Upload
phia29
View
1.274
Download
139
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Interaksi obat dianggap penting karena dapat menguntungkan dan merugikan. Salah
satu dari interaksi obat adalah interaksi obat itu sendiri dengan makanan. Interaksi antara obat
dan makanan dapat terjadi ketika makanan yang kita makan mempengaruhi obat yang sedang
kita gunakan, sehingga mempengaruhi efek obat tersebut. Interaksi anatara obat dan makanan
dapat terjadi baik untuk obat dan makanan dapat terjadi baik untuk resep dokter maupun obat
yang dibeli bebas, seperti obat antasida, vitamin, dll.
Kadang-kadang apabila kita minum obat bersamaan dengan makanan, maka dapat
mempengaruhi efektivitas obat dibandingkan apabila diminum dalam keadaan perut kosong,
selain itu konsumsi secara bersamaan antara vitamin atau sumplemen herbal dengan obat juga
dapat menyebabkan terjadinya efeksamping. Contoh reaksi yang dapat timbul apabila terjadi
interaksi antara obat dan makanan, diantaranya : Makanan dapat mempercepat atau
memperlambat efek dari obat, beberapa obat tertentu dapat menyebabkan vitamin dan
mineral tidak bekerja secara tepat ditubuh, menyebabkan hilangnya atau bertambahnya nafsu
makan, obat dapat mempengaruhi nutrisi tubuh, Obat herbal dapat berinteraki dengan obat
modern.
Selain itu, besar kecilnya efek interaksi obat dengan makanan antara tiap orang dapat
berbeda, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti : Besarnya dosis obat
yang diminum, usia, kondisi tubuh dan kondisi kesehatan pasien, waktu konsumsi makan dan
waktu konsumsi obat. Untuk menghindari terjadinya interaksi obat dan makanan, bukan
berarti menghindari untuk mengkonsumsi obat atau makanan tersebut. Yang sebaiknya
dilakukan adalah pengaturan waktu antara obat dan makanan untuk dikonsumsi dalam waktu
yang berbeda. Dengan mempunyai informasi yang cukup mengenai obat yang digunakan
serta kapan waktu yang tepat untuk mengkonsumsinya, maka kita dapat menghindari
terjadinya interaksi antara obat dengan makanan.
I.2 Permasalahan
A. Bagaimana mekanisme interaksi obat dan makanan dalam tubuh ?
B. Apa efek yang timbul dari interaksi obat dan makanan ?
C. Apa yang dilakukan atau tindakan apa yang dilakukan agar bisa mengatasi
interaksi dari obat dengan makanan tersebut?
I.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah disini adalah untuk mengetahui mekanisme dari
interaksi obat dengan makanan tersebut didalam tubuh, serta mengetahui efek-efek yang
merugikankan serta menguntungkan dari kedua interaksi obat dan makanan. Dan
memberikan sebagian kecil contoh obat-obat yang dapat berinteraksi dengan makanan. Dan
menjelaskan seperti apa cara penanggulangannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada
awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih
berubah. Interaksi obat didefinisikan oleh Committee for Proprietary Medicine Product
(CPMP) sebagai suatu keadaan bilamana suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat lain
dan menimbulkan pengaruh klinis. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi
efektifitas atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Tetapi interaksi bisa
saja terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan mikronutrien, dan
obat injeksi dengan kandungan infus.
Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah 50% hingga 60%. Obat-obatan
yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika menunjukkan prevalensi sekitar
5% hingga 9%. Sekitar 7% efek samping pemberian obat di rumah sakit disebabkan oleh
interaksi obat.
Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap pengobatan
terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk
dari lingkungan, atau dengan obat lain. Biasanya, pengaruh ini terlihat sebagai suatu efek
samping, tetapi terkadang pula terjadi perubahan yang menguntungkan. Obat yang
mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut
sebagai object drug.
Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose
response yang curam. Obat-obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang besar
dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa memperbesar efek terapinya.
Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat dengan dosis terapinya, maka mudah
keracunan obat bila terjadi suatu interaksi.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi rendah) seperti glikosida jantung,
antikoagulan dan obat-obat sitostatika.
Dengan kemajuan teknologi dan pengalaman pemakaian obat-obatan, maka interaksi
obat makin banyak diketahui. Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant
drug mempunyai sifat sebagai berikut :
a. Obat yang terikat banyak oleh protein plasma akan menggeser obat lain (object drug)
dari ikatan proteinnya. Contoh : aspirin, fenilbutazon dan golongan sulfa
b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain. Contohnya :
Perangsang metabolisme : fenitoin, karbamazepan, rifampisin, antipirin, dan
griseofulvin.
Penghambat metabolisme : alopurinol, simetidin, siklosporin, luminal,
ketokonazol, eritromisin, klaritromisin, dan siprofloksasin.
c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug. Contohnya : furosemid
(diuretik) dapat menghambat ekskresi gentamisin sehingga menimbulkan toksik.
Interaksi obat menurut jenis mekanisme kerja dibagi menjadi 2 yaitu interaksi
farmakodinamika dan interaksi farmakokinetika.
a. Interaksi farmakodinamika
Interaksi farmakodinamika hanya diharapkan jika zat berkhasiat yang saling
mempengaruhi bekerja sinergis atau antagonis pada suatu reseptor, pada suatu organ
sasaran atau pada suatu rangkaian pengaturan.
b. Interaksi farmakokinetika
Interaksi farmakokinetika dapat terjadi selama fasa farmakokinetika obat secara
menyeluruh juga pada absorpsi, distribusi, biotransformasi dan eliminasi.
2.1 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi
obat antara lain :
1. Faktor Usia
Distribusi obat-obatan yang larut dalam lipid (obat-obatan yang larut dalam
lemak) mengalami perubahan yang jelas, di mana wanita usia lanjut memiliki
jaringan lemak 33% lebih banyak dibandingkan wanita yang lebih muda, sehingga
terjadi akumulasi obat. Usia juga mempengaruhi metabolisme dan klirens obat
akibat perubahan yang terjadi pada hati dan ginjal. Saat tubuh semakin tua aliran
darah melalui hati berkurang dan klirens beberapa obat dapat terhambat sekitar
30-40%. Selain itu enzim-enzim hati yang menjalankan metabolisme obat mudah
melimpah sehingga memperlambat metabolisme akibatnya terjadi peningkatan
konsentrasi obat-obatan tertentu.
Berdasarkan WHO kelompok usia lanjut dibagi menjadi 3 golongan besar
yaitu usia 60-74 tahun (young old), 75-84 tahun (old old) dan > 85 tahun (oldest
old). Perubahan fisiologis yang terjadi pada orang usia lanjut adalah penurunan
massa otot, cairan tubuha, laju filtrasi glomerulus, aliran darah ke hati serta
peningkatan lemak tubuh.
Tabel 2.1 . Perubahan farmakokinetika pada orang usia lanjut
Faktor Farmakokinetik Kemaknaan Klinis
Motilitas Gastrointestinal
pH Lambung
Fungsi Ginjal
Albumin dalam Serum
Total air tubuh
Rasio Lemak tubuh/massa tubuh
Dapat mempengaruhi kecepatan, namun tidak
mempengaruhi tingkat, penyerapan obat
Perubahan tidak bermakna pada penyerapan
obat
Penurunan eliminasi obat-obat yang
diekskresi melalui ginjal
Penurunan pengikatan protein sehingga
meningkatkan fraksi obat bebas
Penurunan volume distribusi obat-obatan
yang larut dalam air
Peningkatan volume distribusi obat-obatan
yang larut dalam lemak
2. Faktor Polifarmasi
Tujuan dari Polifarmasi ini tidak lain adalah untuk mencapai efek terapi yang
optimum mengurangi efek samping, menghambat timbulnya resistansi, mencegah
kemungkinan adanya efek toksik yang disebabkan oleh substansi zat aktif.
Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih
dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang
diperkirakan.
Banyak obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit pasien diberikan
pada pasien yang tentu saja merupakan pemborosan dan meningkatkan insiden
penyakit karena obat.
3. Faktor Penyakit
Diabetes, hipotensi atau hipertensi, tukak, glaucoma, pelebaran prostat,
kontrol kandung kemih yang buruk, dan insomnia adalah beberapa kondisi yang
perlu diperhatikan karena penderita penyakit seperti ini berpeluang lebih tinggi
mengalami interaksi obat-penyakit.
4. Faktor Genetik
Karena faktor genetik sebagian orang memproses (metabolisme) obat secara
lambat akibatnya suatu obat bisa berakumulasi di dalam tubuh sehingga
menyebabkan toksisitas.
2.2 Dampak Klinis Interaksi Obat
Dampak klinis interaksi obat dilakukan dari beberapa obat yang saling
berinteraksi dimana ha yang paling utama adalah interaksi yang berpengaruh
signifikan terhadap klinis
Tabel 2.2. Dampak klinis interaksi obat berdasarkan level kejadian
Level Skala Interaksi Obat
Level signifikan Level Level Lokumentasi
1
2
3
4
5
Major
Moderat
Minor
Major atau Moderat
Minor untuk seluruh kelas
Established, probable atau
suspected
Established, probable atau
suspected
Established, probable atau
suspected
Possible
Possible dan Unlikely
a) Level signifikansi 1 risiko yang ditimbulkan berpotensial mengancam individu
atau dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen.
b) Level signifikansi 2 efek yang timbul akibat penurunan dari status klinik pasien
sehingga dibutuhkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit.
c) Level signifikansi 3 efek yang dihasilkan ringan; akibatnya mungkin dapat
menyusahkan atau tidak dapat diketahui tetapi secara signifikan tidak
mempengaruhi terapi sehingga treatment tambahan tidak diperlikan.
d) Level signifikansi 4 efek yang dihasilkan dapat berbahaya dimana respons
farmakologi dapat berubah sehingga diperlukan terpi tambahan
e) Level signifikansi 5 efek yang dihasilkan ringan dimana respons klinik dapat
berubah namun ada beberapa yang tidak mengubah respons klinik.
BAB III
PEMBAHASAN
Hubungan dan interaksi antara makanan, zat gizi yang terkandung dalam makanan,
dan obat sangat menarik perhatian masyarakat. Makanan dan zat gizi yang terkandung dalam
makanan jika dikonsumsi secara bersamaan dengan obat-obat tertentu dapat mempengaruhi
bioavailabilitas, farmakokinetika, farmakodinamika dan efek terapi suatu obat secara
keseluruhan. Nutrien tertentu di dalam saluran pencernaan dan/ atau di dalam sistem fisiologi
tubuh seperti di dalam darah dapat meningkatkan atau mengganggu kecepatan absorpsi dan
metabolisme obat. Interaksi obat dengn makanan bisa terjadi karena obat resep atau obat
bebas dan obat bebas terbatas seperti antasida, vitamin dan zat besi. Makanan yang
mengandung zat-zat aktif yang berinteraksi dengan obat-obat tertentu dapat menimbulkan
efek buruk yang tidak diharapkan. Zat-zat gizi termasuk makanan, minuman dan suplemen
makanan bisa mengubah efek obat yang digunakan pasien.
Seperti halnya makanan obat-obatan yang diminum harus diserap melalui mukosa
lambung atau usus kecil. Akibatnya adanya makanan di dalam sistem pencernaan dapat
menurunkan absorpsi suatu obat. Biasanya interaksi semacam ini dapat dihindari dengan
meminum obat satu jam atau dua jam setelah makan. Serat makanan juga mempengaruhi
absorpsi obat.
Karakteristik fisik dan kimia suatu obat adalah faktor yang sangat menentukan potensi
interaksinya dengan makanan. Obat yang berbeda di dalam kelompok obat yang sama atau
formulasi obat-obatan identik yang berbeda bisa menunjukkan karakteristik kimia yang
berbeda sehingga menghasilkan interaksi obat dengan makanan yang benar-benar berbeda.
Terjadinya interaksi makanan dengan obat tergantung pada ukuran dan komposisi
makanan serta waktu pemberian obat dalam kaitannya dengan makan. Misalnya
bioavailabilitas obat-obatan lipofilik biasanya meningkat dengan kandungan lemak yang
tinggi atau karena peningkatan daya larut obat (misalnya albendazol dan isotretinoin) atau
perangsangan sekresi asam lambung (misalnya griseofulvin dan halofantrin). Atau kandungan
serat yang tinggi dapat menurunkan bioavailabilitas obat-obatan tertentu (misalnya digoksin
dan lovastatin) karena pengikatan terhadap serat.
Bioavailabilitas dan efek sebagian besar obat saling berkaitan sehingga perubahan
bioavailabilitas merupakan suatu parameter efek interaksi obat dengan makanan yang sangat
penting. Interaksi farmakokinetik obat dengan makanan yang paling penting disebabkan oleh
perubahan absorpsi suatu obat karena reaksi kimia yang terjadi antara obat dengan makanan
atau respons fisiologi terhadap makanan ; perubahan keasaman lambung, sekresi asam
empedu , atau motilitas saluran percernaan. Interaksi makanan dengan obat yang hanya
mempengaruhi tingkat absorpsi obat sering terjadi secara klinis namun jarang signifikan.
Namun untuk beberapa obat, ansorpsi cepat yang menghasilkan konsentrasi tertinggi obat
mungkin tidak dianjurkan karena terjadinya efek negatif yang terkandung konsentrasi
(misalnya kapsul misoprostol dan nifedipin).
Hubungan antara parameter farmakokinetik dengan efek farmakologi tidak selalu
sederhana. Umumnya perubahan-perubahan bioavailabilitas yang terkait makan hanya bisa
digunakan sebagai indikasi-indikasi obat dengan makanan. Relevan tergantung pada titik obat
(misalnya anti kuman, antihipertensi, obat penurun lipid atau anti koagulan).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat interaksi antara makanan dan obat dimana
dampak interaksi makanan dengan obat tergantung pada sejumlah faktor seperti dosis obat,
usia subjek, ukuran dan kondisi kesehatan. Terlepas dari faktor-faktor ini, waktu konsumsi
makanan dan obat juga memperlihatkan peran penting. Pencegahan interaksi obat bukan
berarti menghindari obat atau mekanan. Dalam kasus tetrasiklin dan produk susu, keduanya
mesti dikonsumsi pada waktu yang berbeda tidak harus menghilangkan salah satunya.
Informasi yang memadai tentang obat-obatan dan waktu minum obat bisa membantu
mencegah masalah interaksi obat.
Tidak semua obat dipengaruhi makanan, namun banyak obat yang dapat dipengaruhi
oleh makanan dan waktu makan. Misalnya, minum obat bersamaan dengan waktu makanan
dapat mempengaruhi absorpsi obat. Makanan dapat memperlambat dan menurunkan absorpsi
obat. Itulah sebabnya obat-obatan ini mesti diminum saat perut dalam keadaan kosong. Disisi
lain, beberapa obat lebih mudah ditoleransi ketika diminum pada waktu makan.sebaiknya
ditanyakan ke dokter atau apoteker apakah obat bisa digunakan bersamaan dengan snack atau
makanan utama, atau apakah obat mesti digunakan ketika perut dalam keadaan kosong.
Makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat didalam traktus gastrointestinalis dengan
mengubah pH lambung, sekresi, dan motilitas saluran pencernaan, serta waktu transit. Hal ini
menyebabkan perubahan kecepatan absorpsi atau tingkat absorpsi obat.
a. Absorpsi obat yang meningkat karena adanya makanan
Obat Mekanisme Perhatian
Eritromisin Tidak diketahui Gunakan bersama makanan
Griseofulvin Obat larut dalam lipid, absorpsi
lebih tinggi dengan makanan
kaya lemak.
Gunakan bersama makanan
dengan kadar lemak tinggi
Karbamazepin Peningkatan produksi
empedu,pelarutan dan
penyerapan lebih tinggi.
-
Hudralazin,
Labetalol, dan
Metaprolol
Makanan dapat menurunkan
ekstraksi dan metabolisme
pertama.
Minum saat makan dengan
makanan yang kaya lemak.
Nitrofurantoin,
Fenitoin, dan
Propoksifen
Perlambatan pengosongan
gastrik meningkatkan pelarutan
dan penyerapan.
Minum saat waktu makan
b. Absorpsi obat yang tertunda atau menurun karena adanya makanan
Obat Mekanisme Perhatian
Am
pisilin
Mengurangi volume cairan perut Gunakan bersama air
Amoksisilin Mengurangi volume cairan perut Gunakan bersama air
INH Makanan akan menaikkan pH
saluran cerna dan memperlambat
waktu pengosongan lambung
Minum saat perut kosong
Linkomisin Mekanisme tidak diketahui Minum saat perut kosong
Sulfonamida Mekanisme tidak diketahui Gunakan bersama
dengan makanan yang
akan memperpanjang
waktu pengosongan
lambung
Tetrasiklin Berikatan dengan ion kalsium dan Gunakan 1 jam atau 2
garam besi membentuk kelat yang
tidak larut
jam setelah makan, dan
hindari susu
Metenamin Hindari makanan
beralkali
Kinidin Efeknya meningkat karena terlalu
banyak kinidin
Hindari makanan
beralkali
Kinin Efeknya meningkat karena terlalu
banyak kini akan mengakibatkan
efek samping yang merugikan
Hindari makanan
beralkali
Benzodiazepin
tertentu (seperti
triamzolam),
Antagonis kalsium
(felodipin, nifedipin,
dan nisoldipin)
Dengan jus anggur menghambat
enzim yang terlibat dalam
metabolisme sehingga
mengidentifikasi efek obat
tertentu.
Hindari Jus Anggur
Antikoagulan Makanan yang kaya vitamin K
(seperti brokoli, tauge, bayam,
dan kangkung) dapat menurunkan
efektivitas antikoagulan sehingga
meningkatkan risiko pembekuan.
Asupan makanan seperti
ini mesti dibatasi, dan
jumlah yang dikonsumsi
setiap hari tetap konstan.
Bisfosfat (alendronat,
ibandronat dan
risedronat)
Makanan bahkan jus jeruk, kopi,
atau air mineral, dapat
menurunkan absorpsi dan
efektivitas obat-obatan ini.
Alendronat dan
risedronat diminum
dengan air putih paling
tidak setengah jam
sebelum makanan,
minuman, atau obat
pertama pada hari itu
diminum, dan ibandronat
mesti diminum paling
tidak satu jam
sebelumnya
BAB IV
KESIMPULAN