Upload
iwanhariyanto
View
182
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
KEADILAN DAN BALAS BUDI PADA KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DESA (STUDI KASUS PADA MASALAH PENUNJUKAN PIHAK PENGELOLA TANAH BENGKOK
KEPALA DESA)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
(ISBD)Dosen: Djuwitawati Ratnaningtyas, S.E., Ak., M.Aks.
Oleh:
ATIK MURYANTI(NPM. 08.141.259/P)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
IKIP PGRI MADIUN2010
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur kehadlirat Allah SWT., yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
dengan judul: “Keadilan dan Balas Budi Pada Kehidupan Sosial Masyarakat Desa
(Studi Kasus Pada Masalah Penunjukan Pihak Pengelola Tanah Bengkok Kepala
Desa)” ini dengan baik.
Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam mengikuti mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Terima kasih yang
tak terhingga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini, baik bantuan yang berupa bimbingan,
semangat, dan penyampaian berbagai informasi sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu segala kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan. Selanjutnya,
penulis berharap makalah ini mampu memberikan manfaat kepada semua pihak.
Terima kasih.
Madiun, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Permasalahan.......................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 5
A. Prinsip Keadilan...................................................................... 5
B. Keadilan dan Balas Budi......................................................... 8
C. Deskripsi dan Pembahasan Kasus........................................... 9
BAB III PENUTUP..................................................................................... 12
REFERENSI................................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya dikenal dengan struktur
budaya kesederhanaan dan kekeluargaannya yang begitu kental. Hal ini
tercermin dari berbagai aktivitas keseharian masyarakat desa, khususnya
dalam mengerjakan sawah di desa-desa di beberapa daerah di Pulau Jawa.
Seperti kita ketahui bersama, masih banyak desa-desa di berbagai
daerah di Pulau Jawa yang tetap menjunjung tinggi asas kekeluargaan serta
lebih menggunakan pertimbangan kerja sama dan gotong royong dalam
mengerjakan berbagai hal, termasuk dalam mengerjakan sawah. Dari beberapa
kebiasaan yang dapat ditemukan di berbagai desa, biasanya masyarakat
menyeragamkan jenis tanaman yang akan mereka tanam di beberapa lokasi
sawah yang berdekatan. Misalnya, jika beberapa orang menanami sawahnya
dengan padi, biasanya sawah sekitarnya juga turut menanam padi. Selain
untuk memudahkan dalam pengendalian hama, hal ini juga memudahkan
dalam hal pengerjaan.
Meskipun selalu ada pembayaran upah sebagai balas jasa dalam
pengerjaan sawah, tetapi pemilihan orang-orang yang bekerja lebih banyak
diserahkan pada pihak pekerja, bukan pemilik sawah. Seorang pemilik sawah
yang akan menanam padi, biasanya cukup menyerahkan pengerjaannya
kepada seseorang yang telah biasa bekerja menanam padi, selanjutnya untuk
pencarian orang-orang yang bekerja, mereka cenderung lebih menggunakan
pertimbangan gotong royong dan kesukarelaan, tanpa harus menunjuk orang-
orang tertentu dengan berbagai pertimbangan tertentu pula. Hal ini sudah
merupakan suatu budaya bagi masyarakat pedesaan di beberapa derah tertentu.
Suatu budaya atau tradisi selalu berkembang mengikuti laju perubahan
jaman. Hal ini juga berlaku pada budaya kekeluargaan, kerja sama,
kesukarelaan, dan gotong royong yang ada pada lingkungan masyarakat desa
kita. Pada beberapa dekade terakhir, terlihat adanya suatu kesan bahwa
masyarakat desa telah banyak berubah, baik dalam berperilaku, bersikap, dan
beraktivitas. Berbagai faktor, seperti modernisasi, ekonomi, hingga faktor
politik, telah mempengaruhi berbagai budaya dan kebiasaan berperilaku
masyarakat desa.
Salah satu contoh kasus yang ditemukan penulis adalah adanya faktor
politik, khususnya pada saat penerapan politik dalam pemilihan kepala desa.
Pemilihan kepala desa yang menerapkan konsep pemilihan langsung oleh
masyarakat atau warga desa, disadari atau tidak, telah melahirkan suatu bentuk
wacana berperilaku yang baru. Adanya perbedaan pendapat yang
berkepanjangan dan tanpa ada itikad baik untuk segera mengakhiri demi
kebersamaan, telah memicu timbulnya bentuk-bentuk perpecahan,
pengelompokkan masyarakat, dan yang paling parah adalah diskriminasi dan
pembedaan dari pihak pemenang pemilihan kepala desa terhadap masyarakat
yang berada pada pihak calon kepala desa yang kalah, yang otomatis sebagai
lawan kepala desa yang baru.
Lebih parah lagi, kondisi ini telah memasuki koridor yang tidak
sebagaimana mestinya. Seperti yang tampak pada kasus penunjukkan pihak-
pihak yang diserahi untuk mengerjakan tanah bengkok kepala desa di Desa
Petungrejo, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan pada beberapa
waktu yang lalu. Jika sebelumnya, pihak-pihak yang dapat mengerjakan tanah
bengkok kepala desa ditunjuk memalui lelang yang diadakan, meskipun dalam
bentuk lelang yang sederhana, sekarang telah mengalami suatu pergeseran
bentuk perilaku budaya. Seseorang atau beberapa orang yang berhak atau yang
diberikan pekerjaan untuk mengelola tanah bengkok ditunjuk langsung oleh
kepala desa yang jadi. Adapun pihak yang ditunjuk adalah orang-orang yang
selama ini merupakan pendukung sang kepala desa pada saat pemilihan kepala
desa sebelumnya. Sedangkan orang-orang atau pihak yang dianggap tidak
mendukung atau mendukung lawan, tidak akan diberi kesempatan untuk
melakukan penawaran atas pengerjaan tanah bengkok tersebut. Salah satu
alasan penunjukan langsung pada pihak pendukungnya tersebut adalah sebagai
suatu bentuk balas budi sang kepala desa kepada orang tersebut.
Berdasarkan fakta dan fenomena di Desa Petungrejo tersebut, penulis
menganggap bahwa penunjukan atas pemberian hak mengelola tanah bengkok
oleh kepala desa secara langsung kepada orang yang dianggap sebagai
pendukungnya dengan pertimbangan balas budi adalah bertentangan dengan
budaya kebersamaan dan gotong royong yang ada. Selain itu, dari perspektif
keadilan, hal tersebut merupakan suatu bentuk diskriminasi atas kelompok-
kelompok tertentu, dalam hal ini kelompok yang dianggap sebagai lawan
politik sang kepala desa.
B. Permasalahan
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam makalah ini akan dilakukan suatu
pembahasan masalah berikut ini: Bagaimanakah kasus penunjukan secara
langsung atas pihak yang berhak mengerjakan tanah bengkok kepala desa
yang didasarkan pada pertimbangan balas budi dan tidak mempertimbangkan
faktor keadilan dan keterbukaan, jika ditinjau dari perspektif Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar?
C. Tujuan Pembahasan
Pembahasan dalam makalah ini bertujuan untuk menganalisis kasus
tentang penunjukan secara langsung atas pihak yang berhak mengerjakan
tanah bengkok kepala desa yang didasarkan pada pertimbangan balas budi dan
tidak mempertimbangkan faktor keadilan dan keterbukaan, jika ditinjau dari
perspektif Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil. Menurut Poerwodarminto (2005: 12),
kata adil berarti tidak berat sebelah, sepatutnya tidak sewenang-wenang dan
tidak memihak.
Menurut pengertian umum, Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal
secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Jadi,
keadilan itu berlaku bagi seluruh mahluk hidup maupun bagi benda-benda
yang ada di alam semesta. Hal ini dikarenakan oleh adanya keterikatan yang
terjadi secara alamiah, sehingga seluruh mahluk harus berlaku adil kepada
yang lainnya. Sebagai salah satu jalan mempertahankan keseimbangan yang
alami tersebut.
Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi
setiap manusia dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari
kehidupan. Menurut Aristoteles (dalam Ahmad Zaenal Fanani, 2009: 8),
keadilan akan dapat terwujud jika hal-hal yang sama diperlakukan secara sama
dan sebaliknya, hal-hal yang tidak semestinya diperlakukan tidak semestinya
pula. Dimana keadilan memiliki ciri antara lain; tidak memihak, seimbang dan
melihat segalanya sesuai dengan proporsinya baik secara hak dan kewajiban
dan sebanding dengan moralitas. Arti moralitas disini adalah sama antara
perbuatan yang dilakukan dan ganjaran yang diterimanya. Dengan kata lain
keadilan itu sendiri dapat bersifat hukum.
Keadilan itu sendiri memiliki sifat yang bersebrangan dengan dusta
atau kecurangan. Dimana kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang
tidak baik dan tidak jujur. Atau dengan kata lain apa yang dikatakan tidak
sama dengan apa yang dilakukan. Kecurangan pada dasarnya merupakan
penyakit hati yang dapat menjadikan orang tersebut menjadi serakah, tamak,
rakus, iri hati, matrealistis serta sulit untuk membedakan antara hitam dan
putih lagi dan mengkesampingkan nurani dan sisi moralitas.
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecurangan antara lain ;
1. Faktor ekonomi. Setiap berhak hidup layah dan membahagiakan dirinya.
Terkadang untuk mewujudkan hal tersebut kita sebagai mahluk lemah,
tempat salah dan dosa, sangat rentan sekali dengan hal – hal pintas dalam
merealisasikan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Menghalalkan segala
cara untuk mencapai sebuah tujuan semu tanpa melihat orang lain
disekelilingnya.
2. Faktor Peradaban dan Kebudayaan sangat mempengaruhi dari sikapdan
mentalitas individu yang terdapat didalamnya “system kebudayaan” meski
terkadang halini tidak selalu mutlak. Keadilan dan kecurangan merupakan
sikap mental yang membutuhkan keberanian dan sportifitas. Pergeseran
moral saat ini memicu terjadinya pergeseran nurani hamper pada
setiapindividu didalamnya sehingga sangat sulit sekali untuk menentukan
dan bahkan menegakan keadilan.
3. Teknis. Hal ini juga sangat dapat menentukan arah kebijakan bahkan
keadilan itu sendiri. Terkadang untuk dapat bersikapadil,kita pun
mengedepankan aspek perasaan atau kekeluargaan sehingga sangat sulit
sekali untuk dilakukan. Atau bahkan mempertahankan keadilan kita
sendiri harus bersikap salah dan berkata bohong agar tidak melukai
perasaan orang lain. Dengan kata lian kita sebagai bangsa timur yang
sangat sopan dan santun.
4. dan lain sebagainya.
Keadilan dan kecurangaan atau ketidakadilan tidak akan dapat berjalan
dalam waktu bersamaan karena kedua sangat bertolak belakang dan
berseberangan.
Dari berbagai uraian di atas, dapat disampaikan bahwa keadilan pada
hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan
haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai
dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan
kewajibannya, tanpa membedakan suku, keurunan, dan agamanya.
Pembagian keadilan menurut Aristoteles (dalam Ahmad Zaenal
Fanani, 2009: 17):
1. Keadilan komutatif adalah perlakuan terhadap seseorang yang tidak
melihat jasa-jasa yang dilakukannya.
2. Keadilan distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan
jasa-jasa yang telah dibuatnya.
3. Keadialn kodrat alam adalah memberi sesuatusesuai dengan yang
diberikan orang lain kepada kita.
4. Keadilan konvensional adalah seseorang yang telah menaati segala
peraturang perundang-undangan yang telah diwajibkan.
5. Keadilan menurut teori perbaikan adalah seseorang yang telah berusaha
memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar.
Pembagian keadilan menurut Plato (dalam Ahmad Zaenal Fanani,
2009: 21):
1. Keadilan moral, yaitu suatu perbuatan dapat dikatakan adila secara moral
apabila telah mampu memberikan perlakuan yang seimbang antara hak
dan kewajibannya.
2. Keadilan prosedural, yaitu apabila seseorang telah mampu melaksanakan
perbuatan adil berdasarkan tata cara yang telah diterapkan.
Thomas Hobbes (dalam Ahmad Zaenal Fanani, 2009: 23) menjelaskan
suatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan dengan perjanjian
yang disepakati. Sedangkan Notonegoro (dalam Ahmad Zaenal Fanani, 2009:
24), menambahkan keadilan legalitas atau keadilan hukum yaitu suatu keadan
dikatakan adil jika sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
B. Keadilan dan Balas Budi
Jika dikaitkan tolong menolong atau saling membantu dalam
kehidupan sosial, pemberlakuan keadilan akan mengalami benturan dengan
apa yang dinamakan balas budi. Seperti kita ketahui bersama, dalam budaya
Indonesia, tolong menolong dan saling membantu biasanya memiliki
implikasi terhadap apa yang dinamakan balas budi. Seseorang yang merasa
telah ditolong atau dibantu oleh teman atau orang lain, akan merasa bahwa dia
berhutang budi pada orang yang telah menolong atau membantunya tersebut.
Untuk itu, dia akan berusaha untuk berbalas budi terhadap penolongnya
tersebut.
Pada kasus perpolitikan di Indonesia, terdapat suatu fenomena bahwa
politik dipandang suatu bentuk interaksi sosial yang memperhatikan asas
tolong menolong dan balas budi tersebut. Hal ini sebenarnya tidak pada
tempatnya jika sudah berkaitan dengan kepentingan umum. Dalam pemilihan
umum maupun pemilihan kepala desa, orang yang berhasil memenangkan
pemilihan akan merasa perlu membalas budi orang atau pihak yang
mendukungnya menjadi pemenang. Padahal, dalam kancah politik, memilih
atau mendukung suatu kontestan atau suatu calon adalah hak politik dan
bukan suatu tanggungan, sehingga tidak perlu diadakan upaya-upaya balas
budi.
Jika dalam politik, kemenangan yang dicapai oleh pemenang
pemilihan kepala desa seharusnya dianggap bukan suatu hutang terhadap para
pemilihnya karena hal tersebut akan membawa dampak yang luar biasa bagi
proses pendewasaan politik di Indonesia. Hal ini tercermin dalam masalah
yang disampaikan dalam makalah ini, yaitu pemberian wewenang atau hak
untuk mengerjakan bengkok kepala desa sebagai pemenang pemilihan desa
dengan pertimbangan balas budi, bukan dengan berdasarkan keterbukaan dan
keadilan (fairness). Jika kondisi ini terjadi, maka suatu balas budi akan
berbenturan dengan prinsip keadilan itu sendiri.
C. Deskripsi dan Pembahasan Kasus
Pada kasus yang dibahas ini, terjadi suatu pertentangan atau benturan
antara prinsip keadilan dengan balas budi. Kepala desa sebagai pemenang
Pilkades, jika memang memutuskan untuk mengerjakan tanah bengkok
sebagai haknya kepada orang lain, tidak seharusnya menunjuk secara langsung
hanya kepada pendukungnya yang dianggap telah membantu menjadikan
dirinya sebagai kepala desa atas pertimbangan balas budi. Hal ini akan
melanggar prinsip keadilan, dimana jika seharusnya pengerjaan tanah bengkok
tersebut juga dapat dilakukan oleh warga desa yang tidak mendukungnya,
maka penunjukan langsung tersebut akan melanggar hak warga desa yang
bukan pendukungnya.
Jika sang kepala desa ingin berbalas budi kepada warganya yang telah
mendukungnya, rasanya tidak pantas jika dilakukan dengan menafikan rasa
keadilan. Warga desa yang bukan pendukungnya bukan berarti tidak akan ikut
serta dalam pembangunan desa yang berlangsung seterusnya. Jika ada
kegiatan-kegiatan yang menuntut keikutsertaan semua warga desa, bukankah
semua warga harus terlibat dan bukan hanya warga desa yang mendukungnya
pada saat Pilkades?
Apabila kepala desa terpilih tetap mengambil sikap untuk selalu
mengutamakan warga yang dulu mendukung dan memenangkanya dalam
Pilkades, maka akan terjadi kecemburuan sosial diantara semua warga desa.
Hal ini akan menganggu keseimbangan laju pembangunan desa yang
dijalankan kepala desa beserta seluruh warga desa.
Dari kasus yang ada, dapat disampaikan bahwa keadilan untuk semua
adalah mutlak didahulukan daripada suatu bentuk balas budi. Jika ingin
berbalas budi, sebaiknya sang kepala desa terpilih menerapkan pada hal-hal
lain yang tidak melibatkan kepentingan umum. Misalnya, dengan memberikan
imbalan atau hadiah kepada warga yang telah membantunya. Itupun harus
dilakukan secara terbuka tanpa menafikan warga yang lain dan membuat luka
hati warga yang bukan pendukungnya. Bukankah seorang pemimpin itu harus
bersikap adil kepada seluruh orang yang dipimpinnya?
BAB III
PENUTUP
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari aspek keadilan. Kesamaan,
baik kesamaan numerik, dimana setiap manusia memiliki kesamaan sebagai satu
unit maupun kesamaan proporsional, yang memberi setiap orang apa yang
menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya, perlu
dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip keadilan.
Program penegakan keadilan harus memperhatikan dua prinsip keadilan,
yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu
mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat
memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap
orang, baik mereka yang berasal dari kelompok pemenang/pendukung maupun
kelompok lawan.
Pada kasus penunjukan pihak yang berhak mengerjakan bengkok kepala
desa sebagai pemenang Pilkades Desa Petungrejo, Kecamatan Nguntoronadi,
Kabupaten Magetan tersebut, sebaiknya sang kepala desa tidak harus memberikan
kepada wargta desa yang dianggap sebagai pendukung atau yang telah
memenangkannya. Sebaiknya, kepala desa tersebut tetap menggunakan
pertimbangan keadilan yang memperhatikan dua prinsip keadilan tersebut di atas,
terutama dengan memberi setiap warga kesempatan yang sama dan sesuai dengan
kemampuan atau prestasinya. Jika memang mampu mengelola tanah bengkok
dengan baik, meskipun dari kelompok warga yang dahulu tidak mendukung
bahkan sebagai lawan politiknya, seharusnya mereka juga ditawari untuk
mengerjakan tanah bengkok tersebut. Dengan demikian, tidak perlu menggunakan
pertimbangan balas budi, karena dapat terjadi suatu benturan terhadap prinsip
keadilan yang pada akhirnya akan mengancam kesatuan warga dan mengganggu
proses interaksi sosial dan pembangunan desa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Poerwodarminto, W. J. S., 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edsisi Kelima, Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Ahmad Zaenal Fanani, 2009, Teori Keadilan dalam Perspektif Hukum dan Islam, Artikel, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia (Tidak Dipublikasikan).