Click here to load reader
Upload
penina-tarigan
View
44
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
keamanan pangan
Citation preview
TUGAS MAKALAH
KEAMANAN PANGAN
PENGARUH PENGGUNAAN NITRIT PADA SOSIS
OLEH :
KELOMPOK 12
MUHAMMAD SABANDI (J1A 012 080)
DESAK MADE GALIH PERTIWI (J1A 013 026)
DESY WULANDARI (J1A 013 028)
NURUL FITRIANINGSIH (J1A 013 098)
PENINA (J1A 013 100)
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS MATARAM
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (tidak kurang
dari 75%) dengan tepung atau pati tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan
makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis. Bahan baku yang
digunakan untuk membuat sosis terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama
yaitu daging, es, minyak, garam dan lemak. Sedangkan bahan tambahannya yaitu bahan pengisi,
bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan (bahan
inovasi). Istilah sosis berasal dari kata dalam bahasa latin salsus, yang memiliki arti garam,
sehingga sosis dapat diartikan sebagai daging giling yang diawetkan dengan garam. Sosis
didefinisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging yang dicacah serta dibungkus dalam
casing menjadi bentuk silinder (Kramlich, 1973). Sosis merupakan salah satu jenis emulsi,
namun emulsi sosis bukanlah emulsi sesungguhnya seperti mayonnaise atau emulsi minyak
dalam air lainnya. Emulsi sosis yang secara umum dimaksud oleh industri sosis adalah campuran
daging yang digiling halus, lemak, dan bumbu-bumbu. Lemak pada sosis dibungkus oleh protein
daging lean dengan struktur serupa dengan emulsi,walaupun bukan emulsi minyak dalam air
yang sesungguhnya. Protein larut garam terutama mayonnaise diekstrak dengan garam dan
selama proses pencacahan membentuk sejenis emulsi yang membungkus partikel lemak. Nitrit
dan nitrat sebagai garam natrium atau kalium dipergunakan dalam daging cured dengan tujuan
untuk mengembangkan warna daging menjadi warna merah muda terang, mempercepat proses
curing (Soeparno, 2005). Fungsi utama nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki
warna daging. Perbaikan warna daging untuk sosis masak dianjurkan penggunaannya sebanyak
3- 50 ppm (Ockerman, 1983).
Jumlah maksimum nitrit yang bisa ditambahkan dalam curing daging adalah 62,8 g/100
Kg. Dosis nitrit yang lebih dari 15 - 20 mg/Kg berat badan akan menimbulkan kematian (Aberle
et al., 2001). Penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging
ternyata dapat menimbulkan efek yang membahayakakan kesehatan. Nitrit dapat berikatan
dengan amino dan amida yang menghasilkan turunan nitrosamin yang bersifat karsinogenik
(Husni et al., 2007). Penambahan nitrit tidak terlalu mempengaruhi karakteristik sensori, akan
tetapi nitrit mempengaruhi proses oksidatif dan pembentukan komponen volatil yang berasal dari
mikroorganisme (Marco et al., 2006). Berdasarkan ketentuan Standart Nasional Indonesia nomor
01-0222-1995 maka kadar nitrit yang dibenarkan pada produk daging olahan cornet beefadalah
50 mg/kg tunggal atau campuran dengan kalium nitrit. (SNI 01-0222-1995). Berdasarkan hal ini
maka peneliti tertarik untuk menentukan kadar natrium nitrit pada daging sosis yang beredar
dipasaran .
1.2. Permasalahan
1. Berapakah kadar nitrit yang terdapat dalam daging sosis yang di produksi oleh beberapa
perusahaan yang beredar dipasaran di kota Medan.
2. Apakah kadar nitrit yang terdapat dalam daging tersebut sesuai dengan Standart Nasional
Indonesia (SNI) No 01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan Makanan?
3. Bagaimana Penerapan HACCP dan GMP pada proses produksi sosis?
1.4. Tujuan
1. Menentukan kadar nitrit yang terdapat dalam daging sosis beberapa perusahaan yang
berada di kota Medan yang memperhatikan tangal kadaluarsanya.
2. Membandingakan kadar nitrit yang didapat dengan pembatasan Standart Nasional
Indonesia (SNI) No.01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan Makanan.
3. Mengetahui penerapan HACCP dan GMP pada proses produksi sosis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Daging Sapi
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1994). Komposisi daging terdiri dari 75% air, 19%
protein, 3,5% substansi non protein yang larut, dan 2,5% lemak (Lawrie, 2003). Daging dapat
dibagi dalam dua kelompok yaitu daging segar dan daging olahan. Daging segar ialah daging
yang belum mengalami pengolahan dan dapat dijadikan bahan baku pengolahan pangan.
Sedangkan daging olahan adalah daging yang diperoleh dari hasil pengolahan dengan metode
tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan, misalnya sosis, dendeng, daging burger dan daging
olahan dalam kaleng dan sebagainya (Desroiser, 1988). Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan
perubahan warna dan bau. Selama proses memasak, warna daging dapat mengalami perubahan
dan kurang menarik (Putra, 2008). Warna daging segar adalah warna merah terang dari
oksimioglobin, warna daging yang dimasak adalah warna coklat dari globin hemikromogen,
warna daging yang ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari nitrikoksidamioglobin dan
bila dimasak (Soeparno, 1994). Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging baik
ketika pemeliharaan ataupun ketika pengolahan. Faktor yang dapat mempengaruhi penampilan
daging selama proses sebelum pemotongan adalah perlakuan transportasi dan istirahat yang
dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada ternak yang pada akhirnya akan menentukan
kualitas daging yang dihasilkan (T. Suryati, 2006).
2.2. Sosis
Sosis (dalam bahasa Inggris sausage) berasal dari bahasa Latin salsus yang artinya asin
adalah suatu makanan yang terbuat dari daging cincang, lemak hewan dan rempah, serta bahan-
bahan lain. Sosis umumnya dibungkus dalam suatu pembungkus yang secara tradisional
menggunakan usus hewan, tapi sekarang sering kali menggunakan bahan Komponen utama sosis
terdiri dari daging, lemak, dan air. Selain itu, pada sosis juga ditambahkan bahan tambahan
seperti garam, fosfat, pengawet (biasanya nitrit/nitrat), pewarna, asam askorbat, isolat protein,
dan karbohidrat. Sosis daging sapi dapat mengandung air sampai 60% (Soeparno, 1994).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik harus mengandung
protein minimal 13%, lemak maksimal 25% dan karbohidrat maksimal 8%. sintetis, serta
diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan pengasapan (Anonim, 2010 ).
2.3. Nitrit
Natrium nitrit merupakan salah satu bahan tambahan makanan yang diizinkan oleh
pemerintah untuk menjadi bahan pengawet makanan , natrium nitrit adalah senyawa nitrogen
yang reaktif . nitrit merupakan salah satu jenis suatu bahan tambahan makanan yang banyak
digunakan sebagai pengawet . nitrit adalah suatu bahan berwarna putih sampai kekuningan yang
berbentuk bubuk atau berbentuk glanular yang tidak berbau . Nitrit mempunyai berat jenis 2,17
(25 C)g/mL dengan kelarutan didalam air sebesar 820 g/L (20C) dan bersifat alkali (pH9) dan
mempunyai titik leleh sodium nitrit 271-281 C , titik didih 320 C , suhu bakar 510 C dan
suhu penguraian > 320 C Biasanya nitrit dan nitrat banyak digunakan pada berbagai jenis
daging olahan seperti sosis dan daging lainnya . Pada sebuah penelitian pada tahun 1978
dikatakan bahwa nitrit dapat mengakibatkan kangker pada tikus percobaan karena pada kondisi
tertentu akan terjadi reaksi antara nitrit dan beberapa amin yang secara alamiah terdapat didalam
makanan sehinga membentuk senyawa nitrosiamin yang bersifat karsinogenik atau pemicu
terbentuknya sel-sel kanker yang sangat berbahaya ternyata nitrosiamin dapat menimbulkan
tumor pada jenis organ bahkan kadang kadang dapat menembus plasenta sehinga dapat pula
mengakibatkan tejadinya tumor pada janin jadi meskipun berbagai jenis bahan tambahan ini di
bolehkan untuk dikonsumsi tetap ada batasnya yang di tetepkan (Nurhati 2007 ). Nitrit juga
merupakan antioksidan yang efektif menghambat pembentukan WOF (Warmedover flayor )
yaitu berubahnya warna aroma dan rasa yang tidak menyenangkan pada produk daging yang
telah dimasak . penambahan nitrit pada konsentrasi 156 mg/kg cukup efektif menghambat
pembentukan WOF dan menurunkan angka TBA pada produk
sapi dan ayam . TBA ( Thio Barbiturat Acid) adalah senyawa yang dapat bereaksi dengan
senyawa aldehid membentuk warna merah yang bisa diukur mengunakan spektrofotometer.
Angka TBA adalah angka yang dipakai untuk menentukan adanya ketengikan dari senyawa
aldehid yang dihasilkan dari oksidasi minyak atau lemak ( Raharjo,2006).
2.3.1. Sifat-sifat nitrit sebagai bahan pengawet, antara lain :
1. Nitrit yang ditambahkan dalam bahan pangan sebelum bahan pangan tersebut dipanaskan
bisa meningkatkan daya awet 10 kali lebih lama daripada bahan pangan dipanaskan
terlebih dahulu selanjutnya ditambahkan nitrit.
2. Selama penyimpanan mengakibatkan konsentrasi nitrit semakin menurun
3. Sifat anti-botulinum nitrit tidak dipengaruhi oleh pH, kandungan garam, suhu inkubasi,
jumlah spora Clostridium botulinum.
Menurut Soeparno (1998), penggunaan nitrit sebagai pengawet mempunyai tujuan untuk:
1. Menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen
Mikroorganisme patogen paling berbahaya yang dapat mengkontaminasi daging adalah
Clostridium botulinum. Nitrit menghambat produksi toksin Clostridium botulinum dengan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan spora atau dengan cara membentuk senyawa
penghambat bila nitrit pada daging dipanaskan. Nitrit juga dapat menghambat pertumbuhan
Clostridium perferingens dan Staphylococcus aureus pada daging.
2. Membentuk cita rasa
Peranan nitrit yang berhubungan dengan cita rasa daging olahan atau awetan bersifat
sebagai antioksidan.Nitrit akan menghambat oksidasi lemak yang akan membentuk senyawa-
senyawa karbonil seperti aldehid, asam-asam dan keton yang menyebabkan rasa dan bau tengik.
3. Memberi warna merah muda yang menarik
Penambahan nitrit pada daging olahan terutama bertujuan untuk memberi warna merah
muda yang menarik. Perubahan warna secara kimia sangat kompleks. Pigmen dalam otot daging
terdiri dari protein yang disebut mioglobin. Mioglobin dengan oksigen akan membentuk
oksimioglobin yang berwarna merah terang.Warna merah terang dari oksimioglobin tidak
stabil,dan dengan oksidasi berlebihan akan berubah menjadi metmioglobin yang berwarna
coklat.Tetapi yang mengalami penambahan nitrit akan tetap berwarna merah(Winarno, 1980).
Menurut Buckle (1987), mioglobin bereaksi degan nitrogen oksidasi menghasilkan
senyawa nitroso-mioglobin, yang selanjutnya mengalami perubahan oleh panas dan garam
membentuk nitroso-myochromagen yang mempunyai warna merah muda yang relatif stabil.
Pada umumnya proses curing terjadi karena:
a. Reaksi biologis yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang mampu
mereduksi ferri menjadi ferro.
b. Terjadinya denaturasi globin oleh panas. Bila daging yang di-curing dipanaskan pada
suhu 150 F atau lebih, maka terjadi proses denaturasi.
c. Hasil akhir curing daging membentuk pigmen nitrosilmioglobin bila tidak dimasak, dan
nitrosilhemokromogen bila telah dimasak
2.3.2 Dampak Pengawet Nitrit Terhadap Kesehatan
Penggunaan nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging ternyata
menimbulkan efek yang membahayakan. Nitrit dapat berikatan dengan amino atau amida dan
membentuk turunan nitrosiamin yang bersifat toksik (Cahyadi, 2006). Pengawet nitrit dapat
mengakibatkan beberapa dampak yang tidak diinginkan seperti rasa mual, muntah-muntah, sakit
kepala dan tekanan darah menjadi rendah, lemah otot serta kadar nadi tidak menentu.Nitrit dalam
jumlah besar dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal, diare campur darah, di ikuti oleh
konvulsi, koma, dan jika tidak dapat pertolongan akan mengakibatkan kematian. Keracunan
kronis dapat mengakibatkan depresi, sakit kepala (Awang, 2003).
Menurut Wahyudi (2007), apabila nitrit dan nitrat masuk bersamaan dengan makanan,
maka banyaknya zat makanan akan menghambat absorbsi dari kedua zat ini dan baru akan
diabsorbsi di traktus digestivus bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan mikroba usus
mengubah nitrit sebagai senyawa yang lebih berbahaya. Karena itu pembentukan nitrit pada
intestinum mempunyai arti klinis yang penting terhadap keracunan. Selain itu, nitrit di dalam
perut akan berikatan dengan protein membentuk N-nitroso, komponen ini juga dapat terbentuk
bila daging yang mengandung nitrit atau nitrit dimasak dengan panas yang tinggi. Komponen ini
sendiri diketahui menjadi salah satu bahan karsinogenik seperti timbulnya kanker perut pada
manusia. Nitrit juga dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah karena efek vasodilatasinya.
Gejala klinis yang timbul dapat berupa nausea, vomitus, nyeri abdomen, nyeri kepala, pusing,
penurunan tekananan darah dan takikardi, serta sianosis dapat muncul dalam jangka waktu
beberapa menit sampai 45 menit. Pada kasus yang ringan, sianosis hanya tampak disekitar bibir
dan membran mukosa. Adanya sianosis sangat tergantung dari jumlah total hemoglobin dalam
darah, saturasi oksigen, pigmentasi kulit dan pencahayaan saat pemeriksaan. Bila mengalami
keracunan yang berat, korban dapat tidak sadar seperti stupor, koma atau kejang sebagai akibat
hipoksia berat. Prognosis sangat tergantung dari terapi yang diberikan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Rachman (2005), pengawet nitrit berbahaya karena penggunaan nitrit dapat
bereaksi dengan amin sekunder, seperti prolin atau derivat poliamin yang ada dalam bahan
makanan pada kondisi pH yang sama dengan lambung dan membentuk senyawa karsinogen
(penyebab kanker).
Menurut Silalahi dalam Darius (2007) bahwa jumlah asupan harian (ADI) oleh
FAO/WHO untuk 60 kg berat badan adalah 8 mg untuk nitrit Hasil penelitian Magee dan bernes
(1954) menunjukan bahwa nitrosodimetilamin merupakan senyawa racun bagi hati yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan hati pada beberapa presies nitrisodimetilamin juga
merupakan kasinogen kuat yang dapat menimbulkan tumor terut pada hati dan ginjal tikus
percobaan. Dari Hasil percobaan terhadap tikus ,500 ppm dari nitrosamine menyebabkan tumor
hati malignant dalam waktu 26-40 mingu .pada dosis yang lebih tinggi lagi menyebabkan tumor
kandung kemih , pada dosis 30 mg/kg berat badan akan badan mempercepat timbulnya tumor
ginjal. Tabel berikut menyajikan hubungan antara jumlah dosis dengan waktu timbulnya kanker
dari pengunaan nitrosiamin.
Tabel 1 . Dosis mnitrosiamin dan waktu timbulnya kanker
2.4. Efek Toksik Nitrit
Efek toksis nitrit adalah methaemoglobinemia, yaitu hemoglobin yang didalamnya ion
Fe2+ diubah menjadi Fe3+ dan kemampuannya mengangkut oksigen telah berkurang . darah
manusia secara normal mengandung methaemoglobin pada konsentrasi tidak melebihi 2% .
kandungan methaemoglobin menjadi 30 - 40 % dapat menyebatkan gejala klinis berkaitan
dengan kekurangan oksigen dalam darah ( hypoxia ) . Penderita menjadi pucat , kulit menjadi
biru ( cianosis ) , sesak nafas muntah dan shock. kematian dapat terjadi jika kadarnya mencapai
70 %. Penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging atau
ikan ternyata menimbulkan efek yang membahayakan . nitrit dapat berikatan dengan amino atau
amida dan membentuk turunan nitrosiamin yang bersifat toksik. nitrosiamin merupakan senyawa
yang bersifat karsinogenik . nitrosiamin dapat menimbulkan tumor pada bermacam macam
organ , termasuk hati , ginjal , kandung kemih , paru paru , lambung , saluran pernapasan ,
pankreas dan lain lain ( Mukhtadi ,2008). Senyawa nitrosiamin yang dihasilkan dari reaksi
nitrit dengan amin sekunder merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik . Amin amin
sekunder yang paling banyak ( Lawrie, 2003) Agen nitrosasi yang paling penting dalam
pembetukan nitrosiamin adalah N2O3 yang mudah terbentuk nitrit dalam suasana asam . N2O3
bereaksi dengan pasangan electron bebas yang ada pada admin sekunder membentuk nitrosiamin
. Kondisi pH yang optimum untuk nitrosasi senyawa admin sekunder bekisar Antara 2,5 dan 3,5 .
Walaupun makanan biasanya lebih tinggi dari pH 3,5 biasanya tingkat keasaman makanan cukup
untuk memicu reaksi nitrosasi dengan laju yang lebih lambat dari maksimum, keasaman
lambung mendekati pH 2,5 3,5 sehingga akan terjadi kondisi yang cukup baik untuk reaksi
nitrosasi(silalahi, 2005). Contoh senyawa nitrosiamin adalah nitrosodimetilamin,
nitrosodietilamin, nitrosopiperidin, dan nitrosopirolidin. Nirosodimetilamin dapat menimbulkan
resiko kanker yang lebih berbahaya dari pada nitrosopirolidin. Konsentrasi nitrosodimetilamin
sampai 5 ppb didalam daging dapat bersifat karsinogenik (Soeparno, 1994). Untuk mencegah
terbentuknya nitrosiamin maka dianjurkan untuk menambahkan zat yang dapat menghambat
proses tersebut misalnya asam askorbat . di amerika dianjurkan perubahan asam askorbat
sebanyak 550 mg/kg dalam daging olahan melalui reaksi sebagai berikut : Asam askorbat +
N2O3 asam dehidrosakorbat +2NO +H2O.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722 tahun 1988,penggunaan nitrit
maksimum pada daging olahan dan daging awetan yakni 125 g/ml (Badan Standarisasi
Nasional 2001). Batas penggunaan nitrit di Negara Negara barat telah diturunkan dari 150 ppm
menjadi 50 ppm saja karena telah terbukti adanya kemungkinan terbentuknya senyawa
nitrosiamin . Nitrosiamin merupakan sekelompok senyawa kimia yang bersifat karsinogen yang
dapat menimbulkan kanker (Harris, 1989).
2.5. Peranan nitrit terhadap mutu olahan daging
Nitrat dan nitrit merupakan bahan kuring yang umum digunakan di industri pengolahan
daging . Nitrit menjadi komponen pembeda antara produk olahan daging segar dengan produk
kuring. Nitrat dikonversi menjadi nitrit selama proses fermentasi atau selama proses pemasakan.
Fungsi dari garam nitrit adalah : - Untuk pembentukan warna ( konsentrasi yang dibutuhkan
sekitar 20-30 ppm). Reaksi pembentukan warna Sodium nitrit direduksi menjadi nitrit oksida
(NO). NOakan berikatan dengan mioglobin (NO mengganti OH pada struktur heme dari
mioglobin-gambar 1) membentuk nitrosomioglobin bewarna merah gelap yang tidak stabil dan
bisa teroksidasi menjadi metmioglobin. Proses pemanasan (70C) atau penurunan pH
dagingsampai dibawah 5.0 ( selama proses fermentasi ) akan mendenaturasi bagian globin dari
nitrosomioglobin membentuk nitrosohe-mokrom yang menghasilkan warna merah yang stabil.
Gambar II penggantian OH mioglobin dengan NO
Membentuk flavor khas daging curing - Mencegah pembentukan flavor tengik dengan
cara menghambat reaksi oksidasi Fe pada hemoglobin dan mengikat radikal bebas ( bersifat
antioksidan ). - Memberi efek pengawetan (efek hurdle) dengan kombinai beberapa tekni
pengawetan yang lain :
5 % NaCl plus 200 ppm NO2 memiliki efek pengawetan yang sama dengan 15 % garam .
berperan sangat penting untuk produk olahan daging kalengan, karena membantu mencegah
pertumbuhan spora bakteri C. botulinum.
100 ppm NO2 dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan C.botulinum pada produk olahan
daging yang dikemas vakum dan disimpan dingin. Dalam pengunaan nitrit, maka konsentrasi
(dosis) yang digunakan harus dikontrol secara ketat dosis penggunaan.
Dari penelitian dapat ditentukan bahwa semakin lama kadaluarsa maka kadar nitrit
semakin tinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa kadar nitrit yang didapat pada setiap sample
memiliki kadar nitrit dibawah standart baku mutu sehingga baik dikonsumsi.Hal ini didasari oleh
ketentuan baku mutu sosis yang berdasarkan Standart Nasional Indonesia (SNI) 01-0222-1995
yang menerangkan bahwa kadar nitrit yang dapat di konsumsi oleh masyarakat adalah dibawah
(125 mg/kg). Menurut Cahyadi penggunaan nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan
warna daging ternyata menimbulkan efek yang membahayakan. Nitrit dapat berikatan dengan
amino atau amida dan membentuk turunan nitrosiamin yang bersifat toksik (Cahyadi, 2006).
Menurut peraturan menteri kesehatan RI nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang bahan
tambahan makanan menyatakan bahwa kadar nitrit yang diijinkan pada produk akhir daging
olahan adalah 200 ppm ( 200 mg/kg bahan ) . sedangkan USDA ( United States Departemen Of
Agriculture ) membatasi penggunaan maksimum nitrit sebagai garam sodium atau potassium
yaitu 239,7 g/100 L larutan garam 62,8 g/100 kg daging untuk daging curing kering atau 15,7
g/100 kg daging cacahan untuk sosis. Di Amerika Serikat ,Kanada dan Negara-negara Eropa
dosis penggunaan sodium nitrit telah dikurangi sampai sekitar 40-50 ppm. Jumlah nitrit sekitar
50 ppm disertai dengan penguanaan sorbat sebagai pengawet , cukup efektif untuk mengawetkan
produk daging .Demikian pula penambahan vitamin c atau vitamin E telah banyak dilakukan
pada produk daging yang diawetkan dengan nitrit ,karena vitamin vitamin tersebut ditemukan
dapat mencegah terjadinya reaksi pembentukan nitrosiamin. Nitrit merupakan zat tambahan
pangan yang digunakan sebagai pengawet pada pengolahan daging .Nitrit sangat penting dalam
mencegah pembusukan terutama untuk keperluan penyimpanan ,transportasi dan distribusi
produk-produk daging. Sodium nitrit juga berfungsi sebagai bahan pembentukan factor-faktor
sensori yaitu warna , aroma,dan cita rasa. Oleh karena itu dalam industri makanan kaleng
pengunaan zat pengawet ini sangat penting karena dapat menyebabkan warna daging olahannya
menjadi merah atau pink dan Nampak segar sehinga produk olahan daging tersebut disukai oleh
konsumen.
Pengunaan nitrit dilakukan untuk meminilasir ketengikan yang dapat muncul pada daging
dan dapat memperpanjang masa simpan produk daging. Hal ini dikarenakan produk sosis tidak
selalu habis terjual hanya dalam waktu satu hari ,penyimpanannya pun dilakukan pada suhu beku
yaitu disimpan di freezer. Perbedaan lama penyimpanan produk sosis, khususnya penyimpanan
di distributor sosis dapat terjadi karena masing masing produsen sosis tidak mengirimkan
produk sosis dalam waktu yang bersamaan.Sebagian produsen sosis mengirimkan produk sosis
ke distributor sosis tiga hari sekali , bahkan ada yang mengirimnya dua mingu sekali tergantung
permintaan distributor. Penyimpanan produk sosis ada yang mencapai enam bulan tergantung
dari kualitas produk sosis tersebut. Semakin baik kualitas produk sosis , maka penyimpanannya
semakin lama.
2.6. Analisis Nitrit
2.6.1 . Penetapan Kadar Nitrit
Penetapan kadar nitrit dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain
spektrofotometri sinar tampak dan volumetri. Metode spektrofotometri sinar tampak digunakan
untuk pemeriksaan kuantitatif nitrit dengan pereaksi asam sulfanilat dan NED yang membentuk
warna ungu merah dan dapat diukur dengan panjang gelombang maximum 540 nm (Herlich,
1990; Vogel, 1994). Metode ini berdasarkan atas reaksi diazotasi dimana senyawa amin primer
aromatik dikopling dengan N-(1-naftil) etilen diamin dihidroklorida (NED). Dengan adanya
nitrit maka akan menghasilkan senyawa yang berwarna ungu kemerahan yang dapat diukur
secara spektrofotometri sinar tampak (Rohman, 2007).
2.6.2. Pemeriksaan Kualitatif Nitrit
Pemeriksaan kualitatif nitrit dapat diketahui dengan cara menggunakan asam sulfanilat
dan larutan NED, serbuk antipirin , dan serbuk kalium iodide. Larutan yang mengandung nitrit
bila ditambahkan beberapa tetes larutan asam sulfanilat dan larutan NED , dibiarkan selama
beberapa menit akan memberikan hasil warna ungu merah (Vogel, 1990).
2.7. Dampak Penggunaan Nitrit pada Sosis
Konsumsi nitrit yang berlebihan dapat menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik
yang bersifat langsung, yaitu keracunan, maupun yang bersifat tidak langsung, yaitu nitrit
bersifat karsinogenik. Apabila nitrit yang terkonsumsi jumlahnya banyak, maka NO yang
terbentuk juga banyak. NO yang terserap dalam darah, mengubah haemoglobin darah manusia
menjadi nitrose haemoglobin atau methaemoglobin yang tidak berdaya lagi mengangkut
berbagai organ termasuk hati, saluran pernafasan, ginjal, saluran kencing, kerongkongan, perut,
saluran bawah pencernaan dan pankreas. Ginjal merupakan alat ekskresi penting yang
mempunyai 3 fungsi, yaitu filtrasi, absorbsi dan reabsorbsi. Proses tersebut berhubungan dengan
pembentukan urin. Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus yaitu elektrolit, nonelektrolit
dan air. NO2 termasuk golongan natrium yang merupakan zat elektrolit. NO2 akan diabsorbsi
dan kemudian melewati tahapan reabsorbsi, sedikitnya dua pertiga jumlah natrium yang difiltrasi
akan direabsorbsi di dalam tubulus proksimal. Sebagian natrium ada yang keluar
bersama urin dan sebagian ada yang tertinggal. Natrium dalam hal ini NO2 yang tertinggal lama
kelamaan akan menumpuk di dalam ginjal dan dapat memperberat kerja ginjal, sehingga akan
merusak organ ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk selanjutnya NO2 akan dimetabolisme di dalam hati. Hati berfungsi untuk penetral racun,
apabila kerja organ hati terganggu atau rusak akibat semakin banyaknya racun yang tidak dapat
dimetabolisme, maka NO2 tersebut akan menumpuk dan dapat menyebabkan kanker hati. Saat
ini belum ditemukan bahan kimia lain yang dapat menggantikan fungsi nitrit pada proses curing
daging olahan. Oleh sebab itu, jalan yang dapat ditempuh untuk mencegah terbentuknya senyawa
nitrosamin adalah dengan mengurangi kadar nitrit dalam produk daging olahan tetapi tetap
menjaga agar bakteri Clostridium botulinum tidak tumbuh. Caranya antara lain dengan
mengurangi jumlah nitrit yang digunakan sebagai bahan pengawet disertai dengan penambahan
bahan anti-mikroba seperti sorbat atau menambahkan vitamin C atau vitamin E ke dalam daging
olahan yang merupakan penghambat reaksi nitrosasi.
2.8. Karakteristik umum Clostridium botulinum Clostridium botulinum merupakan bakteri berbentuk batang, anaerobik (tidak dapat
tumbuh di lingkungan yang mengandung oksigen bebas), Gram-positif, dapat membentuk spora,
dan dapat memproduksi racun syaraf yang kuat. Sporanya tahan panas dan dapat bertahan hidup
dalam makanan dengan pemrosesan yang kurang sesuai atau tidak benar. Ada tujuh tipe
botulisme (A, B, C, D, E, F dan G) yang dikenal, berdasarkan ciri khas antigen dari racun yang
diproduksi oleh setiap strain. Tipe A, B, E, dan F dapat menyebabkan botulisme pada manusia.
Tipe C dan D menyebabkan sebagian besar botulisme pada hewan. Hewan yang paling sering
terinfeksi adalah unggas liar dan unggas ternak, sapi, kuda, dan beberapa jenis ikan. Walaupun
tipe G telah diisolasi dari tanah di Argentina, belum ada kasus yang diketahui disebabkan oleh
strain ini.
Botulisme karena makanan (untuk membedakan dari botulisme pada luka dan botulisme
pada bayi) merupakan jenis keracunan makanan yang parah. Penyakit ini disebabkan oleh
konsumsi makanan yang mengandung racun syaraf yang kuat, yang dibentuk selama
pertumbuhan organisme. Racun ini tidak tahan panas dan dapat dihancurkan dengan pemanasan
pada temperatur 80C selama10 menit atau lebih. Penyakit ini jarang terjadi, tetapi sangat
diperhatikan karena apabila tidak segera dirawat dengan benar, tingkat kematiannya tinggi.
Kebanyakan kasus yang dilaporkan setiap tahunnya berkaitan dengan makanan yang kurang
diproses, dikalengkan di rumah tangga, tetapi kadang-kadang makanan yang diproduksi secara
komersial juga terlibat dalam kasus tersebut. Sosis, produk daging, sayuran kaleng, dan produk
makanan laut, paling sering menjadi perantara dalam kasus botulisme pada manusia. Organisme
ini dan sporanya tersebar luas di alam. Bekteri ini ada di tanah, baik di tanah olahan, tanah hutan,
endapan di dasar sungai, danau, dan perairan pantai, dan di dalam usus ikan dan mamalia, dan di
dalam insang dan organ dalam kepiting dan jenis-jenis kerang lainnya.
2.9. Penerapan HACCP dan GMP
Jaminan mutu bukan hanya menyangkut masalah metode tetapi juga merupakan sikap
tindakan pencegahan terjadinya kesalahan dengan cara bertindak tepat sedini mungkin oleh
setiap orang baik yang berada di dalam maupun di luar bidang produksi. Penerapan jaminan
mutu pangan harus di dukung oleh penerapan GMP dan HACCP sebagai sistem pengganti
prosedur inspeksi tradisional yang mendeteksi adanya cacat dan bahaya dalam suatu produk
pangan setelah produk selesai diproses. GMP menetapkan KRITERIA (istilah umum,
persyaratan bangunan dan fasilitas lain, peralatan serta control terhadap proses produksi dan
proses pengolahan), STNDAR (Spesifikasi bahan baku dan produk, komposisi produk) dan
KONDISI (parameter proses pengolahan) untuk menghasilkan produk mutu yang baik.
Sedangkan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) memfokuskan perhatian terhadap
masalah pengawasan dan pengendalian keamanan pangan melalui identifikasi, analisis dan
pemantauan terhadap titik-titikkritis pada keseluruhan bahan yang digunakan dan tahapan proses
pengolahan yang dicurigai akan dapat menimbulkan bahaya bagi konsumen.
Apapun skala produksi, mesin dan gaya manajemen yang dijalankan sangat penting, saat
ini pelaksanaan standar produksi berupa Good Manufacturing Practices (GMP) dan Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan sebuah kebutuhan mutlak yang tidak dapat
ditunda lagi untuk diimplementasikan, agar tuntutan konsumen akan produk yang bermutu dan
aman dapat terpenuhi. Dan tentu saja ini menjadi salah satu tantangan bagi sebagian besar
industri pangan sosis yang ada saat ini, di samping tantangan lain untuk terus meningkatkan
produktifitas dan mengelola margin di tengah-tengah situasi harga bahan baku dan kemasan yang
terus membumbung tinggi dan daya beli masyarakat yang makin menurun.
Implementasi GMP dapat dilakukan sejak awal proses perekrutan pekerja, dengan
mewajibkan calon pekerja menjalani pemeriksaan medis untuk memastikan calon pekerja bukan
menjadi sumber kontaminasi bagi produk. Pemeriksaan medis ini selanjutnya perlu dilakukan
secara rutin setiap periode waktu tertentu. Selain itu, diperlukan pula pelatihan-pelatihan yang
berkesinambungan terhadap para pekerja untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran akan
pentingnya melaksanakan GMP. Mulai dari menjaga kebersihan diri, penggunaan seragam kerja
yang bersih, penutup kepala, masker, sepatu kerja, hingga kebiasaan mencuci tangan,
menggunakan masker dan sarung tangan bersih saat menangani produk untuk mencegah
kontaminasi terhadap produk.
Penyediaan infrastruktur yang mendukung juga sangat besar peranannya dalam
mewujudkan GMP yang terimplementasi dengan baik. Ini dimulai dari pemilihan lokasi pabrik,
desain pabrik, mesin, peralatan berikut tata letaknya. Konstruksi atap, langit-langit, dinding,
pintu, jendela dan lantai didesain agar mudah dibersihkan, tidak mengakibatkan kontaminasi
terhadap produk dan mampu mencegah masuknya serangga dan hewan pengerat. Disediakan
pula fasilitas sanitasi yang memadai berupa penyediaan air bersih, sarana pencucian,
pembuangan limbah padat maupun cair, dan juga toilet.
Penyeleksian bahan baku, bahan tambahan pangan dan kemasan sejak awal perlu
dilakukan untuk menjamin kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan. Setiap bahan perlu
ditetapkan spesifikasinya dan diperiksa apakah telah memenuhi persyaratan mutu. Untuk itu,
pengetahuan mengenai standar dan regulasi-regulasi yang berkaitan dengan pangan mutlak
diperlukan, bahkan sejak awal perancangan suatu produk, seperti UU No 7 /1996 tentang
Pangan, PP no 28 / 2004 tentang Keamanan, Mutu & Gizi Pangan, PP No 69 / 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan, Permenkes No. 722/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, dan lain-
lain. Hal ini untuk mencegah digunakannya bahan-bahan berbahaya yang dilarang ataupun
digunakannya bahan tambahan pangan yang melebihi jumlah maksimum yang diijinkan, ataupun
informasi yang menyesatkan pada label hanya akibat dari ketidaktahuan pelaku industri sosis.
Bahan baku perlu disimpan secara terpisah dari bahan kemasan,dan disimpan pada suhu
penyimpanan yang sesuai. Selain itu harus digunakan mengikuti sistem FIFO (First In First
Out).
HACCP merupakan suatu sistem preventif bagi keamanan pangan, di mana industri
pangan dituntut untuk dapat menganalisa semua potensi bahaya yang ada pada setiap tahapan
proses, termasuk semua bagian yang terikut di dalamnya. Analisa mengenai potensi bahaya, baik
berupa bahaya fisik, bahaya kimia maupun bahaya biologi perlu dilakukan untuk setiap bahan
yang akan digunakan, untuk menetapkan prosedur pemeriksaan dan upaya pencegahan yang
dapat dilakukan. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan mengenai karakteristik dari setiap
bahan berikut proses yang menyertainya. Analisa mengenai potensi bahaya juga harus dilakukan
pada setiap tahapan proses produksi, untuk menentukan tahapan-tahapan proses mana yang
merupakan Critical Control Point (CCP), sekaligus menentukan standar / batasan-batasannya.
Untuk setiap CCP tersebut, perlu ditetapkan pula sistem pengawasannya dan tindakan koreksi
yang harus dilakukan bilamana terjadi penyimpangan, sehingga keamanan produk yang
dihasilkan tetap terjamin.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang memakannya.
2. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik harus mengandung
protein minimal 13%, lemak maksimal 25% dan karbohidrat maksimal 8%. sintetis, serta
diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan pengasapan.
3. Penggunaan nitrit sebagai pengawet mempunyai tujuan untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen, membentuk cita rasa dan memberi warna merah muda yang
menarik pada daging.
4. Efek toksis nitrit adalah methaemoglobinemia, yaitu hemoglobin yang didalamnya ion Fe2+
diubah menjadi Fe3+ dan kemampuannya mengangkut oksigen telah berkurang . darah
manusia secara normal mengandung methaemoglobin pada konsentrasi tidak melebihi 2% .
5. Semakin lama kadaluarsa bahan pangan tersebut maka kadar nitrit semakin tinggi. Hal
tersebut menunjukan bahwa kadar nitrit yang didapat pada setiap sample memiliki kadar nitrit
dibawah standart baku mutu sehingga baik dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E. D., Forrest J. C, Gerrard D. E. & E. W. Mills. 2001. Principle of Meat Science. 4th
Ed. Kendall/Hunt Pub. Company, Colorado. Anonim. Sosis. Tanggal akses 19 Januari
2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Sosis
Awang, Rahmat, 2003. Kesan Pengawet dalam Makanan. http://www.prn.usm.my Diakses : 6
Agustus 2010. Buckle, KA, 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono.
UI Press, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. (2001). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
722/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan.
Cahyadi, Wisnu, 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT Bumi
Aksara, Jakarta. Desroisier, W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta.
Darius, Jamari, 2007. Analisis Kandungan Nitrit dan Pewarna Pada Sosis Daging Sapi yang
Beredar di Kota Medan. Skripsi FKM USU Medan.
Harris, R dan Endel K. (1989). Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung : ITB
Press. Hal 392.
Husni, E., A. Samah & R. Ariati. 2007. Analisa zat pengawet dan protein dalam makanan siap
saji sosis. J. Sains dan Tek. Far. 12(2): 108-111
Kramlich, W. E. 1973. Sausage Products. Di dalam Price and B. S. Sceiveger (ed).The Science
and Meat Product. W.H. Freeman and Co., Westport,Connecticut. Lawrie, R. A. (2003).
Ilmu Daging. Edisi V. Penerjemah : Aminuddin Paraksasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Hal. 220-222.
Muchtadi, D.(2008) Keamanan Pangan,Sulfit Dipermasalahkan da Nitrit Dikurangi?. Tanggal
akses 6 juni 2015. http://www.web.ipb.ac.id Marco, A., J. L. Navarro & M. Flores. 2006.
The influences of nitrite and nitrate on microbial, chemical and sensory parameters of
slow dry fermented sausage. Meat Sci. 73.
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Ed. Department of Animal Science The
Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center,
Ohio.
Rohman, A. (2007). Kimia Farnasi Analisis. Cetakan I. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Hal. 252,255.
Rachman, Nurhidayatur, 2005. Uji Kadar Nitrat-Nitrit pada Chicken Nugget yang Dijual di
Daerah Malang. http://student-research.umm.ac.id.diakses pada tanggal 6 juni 2015.
Raharjo, S. (2006). Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press. Hal. 109-110.
Silalahi, J. (2005). Masalah Nitrit dan nitrat dalam Makanan. Medika No. 07 Tahun ke XXXI.
Hal. 460-461.
Soeparno. (1994). Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.
233-235.
Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging . Cetakan keempat. Jogjakart Universitas Gajah
Mada Press.
SNI. 1995. Tentang Bahan Tambahan Makanan. 01- 0222- 1995. Badan StandartNasional
Indonesia. Wahyudi, Harry, 2007. Keracunan Nitrat-Nitrit. http://red-msg.blogspot.com.
Winarno, FG, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.