23
TUGAS HUKUM PERIKATAN “KONTRAK” DISUSUN OLEH: 1. Renhard purba (02071001031) 2. SRI ERNI ELIZABETH (02071001175) 3. NOVA HUTABARAT (02071001178) 4. DEVI C. MALAU (02071001078) 5. EMERENCIA RIANTY B. (02071001119) 6. MULAWARMAN TURNIP (02071001116) 7. JONATHAN PURBA (02071001117) 8. FERY ANCIS S. (02071001065) 9. SAOR SANDI TIKANA S. (02071001170) 10. JOHANSEN C. HUTABARAT (02071001141) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA

makalah HUKUM PERIKATAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: makalah HUKUM PERIKATAN

TUGAS HUKUM PERIKATAN

“KONTRAK”

DISUSUN OLEH:

1. Renhard purba (02071001031)

2. SRI ERNI ELIZABETH (02071001175)

3. NOVA HUTABARAT (02071001178)

4. DEVI C. MALAU (02071001078)

5. EMERENCIA RIANTY B. (02071001119)

6. MULAWARMAN TURNIP (02071001116)

7. JONATHAN PURBA (02071001117)

8. FERY ANCIS S. (02071001065)

9. SAOR SANDI TIKANA S. (02071001170)

10. JOHANSEN C. HUTABARAT (02071001141)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDERALAYA

2009

Page 2: makalah HUKUM PERIKATAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Era reformasi telah dimulai sejak tahun 1998 yang lalu. Latar belakang

lahirnya era reformasi adalah tidak berfungsinya roda pemerintahan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang politik, ekonomi, dan

hukum. Maka dengan adanya reformasi, penyelenggaran negara berkeinginan

untuk melakukan perubahan secara radikal (mendasar) dalam ketiga bidang

tersebut.

Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baru dan penegakan hukum (law of enforcement).

Undang-Undang yang dibentuk dan dibuat dalam era reformasi ini, yang paling

dominan adalah Undang-Undang atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan

hukum yang bersifat dasar (basic law) kurang mendapat perhatian. Hal ini tampak

dari kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti Hukum Perdata,

Hukum Dagang, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Kontrak, dan

lainnya. Hukum kontrak kita masih menggunakan peraturan Pemerintah Kolonial

Belanda yang terdapat dalam buku III KUHPerdata. Buku III KUHPerdata

menganut sistem terbuka (open system) artinya bahwa para pihak bebas

mengadakan kontrak dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya,

pelaksanaannya, dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis. Di

samping itu, diperkenankan untuk membuat kontrak baik yang telah dikenal

dalam KUHPerdata maupun di luar KUHPerdata.

Kontrak-kontrak yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti jual beli,

tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang,

pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,

perjanjian untung-untungan, dan perdamaian. Di luar KUHPerdata, kini telah

berkembang berbagai kontrak baru, seperti leasing, beli sewa, franchise, subrogate

mother, production sharing, joint venture, dan lain-lain. Walaupun

Page 3: makalah HUKUM PERIKATAN

kontrak-kontrak itu telah hidup dan berkembang dalam masyarakat, namun

peraturan yang berbentuk Undang-Undang belum ada. Yang ada hanya dalam

bentuk Peraturan Menteri.

Peraturan itu hanya terbatas peraturan yang menangani leasing, sedangkan

kontrak-kontrak yang lain belum mendapat pengaturan yang khusus. Akibat dari

tidak adanya kepastian hukum tentang kontrak tersebut maka akan menimbulkan

persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi para pihak yang

mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya salah satu pihak sering kali membuat

kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya akan menerima kontrak

tersebut karena kondisi sosial ekonomi mereka yang lemah. Untuk itu pada masa

mendatang diperlukan adanya Undang-Undang tentang kontrak yang bersifat

nasional, yang menggantikan peraturan yang lama. Undang-Undang tersebut juga

memberikan kedudukan yang seimbang kepada para pihak dalam memenuhi hak

dan kewajibannya.

Walaupun belum adanya Undang-Undang tentang kontrak yang khusus

dan bersifat nasional maka kajian teoritis maupun empirik dalam proporsal ini

adalah berpedoman dan bertitik tolak pada KUHPerdata, peraturan

perundang-undangan di luar KUH Prerdata, dan berbagai perjanjian internasional

lainnya.

B. PERMASALAHAN

1. Apa yang dimaksud Kontrak serta fungsi dari kontrak?

2. Bagaimana proses dari penyusunan kontrak?

C. TUJUAN

1. Untuk memberikan pemaparan tentang pengertian kontrak dan fungsi kontrak.

2. Untuk mengetahui proses penyusunan kontrak secara benar dan sah menurut

hukum.

Page 4: makalah HUKUM PERIKATAN

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN FUNGSI

Istilah dan Pengertian Kontrak

Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan

dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Pengertian

perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Psal 1313 KUH Perdata

berbunyi : ”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan manasatu pihak atau lebih

mengikatkan diri terhadap satu orng atau lebih,”. Sedangkan menurut doktrin

(teori lama) yang disebut perjanjian adalah ”Perbuatan hukum berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan

dengan perjanjian, adalah ”Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” Teori baru tersebut

tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan

sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian,

menurut teori baru, yaitu :

1. Tahap pra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;

2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para

pihak;

3. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian

Fungsi kontrak

Fungsi kontrak ada dua macam yaitu:

1. Fungsi yuridis

Fungsi yuridis kontrak adalah dapat memeberi kepastian hukum bagi para pihak.

2. Fungsi ekonomis

Fungsi ekonomis adalah mengerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai

penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.

Page 5: makalah HUKUM PERIKATAN

B. PROSES PENYUSUNAN

Sebelum kontrak disusun ada empat hal yang perlu diperhatikan oleh para

pihak. Keempat hal itu yakni:

1) Identifikasi para pihak

Para pihak dalam kontrak harus teridentigikasi secara jelas, perlu diperhatikan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan, terutama tentang kewenangannya

sebagai pihak dalam kontrak yang bersangkutan, dan apa yang menjadi dasar

kewenanganya tersebut.

2) Penelitian awal aspek terkait

Pada dasarnya pihak-pihak dalam kontrak yang ditandatangani dapat

menampung semua keinginannya sehingga diharapkan dalam penyusunan kontrak

harus menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan,

konsekuensi yuridis, serta alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada

akhirnya penyusun kontrak menyimpulkan hal dan kewajiban masing-masing

pihak, memperhatikan hal terkait dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran,

ganti rugi, serta perpajakan.

3) Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU)

MoU dianggap sebgai kontrak yang simple atau sebagai pembuka suatu

kesepakatan. Pada hakekatnya MoU merupakan suatu perjanjian pendahuluan

dalam arti akan diikuti perjanjian lainnya. Ciri-ciri MoU sendiri yaitu:

- Isinya singkat berupa hal pokok,

- Merupakan pendahuluan, yang akan diikuti suatu kontrak terperinci,

- Jangka waktunya terbatas, dan

- Biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa

untuk adanya kontrak terperinci.

Meskipun MoU diakui banyak manfaatnya tetapi banyak pihak meragukan

berlakunya secara yuridis.

4) Negosiasi

Merupakan sarana bagi para pihak untukmengasdakan komunikasi dua arah

yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat dari adanya perbedaan

Page 6: makalah HUKUM PERIKATAN

pandangan terhadap suatu ahal dan dilatarbelaknagi oleh kesamaan atau

ketidaksamaan kepentingan diantara mereka.

Salah satu tahap yang menentuan dalam pembuatan kontrak, yaitu tahap

penyusunan kontrak. Penyusunan kontrak ini perlu ketelitian dan kejelian dari

para pihak maupun dari para notaris. Karena, apabila keliru dalam pembuatan

kontrak maka akan menimbulkan persoalan didalam pemlaksanaannya. Ada lima

tahap dalam penyusunan kontrak di Indonesia sebagaimana dikemukan berikut

ini:

1. Pembuatan draf pertama, yang meliputi:

a) Judul kontrak

Dalam kontrak harus diperhatikan kesesuaian antara isi dengan judul, serta

ketentuan hukum yang mengaturnya, sehingga kemungkinan adanya

kesalahpahaman dapat dihindari.

b) Pembukaan

Biasanya berisi tanggal pembuatan kontrak.

c) Pihak-pihak dalam Kontrak

Perlu diperhatikan jika pihak tersebut orang pribadi serta badan hukum,

terutama kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum dalam bidang

kontrak.

d) Racital

Yaitu penjelasan resmi atau latar belakang terjadinya suatu kontrak.

e) Isi kontrak

Bagian yang merupakan inti kontrak. Yang memuat apa yang dikehendaki,

hak, dan kewajiban termasuk pilihan penyelesaian sengketa.

f) Penutup

Memuat tata cara pengesahan suatu kontrak.

2. Saling menukar draft kontrak

3. Jika perlu diadakan revisi

4. Dilakukan penyelesaian akhir

5. Penutup dengan penandatangannan kontrak oleh masing-masing pihak

Page 7: makalah HUKUM PERIKATAN

Syarat sah kontrak dan Konsekuensi Yuridisnya

Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua

belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat sahnya kontrak tersbut dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Syarat sah umum, yang terdiri dari

Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, yang terdiri dari:

Kesepakatan kehendak;

Cakap;

Perihal tertentu; dan

Kausa yang halal.

Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata, yang terdiri dari:

Syarat itikad baik, Syarat sesuai dengan kebiasaan, Syarat sesuai dengan

kepatutan, Syarat sesuai dengan kepentingan umum.

2. Syarat sah yang khusus, yang terdiri dari :

Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu;

Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;

Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak

tertentu.

Syarat izin dari yang berwenang.

C. SYARAT KESEPAKATAN KEHENDAK

Kesepakatan kehendak sebagai syarat sahnya kontrak

Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum manapun didunia

ini, kesepakatan kehendak merupakan salah satu syarat sahnya suatu kontrak,

seperti misalnya ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata. Syarat kesepakatan

kehendak ini, bersama-sama dengan syarat kewenangan berbuat, yang merupakan

syarat subjektif dari kontrak.

Bagaimana konsekwensi hukumnya jika syarat kesepakatan kehendak ini

tidak terpenuhi dalam kontrak tersebut. Seperti juga halnya tidak terpenuhinya

syarat kewenangan berbuat, maka tidak tertpenuhinya syarat kesepakatan

kehendak ini akan mengakibatkan bahwa kontrak yang bersangkutan ”dapat

Page 8: makalah HUKUM PERIKATAN

dibatalkan” (vernietigebaar, voidable). Jadi bukan ”batal demi hukum” (nietige,

null and void).

Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu kontrak dimulai dari adanya

unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penerimaan penawaran

(acceptence) dari pihak lainnya, sehingga akhirnya terjadilah suatu kontrak, yang

terutama untuk kontrak-kontrak bisnis sering dilakukan secara tertulis.

D. TEORI-TEORI MENGENAI KESEPAKATAN KEHENDAK

Mengenai kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi sehingga saat itu pula

kontrak dianggap telah mulai berlaku, dalam ilmu hukum kontrak dikenal

beberapa teori, yaitu sebagai berikut:

a) Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance)

Yang merupakan teori dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori

offer and acceptance yang dapat dimaksudkan bahwa pada prinsipnya suatu

kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah

satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain

dalam kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum diretiap system hukum,

sungguhpun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang

menganut sistem hukum Common Law.

b) Teori kehendak (willstheorie)

Teori yang bersifat subjektif ini terbilang teori yang sangat tua. Teori

kehendak tersebut berusaha untuk menjelaskan jika ada kontroversi antara apa

yang dikehendaki dengan apa yaang dinyatakan dalam kontrak, maka yang

berlaku adalah apa yang dikehendaki, sementar apa yang dinyatakan tersebut

dianggap tidak berlaku. Jadi, menurut teori ini yang terpenting dalam suatu

kontrak bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi

apa yang mereka inginkan. Yang terpenting adalah manifestasi dari kehendak para

pihak bukan kehendak yang actual dari mereka. Jadi suatu kontrak mula-mula

dibentuk dahulu (berdasarkan kehendak), sedangkan pelaksanaan (atau tidak

dilaksanakan) kontrak merupakan persoalan belakangan.

Page 9: makalah HUKUM PERIKATAN

c) Teori pernyataan (verklarings theorie)

Teori pernyataan ini bersifat objektif dan berdiri berseberangan dengan teori

kehendak seperti yang baru saja dijelaskan. Menurut teori pernyataan ini, apabila

ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan, maka

apa yang dinyatakan tersebutlah yang berlaku. Sebab, masyarakat menghendaki

bahwa apa yang dinyatakakan itu dapat dipegang.

d) Teori pengiriman (verzendings theorie)

Menurut teori pengieriman ini (Verzendings Theorie), suatu kata sepakat

terbentuk pada saat dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah

ditawarkan suatu kontrak, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim

jawaban telah kehilangan kekuasaan atas surat yang dikirimnya itu.

e) Teori Penerimaan (ontvangs theorie)

Menurut teori ini , suatu kata sepakat diangap telah terjadi pada saat balasan

dari tawaran tersebut telah diterima oleh pihak yang melakukan tawaran tersebut.

Dengan demikian, teori ini sangat konservatif, karena sebelum diterimanya

jawaban atas tawaran tersebut, kata sepakat dianggap belum terjadi, sehingga

persyaratan untuk sahnya suatu kontrak dianggap belum terpenuhi.

f) Teori Kepercayaan (vetrouwens theorie)

Teori kepercayaan ini (vetrouwens theorie) mengajarkan bahwa suatu kata

sepakat dianggap terjadi manakala ada pernyataan yang secara objektif dapat

dipercaya.

g) Teori ucapan (uitings theorie)

Menurut teori ”ucapan” ini bahwa suatu kesepakatan kehendak terjadi

manakala pihak yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban yang

menyatakan bahwa dia telah menerima tawaran tersebut.

h) Teori dugaan

Teori dugaan yang bersifat subjektif ini antara lain dianut oleh Pitlo. Menurut

teori dugaan ini, saat tercapainya kata sepakat sehingga saat itu dianggap juga

sebagai saat terjadinya suatu kontrak adalah pada saat pihak yang menerima

tawaran telah mengirim surat jawaban dan dia secara patut daat menduga bahwa

pihak lainnya (pihak yang menawarkan) telah mengetahui isi surat itu.

Page 10: makalah HUKUM PERIKATAN

E. KECAKAPAN BERBUAT DARI PARA PIHAK

Salah satu syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana yang diimaksudkan

dalam Pasal 1320 KUHPerata adalah bahwa para pihak dalam kontrak yang

bersangkutan haruslah dalam keadaan ”cakap berbuat” (bevoegd). Siapakah yang

dimaksudkan dengan orang-orang yang cakap (kompeten) dalam membuat

perjanjian. Menurut keentuan yang berlaku bahwa semua orang cakap

(berwenang) membuat kontrak kecuali mereka yang tergolong sebagai berikut:

a. Orang yang belum dewasa;

b. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan;

c. Wanita bersuami;

d. Orang yang dilarang oleh Undang-undang untuk melakukan perbuatan

tertentu.

F. PERIHAL TERTENTU

Syarat ini penting untuk menghindari apa yang dalam praktek disebut

dengan istilah ”membeli kucing dalam karung”. Yang dimaksudkan dengan

perihal tertentu tidak lain adalah perihal yang merupakan objek dari suatu kontrak.

Jadi suatu kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Beberapa persyaratan yang

ditentukan oleh undang-undang terhadap objek tertentu dari kontrak, khususnya

jika objek kontrak itu berupa barang, adalah sebagai berikut :

a. Barang yang merupakan objek kontrak tersebut haruslah barang yang dapat

diperdagangkan (vide Pasal 1332 KUHPerdata);

b. Pada saat kontrak dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan

jenisnya (vide Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata);

c. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut

kemudian dapat ditentukan atau dihitung (vide Pasal 1333 ayat (2)

KUHPerdata);

d. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada dikemudian hari (vide

Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata);

e. Tetapi tidak dapat dibuat kontrak terhadap barangyang masih dalam warisan

yang belum terbuka (vide Pasal 1334 yat (2) KUH Perdata);

Page 11: makalah HUKUM PERIKATAN

G. KAUSA YANG HALAL

Syarat kausa (oorzaak) yang legal untuk suatu kontrak adalah sebab

mengapa kontrak tersebut dibuat. Sebab yang legal juga merupakan salah satu

syarat sahnya suatu kontrak (Pasal 1320 KUHPerdata).

1. Kausa Berbeda dengan Motif

Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kausa yang objektif. Sementara yang

subjektif, yakni yang lebih sering disebut dengan ”motif” tidak relevan bagi suatu

kontrak.

2. Syarat Kausa Sebagai Mekanisme Netralisasi

Yakni sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum kontrak yang lain,

yaitu prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang terdapat dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang intinya menyatakan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan yang sama dengan

undang-undang.

3. Kontrak Tanpa Causa yang Legal

Undang-undang menentukan bahwa suatu kontrak tidak memenuhi unsur

kausa yang legal jika :

a. Kontrak sama sekali tanpa kausa

b. Kontrak dibuat dengan kausa palsu

c. Kontrak dibuat dengan kausa terlarang, yang terdiri dari :

Kausa yang dilarang oleh perundang-undangan.

Kausa yang bertentangan dengan kesusilaan

Kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum (vide Pasal 1335 jo

Pasal 1337 KUHPerdata)

4. Konsekuansi Yuridis Jika Kausa Yang Legal Tidak Terpenuhi

Apabila Konsekuensi yuridis tidak terpenuhi maka Konsekuensi Hukumnya

adalah bahwa kontrak yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum (asal

1335 KUHPerdata). Kontrak tanpa suatu causa yang halal batal demi hukum.

5. Contoh – contoh Kontrak Dengan Causa yang Tidak Legal

Berikut ini beberapa contoh yang sering terjadi dalam praktek, yaitu :

a. Kontrak yang mengandung unsur riba/lintah darat.

Page 12: makalah HUKUM PERIKATAN

b. Kontrak yang mengandung unsur judi.

c. Kontrak jual beli dengan hak beli kembali.

d. Janji tidak menyaingi.

e. Larangan pemindahan barang.

f. Kontrak tanpa license.

g. Kontrak untuk bercerai

h. Kontrak pembebasan (exonoratie, exculpaatory)

i. Kontrak yang dilakukan dengan sogok menyogok.

j. Kontrak dengan syarat wajib.

H. SYARAT ITIKAD BAIK, KEPATUTAN, KEPENTINGAN UMUM

DAN KEBIASAAN

1. Kontrak harus Dilaksanakan dengan itikad Baik

Suatu Kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (goeder trouw,

bona fide) Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, itikad baik bukan merupakan syarat

sahnya suatu kontrak sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam ”pelaksanaan” dari suatu kontrak,

bukan pada ”pembuatan” kontrak. Sebab, unsur ”itikad baik” dalam hal

pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicangkup oleh unsur ”kausa yang halal”

dari pasal 1320.

2. Kontrak Harus Sesuai dengan Asas Kepatutan

Kontrak haruslah sesuai dengan asas ”kepatutan” (vide pasal 1339

KUHPerdata). Untuk ini pemberlakuan asas kepatutan terhadap suatu kontrak

mengandung 2 fungsi sebagai berikut :

a. Fungsi yang Melarang

b. Fungsi yang Menambah

3. Kontrak Tidak Melanggar Prinsip Kepentingan Umum

Suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar

prinsip kepentingan Umum (openbaar orde). Karena, jika ada kontrak yang

bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah

Page 13: makalah HUKUM PERIKATAN

pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, yang menurut pasal 1339

KUHPerdata itu tidak dibenarkan.

4. Kontrak harus Sesuai dengan kebiasaan

Pasal 1339 KUH perdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak

hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dangan

hal-hal yang merupakan kebiasaan .

I. CARA BERAKHIRNYA KONTRAK

Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak

yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang sesuatu

hal. Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi.

Sedangkan debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.

Sesuatu hal disini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukuan oleh

kedua pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, dan lain-lain.

Dalam KUH Perdata juga telah diatur tentang berakhirnya perikatan.

Berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Cara berakhirnya

perikatan dibagi menjadi sepuluh cara, yaitu : pembayaran, konsignasi, novasi

(pembaruan utang), kompensasi, konfusio (percampuran utang) pembebasan

utang, musnahnya barang terutang, kebatalan atau pembatalan, berlaku syarat

batal, dan daluwarsa (Pasal 1381 KUH Perdata). Kesepuluh cara berakhirnya

perikatan tersebut tidak disebutkan, mana perikatan yang berakhir karena

perjanjian dan undang-undang. Sebab untuk mengaklasifikasikan diperlukan

sebuah pengkajian yang teliti dan seksama.

Berdasarkan hasil kajian terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang

berakhirnya perikatan maka kesepuluh cara itu dapat digolongkan menjadi dua

macam, yaitu berakhirnya perikatan karena perjanjian dan UU. Yang termasuk

berakhirnya perikatan karena UU adalah konsignasi, musnahnya barang terutang,

dan daluwarsa. Sedangkan berakhirnya perikatan karena perjanjian dibagi menjadi

tujuh macam, yaitu pembayaran, novasi (pembaruan utang), kompensasi,

konfusio (percampuran utang), pembebasan uatang, kebatalan atau pembatalan,

dan berlaku syarat batal.

Page 14: makalah HUKUM PERIKATAN

Di samping ketujuh cara tersebut, dalam praktek dikenal pula cara

berakhirnya kontrak, yaitu:

1. Jangka waktu berakhir,

2. Dilaksanakan objek perjanjian,

3. Kesepakatan kedua belah pihak,

4. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan

5. Adanya putusan pengadilan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berakhirnya kontrak dapat

digolongkan menjadi dua belas macam, yaitu :

1. Pembayaran,

2. Novasi (pembaruan utang),

3. Kompensasi,

4. Konfusio (Percampuran utang),

5. Pembebasan utang,

6. Kebatalan atau pembatalan,

7. Berlaku syarat batal,

8. Jangka waktu kontrak telah berakhir,

9. Dilaksanakan objek perjanjian,

10. Kesepakatan kedua belah pihak,

11. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan

12. Adanya putusan pengadilan.

Page 15: makalah HUKUM PERIKATAN

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam kebanyakan sistem hukum jenis kontrak tertentu harus dibuat

secara tertulis untuk dapat diterapkan. Apabila suatu penawaran sudah dibuat dan

diterima sesuai dengan peraturan yang diringkas diatas, maka sebuah kontrak

sudah diadakan. Secara umum hukum mengharuskan bahwa begitu suatu kontrak

dibuat, maka harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Serupa pula

halnya bahwa sebuah kontrak dapat dinyatakan tak dapat dilaksanakan tak dapat

dilaksanakan bilamana ada unsur paksaan/ancaman dalam panyusunan kontrak

tersebut.

Banyak kontrak dibuat tanpa formalitas atau kehati-hatian yang mendetail.

Kebanyakan orang membuat berates-ratus kontrak setahunnya. Tetapi kebanyakan

kontrak demikian tidak tertulis. Walaupun ada yang tertulis, kontraknya tidak

dapat menguraikan secara persis tentang apa arti dari setiap ketentuan kontraknya,

dan bagaimana ketentuan itu diwujudkan dalam setiap peristiwa yang mungkin

terjadi.

Page 16: makalah HUKUM PERIKATAN

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2001. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis).

Bandung: PT Citra Aditya Bakhti.

Salim, HS. 2006. Hukum Kontrak (Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak).

Jakarta: Sinar Grafika.

Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Bandung: Elips