Upload
nur-fitri-majik
View
168
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bioteknologi di bidang pertanian telah berkembang pesat, salah satu
contohnya adalah dengan perbanyakan secara vegetatif. Cara perbanyakan
vegetatif umumnya akan menghasilkan tanaman yang lebih cepat tumbuh. Dapat
tumbuhnya bagian terkecil dari tumbuhan menjadi individu baru karena tumbuhan
memiliki sifat mampu untuk tumbuh menjadi tanaman yang sempurna bila
disekitar lingkungan tersebut sesuai. Sifat tumbuhan inilah yang kemudian
mencetuskan suatu metode perbanyakan tumbuhan secara vegetatif, yaitu dengan
kultur jaringan tumbuhan.
Kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman secara
vegetatif. Kultur jaringan tertua dilakukan pada biji anggrek dengan tujuan untuk
mengecambahkannya dalam media yang kaya nutrisi karena biji dari anggrek
tidak mempunyai cadangan makanan. Kultur jaringan terus berkembang dari
mengkulturkan biji berkembang dengan mengkulturkan jaringan dan terus
berkembang hingga mampu mengkulturkan satu sel dari tanaman. Penggunaan
kultur jaringan mempunyai kelebihan, yaitu mampu memproduksi bibit yang
seragam dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatifr singkat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan pengertian kultur jaringan tanaman ?
2. Bagaiman teknik kultur jaringan tanaman ?
3. Apa contoh kultur jaringan tanaman ?
4. Bagaimana masalah dalam kultur jaringan tumbuhan ?
5. Apa kelebihan dan kekurangan dalam kultur jaringan ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah dan pengertian kultur jaringan tanaman
2. Untuk mengetahui teknik kultur jaringan tanaman
3. Untuk mengetahui contoh kultur jaringan tanaman
4. Untuk mengetahui masalah dalam kultur jaringan tumbuhan
5. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam kultur jaringan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kultur Jaringan
Sejarah kultur jaringan sebenarnya sejalan dengan sejarah perkembangan
botani. Beberapa ahli jaman dulu sudah meramalkan bahwa perbanyakan kultur
jaringan dapat dilaksanakan. Pemikiran ini didasarkan pada penemuan para ahli
yan mendahului mereka serta penemuan mereka sendiri.Pada abad 17 seorang ahli
matematika Robert Hooke telah menemukan sel. Ia mengatakan bahwa sel-sel
dapat disamakan dengan batu-batu bangunan alamiah. Kemudian pada tahun 1838
-1839, seorang ahli Biologi M. V. Schleiden dan Theodore Schwann yang telah
memfokuskankan perhatiannya pada kehidupan sel, menemukan satu konsep baru,
bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri walaupun telah terpisah dari tanaman
induknya. Mereka mengemukakan bahwa segala peristiwa rumit yang terjadi
dalam tubuh organisme selama hidup, bersumber pada sel. Dari konep inilah
tumbuh pernyataan bahwa satu sel mempunyai kemampuan untuk berkembang.
Sel berkembang dengan jalan regenerasi sehingga pada satu saat akan terbentuk
satu tanaman sempurna. Kemampuan regenerasi ini disebut “totipotency”.
Beberapa ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah perkembangan
Botani abad 19, adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebig, Johan
Knopp, dan Rechinger. Charles Darwin dikenal dengan julukan “raja penamat”,
menemukan hormon pada koleoptil sebangsa rumput. Kemudian Louis Pasteur
yan menentang aliran “generatio spontanea” mengemukakan pentingnya
sterilisasi. Pada akhir abad 19, Johan Knopp (1817 – 1891) menemukan 10 unsur
hara yan penting bagi pertumbuhan tanaman. Dengan penemuannya ini ia dikenal
dengan “Knop’s Solution”, beberapa tahun setelah Knopp, Rechinger (1893) telah
mencoba mengambil potongan kecil batang poplar dan beet, kemudian
memelihara bahan-bahan ini di atas kertas filter lembab. Dari percobaan ini ia
menemukan pertumbuhan kalus. Dengan mengurangi ukuran potongan tanaman
akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ukuran yang paling baik adalah ukuran
kecil namun tidak kurang dari 1,5 cm.
2
Kira-kira pada permulaan abad ini, beberapa ahli botani mengembangkan
suatu teori, bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara
terpisah dalam suatu kultur. Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini
memiliki kemampuan untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan, dalam
upayanya untuk bisa tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi
tanaman yang utuh. Dengan kata lain, bahwa di dalam masing-masing sel tanaman
mungkin mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu yang
mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang
sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi.
Pada permulaan abad ke 20 konsep totipotensi terus dikembangkan. Gottlieb
Hamberlant seorang ahli Botani bangsa Jerman pada tahun 1902 melanjutkan
konsep totipotensi ini secara bersungguh-sungguh. Ia menekankan bahwa embrio
tanaman dapat tumbuh dengan jalan memelihara sel-sel vegetatif. Walaupun
percobaannya gagal namun memastikan bahwa sifat totipotensi yan dimiliki oleh
sel menyebabkan sel dapat dipisahkan dan dipelihara pada media tumbuh. Bila
medianya cocok, sel yang dipisahkan itu akan melanjutkan kehidupannya dan
berkembang menjadi satu tanaman baru (Kyte 1987)
Keterangan ini disusun secara sistematik menurut tahun penemuan :
Pada 1922 Knudson menemukan germinasi asimbiotik biji tanaman angrek
secara in vitro.Pengembangan metode kultivasi kultur jaringan dimulaikan oleh
dua oran saintis yang sudah bertahun-tahun berusaha bekerja di bidan ini. Mereka
adalah White P.,
1934 White P., sesudah bertahun-tahun gagal, pada tahun ini berhasil
mengkulturkan ujung akar tomat. Pada tahun yang sama Gautheret L.,
mengkulturkan in vitro jaringan kambium tanaman Acer pseudoplanatus, Salix
caparaea, dan Sambucus nigra. Pada saat ini ide tentang kultur jaringan dapat
dikatakan sudah tercapai namun oleh karena eksplant tidak dipindahkan ke media
yang baru, maka perkembangan terhenti sesudah berumur 15 – 18 bulan.
Dikatakan bahwa pada saat itu media ternyata kekurangan beberapa unsur yang
berfungsi untuk pembelahan sel. 1939 P. R. White seorang peneliti dari Amerika
(yang sekarang dianggap sebagai Bapak Kultur Jaringan) melaporkan sejumlah
hasil penelitiannya tentang keberhasilan ia menumbuhkan sejumlah tunas dari
3
potongan-potongan kalus tembakau yan ditanam dalam medium cair. 1940
Seorang ahli yang lain, Folke Skoog, ahli fisiologi tanaman dari Universitas
Winconsin pada tahun melanjutkan penelitian-penelitian yang dilakukan White
dan telah berhasil membuktikan, bahwa hormon-hormon auksin, yaitu IAA dan
NAA (yang pada waktu itu dikenal sebagai pemacu pertumbuhan akar dari
potongan-potongan dahan), ternyata mampu menghambat awal pertumbuhan
tunas. Selanjutnya dengan percobaan-percobaannya menggunakan kultur jaringan
tembakau, dia mulai mencari senyawa-senyawa kimia yang dapat berinteraksi
dengan senyawa-senyawa auksin serta senyawa-senyawa yang memacu
pertumbuhan tunas. (Whaterel, 1982).
Pada 1941 Van Overbeek mula-mula menggunakan air kelapa (yang
mengandung faktor perangsang pembelahan sel) dalam mengkulturkan embrio
Datura.1943 White menerbitkan bukunya “A Handbook of Plant Tissue Culture”
yang memuat pengetahuan serta hasil penemuan pada jaman itu.1944 Skoog
mula-mula mendapatkan tunas adventif dari hasil kultur jaringan.1945-1946 Loo
Shi Wei, pertama-tama mengkulturkan apex batang.1949 Vaccin dan Went
menciptakan medium Vacin dan Went.1950 Folke Skoog bersama-sama dengan
muridnya berhasil menemukan adanya efek pemacu pembentukan tunas yang
disebabkan oleh senyawa-senyawa fosfat anorganik maupun senyawa-senyawa
organic, yaitu adenine dan adenosin. 1952 Morel dan Martin pertama-tama
menemukan dahlia yan bebas virus dari hasil kultur meristem.1954 Muir et al
pertama-tama mendapatkan tanaman dari kultur sel. Wetmore, R. H., dan Sorkin
S., mengembangkan teori Hamberlant tentang organogenesis yan sekarang dikenal
dengan mikropropagasi.1955, kelompok Skoog menemukan kinetin, yaitu
hormone golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan. 1957 Skoog dan Miller
melaporkan hasil penelitian mereka yang sekarang telah dianggap klasik,yaitu
mengemukakan ratio sitokinin dan auxin untuk mengatur pembentukkan organ.
Mereka menulis satu artikel tentan “Chemical Regulation of Growth and Organ
Formulation in Plant Tissue Cultured in Vitro” mengenai keterkaitan kedua
golongan hormone, auksin dan sitokinin dalam pengaturan regenerasi akar dan
tunas. Penelitian ini selanjutnya menjadi landasan berbagai upaya pembiakan
secara kultur jaringan. Skoog menyadari besarnya potensi ekonomi dari hasil
4
penelitian-penelitiannya, selanjutnya semakin menekuni bidang kultur jaringan
bersama-sama murud-murid dan teman-temannya. (Whaterel, 1982).
Torrey J. C., mendemonstrasikan pembelahan sel yang diisolasikan.
1958 Reinert dan Steward, menemukan regenerasi proembrio dari suspensi
sel Daucus carota.K. V. Thimann dari Universitas Harvard melaporkan
penemuan-penemuannya pada beberapa kali penerbitan yang dimulai tahun 1958,
bahwa hormon-hormon sitokinin mampu melawan efek pertumbuhan tunas apical.
Dan mereka berhasil pula membuktikan, bahwa kinetin bersifat memacu
pertumbuhan tunas lateral yan biasanya tidak terlihat nyata akibat penaruh dari
tunas apical pucuk tanaman. Hal inilah yan selanjutnya menjadi dasar fisiologis
dalam upaya meningkatkan jumlah cabang-cabang lateral, yang seperti diketahui
sangat penting artinya bai pembiakan secara kultur jaringan. Dalam tahun-tahun
berikutnya, banyak peneliti yan memberikan sumbangan pengetahuan yang
menunjang keberhasilan usaha pembiakan secara kultur jaringan tersebut.1960
Cocking E. C., memperoleh sejumlah protoplast dengan jalan degradasi dinding
sel menggunakan enzyme.
1962 Murashige T., dan Skoog F., mengembangkan formulasi media
kultur yan amat terkenal dan sampai sekarang dipakai di dunia internasional, yaitu
media Murashige-Skoog., Di sini peranan Murashige sangat penting artinya,
karena selain telah memberi sumbangan pengetahuan dasar kultrur sel dan
jaringan, usahanya telah mengarah ke penerapan di bidang pembiakan secara
kultur jaringan dalam skala komersial. Murashige bersama murid-muridnya di
Universitas California telah menyusun prosedur lenkap pembiakan kultur jaringan
dari sejumlah besar spesies tanaman yang diketahui bernilai ekonomi tinggi.
Pengembangan hasil karya tersebut selanjutnya mendorong pertumbuhan industri-
industri pembiakan secara kultur jaringan di Amerika Serikat 1964 Guha S., dan
Maheshwari S. C., mendapatkan embrio haploid yan berkembang dari sel polen
tanaman Datura.1965 Vasil dan Hamberlant, berhasil mendapatkan differensiasi
sel tembakau yang diisolasikan. 1967 Bourin J. P., dan Nitch J. P., mendapat
tanaman haploid dari kultur serbuk tembakau.
1969 Erickson & Jonassen melakukan isolasi protoplas dari suspensi sel
5
Hapopappus.1970 Power melakukan fusi protoplas.1971 Takebe et al mula-mula
mendapatkan tanaman hasil regenerasi protoplast.1977 Chilton, et al berhasil
mengintegrasikan DNA T-plasmid dari Agribacterium tumefaciens pada
tanaman.1981 Larkins dan Skowcroft, pertama-tama memperkenalkan variasi
somaklonal.1985 Perkembangan transfer gen pada tanaman berkembang cepat,
seperti penggunaan Agrobacterium, particle bombardment (gen gun),
electroporasi, mikroinjeksi.1990 Perkembangan rekayasa genetik dan metabolic
pada tananaman berkembang dengan pesat. Pemasaran produk-produk rekayasa
genetik.
2.2 Pengertian Jaringan Tumbuhan
Kultur jaringan tanaman (plant tissue culture) atau sering kali disebut juga
dengan kultur in vitro adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
semua prosedur budi daya tanaman secara aseptik. Karena pertumbuhannya
memerlukan tempat steril dengan wadah yang biasanya tembus cahaya, maka
disebut juga kultur in vitro yang berarti kultur di dalam gelas. Secara lebih rinci,
kultur jaringan dapat didefinisikan sebagai suatu metode mengisolasi bagian dari
tanaman, seperti protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta
menumbuhkannya dalam media yang sesuai dan kondisi aseptik, sehingga bagian-
bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman
lengkap. Ada beberapa karakter yang dapat dipakai untuk mencirikan teknik
kultur jaringan, yaitu:
• Terbebas dari segala mikroorganisme,
• Lingkungan tumbuh optimal.
• Pola perkembangan normal tanaman dapat dimodifikasi,dan
• Manipulasi jaringan untuk perbaikan tanaman.
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dikembangkan berdasarkan
teori sel yang pertama kali dikemukakan oleh Schleiden dan Schwan, yaitu
totipotensi sel. Totipotensi sel dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan sel
6
untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sempurna jika ditempatkan
pada suatu lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya dan terkendali.Salah
satu aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan dan dewasa ini sangat
pesat perkembangannya adalah mikropropagasi/perbanyakan mikro (micro pro-
pagation). Teknik mikropropagasi telah banyak digunakan untuk memperbanyak
secara cepat berbagai jenis tanaman dalam skala industri. Teknik kultur jaringan
terbukti ampuh membantu para pemulia tanaman untuk menghasilkan tanaman
dengan karakter yang sudah diperbaiki.
Pada mulanya tujuan dan manfaat utama teknik kultur jaringan tanaman
adalah untuk perbanyakan tanaman. Akan tetapi pada perkembangannya, teknik
kultur jaringan juga dimanfaatkan untuk tujuan lain, seperti: polinasi in vitro,
penyelamatan embrio (transplantasi embrio), produksi metabolit sekunder,
konservasi plasma nutfah, fusi protoplas, keragaman somaklonal, produksi
tanaman haploid, dan transformasi tanaman.
2.3 Teknik Kultur Jaringan
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara
generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat
diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat
yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang
singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih
cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Berdasarkan bagian-bagian tanaman yang dikulturkan secara spesifik
terdapat beberapa macam kultur:
1. Kultur organ, yaitu kultur yang diinisiasi dari organ-organ tanaman
seperti: pucuk terminal dan aksilar, meristem, daun, batang, ujung akar,
bunga, buah muda, embrio, dan sebagainya.
7
2. Kultur biji (seed culture), kultur yang bahan tanamnya menggunakan biji
atau seedling.
3. Kultur kalus, yaitu kultur sekumpulan sel yang tidak terorganisir, hanya
sel-sel parenkim yang berasal dari bahan awal
4. Kultur suspensi, yaitu kultur sel bebas atau agregat sel kecil dalam media
cair. Pada umumnya kultur suspensi diinisiasi dari kalus.
5. Kultur protoplas, yaitu kultur sel-sel muda yang diinisiasi dalam media
cair yang dihilangkan dinding selnya. Kultur protoplas digunakan untuk
hibrididasi somatik (fusi dua protoplas baik intraspesifik maupun
interspesifik).
6. Kultur haploid (kultur mikrospora/ anther), yaitu kultur dari kepala sari
(kultur anther) atau tepung sari (kultur mikrospora)
7. Pada prinsipnya kultur jaringan merupakan dua kegiatan utama. Pertama,
yaitu mengisolasi atau memisahkan bagian tanaman dari tanaman induk.
Kedua, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan bagian tanaman tersebut
di dalam media yang kondisinya steril dan mampu mendorong
pertumbuhan bagian tanaman menjadi tanaman yang sempurna.
Contoh Kultur Jaringan Tanaman Yang Telah Dilakukan :
Tanaman jahe (Zingiber officinale), touki (Angelica acutiloba), kapolaga (Eletaria
cardamomum), Mentha sp., Geranium (Pelargonium graveolens dan
P.tomentosum), panili (Vanilla planifolia), abaka (Musa textilis), nilam
(Pogostemon cabin), rami (Boechmeria nivea), lada (Piper nigrum), pyrethrum
(Chrysanthemum cinerarifolium), gerbera (Gerbera jamesonii), seruni
(Chrysanthemum morifolium), pulasari (Alyxia steliata), pule pandak (Rauwolfia
serpentina), temu putri (Curcuma petiolata), purwoceng (Pmpinella pruatjan)
2.4 Tahapan-Tahapan Dalam Kultur Jaringan Tanaman yaitu:
Pembuatan Media
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral,
8
vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar,
gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga
bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur
jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi
atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara
memanaskannya dengan autoklaf.
Inisiasi Kultur
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan
dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur
jaringan adalah tunas.Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah
pembuatan kultur dari eksplan yang bebas mikroorganisme serta inisiasi
pertumbuhan baru, ini mengusahakan kultur yang aseptik atau aksenik. Aseptik
berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik berarti bebas dari
mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini juga diharapkan bahwa
eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan
memungkinkan dilakukannya pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling
kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya.
Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya
pencokelatan atau penghitaman bagian eksplan (browning). Hal ini disebabkan
oleh senyawa fenol yang timbul akibat stress mekanik yang timbul akibat
pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari tanaman induk. Senyawa fenol
tersebut bersifat toksik, menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat mematikan
jaringan eksplan.
Sterilisasi
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan
di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga
steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol
yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang
melakukan kultur jaringan juga harus steril. Tunas hidup di atas tanah sering
9
banyak tanah yang melekat perlu dibersihkan hal ini karena pada eksplan tunas
khususnya pada pisang mengandung bakteri internal seperti Pseudomonas dan
Erwinia.
Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam
eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari
adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung
reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di
tempat yang steril dengan suhu kamar.
Tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang
diperbanyak seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan
tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya. Pada
tahap ini, perbanyakan dapat dilakukan dengan cara merangsang terjadinya
pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksiler atau merangsang
terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik secara langsung maupun
melalui induksi kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam kultur fase inisiasi, di
dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin, dan hormon dengan
perbandingan yang dibutuhkan secara tepat.
Pengakaran
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya
pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan
mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat
pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi
oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan
gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan
bakteri).Tujuan dari tahap ini adalah untuk membentuk akar dan pucuk tanaman
yang cukup kuat untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari
lingkungan in-vitro ke lingkungan luar.
10
Aklimatisasi
Dalam proses perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi
planlet merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam
produksi bibit secara masal. Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan
ke lingkungan di luar botol seperti rumah kaca, rumah plastik, atau screen house
(rumah kaca kedap serangga). Proses ini disebut aklimatisasi. Aklimatisasi adalah
proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran dilakukan secara
ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau
pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap ditanam di
lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan berhasil
jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan yang
tinggi.
Tahap ini merupakan tahap kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca,
rumah plastik, rumah bibit, dan lapangan sangatlah jauh berbeda dengan kondisi
iklim mikro di dalam botol. Kondisi di luar botol bekelembaban nisbi jauh lebih
rendah, tidak aseptik, dan tingkat intensitas cahayanya jauh lebih tinggi daripada
kondisi dalam botol. Planlet atau tunas mikro lebih bersifat heterotrofik karena
sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi berkelembaban sangat tinggi, aseptik, serta
suplai hara mineral dan sumber energi berkecukupan.
Disamping itu tanaman tersebut memperlihatkan beberapa gejala ketidak
normalan, seperti bersifat sukulen, lapisan kutikula tipis, dan jaringan vaskulernya
tidak berkembang sempurna, morfologi daun abnormal dengan tidak berfungsinya
stomata sebagai mana mestinya. Strutur mesofil berubah, dan aktifitas fotosintesis
sangat rendah. Dengan karakteristik seperti itu, palanlet atau tunas mikro mudah
menjadi layu atau kering jika dipindahkan ke kondisi eksternl secara tiba-tiba.
Karena itu, planlet atau tunas mikro tersebut diadaptasikan ke kondisi lngkungan
yang baru yang lebih keras. Dengan kata lain planlet atau tunas mikro perlu
diaklimatisasikan
11
2.5 Contoh kultur jaringan pada tumbuhan
Pisang adalah tanaman buah , sumber vitamin, mineral dan karbohidrat. Di
Indonesia pisang yang ditanam baik dalam skala rumah tangga ataupun kebun
pemeliharaannya kurang intensif. Sehingga, produksi pisang Indonesia rendah,
dan tidak mampu bersaing di pasar internasional. Selain sebagai komoditi
penunjang ketahanan pangan, pisang di Indonesia juga berpotensi sebagai
komoditi agribisnis. Potensi ini tergambar pada paling tingginya total areal
penanaman dan produksi pisang dibandingkan dengan buah lainnya di Indonesia,
dan pisang menyumbang 50% total produksi buah nasional (Anonymous, 2002).
Pada tahun 2001, areal penanaman pisang adalah 76.500 ha dengan total produksi
sebesar 4.300.000 ton
Peluang pengembangan agribisnis komoditas pisang masih terbuka luas. Untuk
keberhasilan usahatani pisang, selain penerapan teknologi, penggunaan varietas
unggul dan perbaikan varietas harus dilaksanakan. Varietas unggul yang
dimaksud adalah varietas yang toleran atau tahan terhadap hama dan penyakit
penting pisang, mampu berproduksi tinggi, serta mempunyai kualitas buah yang
bagus dan disukai masyarakat luas.
Pusat keragaman utama pisang terletak di daerah Malesia (Asia Tenggara,
Papua dan Australia tropika). Pusat keragaman minor juga terdapat di Afrika
tropis. Tumbuhan ini menyukai iklim tropis panas dan lembab, terutama di
dataran rendah. Di daerah dengan hujan merata sepanjang tahun, produksi pisang
dapat berlangsung tanpa mengenal musim. Indonesia, Kepulauan Pasifik, negara-
negara Amerika Tengah, dan Brasil dikenal sebagai negara utama pengekspor
pisang. Masyarakat di negara-negara Afrika dan Amerika Latin dikenal sangat
tinggi mengonsumsi pisang setiap tahunnya.
Beberapa pisang komersial Indonesia yang banyak dikenal; sebagai pisang
meja adalah pisang Ambon Kuning (AAA), Ambon Hijau (AAA), Barangan
(AAA), Raja Sereh (AAB), Mas (AA) dan Berlin (AA), sebagai pisang olah
adalah Kepok (ABB), Raja (AAB), Uli/Jantan (AAB), Candi (AAB) dan Tanduk
12
(AAB). Pisang budidaya pada masa sekarang dianggap merupakan keturunan dari
Musa acuminata yang diploid dan tumbuh liar. Genom yang disumbangkan diberi
simbol A. Persilangan alami dengan Musa balbisiana memasukkan genom baru,
disebut B, dan menyebabkan bervariasinya jenis-jenis pisang. Pengaruh genom B
terutama terlihat pada kandungan tepung pada buah yang lebih tinggi. Secara
umum, genom A menyumbang karakter ke arah buah meja (banana), sementara
genom B ke arah buah pisang olah/masak (plantain). Hibrida M. acuminata
dengan M. balbisiana ini dikenal sebagai M. ×paradisiaca. Khusus untuk
Kelompok AAB, nama Musa sapientum pernah digunakan.
Mengikuti anjuran Simmonds dan Shepherd yang karyanya diterbitkan
pada tahun 1955, klasifikasi pisang budidaya sekarang menggunakan nama-nama
kombinasi genom ini sebagai nama kelompok budidaya (cultivar group). Sebagai
contoh, untuk pisang Cavendish, disebut sebagai Musa (AAA group Dessert
subgroup) 'Cavendish'. Di bawah kelompok masih dimungkinkan pembagian
dalam anak-kelompok (subgroup). Lihat pula artikel Musa untuk pembahasan
lebih mendalam
( Hartoyo , dwi 2011).
Buahnya merupakan produk utama pisang. Pisang dimanfaatkan baik
dalam keadaan mentah, maupun dimasak, atau diolah menurut cara-cara tertentu.
Pisang dapat diproses menjadi tepung, kripik, ‘puree’, bir (Afrika), cuka, atau
didehidrasi. Daun pisang digunakan untuk menggosok lantai, sebagai alas
‘kastrol’ tempat membuat nasi ‘liwet’, dan sebagai pembungkus berbagai
makanan. Serat untuk membuat kain dapat diperoleh dari batang semunya.
Bagian-bagian vegetatif beserta buah-buah yang tidak termanfaatkan digunakan
sebagai pakan ternak; bagian-bagian vegetatif itu khusus dimanfaatkan jika pakan
ternak dan air sulit diperoleh (batang semu itu banyak mengandung air). Tanaman
pisang (atau daun dan buahnya) juga memegang peranan dalam upacara-upacara
adat, misalnya di Indonesia, untuk upacara pernikahan, ketika mendirikan rumah,
dan upacara keagamaan setempat. Dalam pengobatan, daun pisang yang masih
tergulung digunakan sebagai obat sakit dada dan sebagai tapal dingin untuk kulit
yang bengkak atau lecet. Air yang keluar dari pangkal batang yang ditusuk
13
digunakan untuk disuntikkan ke dalam saluran kencing untuk mengobati penyakit
raja singa, disentri, dan diare; air ini juga digunakan untuk menyetop rontoknya
rambut dan merangsang pertumbuhan rambut. Cairan yang keluar dari akar
bersifat anti-demam dan memiliki daya pemulihan kembali. Dalam bentuk tepung,
pisang digunakan dalam kasus anemia dan casa letih pada umumnya, serta untuk
yang kekurangan gizi. Buah yang belum matang merupakan sebagian dari diet
bagi orang yang menderita penyakit batuk darah (haemoptysis) dan kencing
manis. Dalam keadaan kering, pisang bersifat antisariawan usus. Buah yang
matang sempurna merupakan makanan mewah jika dimakan pagi-pagi sekali.
Tepung yang dibuat dari pisang digunakan untuk gangguan pencernaan yang
disertai perut kembung dan kelebihan asam. (anonim A)
Pisang Cavendish
Pisang Cavendish merupakan komoditas buah tropis yang sangat popular
di dunia, di Indonesia, pisang ini lebih dikenal dengan sebutan Pisang Ambon
Putih. Pisang Cavendish banyak dikembang biakan menggunakan metode kultur
jaringan. Keunggulan bibit pisang hasil kultur jaringan dibandingkan dengan bibit
dari anakan adalah bibit kultur jaringan terbebas dari penyakit seperti layu moko
akibat Pseudomonas solanacearumdan layu panama akibat Fusarium oxysporum
cubense. Dalam kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal
adalah kultur denganeksplan bonggol.
Karakteristrik
Pohon Pisang Cavendish mempunyai tinggi batang 2,5 - 3 m
dengan warna hijau kehitaman. Daunnya berwarna hijau tua. Panjang Tandan 60 -
100 cm dengan berat 15 - 30 kg. Setiap tandan terdiri dari 8 - 13 sisiran dan
setiap sisiran ada 12 - 22 buah. Daging buah dari pisang ini putih kekuningan,
rasanya manis agak asam, dan lunak. Kulit buah agak tebal berwarna hijau
kekuningan sampai kuning muda halus.
Kondisi pertumbuhan
Suhu merupakan factor utama dalam pertumbuhan pisang Cavendish.
Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah sekitar 27° C, dan suhu
maksimumnya 38° C. Tanaman ini tumbuh di daerah tropis dan subtropis, pisang
14
ini tidak dapat tumbuh di dataran tinggi, ketinggian di atas 1600 m dpl.
Kebanyakan pisang tumbuh baik di lahan terbuka, tetapi kelebihan penyinaran
akan menyebabkan terbakar-matahati (sunburn).Tanaman ini juga
sangat sensitif terhadap angin kencang karena dapat menyebabkan daunnya rusak
dan robek, distorsi tajuk dan merobohkan pohonnya. Untuk pertumbuhan
yang optimal, curah hujan yang diperlukan sekitar 200-220 mm, dan kelembapan
tanahnya tidak kurang dari 60-70% dari kapasitas lapangan. Tanah yang paling
baik untuk pertumbuhan Pisang Cavendish adalah tanah liat yang dalam
dan gembur serta yang memiliki pengeringan dan aerasi yang baik. Tanaman ini
toleran terhadap pH 4,5-7,5.
Penyakit
Salah satu jenis penyakit yang kerap menyerang tanaman Pisang
Cavendish adalah layu panama atau sering dikenal dengan nama layu fusarium.
Penyakit ini membuat daun pisang menjadi layu dan mudah putus. Jamur
penyebab penyakit ini adalah Fusarium oxysporum f.sp. cubense, yang mampu
bertahan lama di dalam tanah sebagai klamidospora sehingga sulit untuk
dikendalikan. Sejumlah cara pengendaliannya telah diteliti, namun belum
memberikan hasil yang memuaskan. Contohnya adalah pengendalian
hayati patogen yang ditularkan melalui tanah dan penggunaan
jenis bakteri tertentu untuk mengendalikan patogen yang ditularkan melalui tanah
tersebut.
Selain layu panama, tanaman Pisang Cavendish juga dapat
terkena penyakit Mycosphaerella Leaf Disease Complex (MLDC). Gejala-gejala
yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalahperkembangan tanaman yang buruk,
daun-daun menjadi layu dengan cepat, jumlah daun-daun yang sehat semakin
berkurang, timbulnya tandan yang buruk, buah-buah yang dihasilkan tidak baik,
dan perkembangan buahnya menjadi prematur. Sedangkan, contoh penyakit-
penyakit lain dari Pisang Cavendish adalah Yellow Sigatoka yang disebabkan
oleh M. musicola dan Black Leaf Streak atau Black Sigatoka yang disebabkan
oleh M. fijiensis.
15
Produk Kultur Jaringan
Kultur Jaringan Tanaman Pisang, Tumbuhan pisang dapat dengan mudah
dikulturkan dengan cara :
Kultur kalus
Kultur tunas → lebih mudah propagasi
Kelebihan :
Bebas patogen tertentu kecuali penyakit virus : BBTV dan mosaic
Relatif seragam
Kelemahan :
Kurang tahan penyakit karena terbiasa diperlakukan penuh nutrisi.
Eksplan
Syarat-syarat eksplan yang baik :
Berasal dari induk yang sehat dan subur.
Berasal dari induk yang diketahui jenisnya.
Tempat tumbuh pada lingkungan yang baik.
Ukuran tunas optimal sekitar 5 cm tingginya ( biasanya ukuran tunas yang
bisa dipakai sebagai eksplan adalah tunas yang berukuran antara 5 – 10 cm
), bukan tunas yang baru tumbuh atau yang sudah kelewat besar.
Untuk pisang kapok sering tunas perlu digali lebih dalam dari dalam tanah.
Untuk pisang jenis lain baiknya tunas yang kelihatan dari tanah
Tunas langsung diproses sesegar mungkin dan bila terpaksa jangan
dimasukkan ke dalam kulkas.
Contoh eksplan pisang
Sterilisasi eksplan
Tunas hidup di atas tanah sering banyak tanah yang melekat perlu
dibersihkan hal ini karena pada eksplan tunas pisang mengandung bakteri internal
seperti Pseudomonas dan Erwinia. .
Tahapan sterilisasi eksplan :
Tunas dibersihkan dari sisik dan kulit luar satu lapis.
16
Tunas dicuci dan disikat dengan sabun sampai bersih kemudian ditiriskan.
Tunas diperkecil dengan dikupas seludangnya sampai berbentuk seperti
kerucut di atas kubus ukuran 2 x 2 cm persegi.
Tunas dimasukkan ke dalam gelas piala bersih dan disterilisasi dengan
kloroks 0,5 % selama 5 menit.
Bila perlu sterilisasi dapat juga dilakukan dengan sublimat 0,1 % selama 2
menit kemudian dicuci dengan air steril.
Pekerjaan no 1 sampai dengan no 5 dapat dilakukan di ruang terbuka.
Tunas diperkecil lagi setengahnya di dalam laminar air flow. Dan
langsung disterilisasi dalam 0,5 % kloroks yang mengandung 0,5 / liter
vitamin C selama 5 menit.
Selain cara di atas ada cara yang lain lagi dimana langkah pertama dan kedua
sama seperti di atas.
Kemudian setelah tunas dibersihkan dari sisik dan kulit luar satu lapis,
kemudian tunas direndam dalam larutan formalin 30 % ( setara dengan 10
% formaldehid ) selama 10 menit.
Setelah itu pelepah paling luar dibuang lagi satu lapis lalu tunas direndam
lagi dalam larutan agrimycin 5 gram/ liter selama 12 jam.
Setelah 12 jam perendaman, tunas dicuci untuk menghilangkan sisa-sisa
bakterisida. Setelah itu lalu dimasukkan dalam larutan kloroks / bayclin 50
% dan dibiarkan selama 15 menit.
Kemudian setelah itu dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet,
pelepah tunas dibuka lagi sebanyak 1 – 2 lapis dan kemudian direndam ke
dalam larutan kloroks 20 % selama 10 menit.
Setelah dibilas dengan air steril, tunas direndam ke dalam larutan betadine
20 % selama 10 menit. Ukuran terakhir tunas +/- 1 – 2 cm.
Sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow
17
Kemudian setelah proses sterilisasi eksplan selesai dilakukan eksplan
ditiriskan di atas cawan petri beralaskan kertas saring steril. Eksplan siap di tanam
dalam medium.
Medium kultur jaringan pisang
Medium kultur jaringan pisang pada dasarnya adalah medium MS dengan
modifikasi vitamin dan hormon. Unsur makro dan mikro sama, dengan sedikit
perbedaan yaitu sukrosa 30 gram diganti dengan D-glukosa atau dektrosa ( teknis
atau p.a. ). Menurut pengalaman penggantian ini menyebabkan pertumbuhan lebih
cepat.
Vitamin :
Biotin : 0,05 ppm
Myo inositol : 1 ppm
Thiamin : 0,4 ppm
Piridoksin : 4 ppm
Ascorbic acid : 5 – 50 ppm
Dextrosa : 30 gram
Medium :
P1 : ½ MS + Vitamin + 5 – 7 ppm BA + 100 ml air kelapa
P2 : MS + Vitamin + 5 – 7 ppm BA + 100 ml air kelapa
P3 : MS + Vitamin + 2 ppm IBA / IAA + 0,1 kinetin + 100 ml air kelapa
Keterangan :
P1 : medium inisiasi tunas
P2 : medium perbanyakan tunas
P3 : medium perakaran
18
Untuk tiap jenis pisang susunan medium dapat diubah sesuai kebutuhan.
Pisang yang pertumbuhannya subur seperti Kapok memerlukan BA yang lebih
banyak, dan auksin yang lebih rendah.
Tahapan penanaman :
Inisiasi Tunas
Tunas yang sudah siap tanam dimasukkan ke dalam medium P1 ( medium inisiasi
tunas )
Eksplan dalam medium inisiasi tunas
Inkubasikan selama 2 minggu sampai terlihat warna kehijauan di
eksplannya.
Kupas lagi eksplannya dengan cara aseptis sampai berukuran ½ nya.
Tanam kembali sampai terlihat hijau lagi dan itu artinya eksplan hidup.
Eksplan berubah warna menjadi kehijauan
Belah eksplan menjadi dua bagian dan kemudian diletakkan titik
tumbuhnya menempel pada medium. Tunggu sampai muncul tunas kecil
dan berwarna putih seukuran 2 – 3 mm.
Sebagai catatan proses terjadinya multiplikasi tunas yang pertama biasanya
terjadi antara minggu ke 8 – 12. Dan setelah terjadi multiplikasi tunas ini baru
bisa dilakukan subkultur.
Perbanyakan tunas
Tunas yang tumbuh dipotong dan dipindahkan ( disubkultur ) ke medium
P1 ( medium inisiasi tunas ) lagi dengan hati-hati, jangan sampai rusak. Tunas
yang sudah tumbuh banyak harus sering dipecah dan dipindahkan ( disubkultur )
ke medium P1 ( medium inisiasi tunas ) lagi. Tunas yang cukup besar, besarnya
seragam dan mulai mengalami differensiasi organ lain yaitu daun dipindahkan
( disubkulturkan ) ke P2 ( medium perbanyakan tunas ), satu atau dua kali sesuai
kebutuhan. Tunas kecil dipindahkan ( disubkultur ) ke medium P1 lagi.
19
Perakaran
Tanaman kecil ( planlet ) dalam P2 ( medium perbanyakan tunas ) dipilih
yang seragam kemudian dipindahkan ( disubkultur ) medium P3 ( medium
perakaran ) untuk bisa melakukan proses perakaran. Bila planlet sudah berdaun 4
– 5 helai daun berarti sudah siap keluar untuk dilakukan aklimatisasi.
Catatan :
Dalam proses subkultur pada medium yang sama dapat dilakukan sampai
6 kali subkultur, baru kemudian bisa dipindahkan untuk diakarkan pada medium
P3 ( medium perakaraan ). Dan seluruh proses subkultur dari awal sampai akhir
ada baiknya jangan sampai melebihi 10 kali subkultur karena akan mengurangi
kualitas planlet yang dihasilkan.
Aklimatisasi
Aklimatisasi dapat dilakukan secara majemuk pada bedengan di bawah
tempat yang teduh atau secara tunggal pada gelas bekas aqua yang diisi tanah
subur ditambahkan pasir dengan perbandingan 1 : 1 . Pada saat aklimatisasi ini
umumnya 2 minggu dengan sungkup dan 4 minggu tanpa sungkup. Dan pada saat
itu planlet sudah mencapai tinggi 20 – 25 cm.
Selanjutnya bibit siap ditumbuhkan dalam polibag.
2.6 Masalah dalam kultur jaringan
Dalam kegiatan kultur jaringan tidak sedikit masalah yang dapat muncul
sebagai penghambat atau bahkan penyebab kegagalan. Gangguan kultur dapat
muncul dari bahan yang ditanam, dari lingkungan kultur,maupun dari
manusianya.permasalahan dalam kultur jaringan ada yang dapat di prediksi,dan
adapula yang tidak dapat di prediksi. Untuk yang tidak dapat diprediksi,tidak
dapat diatasi dengan cara preventif,tetapi harus diselesaikan setelah kasusnya
muncul.
Teknik kultur jaringan sampai saat ini memang belum biasa dilaksanakan
oleh para petani, baru beberapa kalangan pengusaha swasta saja yang sudah
20
mencoba melaksanakannya, karena pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman
memerlukan keterampilan khusus dan harus dilatar belakangi dengan ilmu
pengetahuan dasar tentang fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia
dan pertanian. Dengan demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh
kalangan petani biasa. Di samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan mutlak
memerlukan laboratorium khusus, walaupun dapat di usahakan secara sederhana
(dalam ruang yang terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang memadai.
Kemungkinan lain petani akan merasa enggan bekerja secara aseptik..
Pekerjaan kultur jaringan meliputi: persiapan media, isolasi bahan tanam
(eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha
pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang.
Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan
pekerjaan tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan
tersendiri. Karena semua pekerjaan harus dilaksanakan secara hati-hati dan cermat
serta memerlukan kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan
tanaman secara in vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium
sendiri. Bila kita terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam
kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di
impor dari luar negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi
dan fusi protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang
digunakan dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri seperti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa
teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama
untuk pengembangan bioteknologi.
Masalah – masalah yang sering muncul dalam kultur jaringan antara lain :
1. Kontaminasi
Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan
kultur jaringan. Munculnya gangguan ini bila dipahami secara mendasar adalah
merupakan sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekuensi penggunaan yang
diperkaya.
Fenomena kontaminasi sangat beragam, keragaman tersebut dapat dilihat dari
jenis kontaminasinya (bakteri, jamur, virus, dll).
21
Upaya mencegah terjadinya kontaminsi:
Biasakan membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam kultur
jaringan.
Yakinkan bahwa proses sterilisasi media secara baik dan benar.
Lakukan proses penanaman bahan pada keadaan anda nyaman dan cari
waktu yang longgar.
2.Pencoklatan
Pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam
yang sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
Peristiwa pencoklatan sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang biasa
yang sering terjadi.
Pencoklatan umumnya merupakan suatu tanda-tanda kemunduran fisiologi
eksplan dan tidak jarang berakhir pada kematian eksplan.
3. Vitrifikasi
Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang ditandai dengan:
a. terjadinya pertumbuhan yang tidak normal
b. tanaman yang dihasilkan pendek atau tidak normal
c. pertumbuhan batang cenderung ke arah perbesaran diameter
d. tanaman utuhnya menjadi sangat turgescent
e. daunnya tidak memiliki jaringan palisade
4. Variabilitas Genetik
Bila kultur jaringan digunakan untuk upaya perbanyakan tanaman yang
seragam dalam jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upaya pemuliaan tanaman
maka variasi genetik adalah kendala. Variasi genetik dapat terjadi pada kultur in
vitro karena:
Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena terjadinya sub kultur berulang
yang tidak terkontrol Penggunaan teknik yang tidak sesuai.
Variasi genetik yang paling umum terjadi pada kultur kalus dan kultur -
suspensi sel, hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas kromosom
mungkin akibat teknis kultur, media atau hormon.
22
Cara mengatasi masalah variasi genetik tentunya tidak sederhana, harus
memperhatikan aspek yang dikulturkan.
5. Pertumbuhan dan Perkembangan
Masalah utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan
yang ditanam mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu
tidak mati tetapi tidak tumbuh.
Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan preventif menghindari
bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik. Karena awal
pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif membelah,
atau dari sel-sel tua yang muda kembali.
Media juag dapat menjadi sebab terjadinya stagnasi pertumbuhan, karena dari
kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong melakukan proses
pembelahan dan pembesaran dirinya.
Pada proses klutur jaringan yang bersifa inderict embriogenesis, tahapan
pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan mendorong induksi embriosomatik
dari sel-sel kalus. Terjadinya embrio somatik dapat secara endogen atau eksogen.
6. Praperlakuan
Masalah pada kegiatan in vitro bukan hanya dari penanaman eksplan saja,
pertumbuahn dan perkembangannya dlama botol saja tetapi juga sangat bisa
dipengaruhi oleh persyaratan kegiatan prapelakuan. Pada kasus ini masalah akan
muncul bila kegiatan prapelakuaan tidak dilakukan. Prapelakuan dilakukan
umumnya untuk tujuan-tujuan tertentu, secara umum adalah dalam rangka
menghilangkan hambatan. Hambatan apat berupa hambatan kemikalis, fisik,
biologis. Hambatan berupa bahan kimia penanganannya harus dimulai dari
pengenalan senyawa aktif, potensi gangguan, proses reaksi dan alternatif
pengelolaannya.
7. Lingkungan Mikro
Masalah lingkungan inkubator juga tidak bisa diabaiakan karena ini juga
sering menjadi masalah. Suhu ruangan inkubator sangat menentukan optimasi
23
pertumbuhan eksplan, suhu yang terlalu rendah aatau tinggi dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan pada eksplan.
Kebutuhan antara satu tananaman dengan tanaman yang lain berbeda,
namunddemikian solusinya sulit dilakukan mengingat umumnya ruangan
inkubator suatu ruangan laboratorium kultur jaringan tidak bisa dibuat variasi
antara satu ruangan dengan bagian ruangan yang lainnya. Sehingga optimasi
pertumbuhan tidak bisa diharapkan sama antara kultur yang satu dengan kultur
yang lain.
2.7 Kelebihan dan Kelemahan Teknik Kultur Jaringan
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai kelebihan antara lain
seperti berikut.
a. Kultur jaringan merupakan suatu cara menghasilkan jumlah bibit tanaman
yang banyak dalam waktu singkat.
b. Kultur jaringan Tidak memerlukan tempat yang luas.
c. Kultur jaringan Tidak tergantung pada musim sehingga bisa dilaksanakan
sepanjang tahun.
d. Bibit yang dihasilkan Kultur jaringan lebih sehat.
e. Kultur jaringan Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.
Selain mempunyai kelebihan, kultur jaringan ternyata juga mempunyai
kekurangan, seperti berikut.
a. Kultur jaringan Memerlukan biaya besar karena harus dilakukan di dalam
laboratorium dan menggunakan bahan kimia.
b. Kultur jaringan Memerlukan keahlian khusus.
c. Kultur jaringan Memerlukan aklimatisasi ke lingkungan eksternal karena
tanaman hasil kultur biasanya berukuran kecil dan bersifat aseptik serta
sudah terbiasa berada di tempat yang mempunyai kelembapan udara
tinggi.
24
Dengan metode kultur jaringan dapat dihasilkan jumlah bibit tanaman dalam
skala besar dan dalam waktu relatif singkat sehingga lebih memiliki nilai
ekonomis. Dari kelebihan ini Anda dapat belajar cara mengkultur tanaman yang
bernilai jual dengan benar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pendapatan.
Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat pendukung kehidupan
jaringan yang dibiakkan. Yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh
yang steril. Media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil
nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan
berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya.
Ada dua penggolongan media tumbuh: media padat dan media cair. Media padat
pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar. Nutrisi dicampurkan pada agar.
Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air. Media cair dapat bersifat tenang
atau dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan.
Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan
tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri.
Tahapan tersebut, yaitu:
a. Inisiasi Kultur
Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur
dari eksplan
yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru (Wetherell, 1976). Ini
mengusahakan kultur yang aseptik atau aksenik. Aseptik berarti bebas dari
mikroorganisme, sedangkan aksenik berarti bebas dari mikroorganisme yang tidak
diinginkan. Dalam tahap ini juga diharapkan bahwa eksplan yang dikulturkan
akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan memungkinkan dilakukannya
pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling kuat,untuk perbanyakan
(multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya (Wetherell, 1976).
Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya
pencokelatan atau penghitaman bagian eksplan (browning). Hal ini disebabkan
oleh senyawa fenol yang timbul akibat stress mekanik yang timbul akibat
pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari tanaman induk. Senyawa fenol
25
tersebut bersifat toksik, menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat mematikan
jaringan eksplan.
b. Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses pembebasan dari mikroorganisme.
Tujuan sterilisasi yaitu untuk menciptakan kondisi kultur yang steril.
Tahapan Sterilisasi:
1. Sterilisasi peralatan gelas dan stainless dalam suhu 121o di dalam autoklaf.
2. Sterilisasi bahan tanaman
Tanaman induk – sterilisasi bahan tanam/eksplan menggunakan detergen, alcohol,
kloroks 0,5 % dll – direndam dalam bahan sterilant – sterilisasi dalam laminar –
tanaman dipro-kondisi
c. Pembuatan media kultur
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral,
vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar,
gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga
bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur
jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi
atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara
memanaskannya dengan autoclave.
Keberhasilan Kultur Jaringan
1. Genotipe Tanaman
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
morfogenesis eksplan dalam kultur invitro adalah genotip tanaman asal eksplan
diisolasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa respon masing-masing
eksplan tanaman sangat bervariasi tergantung dari spesies, bahkan varietas, atau
tanaman asal eksplan tersebut. Pengaruh genotip ini umumnya berhubungan erat
dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan eksplan, seperti
kebutuhan nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur. Oleh karena itu,
komposisi media, zat pengatur tumbuh dan lingkungan pertumbuhan yang
26
dibutuhkan oleh masing-masing varietas tanaman bervariasi meskipun teknik
kultur jaringan yang digunakan sama
.Perbedaan respon genotip tanaman tersebut dapat diamati pada perbedaan
eksplan masing-masing varietas untuk tumbuh dan beregenerasi. Masing-masing
varietas tanaman berbeda kemampuannya dalam merangsang pertumbuhan tunas
aksilar, baik jumlah tunas maupun kecepatan pertumbuhan tunas aksilarnya. Hal
serupa juga terjadi pada pembentukan kalus, laju pertumbuhan kalus serta
regenerasi kalus menjadi tanaman lengkap baik melalui pembentukan organ-organ
adventif maupun embrio somatik. Regenerasi dan perkembangan organ adventif
dan embrio somatik juga sangat ditentukan oleh varietas tanaman induk.
Perbedaan pengaruh genetik ini disebabkan karena perbedaan kontrol genetik dari
masing-masing varietas serta jenis kelamin tanaman induk
.
2. Media kultur
Perbedaan komposisi media, komposisi zat pengatur tumbuh dan jenis media yang
digunakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang
dikulturkan.
a. Komposisi Media
Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam-garam
anorganik, senyawa organik, zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi respon
eksplan saat dikulturkan. Perbedaan komposisi media biasanya sangat
mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan. Meskipun demikian,
media yang telah diformulasikan tidak hanya berlaku untuk satu jenis eksplan dan
tanaman saja. Beberapa jenis formulasi media bahkan digunakan secara umum
untuk berbagai jenis eksplan dan varietas tanaman, seperti media MS. Namun ada
juga beberapa jenis media yang diformulasikan untuk tanaman-tanaman tertentu
misalnya WPM, VW dll. Media-media tersebut dapat digunakan untuk berbagai
tujuan seperti perkecambahan biji, kultur pucuk, kultur kalus, regenerasi kalus
melalui organogenesis dan embriogenesis. Media yang dibutuhkan untuk
perkecambahan biji, perangsangan tunas-tunas aksilar umumnya lebih sederhana
dibandingkan dengan media untuk regenerasi kalus baik melalui organogenesis
27
maupun embryogenesis.
b. Komposisi hormon pertumbuhan.
Komposisi dan konsentrasi hormon pertumbuhan yang ditambahkan dalam media
sangat
mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang dikulturkan.
Komposisi dan konsentrasi hormon pertumbuhan yang ditambahkan ke dalam
media kultur sangat tergantung dari jenis eksplan yang dikulturkan dan tujuan
pengkulturannya. Konsentrasi hormon pertumbuhan optimal yang ditambahkan ke
dalam media tergantung pula dari eksplan yang dikulturkan serta kandungan
hormon pertumbuhan endogen yang terdapat pada eksplan tersebut. Komposisi
yang sesuai ini dapat diperkirakan melalui percobaan-percobaan yang telah
dilakukan sebelumnya disertai percobaan untuk mengetahui komposisi hormon
pertumbuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan arah pertumbuhan eksplan yang
diinginkan.
Hormon pertumbuhan yang digunakan untuk perbanyakan secara invitro
adalah golongan auksin, sitokinin, giberelin, dan growth retardant. Auksin yang
umum dipakai adalah IAA (Indole Acetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA
(Naphtalena Acetic Acid), dan 2,4-D (2,4-dichlorophenoxy Acetic Acid). Selain
itu beberapa peneliti pada beberapa tanaman menggunakan juga CPA
(Chlorophenoxy Acetic Acid). Sitokinin yang banyak dipakai adalah Kinetin
(Furfuryl Amino Purine), BAP/BA (Benzyl Amino Purine/Benzyl Adenine), 2 i-P
(2-isopentenyl Adenin). Beberapa sitokinin lainnya yang juga digunakan adalah
zeatin, thidiazuron dan PBA (6(benzylamino)-9-(2-tetrahydropyranyl)-9H-
purine). Hormon pertumbuhan golongan giberellin yang paling umum digunakan
adalah GA3, selain itu ada beberapa peneliti yang menggunakan GA4 dan GA7,
sedangkan growth retardant yang sering digunakan adalah Ancymidol,
Paraclobutrazol dan TIBA, AbA dan CCC.
c. Keadaan fisik media.
Media yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah medium padat,
medium semi padat dan medium cair. Keadaan fisik media akan mempengaruhi
28
pertumbuhan kultur, kecepatan pertumbuhan dan diferensiasinya. Keadaan fisik
media ini mempengaruhi pertumbuhan antara lain karena efeknya terhadap
osmolaritas larutan dalam media serta ketersediaan oksigen bagi pertumbuhan
eksplan yang dikulturkan.
Media yang umum digunakan dalam mikropropagasi adalah media semi-
solid (semi padat) dengan cara menambahkan agar. Media semi padat ini
digunakan karena beberapa alasan antara lain: eksplan yang kecil mudah terlihat
dalam media padat, selama kultur eksplan tetap berada pada orientasi yang sama,
eksplan berada di atas permukaan media sehingga tidak diperlukan teknik aerasi
tambahan pada kultur, orientasi pertumbuhan tunas dan akar tetap, dan kalus tidak
pecah seperti jika ditempatkan pada media cair. Namun penambahan agar dalam
beberapa kasus dapat menghambat pertumbuhan karena: agar mungkin
mengandung senyawa penghambat yang dapat menghambat morfogenesis
beberapa kultur atau memperlambat pertumbuhan kultur, eksudasi fenolik dari
eksplan terserap oleh media yang menempel dengan eksplan sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan eksplan, agar harus dicuci bersih dari akar sebelum
diaklimatisasi, dan perlu waktu yang lebih banyak untuk mencuci gelas kultur
misalnya botol-botol harus diautoclave untuk melarutkan agar sebelum dicuci.
3. Lingkungan tumbuh
a) Suhu.
Tanaman umumnya tumbuh pada lingkungan dengan suhu yang tidak sama setiap
saat,
misalnya pada siang dan malam hari tanaman mengalami kondisi dengan
perbedaan suhu yang cukup besar. Keadaan demikian bisa dilakukan dalam kultur
invitro dengan mengatur suhu siang dan malam di ruang kultur, namun
laboratorium kultur jaringan selama ini mengatur suhu ruang kultur yang konstant
baik pada siang maupun malam hari. Umumnya temperatur yang digunakan
dalam kultur in vitro lebih tinggi dari kondisi suhu invivo. Tujuannya adalah
untuk mempercepat pertumbuhan dan morfogenesis eksplan.
29
Pada sebagian besar laboratorium, suhu yang digunakan adalah konstan,
yaitu 25°C (kisaran suhu 17-32°C). Tanaman tropis umumnya dikulturkan pada
suhu yang sedikit lebih tinggi dari tanaman empat musim, yaitu 27°C (kisaran
suhu 24-32°C). Bila suhu siang dan malam diatur berbeda, maka perbedaan
umumnya adalah 4-8°C, variasi yang biasa dilakukan adalah 25°C siang dan 20°C
malam, atau 28°C siang dan 24°C malam. Meskipun hampir semua tanaman dapat
tumbuh pada kisaran suhu tersebut, namun kebutuhan suhu untuk masing-masing
jenis tanaman umumnya berbeda-beda. Tanaman dapat tumbuh dengan baik pada
suhu optimumnya. Pada suhu ruang kultur dibawah optimum, pertumbuhan
eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum pertumbuhan tanaman
juga terhambat akibat tingginya laju respirasi eksplan.
b) Kelembaban relatif.
Kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup
umumnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 80-99%. Jika mulut botol ditutup
agak longgar maka kelembaban relatif dalam botol kultur dapat lebih rendah dari
80%. Sedangkan kelembaban relatif di ruang kultur umumnya adalah sekitar 70%.
Jika kelembaban relatif ruang kultur berada dibawah 70% maka akan
mengakibatkan media dalam botol kultur (yang tidak tertutup rapat) akan cepat
menguap dan kering sehingga eksplan dan plantlet yang dikulturkan akan cepat
kehabisan media. Namun kelembaban udara dalam botol kultur yang terlalu tinggi
menyebabkan tanaman tumbuh abnormal yaitu daun lemah, mudah patah,
tanaman kecil-kecil namun terlampau sukulen. Kondisi tanaman demikian disebut
vitrifikasi atau hiperhidrocity. Sub-kultur ke media lain atau menempatkan planlet
kecil ini dalam botol dengan tutup yang agak longgar, tutup dengan filter, atau
menempatkan silica gel dalam botol kultur dapat membantu mengatasi masalah
ini.
c) Cahaya.
Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam kondisi invivo, kuantitas dan
kualitas cahaya, yaitu intensitas, lama penyinaran dan panjang gelombang cahaya
mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur invitro. Pertumbuhan organ
30
atau jaringan tanaman dalam kultur invitro umumnya tidak dihambat oleh cahaya,
namun pertumbuhan kalus umumnya dihambat oleh cahaya.
Pada perbanyakan tanaman secara invitro, kultur umumnya diinkubasikan pada
ruang penyimpanan dengan penyinaran. Tunas-tunas umumnya dirangsang
pertumbuhannya dengan penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang
diawali dengan pertumbuhan kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini
umumnya adalah lampu flourescent (TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL
menghasilkan cahaya warna putih, selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan
suhu ruang kultur secara drastis (hanya meningkat sedikit). Intensitas cahaya yang
digunakan pada ruang kultur umumnya jauh lebih rendah (1/10) dari intensitas
cahaya yang dibutuhkan tanaman dalam keadaan normal. Intensitas cahaya dalam
ruang kultur untuk pertumbuhan tunas umumnya berkisar antara 600-1000 lux.
Perkecambahan dan inisiasi akar umumnya dilakukan pada intensitas cahaya lebih
rendah.
Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau photoperiodisitas juga
mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Lama penyinaran
umumnya diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman sesuai dengan kondisi
alamiahnya. Periode terang dan gelap umumnya diatur pada kisaran 8-16 jam
terang dan 16-8 jam gelap tergantung varietas tanaman dan eksplan yang
dikulturkan. Periode siang/malam (terang/gelap) ini diatur secara otomatis
menggunakan timer yang ditempatkan pada saklar lampu pada ruang kultur.
Dengan teknik ini penyinaran dapat diatur konstan sesuai kebutuhan tanaman.
4. Kondisi Eksplan
Pertumbuhan dan morfogenesis dalam mikropropagasi sangat dipengaruhi
oleh keadaan jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Selain faktor
genetis eksplan yang telah disebutkan di atas, kondisi eksplan yang
mempengaruhi keberhasilan teknik mikropropagasi adalah jenis eksplan, ukuran,
umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan
.Meskipun masing-masing sel tanaman memiliki kemampuan totipotensi, namun
masing-masing jaringan memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk tumbuh
dan beregenerasi dalam kultur jaringan. Oleh karena itu, jenis eksplan yang
31
digunakan untuk masing-masing kultur berbeda-beda tergantung tujuan
pengkulturannya.
Umur eksplan sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut
untuk tumbuh dan beregenerasi. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan
tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi
dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Jaringan muda
umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum
kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan
tua. Oleh karena itu, inisiasi kultur biasanya dilakukan dengan menggunakan
pucuk-pucuk muda, kuncup-kuncup muda, hipokotil, inflorescence yang belum
dewasa, dll. Jika eksplan diambil dari tanaman dewasa, rejuvenilisasi tanaman
induk melalui pemangkasan atau pemupukan dapat membantu untuk memperoleh
eksplan muda agar kultur lebih berhasil
. Ukuran eksplan juga mempengaruhi keberhasilan kultur. Eksplan dengan
ukuran kecil lebih mudah disterilisasi dan tidak membutuhkan ruang serta media
yang banyak, namun kemampuannya untuk beregenerasi juga lebih kecil sehingga
dibutuhkan media yang lebih kompleks untuk pertumbuhan dan regenerasinya.
Sebaliknya semakin besar eksplan, maka semakin besar kemungkinannya untuk
membawa penyakit dan makin sulit untuk disterilkan, membutuhkan ruang dan
media kultur yang lebih banyak. Ukuran eskplan yang sesuai sangat tergantung
dari jenis tanaman yang dikulturkan, teknik dan tujuan pengkulturannya.
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kultur Jaringan adalah teknik memperbanyak tanaman dengan
memperbanyak jaringan mikro tanaman yang ditumbuhkan secara invitro menjadi
tanaman yang sempurna dalam jumlah yang tidak terbatas. Yang menjadi dasar
kultur jaringan ini adalah teori totipotensi sel yang berbunyi “setiap sel organ
tanaman akan mampu tumbuh menjadi tanaman yang sempurna jika ditempatkan
di lingkungan yang sesuai. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memperbanyak
tanaman dengan waktu yang lebih singkat. Teknik kultur jaringan tidak dapat
dilakukan di sembarang tempat. Teknik ini harus dilakukan di dalam ruangan
khusus yang steril agar terbebas dari kontaminasi udara luar. Kultur jaringan
dilakukan di dalam suatu laboratorium khusus yang digunakan untuk kultur
jaringan. Laboratorium berfungsi untuk mengkondisikan kultur dalam suhu dan
pencahayaan terkontrol yang dilengkapi dengan alat dan bahan untuk pembuatan
media.
33
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, L.W. 1990. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Bogor : IPB
Kanisius. 1994. Teknik kultur jaringan. Jogjakarta : penerbit kanisius.
Martino, D. 1997. Tanggap pengkalusan eksplan embrio melinjo (Gnetum
gnemon) tehadap berbagai komposisi NAA dan BAP kultur in vitro.
Jambi : bulletin agronomi universitas jambi.
Yuliarti, nurheti. 2010. Kultur jaringan tanaman sekala rumah tangga. Jogyakarta
: lily publisher
Anonim. 2013. Kultur jaringan . http://id.wikipedia.org/wiki/Kultur_jaringan.
diakses hari kamis tanggal 14 Maret 2013.
Nisa, C dan Rodina. 2005. Kultur jaringan beberapa kultivar buah pisang dengan
pemberiaan campuran NAA dan Kinetin. J.BIOSCIENTIAE. volume 2(2.23-36)
34