intrathecal Methylprednisolone for intractable postherpetic

neuralgia. The New England Journal of Medicine.

17. Kost RG, Straus SE. 1996. Postherpetic Neuralgia Pathogenesis,

Treatment, and Prevention. The New England Journal of Medicine.

18. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. 2008. Varicella and Herpes Zoster. Didalam Fitzpatrick Dermatology in General Medicine, 7th edition. Chapter 194.USA:1885

19. Taylor & Francis. 2006. Atlas of Women’s Dermatology, 1st edition.

United Kingom:166.

20. Watson CPN. 2000. A New Treatment for Postherpetic Neuralgia. The

New England Journal of Medicine.