Upload
edy-k-limboehank
View
732
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang
berada di dalam dan atau di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh
seseorang/penduduk meliputi Kelahiran, Kematian, Lahir mati, Perkawinan
dan Perceraian, Pengakuan Anak, Pengesahan Anak, Pengangkatan Anak,
Perubahan Nama dan Perubahan Status Kewarganegaraan.
Segala peristiwa penting tersebut harus dilaporkan dan dicatatatkan
pada buku Register pada instansi pelaksana. Di Kota Banjarmasin
sebagai Instansi Pelaksana untuk mencatatatkan peristiwa penting
tersebut dilaksanakan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Banjarmasin.
Orang tua mempunyai kewajiban untuk melakukan pencatatan atas
kelahiran anaknya mengingat sebagai warga Negara, kelahiran seseorang
harus tercatat. Sesuai dengan hukum yang berlaku pencatatan ini
dilakukan dengan melalui suatu prosedur tertentu dan diarsipkan dalam
lembaran yang kemudian dikenal dengan nama “ Akta Kelahiran “. Akta
kelahiran ini pada dasarnya merupakan awal dimulainya pencatatan
terhadap diri seseorang dimata hukum di Indonesia. Seorang anak secara
pasti memerlukan status yang namanya tercantum dalam suatu akta
kelahiran bahwasanya dia adalah anak yang sah dari orang tua yang
nama-namanya tercantum pula dalam akta kelahiran tersebut.
1
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa dimana
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Anak juga merupakan tunas potensi dan generasi muda penerus cita-cita
hidup keluarga khususnya, dan masyarakat umumnya serta memiliki
peran strategis dalam menjamin kelangsungan kehidupan di masyarakat,
maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik maupun mental
penting juga adanya perlindungan untuk anak serta memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-haknya yang jauh dari segala bentuk
diskriminasi.
Dalam pasal 27 Ayat ( 1 ) Undang-undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa “ Setiap kelahiran
wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat
terjadinya Peristiwa Kelahiran paling lambat 60 ( enam puluh ) hari
sejak kelahiran “. Selanjutnya pasal 27 Ayat ( 2 ) menyebutkan bahwa “
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada Ayat ( 1 ), Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan
menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran “.
Bahwa berdasarkan Undang-undang tersebut para orang tua wajib
segera membuatkan Akta Kelahiran bagi anak mereka, hal ini sesuai
dengan isi Pasal 5 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “ Setiap anak berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan “.
Hak sipil akan seperti halnya akta kelahiran harus dimiliki oleh
setiap anak untuk memperoleh hak permulaan sebagai warga Negara
Indonesia. Dari catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI )
Propinsi Kalimantan Selatan, bahwa pada Tahun 2008 lalu tercatat lebih
dari 27 ribu anak usia 0 -5 Tahun di Kota Banjarmasin tidak
memiliki akta kelahiran dari total anak-anak pada waktu itu lebih dari
58 ribu jiwa. Hal tersebut menandakan bahwa orang tua kurang
memperhatikan hak sipil anak yang nantinya dikhawatirkan akan
2
mempersulit anak dalam menempuh kehidupan mendatang seperti dalam
hal pembagian hak waris, pendaftaran sekolah, pembuatan Kartu Tanda
penduduk, Kartu Keluarga dan lain sebagainya.
1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Implementasi kebijakan penerbitan Akta Kelahiran pada
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin.
2. Faktor-faktor yang menjadi kendala Implementasi Kebijakan
penerbitan Akta Kelahiran pada Dinas Kependudukan dan pencatatan
Sipil Kota Banjarmasin.
1.3 Tujuan Penilitian
Berdasarkan Rumusan Masalah tersebut diatas, penelitian ini
memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Ingin mengetahui Implementasi Kebijakan penerbitan Akta Kelahiran
pada Dinas kependudukan dan Pencatatan sipil Kota Banjarmasin.
2. Ingin mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kendala
Implementasi Kebijakan penerbitan Akta Kelahiran pada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teori, untuk menambah wawasan keilmuan mengenai
implementasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
pada umumnya dan pemerintah Kota Banjarmasin pada khususnya,
serta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
sebagai instansi yang melaksanakan impelementasi kebijakan tersebut.
Selain itu dapat juga mengetahui apakah kebijakan yang diterapkan
dapat memenuhi pelayanan publik menuju kepada pelayanan minimal.
3
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan evaluasi untuk meninlai implementasi kebijakan
pembuatan akta kelahiran pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Banjarmasin agar dapat dijadikan rekomendasi untuk
reformasi terhadap pelaksanaan pembuatan/penerbitan akta kelahiran.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan
2.1.1 Konsep Kebijakan
Sebelum memahami implementasi kebijakan alangkah baiknya perlu
ditinjau terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan itu sendiri. Dye
sebagaimana yang dikutip Islamy (1984) mendefinisikan apapun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Kebijakan
publik tersebut meliputi semua tindakan pemerintah dan bukan semata-mata
merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.
George C. Edwards III dan Ira Sharkansky sebagaimana yang dikutip
Islamy (1984) mengartikan kebijaksanaan negara yang hampir mirip dengan
definisi Thomas R. Dye tersebut di atas yaitu apa yang dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, kebijakan negara itu berupa
sasaran atau tujuan program-program pemerintah. Kebijakan negara itu
dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-
undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun
berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
David Easton sebagaimana yang dikutip Islamy (1984) memberikan arti
kebijakan negara sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa (sah) kepada
seluruh anggota masyarakat. Ditegaskan bahwa hanya pemerintahlah yang
secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tersebut diwujudkan
dalam pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat.
Dari pengertian kebijakan negara diatas dan dengan mengikuti paham
bahwa kebijakan negara itu harus mengabdi pada kepentingan masyarakat,
maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan negara itu
adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi
pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
5
2.1.2 Proses Kebijakan
Pada dasarnya proses kebijakan merupakan proses sosial, atau lebih tepat
lagi merupakan proses politik. Dikatakan proses sosial, karena proses
kebijakan melibatkan berbagai unsur masyarakat baik sebagai pelaku atau
objek kebijakan, dan proses itu sendiri banyak mempengaruhi perilaku dan
perkembangan situasi masyarakat. Dikatakan proses politik, karena para
pelaku dalam proses kebijakan menggunakan : kekuasaan yang dimiliki
untuk mempengaruhi arah dari proses kebijakan. Selain itu, proses ini
berlangsung dalam setting politik, administrasi, dan sosial tertentu, dan
merupakan bagian penting dari proses penyelenggaraan kehidupan
bernegara (Wahab, 1999). Proses kebijakan secara berurutan terdiri dari :
1. Penyusunan agenda kebijakan (Agenda Setting)
2. Formulasi kebijakan,
3. Adopsi kebijakan,
4. Implementasi kebijakan,
5. Evaluasi kebijakan (Dunn, 1999).
Penyusunan agenda kebijakan dimulai ketika para pelaku politik
menyadari adanya masalah publik yang memerlukan intervensi negara untuk
mengatasinya kemudian mengangkatnya sebagai isu publik. Kesadaran
demikian muncul mungkin karena keluhan masyarakat, liputan media
massa, tuntutan dari kelompok kepentingan, kelompok penekan, tokoh-
tokoh masyarakat, partai-partai politik atau dapat pula datang dari para wakil
rakyat di parlemen dan pejabat eksekutif. Formulasi kebijakan adalah proses
politik untuk menentukan tindakan publik apa yang dapat diambil
pemerintah untuk mengatasi masalah publik tertentu. Proses ini banyak
melibatkan pelaku yang memiliki otoritas politik untuk membuat kebijakan
publik, seperti anggota DPR dan pejabat eksekutif. Di sini negosiasi politik
berlangsung dan kompromi politik diupayakan. Ketika konsensus tercapai,
rancangan kebijakan pun dapat diratifikasikan atau diadopsi menjadi
kebijakan publik untuk selanjutnya diimplementasikan di lapangan.
6
Implementasi kebijakan adalah proses untuk mentransformasikan
keputusan ke dalam tindakan. Ada sejumlah kebijakan publik yang setelah
diputuskan akan terimplementasi dengan sendirinya. Perumusan dan
implementasi kebijakan sering tidak merupakan proses yang linear. Selama
proses implementasi berlangsung, sering terjadi perubahan keadaan yang
gagal diantisipasi oleh para pengambil kebijakan. Dalam hal ini
implementator seringkali dituntut untuk melakukan penyesuaian terhadap
tujuan, target, dan strategi kebijakan yang telah diputuskan sebelumnya.
Karena itu, proses implementasi tidak sekadar berisi rangkaian kegiatan
pelaksanaan, tetapi juga sarat dengan aktivitas pengambilan keputusan.
Suatu kebijakan dikatakan berhasil jika proses implementasi kebijakan
dapat mentransformasikan tujuan dan sasaran ke dalam hasil atau kinerja
kebijakan. Tidak semua kebijakan berakhir dengan keberhasilan, karena itu
setiap kebijakan memerlukan evaluasi. Proses evaluasi dapat dilakukan
secara vertikal oleh pimpinan eksekutif, secara internal oleh lembaga
implementasi, secara horisontal oleh lembaga-lembaga pengawas publik,
atau secara eksternal oleh parlemen, pers, akademisi, tokoh masyarakat,
lembaga donor serta masyarakat luas.
2.2 Implementasi Kebijakan
2.2.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan
proses kebijakan. Implementasi kebijakan tidak hanya sekedar bersangkut
paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi melainkan lebih dari
itu, ini menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa memperoleh apa
saja dari suatu kebijakan.
Menurut Islamy (1994) kebanyakan kebijakan negara itu berbentuk
peraturan perundang-undangan dan lainnya berupa pelbagai macam
ketentuan, ketetapan atau sejenis dengan itu, sehingga memerlukan proses
implementasi untuk menampakan hasil (output) dan masalah implementasi
7
kebijakan tersebut tidak hanya terbatas pada perwujudan secara riil
kebijakan tersebut tetapi juga mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau
dampak yang akan nampak pada pelaksanaan kebijakan tersebut.
Lebih rinci, Mazmanian dan Sabatier sebagaimana pendapat Wahab (1997)
merumuskan proses implementasi kebijakan negara sebagai berikut :
Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,
biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting
atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, putusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara
tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk
menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini
berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya
diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian
output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan-keputusan
tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata---baik
yang dikehendaki atau tidak---dari out tersebut, dampak keputusan
sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan,
dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk
melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang/peraturan
yang bersangkutan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi implementasi kebijakan
adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-
tujuan atau sasaran kebijakan negara diwujudkan sebagai outcome (dampak)
kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah. Sebab itu fungsi
implementasi mencakup pula penciptaan apa yang dalam ilmu kebijakan
negara disebut policy delivery system (sistem penyampaian/penerusan
kebijakan negara) yang biasa terdiri dari cara-cara atau sarana tertentu yang
dirancang/didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.
8
Menurut Wahab (1997) dalam implementasi khususnya yang melibatkan
banyak organisasi/instansi pemerintah atau berbagai tingkat strutktur
organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang,
yakni : (1) pemrakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center atau pusat) ;
(2) pejabat-pejabat pelaksana di lapangan (the periphery) ; (3) aktor-aktor
perorangan di luar badan-badan pemerintahan kepada siapa program-
program itu ditujukan yakni kelompok-kelompok sasaran (target group).
Dalam penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan dari dua sudut
pandang, yakni memandang proses implementasi dari sudut pandang
pemrakarasa atau pembuat kebijakan dan dari sudut pandang pejabat-pejabat
pelaksana di lapangan.
Implementasi kebijakan menurut Gridle (1980) ditentukan oleh content
(isi) kebijakan dan konteks implementasi. Ide dasar Grindle adalah setelah
kebijakan ditransformasikan menjadi implementasi kebijakan, namun tidak
begitu saja berjalan mulus, tergantung pada implementability (kemampuan
mengimplementasikan) dari suatu program yang dapat dilihat pada content
(isi) dan konteks implementasi kebijakan. Isi kebijakan mencakup : (1)
kepentingan yang berpengaruh pada kebijakan, (2) jenis manfaat yang akan
dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat
kebijakan, (5) siapa pelaksana program dan (6) sumber daya yang
dikerahkan. Kebijakan menyangkut banyak kepentingan yang saling berbeda
lebih sulit diimplementasikan dibandingkan dengan yang menyangkut
sedikit kepentingan.
Konteks implementasi mencakup : (1) kekuasaan kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan penguasa, (3)
kepatuhan dan daya tanggap. Lebih lanjut, Lane (1995) Merumuskan
implementasi kebijakan sebagai berikut : Implementation = F (Policy,
Outcome, Formatur, Implementator, Initiator, Time). Dengan demikian
implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh kualitas kebijakan itu
sendiri, dampak yang diperoleh, kepentingan para pembuat kebijakan,
inisiator dan waktu yang tepat untuk mengimplementasikan suatu kebijakan.
9
Konsep implementasi tersebut juga menentukan keterlibatan aktor dalam
proses implementasi. Aktor tersebut dapat dibedakan menjadi inisiator,
formator dan implementator. Aktor-aktor yang ditentukan dalam politik
seharusnya lebih berperan sebagai inisiator dan formator kebijakan sebab
proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut
badan-badan adminisitratif yang melaksanakan program melainkan pula
menyangkut jaringan kekuatan politik yang mempengaruhi semuah pihak
yang terlibat.
Selanjutnya, proses implementasi ini berperan besar dalam mencapai
hasil seperti yang diharapkan dengan apa yang senyatanya terjadi atau
dicapai (Implementation Gap). Hal ini dipengaruhi oleh apa yang disebut
oleh Ilham sebagaimana yang dikutip oleh Wahab (1997) sebagai
Implementation Capacity diartikan sebagai kemampuan suatu organisasi
atau aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa
sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan
dalam dokumen formal dapat tercapai. Kenyataannya, kebijakan pemerintah
sebenarnya memiliki resiko untuk gagal. Kegagalan kebijakan ini oleh
Hogwood dan Gun (Wahab, 1997) dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu :
1. Non Implementation, mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Keadaan ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti kerja sama, penguasaan permasalahan ataupun
wilayah permasalahan yang diluar jangkauan kewenangan.
2. Unsuccesful Implementation, kebanyakan disebabkan oleh faktor
eksternal yang ternyata tidak menguntungkan.
Kebijakan memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh faktor-faktor :
pelaksanaannya jelek (bad execution), atau kebijakan itu sendiri memang
jelek (bad policy), atau kebijakan itu bernasib jelek (bad luck).
2.2.2 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Implementasi Kebijakan
Tujuan utama dari otonomi daerah adalah berkembangnya daerah
dengan kemandirian mampu mengatur dan menyelenggarakan urusan-
10
urusan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, sesuai dengan konsep
otonomi yang diperluas seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004.
Menurut Kaho (1997), agar pemerintah daerah dapat melaksanakan
kewenangan yang diserahkan kepadanya, maka ada beberapa tolok ukur
yang harus diperhatikan :
1. Manusia pelaksananya harus baik;
2. Keuangan harus cukup baik;
3. Peralatannya harus cukup baik;
4. Organisasi dan manajemennya harus baik.
Faktor pertama, yaitu pelaksananya harus baik, karena manusia
merupakan pelaku dan penggerak dalam proses kegiatan pemerintahan.
Smith (1985) mengungkapkan : “Political decentralization is usually
assumed to entail democracy” (Desentralisasi politik biasanya diasumsikan
memerlukan demokrasi), maka para pengambil keputusan merupakan orang-
orang yang dipilih mewakili kepentingan komunitas lokalnya. Orang-orang
yang dipercayai oleh komunitas tentunya orang-orang yang mampu
melakukan dialog mengenai kewenangan daerahnya dengan pemerintah
pusat. Dalam kaitannya dengan manusia pelaksana yang baik, Teune (1995)
Menjelaskan ada 3 bentuk pengujian yaitu : (1) Locally elected official and
separation power; pejabat politis pemerintahan lokal harus dapat
mengekspresikan secara bebas kewenangan yang lebih besar terutama dalam
memformulasikan dan mengimplementasikan suatu kebijakan, (2) Local
autonomy; bagaimana pejabat pemerintah lokal membangun konflik dengan
pemerintah proses demokrasi, (3) Capacity to generate resources;
kewenangan menggali berbagai sumber keuangan daerah. Lebih lanjut
Morgan et al (1996) menyebutkan : “...middle manager in local government
perform four task that are central to the effective funcitioning of their
organization : (1) interpret and represent their work unit interest; (2) lend
or secure assistencev (mereformulasikan atau mengimplementasikan
11
kebijakan pemerintah pusat), (3) develop organizational relationships; (4)
leverage other time (mengelola waktu)”.
Faktor kedua adalah keuangan yang baik, hampir tidak ada kegiatan
pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang
yang tersedia, makin banya pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang
dapat dilaksanakan. Demikian juga semakin baik pengelolanya semakin
berdayaguna pemakaian keuangan tersebut.
Keuangan daerah merupakan salah satu unsur yang penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemenuhan kepentingan
masyarakat setempat. Guna mencapai hal tersebut diperlukan pengelolaan
keuangan daerah yang mantap dan sempurna, yang pada hakekatnya
merupakan perwujudan administrasi keuangan daerah.
Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, Sumodiningrat (1997)
menyebutkan terdapat empat faktor dalam mekanisme pengelolaan
keuangan daerah antara lain : mekanisme perencanaan, mekanisme
penyaluran dan pencairan bantuan, mekanisme pengembangan dan
pelestarian serta mekanisme pelaporan. Disamping itu untuk mendorong
kemampuan keuangan daerah yang lebih besar dalam membiayai seluruh
urusan rumah tangga daerah, diperlukan kebijaksanaan di bidang
pengembangan institusi dan pengelolaan (manajemen keuangan daerah),
pengelolaan adalah merupakan usaha penyempurnaan lembaga keuangan
daerah (Tambunan, 1996).
Sehubungan dengan ini keuangan daerah merupakan salah satu faktor
yang penting dalam mengukur secara nyata kemampuan daerah dalam
melaksanakan otonomi. Menurut Kaho (1997) salah satu kriteria penting
untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya adalah kemampuan “self-supporting” dalam
bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan daerah
merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah
dalam melaksanakan otonominya.
12
Berkaitan dengan kepentingan di atas, pentingnya posisi keuangan daerah
menurut Mawhood (1983) bahwa : “decentralization can only succed when
the local authorities have sufficient financial resourcers to carry out their
responsibilities” (desentralisasi hanya dapat berhasil bilamana daerah
mempunyai kewenangan terhadap sumber daya keuangan yang cukup untuk
melaksanakan tanggung jawabnya). Lebih tegas lagi Teune (1995)
Menyebutkan : “frees localities from government by providing alternatives
for resources finance and support; the resources other decentralization”
(kebebasan daerah untuk menggali sumber daya keuangan, yang berarti
dukungan keuangan untuk terlaksananya desentralisasi).
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk menciptakan pemerintahan
daerah yang baik yang dapat melaksanakan tugas otonominya dengan baik,
maka faktor keuangan ini mutlak diperlukan. Ini berarti, dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangganya, daerah membutuhkan dana atau
uang. Untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya
daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula, dalam hal ini
daerah dapat memperoleh melalui pendapatan asli daerah (PAD)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Faktor ketiga adalah peralatan yang cukup dan baik. Pengertian peralatan
di sini adalah setiap benda atau alat yang dapat dipergunakan untuk
memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintahan daerah.
Faktor keempat adalah organisasi dan manajemen yang baik. Organisasi
yang dimaksud adalah organisasi dalam arti struktur yaitu susunan yang
terdiri dari satuan-satuan organisasi beserta segenap pejabat, kekuasan,
tugasnya dan hubungannya satu sama lain, dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Sementara yang dimaksudkan dengan manajemen adalah proses
manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerja sama, sehingga
tujuan yang telah ditentukan benar-benar tercapai (Kaho, 1997).
13
BAB III
GAMBARAN UMUM
3.1 Profil Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
merupakan salah satu lembaga teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah
Kota Banjarmasin yang berdasarkan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin
Nomor 15 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas,
Badan, Kecamatan dan Kelurahan Kota Banjarmasin yang mempunyai
Tugas Pokok melaksanakan urusan rumah tangga daerah dibidang
Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Dilihat dari Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin merupakan unit kerja yang perlu
penanganan secara khusus dan professional, karena menyangkut masalah
Administrasi kependudukan dengan menggunakan Sistem SIAK yang
disajikan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan Pemerintahan dan
Pembangunan.
Dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah untuk
menyelenggarakan tugas Pemerintahan dan Pembangunan secara baik dan
benar (good governance) serta mendorong tumbuhnya instansi
Pemerintah yang akuntabel, sehingga beroperasi secara efesien, efektif
dan responsive terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya dalam
memberikan masukan dan umpan balik bagi yang berkepentingan untuk
dasar pengambilan keputusan dan peningkatan kinerja Instansi
Pemerintah.
14
3.2 Struktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi
3.2.1 Struktur orgsnisasi
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin menurut Peraturan Daerah
Nomor 15 Tahun 2008 terdiri dari :
a. Kepala Dinas
b. Sekretaris,
- Kepala Sub Bagian Perencanaan
- Kepala Sub Bagian Keuangan
- Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
c. Kepala Bidang Administrasi Kependudukan,
- Kasi Identitas Penduduk
- Kasi Mobilitas Penduduk
d. Kepala Bidang Catatan Sipil,
- Kasi Kelahiran, Pengakuan Anak dan Kematian
- Kasi Perkawinan, Pengesahan Anak dan Perceraian
e. Kepala Bidang Data dan Informasi
- Kasi Pengolahan dan Penyimpanan Data
- Kasi Pelayanana dan Informasi
-
3.2.2 Tugas Pokok dan Fungsi
a. Tugas Pokok
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Banjarmasin adalah melaksanakan urusan rumah tangga daerah
dibidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
b. Fungsi
Dalam menjalankan Tugas pokok tersebut Dinas
Kependudukan dan pencatatan Sipil mempunyai fungsi, sebagai
berikut :
15
1. Perumusan Kebijaksanaan teknis sesuai dengan kebijaksanaan
yang ditetapkan Walikota berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku,
2. Penyusunan rencana pembangunan dan pengembangan
kegiatan pendaftara dan pencatatan penduduk,
3. Pemberian nomor Induk Kependudukan,
4. Pendaftaran dan Penerbitan Kartu Keluarga,
5. Pendaftaran dan Penerbitan Kartu Tanda Penduduk,
6. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Kelahiran,
7. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Perkawinan,
8. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Perceraian,
9. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Kematian,
10. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Pengakuan Anak dan
Pengesahan Anak,
11. Pencatatan Mutasi Penduduk,
12. Pengelolaan Data Penduduk,
13. Penyelenggaraan Penyuluhan
14. Melaksanakan Ketatausahaan Dinas,
15. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan dan ditetapkan
oleh Walikota.
3.3 Visi dan Misi
Visi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
adalah “ TERWUJUDNYA TERTIB ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN MELALUI PELAYANAN PRIMA “
Sedangkan Misi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Banjarmasin adalah :
a. Meningkatkan kemampuan aparatur dalam bidang Administrasi
Kependudukan,
b. Memberikan pelayanan kepada masyarakat secara benar, mudah dan
cepat,
16
c. Menyelenggarakan Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem
informasi Administrasi Kependudukan ( SIAK ) secara tertib, terpadu
dan berkelanjutan,
d. Mengupayakan terbangunnya Database Kependudukan,
e. Membangun pemahaman masyarakat terhadap arti penting tertib
Administrasi Kependudukan.
17
BAB IV
PEMBAHASAN MASALAH
4.1 Implementasi Kebijakan Penerbitan Akta Kelahiran
Kepemilikan akta kelahiran adalah sebagai wujud pemenuhan
kewajiban orang tua terhadap anak. Karena itu setiap kelahiran wajib
dilaporkan oleh penduduk kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 ( Enam Puluh ) hari sejak
kelahiran.
Penerbitan akta kelahiran pada Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin saat ini mengacu kepada Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan dan
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin.
Ada 2 kategori Akta Kelahiran yaitu akta kelahiran umum dan
akta kelahiran istimewa. Akta kelahiran umum diberikan kepada anak
usia 0 s/d 2 bulan. Sedangkan akta kelahiran istimewa diberikan kepada
anak usia 2 bulan keatas dan seterusnya.
Berdasarkan pasal 27 Ayat ( 1 ) Undang-undang No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahawa “ Setiap
kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di
tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 ( enam puluh )
hari sejak kelahiran.
Selanjutnya pada pasal 32 Ayat ( 1 ) disebutkan bahwa “
Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat ( 1 )
yang melampaui batas waktu 60 ( enam puluh ) hari sampai dengan 1
( satu ) tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah
mendapatkan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
Sedangkan dalam pasal 32 ayat ( 2 ) dijelaskan bahwa “
Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 ( satu ) tahun
18
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), dilaksanakan berdasarkan
Penetapan Pengadilan Negeri “.
Yang dimaksud dengan “ tempat terjadinya peristiwa kelahiran
“ adalah wilayah terjadinya kelahiran atau dengan kata lain berdasarkan
asas peristiwa. Sedangkan waktu pelaporan kelahiran paling lambat 60
(enam puluh) hari merupakan tenggang waktu yang memungkinkan bagi
penduduk untuk melaporkan peristiwa kelahiran sesuai dengan
kondisi/letak geografis Indonesia. Penduduk yang wajib melaporkan
kelahiran adalah Kepala Keluarga.
Mengingat begitu pentingnya akta kelahiran dan supaya
masyarakat sesegera mungkin melaporkan peristiwa kelahiran anak
mereka sebelum diberlakukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006
Pemerintah Kota Banjarmasin mengeluarkan beberapa kebijakan melalui
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, berdasarkan Peraturan
Walikota Banjarmasin maupun Surat Keputusan berupa :
1. Menyelenggarakan dispensasi pencatatan akta kelahiran dari tanggal 1
september 2007 s/d 31 September 2008, berdasarkan Peraturan
Walikota Banjarmasain No. 10 Tahun 2007, tentang Dispensasi
Pelayanan Pencatatan Kelahiran dalam masa transisi berlakunya
Undang-undang No. 23 Tahun 2006, tentang Administrasi
Kependudukan, yang menindak lanjuti Surat Menteri Dalam Negeri
RI Nomor 474.1/1274/SJ tanggal 11 Juni 2007, yang mana dispensasi
pelayanan pencatatan kelahiran tersebut hanya berlaku selama 1
tahun sejak berlakunya Peraturan Walikota Banjarmasin tanpa
Penetapan Pengadilan Negeri.
2. Pembebasan biaya pembuatan akta kelahiran diberikan untuk anak 0
s/d 2 bulan dengan kategori Akta Umum, dan untuk anak 2 bulan s/d
5 tahun dengan kategori Akta Istimewa, berdasarkan Surat Keputusan
Walikota Banjarmasin No. 1 Tahun 2007.
3. Menyelenggarakan dispensasi pencatatan akta kelahiran bagi mereka
yang lahir dibawah Tahun 1985 dan orang tua yang bersangkutan
19
tidak memiliki Buku Nikah, berdasarkan Surat keputusan Walikota
Banjarmasin No. 048 A Tahun 2008 Tanggal 10 Maret 2008 ( berlaku
mulai April s/d Oktober 2008 ).
4. Perpanjangan dispensasi selama 1 bulan s/d 31 Oktober 2008,
berdasarkan Nota Dinas No. 474/290-TU/Dipencapil Tanggal 9
September 2008.
Sedangkan untuk prosedur pembuatan akta kelahiran sudah
diberikan kemudahan persyaratan sebagai berikut :
- Mengisi Formulir Permohonan Pembuatan Akta Kelahiran,
- Fotocopy KTP Orang Tua/Walinya dan Kartu Keluarga,
- Surat Keterangan Kelahiran Asli dari Dokter/Bidan yang menolong
kelahiran atau Kelurahan,
- Fotocopy dan Asli Surat Nikah/Akta Perkawinan Orang Tua,
- Membawa 2 orang saksi dan fotocopy KTP yang bersangkutan,
- Bagi WNI Keturunan melampirkan fotocopy dan memperlihatkan
dokumen asli berupa :
- Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia,
- Bukti Ganti Nama ( apabila ganti nama ).
Setelah selesai masa dispensasi selama 1 Tahun 1 Bulan,
maka mulai Tanggal 1 Nopember 2008 diberlakukanlah UU No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Walaupun sudah
dilaksanakan dispensasi ternyata masih banyak anak yang usianya diatas
1 Tahun belum memiliki Akta Kelahiran. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya masyarakat yang keberatan apabila pembuatan akta kelahiran
diatas 1 ( satu ) Tahun harus melalui Penetapan Pengadilan Negeri,
mereka beralasan :
1. Biaya untuk persidangan terlalu tinggi, sehingga menjadi beban bagi
masyarakat yang tidak mampu. Ironis memang, disalah satu sisi
Pemerintah Kota Banjarmasin menerbitkan Perda No. 11 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Banjarmasin dan Perda no. 12 Tahun 2009 tentang
20
Retribusi Pelayanan di bidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil
serta Pelayanan lainnya membebaskan biaya pembuatan akta
kelahiran, tetapi di sisi lain Pengadilan Negeri menetapkan Tarif
persidangan sebesar Rp. 161.000,- belum termasuk Biaya
Administrasi lainnya. Sedangkan menurut pantauan kami usia anak 1
Tahun ke atas yang belum memiliki akta kelahiran adalah dari
kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
2. Menunggu waktu panggilan persidangan yang cukup lama, sedangkan
akta kelahiran diperlukan sesegera mungkin untuk persyaratan
sekolah, mengikuti ujian akhir sekolah, persyaratan masuk kerja dan
sebagainya.
3. Harus membuat Surat Pengantar untuk ke Pengadilan negeri yang
dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Banjarmasin.
4. Waktu sidang penetapan pengadilan kedua orang tua dan saksi harus
hadir, hal ini dianggap masyarakat sebagai suatu pemborosan biaya,
karena mereka harus mengeluarkan biaya untuk berangkat ke
pengadilan dan harus meninggalkan pekerjaan.
Berdasarkan laporan penerbitan akta yang disampaikan ke
Bagian Data dan Informasi terjadi peningkatan permohonan akta
kelahiran di bulan Agustus, September dan Oktober Tahun 2008 antara
2000 lembar sampai 3000 lembar per bulannya, sebelum
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2006. Sebaliknya sejak diberlakukan
UU tersebut pada Tanggal 1 Nopember 2008 terjadi penurunan
permohonan akta kelahiran hingga bulan Desember 2008 yaitu 800
lembar sampai 900 lembar per bulannya. Begitu juga di Tahun selama
2009 tidak terjadi kenaikan yang signifikan terhadap permohonan akta
kelahiran antara 700 sampai 900 lembar per bulannya.
Segala keluhan/laporan masyarakat yang masuk baik ke
Pemerintah Kota Banjarmasin maupun ke Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin setelah diterapkan UU ini dijadikan
21
agenda dalam pembahasan rapat koordinasi, copy morning, pertemuan
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil se Kal-Sel dalam
rangka menyamakan persepsi bagi Pemerintah Kota/Kabupaten yang
belum melaksanakan UU No. 23 Tahun 2006, juga sebagai bahan
evaluasi pelaksanaan pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2006.
Begitu pula saat dilaksanakan Rapat Kerja Tekhnis Penyerasian
Kebijakan Kependudukan Tahap II yang diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Administrasi Kependudukan di Jakarta dari Tanggal 27 s/d 29
juli 2009. Dalam pembahasan akta kelahiran hampir 90 % keluhan yang
disampaikan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten/Kota yang sudah melaksanakan pemberlakuan UU No. 23
Tahun 2006 adalah masalah Penetapan Pengadilan Negeri dan penerapan
asas peristiwa kelahiran ( Pasal 27 dan Pasal 32 ).
Dalam rangka optimalisasi pelayanan pencatatan kelahiran serta
sebagai perwujudan tanggungjawab Pemerintah untuk memberikan akta
kelahiran sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan serta untuk mendorong pencapaian Renstra 2011 “ Semua
Anak Indonesia Tercatat Kelahirannya “, di lakukan perpanjangan masa
dispensasi sampai dengan Desember 2010 berdasarkan Surat dari Menteri
Dalam Negeri Nomor : 472.11/2945/SJ Tanggal 10 Agustus 2009.
Menindak lanjuti Surat Menteri Dalam Negeri Pemerintah
Kota Banjarmasin menerbitkan Peraturan Walikota Banjarmasin No. 19
Tahun 2009 Tanggal 3 September 2009 tentang Dispensasi Pelayanan
Pencatatan Kelahiran Dalam Masa Transisi Berlakunya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006. Dispensasi dilaksanakan mulai 1 Oktober 2009
sampai dengan 31 Desember 2010.
Selama pelaksanaan dispensasi dari bulan Oktober s/d
Desember 2009 permohonan akta kelahiran di atas 1 Tahun berjumlah
9.118 lembar akta kelahiran, terdiri dari Laki – laki 4.597 orang dan
Perempuan 4.521 orang. Untuk permohonan Akta Anak Seorang
22
Ibu berjumlah 809 lembar, ini menggambarkan bahwa pernikahan siri
atau orang tua yang tidak memilki Buku Nikah masih banyak di Kota
Banjarmasin. Sedangkan permohonan akta usia anak 1 – 5 Tahun
berjumlah 2.471 lembar.
4.2 Faktor-faktor yang menjadi kendala Impelementasi kebijakan
penerbitan akta kelahiran pada Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
4.2.1 Faktor Internal
Kendala internal yang dihadapi dalam penerbitan akta
kelahiran antara lain sarana/fasilitas yang belum memadai dan
kurangnya jumlah aparatur/tenaga teknis apalagi saat-saat
pelaksanaan dispensasi seperti saat ini. Sarana pelayanan masih
jauh dari memadai baik dari kenyamanan maupun tertib
administrasi, tetapi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Banjarmasin berusaha memberikan pelayanan yang terbaik,
transparasi biaya pembuatan akta, batas waktu penyelesaian,
penyederhanaan persyartan penerbitan akta, dan lain sebagainya.
Petugas loket masih ada yang memilki tugas rangkap, dari segi
tehnis perlu penambahan aparatur arsiparis dan pranata
komputer/operator komputer. Untuk saat ini dalam rangka
dispensasi kekurangan aparatur dapat terpenuhi dengan tenaga
kontrak dan siswa magang dari beberapa sekolah kejuruan,
beberapa Diploma Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.
4.2.2 Faktor Eksternal
- Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya
akta kelahiran terutama dari kalangan masyarakat ekonomi
menengah kebawah, mereka membikinkan akta kelahiran anak
kalau hanya diperlukan saperti untuk masuk sekolah. Padahal
akta kelahiran kegunaannya bukan hanya untuk sekolah, tatapi
23
masih banyak lagi kegunaan yang lainnya antara lain sebagai
persyaratan bekerja, persyaratan menikah, pembuatan SIM, dan
yang paling penting akta adalah sebagai bukti autentik anak
sebagai warga Negara Indonesia. Karena itu untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dilaksanakan sosialisasi
yang lebih maksimal ke masyarakat melalui penyuluhan ke
lapangan, pemasangan spanduk di tempat-tempat strategis,
himbauan himbauan yang disampaikan melalui surat edaran
hingga ke RT, sekolah-sekolah, kerjasama dengan yayasan dan
lembaga sosial lainnya, serta pelaksanaan penerbitan akta
kolektif pada momen momen tertentu seperti Hari Anak
Nasional, Hari besar Keagamaan dan lain-lain.
- Masih banyaknya pasangan yang belum memilki buku nikah
(Nikah Siri). Perkawinan dibawah tangan ( nikah siri ) masih
belum diakui oleh hokum formal karena tidak tercatat pada
KUA atau Catatan Sipil. Tidak tercatatnya perkawinan akan
berdampak pada status anak, karena akan dianggap sebagai
anak di luar nikah, artinya anak tidak mempunyai hubungan
hukum terhadap ayahnya. Anak hasil nikah siri atau diluar
perkawinan sah memang bisa untuk memperoleh akta
kelahiran. Akan tetapi penerbitan aktanya hanya mencatumkan
nama Ibu saja sebagai orang tuanya tanpa mencantumkan
nama ayah. Keterangan yang tidak mencantumkan nama ayah
di dalam akta kelahiran, secara sosial dan psikologis dapat
berpengaruh bagi diri anak itu sendiri. Ketidak jelasan status
dimuka hukum tersebut akan merugikan kedudukan anak,
misalnya dalam mendapatkan nafkah dan atau warisan dari
ayahnya.
Kecuali setelah orang tua anak bersangkutan menikah kembali
secara hukum maka pembuatan akta harus melalui Penetapan
asal usul anak dari Pengadilan Agama bagi yang muslim dan
24
Pengadilan Negari bagi yang non muslim. Hal inilah yang
meninbulkan beban bagi masyarakat, karena harus
mengeluarkan biaya di Pengadilan yang cukup membebankan
masyarakat yaitu biaya berkisar antara Rp. 150.000,- sampai
Rp. 200.000,- sedangkan penerbitan akta kelahiran gratis.
Sebagai solusinya dalam rangka hari- hari tertentu Pemerintah
Kota Banjarmasin dan pihak – pihak swasta bekerjasama
dengan Departemen Agama melaksanakan nikah massal bagi
pasangan yang belum memilki buku nikah. Diharapkan
kedepannya nanti ada dari pihak pengadilan untuk
melaksanakan penetapan asal usul anak secara gratis bagi
masyarakat yang nikah siri. Apabila ada Putusan Penetapan
Pengadilan tentang Asal Usul Anak bagi mereka yang sudah
memilki akta anak seorang ibu dapat dirubah melalui catatan
pinggir untuk menyebutkan nama ayahnya.
- Masyarakat masih menggunakan jasa calo ( orang yang menjadi
perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah ) dengan
alasan untuk kemudahan dan tidak perlu repot untuk pergi
jauh. Menurut pengamatan ada beberapa calo yang ada di Dinas
Kependudukan dan pencatatan Sipil Kota Banjarmasin,
Pertama, calo yang memang dengan sengaja menunggu
masyarakat yang berurusan dengan maksud membantu agar
lebih mudah. Kedua, calo dari dalam Kantor yang
bersangkutan atau oknum aparat. Ketiga, calo yang menghimpun
permohonan akta secara kolektif seperti yang dilakukan oleh
Ketua RT. Masyarakat biasanya memberikan imbalan antara
Rp. 20.000,- s/d Rp. 50.000,-
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kepemilikan akta kelahiran sebagai wujud pemenuhan kewajiban dan
tanggungjawab orang tua terhadap anak. Karena itu betapa pentingnya
akta kelahiran bagi anak dan merupakan hak sipil anak yang harus
dipenuhi. Implementasi kebijakan penerbitan akta kelahiran pada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin, mengacu pada
UU No. 23 Tahun 2006 dan Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2008.
Setiap orang tua wajib melaporkan peristiwa kelahiran ke Dinas
Kependudukan dan pencatatan Sipil setempat paling lambat 60 ( enam
puluh ) hari sejak kelahiran dan di tempat terjadinya peristiwa kelahiran.
Karena apabila tidak sesegera mungkin melaporkan peristiwa kelahiran
tersebut, maka anak yang usianya melebihi 1 (satu) Tahun otomatis
penerbitan aktanya harus melalui penetapan pengadilan.
Sebelum pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2006 Pemerintah Kota
Banjarmasin mengeluarkan beberapa kebijakan melalui Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin berupa Peraturan
Walikota maupun Surat Keputusan, yang kemudian direalisasikan melalui
pelaksanaan dispensasi penerbitan akta kelahiran dan pembebasan biaya
pembuatan akta kelahiran (pembuatan akta kelahiran gratis).
5.2 Saran
Untuk kedepannya Dinas Kependudkan dan Pencatatan Sipil Kota
Banjarmasin diharapkan :
- Agar melaksanakan sosialisasi yang lebih maksimal dan tepat sasaran
ke masyarakat yang memerlukan informasi tentang akta kelahiran.
- Memperkecil ruang lingkup jasa calo, dengan jalan mempermudah
pelayanan dan peningkatan sarana dan prasarana seperti, menyediakan
loket pembuatan akta kelahiran di masing-masing kecamatan melalui
26
Unit Pelaksana Teknis Dinas ( UPTD ) sebagai perpanjangan tangan
pelayanan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, dengan tujuan
agar masyarakat tidak jauh lagi ke instansi terkait mengurus akta
kelahiran mengingat efesiensi waktu dan biaya.
- Disamping itu masyarakat juga diharapkan untuk secepatnya
melaporkan setiap peristiwa kelahiran jangan menunggu sampai usia
anak melebihi 1 (satu) Tahun, karena penerbitan akta kelahiran
tersebut harus melalui penetapan pengadilan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Islamy, Irfan, 1984. Prinsip-prinsip kebijaksanaan Negara, Bina Aksara,
Jakarta.
Nugroho, Riant, 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi, Gramedia, Jakarta.
Wahab, Solichin Abdul, 1990. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta.
Koentjaraningrat (Editor), 1971. Masyarakat Desa di Indonesia Masa Ini,
(Jakarta: Djambatan).
Peraturan Per Undang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Banjarmasin.
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Banjarmasin.
28
29
30
31