Upload
nur-faiizah-af
View
15
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
KIMIA ANALISIS LINGKUNGAN LAUT
Citation preview
Tugas Review Kimia Analisis Lingkungan Laut
ANALISIS KADAR FOSFAT DI LAUT
DISUSUN OLEH :
RUHUL AENY H311 12 023
IMELDA PONGLABBA H311 12 026
AHMAD NUR H311 12 251
SENIATI SALAHUDDIN H311 12 281
NUR FAIIZAH AQIILAH FIRMAN H311 12 289
HENDRICO TRIANDY WH H311 12 904
HIKMAWATI H311 13 006
JURUSAN KIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
MAKASSAR2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar belakang
Wilayah pesisir dan laut merupakan wilayah yang sangat
produktif. Kawasan pesisir memiliki berbagai fungsi seperti
transportasi dan pelabuhan, agroindustri, rekreasi dan pariwisata
serta kawasan pemukiman. Perairan pantai juga menjadi tempat
pembuangan limbah berbagai aktivitas manusia seperti
pemukiman penduduk kegiatan pertambakan dan aktivitas
dermaga nelayan.
Kesuburan suatu perairan menjadi salah satu faktor
penunjang dalam penentuan kualitas suatu perairan. Fosfat,
nitrat dan oksigen terlarut merupakan tiga unsur senyawa kimia
yang sangat penting untuk mendukung kehidupan organisme
dalam suatu perairan. Senyawa fosfat dan nitrat merupakan zat
hara yang dijadikan petunjuk kesuburan perairan dan dibutuhkan
organisme dalam pertumbuhan dan perkembangan hidup biota
laut terutama fitoplankton.
Meningkatnya jumlah penduduk, dan menyebabkan
peningkatan intensitas dan variasi aktifitas manusia khususnya
di wilayah pesisir yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan lingkungan di wilayah pesisir dan laut, yang juga turut
menyumbang limbah domestik, organik dan anorganik yang
mengandung zat hara diantaranya fosfat, silikat dan nitrat yang
bersumber dari wilayah pemukiman menuju ke perairan laut.
Bahan organik yang terdiri dari kumpulan beragam
senyawa-senyawa organic kompleks yang sedang atau telah
mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus maupun
senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk juga
mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada di
dalam laut.
Secara normal bahan organik tersusun oleh unsur-usur C,
H, O dan dalam beberapa hal juga mengandung N, S, P dan Fe.
Secara alamiah konsentrasi bahan organik dalam perairan
bervariasi untuk masing-masing bentuk senyawanya, namun
dalam kondisi tertentu dapat terjadi keadaan di luar batas untuk
kategori perairan tertentu, dan kondisi yang di maksud adalah
terjadinya pembuangan limbah yang melewati batas konsentrasi
yang telah ditentukan oleh instansi berwenang yang
menyebabkan terjadi penurunan kualitas perairan yang
berdampak negative terhadap biota yang hidup diperairan
tersebut dan juga dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi
yang diindikasikan dengan terjadinya blooming fitoplankton. Hal
ini dapat terjadi tergantung pada kondisi fisik dan lingkungan
dari berbagai daerah misalnya, di perairan Banggai, perairan
Sayung, perairan teluk Ujung Batu, perairan pulau Talise dan
perairan di kepulauan Natuna yang terbagi atas beberapa daerah
di Indonesia.
Dalam tulisan ini akan dikaji tentang kualitas air laut yang
ditinjau dari kadar zat hara fosfat, distribusi dan sebaran zat hara
fosfat di berbagai perairan, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya serta parameternya yang terkandung dalam
sampel air laut dan sedimennya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
a)Bagaimana sumber dan distribusi fosfat di laut?
b)Bagaimana klasifikasi kadar fosfat menurut Environmental Protection
Agency (EPA)?
c) Bagaimana metode dalam menganalisis kadar fosfat dalam
perairan?
d)Reaksi apakah yang terjadi dalam analisis kadar fosfat?
e)Bagaimana perbandingan metode penentuan kadar fosfat
dan sebaran fosfat di beberapa perairan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sumber dan Distribusi Fosfat
Bahan organik merupakan kumpulan beragam senyawa-senyawa organik
kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi. Karbon dan
fosfat adalah salah satu unsur penyusun senyawa organik di perairan. Kedua unsur
ini merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang
hidup di perairan. Karbon organik dan fosfat merupakan salah satu indikasi
kesuburan perairan tetapi bila kandungannya melebihi baku mutu akan
berpengaruh pada kualitas perairan. Secara normal bahan organik tersusun oleh
unsur-unsur C, H, O, dan dalam beberapa hal mengandung N, S, P dan Fe
(Hutasoit, dkk., 2014).
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar fosfat adalah masuknya
limbah yang banyak mengandung fosfat dan zat organik lain yang dalam proses,
penguraiannya banyak membutuhkan oksigen. Limbah jenis ini umumnya banyak
berasal dari kegiatan-kegiatan penduduk dan akan mempengaruhi kehidupan
dalam perairan. Perubahan kadar yang terjadi, akan mempengaruhi kehidupan
organisme perairan (Patty, 2013).
Menurut Hutagalung dan Rozak (1998) dalam Girsang dkk., (2013), fosfat
merupakan bahan makanan utama yang digunakan oleh semua organisme untuk
pertumbuhan dan sumber energi. Fosfat di dalam air laut, berada dalam bentuk
senyawa organik dan anorganik. Dalam bentuk senyawa organik, fosfat dapat
berupa gula fosfat dan hasil oksidasinya, nukloeprotein dan fosfo protein. Adapun
dalam senyawa anorganik meliputi ortofosfat dan polifosfat. Senyawa anorganik
fosfat dalam air laut pada umumnya berada dalam bentuk on (orto) asam fosfat
(H3PO4), dimana 10% sebagai ion fosfat dan 90% dalam bentuk HPO42-. Fosfat
merupakan unsur yang penting dalam pembentukan protein dan membantu proses
metabolisme sel suatu organisme. Sumber fosfat di perairan laut pada wilayah
pesisir dan paparan benua adalah sungai. Sungai membawa hanyutan sampah
maupun sumber fosfat daratan lainnya, sehingga sumber fosfat di muara sungai
lebih besar dari sekitarnya.
Kadar nutrient yang lebih tinggi berada di dekat dasar dibandingkan di
lapisan permukaan. Hal ini terjadi karena bahan-bahan organik yang berasal dari
darat maupun dari tumbuh tumbuhan dan hewan yang mengandung unsure
nutrient secara alamiah terdistribusi mulai dari lapisan permukaan sampai ke dasar
perairan sehingga kadar nutrisinya semakin tinggi akibat terakumulasi di dasar
perairan (Simanjuntak, 2012).
2.2 Klasifikasi Kadar Fosfat Menurut Environmental Protection Agency (EPA)
Klasifikasi kesuburan perairan ditinjau dari kadar fosfat menurut
Environmental Protection Agency atau EPA (2002) adalah <1,55 µg A/l tergolong
rendah, antara 1,55-3,10 µg A/l tergolong sedang, dan >3,10 µg A/l tergolong
tinggi (Simanjuntak, 2012).
2.3 Metode yang Digunakan dalam Analsis Fosfat
2.3.1 Metode Pengukuran Standar Fosfat
Metode standar untuk penentuan fosfat adalah kolorimetri. Amonium
molibdat ditambahkan ke sampel ortofosfat dengan asam askorbat dan antimon
(III), yang menghasilkan senyawa kompleks fosfomolibdat yang berwarna biru.
Konsentrasi fosfat kemudian ditentukan secara optic dengan spektrofotometer.
Reaksinya sebagai berikut (Warwick, dkk., 2013):
PO43- + 12(NH4)2MoO4 + 24H+ (NH4)3[PO4(MoO3)12] + 21NH4
+ + 12H2O
Metode ini direkomendasikan sebagai standar untuk penentuan ortofosfat
secara laboratorium. Meski demikian, metode fosfomolibdenum ini terganggu
oleh arsenat, silikat, sulfida dan agen pengoksidasi. Metode ini rentan terhadap
index kesalahan refraktif dan kekeruhan sampel. Metode fosfomolibdenum
tersedia secara komersil baik yang melibatkan pengukuran on site ataupun yang
memerlukan pengiriman sampel untuk dianalisa. Meski demikian pendekatan
keduanya merupakan pekerjaan yang intensif dan membutuhkan penggunaan
reagen dan kuvet yang langsung dan secara berkelanjutan, yang mana
mendatangkan biaya langsung dan membutuhkan pembuangan yang aman. Oleh
karena itu, memiliki sensor yang dapat mengukur kelarutan fosfat di air dapat
mendatangkan penghematan biaya yang signifikan, di lain hal, ini juga telah
dirancang untuk mendukung adanya montoring in situ, berkelanjutan dan real-
time (Warwick, dkk., 2013).
2.3.2 Biomimetric Phosphate Receptors
a). Synthetic Receptors
Keberagaman metodologi sensor telah dikembangkan untuk mendeteksi
dan mengukur kandungan fosfat. Banyak pemanfaatan teknik pengenalan sintesis
molekul, yang secara khas terlibat dalam generasi molekul makro siklik dan
asiklik. Sensor-sensor ini dirancang untuk mengambil keuntungan dari keragaman
struktur anion-anion, sehingga reseptor dapat mensintesis untuk mengenali anion
tetrahedral, sebagai contoh, fosfat dan sulfat. Ukuran rongga yang digunakan
untuk mengikat molekul yang diinginkan, bersamaan dengan derajat kekakuan
dari situs reseptor, dapat menawarkan derajatkeselektivan untuk anion-anion
tertentu. Meski demikian, keselektivan untuk fosfat meninggalkan suatu
tantangan, sejak anion dengan ukuran dan bentuk yang mirip, seperti sulfat, dapat
terikat oleh reseptor sintesis yang sama, sebagai contoh, diameter anion fosfat dan
sulfat sangat mirip, 1,52 Å dan 1,45 Å (Katayev, dkk., 2006 dalam Warwick,
dkk., 2013).
b). Molecularly Imprinted Polymers (MIPs)
Terdapat golongan alternatif untuk reseptor sintesis mencakup MIPs.
Pengenalannya dicapai dengan menggunakan analit target sebagai template
selama polimerisasi (Gambar a) dan, setelah penghapusan berikutnya dari
template, rongga target yang spesifik yang tersisa (Gambar c), akan membuat
target analit terikat kembali. Berikut gambar 1 reseptor sintesis MIPs (Warwick,
dkk., 2013):
Beragam MPIs telah dikembangkan sehingga dapat mengenali dan
mengikat residu fosfat dalam larutan aqueous, namun masih banyak yang belum
terintegrasi dengan transduser (Warwick, dkk., 2013).
2.3.3 Metodologi Optik untuk Mendeteksi Fosfat
a). Colourimetric Approaches
Beragam teknik kolorimetri telah dikembangkan dengan memanfaatkan
reseptor sintesis, Tabel 1 menghadirkan sebuah kesimpulan. Reseptor
mengandung piridin berdasarkan reseptor sintesis dengan inti seng rangkap,
ammonium dan guanidinium dengan inti logam tembaga (II) dan
aminoimidazolium. Batasan deteksi ini sangat bervariasi tapi reseptor sintesis
dengan enam gugus aminoimidazolium reaktif, digunakan untuk mengukur
konsentrasi inositol trifosfat dalam air, dideteksi nilai terendah pada 0,124 mg/L
diikuti oleh piridin berdasarkan reseptor sintesis dengan 0,3 mg/L. Yang terakhir,
selektivitas tinggi yang ditampilkan untuk fosfat dibandingkan dengan anion-
anion yang berjumlah banyak, termasuk nitrat, sulfat, klorida dan asetat, meski
demikian, tidak terdapat data yang tersedia mengingat ketahan lama dan
kesesuaiannya untuk bidang yang digunakan. Reseptor sintesis yang paling tidak
sensitive adalah ammonium/guanidinium dengan inti logam tembaga (II), yang
mendeteksi fosfat (dalam serum) pada konsentrasi 49 mg/L. Meski demikian,
semakin rendah batas deteksinya maka akan diperlukan untuk aplikasi lingkungan
(Warwick, dkk., 2013).
Secara keseluruhan, keragaman metode kolorimetri yang telah
dikembangkan, dengan batas deteksi bervariasi dari milligram hingga microgram
per liter. Meski demikian, isu seperti gangguan dari anion-anion lain,
mengganggu dari partikel padat dan secara alami membentuk senyawa organik
pada sampel air yang membatasi perkembangan dan kesesuaiannya untuk
penggunaan jangka panjang (Warwick, dkk., 2013).
b). Luminescence / metode fluorescence
Metode luminescence dan fluorescence mengandalkan perubahan emisi
spectra dari pereaksi spesifik yang dipicu oleh adanya fosfat. Seperti metode
kolorimetri, konsentrasi fosfat ditentukan secara optikal. Metode ini berpotensi di
modifikasi untuk pengukuran yang secara otomatis/berkelanjutan menggunakan
alat microfluidic atau dengan menggunakan kromofor pada alat optic (Warwick,
dkk., 2013).
2.4 Perbandingan Metode Penentuan Kadar Fosfat dan Sebaran
Fosfat di Beberapa Perairan
a). Studi Sebaran Konsentrasi Nitrat dan Fosfat di Perairan teluk Ujungbatu Jepara
Analisis fosfat pada sampel air laut dilakukan dengan metode asam
askorbat yang menggunakan Spektrofotometer UV-Vis dengan panjang
gelombang 880 nm sesuai dengan prosedur SNI 06-6989.31-2005 (Karil, dkk.,
2015).
Gambar 2. Pola Arus Saat Kondisi Surut di Perairan Teluk UJungbatu Jepara
No Waktu Pengambilan Nama Stasiun Konsentrasi
Fosfat
1 11.58 Stasiun 1 0,9784
2 11.15 Stasiun 2 0,0909
3 11.37 Stasiun 3 0,0424
4 11.46 Stasiun 4 0,5292
5 09.48 Stasiun 5 0,0578
6 10.15 Stasiun 6 0,1423
7 10.25 Stasiun 7 0,1810
8 10.40 Stasiun 8 0,1621
9 09.10 Stasiun 9 0,0348
10 09.25 Stasiun 10 0,0046
11 09.32 Stasiun 11 0,0289
Konsentrasi fosfat tertinggi berada di stasiun 1 sebesar
0,9784 mg/L. Hal ini diduga karena banyaknya pasokan limbah
yang berasal dari pertanian, pemukiman serta pertambakan.
Kondisi perairan pada saat surut menyebabkan terjadinya
transport fosfat melalui muara sungai yang merupakan tempat
keluaran berbagai aktivitas warga disekitar perairan Teluk
Ujungbatu yang berpotensi menghasilkan limbah fosfat seperti
detergen, buangan manusia atau pembersih rumah. Sungai
merupakan salah satu media pembawa hanyutan-hanyutan
sampah maupun sumber fosfat dari daratan, sehingga akan
mengakibatkan konsentrasi fosfat pada muara sungai lebih besar
daripada daerah sekitarnya (Karil, dkk., 2015).
b). Distribusi Kandungan Karbon Organik Total (KOT) dan Fosfat di Perairan
Sayung, Kabupaten Demak
Analisis fosfat menggunakan metode Vanadatmolybdat. Kemudian sampel
diukur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS (Hutasoit, dkk., 2014).
Posisi stasiun pengambilan sampel air ditetapkan dengan menggunakan
metode Purposive sampling,yaitu teknik pengambilan sampel/sumber data dengan
pertimbangan tertentu dalam hal ini adalah arus laut, dan jarak antar titik. Gambar
peta lokasi penelitian lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 3. Pola Lokasi Penelitian
Pengambilan sampel air laut pada tiap titik stasiun dilakukan dengan
menggunakan wadah berupa botol sampel (polyethylene) berukuran 500 mL yang
sebelumnya telah dibersihkan. Sampel air yang telah ditampung selama dalam
perjalanan segera ditambahkan HNO3 berfungsi sebagai pengikat fosfat yang
terkandung di air sampel lalu diaduk agar merata sampai pH ± 2 (Hutasoit, dkk.,
2014).
Gambar 4 Kandungan Fosfat di 10 Stasiun
Konsentrasi fosfat terlarut yang tertinggi dengan nilai 1,43
mg/L terdapat di Stasiun 1 dan nilai kecerahan rendah yaitu
sebesar 14 cm. Hal ini diduga diakibatkan banyaknya pasokan
limbah dari daratan dan menyebabkan perairan menjadi keruh
sehingga mengakibatkan kandungan oksigen terlarut menurun
yaitu 2,22 mg/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Warlina
(2004) bahwa kadar oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh
limbah organik yang terbuang dalam air. Limbah organik akan
mengalami degradasi dan dekomposisi oleh bakteri aerob
(menggunakan oksigen dalam air), sehingga oksigen yang
terlarut dalam air akan sangat berkurang. Nilai kecerahan dan
oksigen terlarut yang rendah berbanding terbalik dengan
konsentrasi karbon organik total dan fosfat terlarut pada suatu
perairan yang berasal dari limbah organik. Nilai konsentrasi
fosfat terlarut ini telah melampaui Baku Mutu Air Laut yang
ditetapkan oleh Pemerintah (Kep. Men. Negara LH. Nomor 51
Tahun 2004) yaitu 0,015 (Hutasoit, dkk., 2014).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makalah ini, yaitu:
1. Distribusi dan sebaran fosfat diperairan secara horizontal dan vertical yaitu
kadar tertinggi fosfat di muara sungai dan di dasar laut.
2. Klasifikasi kadar fosfat menurut Environmental Protection Agency atau
EPA (2002) adalah <1,55 µg A/l tergolong rendah, antara 1,55-3,10 µg A/l
tergolong sedang, dan >3,10 µg A/l tergolong tinggi.
3. Penentuan kadar fosfat dapat dilakukan dengan menggunakan metode
pengukuran standar fosfat, biomimetric phosphate receptors dan metode
optic untuk mendeteksi fosfat (kolorimetri dan flourosense)
4. Reaksi yang terjadi dalam analisis kadar fosfat yaitu akan terbentuk
kompleks yang berwarna biru (Molibdenum biru).
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Girsang, P., Muslim, Satriadi, A., 2013, Sebaran Nitrat dan Fosfat Secara Horizontal di Perairan Pantai Kecamatan Tugu, Semarang Tahun 2012 dan 2013, Jurnal Oseanografi, 2(4): 406-415.
Hutasoit, S. R., Yulia, S., dan Yusuf, M., 2014, Distribusi Kandungan Karbon Organik Total (KOT) dan Fosfat di Perairan Sayung, Kabupaten Demak, Jurnal Oseanografi, 3(1): 74-80.
Karil, A. R. F., Yusuf, M., dan Maslukah, L., 2015, Studi Sebaran Nitrat dan Fosfat di Perairan Teluk Ujungbatu Jepara, Jurnal Oseanografi, 4(2): 386-392.
Patty, S. I., 2013, Kadar Fosfat, Nitrat dan Oksigen Terlarut di Perairan Pulau Talise, Sulawesi Utara, Jurnal Ilmiah Platax, 1(4): 167-176.
Simanjuntak, M., 2012, Kualitas Air Laut Ditinjau dari Aspek Zat Hara, Oksigen Terlarut dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah, Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(2): 290-303.
Ulqodry, T. Z., Yulisman, Syahdan, M., dan Santoso, 2010, Karakteristik dan Sebaran Nitrat, Fosfat, dan Oksigen Terlarut di Perairan Karimunjawa Jawa Tengah, Jurnal Penelitian Sains, 13(1): 35-41.
Warwick, C., Guerreiro, A., dan Soares, A., 2013, Sensing and Analysis of Solube Phosphate in Enviromental Samples A Review, Biosensor and Bioelelctronics, 41: 1-11.