58
Daftar Isi Islam di Antara Kebodohan Guru dan Fanatisme Murid 2 Ijtihadnya Orang Awam 4 Beda Level Penyanyi dan Suka Menyanyi 6 Dokter, Perawat dan Tukang Obat 10 Puber Religi? 19 Mau Ikut Nabi apa Ikut Ulama? 22 Kitab Percaya Diri dan Kitab Tahu Diri 26 Etika dan Batasan Dalam Berbeda Pendapat 30 Apa Saja Penyebab Munculnya Paham Anti Mazhab? 35 Mazhab Dalam Islam 42 Banyak Pilihan Pendapat, Mana Yang Paling Benar? 46 1

Makalah Kampus#2(2)

  • Upload
    lutfi16

  • View
    264

  • Download
    6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah Kampus#2(2)

Citation preview

Page 1: Makalah Kampus#2(2)

Daftar Isi

Islam di Antara Kebodohan Guru dan Fanatisme Murid 2

Ijtihadnya Orang Awam 4

Beda Level Penyanyi dan Suka Menyanyi 6

Dokter, Perawat dan Tukang Obat 10

Puber Religi? 19

Mau Ikut Nabi apa Ikut Ulama? 22

Kitab Percaya Diri dan Kitab Tahu Diri 26

Etika dan Batasan Dalam Berbeda Pendapat 30

Apa Saja Penyebab Munculnya Paham Anti Mazhab? 35

Mazhab Dalam Islam 42

Banyak Pilihan Pendapat, Mana Yang Paling Benar? 46

1

Page 2: Makalah Kampus#2(2)

Islam di Antara Kebodohan Guru dan Fanatisme Murid

By : Ahmad Sarwat, Lc., MA - [ baca semua tulisan ] 4 August 2014, 06:45:08 | dibaca 4.308 kali Salah satu penyakit yang paling sering menyerang pemahaman para juru dakwah dan aktifis Islam adalah mengidentikkan antara pendapat pribadi mereka dengan agama Islam.

Dalam pandangan mereka, semua pendapat dan pandangan subjektif yang lahir dari otak mereka adalah Islam. Kemudian, luas  agama Islam itu dipenjara sedemikan rupa hanya sebatas apa yang mereka pahami saja. Di luar itu dianggap bukan Islam dan harus diperangi.

Kalau baru sampai disitu barangkali masih belum terlalu jadi masalah. Sebab kenyataannya memang banyak sekali umat Islam yang sangat awam dan punya pemikiran seperti itu.

Tetapi pemikiran semacam ini menjadi gawat kalau bersemayam di dalam kepala para juru dakwah dan aktifisnya. Sebab mereka punya banyak murid yang biasanya merupakan pengikut fanatik, karakter yang selalu ditumbuhkan adalah mengamini semua yang keluar dari mulut gurunya serta setia selalu membela sang guru.

Buat mereka, sama sekali tidak penting lagi apakah gurunya itu benar atau keliru. Dan mereka pun tidak terlalu peduli apakah wawasan dan ruang lingkup keilmuan guru mereka itu bermasalah atau tidak. Yang mereka tahu hanya bagaimana menjadi pembela sang guru. Dan membela sang guru berarti membela agama Islam. Titik.

Sayangnya sang guru pun kurang bijaksana. Mereka mendapat dukungan fanatik dari para murid, jadinya malah bersikap besar kepala, sombong dan merasa besar. Ujung-ujungnya seringkali main vonis sendiri seenaknya.

Maka tidak sedikit para guru yang sejatinya merupakan juru dakwah dan aktifis yang terlalu mudah bersikap antipati pada pendapat siapa pun yang tidak sejalan dengan pendapatnya. Bahkan pendapat yang tidak disukainya itu dengan mudah dijatuhi vonis sebagai bukan Islam.Lebih jauh lagi, karena punya kekuatan masa, secara masif diajaknya para pendukung fanafik itu untuk memerangi pendapat lain yang tidak disukainya itu. Dan semua diberi legitimasi sebagai bagian dari perjuangan dan dakwah Islam.

Padahal duduk masalah yang diributkan sebenarnya bukan perbedaan antara Islam dan bukan Islam. Yang diributkan ternyata sekedar perbedaan pendapat di kalangan ulama yang sudah ada sejak masa lalu. Bahkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits nabi pun memberi peluang atas perbedaan itu.

Kalau saja mereka sedikit belajar dan memandang lebih luas, maka apa yang selama ini dijadikan komoditas materi dakwah ternyata sekedar ribut-ribut tanpa ilmu yang sama sekali tidak produktif dan hanya menyakiti hati sesama muslim saja.

2

Page 3: Makalah Kampus#2(2)

Sayangnya, karena wawasan dan ilmu yang sangat terbatas, yang dia kenal hanya satu versi saja. Versi-versi lain yang tidak dikenalnya selama ini, langsung dicap sebagai bukan Islam.

Kalau sudah begini, seringkali aktifitas dakwah dan gerakan-gerakan di dalamnya akan menjadi kurang efektif dan buang-buang energi. Kita jadi sibuk perang pada wilayah yang sebenarnya kurang penting dan tidak prinsipil. Menang tidak menambah pahala dan kalah pun cuma bikin dendam saja.

Inilah fenomena paling menyakitkan yang melanda umat Islam saat ini. Kalau dulu Rasulullah SAW dan para shahabat berjihad melawan orang kafir harbi, sekarang kita justru sibuk memerangi umat dan pengikut Nabi Muhammad SAW sendiri. Wal 'Iyadzu billah.

Hari ini di hampir semua lini, kita tidak lagi berperang melawan orang kafir yang sesungguhnya, tetapi kita justru sibuk membunuh dan memerangi sesama muslim. Di level dakwah, kita makin asyik menjadikan saudara muslim kita sendiri sebagai musuh. Lalu kita sibuk bertengkar, mencaci, menghujat, memaki, melecehkan, menuduh saudara kita sendiri, yang nota bene sama-sama mengaku sebagai umat Nabi Muhammad SAW.

Konten dakwah kita berubah dari mengajak kepada Islam menjadi senjata untuk menghabisi kehormatan sesama muslim. Materi dakwah bukan lagi mengajak kita mendalami Islam, tetapi sekedar menjadi bumbu-bumbu penyedap untuk mengunyah daging saudara kita sendiri dengan lahap.

Nun di kejauhan sana, orang-orang kafir lagi asyik menonton kita, umat Rasulullah SAW, yang lagi sibuk saling memukul, saling menggebuk, saling balas dendam dan mewariskan dendam kesumat untuk saling berperang dengan sesamanya.

Orang-orang kafir itu sekarang bisa duduk santai, tidak perlu kerja keras lagi. Toh, lawan-lawannya sedang sibuk perang sendiri-sendiri.

Islam di antara kebodohan guru dan fanatisme murid.Ahmad Sarwat, Lc., MA

Ijtihadnya Orang AwamBy : Ahmad Zarkasih, Lc - [ baca semua tulisan ] 13 February 2014, 06:59:56 | dibaca 2.394 kali

Dalam beberapa bab awal bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, KH. Sahal Mahfudz rahimahullah menjelaskan bahwa istinbath  hukum langsung dari Al-Quran dan Hadits Nabi SAW itu bukanlah pekerjaan seorang awam. Karena orang awam tidak punya alat untuk menggali hukum dari situ. Dan ini juga yang dikatakan oleh para ulama ushul sejak berabad-abad lalu.

Pekerjaan istinbath hukum langsung dari Al-Quran dan Al-Hadits itu tugas para ulama mujtahid. Sedangkan kita yang tidak berada pada level mujtahid, justru terlarang untuk melakukan. Karena dikhawatirkan malah akan menghasilkan istinbath yang salah.

3

Page 4: Makalah Kampus#2(2)

Pekerjaan istinbath bukanlah pekerjaan ringan cuma bermodal bisa bahasa Arab. Banyak alat-alat ijtihad yang harus dimiliki dan tidak dimiliki oleh orang awam.

Kalau hanya bermodal bisa bahasa Arab, tentu orang di Timur Tengah sana bisa jadi mujtahid. Padahal tidak semua sahabat nabi menjadi mujtahid, walaupun seluruhnya dipastikan mampu berbahasa Arab.

KH. Sahal Mahfudz menambahkan, bahwa terjadinya kesemrawutan fatwa hukum yang terjadi belakangan ini terjadi karena orang yang bukan mujtahid namun merasa dirinya sudah jadi mujtahid. Lalu dengan berani melakukan istinbath hukum langsung dari Al-Quran dan Al-Hadits dengan kemampuan yang amat terbatas.

Maka tak heran bila fatwa dan hukum yang dikeluarkan pun terkesan prematur dan belum matang, karena memang lahir dari ijtihad yang memang sama sekali tidak matang.

Yang harus dikerjakan oleh seorang awam adalah mengikuti (taqlid) ulama mujtahid. Dan yang harus dipahami bahwa mengikuti ulama bukan berarti meninggalkan Al-Quran dan Al-Hadits. Justru ini adalah upaya optimal untuk mengikuti apa yang ada dalam Al-Quran dan hadits.

Karena mengikuti ulama adalah mengikuti Al-Quran dan Al-Hadits. Dan ulama mujtahid tidak mungkin mengeluarkan fata dan hukum kecuali itu dari Al-Quran dan Al-Hadits juga.

Ijtihadnya Orang Awam

Sesungguhnya orang awam itu tidak boleh berijtihad, dia hanya boleh bertaqlid saja. Seorang awam tidak akan mampu untuk berijtihad, karena memang syarat ijtihad itu sangat tinggi dan sulit untuk dicapai.

Dari pengertian di atas, kita perlu meluruskan pemahaman yang terlanjur masyhur di tengah masyarakat, bahwa bila ijtihad itu benar akan dapat dua pahala dan kalau salah akan dapat satu pahala.

Yang perlu diluruskan adalah bahwa hal itu hanya berlaku apabila yang berijtihad itu memang seorang mutjahid sejati, yang telah memenuhi semua syarat kelayakan menjadi mujtahid. 

Tapi seorang yang bukan berkapsitas mujtahid justru haram berijtihad. Kalau pun dengan bodohnya dia berijtihad juga, meski hasilnya benar pun tetap akan dinilai salah juga. Jadi ijtihadnya benar atau salah tetap tidak ada ganjaran. Dan kemungkinan terbesarnya malah itu akan menimbulkan kesemrawutan keilmuan, karena adanya orang yang tidak mengerti ikut berbicara.

Orang Awam Boleh Berijtihad Hanya Dalam Satu Masalah

Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudhatu An-Nadzhir menjelaskan bahwa hanya ada satu masalah yang seorang awam boleh berijtihad, bahkan menjadi wajib berijtihad. Boleh berijtihad dalam 'memilih' satu pendapat mujtahid dari sekian banyak pendapat para mujtahidin yang mungkin saja berbeda-beda.

Ini adalah satu-satunya masalah dimana seorang awam wajib berijtihad, yaitu jika ada perbedaan pendapat antara para mujtahid. Dalam masalah ini seorang awam diberi kebebasan berijtihad untuk memilih kepada siapa ia harus ikut.

4

Page 5: Makalah Kampus#2(2)

Bahkan derajatnya bukan boleh, akan tetapi menjadi wajib. Karena ia harus beribadah, dan ibadahnya tidak bisa disandarkan kecuali dengan dasar dalil yang ia telah pilih dari salah seorang mujtahid. Justru ketika ia menolah memilih, ia tidak bisa menjalankan ibadahnya.

Memilih dan Bukan Merajihkan

Kata 'memilih' itu 180 derajat berbeda dengan melakukan tarjih. Memilih itu sekedar memilih saja, apalagi yang memilih orang awam. Tentu kriterianya sebatas kriteria orang awam saja.

Sedangkan melakukan tarjih itu beda lagi. Merajihkan itu melakukan kajian yang mendalam, sebagaimana yang dilakukan oleh para mutjahid ketika menarik kesimpulan hukum. Apa yang difatwakan oleh para mujtahid itu tidak lain adalah hasil dari 'tarjih' yang prosesnya panjang dan alurnya cukup berliku.

Sedangkan memilih yang dilakukan oleh orang awam itu hanya sekedar memilih dan bukan berijtihad sebagaimana hakikat ijtihad yang sesungguhnya.

Maka tidak ada celah bagi orang awam untuk menghina salah seorang mujtahid yang dianggapnya tidak sejalan dengan keyakinannya. Ia hanya wajib mengikuti satu tapi bukan berarti harus menghina yang berbeda.

Demikian juga para mujtahid, mereka pun sama sekali tidak pernah menghina atau merendahkan atau juga menghujat pendapat mutahid lain yang berbeda hasil ijtihadnya. Dan itu kita saksikan dari kebiasaan ulama salaf dan para Imam empat madzhab, tak sekali pun ada hujatan dan makian terhadap masing-masing mujtahid.

Kalau sekedar menjatuhkan dalil yang digunakan oleh mujtahid lain bisa saja terjadi. Tapi tak sekalipun mereka menghina orang yang berdalil dengan dalil tersebut. Semua aman, semua tenang, semua saling menghormati dan memahami.

Satu karakter agung para mujtahidin di masa keemasan, sayangnya kini nyaris sirna di hati mereka yang hanya mengaku-ngaku sebagai mujtahid.

Wallahu a’lam

Beda Level Penyanyi dan Suka MenyanyiBy : Ahmad Zarkasih, Lc - [ baca semua tulisan ] 31 January 2014, 06:18:42 | dibaca 1.751 kali

Ibaratnya seperti orang yang bernyanyi. Dalam bernyanyi, orang yang bernyanyi tidak pada satu level yang sama, dari cara bernyanyi, bagus tidaknya suara, dan aksennya pun terlihat, mana yang ‘bisa’ bernyanyi dan mana yang tidak ‘bisa’. Semuanya tidak sama.

Ada yang baru pada level ‘suka’ bernyanyi, ada yang lebih tinggi levelnya, yaitu orang yang mulai masuk kelas vocal karena memang ingin jadi penyanyi sungguhan. Setelah itu, masuk level yang lebih tinggi, yaitu

5

Page 6: Makalah Kampus#2(2)

penyanyi tapi masih amatir, dengan jam terbang yang masih minim. Makin banyak jam terbang dan tampilnya, si penyanyi yang awalnya hanya ‘suka’ menyanyi ini berubah menjadi penyanyi professional yang banyak jadi rujukan penyanyi-penyanyi level amatir.

Baru ‘Suka’ Menyanyi

Kalau levelnya baru ‘suka’, sepertinya semua orang suka menyanyi dan suaranya pun bukan suara penyanyi, biasa saja bahkan bisa dikatakan suaranya jelek. Biasanya mereka suka mendengar radio, android media player, atau juga lihat-lihat video penyanyi pro di youtube. Nyanyi biasanya di kamar sendirian atau di tolet, nyanyi depan umum tidak berani, masih malu-malu, hanya siulan-siulan kecil saja. Ini yang sadar kalau dia baru berada pada level ‘suka’ saja.

Yang tidak sadar, agak mengkhawatirkan. Karena mereka tidak malu-malu bernyanyi depan umum dengan keyakinan bahwa suaranya bagus, indah dan enak didengar, padahal itu menurut dirinya pribadi aja, karena aslinya jelek sekali. Bahkan ada juga yang berani ikut perlombaan skala nasional, atau malah bikin konser.

Mereka sama sekali tidak tahu bagaimana bernyanyi yang benar, mereka hanya tahu materi yang sudah jadi saja, yaitu lagu-lagu yang banyak di radio atau video-video di youtube. Teknik bersuara sama sekali nihil, dan buta tentang teknik mengucapkan huruf vocal dalam bernyanyi. Ya iyalah, bisa nyanyi Cuma hasil liat-liat di youtube dan dengar-dengar di radio saja, bagaimana bisa jadi penyanyi.

Biasanya, orang yang baru pada level ‘suka’ menyanyi ini, paling jago dalam mengomentari orang lain bernyanyi. Bahkan penyanyi professional pun tak lewat dari kritikannya, kurang lepaslah-lah, kurang asik-lah, jelek banget-lah, ngga kaya biasa-nya lah. Pokoknya serba kurang. Maklum mereka tidak mnegerti bagaimana caranya bernyanyi, ya akhirnya asal komentar saja.

Murid Kelas Vocal

Level berikutnya itu ialah level yang lebih elegan dan terhormat. Berawal dari suka, dan ingin jadi penyanyi, akhirnya ia daftar kelas vocal dan mulai belajar benyanyi dari guru-guru vocal yang ahli. Di kelas ini mereka digembleng oleh para penyanyi-penyanyi professional, bukan hanya bagaimana bernyanyi, tapi juga materi-materi yang itu tidak didapatkan di seliweran dunia maya kecuali di kelas-kelas vocal.

Dan bukan hanya itu, mereka juga diajarkan attitude dan sopan santun, karena mereka adalah penyanyi yang nantinya punya banyak fans, lembaga vocal mengajarkan bagaimana caranya bersikap menjadi seorang star yang banyak diikuti orang. Jadi selain bisa jadi penyanyi yang hebat, mereka juga menjadi orang terhormat dan tidak sombong karena kehebatannya dalam bernyanyi.

Penyanyi Profesional

Nah ini level yang paling tinggi dalam dunia bernyanyi, yaitu jadi penyanyi professional. Mereka semua sama, awalnya suka, lalu mulai berani masuk kelas vocal dan mengikuti pembelajaran, kemudian banyak tampil sambil terus mnegasah kemampuan. Seiring berjalannya waktu, banyaknya tampil dan banyaknya pengalaman, membuat penyanyi ini menjadi lebih matang dan semakin matang hingga akhirnya sampai pada level Profesional.

6

Page 7: Makalah Kampus#2(2)

Kalau masih level ‘suka’, biasanya mereka sering umbar suara, padahal bernyanyi benar tak bisa, tapi selalu tampil dan meresa paling juara. Berbeda dengan penyanyi professional. Bisanya mereka terkesan ogah umbar suara, karena suaranya mahal, tidak bisa asal menyanyi. Ya benar saja, kalau sudah professional, bayaran untuk sekali nyanyi pun mahal sekali.

Dan penyanyi professional, biasanya hanya tertawa dan senyum-senyum saja kalau melihat banyak penyanyi dengan level ‘bisa’ itu bernyanyi atau mengkritiknya bernyanyi. Dan memang mereka tidak akan ambil pusing dengan kritikan itu, karena datang dari orang yang tidak paham bagaimana bernyanyi.

Level-Level Aktifis Ilmu Syariah

Nah, sepertinya itu sama dengan ilmu syariah, fiqih lebih spesifiknya. Orang yang menggandrunginya berada pada level-level tertentu, ada yang baru pada level ‘suka’ dengan ilmu syariah, ada yang sudah masuk ke level pembelajar serius dengan masuk ke fakultas-fakultas syariah, dan ada yang sudah sampai pada level ekspert (ulama) yang mana ilmunya itu bukan lagi sebatas teori, tapi beliau aplikasikan untuk kemaslahatan umat.

Kalau baru level ‘suka’, rasanya banyak dan itu bagus. Memang harus ‘suka’ dengan ilmu syariah, tapi ingat juga bahwa levelnya masih sangat rendah. Karena level yang rendah itu, baiknya berlaku sesuai levelnya. Jangan sampai salah dan gegabah. Jangan asal main komentar kalau ilmu masih minim, apalagi sampai-sampai bikin konser dengan hanya pengetahuan yang sedikit.

Tahu materi syariah hanya dari baca-baca apa yang berseliweran di dunia maya, melihat yang sudah jadinya saja, tidak tahu bagaimana proses terlahirnya dan pembetukannya. Mereka ikut perguruan syariah atau kuliah syariah, pesantren pun mereka ikuti, tapi sayang itu hanya kuliah weekend yang hanya sekali dua kali dalam sepekan. Pesantren pun mereka ikuti, tapi pesantren kilat.

Mungkin diwajarkan kalau mereka asal komen dan gampang emosian kalau melihat ada yang berbeda, ya mungkin memang ilmunya belum sampai. Tapi ya harus sadar level diri sendiri.

Tapi menjadi lebih mulia, kalau yang levelnya tadi ‘suka’ dengan syariah berubah menjadi pembelajar serius dengan masuk perguruan-perguruan atau fakultas-fakultas syariah dan mnedalam secara serius tentang ilmu syariah. Bukan hanya dapat materi sepekan sekali, dan bukan juga dari dunia maya, melainkan langsung mengambil dari kitab-kitab ulama yang muktamad dengan bimbingan para guru yang juga mumpuni di bidangnya.

Pembelajar Serius Belajar Adab

Yang masuk ke kelas-kelas syariah ini, bukan hanya belajar syariah, akan tetapi mereka juga belajar adab dan sikap santun, dan sopan dengan mereka yang berbeda, sebagaimana orang-orang yang masuk kelas vocal, mereka diajarkan attitude sebagai penyanyi. Jadi, kelak ketika si Tholib ‘Ilmi ini menjadi ulama, mereka tetap bersikap baik, dan tidak asal menyalahkan mereka yang berbeda.

Seiring berjalannya waktu, si pembelajar syariah yang serius ini pun dengan banyak berguru, membaca, dan mengkaji, akhirnya menjadi ulama yang banyak menjadi rujukan orang bertanya dalam masalah syariah.

7

Page 8: Makalah Kampus#2(2)

Mereka tidak sumbar sesumbar mereka yang baru menginjak level ‘suka’, dan mereka pun sadar banyak kritikan yang datang.

Namun mereka lebih concern untuk mengaplikasikan ilmunya demi kemaslahatan umat dibanding menyibukkan diri dengan debat-debat masalah ‘jadul’ dengan para pembelajar lebel ‘suka’. Karena yang mereka tahu, ilmu itu untuk diamalkan guna tercipta kemaslahatan, bukan untuk menyalahkan, apalagi unjuk gigi adu kehebatan dengan yang lain. Bukan itu gunanya ilmu syariah.

Tidak Ada Yang Tercela

Tapi dalam syariah, tidak ada level yang buruk, semuanya baik. Level ‘suka’, pembelajar, bahkan level ulama, karena semuanya itu diperintahkan oleh Allah swt dan memujinya. Bahkan tidak terhitung hadits Nabi saw yang memuji para penuntut ilmu,

ة الجن طرق من طريقا به ه الل سلك علما فيه يطلب طريقا سلك من

“Barang siapa yang menelusuri jalan untuk menunut ilmu, maka ia telah menelusuri jalan ke surga” (HR. Tirmidzi)

Tapi kembali harus sadar, pada level mana kita sehingga kita tahu bagaimana caranya bersikap, dan menghormati ulama-ulama dengan keilmaun yang jauh di atas kita.

Wallahu a’lam.

Ahmad Zarkasih, Lc

Dokter, Perawat dan Tukang ObatBy : Ahmad Sarwat, Lc., MA - [ baca semua tulisan ] 7 August 2013, 14:38:52 | dibaca 4.519 kali

Dulu saya agak kesulitan untuk menjelaskan dengan mudah kalau ditanya apa perbedaan ulama mujtahid dengan para  penceramah kondang. Dan yang merasakan kesulitan serupa agaknya bukan saya sendiri, berjuta umat Islam yang awam juga kebingungan membedakannya.

Sebab keduanya sering memakai kostum dan atribut yang serupa. Padahal kalau cuma dibedakan berdasarkan seragam, nyaris jadi tidak ada bedanya. Mana yang ulama dan mana yang bukan, susah buat kita untuk membedakannya.

Lebih parahnya lagi, para penceramah kondang ini sering berceramah di berbagai pengajian dan majelis taklim, sehingga sering diberi gelar ustadz, da'i, bahkan kadang disebut juga sebagai ulama. Wah, makin kabur saja perbedaannya.

Para penceramah itu harus diakui sebagai tokoh agama, tentunya apa yang mereka ceramahkan berguna buat para jamaah, dan pasti ada hikmah yang bisa dipetik. Dalam hal ini kita tidak perlu menghujat mereka dan

8

Page 9: Makalah Kampus#2(2)

aktifitas mereka, toh mereka punya niat yang baik, materi ceramahnya secara umum pasti mengajak kepada kebaikan.

Kenapa Harus Dibeda-bedakan?

Lalu kenapa kita harus membeda-bedakan, mana ulama mujtahid dan mana penceramah? Apakah kita merasa iri dan dengki dengan nasib para penceramah itu? Dan apakah profesi sebagai penceramah itu melanggar agama?

Jawabnya tentu saja tidak. Kita justru harus bersyukur bahwa di zaman kerusakan moral ini telah muncul banyak sekali para penceramah, yang menyirami umat dengan nasihat dan ceramah-ceramah mereka. Terus terang, pemandangan dimana ada banyak penceramah sesemarak ini tidak kita temukan di era tahun 80-an.

Lalu kenapa kita harus bedakan antara ulama mujtahid dengan penceramah?

Penjelasannya begini, bahwa ulama mujtahid itu bekerja berdasarkan disiplin ilmu yang dimilikinya. Dan agama itu pada dasarnya harus dibangun dengan ilmu yang lurus dan benar.Tolok ukur kebenaran dan hukum halal dan haram yang menjadi urat nadi agama Islam, harus sejajar dengan disiplin ilmu.

Para penceramah itu bukannya tidak berilmu, tetapi dengan latar belakang pendidikan yang hanya nyaris rata-rata, mereka bukan tempat rujukan dalam ilmu agama, khususnya ilmu syariah dan hukum-hukumnya.

Sementara umat terlanjur menganggap mereka sebagai tokoh agama. Dan dianggap sebagai rujukan dalam ilmu syariah. Tiap ada masalah syariah dan hukum-hukumnya, para penceramah ini pasti dijadikan rujukan, bahkan dijadikan tolok ukur kebenaran.

Kalau penceramahnya rada tawadhu' dan tahu diri, lalu mengelak dengan halus untuk berfatwa hukum, tentu malah jadi baik. Sayangnya, yang bisa tawadhu' itu jarang-jarang adanya. Entah karena gengsi malu kalau dibilang ilmunya cetek, atau karena memang terlalu lugu, atau juga karena tidak tahu, seringkali para penceramah ini berfatwa, bicara hukum halal haram, bicara ketentuan syariah, tetapi tanpa landasan ilmu.

Inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW 14 abad yang lalu, dimana muncul tokoh-tokoh yang jahil tapi rajin berfatwa. Mereka bukan mengajarkan agama tetapi malah menjauhkan orang dari agama.

الناس اتخذ عالما يبق إذالم حتى العلماء بقبض العلم يقبض ولكن العباد من ينتزعه انتزاعا العلم يقبض ال الله إنوا وأضل فضلوا علم بغير فأفتوا فسئلوا جهاال رءوسا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)

9

Page 10: Makalah Kampus#2(2)

Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam pada akhir masa nanti akan kehilangan para ulama, lantas mereka menjadikan para pemimpin yang bodoh dan tidak punya ilmu sebagai tempat untuk merujuk dan bertanya masalah agama.

Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi justru mereka semakin jauh dari kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan banyak orang.

Dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW 14 abad yang lalu rasanya sangat tepat kalau kita sebut bahwa hari ini benar-benar sedang terjadi. Dan lebih tepat lagi kalau kita sebut lokasinya adalah Indonesia, sebuah negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tetapi sedikit sekali orang yang berkapasitas ulama.

Sangat jauh perbedaan antara mereka dengan ulama mujtahid yang yang memang ahli di bidang ilmu-ilmu syariah. Dalam disiplin ilmu syariah, sebenarnya mereka memang bukan mujtahid dan juga belum sampai derajatnya sebagai pakar ilmu syariah.

Analogi Mujtahid dengan Dokter

Akhirnya saya menemukan analogi sederhana yang sedikit banyak bisa membantu mendekatkan kita pada duduk permasalahan di benak kita.

Dan saya sering menggunakan analogi dengan dunia kedoteran. Ilmu kedokteran bisa disandingkan dengan ilmu syariah, dimana keduanya dibangun di atas dasar sain yang begitu ilmiyah, penuh dengan pengujian yang eksak dan tentunya profesional. Baik ilmu syariah ataupun ilmu kedokteran sudah menjelma menjadi disiplin ilmu yang baku dan diajarkan di seluruh dunia lewat jenjang kuliah S-1, S-2 dan S-3 serta pendidikan spesialisasi lainnya.

Cuma bedanya, dalam dunia kedokteran, kita dengan mudah bisa membedakan mana dokter dan mana yang bukan dokter. Sedangkan dalam disiplin ilmu fiqih dan syariah, banyak orang yang sama sekali tidak mengerti membedakan ulama ahli fiqih dengan ustadz dan sejenisnya.

Siapakah Dokter itu?

Mari kita bicara tentang siapakah dokter dan apa saja syaratnya agar bisa jadi dokter.

Dokter adalah lulusan SMA pintar yang berhasil menjebol seleksi ketat Fakultas Kedokteran di Universitas tertentu. Lalu dia dengan tekun mengikuti perkuliahan yang berat dan bertahun-tahun lama, hingga akhirnya dinyatakan lulus.

Begitu lulus, dia belum jadi dokter tetapi baru sekedar menjadi Sarjana Kesehatan. Untuk itu dia kemudian diharuskan untuk menempuh berbagai proses lagi, hingga akhirnya mendapatkan surat izin praktek. Dan jadilah dia seorang dokter umum seperti yang banyak kita kenal.

Dokter Spesialis

Barangkali buat orang awam, semua dokter itu sama saja. Padahal para dokter ini pun punya hirarki keilmuan dan juga spesialisasi yang berbeda-beda.

10

Page 11: Makalah Kampus#2(2)

Hirarki yang paling rendah adalah dokter umum. Mereka boleh buka praktek secara umum, tetapi manakala pasien terindikasi punya penyakit yang rada berat, misalnya sakit jantung, paru, ginjal, atau kanker, maka harus ditangani oleh dokter spesialis yang hirarkinya di atas dokter umum.

Tugas dokter umum ini memberikan rujukan ke rumah sakit tertentu, dimana disana ada dokter spesialis ahli di bidang penyakit tertentu.

Untuk bisa menjadi seorang dokter spesialis, maka dokter umum harus balik lagi ke kampus mengambil kuliah spesialis. Kalau dokter umum ini sukses menempuh perkuliahan spesialisasinya, barulah dia jadi dokter spesialis.

Tapi ingat, di atas hirarki para dokter spesialis, masih ada lagi keahlian yang lebih tinggi lagi dan yang lebih tinggi lagi.

Ulama Mujtahid Ibarat Dokter

Para ulama mujtahid ini bisa kita analogikan sebagai para dokter. Ada yang cuma dokter umum, tetapi ada yang dokter spesialis dan seterusnya. Namun yang pasti, tidak mungkin ada ulama mujtahid kecuali dia sudah menghabiskan hampir seluruh usianya untuk kuliah, belajar dan mendalami ilmu syariah.

Untuk menjadi ulama mujtahid tentu tidak cukup hanya sekedar mengenakan seragam gamis panjang dengan jenggot lebat plus sorban melingkari kepala dan tasbih diputar-putar.

Dan untuk menjadi ulama mujtahid tidak cukup hanya namanya dicantumkan dalam daftar pengurus suatu lembaga yang berlabel ulama, atau berlabel fatwa, tarjih dan sejenisnya. Maksudnya, tidak mentang-mentang seseorang duduk jadi pengurus di suatu lembaga fatwa pada suatu organisasi, otomatis dia langsung jadi ahli syariah. Tidak sama sekali.

Karena jabatan dan keilmuan itu dua hal yang sangat berbeda. Seorang yang bodoh dan tidak paham agama bisa saja tiba-tiba dicantumkan namanya menjadi pejabat di suatu lembaga fatwa, cukup dengan punya koneksi dan kedekatan dengan tokoh tertentu. Dan bisa saja ulama yang betulan tiba-tiba namanya dicoret begitu saja dari suatu lembaga fatwa tertentu. 

Untuk jadi ulama, mereka harus menempuh jenjang pendidikan berkuatas yang lama dan panjang, mulai dari jenjang pendidikan dasar dan menengah, hingga meneruskan ke jenjang perguruan tinggi, mulai dari Strata-1, Strata-2 dan hingga Strata-3.

Lulus pendidikan khusus, tidak otomatis mereka jadi mujtahid. Sebab mereka harus hidup bergelut di dunia keilmuan, serta mengabdikan diri demi perkembangan ilmu yang telah dipelajarinya.

Untuk menjadi ulama betulan, seorang murid yang belajar ilmu syariah harus mengaji, mengaji, dan mengaji tidak pernah berhenti. Berguru kemana-mana menuntut ilmu, kalau perlu meninggalkan tanah kelahiran untuk terus menerus menimba ilmu syariah. Dan ciri yang mudah untuk dikenal apabila ilmunya sudah banyak, keluar sikap tawadhu' dan rendah hatinya. Dia tidak pernah merasa pintar, apalagi mengaku-ngaku sebagai ahli ijtihad.

11

Page 12: Makalah Kampus#2(2)

Para Mujtahid Pun Berjenjang

Para mujtahid di masa lalu punya hirarki berjenjang. Ada mujtahid mutlak macam para pendiri mazhab yang empat, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Mereka adalah soko guru utama yang menciptakan rumus dan kaidah ilmu istimbath hukum secara lengkap dan tidak terbantahkan sepanjang zaman.

Di bawah keempat mujtahid mutlak itu ada level-level yang lebih rendah. Langsung di bawah para mujtahid mutlak adalah level mujtahid mutlak ghairu mustaqil. Di bawahnya ada lagi level mujtahid yang disebut dengan mujtahid muqayyad, mujtahid tarjih dan mujtahid fatwa. Masing-masing dengan spesifikasi, kapasitas ilmu dan kewenangannya. Tidak mungkin dirinci secara detail dalam tulisan singkat ini.

Profesi Yang Dekat Dengan Dunia Kesehatan

Di luar profesi para dokter, kita mengenal adanya orang-orang yang juga bekerja terkait dengan dunia kesehatan. Sebutlah misalnya ada perawat, apoteker, ahli farmasi dan juga ahli gizi.

Mereka juga harus kuliah panjang dan lama agar mencapai profesi itu. Meski berpendidikan tinggi dan lama, tetapi mereka jelas bukan dokter, sehingga kedudukannya tidak bisa disejajarkan begitu saja dengan para dokter.

Seorang perawat meski bisa menyuntik, memasang alat infus atau merawat luka, tetapi harus bekerja di bawah arahan dokter ahli. Dokterlah yang menentukan obat apa yang harus disuntikkan ke dalam tubuh pasien. Tidak boleh seorang perawat main suntik pasien begitu saja seenak perutnya, tanpa izin dari dokter.

Seorang apoteker tidak boleh mengobati pasien secara langsung, walaupun dia bekerja di ruangan yang penuh dengan obat. Apoteker bekerja berdasarkan resep dari dokter untuk meracikkan obat bagi pasien. Maka seorang apoteker tidak boleh langsung memberi obat kepada pasien, tetapi harus lewat dokter dulu. Kalau dia melanggar, maka pasti dipersalahkan karena tidak sesuai prosedur.

Apalagi kalau sok melakukan pembedahan cesar buat ibu hamil yang bayinya terlibat tali pusat, pasti sudah masuk penjara. Kenapa? Karena seorang apoteker bukan ahli bedah kandungan, walaupun masih bau-bau dunia kesehatan.

Seorang ahli gizi memang mengerti jenis makanan apa saja yang cocok untuk kesehatan pasien. Tetapi dia tidak boleh melakukan tindakan medis yang menjadi preogratif profesi dokter. Ahli gizi tidak boleh membedah perut pasien, karena hal itu di luar kewenangannya, disebabkan memang ilmu dan kemampuannya bukan di bidang itu.

Nah sekarang mari kita analogikan, orang-orang yang berprofesi di dunia kesehatan yang bukan dokter ini sebagai para ulama juga, tetapi bukan ulama mujtahid ahli syariah. Sebab ilmu yang mereka pelajari hanya bersifat parsial dan merupakan potongan-potongan kecil dari ilmu fiqih yang besar.

Lalu siapa contohnya?

Kita bisa masukkan misalnya para ulama hadits atau muhadditsin besar, seperti Al-Imam Bukhari, Al-Imam Muslim, Al-Imam At-Tirmizy, Al-Imam Al-Baihaqi dan banyak lagi yang lainnya. Ilmu mereka tentu tinggi,

12

Page 13: Makalah Kampus#2(2)

tetapi bukan di bidang istimbath hukum. Ilmu yang mereka bidangi hanya bagian kecil dari sebuah proses istimbath hukum, yaitu sebatas pada memastikan keshahihan suatu hadits.

Keshahihan suatu hadits hanya salah satu unsur dari lusinan unsur dalam pekerjaan mujtahid dan fuqaha. Tetapi untuk menentukan hukum suatu masalah, tentu bukan tugas dan wewenang para ahli hadits.

Jadi status mereka memang bukan mujtahid dan bukan fuqaha, tetapi mereka sekedar meneliti suatu hadits, apakah shahih atau tidak. Kalau sudah berhasil mengidentifikasi hukum suatu hadits, peran mereka pun selesai sudah.

Secara hukum syariah, para ahli hadits ini bukan mujtahid, sehingga mereka tetap harus berittiba' kepada para mujtahid. Maka jangan kaget kalau Al-Bukhari dan Muslim ternyata bermazhab Syafi'i. Demikian juga dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang merupakan muttabi' dalam mazhab yang sama.

Tukang Obat

Ajaibnya, di luar profesi dokter, perawat, apoteker dan ahli gizi di atas, di tengah masyarakat kita juga menemukan sosok 'aneh' yang suka banyak bicara tentang kesehatan, yaitu tukang obat. Tukang obat ini banyak sekali bicara tentang obat, karena tujuan mereka memang berjualan obat. Kebanyakan dari mereka berjualan obat di pinggir jalan dengan membuat kerumunan massa..

Dan menariknya, untuk menjadi tukang obat, ternyata tidak dibutuhkan pendidikan atau keahlian khusus. Tidak ada fakultasnya, tidak ada jenjang perkuliahan S-1 hingga S-3.

Apalagi untuk jadi tukang obat di perempatan jalan, seseorang cukup melatih bakat  berpidato di depan massa. Semakin menarik pidatonya, semakin banyak kerumunan orang-orang yang merubungnya. Dan tentunya semakin laris obat jualannya.

Untuk itu mereka terbiasa bikin atraksi panggung yang menghibur, walaupun bisa jadi penuh tipu-tipu. Misalnya, ada temannya yang pura-pura jadi orang sakit. Begitu pakai obat jualannya, langsung sembuh seketika. Dan tersihirlah kerumunan massa dan dagangannya langsung laris manis habis tidak bersisa.

Tetapi ada juga jenis tukang yang lebih maju. Mereka tidak mangkal di perempatan jalan, tetapi buka praktek klinik pengobatan. Untuk itu mereka rajin pasang iklan yang heboh, baik di koran atau internet. Terigur keuntungan, tidak sedikit dari mereka berani pakai modal besar untuk beriklan di TV. Maka orang-orang akan datang berduyun-duyun ke kliniknya.

Kadang biar rada keren dan meyakinkan pasein, para tukang obat modern ini pakai baju yang dimirip-miripkan dengan baju dokter, yaitu seragam putih-putih juga, lengkap dengan stateskop melingkar di leher. Bahkan boleh jadi suka bicara dengan mengutip istilah-istilah kedokteran modern.

Kita yang awam bisa dipastikan tertipu mentah-mentah dengan penampilannya.

Sekedar Penceramah Hanya Beda Tipis Dengan Tukang Obat

Nah, di tengah rimba dunia panggung dakwah dan ceramah, kita seringkali menemukan para tokoh 'tukang

13

Page 14: Makalah Kampus#2(2)

obat' ini. Mereka memang pandai ceramah dan pidato, lihai menyihir jamaah dengan memainkan kata, sehingga semua ikut tertawa, menangis, bahkan bertakbir.

Saya sendiri kagum luar biasa dengan kemampuan pidato dan atraksi panggung mereka. Sampai acara pengajiannya bisa jadi tontonan kolosal, dihadiri ribuan masa, bahkan sampai dikontrak oleh stasiun televisi rutin tiap hari menyapa pemirsa.

Tetap kita syukuri keberadaan mereka. Tetapi mohon maaf, jangan sampai mereka mengambil alih wilayah yang bukan otoritas mereka. Sebab kalau kita teliti dengan jujur latar belakang ilmu dan spesialisi pendidikannya, yang terjadi malah sebaliknya. Ternyata mereka tidak pernah melewati jenjang pendidikan ilmu syariah. Sehingga tentu saja mereka bukan sosok ulama mujtahid yang berlimpah ilmu pengetahuan agama. Mereka lebih merupakan sosok aktor panggung yang pandai retorika menyihir massa.

Oleh karena itu jangan heran kalau seringkali mereka butuh atribut buat manggung, mulai dari kostum baju koko khas, peci, dan asesoris lainnya. Bahkan mereka butuh yel-yel khas yang biasa dipakai oleh para trainer motivator. Yah, namanya juga atraksi panggung, harus menghibur dong.

Tidak Pernah Melewati Jenjang Kuliah Ilmu Syariah

Faktanya mereka sama sekali tidak pernah duduk di jenjang perkuliahan fakultas syariah untuk tekun mempelajari berbagai cabang ilmu syariah.

Tidak Bisa Bahasa Arab : Kalau kita telusuri riwayat belajar agamanya, ternyata mereka tidak pernah belajar bahasa Arab dengan benar, tidak pernah mendalami ilmu nahwu, ilmu sharaf, balaghah, badi', bayan apalagi mantiq. Jadi kalau kita tes untuk membaca kitab gundul, sudah bisa dipastikan tidak akan mampu. Jangankan kitab yang gundul, kitab yang gondrong dan kribo saja pun tidak akan berbunyi.

Tidak Belajar Ilmu Al-Quran : Mereka juga tidak pernah belajar Al-Quran dengan semua cabang ulumul quran, seperti ilmu tafsir, naskh dan mansukh, muthlaq muqayyad,  'aam dan khash, manthuq dan mafhum, dan juga tentangasbabun nuzul.  Dan pastinya mereka tidak pernah belajar ilmu qiraat dan sanad-sanadnya.

Tidak Belajar Ilmu Hadits : Mereka juga tidak pernah belajar ilmu hadits dengan beragam cabangnya semacam ilmu al-jarh wa at-ta'dil, rijalul hadits, takhrij dan al-hukmu alal hadits dan seterusnya.

Tidak Belajar Fiqih dan Ushul Fiqih : Mereka juga tidak pernah belajar ilmu fiqih sejak dasar lewat guru fiqih yang benar. Sehingga tidak tahu siapa saja para ulama dan mujtahid dalam tiap jenjangnya dalam tiap-taip mazhab-mazhab. Dan mereka tidak mengerti karya-karya emas para fuqaha itu yang bisa dijadikan rujukan.

Dan mereka juga tidak pernah belajar bagaimana sebuah kesimpulan hukum itu diistimbath dengan menggunakan kaidah yang benar. 

Mereka juga tidak pernah diajari bagaimana perbedaan pendapat dan perbandingan mazhab (muqaranatul mazahib) di kalangan ulama itu bisa terjadi. Akibatnya mereka juga tidak tahu sikap dan tindakan apa yang harus diambil ketika terjadi perbedaan pendapat itu.

Dengan kapasitas yang seadanya itu, tentu keliru besar kalau kita menjadikan para penceramah itu sebagai 14

Page 15: Makalah Kampus#2(2)

rujukan dalam ilmu syariah. Orang yang tidak punya apa-apa, tentu tidak bisa memberikan apa-apa.

Lalu Posisi Penulis Ada Dimana?

Setelah panjang lebar bikin peta analogi, mungkin pembaca ada yang bertanya tentang kedudukan penulis sendiri, ada dimana dari tiga profesi di atas?

Terus terang penulis dan juga para pembaca semua tidak masuk dalam salah satu dari tiga profesi di atas. Kita semua ini bukan dokter, bukan apoteker, bukan perawat, bukan ahli gizi dan tentunya juga bukan tukang obat.

Kita semua ini adalah umat yang awam, masuk dalam tataran rakyat jelata. Sebab ilmu yang kita miliki terlalu sedikit dibandingkan dengan ilmu yang dipelajari para dokter dan juga para perawat. Dan tentunya kita pun tidak jualan obat di pinggir jalan.

Kita cukup menjadi pasien yang baik, mendengarkan nasehat dokter, kalau kurang mengerti, tentu bertanya kepada dokter, agar dapat informasi yang benar, valid dan akurat. Kita tidak perlu sok merasa jadi dokter, padahal cuma jadi tetanganya dokter. Sampai kapan pun tetangga dokter tidak akan pernah jadi dokter, kecuali dia kuliah dulu di fakultas kedokteran.

Kalau ada orang yang punya sikap dan gaya hidup kurang sehat, dan kita tahu mereka keliru, memang sih tidak ada salahnya kalau kita ingatkan kepada mereka bahwa menurut dokter hal itu tidak sehat. Misalnya, kalau ada orang minum air sumur tanpa dimasak, atau makan makanan yang tercemar, kadaluarsa atau beracun, kita wajib ingatkan bahwa hal itu membahayakan kesehatan. Tetapi tetap saja bahwa nasehat kita karena kita punya akses informasi yang valid dokter.

Dan sebagai tetangga dokter, kita tidak boleh beli obat sembarangan dari tukang obat di perempatan jalan. Apalagi sampai mempercayai bulat-bulat semua jurus ngibulnya. Tentu pak dokter sendiri akan malu kalau mengetahui bahwa ada tetangganya masih saja belum tercerahkan wawasannya.

Semoga kita bisa menyiapkan anak-anak kita menjadi dokter syariah, kalau perlu jadi dokter spesialis di masa mendatang. Kalau tidak jadi dokter, minimal menjadi pasien yang tercerahkan. Amien ya rabbal alamin.

Wallahu a'lam bishshawab.

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Puber Religi?By : Hanif Luthfi, S.Sy. - [ baca semua tulisan ] 18 May 2013, 20:02:17 | dibaca 3.033 kali

Pohon mudah tumbang jika akarnya tak kuat, rumah akan roboh jika pondasinya tidak kokoh. Begitu juga bangunan fiqih, akan sangat rapuh jika ushulnya juga lemah. Ushul fiqih sesuai namanya adalah pokok, landasan dan acuan dalam penentuan hukum fiqih.

15

Page 16: Makalah Kampus#2(2)

Banyak yang beranggapan, sangat mudah menggali hukum dari apa yang telah diwariskan Nabi; al-Quran dan Sunnah. Jika sudah tahu arti dan tafsir dari suatu ayat, maka itulah hukum fiqih. Jika sudah shahih suatu hadits, maka kenapa kita cari dalil-dalil yang lain, cari-cari pendapat ulama’. Secara teori memang semua hukum fiqih dikembalikan kepada dua hukum asal itu. Tapi apakah sesederhana itu?

Jika hanya sesederhana itu, ternyata tidak semua orang arab yang sangat paham bahasa arab lantas bisa menjadi mujtahid. Bahkan tidak semua shahabat Nabi yang dikenal dengan salaf shalih itu menjadi fuqaha’. Kita juga temukan beberapa kekurang tepatan ijtihad para shahabat yang diluruskan oleh Nabi sendiri, sebagai contoh ijtihad mereka atas fatwa mandi junub bagi shahabat yang kepalanya luka.

Mengingat nash-nash agama yang terbatas dan kehidupan manusia cenderung dinamis, maka setelah nabi dan para shahabatnya wafat, ulama’ menyusun sebuah sistematika berpikir yang benar untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam ijtihad. Itulah yang kita kenal dengan ilmu Ushul Fiqih.Pokok Bahasan Ushul Fiqih

Secara bahasa, ushul fiqih berarti dasar dari fiqih. Adapun secara istilah, pengertian yang cukup bagus terhadap ushul fiqih adalah:

المستفيد وحال منها، االستفادة ة وكيفي إجماال، الفقه دالئل معرفة

Mengetahui dalil-dalil fiqih secara ijmal, cara memanfaatkan dalil tersebut, dan keadaan orang yang memanfaatkan dalil. [Nihayat as-Suul, 1/10, at-Tahbir syarh at-Tahrir, 1/180, al-Ushul min ilmi al-Ushul, 8].

Pertama, mengetahui dalil-dalil fiqih ijmal. Para ulama’ menetapkan bahwa dalil hukum fiqih terdiri dari beberapa hal; baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. Mulai dari al-Quran, hadits, ijma’, qiyas, qaul shahabi, mashlahah mursalah, istihsan, bara’at ad-dzimmah, ‘urf, syar’u man qablana, sadd ad-dzari’ah.

Dalam kajian ushul fiqih, jika tidak ditemukan dalilnya dari al-Quran maka akan dicari di hadits nabi. Jika tidak ada, maka masih banyak lagi dalil-dalil lain. Bukan jika tidak ditemukan dalam al-Quran dan hadits, maka bid’ah. Bukan hanya dalil; jika baik pasti para salaf sudah melaksanakan.

Kedua, cara memanfaatkan dalil itu. Ulama kadang menggunakan istilah istifadah, atau istinbath, sedangkan al-Ghazali (w. 505 H) menggunakan istilah istitsmar [al-Muastashfa, 180].  Sungguh orang yang belajar ushul fiqih, akan tahu betapa beratnya proses ijtihad itu sehingga menghasilkan suatu hukum fiqih.

Bukankah Allah telah memudahkan al-Quran untuk dipahami setiap ummatnya, Nabi juga telah menjelaskan segala sesuatu terkait agamanya, Islam  juga telah sempurna?

Semua itu benar, justru adanya ushul fiqih itu untuk mengawal kesempurnaan Islam, dengan menghindari kesalahan-kesalahan ijtihad dalam penggalian hukum dari al-Quran maupun hadits. Tak jarang, cara memahami nash-nash agama bisa lebih penting daripada nash itu sendiri.

Dalam ushul fiqih, dibahas tentang kaidah kebahasaan dalam memahami nash, shighat amar, shighat nahyi, umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, dalil khitab, mafhum mukhalafah, nasihkh dan mansukh dan lain sebagainya.

16

Page 17: Makalah Kampus#2(2)

Nabi Mengajarkan Ushul Fiqih

Apakah Nabi pernah mengajari ushul fiqih? Atau ilmu ushul fiqih hanya buatan ulama’ saja?

Teori hukum grafitasi ditemukan oleh Isac Newton pada tahun 1687, tapi bukan berarti gaya grafitasi belum ada sebelum ditemukan oleh Isac Newton. Imam Syafi’i (w. 204 H) memang terkenal ulama yang pertama menuliskan kitab ushul fiqih, tapi ilmu ijtihad telah diajarkan Nabi kepada para shahabatnya.

Nabi Muhammad selain meninggalkan dua hal; al-Quran dan hadits juga meninggalkan sistematika berpikir dalam berijtihad memahami dua peninggalan itu. Itulah yang menjadi cikal bakal ushul fiqih sebagai ilmu pengetahuan saat ini.

Sebagai contoh:

Ketika turun surat al-An’am: 82:

مهتدون وهم األمن لهم أولئك بظلم إيمانهم يلبسوا ولم آمنوا ذين ال

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ketika turun ayat ini, para shahabat bertanya: Apakah ada diantara kami, orang yang tidak pernah dzalim? Nabi menjawab: Apakah kalian tidak membaca ayat [ عظيم لظلم رك الش ,[Q.S Luqman: 13] ;[إنsesungguhnya syirik adalah dzalim yang paling besar. [Tafsir Ibnu Katsir, 3/263].

Sebelumnya para shahabat menyangka makna dzalim diayat pertama sebagaimana pemahaman umum tentang dzalim. Ternyata maksud dzalim disitu adalah syirik. Pengertian ini diambil dari ayat lain.

Ketiga, keadaan mustafid atau mujtahid atau mustatsmir. Agar hasil ijtihad terhindar dari kesalahan, maka tidak semua orang layak menggali hukum dari al-Quran maupun hadits. Maka disusunlah beberapa kriteria mujtahid. Mulai dari adab mujtahid, pengetahuan yang luas terhadap objek ijtihad, mengerti bahasa arab secara mendalam, dan masih banyak syarat lagi.

Bukankah syarat itu yang menciptakan manusia? Pertanyaan ini sering terdengar dari para pegiat ‘free ijtihad’, siapa saja boleh berijtihad dengan cara seenaknya. Jika daftar menjadi satpam saja ada syaratnya, maka dalam urusan halal dan haram agama pun sangat dibutuhkan syarat-syarat bagi penggali hukum.

Buah Ushul Fiqih

Setelah mengetahui semua dalil, cara memahami dalil tersebut dan terpenuhi syarat mujtahid maka akan muncul buahnya. Buah dari ushul fiqih adalah hukum fiqih. Kebanyakan para ulama’ membagi hukum menjadi dua; taklify dan wadh’i. [Raudhatu an-Nadzir, 1/97-193].

17

Page 18: Makalah Kampus#2(2)

Secara umum, hukum taklify terbagi menjadi 5; wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Meskipun nanti ada beberapa ulama’ yang menambahi pembagiannya, seperti makruh tanzih dan tahrim. Sedangkan hukum wadh’i berupa syarat, sebab, rukhshah, azimah. Dalam pembahasan ushul fiqih, tidak dikenal ‘ini hukumnya bid’ah’. Karena bid’ah bukan hukum.

Kebanyakan para ulama’ ushul dalam mengarang kitabnya, diawali dengan membahas buahnya dahulu, yaitu hukum.

Puber Religi

Pada masa puber, seorang anak sudah ‘merasa’ bisa lepas diri dari orang tuanya. Emosi yang bergejolak, sangat peka dan menunjukkan reaksi yang kuat pada berbagai peristiwa dan situasi sosial, mempertanyakan dan menggugat segala sesuatu bahkan terhadap hal yang sudah mapan, kadang emosinya ketika sedang meledak menjadi tidak proporsional. Inilah beberapa ciri masa puber yang biasa terjadi, masa dimana seseorang mencari jatidiri untuk menghadapi kedewasaan kelak.

Dalam beragama pun, sepertinya ada kecenderungan seseorang melewati masa puber religi ini, usianya bermacam-macam. Biasa terjadi pada seseorang yang baru semangat belajar agama.

Hampir setiap kejadian dia ikut berkomentar, menulis, mengkritisi. Mempertanyakan kembali hal-hal yang baru dia ketahui, mana dalilnya, dalilnya shahih atau tidak, menggugat banyak hal. Jika sudah berafiliasi kepada suatu kelompok, dengan buta dia akan membela kelompoknya, tak segan menyalahkan kelompok lain yang tidak sependapat, emosinya meledak jika ada orang yang mengkritisi apa yang diyakininya.

Seorang dalam masa puber religi, merasa tak butuh dengan pendapat orang lain, bahkan orang lain itu ulama’ sekalipun. Dia menggugat, mengapa tidak kembali kepada Quran saja? jika sudah shahih suatu hadits kenapa masih butuh pendapat ulama’?

Akhirnya dengan sedikit pengetahuan terhadap bahasa arab dan terjemah, dia mengambil hukum sendiri dari Quran maupun hadits yang dianggap shahih. Kadang juga, mengutip pendapat ulama’ yang sesuai dengan kemauannya. Bahkan tak jarang, mengolok-olok beberapa hasil ijtihad ulama’ terdahulu karena dianggap menyelisihi sunnah menurut versi mereka, hudatsa’ al-asnan sufaha al-ahlam.

waAllahu a'lam; Hanif Luthfi, S.Sy.

Mau Ikut Nabi apa Ikut Ulama?

By : Ahmad Zarkasih, Lc - [ baca semua tulisan ] 13 May 2014, 20:00:36 | dibaca 6.273 kali

Sampai saat ini, saya pribadi masih ngga nyambung dan sulit memahami beberapa kawan yang dengan sangat kuat meyakini bahwa tidak madzhab itu sumbu perpecahan umat dengan banyaknya perbedaan pendapat. Dan yang harus dilakukan adalah kembali ke al-Quran dan Sunnah.

18

Page 19: Makalah Kampus#2(2)

Padahal sama sekali tidak ada satu pun ulama madzhab yang mengarang hukum; mereka semua adalah prototype manusia paling waro’, shalih dan takut dalam membuat hukum sendiri setelah generasi-generasi terbaik Islam (Masa Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in). dan tidak mungkin mereka semua mengambil hukum seenak hati dan nafsunya saja, tapi justru mereka mengambil itu semua dari al-Quran dan Sunnah, tidak yang lainnya. Dan memang itu yang mereka lakukan.

Sayangnya, yang mengatakan madzhab sebagai sumber perpecahan itu tidak pernah belajar sejarah madzhab dan imam-imamnya. Mungkin terlalu naif buat mereka untuk mempelajari perkataan manusia yang ‘tidak makshum’ nan mulia itu, atau sudah terlanjur gengsi. Seandainya mereka mempelajarinya dengan dada yang lapang, niscaya mereka cinta kepada sang imam-imam madzhab.

Justru karena mereka buta madzhab dan perbedaan pendapat itulah yang akhirnya membuat mereka menjadi sangat naïf dalam ber-syariah dan tentu rentan perpecahan. Memaksakan orang lain ikut sesuai pendapatnya, dan mencaci serta menjauhi mereka yang berbeda bahkan tidak segan melabeli dengan label buruk.

Jadi sejatinya siapa yang menjadi sumbu perpecahan? Para Imam madzhab dan pengikutnya atau yang memaksakan kehendaknya di-amin-I oleh yang lain tapi tidak bisa?

Kita sudah banyak contohnya dalam hal bahwa ulama madzhablah pelopor persatuan dalam perbedaan pendapat mereka. Imam Malik tidak mau memaksakan pendapatnya yang terangkum dalam kitab al-Muwaththo’ untuk jadi regulasi hukum Abbasiyah. Karena itu pasti menjadi masalah di tengah masyarakat yang tidak terbiasa dengan pendapat Malikiyah di Baghdad.

Imam Ibnu Mas’ud juga tidak mencemooh sayyidan Utsman bin Affan, dan justru menjadi makmum sholatnya. Padahal beliau beranggapan qashar bagi musafir sedang sayyidina Utsman tidak.

Tidak pula kita mendengar sejarahnya ada pengikut Imam Laits bin Sa’d yang datang ke Madinah untuk menghina pengikut Imam Malik, dan juga sebaliknya.

Ikut Nabi atau Ikut Ulama?

Ini yang buruk, beberapa kawan jika mendapati orang lain beramal sesuai madzhab, tapi –menurut pemahamannya yang lemah- itu menyelisih hadits Nabi, ia langsung mengumpat:

“Ente mau Ikut Hadits Nabi apa ikut ulama madzhab? Siapa yang pantas diikuti?”

Umpatan seperti ini jelas merendahkan derajat seorang ulama yang punya kapasitas tinggi sebagai orang yang mengerti syariah. Ini seperti menuduh ikan tidak bisa berenang. Apa mereka kira ulama madzhab itu tidak mengerti hadits?

Bagaimana bisa seorang Imam madzhab tidak mengerti hadits? Toh untuk jadi seperti itu (imam madzhab) tidak mungkin kecuali mereka hapal lebih dari ratusan ribu hadits dengan maqshud-nya pula. Karena seorang mujtahid, pastilah ia seorang muhaddits (ahli hadits)

19

Page 20: Makalah Kampus#2(2)

Jelas ini penghinaan yang nyata dari seorang yang bodoh syariah, yang hanya mengaji sabtu-ahad kepada ulama madzhab yang kapasitasnya jauh di atas mereka semua; mengerti ayat Quran beserta madlul-nya, paham hadits beserta manthuq-nya, dan paling mengerti bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya.

Kita memang WAJIB mengikut Nabi, tapi lewat jalur mana kita memahaminya? Apa mampu otak yang lemah ini memahami segitu banyak hadits? Sedang bahasa Arab hanya baru bisa, ana-anta-akhi-ukhti?

Ikut Abu Bakr, Umar, Utsman atau Ikut Nabi?

Ini yang lebih parah! Dalam beberapa masalah, beberapa kawan justru mengumpat sahabat ketika terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengikuti ijtihad Umar dalam suatu masalah (Tarawih 20 rokaat misalnya) yang itu tidak ada riwayat dari Nabi lalu ia katakan dengan pongah:

“Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Umar apa ikut Nabi?”

Dalam masalah adzan Jumat 2 kali yang merupakan Ijtihad sahabat Utsman bin Affan. Karena tidak puas dengan pendapat ini, ia pun mengumpat lagi:

“Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Ustman apa ikut Nabi?”

Seakan-akan bahwa apa yang dilakukan sayyidina Umar dan sayyidina Ustman itu menyelisih sunnah Nabi saw. Dan bukan seakan-akan, pernyataan yang kental dengan denagn umpatan itu jelas memberika arti bahwa sahabat tidak mengikuti Nabi, berbeda dengan Nabi.

Sahabat Tidak Mengikut Nabi?

Bagaimana bisa? Padahal mereka lah orang terdekat dengan Nabi saw, hidup bersama, selalu menemani, menyaksikan wahyu turun, mendengarkan hadits langsung, hidup berdampingan dengan Nabi saw. Tentu mereka paling mengerti maqhashid syariah yang turun dari langit melalui lisan Nabi saw. Lalu ada anak kemarin sore mengatakan: “Mau ikut Nabi apa ikut Umar/Utsman?”

Tentu jelas ini bentuk men-diskredit-kan kapasitas seorang sahabat sebagai ‘sahabat’ Nabi saw. Men-diskredit-kan sama dengan menghina dan penghinaan kepada para sahabat jelas dosa besar bahkan bisa menjurus ke-kufuran dalam Islam.

نصيفه وال أحدهم مد بلغ ما ذهبا أحد مثل أنفق أحدكم أن لو بيده نفسى فوالذى أصحابى وا تسب ال

Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yg jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yg telah diinfakkan para sahabatku.' [HR. Muslim]

Nah, jadi siapa yang menghina sahabat sekarang?

Mereka mengisi hari-hari mereka dengan teriakan keras menghujat para penghina sahabat Nabi saw, tapi malah dengan pongah mereka termasuk kelompok yang mereka sendiri hujat, mereka sendiri menghina

20

Page 21: Makalah Kampus#2(2)

sahabat. Menghujat penghina sahabat tapi malah menanamkan benih kebencian dan diskreditisasi sahabat dalam hati dengan bangga. Nau’udzu billah.

Abu Bakr dan Umar Menyelisih Nabi saw?

Kita ingat bagaimana pencapaian sayyidna Abu Bakr yang memerangi kaum pembangkat zakat yang Nabi saw tidak melakukan itu ketika masih hidup. Begitu juga wacana beliau tentang pembukuan al-Quran [tadwiin ul Qur’an], Apa kemudian ada sahabat lain menolak ikut berperang lalu mengumpat seperti anak-anak sekarang?

“Mau ikut khalifah Abu Bakr yang tidak makshum atau ikut Nabi?”

Sayangnya kita tidak menemukan ada riwayat seperti ini dalam kitab-kitab ulama syariah dan ulama sejarah. Termasuk juga inisiatif khalifah yang lain. Lalu dari mana mereka punya umpatan itu? Mencontoh siapa mereka kalau sahabat saja tidak melakukan?

Kita tahu bahwa ketika Nabi masih hidup, Nabi menghukumi talak tiga sekaligus dalam satu majlis atau satu kali perkataan itu tidak dihukumi sebagai talak tiga, tapi tetap talak satu. Jadi talak itu harus terpisah agar terhitung lebih dari satu.

Tapi ketika sayyidina Umar menjabat khalifah, di tahun ke-3 hijrah beliau memfatwakan hal yang berbeda dengan Nabi saw, bahwa talak tiga sekaligus itu terjadi walaupun diucapkan sekali.

Beliau fatwakan seperti itu karena melihat banyak dari para suami ketika itu yang gegabah dan seenaknya dalam mentalak istrinya dengan talak tiga, namun tetap mau kembali setelahnya. Akhirnya beliau hukum sebagai talak tiga sebagai jera bagi para lelaki agar hati-hati.

Dan semua sahabat ketika itu tidak ada yang mengingkari, yang akhirnya fatwa beliau menjadi ijma’ Sukuti. Dan tidak ada juga sahabat yang mengumpat:

“Mau ikut Umar yang tidak makshum, atau ikut Nabi saw?”

Sama sekali, tidak ada riwayat umpatan ‘alay’ seperti ini.

Wallahu a’lam

Ahmad Zarkasih, Lc

21

Page 22: Makalah Kampus#2(2)

Kitab Percaya Diri dan Kitab Tahu DiriBy : Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc. MA - [ baca semua tulisan ] 1 February 2014, 06:00:00 | dibaca 1.808 kali

Dalam dunia fiqih seseorang baru disebut mukallaf (orang yang beri beban) jika sudah sampai umur dan berakal, maka anak-anak dan orang gila yang akalnya tidak waras pada dasarnya tidak terikat dengan beban kehidupan, mereka bisa hidup bebas, bahkan sebebas-bebasnya, tanpa harus peduli kiri maupun kanan.

Orang-orang mukallaf ini dalam hubungannya dengan hukum syariah dan dalil terbagi dalam dua kelompok besar; Kelompok yang bisa menyimpulkan suatu hukum dari dalil yang ada dengan usahanya (ijtihad), dan kelompok yang tidak bisa atau belum mampu untuk menyimpulkan hukum sendiri.

Kelompok yang pertama dikenal dengan istilah mujtahid dan yang kedua disebut muqallid. Kedua kelompok ini wajib mengetahui hukum syariat dan mengamalkannya sesuai dengan kemampuan yang mereka punya. Kelompok yang pertama dibebankan untuk berijtihad sesuai dengan keilmuan yang mereka punya, sedangkan kelompok yang kedua diperintahkan untuk mengikut petunjuk yang pertama (taqlid).

Ibarat bepergian dari Ragunan ke Pasar Senen Jakarta, bagi yang memiliki kendaraan bolehlah mereka menggunakan kedaraannya untuk sampai ke tujuan dengan selamat, tapi bagi yang tidak memiliki kendaraan, mustahil rasanya kita paksa mereka untuk membeli kendaraan.

Ada baiknya dan memang sepantasnya mereka yang tidak memiliki kendaraan bergabung bersama mereka yang memiliki kendaraan, atau bisa menggunakan jasa angkutan umum; Kopaja, mikrolet, busway, atau taxi, dan lain sebagainya, terlebih jika mereka yang tidak memiliki kendaraan ini baru datang dari kampung halaman, buta dengan Jakarta.

Ijtihad Haknya Mujtahid

Sesuai dengan tuntutan seorang mujtahid, maka dalam beramal mereka diminta untuk berusaha mencapai suatu pemasalahan dengan langsung melihat dalil-dalil yang ada agar dengannya mereka bisa menyimpulkan sebuah hukum.

Bahwa kesimpulan yang didapatkan tidak bisa mengikat mujtahid lainnya, itu artinya dalam kode etiknya sesama mujtahid tidak boleh meng-copy paste hasil ijtihad dari mujathid lainnya, hasil itu harus benar-benar murni dari usahanya.

Jikapun terpaksa harus melihat hasil ijtihad mujtahid lainnya, maka kode etik berikutnya adalah bahwa mereka harus mencamtumkan foot note (catan kaki), atau menjelaskan kepada halayak ramai bahwa apa yang disampaikan itu adalah hasil ijtihadnya Imam Syafii, Imam Ahmad, atau imam mujtahid lainnya. Minimal tidak mengklaim bahwa itu adalah hasil ijtihadnya.

Inilah lebih kurang pesan yang ingin disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Raudhah An-Nazhir ketika membahas bab ijtihad. Imam Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa para ulama sepakat seorang mujtahid tidak boleh mengikut mujtahid lainnya [ غيره تقليد له يجز لم الحكم، ظنه على فغلب اجتهد إذا .[ المجتهد

22

Page 23: Makalah Kampus#2(2)

Dan mereka boleh menyampaikan pendapat imam madzhablainnya kepada halayak, namun tidak boleh mengklaim bahwa itu adalah hasil ijtihadnya padahal dia hanya taqlid kepada mujtahid lainnya:[ له يجوز ول-كن

غيره بتقليد نفسه عند من يفتي ولا والشافعي، كأحمد الأئمة، مذهب للسمتفتي ينقل [أنOrang Awam Wajib Mengikut (Taqlid)

Para ulama ushul menilai bahwa sepanjang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sampai pada level mujtahid belum ada, maka pada dasarnya mereka adalah awam. Karena pada dasarnya orang awam tidak mempunyai cukup syarat untuk berijtihad, maka disini mereka hanya diperintahkan untuk mengikut saja, ber-taqlid, tentunya mengikut para ulama mujtahid. Bahkan dengan tegas Ibnu Qudamah mengatakan wajib hukumnya bertaqlid kepada para ulama mujtahid.

Taqlid artinya mengambil pendapat mujtahid dalam suatu masalah tanpa mengetahui dalilnya, atau tanpa mengetahui dalilnya dengan sempurna. Ada awam yang memang benar-benar buta dengan pengetahuan akan dalil, tapi ada ada juga yang tahu sedikit tentang cara berdalil namun masih sangat kurang untuk menyimpulkan sendiri, keduanya sama awam, walau ada sedikit perbedaan.

Jika dalam satu negri ada banyak mujtahid maka mereka yang awam berhak untuk mengikut siapa saja dari ulama mujtahid yang ingin mereka ikuti [ المجتهدين من شاء من يقلد أن kaidah ini masyhur dikalangan ulama ,[للعاميushul, bahkan sebagian menganggap perkara ini sudah ada konsensusnya (ijma’).

Untuk itu kita mengenal istilah bahwa orang awam itu pada dasarnya tidak mempunyai madzhab khusus yang mengikat, madzhab mereka adalah madzhab ustadnya (mufti) [ مفتيه مذهب مذهبه بل له، مذهب لا .[العامي

Hal ini dikuatkan oleh Imam Nawawi dalam Raudhah At-Thalibin bahwa orang awam tidak harus berpegang teguh dengan satu madzhab tertentu, namun mereka boleh meminta fatwa kepada ulama yang mereka kehendaki, tanpa adanya niat dengan sengaja untuk mencari yang mudah saja[ يلزمه لا أنه الدليل يقتضيه الذي

للرخص تلقط غير من اتفق من أو شاء، من يستفتي بل بمذهب، [التمذهبSebagaimana firman Allah dalam ayat berikut:

 

تعلمون ال كنتم إن الذكر أهل فاسألوا

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43)

Tinggal lagi permaslahan berikutnya adalah menentukan dan memilih siapa saja dari ulama kita yang masuk dalam level mujtahid. Ini penting untuk diketahui karena pada dasarnya sangat jelas bedanya antara ulama mujtahid, ulama yang belum sampai pada derajat mujtahid, ustadz, artis, pelawak dan dukun. Jangan sampai istilah ini menjadi bias, hanya karena media yang selalu menghadirkan mereka di televisi.

23

Page 24: Makalah Kampus#2(2)

Jika kita adalah awam, sekiranya tidak ada kehiaan sama sekali dengan menyadari keawaman kita, dan setinggi-tingginya level awam tetap saja kita bukan mujtahid yang mempunyai hak utuh untuk berbicara dalil dengan sangat vokal, apalagi jika seandainya kita adalah awam pada level akut.

Proses belajar melalui majlis taklim, pesantren akhir pekan, melalui website, setidaknya menjadi awal dari bagaimana menyadarkan diri agar kita tahu bahwa sebenarnya selama ini kita tidak tahu, dengan pembelajaran seperti itu setidaknya kita bisa menaikkan level awam kita agar tidak berada pada posisi starata paling bawah, berharap sedikit demi sedikit kita juga mulai membaca dalil-dalil yang mereka gunakan.

Keberadaan awam dalam kehidupan ini tidaklah sehina yang dibayangkan, bahwa salah satu unsur stabiltas kehidupan justru karena adanya peran mereka yang awam. Keberadaan para pedagang yang sepanjang hari tidak pernah tahu dengan kitab-kitab ushul, fiqih, tafsir, hadits dan lainnya sudah membantu masyarat ini memenuhi hajat hidup mereka. Para sopir angkot, taxi, yang sepanjang hari berada di dalam mobilnya juga sudah membuat roda kehidupan berjalanan. Petani sawah dan kebun yang sudah menanam padi, buah dan sayur tidak kalah pentingnya, sehingga dengan izin Allah kita makan dengan hasil penjualan mereka. Dan begitu seterusnya, yang ada justru sebenarnya hidup ini akan kacau jika semua orang diwajibkan untuk menjadi mujtahid.

Taqlid Bertentangan Dengan Pesan Ulama?

Sekilas bahwa pesan yang sering kita dengar dari para ulama bahwa: “Jika benar suatu hadits maka itulah madzbku atau pendapatku” haruslah difahami secara proporsional. Pesan ini sebenarnya ditujukan untuk para ulama mujtahid, bukan untuk selain mereka.

Bagaimana mungkin orang awam akan mengetahui bahwa ada pendapat mujtahid yang bertentangan dengan Al-Quran maupun Hadits sedang mereka tidak pernah tahu dan tidak pernah selesai membaca semua kitab yang ditulis oleh ulama tersebut, dan buta dengan metodelogi mereka dalam menyimpulkan sebuah hukum.

Ini yang kadang membuat kita tambah bingung, bagaimana mungkin orang awam mengahakimi ulama yang sudah sampai pada level mujtahid dengan mengatakan bahwa pendapatnya bertetangan dengan Al-Quran dan tidak sejalan dengan Hadits?

Jika pernyataan itu didapat lewat keterangan sebagian ustad, maka pada umumnya apalagi ustad di negri kita ini belum sampai pada level mujtahid, jadi menentangkan pendapat mereka dengan pendapat para mujtahid menjadi tidak relevan.

Jikapun pernyataan bahwa ada pendapat satu mujtahid yang bertentang dengan Al-Quran atau Hadits didapat melalui ulama besar dari negri Timur Tengah sana, maka keyakinan kita dengan pendapat ulama ini juga disebut dengan taqlid, lantas apa bedanya taqlid kita kepada ulama ini dengan ulama itu? Dan taqlid kita kepada ulama yang yang satu tidaklah lebih utama ketimbang taqlid kepada selainnya, karena tetap saja keduanya adalah taqlid.

Jadi permasalahan ini hanya akan relevan untuk sesama mujtahid, karena sedari awal sudah kita jleaskan bahwa hanya merekalah yang berhak berijtihad, dan bahwa hasil ijtihadnya tidak mengikat untuk ulama lainnya.

24

Page 25: Makalah Kampus#2(2)

Jadi mari kita dudukkan permasalahan ini pada tempatnya. Dalam hal ini kita butuh membuka dua kitab; Kitab percaya diri dan kitab tahu diri. Untuk para ulama bolehlah mereka membuka kitab percaya diri dengan usaha yang sudah mereka lakukan, tapi buat kita yang masih awam mari membuka kitab tahu diri, bahwa sebenarnya kita hanya diminta untuk mengikut saja, tanpa harus menyalahkan pengikut lainnya. Wallahu A’lam Bisshawab. Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc. MA

Etika dan Batasan Dalam Berbeda Pendapat

Wed, 3 September 2014 10:35 - | Dibaca 2.193 kali | Bidang fiqih

Assalamu 'alaikum wr. wb.

ustadz, perkenankan kami bertanya tentang masalah berbeda pendapat.

1. Dalam bidang apa saja kita dibenarkan untuk berbeda pendapat? 2. Apakah perbedaan pendapat ini bagian dari perpecahan umat yang Nabi SAW ramalkan?3. Kalau beda pendapat dibolehkan, bukankah akan melahirkan permusuhan?4. Kalau pun dibolehkan, lalu bagaimana adab dan akhlaq berbeda pendapat?

Mohon penjelasan sekaligus pencerahannya, ustadz.

Wassalam

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Meski pun berbeda pendapat itu dibolehkan, namun tetap ada batasan dimana kebolehan itu berlaku. Di luar garis yang telah dibolehkan, maka perbedaan pendapat itu menjadi tidak produktif lagi.

1. Masalah Cabang dan Bukan Fundamental

Kita sering membagi tema agama menjadi dua, yaitu hal-hal yang bertema aqidah dan syariah. Di dalam tema aqidah, kita menemukan wilayah dasar dan wilayah cabang, sebagaimana di dalam tema syariah pun kita menemukan ada yang berada di wilayah dasar dan cabang.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama hanya diperbolehkan bila berada di wilayah cabang, baik dalam tema aqidah maupun dalam tema fiqih. Contoh tema aqidah yang merupakan dasar adalah kita beriman bahwa Allah SWT bersifat Esa tidak berbilang dan tidak ada yang menyamai Dirinya.

Sedangkan tema aqidah tapi wilayah cabang adalah apa saja yang termasuk nama dan sifat Allah. Seperti apa yang dimaksud dengan kursi Allah, termasuk juga masalah wajah, tangan, kaki, dan lainnya. Para ulama boleh berbeda pendapat dalam masalah cabang seperti ini dan tidak akan membuat mereka menjadi kafir atau masuk neraka.

25

Page 26: Makalah Kampus#2(2)

Contoh tema syariah yang menjadi bagian dasar misalnya bahwa shalat lima waktu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Sedangkan contoh tema syariah yang menjadi bagian furu' adalah apakah qunut pada shahat shubuh itu hukumnya sunnah atau bid'ah. Para ulama dibolehkan berbeda pendapat dalam hukum qunut shubuh ini, tetapi tidak boleh berbeda pendapat tentang disyariatkan lima waktu shalat yang wajib.

Sayangnya dalam alam nyata, orang seringkali terbolak-balik dalam berbeda pendapat. Kadang masalah yang fundmental masih saja diperdebatkan bahkan dipermasalahkan, padahal bila hal itu dilakukan, justru sendi agama yang paling dasar akan dirusak. Kalangan orientalis dan liberalis biasanya menyerang pada bagian dasar ini, teetapi dengan kamuflase seolah-olah kita masih boleh berdebat dan berbeda pendapat.

2. Beda Pendapat Bukan Perpecahan

Yang juga seringkali kurang dipahami oleh banyak orang adalah kesan bahwa perbedaan pendapat pada tingkat cabang berarti perpecahan. Padahal antara perbedaan pendapat dengan perpecahan masih ada jarak yang sangat jauh, bagi mereka yang tahu aturan main.

Memang terkadang orang-orang yang kurang ilmunya memandang bahwa perbedaan pendapat itu harus bermakna perpecahan. Karena berbeda pendapat dalam batas-batas tertentu dibenarkan, tetapi berpecah-belah itu diharamkan. Dan haramkan berpecah-belah itu ditegaskan di dalam Al-Quran.

قوا تفر وال جميعا الله بحبل واعتصموا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran : 103)

Perpecahan di dalam masalah fundamental agama pernah dialami oleh umat sebelum kita, yaitu para ahli kitab, baik yahudi maupun nasrani. Mereka adalah contoh yang tidak baik dan tidak boleh ditiru. Oleh karena itu Allah SWT telah berpesan agar kita jangan terperosok sebagaimana mereka terperosok.

عظيم عذاب لهم وأولـئك نات البي جاءهم ما بعد من واختلفوا قوا تفر ذين كال تكونوا وال

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran : 105)

Tugas para ulama adalah menegakkan agama Islam, oleh karena itu diharamkan bagi mereka berpecah-belah. Dan ini merupakan wasiat tiap nabi yang pernah turun, sebagaimana firman Allah SWT :

الدين أقيموا أن وعيسى وموسى إبراهيم به وصينا وما إليك أوحينا ذي وال نوحا به وصى ما الدين من لكم شرعفيه قوا تتفر وال

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa

26

Page 27: Makalah Kampus#2(2)

yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. Asy-Syura : 13)

بينهم بغيا العلم جاءهم ما بعد من إال قوا تفر وما

Dan mereka tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. (QS. Asy-Syura : 14)

3. Beda Pendapat Bukan Permusuhan

Perbedaan pendapat yang diharamkan adalah yang melahirkan permusuhan dengan sesama muslim, apalagi sesama para ulama dan juru dakwah.

Kalau pun secara lahiriyah terpaksa umat ini berpisah, tidak berada dalam satu kelompok atau jamaah, minimal mereka tidak boleh bermusuhan. Sebab permusuhan itu akan sangat melemahkan umat, sebaliknya lawan akan nampak semakin tangguh.

بينهم رحماء الكفار على أشداء معه ذين وال الله سول ر محمد

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al-Fath : 29)

Maka sepanas apapun berbedaan pendapat di antara sesama umat Islam, tidak boleh sampai terjadi permusuhan, dendam, atau pun tindakan-tindakan anarkis.

Ketika Nabi Musa menarik rambut dan jenggot saudaranya, Nabi Harun, alaihimassalam, beliau pun diingatkan untuk tidak melakukannya.

قولي ترقب ولم إسرائيل بني بين قت فر تقول أن خشيت ي إن برأسي وال بلحيتي تأخذ ال أم ابن يا قال

Harun menjawab,"Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan kepalaku. Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata,"Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku".(QS. Thaha : 94)

4. Adab dan Akhlaq Berbeda Pendapat

Dan biasanya permusuhan itu akan semakin berkobar, manakala perbedaan pendapat itu diwarnai pula dengan tindakan dan ucapan yang tidak terpuji. Maka kalau pun terpaksa harus berbeda pendapat, haram hukumnya untuk saling melempar cacian, hinaan, cemoohan, bahkan mendoakan keburukan dan tindakan-tindakan negatif lainnya.

الحمير لصوت األصوات أنكر إن صوتك من واغضض مشيك في واقصد

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman : 19)

27

Page 28: Makalah Kampus#2(2)

أن أحدكم أيحب بعضا عضكم ب يغتب وال سوا تجس وال إثم الظن بعض إن الظن من كثيرا اجتنبوا آمنوا ذين ال ها أي ياحيم ر تواب ه الل إن ه الل قوا وات فكرهتموه ميتا أخيه لحم يأكل

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka , karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat : 12)

a. Tidak Mencaci

Perilaku tidak terpuji dari mereka yang berbeda pendapat adalah melontarkan makian, hinaan dan cemoohan kepada pihak yang pendapatnya tidak sejalan dengan pendapat mereka.

Sayangnya, kita masih sering membaca atau mendengar ungkapan-ungkapan yang kurang simpatik dari mereka yang berbeda pendapat, seperti ungkapan berikut :

Pendapat ini tidak keluar kecuali dari mulut orang-orang yang bodoh, dungu dan tidak berilmu. Mereka yang berpendapat seperti ini tidak lain hanyalah sekumpulan orang-orang bodoh, dungu,

sesat, tidak punya akal dan ideot.

Pendapat ini tidak keluar kecuali dari orang-orang yang lemah iman, tidak punya keteguhan hati, serta orang-orang yang jiwana mudah terbawa nafsu duniawi.

Di antara adab mulia yang wajib dilakukan oleh mereka yang berbeda pendapat adalah bukan dengan langsung mengeluarkan vonis yang menjatuhkan, apalagi menghina. Masih ada begitu banyak ungkapan yang lebih sopan dan halus, seperti ungkapan :

Meski tidak menolak, namun saya lebih cenderung pada pendapat yang berbeda. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, namun menurut hemat saya agak kurang sesuai dengan

situasinya.

Dalam masalah ini para ulama memang berbeda pendapat, ada yang berpendapat A, B atau C.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada pendapat lain, saya agak cenderung sependapat dengan pendapat C.

Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada beliau, namun rasanya pendapat beliau ini kurang tepat, wallahua'lam.

b. Mengutip Dengan Lengkap

Salah satu adab dalam berbeda pendapat adalah tidak langsung menyalahkan pendapat orang lain, tetapi etikanya harus dikutipkan dulu apa yang menjadi pendapat orang, serta dilengkapi dengan alasan dan

28

Page 29: Makalah Kampus#2(2)

argumentasinya.

Dan yang lebih tepat lagi adalah mencoba membenarkan pendapat itu sebagai hasil sebuah ijtihad, lalu menampilkan pendapat yang berbeda, juga lengkap dengan dalil dan argumentasinya.

Dua pendapat yang berbeda ini harus secara jujur dikemukakan dengan adil dan seimbang, tanpa harus menambahi atau mengurangi. Disini wajib ada amanah ilmiyah yang harus dipertanggung-jawabkan.

Sehingga para dasarnya kita tidak asal melakukan tuduhan atau melempar kesalahan orang lain. Yang kita lakukan sekedar memberikan penilaian, yang kita upayakan seobjektif mungkin, tanpa diiringi dengan fanatisme buta.

c. Tidak Mendominasi Kebenaran

Terakhir, barulah kita boleh memberikan penilaian yang bersifat subjektif, serta dilengkapi dengan ungkapan yang sopan dan beretika. Juga akan menjadi lebih baik bila kita sampaikan juga bahwa pendapat yang kita pilih ini bukan kebenaran yang bersifat mutlak, tetapi bisa saja salah. Sementara pendapat yang ditolak, bukan berarti pendapat itu salah atau menyesatkan. Pendapat itu bisa saja menjadi benar.

Dan kebenaran hanya milik Allah, atau dengan ungkapan wallahua'lam.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Apa Saja Penyebab Munculnya Paham Anti Mazhab?

Mon, 18 August 2014 05:30 - | Dibaca 4.646 kali | Bidang fiqih

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Ustadz yang dirahmati Allah.

Ada satu pertanyaan yang membuat saya penasaran sampai sekarang, yaitu mengapa masih ada saja umat Islam yang berpaham anti dengan mazhab, bahkan terkesan memerangi mazhab fiqih para ulama? Kira-kira apa latar belakang mereka menjadi orang yang anti dengan mazhab? Apakah mereka ini termasuk para perusak agama?

Mohon penjelasan dari ustadz dan terima kasih sebelumnya.

Wassalam

Jawaban :

29

Page 30: Makalah Kampus#2(2)

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak semua orang yang anti mazhab itu berniat jahat terhadap agama Islam. Boleh jadi penyebabnya karena kurangnya informasi yang akurat dan objektif terkait dengan ilmu terkait mazhahibul ulama. Maklumlah, pentas dan mimbar dakwah di negeri kita lebih banyak menyajikan sosok yang tidak punya latar belakang pendidikan ilmu syariah yang mumpuni.

Selain itu memang di tengah masyarakat kita yang awam ini banyak termakan oleh propaganda yang kurang lengkap, sehingga kurang proposional dalam memahami hakikat mazhab.

Di antara sebab yang sering mengecoh umat Islam sehingga terkesan anti mazhab fiqih dan cenderung kurang bersahabat adalah hal-hal berikut :

1. Tertipu Slogan Kembali Kepada Al-Quran dan Sunnah

Slogan untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah adalah slogan yang sangat bagus. Sebab keduanya memang sumber rujukan kita dalam beragama.

Namun banyak juga kalangan yang kurang paham, kepada siapakah sebenarnya slogan ini kita arahkan, dan dalam konteks apa seharusnya disampaikan?

Slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah lebih tepat untuk disampaikan kepada mereka yang telah menukar Al-Quran dan Sunnah dengan paham dan ideologi asing atau sekuler. Misalnya di Turki yang sekuler, ada gerakan untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Atau di negeri Islam yang menjadi korban Westernisasi, sehingga ideologi Islam yang ada diganti dengan ideologi yang datang dari Barat.

Kepada mereka inilah sebenarnya slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah kita arahkan. Maksudnya kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dengan meninggalkan ideologi yang bukan datang dari Allah SWT dan Rasululullah SAW.

Tetapi ketika kita mengarahkan kepada sesama umat Islam yang sudah menggunakan Al-Quran dan Sunnah sebagai dasar sumber hukum, lalu dengna slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah kita malah menafikan sumber-sumber hukum Islam selain keduanya, maka senjata telah digunakan dengan cara yang keliru dan salah sasaran.

Tidak bisa dibenarkan kalau dengan slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, kita lantas menginjak-injak Ijma' dan Qiyas yang telah dijadikan sumber sekaligus metode dalam memahami hukum Islam. Dan bukan ciri orang yang paham Islam apabila menafikan pendapat para ulama dan mazhab fiqih dalam memahami Al-Quran dan Sunnah.

Sebenarnya tidak ada yang salah ketika kita berseru untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Tetapi menjadi sangat sesat kalau pemahamannya dibelokkan menjadi memusuhi ijtihad, tafsir, fiqih dan mazhab

30

Page 31: Makalah Kampus#2(2)

para ulama.

2. Mazhab Dianggap Taqlid

Penyebab lain kenapa banyak umat Islam yang seolah bermusuhan dengan mazhab-mazhab fiqih adalah adanya mitos bahwa bermazhab itu sama dengan bertaqlid buta kepada manusia, dimana manusia itu bisa saja benar dan bisa saja salah.

Padahal sesungguhnya tidak semua taqlid itu salah dan keliru. Memang ada sebagian orang bertaqlid dengan cara yang tidak dibenarkan, dan itu termasuk taqlid yang haram hukumnya.

Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada taqlid yang hukumnya wajib dan hal itu tidak bisa dihindari. Sebab tidak semua orang punya kemampuan untuk menarik sendiri kesimpulan hukum yang ada di dalam Al-Quran dan sunnah.

a. Taqlid Yang Hukumnya Wajib

Taqlid yang hukumnya wajib adalah taqlid yang memang memenuhi ketentuan, antara lain :

Kriteria Pertama : Taqlid Dilakukan oleh Orang Awam

Orang awam adalah orang yang tidak punya kapasitas yang cukup untuk memahami ayat Al-Quran dan Sunnah. Yang dikatakan kapasitas itu adalah keahlian dalam berijtihad.

Di antara syarat seseorang boleh melakukan ijtihad antara lain dia harus menguasai berbagai macam disiplin ilmu, seperti :

Ilmu Al-Quran: Ilmu-ilmu yang terkait dengan ilmu Al-Quran antara lain tentang asbabun-nuzul, yang mempelajari bagaimana dan kapan tiap ayat diturunkan. Selain itu juga harus dikuasainya imu tafsir, khususnya pada ayat-ayat yang terkait dengan hukum.

Dan tidak cukup hanya dengan itu, juga harus dikuasi ilmu tentang nasakh dan mansukh dari masing-masing ayat Al-Quran, agar jangan sampai seseorang salah dalam menggunakan dalil yang sudah tidak berlaku.

Dan tidak ketinggalan bahwa seorang mujtahid harus menguasai kaidah-kaidah dalam pengambilan kesimpulan hukum ayat Al-Quran, sehingga dia harus mengerti betul mana al-'aam dan mana al-khash, dan seterusnya.

Ilmu HAdits (Sunnah) : Seorang yang punya kapasitas dalam berijtihad harus menguasai ilmu tentang sunnah nabawi, yaitu ilmu hadits.

Dan di antara cabang ilmu hadits yang paling penting adalah ilmu tentang naqd hadits. Ilmu naqd (kritik) hadits adalah ilmu yang tidak boleh luput dari kemampuan seorang mujtahid. Sebab yang di-istimbath tidak lain adalah hukum-hukum yang bersumber dari Rasulullah SAW. Kalau jalur periwayatannya saja sudah

31

Page 32: Makalah Kampus#2(2)

bermasalah, maka istimbath hukumnya sudah pasti bermasalah juga.

Maka sebelum menjadi seorang mujtahid, seorang ulama harus menjadi ahli hadits (muhaddits) terlebih dahulu. Setidaknya dia harus punya kemampuan untuk memilah mana hadits yang bisa dijadikan sandaran, dan mana yang tidak bisa dijadikan sandaran.

Ilmu Bahasa Arab : Al-Quran tidak pernah diturunkan ke permukaan bumi ini kecuali dalam bahasa Arab. Sebab Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu hanya bisa berbahasa Arab.

Demikian juga sunnah nabawiyah, yang merupakan perbuatan, perkataan dan iqrar Rasulullah SAW, tidak lah sampai kepada kita lewat rangkaian panjang periwayatan, kecuali redaksinya selalu berbahasa Arab.

Maka bila seorang mujtahid ingin menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah, mustahil bisa dilaksanakan bila dirinya tidak mengerti bahasa Arab.

Maka syarat mutlak ilmu yang harus minimal dikuasai oleh seorang mujtahid adalah ilmu tentang bahasa Arab dengan segala cabang dan rantingnya.

Ilmu Fiqih : Tetapi ilmu yang paling utama dari kebutuhan untuk mengistimbath suatu hukum tidak lain adalah ilmu fiqih dan ushul fiqih. Ilmu fiqih adalah produk akhir dari ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas. Hasil akhir ini berupa kesimpulan-kesimpulan hukum atas berbagai masalah kehidupan.

Orang-orang awam adalah konsumen dari ilmu fiqih ini. Bahkan sebenarnya ilmu ini memang ditujukan untuk dipelajari oleh orang-orang awam. Para mujtahid kemudian mengajarkan hasil-hasil ijtihad dan istimbath hukum mereka lewat pengajaran ilmu fiqih ini.

Ilmu Ushul Fiqih : Ruang lingkup pembahasan Ilmu Ushul Fiqih sebenarnya cukup luas, mulai dari sumber-sumber hukum fiqih hingga proses bagaimana kesimpulan hukum itu diambil, lewat beragam metode yang ada.

Dalil-dalil hukum syariah ada yang muktamad seperti Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas, dan ada juga dalil yang mukhtalaf, seperti al-masalih al-mursalah, al-istidlal, al-istish-hab, saddu adz-dzari’ah, istihsan, 'urf, syar'u man qablana, amalu ahlil madinah, qaul shahabi dan lainnya. Selain itu dalam ushul fiqih juga dikenal dalil lafadz, yaitu al-amru wa an-nahyu, al-‘aam wal khash, al-muthlaq wa al-muqayyad, al-manthuq wal mafhum.

Ushul fiqih juga membahas berbagai jenis hukum, baik berupa hukum taklifi atau pun hukum wadh'i. Hukum Taklifi adalah hukum yang kita kenal sebagai wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh atau haram. Sedangkan hukum Wadh’i seperti as-sabab, asy-syarth, al-mani’, ash-shihhah, a-fasad wal buthlan.

Maka siapa saja orang yang tidak punya keahlian atas ilmu-ilmu di atas, kita sebut sebagai orang awam. Mereka bukan saja tidak bisa berijtihad, tetapi haram hukumnya berijtihad.

Sama kasusnya dengan seorang dokter. Meski tiap orang wajib berupaya mendapatkan kesembuhan atas

32

Page 33: Makalah Kampus#2(2)

penyakitnya, dengan segala hal yang bisa dia lakukan, namun bukan berarti seseorang boleh mengangkat dirinya sebagai dokter, tanpa ilmu dan jenjang pendidikan kedokteran yang serius.

Kriteria Kedua : Bertaqlid Harus Kepada Ulama Yang Ahli

Maka kita semua harus mengaku bahwa diri kita ini adalah orang awam, meski pun penampilannya seperti ulama. Sebab keulamaan itu tidak identik dengan nama besar, atribut, jubah, sorban yang melilit kepala, atau julukan serta jabatan. Tetapi keulamaan itu terkait dengan kadar ilmu dan pengetahuan atas hukum-hukum syariah, yang hanya bisa didapat dari belajar secara serius bertahun-tahun.

Dan para pendiri mazhab tidak lain adalah sosok para ulama itu. Kepada mereka itulah kita belajar ilmu-ilmu syariah yang menjadi syarat seorang mujtahid.

Ibaratnya, bila kita ingin belajar ilmu ilmu fisika, maka orang yang paling mengerti fisika tidak lain adalah Newton, Einstein, Copernicus dan seterusnya. Kalau kita mau belajar ilmu Matematika, maka orang yang paling mengerti adalah Al-Khawarizmi atau Pythagoras.

Dan kalau mau mengerti komputer, paling tidak kita menimba ilmu kepada Charles Babbage atau kalau terkait software bisa kita sebut Bill Gates atau Steve Jobs.

Dan kalau kita mau tahu bagaimana cara menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan Sunnah, orang yang paling pintar dan mengerti adalah para ulama, yaitu para shahabat, tabi'in dan di masa berikutnya adalah empat pendiri mazhab besar, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka adalah soko guru untuk seluruh ulama berikutnya hingga 12 abad kemudian sampai hari ini.

Bermazhab pada hakikatnya kita belajar dan bertanya kepada orang yang memang ekspert di bidangnya. Dan belajar serta bertanya kepada mereka pada hakikatnya adalah bertaqlid. Maka bertaqlid kepada mazhab-mazhab fiqih itu hukumnya wajib buat kita yang awam.

b. Taqlid Yang Hukumnya Haram

Sedangkan taqlid yang haram adalah taqlidnya seseorang kepada tokoh yang tidak punya ilmu dan pemahaman dalam urusan istimbath hukum. Sudah tidak bisa bahasa Arab, tidak mengerti ilmu Al-Quran dan Sunnah, buta ilmu fiqih dan ushul fiqih, lalu tanpa malu mengaku-ngaku sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya.

Lebih parah lagi, dengan kepala yang kosong dari ilmu syariah itu, kemudian dia membangun lembaga fatwa untuk kelompoknya. Seolah-olah lembaga fatwanya itu menjadi 'hakim' yang berhak 'mengadili' fatwa dan mazhab ulama yang sudah ada sebelumnya.

Bahkan kadang tanpa sadar, fatwa-fatwa yang dibuatnya tanpa landasan ilmu itu malah terkesan menghina dan mencaci-maki semua orang yang belajar ilmu agama kepada ahlinya. Perbuatan itu dianggapnya sesat

33

Page 34: Makalah Kampus#2(2)

dan taqlid.

Padahal dirinya adalah seorang yang paling depan dalam urusan bertaqlid, yaitu bertaqlid buta kepada gurunya sendiri, yang ternyata juga bukan ahli di bidang hukum syariah.

3. Mengidentikkan Mazhab Dengan Tradisi Jahiliyah

Sebagian orang yang anti dengan mazhab seringkali tidak bisa membedakan mana yang merupakan ilmu syariah yang dihasilkan dari ijtihad ulama dan bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah, dan mana yang sebenarnya adalah budaya jahiliyah produk dari nenek moyang yang sesat.

Misalnya membaca Al-Quran, dzikir dan tahlilan yang pahalanya disampaikan kepada ruh orang-orang yang sudah meninggal dunia. Praktek yang banyak dilakukan di tengah masyarakat ini seringkali diperangi dengan cara lembut dan kasar, seolah-olah merupakan praktek jahiliyah peninggalan budaya Hindu yang masih dipelihara. Dan sayangnya, mazhab-mazhab fiqih kemudian dituduh sebagai kambing hitamnya.

Padahal mazhab fiqih tidak mengajak kepada praktek seperti ini. Dalam hal ini, sebenarnya ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, tentang apakah bacaan Al-Quran serta dzikir itu bisa disampaikan pahalanya kepada orang yang sudah wafat.

Dan umumnya para ulama mazhab berpendapat memang hal itu menjadi wilayah ghaib, dimana hanya Allah saja yang tahu. Namun melihat banyak nash yang menerangkan hal itu, maka banyak pendapat yang mengatakan bahwa bacaan Al-Quran dan dzikir itu bisa disampaikan kepada orang yang sudah wafat dan bermanfaat buat mereka.

Dengan catatan bahwa para ulama memang berbeda pendapat tentang hal ini. Salah satu yang menentangnya justru Al-Imam Asy-Syafi'i sendiri.

Sedangkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim justru sepakat bahwa bacaan Al-Quran dan dzikir bisa disampaikan pahalanya kepada orang mati.

Dan orang-orang yang anti mazhab sering mengidentikan mazhab fiqh dengan praktek-praktek syirik yang masih berkembang di tengah masyarakat, seperti budaya datang ke dukun, percaya kepada tahayyul dan ramalan, atau mengkeramatkan benda-benda semacam keris, batu dan rajah. Semua itu seringkali diidentikkan dengan orang bermazhab dalam ilmu fiqih.

Padahal fiqih Islam menentang semua praktek itu, dan memeranginya, sesuai dengan ketentuan dari Allah SWT dan Rasulullah SAW lewat berbagai hadits shahihnya.

4. Dangkalnya Ilmu Agama

Dan faktor terbesar dari begitu banyaknya umat Islam yang terkesan anti dengan mazhab-mazhab fiqih adalah dangkalnya dasar-dasar ilmu agama yang mereka pelajari di waktu kecil.

34

Page 35: Makalah Kampus#2(2)

Kebanyakan bangsa Indonesia ini tidak berkesempatan menempuh jenjang pendidikan madrasah atau pesantren. Kebanyakan mereka hanya bersekolah umum, yang tidak punya porsi cukup dalam bidang ilmu agama.

Ketika mereka dewasa, ada semacam semangat untuk belajar, tetapi sudah tidak punya waktu lagi. Akibatnya, mereka belajar secara instan dan kilat. Tetapi resikonya, ilmunya cuma sepotong-sepotong dan tidak utuh.

Cirinya adalah tidak lancar membaca Al-Quran, lebih sering terbata-bata. Dan pastinya tidak mengerti tafsir Al-Quran, sehingga lebih sering menafsirkan ayat Quran berdasarkan logika lemah dan hawa nafsu saja.

Juga tidak memiliki ilmu hadits yang utuh, sehingga rancu dalam memahami hadits shahih, hasan dan dhaif.

Yang lebih parah biasanya mereka ini tidak paham bahasa Arab, apalagi Nahwu, sharaf dan Balaghah. Sehingga sudah bisa dipastikan mereka itu asing dengan kitab-kitab warisan (turats) para ulama. Kalau pun membaca buku, maka bukunya hanya terjemahan yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya, dan jumlahnya amat terbatas.

Dan yang pasti mereka tidak pernah berkesempatan belajar ilmu fiqih lewat ulama yang ahli di bidangnya, dengan jenjang yang runtut. Dan ilmu ushul fiqih hanya pernah dengar saja, tetapi sama sekali tidak mengerti apa maksud dari ilmu ushul itu. 

Sebenarnya masih banyak faktor-faktor yang lainnya, namun kita cukupkan sampai disini. Harapannya adalah semoga umat Islam ini bisa berkesempatan untuk memperluas tsaqafah keilmuannya, tidak merasa cukup dengan ilmu yang hanya secuil dimilikinya. Dan yang paling penting, jangan sampai kita terkena penyakit ujub, riya dan takabbur. Tidak punya ilmu tetapi merasa paling paham urusan agama.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Mazhab Dalam Islam

Sun, 4 May 2014 13:46 - | Dibaca 4.293 kali | Bidang fiqih

Assalamualaikum wr. wb.

Pak Ustaz, dalam Islam kita kenal 4 mazhab. Kenapa cuma 4 yang selama ini kita kenal? Bukankah masih banyak para ulama lain yang mungkin juga pantas untuk punya mazhab sendiri. Imam Ghozali dengan Ihya Ulumuddin-nya (sebuah maha karya masa itu) beliau tidak dikenal memiliki mazhab. Dan beliau hidup pada zaman apa?

Jazakumullah kh. ktsr.

35

Page 36: Makalah Kampus#2(2)

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Secara bahasa arti mazhab adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba - yazhabu - zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.

Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiyah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.

Mazhab Tidak Hanya Empat Saja

Sesungguhnya mazhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja.

Padahal kita juga mengenal mazhab selain yang 4 seperti:

Mahab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid (w 93 H). Mahab Az-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin (w 122H),

Mzhab Azh-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bion Ali Azh-Zhahiri (202 - 270 H)

dan mazhab-mazhab lainnya.

Sedangkan yang kita kenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun.

Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqih dan mampu bertahan hingga sekarang ini.

Di dalamnya terdapat ratusan tokohulama ahliyang meneruskan dan melanggengkan mazhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.

Para ulama mazhab itu kemudian menulis kitab yang tebal-tebal dalam jumlah yang sangat banyak, kemudiandiajarkan kepada banyak umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Kitab-kitab itu sampai hari ini masih dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam, seperti di Al-Azhar Mesir, Jami'ah Islamiyah Madinah, Jami'ah Al-Imam Muhammad Ibnu Suud Riyadh, Jamiah Ummul Qura Makkah an di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Bahkan di Al-Azhar dibuka fakultas Syariah dengan jurusan dari masing-masing mazhab yang empat itu.

Sementara puluhan mazhab lainnyamungkin terlalu sedikit pengikutnya, atau tidak punya ulama yang sekaliber pendirinya yang mampu meneruskan kiprah mazhab itu, atau tidak mampu bertahan bersama bergulirnya zaman. Sehingga banyak di antaranya yang kita tidak mengenalnya, kecuali lewat kitab-kitab

36

Page 37: Makalah Kampus#2(2)

klasik yang menyiratkan adanya mazhab tersebut di zamannya.

Buku mereka sendiri mungkin sudah lenyap dari muka bumi, atau barangkali ikut terbakar ketika pasukan Mongol datang meratakan Baghdad dengan tanah. Sebagian yang masih tersisa mungkin malah disimpan di musium di Eropa. Memang sungguh sayang sekali, ilmu yang pernah ditemukan dan berkembang besar, kemudian lenyap begitu saja di telan bumi.

Pentingnya Bermazhab

Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti mazhab.

Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.

Sebaliknya, adanya mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama MasPaijo, mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah dan Al-Wakijaniyah.

Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab.

Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya.

Lalu bolehkah seseorang mendirikan mazhab sendiri?

Jawabnya tentu saja boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath (menyimpulkan) sendiri setiap detail ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat sedikit perumpamaan dengan dunia komputer, maka adanya mazhab-mazhab itu ibarat seseorang dalam berkomputer, di mana setiap orang pastimemerlukan sistem operasi (OS).

Tidak mungkin seseorang menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik Windows, Linux, Mac OS atau yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia komputer menjadi hal yang mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi, manusia hanya bicara dengan mesin.

Kalau ada orang yang agak eksentrik dan bertekad tidak mau pakai Windows, Linux, Mac Os atau sistem operasi lain yang telah tersedia, tentu saja dia berhak sepenuhnya untuk bersikap demikian. Namun dia tentu

37

Page 38: Makalah Kampus#2(2)

perlu membuat sendiri sistem operasi itu, yang tentunya tidak terlalu praktis.

Apalagi buat orang-orang kebanyakan, rasanya terlalu mengada-ada kalau harus membuat dulu sistem operasi sendiri. Bahkan seorang programer level advance sekalipun belum tentu mau bersusah payah melakukannya. Buat apa merepotkan diri bikin sistem operasi, lalu apa salahnya sistem operasi yang sudah tersedia di pasaran.

Tentu masing-masingnya punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, akan menjadi sangat lebih praktis kalau kita memanfaaatkan yang sudah ada saja.

Sebab di belakang masing-masing sistem operasi itu pasti berkumpul para maniak dan geek yang bekerja 24 jam untuk kesempurnaan sistem operasinya.

Demikian juga dengan ke-4 mazhab yang ada. Di dalamnya telah berkumpul ratusan bahwa ribuan ulama ahli level tertinggi yang pernah dimiliki umat Islam, mereka bekerja siang malam untuk menghasilakn sistem fiqih Islami yang siap pakai serta user friendly. Meninggalkan mazhab-mazhab itu sama saja bikin kerjaan baru, yang hasilnya belum tentu lebih baik.

Akan tetapi boleh saja kalau ada dari putera puteri Islam yang secara khusus belajar syariah hingga ke level yang jauh lebih dalam lagi, lalu suatu saat merumuskan mazhab baru dalam fiqih Islami.

Namun seorang yang tingkat keilmuwannya sudah mendalam semacam Al-Imam al-Ghazali rahimahullah sekalipun tetap mengacu kepada salah satu mazhab yang ada, yaitu mazhab As-Syafi'iyah. Beliau tetap bermazhab meski sudah pandai mengistimbath hukum sendiri. Demikian juga dengan beragam ulama besar lainnya seperti Al-Mawardi, An-Nawawi, Al-'Izz bin Abdissalam dan lainnya.

Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Banyak Pilihan Pendapat, Mana Yang Paling Benar?

Thu, 26 June 2014 07:07 - | Dibaca 2.280 kali | Bidang fiqih

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ustadz, sebenarnya saya senang sekali kalau membaca tulisan dan jawaban-jawaban ustadz di rubrik ini. Logikanya jalan, bahasa mudah, dan yang paling penting adalah tidak fanatik dengan satu pendapat saja. Saya kira ini hal yang membuat banyak orang tercerahkan.

Tetapi maafkan kekkurangan saya, ustadz. Seringkali saya memang masih dibuat bingung dengan jawaban-jawaban yang terkesan mengambang. Maksudnya, kita ini tidak diberikan satu jawaban yang harus kita pegang, tetapi malah dikembalikan kepada kita untuk memilih beberapa alternatif jawaban.

38

Page 39: Makalah Kampus#2(2)

Untuk itu sebelum kami minta maaf kalau meminta beberapa petunjuk berikut :

1. Bisakah ustadz memilihkan atau memberikan satu pilihan buat kita dari sekian banyak jawaban itu? Setidaknya setelah ustadz membeberkan banyak pandangan para ulama.

2. Memang ada banyak pendapat dari kalangan ulama, tetapi bukankah kita harus ikut pendapat yang benar atau paling benar. Mohon dijelaskan masalah ini ustadz.

Sebelumnya perkenankan kami meminta maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan di hati. Terima kasih sebelumnya, Jazakallah

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Barangkali yang lebih tepat dalam menyebutkan masalah ini bukan benar atau salah. Tetapi mana pendapat yang lebih kuat (rajih) dan mana yang kurang kuat (marjuh). Rajih dan marjuh inipun sebenarnya masih relatif alias nisbi, bahkan seringkali disalah-posisikan oleh banyak orang.

Bagi mereka yang cenderung kepada pendapat tertentu, maka pendapat itulah yang lebih rajih untuknya. Sebaliknya, bagi mereka yang cenderung kepada pendapat lainnya, maka pendapat lainya itulah yang lebih rajih baginya. Jadi mana yang rajih dan mana yang marjuh sebenarnya masih relatif dan nisbi. Tergantung kita mau pakai metode yang mana.

Dan urusan mentarjih ini seringkali disikapi dengan keliru oleh banyak orang, khususnya mereka yang belum pernah belajar ilmu fiqih perbandingan (muqaran), apalagi mereka yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu fiqih. Sayangnya,  belum apa-apa sudah dicekoki paham sesat untuk membenci ulama dan manhaj-manhaj dalam ijtihad fiqih. Akhirnya memang jadi semakin parah kesesatannya.

Padahal melakukan tarjih itu bagian dari sebuah proses ijtihad. Malah dikatakan bahwa tarjih itu di atasnya ijtihad. Dan orang-orang awam seperti kita ini tentu jauh dari layak untuk melakukan ijtihad, karena nyaris tak satupun syarat mujtahid kita miliki. Kalau berijtihad saja tidak mampu, apalagi melakukan tarjih, tentu lebih tidak mampu lagi.

Sayangnya banyak orang miskin pemahaman atas ilmu fiqih, tetapi merasa dirinya pintar dan bahkan menganggap semua orang pasti bodoh. Akibatnya, logikanya sering error dan failure. Urusan istimbath hukum dipaksakan pakai sistem gugur. Khilafiyah sama sekali dianggap perbuatan nista, yang ada cuma benar dan salah.

Sebenarnya buat orang-orang awam seperti kita ini, paling tinggi yang bisa kita lakukan hanya sekedar memilih 'secara buta' dari pilihan-pilihan yang sudah ada. Kita sama sekali tidak pernah melakukan ijtihad, karena memang tidak punya potongan untuk menjadi mujtahid. Apalagi melakukan tarjih, tentu sangat jauh

39

Page 40: Makalah Kampus#2(2)

sekali.

Kalau pun ada yang mengaku-ngaku telah melakukan tarjih, sebenarnya dia cuma sedang bermimpi saja. Pada hakikatnya yang dilakukan bukan mentarjih, melainkan hanya sekedar memilih secara buta alias bertaqlid buta kepada gurunya yang juga buta. Bayangkan, orang buta menuntun orang buta sambil memaki-maki orang yang melek dan menuduh mereka yang melek itu buta.

Yang dia lakukan tidak lain sekedar memilih secara fanatik, tanpa paham bagaimana proses ijtihad yang sesungguhnya.

Ikut Hasil Ijtihad Pakar Ahlinya

Untungnya kita belajar ilmu fiqih dan mengenal siapa saja para pakar dalam urusan istimbath hukum. Tentu kita yang awam ini wajib ikut apa yang telah mereka jamin kebenarannya. Sebab yang tahu hukum itu hanya para pakar yang ahli di bidangnya. Maka kita cukup ikuti apa yang sudah mereka hasilkan. Cara ini jauh lebih mudah dan lebih save ketimbang kita sok berijtihad sendiri yang sudah pasti keliru.

Tetapi untungnya semua pilihan itu sudah melewati proses verifikasi yang termat detail, teliti dan panjang. Bahkan melewati berabad-abad masa pengujian.

Kalau hasilnya berupa dua opsi, maka dijamin keduanya dipastikan sama-sama benar 100%. Tidak ada yang salah apalagi keliru. Karena kaidah yang berlaku adalah apabila suatu pendapat telah melewati proses ijtihad yang dilakukan dengan proses yang benar dan oleh para pakar mujtahid yang ahli, maka apapun hasilnya tidak akan membawa kepada dosa dan siksa. Kalau benar akan dapat dua pahala dan kalau pun salah akan dapat pahala juga meski hanya satu saja.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA 

40