41
MAKALAH BELANJA DERAH (Studi Kasus Belanja Daerah : Belanja Pegawai Ngawi) Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Keuangan Daerah yang dibina Dr. Moh. Khusaini., SE., Msi., MA Oleh 1. Anik Fatul Rofiah (135020101111051) 2. Nur Azizah (135020101111054) 3. Dian Dewi Megadini (135020107111004) 4. Mery Maulydia Agustin (135020107111007) Program Studi Ekonomi Pembangunan Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya 2015

MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

MAKALAH

BELANJA DERAH

(Studi Kasus Belanja Daerah : Belanja Pegawai Ngawi)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Keuangan Daerah yang dibina Dr. Moh.

Khusaini., SE., Msi., MA

Oleh

1. Anik Fatul Rofiah (135020101111051)

2. Nur Azizah (135020101111054)

3. Dian Dewi Megadini (135020107111004)

4. Mery Maulydia Agustin (135020107111007)

Program Studi Ekonomi Pembangunan

Jurusan Ilmu Ekonomi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Brawijaya

2015

Page 2: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat

menyelesaikan makalah mengenai “BELANJA DAERAH (Studi Kasus Belanja Daerah :

Belanja Pegawai Kabupaten Ngawi)” dengan baik. Tidak lupa kami mengucapakan terima

kasih kepada Dosen Keuangan Daerah oleh Dr. Moh. Khusaini., SE., Msi., MA dan Asisten

Dosen Kakak Tiara yang telah membimbing proses pembuatan makalah ini sehingga dapat

terselesaikan. Makalah ini menjelaskan mengenai “KEUANGAN DAERAH (Studi Kasus

Belanja Daerah : Belanja Pegawai Kabupaten Ngawi)”.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan

serta pengetahuan kita mengenai konsep belanja daerah, struktur belanja daerah dan fungsi

belanja daerah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat

kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran

dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,

mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang

yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang

kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di

masa depan.

Wassalammualaikum Wr. Wb

Malang, 10 April 2015

Penyusun

Page 3: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolahan keuangan daerah merupakan faktor yang penting untuk melihat

kemandirian suatu daerah. Dilihat dari tingkat kemandirian daerah di bidang keuangan

belum memperlihatkan kemajuan yang berarti bahkan cenderung menurun selama satu

dasawarsa terakhir. Pemerintah daerah masih sangat tergantung kepada pusat dan belum

memiliki sumber pendapatan asli daerah yang kuat untuk menopang kegiatan

pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di tingkat lokal.

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

telah menunjukkan secara tegas kesepakatan politis yang menetapkan bahwa

desentralisasi fiskal di Indonesia lebih menitikberatkan desentralisasi pada sisi

belanja. Kewenangan yang didelegasikan kepada daerah untuk mendapatkan

penerimaan masih relatif terbatas. Sementara di sisi lain, daerah diberikan

kewenangan yang cukup besar untuk membelanjakan dana yang dikelolanya.

Dengan diskresi belanja daerah yang luas tersebut, maka kualitas belanja

daerah akan sangat ditentukan oleh pilihan-pilihan yang diambil oleh daerah itu

sendiri. Dengan input dana publik yang selalu bersifat terbatas, maka daerah dituntut

untuk mempunyai strategi yang jitu dalam mengelola dan mengalokasikannya secara

efisien, sehingga mampu memberikan output layanan publik yang optimal.

Selanjutnya diharapkan pilihan atas prioritas output tersebut akan menghasilkan

outcome yang signifikan, yang berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Belanja pemerintah daerah secara langsung maupun tidak langsung berdampak

pada kualitas pelayanan publik dan mendorong aktivitas sektor swasta di daerah yang

bersangkutan. Belanja yang tidak optimal dapat mengakibatkan rendahnya kualitas

pelayanan publik dan menurunnya aktivitas sektor swasta. Otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penyediaan barang

publik dan regulasi lokal, sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik dan

produktivitas ekonomi di daerah semakin meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut

Page 4: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

maka peran optimalisasi belanja daerah akan mempengaruhi pembangunan ekonomi

di daerah.

Oleh karena itu, belanja pemerintah daerah yang efisien merupakan isu

penting dalam kebijakan sektor publik, belanja yang efisien diyakini dapat mendorong

peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Isu efisiensi belanja

pemerintah ini menjadi sangat penting, khususnya dalam konteks pertumbuhan

ekonomi dan stabilisasi makroekonomi. Belanja pemerintah yang efisien sangat erat

kaitannya dengan proses penganggaran baik proses penyusunan anggaran pemerintah

pusat maupun penyusunan anggaran pemerintah daerah.

Page 5: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Belanja Daerah

Beberapa pendapat mengenai belanja daerah, antar lain :

Menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara / Daerah

yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang

bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh

pemerintah.

Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan

pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan

Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q)

menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah

dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja

daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai

kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

Menurut Halim (2001), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan

oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.

Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua

pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi

beban daerah.

Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran

daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran

bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah.

Menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri

No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu kewajiban pemerintah daerah

yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.

Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah adalah

semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaann bersih

dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan struktur

Page 6: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

anggarann daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri

dari belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan

bantuan keuangan, belanja tidak tersangka.

Jadi dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah

semua pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah dalam periode anggaran tertentu

digunakan untuk melaksanakan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah

daerah kepada masyarakat dan pemeritah daerah. Dalam Permendagri No.59 Tahun 2007,

belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan

pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat

dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah

yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan.

Tujuan Belanja Daerah

1. Merupakan rasionalisasi atau gambaran kemampuan dan penggunaan sumber-

sumber finansial dan material yang tersedia pada suatu negara/daerah.

2. Sebagai upaya untuk penyempurnaan berbagai rencana kegiatan yang telah

dilaksanakan sebelumnya sehingga hasilnya akan lebih baik.

3. Sebagai alat untuk memperinci penggunaan sumber-sumber yang tersedia menurut

objek pembelanjaannya sehingga memudahkan pengawasan atas pengeluarannya.

4. Sebagai landasan yuridis formal dari penggunaan sumber penerimaan yang dapat

dilakukan pemerintah serta sebagai alat untuk pembatasan pengeluaran.

5. Sebagai alat untuk menampung, menganalisis, serta mempertimbangkan dalam

membuat keputusan seberapa besar alokasi pembayaran program dan proyek yang

diusulkan.

6. Sebagai pedoman atau tolak ukur serta alat pengawasan atas pelaksanaan

kegiatan, program dan proyek yang dilakukan pemerintah.

B. Klasifikasi Belanja Daerah

Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa rencana kerja dan

anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat pemerintah pusat) dan rencana kerja

dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja

yang akan dicapai. Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian

Page 7: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

negara/lembaga dan SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang

telah direncanakan.

Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa

di dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu diuraikan sasaran yang hendak dicapai,

fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran

tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang

diperkirakan.

Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan

Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan

menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut

merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan oleh entitas pelaporan.

Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut ekonomi

(jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan

Belanja Lain-lain/Tak Terduga.

Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah

dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan Belanja Modal

adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang

modal. Belanja Operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi Belanja Pegawai,

Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja Lain-lain/Tak

Terduga.

Pengklasifikasian menurut pola Government Financial Statistics (GFS) yang

diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF) dibedakan berdasarkan fungsi dibagi

menjadi :

Pelayanan Umum

Pertahanan

Agama

Ekonomi

Kesehatan

Perlindungan

Lingkungan Hidup

Pariwisata dan Budaya

Perumahan dan Pemukiman

Ketertiban dan Ketentraman

Pendidikan dan Perlindungan Sosial

Page 8: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan klasifikasi

belanja sebagai berikut:

1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan

serta jenis belanja;

2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi

pemerintahan daerah

3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :

a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial

pemerintahan daerah;

b. Klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan

keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara.

Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58

Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :

a. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja urusan

wajib dan belanja urusan pilihan.

b. Klasifikasi belanja menurut fungsi bertujuan untuk keselarasan dan keterpaduan

pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini,

belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi,

lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan, pariwisata dan

budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tidak

memasukkan fungsi “pertahanan” dan “agama” karena kedua fungsi tersebut

adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah

pusat dan tidak didesentralisasikan.

c. Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja

tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu

belanja mempunyai kaitan langsung dengan program/kegiatan atau tidak. Belanja

Page 9: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium,

belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis

Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja

yang tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan

tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan,

belanja hibah, dan sebagainya) diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung.

Belanja Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun

2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun 2006, belanja

diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja yaitu Belanja tidak langsung dan Belanja

langsung. Kelompok Belanja Tidak Langsung merupakan belanja yang dianggarkan

tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok

Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan

pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya, kelompok Belanja Tidak Langsung

dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :

1. Belanja Pegawai

Penganggaran belanja penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, gaji

pokok dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta gaji

pokok dan tunjangan pegawai negeri sipil, tambahan penghasilan, serta

honor atas pelaksanaan kegiatan.

2. Belanja Bunga

Penganggaran pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban

pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman

jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

3. Belanja Subsidi

Penganggaran subsidi kepada masyarakat melalui lembaga tertentu yang

telah diaudit, dalam rangka mendukung kemampuan daya beli masyarakat

untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

Lembaga penerima belanja subsidi wajib menyampaikan laporan

pertanggungjawaban penggunaan dana subsidi kepada kepala daerah.

4. Belanja Hibah

penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang, barang dan/atau

jasa kepada pihak-pihak tertentu yang tidak mengikat/tidak secara terus

menerus yang terlebih dahulu dituangkan dalam suatu naskah perjanjian

Page 10: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

antara pemerintah daerah dengan penerima hibah, dalam rangka

peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah, peningkatan

pelayanan kepada masyarakat, peningkatan layanan dasar umum,

peningkatan partisipasi dalam rangka penyelenggaraan pembangunan

daerah.

5. Belanja Bantuan Sosial

Penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang

kepada masyarakat yang tidak secara terus menerus/berulang dan selektif

untuk memenuhi instrumen keadilan dan pemerataan yang bertujuan

untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk bantuan untuk

PARPOL.

6. Belanja Bagi Hasil

Penganggaran dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi

yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota atau pendapatan

kabupaten/kota yang dibagihasilkan kepada pemerintahan desa sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan.

7. Bantuan Keuangan

penganggaran bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari

provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah

daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah

desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau

peningkatan kemampuan keuangan.

8. Belanja Tidak Terduga

Menurut Paragraf 35 PSAP Nomor 02, istilah “Belanja Lain-lain

digunakan oleh pemerintah pusat, sedangkan istilah “Belanja Tak

Terduga” digunakan oleh pemerintahan daerah. Penganggaran belanja

atas kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang

seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak

diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan

penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.

Kelompok Belanja Langsung terdiri atas :

Page 11: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

1. Belanja Pegawai

Belanja pegawai dalam kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan

untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan

kegiatan pemerintahan daerah. Belanja Pegawai : Honor :  merupaka

sesuatu yang harus dibayarkan oleh pemerintah  kepada pegawai , tetapi

apabila pegawai  tidak melakukan pekerjaan maka upah tidak akan

dibayarkan (dia bekerja / produktivitas dan berkaitan dengan tujuan

oraganisasi).

2. Belanja Barang dan Jasa

Belanja barang dan jasa ini mencakup belanja barang pakai habis,

bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan

bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa

sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor,

makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja,

pakaian khusus dan hari- hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas

pindah tugas, dan pemulangan pegawai

3. Belanja Modal

Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka

pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang

mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan

dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan

mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan dan aset tetap

lainnya.

C. Arahan Pengelolahan Belanja Daerah

Belanja daerah diarahkan pada peningkatan proporsi belanja untuk memihak

kepentingan publik, disamping tetap menjaga eksistensi penyelenggaraan

Pemerintahan. Dalam penggunaannya, belanja daerah harus tetap mengedepankan

efisiensi, efektivitas dan penghematan sesuai dengan prioritas, yang diharapkan dapat

memberikan dukungan programprogram strategis daerah. Semakin besar belanja

daerah diharapkan akan makin meningkatkan kegiatan perekonomian daerah (terjadi

ekspansi perekonomian). Di sisi lain, semakin besar pendapatan yang dihasilkan dari

pajak-pajak dan retribusi atau penerimaan yang bersumber dari masyarakat, maka

akan mengakibatkan menurunnya kegiatan perekonomian (terjadi kontraksi

Page 12: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

perekonomian). Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka pengelolaan belanja

daerah dilaksanakan dalam kerangka arah kebijakan, sebagai berikut:

1. Memprioritaskan alokasi anggaran belanja daerah pada sektorsektor

peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan

fasilitas umum yang berkualitas, serta mengembangkan sistem jaminan

sosial, terutama bagi mereka yang mengalami ketidakberdayaan

(powerless) akibat termarginalisasi (marginalized), terdevaluasi

(devalued), dan mengalami keterampasan (deprivation), serta

pembungkaman (silencing), sesuai amanat undang-undang, serta visi, misi

dan program kepala/wakil kepala daerah.

2. Meningkatkan anggaran belanja daerah untuk program-program

penanggulangan kemiskinan.

3. Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan

infrastruktur pedesaan yang mendukung pembangunan sektor pertanian,

dan pencegahan terhadap bencana alam, serta sekaligus yang dapat

memperluas lapangan kerja di pedesaan melalui pendekatan program padat

karya.

4. Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan

pedesaan dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat

desa.

5. Menyediakan bantuan dana bergulir bagi usaha mikro, kecil dan menengah

(UMKM) dalam rangka memberdayakan UMKM.

6. Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi

belanja dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 2007, yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas,

kesenjangan potensi ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan

masyarakat terhadap pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas

ekonomi makro.

7. Meningkatkan efektivitas kebijakan belanja daerah melalui penciptaan

kerja sama yang harmonis antara eksekutif, legislatif, serta partisipasi

masyarakat dalam pembahasan dan penetapan anggaran belanja daerah.

Page 13: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

BAB III

STUDI KASUS

(BELANJA DAERAH : BELANJA PEGAWAI KABUPATEN NGAWI)

Pengelolahan keuangan daerah merupakan hal yang sangat penting untuk bagi

keberlangsungan keadaan suatu daerah tersebut. Pengelolahan keuangan yang baik

dapat berdampak positif bagi ekonomi, sosial, kesehatan,lingkungan, pembanguan

dan pelayanan publik daerah tersebut. Sebaliknya pengelolahan keuangan daerah yang

tidak efektif dan efisien akan memunculkan damapak negatif pada ekonomi, sosial,

kesehatan,lingkungan, pembanguan dan pelayanan publik daerah tersebut. Pada studi

kasus kali ini mengangkat tentang belanja daerah Kabupaten Ngawi. Kabupaten

Ngawi merupakan salah satu kabupaten yang secara geografis berada di Propinsi

Jawa Timur bagian barat yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah

dan mempunyai letak yang sangat strategis karena dilewati jalur poros Jogyakarta –

Solo – Surabaya. Posisi geografis serta sumber daya yang ada menjadikan kabupaten

Ngawi mempunyai daya tarik bagi tumbuhnya kegiatan pembangunan. Namun

terdapat permasalah-permasalah ekonomi, lingkungan dan sosial yang berada di

Kabupaten Ngawi. Jika ditinjau lagi permasalahan tersebut terdapat hubungannya

dengan pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Ngawi. Diketahui bahwa Kabupaten

Ngawi memiliki alokasi dana untuk belanja pegawai lebih besar daripada belanja

modal ataupun belanja barang dan jasa. Seperti yang terdapat pada tabel 1.1 ini

menjelasakan tentang alokasi dana untu belanja langsung dan belanja tidak langsung

Kabupaten Ngawi.

Page 14: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Table 1.1

Realisasi Belanja Daerah Kabupaten Ngawi

Tahun 2009-2011

URAIAN REALISASITAHUN 2009 2010 2011

B. BELANJA DAERAH 803.673.798.000 1.041.015.546.100 1.078.529.104.903

1. BELANJA TIDAK LANGSUNG

605.657.206 728.460.676.550 750.351.128.595

a. Belanja Pegawai 479.018.719 689.575.003.250 692.120.049.191b. Belanja Bunga 109.714 56.840.250 58.075.780c. Belanja Hibah 77.959.156 11.567.000.000 18.638.102.000d. Belanja Bantuan Sosial 5.588.807 6.399.000.000 4.204.750.000e. Belanja Bagi Hasil

Kepada Provinsi, Kabupaten/Kota Dan Pemerintahan Desa

1.549.040 - 664.807.000

f. Belanja Bantuan Keuangan Kepada Provinsi, Kabupaten/Kota Dan Pemerintah an Desa

41.431.770 20.691.273.150 34.207.344.625

g. Belanja Tidak Terduga - 171.559.900 458.000.0002. BELANJA LANGSUNG 198.016.592 312.554.869.550 328.177.976.308

a. Belanja Pegawai 28.353.286 22.550.451.700 26.458.369.650b. Belanja Barang Dan Jasa 67.991.864 121.967.561.900 145.991.701.876c. Belanja Modal 101.671.442 168.036.855.950 155.727.904.782

Surplus (Defisit) 803.673.798 (58.679.457.100) 51.990.989.609

Sumber : Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset (DPPKA) Kabupaten Ngawi

Total realisasi belanja Kabupaten Ngawi tahun 2010 mencapai 1.041,015 milyar

rupiah, hanya meningkat sekitar 29,5 % dari tahun 2009 yang mencapai 803,673 juta rupiah.

Sedangkan total realisasi belanja Kabupaten Ngawi pada tahun tahun 2011 mencapai

1.078,529 milyar rupiah, meningkat sekitar 3,6 % dari tahun 2010 yang mencapai 1.041,015

milyar rupiah. Meskipun Kabupaten Ngawi pada tahun 2009 dan 2011 mengalami surplus

namun Belanja pegawai yang dilakukannya terlihat tidak wajar/

Belanja pegawai kabupaten ngawi tahun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan

yang signifikan. Pada tahun 2009 mencapai 479,018 juta rupiah, pada tahun 2010 mengalami

Page 15: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

peningkatan yang cukup drastis yakni mencapai 689,575 milyar rupiah. Kemudian pada

tahun 2011 belanja pegawai Kabupaten Ngawi mencapai 692,120 juta rupiah atau 64,17 %

dari total belanja daerah kabupaten ngawi, nilai tersebut sangat besar hingga Kabupaten

Ngawi hampir dinyatakan kolaps oleh pemerintah pusat. Idealnya belanja daerah ditujukan

untuk peningkatan pelayan publik seperti tertera dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah, pelaksanaan belanja daerah dilaksanakan denganpendekatan

kinerja yang berorientasi pada prestasi kerja, dengan memperhatikan keterkaitan antara

pendanaan dengan keluaran dan outcome yang diharapkan dari kegiatan dan program.

demikian, pendekatan kinerja sekaligus akan mencerminkan efisiensi dan efektivitas

pelayanan publik. Efisien akan diwujudkan dalam kesesuaian antara input (termasuk

pendanaan) dengan output yang paling optimal yang bisa dihasilkan. Sedangkan efektifitas

akan diwujudkan dengan kesesuaian antara output dengan ekspektasi masyarakat terhadap

pemenuhan kualitas dan kuantitas layanan publik yang dihasilkan. Namun belanja daerah

yang dilakukan Kabupaten Ngawi menunjukkan angka yang tinggi pada belanja pegawai

bukan pada belanja modal pada APBD Ngawi. Belanja Modal merupakan belanja pemerintah

daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan

akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. selain itu

belanja modal juga dapat dialokasikan untuk menyediakan dan membangun infrastruktur

publik.

Dengan belanja pegawai yang tinggi, berakibat pada anggaran untuk belanja modal

dan belanja barang dan jasa sangat rendah serta porsi pembangunan di Kabupaten Ngawi

sangat terbatas, Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Riset Forum Indonesia untuk

Transparansi Anggaran (FITRA). Selain itu masalah nilai belanja pegawai di Pemkab Ngawi

yang terlalu tinggi ini mengakibatkan kabupaten Ngawi masuk dalam daerah yang terancam

bangkrut menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dilihatkan pada

tabel 1.2.

Tabel 1.2Daerah dengan Alokasi Belanja Pegawai di Atas 65% Tahun 2012

Daerah Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja ModalKab. Simalungun 74,3% 11% 10%Kota Ambon 73,3% 12% 13%Kab. Karanganyar 71,7% 10% 9%Kab. Klaten 69,9% 11% 11%Kota Langsa 69,4% 16% 10%Kab. Minahasa 69,4% 12% 15%Kab. Kuningan 68,9% 11% 15%

Page 16: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Kab. Sragen 68,6% 14% 7%Kab. Purworejo 68,3% 11% 13%Kab. Aceh Barat 68,3% 12% 18%Kota Kupang 68,3% 14% 13%Kab. Pidie 68,1% 14% 10%Kab. Ponorogo 68,1% 16% 9%Kab. Kulon Progo 67,8% 13% 13%Kab. Wonogiri 67,4% 12% 13%Kab. Padang Pariaman 67,2% 14% 15%Kab. Bireuen 66,9% 13% 15%Kab. Ngawi 66,9% 14% 13%Kab. Bantul 66,5% 15% 11%Kab. Pacitan 66,5% 13% 11%Kab. Sumedang 66,0% 14% 13%Kab. Aceh Besar 66,0% 16% 12%Kab. Aceh Timur 66,0% 18% 13%Sumber: Seknas FITRA ( Forum Indonesia Transparansi Anggaran) tahun 2012

Dilihat dari data diatas daerah-daerah yang mengalokasikan dana untuk

anggaran belanja pegawai lebih besar 60% sedangkan untuk anggaran belanja modal

dan belanja barang dana jasa hanya sekitar 16% - 9%. Kondisi ini sebenarnya tidak

baik untuk pengelolahan keuangan daerah jika terus dibiarkan maka daerah tersebut

terancam bangkrut. Efek lain dari belanja pegawai yang terlalu tinggi dapat

menghambat pembangunan daerah tersebut sehingga tidak ada pembangunan lagi

yang terjadi. Penggunaan dana yang tidak proporsional itu menurut penelusuran

FITRA, antara lain disebabkan masih kentalnya nuansa nepotisme dalam

pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) di daerah. Diketahui tercatat di Badan

Kepegawaian Daerah (BKD) tahun 2012, pegawai yang aktif sebanyak 13. 841 orang.

Dinas Pendidikan (Dindik) sebagai penyumbang pemborosan terbesar dengan 8.354

PNS, disusul Dinas Kesehatan (Dinkes) dengan 1.216 PNS. Bujet total-nya pada

kisaran Rp 60 miliyar/bulan atau Rp 720 miliar/tahun. Perbandingan APBD dengan

Gaji PNS dari Tahun Anggaran 2010 Realisasi Pendapatan 887.001.554.928,49 ;

Belanja 886.619.182.158,09 ; Pembiayaan -(27.072.445.711,28) ; Gaji PNS 81 %

APBD dan Pada APBD Tahun Anggaran 2011 Pendapatan 1.104.252.584.700;

Belanja 1.118.591.331.390; Pembiayaan - (30.833.446.250); Gaji PNS 63 % APBD

dan pada APBD Tahun Anggaran 2012 Pendapatan 1.135.086.030.950 ; Belanja

1.112.731.431.350; Pembiayaan + 5.859.900.040; Gaji PNS 65 % APBD). Oleh

karena itu, Kementerian Dalam Negeri mengancam akan melikuidasi Pemerintah

Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, karena menganggarkan komposisi belanja pegawai

Page 17: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

yang tidak wajar. Atas ancaman dari Kemendagri, Badan Pengelola Keuangan

Pemerintah Propinsi (Pemprov) Jawa Timur, meminta Pemkab Ngawi untuk

mengevaluasi agar terhindar dari likuidasi. Belanja pegawai yang terlalu besar dapat

menjadi tolak ukur ketidakefisien kinerja anggaran belanja Kabupaten Ngawi. Belanja

pemerintah daerah secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada kualitas

pelayanan publik dan mendorong aktivitas sektor swasta di daerah yang bersangkutan.

Belanja yang tidak optimal dapat mengakibatkan rendahnya kualitas pelayanan publik

dan menurunnya aktivitas sektor swasta.

Berikut merupakan pelayan publik Sektor Kesehatan yang mengalami

penurunan berdasarkan Draft MPPS Kabupaten Ngawi :

1. Pemasalahan utama sub sector air limbah domestik Kabupaten Ngawi sebagaimana

terlihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3

Pemasalahan utama sub sector Air Limbah Kabupaten Ngawi

A. Sistem Air Limbah

User Interface

71.40

2.50

5.20

15.76

1.18

0.46 6.58 3.26 0.26

Skala KabupatenA. Jamban pribadi B. MCK/WC Umum C. Ke WC helikopter D. Ke sungai/pantai/laut E. Ke kebun/pekarangan F. Ke selokan/parit/got G. Ke lubang galian H. Lainnya, I. Tidak tahu

Berdasarkan Survey EHRA Kepemilikan jamban pribadi 71,4%, WC

umum/MCK 2,50%, WC helicopter 5,20 % sisanya tidak memiliki WC.

Pengumpulan&

Penampungan /

Pengolahan Awal:

Menurut hasil EHRA menunjukkan bahwa sebagian besar tinja anak

dibuang ke WC/ jamban 29 %, ke Tempat sampah 2 %, ke

kebun/pekarangan 2 %, ke Sungai 6 %, ke lainnya 4 %, tidak tahu 57 %.

Page 18: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Tempat Penyaluran Akhir Tinja di Kabupaten Ngawi tahun 2012

44%

3%

30%

0%

8%

3%

1%

11%

Tangki septik

Pipa sewer

Cubluk/lobang tanah

Langsung ke drainase

Sungai/danau/pantai

Kolam/sawah

Kebun/tanah lapang

Tidak tahu

Saluran akhir pembuangan tinja ditunjukkan pada Gambar 3.5

dengan uraian Penduduk yang membuang Tinjanya ke Tangki

Septik 44%, ke Pipa Sewer 3%, Ke Cubluk atau Lubang Tanah

30%, Tidak ada yang membuang limbahnya Langsung ke Saluran

Drainase, ke Sungai/Danau/atau Pantai 8%, ke Kolam atau Sawah 3

%, Ke Kebun atau Tanah Lapang 1 %, sedangkan yang tidak tahu

11%.

Pengangkutan /

Pengaliran

Masih belum ada sarana dan prasarana pengangkutan limbah

domestic dari Pemerintah Kabupaten Ngawi

Pengolahan Akhir

Terpusat

Pemerintah Kabupaten Ngawi belum memiliki IPAL komunal

system Off Site

Daur Ulang /

Pembuangan Akhir:

Pemerintah Kabupaten belum memiliki IPLT.

B. Lain-Lain :

Dokumen

Perencanaan

Belum memiliki master plan air limbah

Aspek Pendanaan Dana APBD Kabupaten Ngawi untuk Sektor Sanitasi sebesar 1,20 % dari

Total Belanja Langsung APBD Kabupaten Ngawi 2012

Kelembagaan dan

Peraturan Undang-

Undang

Masih belum ada perda yang mengatur tentang air limbah domestik

Aspek Peran Masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pembuangan

Page 19: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Masyarakat air limbah domestic secara higienis

2. Pemasalahan utama sub sector persampahan Kabupaten Ngawi sebagaimana terlihat

pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4

Pemasalahan utama sub sector Persampahan Kabupaten Ngawi

A. Sistem Persampahan

User Interface

97.6

94.1

91.1 83.4

96.8

.010.020.030.040.050.060.070.080.090.0

100.0

Pros

enta

se

Klu

ster

0

Klu

ster

1

Klu

ster

2

Klu

ster

3

Klu

ster

4

Kluster

Praktek Pemilahan Sampah Oleh Rumah Tangga di Kabupaten Ngawi

Tidak Dipilah

Sampah Dipilah

Menurut hasil survey EHRA menunjukkan bahwa rata – rata dari

KLuster 0 – kluster 4 sebesar 92.6 % warga belum melakukan praktek

pemilahan sampah.

PengumpulanMasih terbatasnya ketersediaan Sarana & Prasarana pembuangan

sampah (Tempat Pembuangan Sampah/TPS)

Pengangkutan

Jumlah sarana dan prasarana termasuk armada pengangkutan sangat

terbatas sehingga belum mampu mengangkut semua sampah di daerah

pelayanan

Kendaraan pengangkutan sampah sering rusak karena umur yang

cukup tua

Pemrosesan Akhir Kuantitas Alat berat di TPA masih sangat terbatas sehingga

pelaksanaaan pemerataan dan pemadatan sampah menjadi

terhambat/terganggu.

Jenis TPA yang dipakai awalnya direncanakan menggunakan sistem

sanitary landfill namun pada praktek di lapangan masih

Page 20: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

mempergunakan sistem Controlled Landfill.

Luas lahan TPA sekarang ini sudah tidak mencukupi.

Gudang alat berat di TPA rusak berat

B. Lain-Lain :

Dokumen

Perencanaan

Kabupaten Ngawi belum memiliki master plan pengelolaan sampah.

Aspek Pendanaan Anggaran persampahan hanya 0,59 % dari Total Belanja Langsung

APBD Kabupaten Ngawi tahun 2012.

Anggaran yang dialokasikan untuk operasional dan pemeliharaan

persampahan belum mampu menangani permasalahan persampahan di

Kabupaten Ngawi

Aspek Kelembagaan

dan Peraturan

Undang-Undang

Instansi pengelola persampahan masih terbatas Eselon III

Belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pengelolaan

Persampahan

Aspek Peran

Masyarakat

Kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah masih relative

rendah karena belum ada penyuluhan dan pembinaan tentang

pengelolaan sampah.

Page 21: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

3. Pemasalahan utama sub sector air drainase Kabupaten Ngawi sebagaimana terlihat

pada Tabel 1.5.

Tabel 1.5

Pemasalahan utama sub sector drainase Kabupaten Ngawi

A. Sistem Drainase

User InterfaceLama Air Menggenang jika Terjadi Banjir Skala Kabupaten

di Kabupaten Ngawi tahun 2012

8%

16%

16%

22%

32%

6%

Kurang dari 1 jam

Antara 1 - 3 jam

Setengah hari

Satu hari

Lebih dari 1 hari

Tidak tahu

Menurut hasil survey EHRA menunjukkan bahwa banjir yang terjadi

di Kabupaten Ngawi kurang dari 1 jam adalah 8 %, antara 1-3 jam

sebesar 16 %, setengah hari sebesar 16%, Satu hari sebesar 22%, lebih

dari sehari sebesar 32%, dan tidak tahu adalah 6%.

Rumah Tangga Yang Pernah Mengalami Banjir Skala Kluster di Kabupaten Ngawi Tahun 2012

95.1

89.9

94.7

84.6

70.0

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Kluster

pros

enta

se

Tidak tahu

Beberapa kali dalam

Sekali dalam setahun

Tidak pernah

Tidak tahu 4.9 7.6 3.1 3.5 1.4

Beberapa kali dalam .0 2.5 .9 7.0 16.4

Sekali dalam setahun .0 .0 1.3 4.9 12.1

Tidak pernah 95.1 89.9 94.7 84.6 70.0

Kluster 0 Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3 Kluster 4

Menurut hasil Survey EHRA maka rata – rata Rumah Tangga yang

pernah mengalami banjir dari kluster 0 – kluster 4 tidak pernah terjadi

Page 22: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

banjir yaitu sebesar 86,86 %

.0.0.0.0.0 .0.011

.122

.233

.3

16.7

16.7

16.7

16.7

33.3

9.5

14.3

9.5

19.0

42.9

7.4

22.2

22.2

25.9

22.2

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Pros

enta

se

Kluster

Lama Air Menggenang Jika Terjadi Banjir Skala Kluster di Kabupaten Ngawi Tahun 2012

Tidak tahu

Lebih dari 1 hari

Satu hari

Setengah hari

Antara 1 - 3 jam

Kurang dari 1 jam

Tidak tahu .0 33.3 .0 4.8 .0

Lebih dari 1 hari .0 33.3 33.3 42.9 22.2

Satu hari .0 22.2 16.7 19.0 25.9

Setengah hari .0 11.1 16.7 9.5 22.2

Antara 1 - 3 jam .0 .0 16.7 14.3 22.2

Kurang dari 1 jam .0 .0 16.7 9.5 7.4

Kluster 0 Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3 Kluster 4

Menurut hasil survey EHRA menunjukkan bahwa :

Kluster 0 tidak pernah mengalami banjir.

Kluster 1 : Pernah mengalami banjir kurang dari 1 jam 0 %, antara 1-

3 jam 0 %, setengah hari 11,1%, Satu hari 22,2%, lebih

dari sehari 33,4 %, dan tidak tahu 33,3%.

Kluster 2 : Pernah mengalami banjir kurang dari 1 jam 0 %, antara

1-3 jam 16,7 %, setengah hari 17%, Satu hari 16,7%,

lebih dari sehari 16,7 %, dan tidak tahu 33,3%.

Kluster 3 : Pernah mengalami banjir kurang dari 1 jam 9,5 %,

antara 1-3 jam 14,3 %, setengah hari 9,5%, Satu hari

19%, lebih dari sehari 42,9 %, dan tidak tahu 4,8%.

Kluster 3 : Pernah mengalami banjir kurang dari 1 jam 7,4 %,

antara 1-3 jam 22,2 %, setengah hari 22,2%, Satu hari

25,9%, lebih dari sehari 22,9 %, dan tidak tahu 0%.

Page 23: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Prosentase SPAL yang Berfungsi

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Kluster

Pros

enta

se Tidak ada saluran

Tidak dapat dipakai, salurankering

Air di Saluran Tidak DapatMengalir

Air di Saluran Dapat Mengalir

Tidak adasaluran

43.9 34.5 37.5 22.8 33.9

Tidak dapatdipakai, salurankering

34.1 .8 6.6 15.9 3.6

Air di SaluranTidak DapatMengalir

2.4 .8 3.8 7.0 2.5

Air di SaluranDapat Mengalir

19.5 63.9 52.1 54.2 60.0

Kluster 0

Kluster 1

Kluster 2

Kluster 3

Kluster 4

Dari hasil studi EHRA diperoleh data :

Kluster 0 : Tidak ada saluran 43,9%, Tidak dapat dipakai(Saluran

Kering) 34,1%, Air di saluran tidak dapt mengalir

2,4%, Air di Saluran dapat mengalir 19,5%.

Kluster 1 : Tidak ada saluran 34,5%, Tidak dapat dipakai(Saluran

Kering) 0,8%, Air di saluran tidak dapt mengalir 0,8i

%, Air di Saluran dapat mengalir 63,9%.

Kluster 2 : Tidak ada saluran 37,5%, Tidak dapat dipakai(Saluran

Kering) 6,6%, Air di saluran tidak dapt mengalir

3,8%, Air di Saluran dapat mengalir 52,1%.

Kluster 3 : Tidak ada saluran 22,8%, Tidak dapat dipakai(Saluran

Kering) 3,6%, Air di saluran tidak dapt mengalir 7%,

Air di Saluran dapat mengalir 54,2%.

Kluster 4 : Tidak ada saluran 33,9%, Tidak dapat dipakai(Saluran

Kering) 3,6%, Air di saluran tidak dapt mengalir

2,5%, Air di Saluran dapat mengalir 60%.

Pengangkutan /

Pengaliran

Terdapat saluran grey water yang masih tercampur dengan saluran

drainase, bahkan dijumpai pembuangan black water juga ke saluran

drainase.

Pengolahan Akhir

TerpusatSungai sebagai muara akhir dari saluran mengalami pendangkalan

Pengumpulan dan Penampungan / Pengolahan Awal:

Page 24: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

B. Lain-Lain :

Dokumen

Perencanaan

Kabupaten Ngawi sudah mempunyai Master Plan Drainase, untuk

wilayah Ngawi perkotaan, Sedangkan untuk wilayah kecamatan belum

ada.

Aspek Pendanaan Anggaran sub sektor Drainase hanya 0,52% dari Total Belanja

Langsung APBD Kabupaten Ngawi Tahun 2012

Aspek Peran

Masyarakat

Masih banyak perilaku masyarakat yang sering buang sampah di

Saluran Drainase

Kesadaran Masyarakat untuk menyediakan lahan drainase masih

Kurang

Partisipasi masyarakat untuk ikut menjaga dan merawat saluran rendah

Adanya masyarakat yang memanfaatkan lahan pinggir drainase untuk

pemukiman.

4. Pemasalahan utama sub sector hygiene / PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)

Kabupaten Ngawi sebagaimana terlihat pada Tabel 1.6.

Tabel 1.6

Pemasalahan utama sub sector hygiene / PHBS Kabupaten Ngawi

Studi

EHRA 2012

Dari studi EHRA diperoleh kebiasaan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)

pada 5 waktu penting : sebelum ke toilet, seteleh menceboki anak, san

sebelum makan masih rendah. Cuci tangan hanya dilakukan setelah buang

air besar dan setelah makan.

Page 25: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Data Dinas

Kesehatan

Kabupaten

Ngawi 2012

presentase penduduk yang menggunakan jamban tercapai 64,44 %,

presentase penduduk Stop Air Besar Sembarangan (BABS) baru tercapai

73,1 % .

Presentase desa ODF 24 %.

Presentase penduduk yang memiliki akses air bersih mencapai 84,16 %

dengan distribusi tidak merata.

Cakupan rumah sehat baru tercapai 73, 4 %

Masih rendahnya kebiasaan masyarakat untuk cuci tangan pakai sabun.

Lemahnya kepedulian masyarakat dan pengambil kebijakan termasuk

progam-progam yang bersifat preventif dan promotif.

Kurangnya peran media massa dan media elektronik dalam promosi

kesehatan dan sanitasi.

Apabila dilihat dari data pelayanan publik pada beberapa sektor yang berhubungan dengan

kesehatan maka belanja pegawai yang terlalu besar berdampak pada belanja-belanja daerah

yang lain yang sangat berpengaruh pelayanan publik yang kurang memadai. Ini menunjukkan

ketidakefisenan belanja yang dilakukan Kabupaten Ngawi.

Page 26: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Dari studi kasus yang telah dibahas menujukkan bahwa belanja merupakan

pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang

dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. Belanja yang

dilakukan diharapkan dapat berdampak positif pada pembangunan dan pelayanan

publik pada masyarakat. Berdasarkan struktur anggarann daerah, elemen-elemen yang

termasuk dalam belanja daerah terdiri dari belanja aparatur daerah, belanja pelayanan

publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, belanja tidak tersangka. Dilihat dari

studi kasus Kabupaten Ngawi menunjukkan bahwa belanja daerah yang dilakukan

tidak efetif dalam peningkatan pelayan publik dan pembanguan didaerahnya. Belanja

daerah Kabupaten Ngawi lebih besar alokasinya untuk belanja pegawai dari pada

belanja modal dan belanja barang dan jasa.

Penganggaran yang efektif dan efisien itu hendaknya dilakukan berdasarkan

azas efisiensi, tepat guna, tepat pelaksanaanya dan dapat dipertanggung jawabkan.

Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk meningkatkan

pelayanan publik dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat

bukan hanya menguntungkan satu atau beberapa pihak saja.

2. Saran

Menekan belanja pegawai yang terlalu besar dengan cara membatasi PNS pada

daerah Kabupaten Ngawi serta memperbaiki sistem alokasi dananya.

Pemkot Ngawi perlu mengkaji ulang jumlah PNS dan kebutuhan PNS daerah

serta lebih mengefektifkan kinerja PNS agar tidak menambah lagi jumlah PNS.

Kabupaten Ngawi diharapakan dapat emprioritaskan alokasi anggaran belanja

daerah pada sektor-sektor peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan,

fasilitas sosial dan fasilitas umum yang berkualitas, serta mengembangkan sistem

jaminan sosial secara menyeluruh kepada semua masyarakat sesuai amanat

undang-undang, serta visi, misidan program kepala/wakil kepala daerah.

Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan infrastruktur di

desa dan di kota untuk mendukung pembangunan setiap sektor ekonomi serta

sekaligus yang dapat memperluas lapangan kerja di pedesaan melalui pendekatan

program padat karya.

Page 27: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan pedesaan

dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat desa.

Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi belanja

dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007,

yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas, kesenjangan potensi

ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan masyarakat terhadap

pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi makro.

Meningkatkan pelayan publik pada setiap sektor seperti pendidikan,kesehatan dll.

DAFTAR PUSTAKA

Page 28: MAKALAH Keuangan Daerah Studi Kasus Kota Ngawi.docx

1. Halim, Abdul, (2001), Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Unit

Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.

2. Putra, Rahardian Prasana. (2012). Evaluasi Penganggaran Keuangan Daerah Dengan

Analisis Standar Belanja Tahun Anggaran 2010. Surakarta

3. -------------, Permendagri No. 29 dan 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah.

4. Undang-Undang No. 32 Tahun (2004) Tentang Pemerintahan Daerah.

5. Undang-Undang No. 33 Tahun (2004) Tentang Perimbanagan Keuangan Antara Pusat

dan Pemerintah Daerah

6. www. ngawikab.bps.go.id

7. Draf MPPS Kabupaten Ngawi 2012

8. www. ngawi kab.go.id

9. http://blh.jatimprov.go.id/ RPJMD Propinsi Jawa Timur 2009-2014

10. http://grlind.blogspot.com