31
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini. 1.2 TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah : 1. Tujuan Umum: a) Untuk memenuhi tugas Mata Ajar Keperawatan Anak dengan Difteri 1

Makalah Kep Anak

  • Upload
    diana

  • View
    36

  • Download
    6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anak d

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

1.2 TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :

1. Tujuan Umum:

a) Untuk memenuhi tugas Mata Ajar Keperawatan Anak dengan Difterib) Diperoleh pengalaman dalam membuat Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri

2. Tujuan Khusus:

a) Mampu melakukan pengkajian pada anak dengan Difterib) Mampu menentukan masalah keperawatan pada klien anak dengan Difteric) Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada anak dengan Difterid) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien anak dengan Difterie) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada anak dengan Difteri

BAB IITINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI

Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kumanCorynebacterium diphteriae.Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari (FKUI: 2007).

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positifCorynebacterium diphteriaedanCorynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini (Acang: 2008).

Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008).

Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan local (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).

2.2 JENIS-JENIS DIFTERI

1. Anterior nasal difteri

Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.

2. Pharyngeal dan difteri tonsillar

Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.

3. Difteri laring

Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.

4. Difteri kulit

Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.

Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir. (Iskandar,Nurbaiti,dkk:2000)

2.3 FAKTOR RESIKO DIFTERI

Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan

kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :

1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.

2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.

3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.

4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.

Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu. (Hastomo:2008)

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. (Hastomo:2008)

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. (Hastomo:2008)

Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis. (Ditjen P2PL Depkes,2003)

2.5 PATOFISIOLOGI

Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,2003).

2.6 ETIOLOGI

Penyebab penyakit difteri adalahCorynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dariCorynebacterium diphtheriaeini yaitu : type mitis, type intermedius dan type gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Widoyono, 2005).

Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastic (Hastomo, 2008).

2.7 PATOGENESIS

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan(psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).

2.8 PATHWAY

2.8 DIAGNOSIS

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. karena preparat smear kurang dapat di percaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari.

Adanya membran di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain,warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat terjadi pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.

I.Diagnosis Banding

Pada difteri nasal perdarahan yang timbul Harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka dalam hidung,korpus alienium atau sifilis kongenital.

Tonsilitis folikularis atau lakunaris

Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih.anak harus dianggap sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan,rapuh dan lembek,tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.

Angina plaut vincent

Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh,tebal,berbau dan tidak mudah berdarah.sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif).

Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa

Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum.khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.

Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia)

Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil.difteri laring harus dibedakan dengan laringitis akuta, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang semuanyaakan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak. (Hastomo:2008)

2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :

1. Miokarditis

Biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit Pemerikasaan Fisik :Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.Gambaran EKG :

Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT

Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)

Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung

2. Obstruksi jalan nafasdengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelectasis

3. Urogenital: dapat terjadi nefritis

Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik (terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit dan tanda-tanda renjatan : TD menurun (systol 80 mmHg), Tekanan nadi menurun, Kulit keabu-abuan dingin dan basah, serta anak gelisah). (IKA FKUI :2007)

2.10 PENATALAKSANAAN DIFTERI

1.Tindakan Umum Tujuan :

a.Mencegah terjadinya komplikasi

b.Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum

c.Mengatasi gejala /akibat yang timbul

Jenis Tindakan :

a. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi

b. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).

c. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.

d. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal

e. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)

f. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.

g. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas : Berikan Oksige, Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson:

1) Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal

2) Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah

3) Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah

4) Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.

Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.

2. Tindakan Spesifik Tujuan :a. Menetralisir Toksinb. Eradikasi Kumanc. Menanggulangi infeksi sekunderJenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :

1. Serum Anti Difteri (SAD)

Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.

1. 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.

2. 80.000 IU untuk difteri berat,yakni luas membran menutupi hingga melewati toksil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.

3. 120.000 UI untuk difteri sangat berat,yakni ada bull neck,kombinasi difteri laring dan faring,komplikasi berupa miokarditis,kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe difteri

Dosis DS (KI)

Cara Pemberian

Difteri hidung

20.000

IM

Difteri tonsil

40.000

IM atau IV

Difteri faring

40.000

IM atau IV

Difteri laring

40.000

IM atau IV

Kombinasi lokasi di atas

80.000

IV

Difteri + penyulit, bullneck

80.000-120.000

IV

Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja

80.000-120.000

IV

SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiann.ya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukanUji Kepekaan

Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan (dosisnya 0,01 cc/kg BB im, maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).

Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.

Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :

1. Tes kulit

SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15- 20 menit. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm. Tes Mata.1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 20 menit kemudian, Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ), Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000. Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut: 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan

0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan

0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan

1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan adrenalin 1:1000.

2.Antibiotik

Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.

Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

3.Kortikosteroid

Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.

Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia). (IKA FKUI :2007)

2.11 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)

2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin

3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen

4. Enzim CPK, segera saat masuk RS

5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)

6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.

7. Tes schick:

Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)

Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.

Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. ( Kadun I Nyoman: 2006)

2.12 PENGOBATAN

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

1.PengobatanUmum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.

2.PengobatanKhusus

-Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.

-AntibiotikAntibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin,Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.

-KortikosteroidDianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.

3.Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

4.Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

5.Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai ujiSchick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi. (Widoyono:2005)

Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri

Biakan

Uji Shick

Tindakan

(-)

(-)

Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria

(+)

(-)

Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

(+)

(+)

Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-)

(+)

Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas

2.13 PENCEGAHAN

1.Isolasi

Penderita penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut.

2.Imunisasi

Imunisasi dasar di mulai pada umur 3 bulan di lakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan.biasanya di berikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang telah di matikan sehingga di sebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subcutan atau intramuskular .vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira umur 1 -2 tahun dan pada umur 5 tahun.selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya di berikan vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau apabila ada kontak dengan penderita difteri.

3.Pencarian dan kemudian mengobati karier difteri

Dilkukan dengan uji schick,yaitu bila hasil negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi)mka harus dilakukan hapusan tenggorok.jika ternyata ditemukan corynebacterium diphtheria,penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi. (Widoyono:2005)

BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

a).IDENTITAS

b).RIWAYAT KESEHATAN

Riwayat Kesehatan Sekarang

Perhatikan tanda-tanda atau gejalaklinis dari difteri

Riwayat Kesehatan Dahulu

Bersangkutandari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala difteri yang masih akut

Riwayat Kesehatan Keluarga

Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit difteri

c).PEMERIKSAAN FISIK

Memeriksa TTV pada anak dan bmelakukan observasi secara IPPA dari kepala samapai kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah .Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiolog

Pemeriksaan fisik ROS

B1: Breathing (Respiratory System)

RR tak efektif (Sesak nafas), edema laring, obstruksi laring, penumpukan sekret dihidung,

B2: Blood (Cardiovascular system)

Tachicardi, kelemahan otot jantung, sianosis.

B3: Brain (Nervous system)

Normal

B4: Bladder (Genitourinary system)

Normal

B5: Bowel (Gastrointestinal System)

Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi

B6: Bone (Bone-Muscle-Integument)

Lemah pada lengan, turgor kulit

d).PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam kulit.Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di dalam tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin alamiah naka akan terjadi reaksi peradangan setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4 7 hari.Jika uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasi secara aktif.

e).POLA AKTIVITAS

1. Pola nutrisidan metabolik: disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakahnafsu amakan berkuarang (anoreksia) muntah dsb

2.Pola eliminasi : Bandingkansesudah atau sebelum penyakit difteri dengan mencatat frekuensi sehari

3.Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan malas, lemah dan lesu

4.Polatidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atautidak mau tidur

5. Kognitif & perseptual : anak akan susah berkonsentrasi

6.Persepsi diri : Karena klien masih kategori anak maka konsep dirinya akan masih dalam tahap perkembangan dan anak akan tampak cemas karena penyakit yang diderita atau kerna perspisahan

7. Hubungan peran : Anak banyak tampak diam karena efek hospitalisasi

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.

2. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).

4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

3.3 RENCANA KEPERAWATAN

DIAGNOSA KEPERAWATAN

NOC

NIC

Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.

Tujuan dan kriteria: Anak akan menunjukan tanda jalan nafas efektif

Intervensi:

Mengkaji status pernafasan dengan menobservasi irama dan bunnyi pernafasan

Mengatur posisi kepala dengan posisi ekstensi

Melakukan suction jalan nafas jika terdapat sumbatan

Melakukan fisioterapi dada

Mempersiapkan anak untuk dilakukan trakeostomi

Melakukan pemeriksaan analisa gas darah

Melakukan intubasi jika ada indikasi

Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen.

Penyebar luasan infeksi tidak terjadi

Menempatkan anak pada daerah khusus

Mempertahankan isolasi yang ketat di rumahg sakit

Menggunakan prosedur perlindungan infeksi jika melakukan kontak dengan anak

Memberikan antibiotik sesuai dengan order

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).

anak menunjukan tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi

Mengkaji ketidak mampuan anak untuk makan

Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak

Melakukan kolaborasi dalam pemberian nutrisi parenteral

Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan, membran mukosa) yang adekuat

Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

volume cairan adekuat

Memonitor intake output secara tepat, pertahankan intake cairan dan elektrolit yang tepat

Mengakji adanya tanda-tanda dehidrasi (membran mukosa kerin, turgor, kulit kurang, produksi urin menurun, frekuensi denyut nadi dan pernafasan, meningkat tekannan darah, fontanel cekung

Berkolaborasi untuk pemberian cairan parenteral jika pemberian cairan melalui oral tidak memungkinkan

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kumanCorynebacterium diphtheria,oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.

Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi3 yaitu, difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan difteri kutaneus.

Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularancarier bisa sampai 6 bulan.

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :Panas lebih dari 38 C,Adapsedomembrane bisa dipharynx,larynx atau tonsil. Sakit waktu menelan.Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),disebabkan karena pembengkakakn kelenjar leher

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat

Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu : Isolasi penderita, Imunisasi, dengan memberikan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar

Pencegahan dan kemudian mengobati karier difteria

4.2 SARAN

Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.

Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.

Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.

Hastomo.2008.Makalah Tentang Penyakit Menular Difteri.Politeknik Kesehatan Yogyakarta, diakses darihttp://www.scribd.com/doc/22270094/difteri

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta

Kadun I Nyoman. 2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV Infomedika: Jakarta

Nursalam, dkk. 2005.Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta

Sumarmo, dkk. 2008.Infeksi dan Pediatri Tropis.Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta

Sudoyo, Aru W. 2006.Ilmu Penyakit Dalam.Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta

Staf Pengajar IKA FKUI. 2007.Ilmu Kesehatan Anak.Vol.2. Infomedika: Jakarta

Nasal

RR tidak efektif

Pemenuhan nutrisi berkurang, sehingga berat badan menurun

Bersihan jalan nafas tidak efektif dan ansietas terhadap adanya sekret

Demam, suara serak, batuk, obstruksi saluran nafas, sesak nafas, sianosis

Tenggorokan sakit, demam, anoreksia, lemah membran berwarna putih atau abu-abu, linfadenitis (bulls neck), toxemia, syok septik

Peradangan mukosa hidung (flu, sekret hidung serosa)

Mengeluarkan toksin (eksotoksin)

Masa inkubasi 2-5 hari

Aliran sistemik

Masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernafasan

Corynebacterium diphteriae Kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi

Tonsil/faringeal

Laring

Pelebaran pembuluh darah dan mengeluarakan sel darah putih

Se-sel epitedi sekitar rusak dan terbentuk membran putih

8