41
BAB I PENDAHULUAN Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan ginekologi adalah masalah perdarahan. Walaupun angka kematian maternal telah menurun secara dramati dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dan perawatan kehamilan dan persalinan di rumah sakit dan adanya fasilitas transfusi darah, namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap merupakan faktor utama dalam kematian maternal. 1 Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau jika komponennya tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana dan perawatan sarana yang 1

MAKALAH HPP SHINTA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAKALAH HPP SHINTA

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan ginekologi adalah

masalah perdarahan. Walaupun angka kematian maternal telah menurun secara

dramati dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dan perawatan kehamilan dan

persalinan di rumah sakit dan adanya fasilitas transfusi darah, namun kematian ibu

akibat perdarahan masih tetap merupakan faktor utama dalam kematian maternal.1

Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu

maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau jika

komponennya tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana dan

perawatan sarana yang memungkinkan penggunaan darah dengan segera, merupakan

kebutuhan mutlak untuk pelayanan obstetri yang layak. 2

Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan,

persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi dalam

masa kehamilan, persalinan dan nifas harus dianggap sebagai suatu keadaan akut dan

serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin. Setiap wanita hamil, dan nifas

yang mengalami perdarahan, harus segera dirawat dan ditentukan penyebabnya,

untuk selanjutnya dapat diberi pertolongan dengan tepat. 3

1

Page 2: MAKALAH HPP SHINTA

Diperkirakan ada 14 juta kasus pendarahan dalam kehamilan setiap

tahunnya;paling sedikit 128.000 perempuan mengalami pendarahan sampai

meninggal. Pendarahan Postpartum merupakan pendarahan yang paling banyak

menyebabkan kematian ibu. Lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi

dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, sebagian besar karena terlalu banyak

mengeluarkan darah. Walaupun seorang perempuan dapat bertahan hidup setelah

mengalami pendarahan Postpartum, namun ia akan menderita akibat kekurangan

darah yang berat (anemia berat) dan mengalami mengalami masalah kesehatan yang

berkepanjangan. Oleh sebab itu, diperlukan tndakan yang tepat dan cepat dalam

mengatasi pendarahan Postpartum.

Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk memberikan

pengetahuan mengenai pendarahan postpartum yang terutama diakibatkan oleh atonia

uteri sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat pendarahan

postpartum.

2

Page 3: MAKALAH HPP SHINTA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pendarahan Postpartum (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500 ml

atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu

(40%-60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan Postpartum dapat

disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, inversio uteri, laserasi

jalan lahir dan gangguan pembekuan darah. 1

B. Epidemiologi

Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-

8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang

berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan

untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan. 4,5

Di negara kurang berkembang, pendarahan postpartum merupakan penyebab

utama dari kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang

memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.

Perdarahan pada saat persalinan dan Postpartum dini merupakan salah satu

penyebab kematian ibu, demikian juga di Indonesia perdarahan merupakan penyebab

3

Page 4: MAKALAH HPP SHINTA

utama kematian ibu disamping eklamsi dan sepsis. Angka Kematian Ibu (AKI)

menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2002-2003

sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, angka ini masih jauh dengan target yang

ingin dicapai secara nasional di tahun 2010 yaitu 125 per 100.000 kelahiran hidup.6

Di Indonesia AKI masih tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain yakni

Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina maka Indonesia menempati urutan

pertama karena AKI mencapai angka 307 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan di

negara-negara maju kematian ibu berkisar antara 5 – 10 per 100.000 kelahiran hidup.

Salah satu penyebab utama kematian ibu antara lain karena perdarahan yaitu

mencapai 30 % - 35 %.7,8

C. Klasifikasi Klinis

1. Perdarahan Postpartum Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan

Postpartum Primer, atau Perdarahan Postpartum Segera). Perdarahan Postpartum

primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan Postpartum

primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan

inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.9,10

2. Perdarahan masa nifas (Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan

Postpartum Lambat, atau Late PPH). Perdarahan postpartum sekunder terjadi

setelah 24 jam pertama dan 6 minggu setelah anak lahir. Perdarahan Postpartum

sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau

sisa plasenta yang tertinggal. 9,10

4

Page 5: MAKALAH HPP SHINTA

D. Manifestasi Klinis

Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi

lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu

penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas

dingin, dan lain-lain. Penderita tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum

ia tampak pucat bila pendarahan tersebut sedikit dalam waktu yang lama. Pada kasus

pendarahan postpartum akibat atonia uteri maka didapatkan uterus tidak berkontraksi

dan teraba lembek pada palpasi. Selain itu, perdarahan juga muncul segera setelah

anak lahir. 7

Tabel 1. Penilaian Kllinik Derajat Syok 11

E. Diagnosis

Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir

biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir,

5

Page 6: MAKALAH HPP SHINTA

biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan palpasi

uterus ; fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik.12

Sisa plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri dapat diketahui dengan

memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau tidak kemudian eksplorasi kavum

uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban, atau plasenta suksenturiata (anak

plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk mengetahui apakan ada

robekan rahum. Laserasi (robekan) serviks dan vagina dapat diketahui dengan

inspekulo. Diagnosis pendarahan Postpartum juga memerlukan pemeriksaan

laboratorium antara lain pemeriksaan Hb, COT (Clot Observation Test), kadar

fibrinogen, dan lain-lain. 13

Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan postpartum :9

1. Perdarahan postpartum dan usia ibu

Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35

tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum yang dapat

mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun

fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan

pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami

penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk

terjadinya komplikasi postpartum terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan

postpartum yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang

6

Page 7: MAKALAH HPP SHINTA

melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan

postpartum yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan postpartum meningkat

kembali setelah usia 30-35tahun. 9

2. Perdarahan postpartum dan gravida

Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida

mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan postpartum

dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama

kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan

sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum menjadi lebih besar. 9

3. Perdarahan postpartum dan paritas

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan

postpartum yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas

tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan postpartum lebih

tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi

persalinan yang pertama merupakan factor penyebab ketidakmampuan ibu hamil

dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. 9

4. Perdarahan postpartum dan Antenatal Care

Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan

mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka

morbiditas dan mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan. Pemeriksaan antenatal

yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama

7

Page 8: MAKALAH HPP SHINTA

perdarahan yang selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan

kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya

antenatal care tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan

ditanggulangi dengan cepat. 9

5. Perdarahan postpartum dan kadar hemoglobin

Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin

dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%.

Perdarahan postpartum mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih,

dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat akan

mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal. 9

F. Atonia Uteri Sebagai Penyebab Pendarahan Postpartum

1. Definisi

Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah

persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak

mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Atonia merupakan penyebab

tersering perdarahan postpartum; sekurang-kuranya 2/3 dari semua perdarahan

postpartum disebabkan oleh atonia uteri. 14

Pada keadaan normal, uterus yang kuat atau berkontraksi tidak akan

mengalami perdarahan setelah melahirkan. Pendarahan postpartum dapat

dikendalikan melalui kontraksi serat-serat myometrium. Kontraksi dan retraksi ini

menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat

8

Page 9: MAKALAH HPP SHINTA

plasenta terhenti. Sehingga dengan kata lain, Atonia uteri adalah gagalnya uterus

untuk mempertahankn kontraksi dan retraksi normalnya. Akibat dari atonia uteri ini

adalah terjadinya pendarahan. 9

2. Patofisiologi

Jika dilihat dari sudut mekanisme pendarahan, maka pendarahan pada suatu

tempat di tubuh baru terjadi jika keutuhan pembuluh darah terganggu/terluka dan

mekanisme pembekuan darah tidak mampu membendungnya. 9,10

Perdarahan pada atonia uteri umumnya berasal dari pembuluh darah yang

terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas

keseluruhan. Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan

bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan pendarahan

Postpartum. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh

pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga

tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan

adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit

pembuluh darah. 9,10

9

Page 10: MAKALAH HPP SHINTA

Gambar 1. Perbandingan Uterus Normal Dengan Atonia Uteri 15

Pada atonia uteri , uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik. Hal ini terjadi

karena proses persalinan yang lama sehingga menyebabkan kelelahan, peregangan

Rahim yang berlebihan karena kehamilan ganda, janin besar, kelaianan uterus karena

mioma uteri, factor sosioekonomi yaitu malnutrisi dan sering dijumpai pada

multipara dan grande multipara, anemia berat, penggunaan oksitosin yang berlebihan

dalam persalinan. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganaan kala III

persalinan. Akibatnya ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan

menyebabkan terjadinya pendarahan Postpartum. 9,10

Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari pendarahan Postpartum.

Sekitar 50-60% pendarahan Postpartum disebabkan oleh atonia uteri.

10

Page 11: MAKALAH HPP SHINTA

3. Faktor Predisposisi

Faktor-faktor predisposisi atonia uteri antara lain :

a. Grandemultipara

b. Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak sangat besar

(BB > 4000 gram)

c. Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi)

d. Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan antepartum)

e. Partus lama (exhausted mother)

f. Partus precipitatus

g. Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis)

h. Infeksi uterus

i. Anemi berat

j. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus)

k. Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat plasenta manual

l. Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-

dorong uterus sebelum plasenta terlepas

m. IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban (koagulopati)

n. Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu dalam.

G. Faktor Risiko Pendarahan Postpartum

11

Page 12: MAKALAH HPP SHINTA

Upaya penanganan perdarahan postpartum disebabkan atonia uteri, harus

dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi yang berisiko terjadinya atonia

uteri. Kondisi ini mencakup: 14,16

1. Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal seperti

pada:

a. Polihidramnion

b. Kehamilan kembar

c. Makrosomi

2. Persalinan lama

3. Persalinan terlalu cepat

4. Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin

5. Infeksi intrapartum

6. Paritas tinggi

Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko ini,

maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya

atoni uteri postpartum. Meskipun demikian, 20% atoni uteri postpartum dapat terjadi

pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini. Adalah penting bagi semua penolong

persalinan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan awal

terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan.14

H. Pencegahan Atonia Uteri

12

Page 13: MAKALAH HPP SHINTA

Langkah berikut merupakan upaya dalam mencegah atonia uteri yang

dilakukan dengan tindakan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu:9

1. Menyuntikan Oksitosin9

a. Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.

b. Menyuntikan Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha

kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk

memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah.

2. Peregangan Tali Pusat Terkendali 9

a. Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva

atau menggulung tali pusat

b. Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus,

sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau

kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva

c. Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan

sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-

kranial

3. Mengeluarkan plasenta9

a. Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat bertambah

panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran

sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah bahwa

13

Page 14: MAKALAH HPP SHINTA

kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak

pada vulva.

b. Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan

kembali klem hingga berjarak ± 5-10 dari vulva.

c. Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15

menit

d. Suntikan ulang 10 IU Oksitosin i.m

e. Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh

f. Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual

4. Melahirkan plasenta9

Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-

hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan

dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban.

5. Masase Uterus9

Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan

menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri

hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)

6. Pemeriksaan pendarahan9

Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan Postpartum

a. Kelengkapan plasenta dan ketuban

b. Kontraksi uterus

14

Page 15: MAKALAH HPP SHINTA

c. Perlukaan jalan lahir

I. Pencegahan Pendarahan Postpartum

1. Pencegahan Primer

Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin namun sudah

dimulai sejak ibu hamil yaitu dengan cara melakukan antenatal care yang baik.

Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai

kelaianan dini, sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah

dalam pertolongan persalinannya. Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil

paling sedikit 4 kali kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali pada

trimester II dan dua kali pada trimester III. 9

Hal – hal yang harus diawasi pada antenatal care adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan berat badan ibu

b. Pemenuhan nutrisi

c. Fungsi organ-organ tubuh

d. Pertumbuhan dan prkembangan janin

e. Jumlah dan letak janin

f. Persiapan persalinan

g. Keadaan jalan lahir

h. Persiapan laktasi

i. Imunisasi

j. Persiapan psikologis ibu

15

Page 16: MAKALAH HPP SHINTA

Semua ibu hamil harus didorong untuk mempersiapkan kelahiran dan

kesiagaan terhadap komplikasi dan agar melahirkan dengan bantuan seorang bidan,

yang dapat membrikan perawatan pencegahan perdarahan postpartum. Semua ibu

harus dipantau secara dekat setelah melahirkan untuk mengetahui jika ada tanda-

tanda pendarahan yang tidak normal dan para pemberi perawatan harus mampu dan

dapat menjamin akses ke tindakan penyelamatan hidup jika diperlukan. 9

Sebagian besar kasus pendarahan postpartum terjadi selama persalinan kala

III. Untuk itu dilakukan pencegahan dengan manajemen aktif kala III. Manajemen

aktif persalinan kala III terdiri dari intervensi yang direncanakan untuk mempercepat

pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi Rahim dan untuk mencegah

pendarahan postpartum dengan menghindari atonia uteri. 9,16

2. Pencegahan Sekunder

Pada tahap ini diperlukan tindakan diagnosis yang cepat dan tepat mengenai

ada tidaknya pendarahan postpartum beserta penyebabnya. Diagnosis untuk

pendarahan postpartum biasanya tidak sulit karena pendarahan ini biasanya dikenali

dari timbulnya pendarahan yang banyak dalam waktu pendek. 9

Seorang wanita hamil dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total

tanpa mengalami gejala-gejala klinik. Gejala tersebut baru Nampak setelah

pendarahan mencapai 20% yang berlangsung terus menerus sehingga dapat terjadi

syok pada sang ibu. Diagnosis pendarahan postpartum dipermudah apabila tiap-tiap

16

Page 17: MAKALAH HPP SHINTA

persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan

satu jam setelahnya.

Apabila terjadi pendarahan postpartum dan palsenta belum lahir, maka perlu

diusahan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jika plasenta telah lahir,

selanjutnya perlu dibedakan antara pendarahan atonia uteri atau pendarahan akibat

perlukaan jalan lahir. Pada pendarahan atonia uteri, uterus terasa membesar dan

lembek pada palpasi, sedangkan pendarahan karena perlukaan jalan lahir teraba

uterus yang berkontraksi dengan baik.

Dalam hal kontraksi uterus yang baik perlu pula diperiksa dengan seksama

adanya perlukaan jalan lahir dan lokasinya. 17

3. Pencegahan Tersier

Pendarahan postpartum dapat dengan cepat menjadi syok yang dapat

menimbulkan kematian. Oleh karena itu, selama perawatan perlu terus menerus

diadakan pengawasan penderita. Secara berkala dilakukan pengukuran nadi, tekanan

darah, suhu dan pernapasan agar dapat diberikan pertolongan segera sebelum terjadi

syok. 9

J. Penatalaksanaan Perdarahan Postpartum

1. Prinsip Penatalaksanaan

Penanganan perdarahan Postpartum pada prinsipnya adalah menghentikan

perdarahan, cegah/atasi syok, ganti darah yang hilang dengan diberi infus cairan

17

Page 18: MAKALAH HPP SHINTA

(larutan garam fisiologis, plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfuse

darah, kalau perlu oksigen. Walaupun demikian, terapi terbaik adalah pencegahan.

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus kasus yang disangka

akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan

sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan “antenatal

care” yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan post

partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di rumah sakit, diperiksa

kadar fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia

donor darah. Sambil mengawasi persalianan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan

obat-obatan penguat rahim. 18

Anemia dalam kehamilan, harus diobati karena perdarahan dalam batas batas

normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila

sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan post partum, persalinan

harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan

banyak, kematian janin dalam uterus, dan solutio plasenta.

Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta

lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah

perdarahan postpartum . Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskular segera

setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir,

hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-kadang pemberian

ergometrin setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala menyebabkan

18

Page 19: MAKALAH HPP SHINTA

plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir; dengan tekanan pada fundus

uteri, plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun

salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu bayi lahir adalah

terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gameli yang tidak

diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal

yang harus segera dilakukan, yaitu menghentikan perdarahan secepat mungkin dan

mengatasi akibat perdarahan. Tetapi apabila plasenta sudah lahir, perlu ditentukan

apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan

lahir.9

2. Penatalaksanaan Pendarahan Postpartum Akibat Atonia Uteri

Penanganan atonia uteri yaitu : 13

a. Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10 IU s/d 100 IU

dalam 500 ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin I.V, yang dapat diulang 4

jam kemudian, suntikan prostaglandin). 13

b. Kompresi bimanual Interna

19

Page 20: MAKALAH HPP SHINTA

Gambar 2. Kompresi Bimanual Uteri Interna14

Letakan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan untuk

menahan bagian belakang uterus sejauh mungkin. Letakkan tangan yang lain

pada korpus depan dari dalam vagina, kemudian tekan kedua tangan untuk

mengkompresi pembuluh darah di dinding uterus. Amati jumlah darah yang

keluar yang ditampung dalam pan. Jika perdarahan berkurang, teruskan

kompresi, pertahankan hingga uterus dapat berkontraksi atau hingga pasien

sampai di tempat rujukan. Jika tidak berhasil, cobalah mengajarkan pada

keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal sambil penolong

melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksaan atonia uteri. 14

c. Kompresi Bimanual Eksterna

20

Page 21: MAKALAH HPP SHINTA

Gambar 3. Kompresi Bimanual Uteri Eksterna14

Letakkan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan sedapat

mungkin meraba bagian belakang uterus. Letakan tangan yang lain dalam

keadaan terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian rapatkan kedua

tangan untuk menekan pembuluh darah di dinding uterus dengan jalan

menjepit uterus di antara kedua tangan tersebut14

d. Tampon utero-vaginal,

Tampon dilakukan secara lege artis lalu diangkat 24 jam kemudian.

Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena

umumnya dengan dengan usaha-usaha tersebut di atas pendarahan yang

disebabkan oleh atonia uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan

bahwa pemberian tamponade yang dilakukan dengan teknik yang tidak

21

Page 22: MAKALAH HPP SHINTA

sempurna tidak menghindarkan pendarahan dalam uterus dibelakang tampon.

Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi pengeluaran darah dari

sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan tersebut menimbulkan rangsangan

pada myometrium untuk berkontraksi. 14

e. Tindakan operatif

Tindakan operatif dilakukan jika upaya-upaya diatas tidak dapat

menhentikan pendarahan. Tindakan opertif yang dilakukan adalah :

1) Ligasi arteri uterina

2) Ligasi arteri hipogastrika

Tindakan ligasi arteri uterina dan arteri hipogastrika dilakukan untuk

yang masih menginginkan anak. Tindakan yang bersifat sementara untuk

mengurangi perdarahan menunggu tindakan operatif dapat dilakukan metode

Henkel yaitu dengan menjepit cabang arteri uterina melalui vagina, kiri dan

kanan atau kompresi aorta abdominalis.

3) Teknik B-Lynch

Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh

Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk

mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri. 19,20

4) Histerektomi 21

22

Page 23: MAKALAH HPP SHINTA

Gambar 4. Bagan Penatalaksanaan Atonia Uteri14

23

Page 24: MAKALAH HPP SHINTA

K. Komplikasi perdarahan postpartum

Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar

kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan

banyak kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis pada

hipofisisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi pada bagian tersebut. Gejalanya

adalah asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan

kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat alat genital, kehilangan rambut

pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan

fungsi laktasi.8,10

24

Page 25: MAKALAH HPP SHINTA

BAB III

PENUTUP

Perdarahan Postpartum adalah suatu kejadian mendadak dan tidak dapat

diramalkan yang merupakan penyebab kematian ibu di seluruh dunia. Sebab yang

palig umum dari pendarahan Postpartum dini yang berat (yang terjadi dalam 24 jam

setelah melahirkan) adalah atonia uteri (kegagalan rahim untuk berkontraksi

sebagaimana mestinya setelah melahirkan. Seorang ibu dengan pendarahan hebat

akan cepat meninggal jika tidak mendapat perawatan medis yang sesuai, termasuk

pemberian obat-obatan, prosedur klinis sederhana, transfusi darah dan atau operasi.

Semua ibu hamil harus didorong untuk mempersiapkan kehamilan dan kesiagaan

terhadap komplikasi, dan agar melahirkan dengan bantuan seorang dokter atau bidan,

yang dapat memberikan perawatan pencegahan pendarahan Postpartum. Keluarga

dan masyarakat harus mengetahui tanda-tanda bahaya utama, termasuk pendarahan

masa kehamilan. Semua ibu harus dipanatau secara dekat setelah melahirkan terhadap

tanda-tanda pendarahan tidak normal, dan para pemberi perawatan harus dapat dan

mampu menjamin akses ke tindakan penyelamatan hidup bilamana diperlukan.

25

Page 26: MAKALAH HPP SHINTA

DAFTAR PUSTAKA

1. Karlsson, C. Pérez Sanz. Postpartum haemorrhage. An. Sist. Sanit. Navar. 2009;

32 (Supl. 1): 159-167

2. Edwin Chandraharan, Sabaratnam Arulkumaran, Management Algorithm for

Atonic Postpartum Haemorrhage. JPOG May/Jun 2005 p 106-112

3. Fransisca S. Perdarahan post partum. Fak. Kedokteran Univ. Wijaya Kusuma

Surabaya.

4. Alan H. Current Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment, Ninth edition :

Alan H. DeCherney and Lauren Nathan , 2003 by The McGraw-Hill Companies,

Inc.

5. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri William Edisi 18. Jakarta:

EGC, 1995.

6. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga, Eds: Hanifa Wiknjosastro

dkk. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005

7. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2002,

Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR – POGI bekerjasama dengan Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

8. Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga

berencana. Jakarta: EGC, 1998.

26

Page 27: MAKALAH HPP SHINTA

9. Rahmi. Karakteristik Penderita Perdarahan Postpartum Yang Datang ke RSU Dr.

Pringadi Medan Tahun 2004-2008. FKM Universitas Sumatera Utara. 2009 hal

1-99

10. Supono. Ilmu Kebidanan Bab Fisiologi. Palembang: Bagian Departemen Obstetri

dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004.

11. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage,

http://www.emedicine.com

12. Tintinalli JE, Kelen GD, Stapczynski JS. Gynecology and Obstetrics: Post

Partum Hemorrhage. In: Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide.

6th. New York: McGraw Hill; 2004:682.

13. Khoman JS. Pendarahan Hamil Tua dan Pendarahan Post Partum. Cermin Dunia

Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 : 60-63.

14. Depkes RI. Buku acuan: pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar.

Depkes RI: Jakarta, 2007, hal 3-12.

15. Anonymous. Perdarahan Postpartum, part 1. 25 Juli 2007.

http://fkunsri.wordpress.com/2007/07/25/pendarahan-pasca-persalinan-part-1/

16. Anderson JM, Etches D. Prevention and Management of Postpartum

Hemorrhage. Am Fam Physician. 2007 Mar 15;75(6):875-882.

17. World Health Organization (WHO). WHO recommendations for the prevention

of postpartum haemorrhage. Geneva, Switzerland: World Health Organization

(WHO). 2007;116 p.

27

Page 28: MAKALAH HPP SHINTA

18. Drife J. Management of primary postpartum haemorrhage (Commentary). Br J

Obstet Gynaecol 104:275-277, 1997.

19. Goddard R, Stafford M, Smith R. The B-Lynch surgical technique for the control

of massive postpartum haemorrhage: an alternative to hysterectomy? Five cases

reported. (Letter). Br J Obstet Gynaecol 105:125-128, 1998.

20. Koh E, Devendra K, Tan LK. B-Lynch suture for the treatment of uterine atony

Singapore Med J 2009; 50(7) : 693.

21. Collins CD, Jackson JE. Pelvic arterial embolization following hysterectomy and

bilateral internal iliac artery ligation for intractable primary postpartum

haemorrhage. Clin Radiol 50:710-714, 1995.

28