Upload
yuliandini-pangestika
View
637
Download
57
Embed Size (px)
Citation preview
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah praktik
berjudul "Strategi Biokonservasi".
Makalah ini disusun dengan tujuan memberikan informasi kepada
pembaca tentang pengertian konservasi, bagaimana melakukan startegi
konservasi yang tepat, dan bagaiman peran lembaga-lembaga terkait dalam
konservasi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan laporan ini
sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, 8 September 2013
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………. i
Prakata …………………………………………………………………. ii
Daftar Isi ……………………………………………………………….. iii
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang………………………………………………... 1
I.2 Perumusan Masalah ………………………………………….. 1
I.3 Tujuan ……………………………………………..………… 1
I.4 Manfaat ………………………………………………………… 2
II. PEMBAHASAN
2.1 Konservasi ……………………………………………………... 3
2.2 Strategi Konservasi ……………………………………………. 4
2.3 Peran Lemabaga Terkait ……………………………………….. 8
III. SIMPULAN ………………………………………………………. 10
Daftar Pustaka …………………………………………………………. iv
iii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini banyak ditemui permasalahan lingkungan seperti
eksploitasi tanaman hutan, eksploitasi satwa, penggunaan air yang
berlebih dan lain sebagainya. Hal ini tentunya dapat menyebabkan
kelangkaan sumber daya hayati yang kita miliki. Permasalahan di atas
muncul oleh karena kurangnya kesadaran manusia untuk melakukan
upaya konservasi.
Konservasi merupakan upaya pemanfaatan dan pemeliharaan
sumber daya hayati secara bijaksana. Konservasi juga dapat dipandang
dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi
berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang,
sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya
alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Dalam memanfaatkan
sumberdaya hayati, terdapat batasan tertentu yakni memanfaatkan
sumberdaya hayati secara bijaksana. Artinya dalam memanfaatkan
sumberdaya hayati tidak boleh berlebihan dan harus memperhatikan
upaya pelestariannya.
Konservasi dapat dilakukan melalui beberapa strategi, antara lain:
konservasi in-situ, ex-situ, dan circa situ. Bentuk strategi konservasi yang
telah tersedia antara lain kebun botani, kebun satwa, hutan lindung, dan
sebagainya.
1.2 Tujuan
1.2.1 Menjelaskan tentang biologi konservasi.
1.2.2 Menjelaskan tentang strategi biologi konservasi trhadap
permasalahan terkini.
1
1.2.3 Menjelaskan peran masyarakat dan lembaga-lembaga terkait
terhadap konservasi.
1.3 Rumusan Masalah
Biologi konservasi secara sederhana merupakan upaya yang harus
dilakukan untuk memanfaatkan dan memelihara sumber daya alam secara
bijaksana. Namun, dewasa ini banyak permasalahan yang kita jumpai
karena tidak dilakukannya strategi konservasi.
1.4 Manfaat
1.4.1 Memperoleh informasi bagaimana cara mengatasi permasalahan
lingkungan terkini.
1.4.2 Memperoleh informasi bagaimana melakukan strategi konservasi
yang tepat bagi masyarakat dan pemerintah.
2
II. PEMBAHASAN
2.1 Konservasi
Kata konservasi berasal dari istilah Bahasa Inggris conservation. Arti
conservation menurut kamus Echols dan Shadily (1981) adalah
pengawetan atau perlindungan alam yang berasal dari kata natural
conservation. Dalam hal energi arti konservasi adalah penyimpanan atau
kekekalan (conservation of energy). Istilah ini bentuk kata kerjanya yaitu
conserve yang berarti mengawetkan. Bila kata ini dipergunakan untuk
pengelolaan hutan berarti mengawetkan fungsi ekosistem hutan.
Menurut UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam
tidak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan
sumberdaya alam terbaharui seperti halnya hutan untuk menjamin
kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitasnya. Pengertian konservasi banyak dikaitkan
dengan sumberdaya alam yang terdapat dalam lingkungan hidup. Padahal
konservasi pada dasarnya tidak dapat dipisahkan antara sumberdaya alam
dan lingkungannya. Hal ini secara jelas dapat dilihat dari definisi
lingkungan hidup (UU No. 23 Tahun 1997) yaitu, kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Undang-undang ini
menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dilaksanakan
dengan landasan wawasan lingkungan hidup.
Definisi tersebut mengandung beberapa hal penting yang perlu
ditekankan yaitu:
1. Konservasi berarti menjamin kelestarian pemanfaatan untuk generasi
kini maupun generasi mendatang. Peluang pemanfaatan oleh generasi
anak cucu kita, jangan justru kita pergunakan saat ini.
2. Konservasi berarti memelihara potensi sumberdaya agar kebutuhan dan
aspirasi generasi mendatang dapat tercukupi. Konservasi perlu
ditempatkan pada pengertian yang dinamis, sebab aspirasi dan
kebutuhan manusia dari waktu ke waktu juga berkembang secara
3
dinamis. Di dalam pengertian dinamis, konservasi dapat memiliki
magnitude atau tingkat yang bergerak dari agak longgar menjadi
tingkat yang lebih ketat, sehingga dapat berada pada posisi dalam
pengertian prevention (pencegahan) dan dapat berada pada posisi yang
lain yaitu protection (perlindungan).
2.2 Strategi Konservasi
Primack (1998) menjelaskan bahwa setidaknya dikenal ada dua
strategi konservasi jenis dan satu strategi konservasi alternatif yang
kemungkinan dapat dilakukan guna pelestarian jenis.
1. Konservasi in-situ
Strategi terbaik bagi pelestarian jangka panjang keanekaragaman
hayati adalah perlindungan popuasi dan komunitas alami di habitat
alami masing-masing. Perlindungan di lokasi ini dikenal sebagai
pelestarian in-situ.Konservasi in-situ sering dipadankan dengan on
spot. Konservasi ini sering dilakukan dan dipilih oleh para pakar
konservasi untuk menjaga eksistensi satu atau beberapa jenis sumber
daya hayati sekaligus dengan tetap membiarkan hidup sebagaimana
adanya pada habitat alamnya. Tiga hal mendasari alasan mengambil
keputusan demikian, pertama jenis-jenis yang dijadikan target
konservasi (sering disebut target species) merupakan tumbuhan yang
punya peran ekologis dominan dalam ekosistem, mempunyai toleransi
sempit terhadap tempat tumbuh (possesing a spesific site) dan yang
ketiga, adanya pertimbangan bahwa tingkat keamanan habitat alaminya
cukup meyakinkan.
Dalam kasus ini misalnya strategi konservasi anggrek hitam
(Coelogyne pandurata) di Kersik Luay, Barong Tongkok Kabupaten
Kutai Barat, yang memiliki site preference berupa ekosistem hutan
kerangas. Bahwa kemudian terbukti bahwa habitat alami anggrek hitam
tak dapat lagi dijamin keamanan dan eksistensinya, tentunya
menjadikan perlunya evaluasi ulang terhadap strategi konservasi in-situ
bagi anggrek langka tersebut. Dalam kasus lain menyangkut konservasi
sumber daya hayati fauna penyu laut (Chelonia mydas) di pulau
4
Derawan, Sangalaki dan pulau sekitarnya misalnya, lebih pada
pertimbangan eratnya keterpautan atau keterkaitan antara satwa purba
tersebut dengan habitat yang dipilihnya. Mamalia air endemik
Kalimantan, pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) tergolong satwa
yang punya toleransi sempit terhadap perubahan kualitas tempat hidup.
Dengan kata lain kepekaannya cukup tinggi sehingga akan lebih kecil
risikonya kalau konservasi yang dipilih tetap dengan mengutamakan
kelestarian habitatnya. Oleh, karena itu kepekaan (sensitivitas) obyek
konservasi dapat menjadi pertimbangan penting dalam menetapkan
perlu tidaknya memilih aksi konservasi in-situ.
Dapat juga terjadi bahwa populasi terakhir dari suatu spesies yang
berada dalam keadaan genting ternyata berjumlah terlalu sedikit untuk
bertahan hidup, dan jumlahnya terus-menerus menyusut walalupun
sudah dibantu upaya konservasi, sementara keberadaannya hanya
terdapat di luar kawasan konservasi. Dalam keadaan demikian,
konservasi in-situ mungkin tidak akan efektif untuk mengkonservasi
spesies yang hanya memiliki beberapa individu tersebut. Satu-satunya
cara adalah dengan melindungi individu yang tersisa dengan
menempatkannya dalam suatu lingkungan yang dapat dipantau secara
berkelanjutan (Kleinman dkk., 1996). Strategi tersebut dikenal sebagai
pelestarian ex-situ.
2. Konservasi ex-situ
Konservasi ex-situ sering dipadankan dengan out of spot. Mirip
namun tak identik dengan penjelasan mengenai dasar pijak konservasi
in-situ, maka konservasi ex-situ banyak dilakukan dan dipilih juga
karena kriteria yang cukup kuantitatif sifatnya. Tujuan jangka panjang
dari program pelestarian ex-situ adalah untuk membentuk populasi di
alam, begitu jumlah individu speseies tersebut mencukupi dan habitat
yang sesuai tersedia. Kebun binatang, akuarum, dan peternakan satwa
buruan, serta berbagai program penangkaran merupakan fasilitas ex-
situ untuk melestarikan satwa, sedangkan tumbuhan dipelihara dalam
kebun raya, arboretum, dan bank biji.
5
Sumber daya hayati pada tingkat jenis, baik vegetasi maupun fauna
yang memiliki rentang sebaran geo-ekologis luas akan punya peluang
untuk dilakukan konservasi eks-situ relatif lebih besar daripada jenis
dengan karakter sebaliknya. Berbagai komoditas pangan utama seperti
padi, gandum dan jagung memiliki rentang ekologis yang sangat luas.
Demikian juga berbagai jenis tumbuhan bawah (hutan) atau lazim
disebut tumbuhan lantai hutan (understorey species) yang potensial
sebagai sumber pangan subtitutif misalnya kelompok Uwi atau Huwi
(Dioscorea spp.), Garut (Maranta arundinaceae Linn.) atau Suweg
(Amorphophallus campanulatus Bl.) dan beberapa yang lain. Berbagai
sumber daya hayati sebagai sumber bahan baku obat juga memiliki
rentang ekologis luas, seperti kunyit (Curcuma domestica), jahe
(Zingiber officinale) dan beberapa yang lainnya. Ketergantungan pada
faktor klimatisnya (curah cahaya kumulatif, kelembaban dan
temperatur mikro) bagi jenis vegetasi lapis bawah nampaknya lebih
kuat daripada tuntutan terhadap faktor edafik (tempat tumbuh).
Kelompok fauna juga mempunyai kepekaan terhadap perubahan habitat
secara beragam. Secara teoretis, fauna omnivor (dapat memakan segala
macam sumber pakan) punya peluang dijadikan obyek konservasi eks-
situ lebih berpeluang daripada nektarivor maupun raptor.
Konservasi ex-situ memiliki berbagai keterbatasan. Pertama-tama,
upaya ex-situ membutuhkan biaya yang besar. Biaya pemeliharaan
badak hitam dan gajah dari Afrika di kebun binatang mencapai 50 kali
biaya perlindungan kedua spesies tersebut dalam jumlah yang sama di
alam. Kebun binatang memerlukan biaya yang sangat mahal,
dibandingkan biaya untuk upaya konservasi lainnya. Sebagai contoh,
kebun binatang di AS menghabiskan dana US$ 1 miliar pertahun untuk
operasionalnya (Leader-Williams, 1990). Selain itu, program ex-situ
juga hanya melindungi satu spesies, sedangkan pada program in-situ
yang melindungi seluruh komunitas berarti juga melindungi ribuan atau
puluhan ribu spesies. Namun, program ex-situ merupakan bagian tak
terpisahkan dari strategi konservasi terpadu untuk melindungi hewan
terancam dan sarana belajar bagi masyarakat.
6
Pelestarian ex-situ dan in-situ merupakan strategi yang paling
melengkapi. Individu dari populasi ex-situ dapat secara berkala dilepaskan
ke alamnya untuk mendukung upaya pelestarian in-situ. Penelitian
terhadap populasi dalam penangkaran memberikan informasi mengenal
biologi spesies dan dapat menyumbangkan inspirasi berbagai untuk upaya
pelestariannya. Populasi ex-situ yang berumur panjang dapat mengurangi
kebutuhan pengambilan spesies tersebut dari alam. Populasi ex-situ juga
dapat berperan untuk memberikan informasi kepada masyarakat umum
mengenai pentingnya upaya konservasi, baik terhadap spesies tersebut,
maupun spesies terancam pinah lain di alam.
Berbagai institusi kebun binatang, akuarium, dan kebun raya beserta
para pengunjung mereka seringkali menyumbangkan uang mereka untuk
program konservasi in-situ. Di AS setiap tahunnya sekitar 120 juta orang
mengunjungi kebun binatang, sedangkan di seluruh dunia jumlah
pengunjung mencapai 600 juta. Lebih lanjut, program ex-situ dapat
digunakan untuk mengumpulkan dana bagi spesies yang dilindungi.
Sebaliknya, program in-situ merupakan srategi penanganan yang paling
penting bagi spesies yang sukar diselamatkan dalam penangkaran, dan
berpotensi menjadi pemasok persediaan spesies tersebut bagi kebung
binatang, akuarium dan kebun raya.
3. Konservasi circa-situ
Konservasi circa-situ merupakan konservasi yang
mempertimbangkan aspek sosial budaya serta ekonomi, khususnya
bagi masyarakat pemukim sekitar kawasan konservasi. Sebagaimana
telah menjadi kebiasaan, tumbuh anggapan di masyarakat bahwa
pelaku konservasi sudah semestinya pemerintah. Dalam bidang
kehutanan fenomena ini terasa kental adanya. Berbagai bentuk kawasan
konservasi mulai dari sekedar taman buru hingga yang paling tertutup
seperti cagar alam, hampir sebagian besar tidak mencapai target
sebagaimana diinginkan. Kesadaran timbulnya rasa untuk ikut
memiliki dan merasa diuntungkan seandainya konservasi berhasil
belum tumbuh dan (memang) belum tumbuh dari sebagian besar
7
masyarakat sekitar kawasan konservasi. Boleh jadi ini terkait dengan
persepsi arti “keuntungan” yang belum sama antara masyarakat dengan
pemerintah sebagai pelaku konservasi. Tolok ukur ekonomis secara
segera atau langsung nampak menjadi kriteria sederhana bagi
masyarakat. Tanpa adanya pemenuhan kriteria tersebut, maka segala
bentuk tindakan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya yang
dilakukan pemerintah akan dianggap mengusik kehidupan masyarakat
pemukim terdekat, atau setidaknya dianggap tak bermanfaat.
Tujuan utama strategi konservasi, yaitu :
a. Perlindungan proses-proses ekologi dan sistem-sistem penyokong
kehidupan,
b. Perlindungan keragaman genetik, dan
c. Pemanfaatan spesies atau ekosistem secara lestari.
2.3 Peran Lembaga-Lembaga Terkait dalam Konservasi
Keterlibatan masyarakat dalam konservasi sumber daya hayati secara
jangka panjang akan menguntungkan kedua belah pihak, baik pemerintah
maupun masyarakat. Dalam banyak kesempatan dialog ilmiah-sosial,
konsep konservasi yang disebut terakhir sering sepadan dengan konservasi
partisipatif.
Saat ini konservasi merupakan isu yang sangat kompleks dengan
penyebab penyebab ganda yang kerap kali saling berkaitan. Banyak
diantara penyebab-penyebab tersebut memiliki dimensi internasional dan
bahkan bersifat global. Hal tersebut tidak bisa ditanggulangi dengan
tindakan yang bersifat unilateral atau tidak dapat pula dikurangi melalui
polarisasi, terutama bila ditinjau melalui perspektif utara dan selatan.
Dalam dokumen yang diterbitkan oleh World Wide Fund For Nature
(WWF) bekerjasama dengna international Union for the Conversation of
Nature (IUCN) dan United Nations Environment Programme (UNEP)
yang berjudul Strategi Konservasi Dunia yang menekankan bahwa umat
manusia, yang merupakan bagian dari alam, mungkin sekali tidak
mempunyai masa depan di planet bumi ini, kecuali bila alam dan
8
sumberdaya alaminya dilindungi dan dipelihara. Disamping itu juga
terselip suatu pesan bahwa konservasi tidak bertentangan dengan
pembangunan dimana konservasi mencakup baik perlindungan alam
maupun penggunaan sumber daya alam secara rasional dan bijaksana
(IUCN, 1993). Dengan adanya peranan dari lembaga-lembaga
internasional tersebut jelas kiranya bahwa masalah konservasi sumberdaya
alam bukanlah masalah suatu negara, melainkan masalah dunia secara
global.
III. SIMPULAN
9
3.1 Konservasi adalah memelihara dan mengelola sumberdaya alam tidak
terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan
sumberdaya alam terbaharui untuk menjamin kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitasnya.
3.2 Strategi konservasi meliputi dua strategi konservasi jenis (konservasi in-
situ dan ex-situ) dan satu strategi konservasi alternatif (konservasi circa-
situ).
3.3 Dalam menjalankan strategi konservasi ini dibutuhkan peran aktif dari
semua elemen masyarakat maupun pemerintahan, seperti kerja sama
dengan negara lain untuk melestarikan sumberdaya alam.
10
DAFTAR PUSTAKA
Echols, J. and H. Shadily. 1989. An Indonesian-English Dictionary. 3rd ed. Cornell University Press, Ithaca, N.Y.
IUCN. 1993. Draft IUCN Red List Categories. IUCN, Gland, Switzerland.Kleiman, D.G., M.E. Allen, K.V Thompson, dan S.Lumpkin. 1996. Wild
Mammals in Captivity: Principles and Techniques. University of Chicago Press, Chicago.
Leader-William, N. 1990. Black rhinos and African elephants: Lessons for conservation funding. Oryx 24:23-29
Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Robinson, M.H. 1992. Global change, the future of biodiversity and the future of zoos. Biotropica (Special Issue) 24:345-352
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Zen. M.T. dan Skinner, Brian J., 1982., Industri Mineral dan Sumber Daya Bumi. Gajah Mada University Press dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Zulkifli. 2004. Peranan Teknologi Dalam Konservasi Bahan Mineral Menuju Pembangunan Berkelanjutan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara.
iv