25
Kultur In Vitro KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-nyalah sehingga Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar, Makalah ini disusun dengan tujuan agar pembaca dapat memperluas ilmu dan wawasan tentang Kultur In Vitro Khususnya Penelitian tentang Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Secara In Vitro Dengan Menggunakan Medium Murashige Dan Skoog Dengan Penambahan Hormon Benzylaminopurin Dan Kinetin ”. Di dalam proses penyusunan makalah ini terdapat hambatan yang dihadapi, namun dengan bantuan, bimbingan, dorongan dan petunjuk berbagai pihak, terutama Dosen yang bersangkutan. Olehnya itu kami mengucapkan terima kasih. Kami menyadari bahwa apa yang ditulis dalam Makalah ini masih jauh dari apa yang diharapkan, oleh sebab itu kami mohon adanya kritik dan saran dalam rangka perbaikan/ penyempurnaan dimasa yang akan datang. Demikan penyusunan tugas ini dan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penyusunnya. Maros, …………….. 2010 i

Makalah Kultur Jaringan 2010

  • Upload
    faizal

  • View
    1.194

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kultur In VitroKATA PENGANTARPuji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-nyalah sehingga Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar, Makalah ini disusun dengan tujuan agar pembaca dapat memperluas ilmu dan wawasan tentang Kultur In Vitro Khususnya Penelitian tentang ³ Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Secara In Vitro Dengan Menggunakan Medium Murashige Dan Skoog Dengan Penambahan Hormon Benzylaminopurin Dan Kinetin ´. Di dalam proses penyusunan m

Citation preview

Page 1: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-nyalah

sehingga Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar, Makalah ini disusun dengan tujuan agar

pembaca dapat memperluas ilmu dan wawasan tentang Kultur In Vitro Khususnya Penelitian tentang

“ Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Secara In Vitro Dengan Menggunakan Medium Murashige Dan

Skoog Dengan Penambahan Hormon Benzylaminopurin Dan Kinetin ”.

Di dalam proses penyusunan makalah ini terdapat hambatan yang dihadapi, namun dengan

bantuan, bimbingan, dorongan dan petunjuk berbagai pihak, terutama Dosen yang bersangkutan. Olehnya

itu kami mengucapkan terima kasih.

Kami menyadari bahwa apa yang ditulis dalam Makalah ini masih jauh dari apa yang diharapkan,

oleh sebab itu kami mohon adanya kritik dan saran dalam rangka perbaikan/ penyempurnaan dimasa yang

akan datang.

Demikan penyusunan tugas ini dan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi

penyusunnya.

Maros, …………….. 2010

Penyusun

i

Page 2: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................. 1

B. Tujuan .............................................................................................................. 4

BAB II METODOLOGI PENELITIAN.................................................................... 5

A. Alat Dan Bahan................................................................................................. 5

B. Metode.............................................................................................................. 5

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 3

A. Tabel Hasil Pengamatan................................................................................... 6

B. Pembahasan ..................................................................................................... 7

BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 9

Kesimpulan....................................................................................................... 9

Saran ................................................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 10

ii

Page 3: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman pisang telah ada sejak manusia ada. Namun saat itu pisang masih merupakan

tanaman liar yang tidak dibudidayakan, hal ini disebabkan oleh karena manusia pada awal

kebudayaan hanya berperan sebagai pengumpul makanan dari alam tanpa perlu untuk

menanamnya kembali. Namun setelah kebudayaan pertanian menetap dimulai, pisang termasuk

dalam golongan tanaman pertama yang dipelihara (Suyanti dan Supriyadi, 2008).

Di kalangan masyarakat yang tinggal di kawasan Asia Tenggara, diduga pisang telah

lama dimanfaatkan terutama bagian tunas dan pelepahnya yang diolah sebagai sayur. Sedangkan

pada saat ini bagian-bagian lain dari tanaman pisang pun juga telah dimanfaatkan (Suyanti dan

Supriyadi, 2008).

Pisang merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan kini tanaman pisang

telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Buah pisang sangat popular dan disukai

oleh semua lapisan masyarakat. Pisang yang dikonsumsi segar sebagai buah meja ini berasal dari

persilangan alamiah antara Musa acuminate dengan Musa balbisiana yang kini turunannya

dikenal lebih dari ratusan jenis pisang, yaitu pisang meja, pisang rebus (olahan), dan pisang hias.

Adapun jenis dari pisang meja yang terkenal antara lain ambon kuning, ambon hijau (ambon

lumut), ambon putih dan Cavendish (Sunarjono, 2006).

Tanaman pisang yang dibudidayakan pada umumnya diploid, triploid dan tetraploid.

Buah pisang banyak yang tidak berbiji (partenokarpi). Jenis pisang yang dikonsumsi segar ( buah

meja) tidak berbiji oleh karena jumlah kromosomnya berlipat tiga (3n) yang disebut dengan

istilah triploid. Sedangkan pisang meja yang berbiji (diploid) adalah pisang batu (klutuk) dan

sedikit biji pisang siem dan kapok (kapok kuning lebih manis daripada kapok putih) (Sunarjono,

2006).

Pada umumnya pisang ambon mempunyai daging buah yang lunak, rasa daging buahnya

manis dan beraroma kuat. Sebagai buah meja pisang ambon dapat digunakan sebagai makanan

pemula pada bayi. Adapun berat tiap tandannya berkisar antara 15 – 25 kg yang terdiri dari 8 –

14 sisir dan setiap sisir terdiri dari 14 – 24 buah pisang. Panjang buahnya antara 15 – 20 cm

dengan diameter 3 – 4 cm. Selain dikonsumsi sebagai buah segar, jenis pisang ambon ini sangat

cocok untuk diolah menjadi sale pisang, sari buah dan selai (Suyanti dan Supriyadi, 2008).

1

Page 4: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

Untuk varietas unggul pisang yang diajurkan untuk pengembangan dalam budidaya

adalah pisang ambon kuning, cavendish, raja bulu, dan barangan (Sunarjono, 2006).

Menurut Suyanti dan Supriyadi (2008) dan Sunarjono (2006) tanaman pisang pada

umumnya selalu diperbanyak secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan anakan (sucker) yang

tumbuh dari bonggolnya Dengan acara pemisahan anakan ini dari satu induk pisang dapat

diperoleh sekitar 5 – 10 anakan pertahun (Imelda, 1991). Sedangkan menurut Cahyono (1995)

untuk memperbanyak bibit pisang dapat juga dilakukan dengan cara membelah-belah bonggol

dari tanaman pisang (sesuai dengan jumlah mata tunas yang ada), dan setiap potongan itu sering

disebut dengan istilah bit. Namun menurut Priyono et al., (2000) kendala pengadaan bibit unggul

secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dalam

waktu yang singkat. Untuk mengatasi kendala tersebut maka pada saat ini tanaman pisang selain

dari anakan juga diperbanyak dengan menggunakan kultur jaringan tanaman.

Salah satu alternatif pengadaan bibit pisang secara vegetatif adalah dengan cara kultur

jaringan atau kultur in vitro. Kultur jaringan merupakan suatu tehnik penanaman dengan

menggunakan satu bagian kecil dari tubuh tanaman yang biasa disebut dengan eksplan. Eksplan

dapat berupa sel, jaringan atau organ tumbuhan. Eksplan ditanam pada media tertentu (media

buatan), serta dalam kondisi aseptic. Dikarenakan ukuran yang kecil, tehnik ini juga disebut

dengan istilah teknik mikropropagasi (Katuuk, 1989).

Dengan teknik kultur tunas pucuk secara in vitro, maka pelipat gandaan tunas dapat

dilakukan dengan cepat, sehingga dalam waktu satu tahun bisa dihasilkan puluhan sampai

ratusan ribu bibit yang berasal dari satu tunas pucuk. Meskipun demikian, daya multiplikasinya

dapat bervariasi tergantung pada jenis atau kultivar (Vuylsteke dan Lenghe, 1984). Dengan

demikian, masalah keterbatasan bibit dapat diatasi. Keunggulan lain dari bibit hasil teknik in

vitro adalah bersih dari hama dan penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan atau bakteri, karena

diproduksi secara aseptic (Imelda, 1991).

Saat ini teknik perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah banyak diterapkan pada

tanaman pangan industri salah satunya pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.). Para petani

penanam pisang sangat menyukai bibit pisang hasil kultur jaringan karena bila dibandingkan

dengan bibit asal biji atau anakan biasa, bibit pisang hasil kultur jaringan pertumbuhannya lebih

pesat, seragam, dapat disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, dan bebas

patogen berbahaya (Avivi dan Ikrarwati, 2004).

2

Page 5: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

Dalam kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal adalah kultur dengan

eksplan tunas dari bonggol. Sebagai eksplan adalah tunas dari bonggol yang tingginya 5 – 10 cm.

dan biasanya kalau eksplannya berupa tunas dari bonggol mengandung bakteri internal seperti

Pseudomonas dan Erwinia (Gunawan, 1995).

Pada perbanyakan tanaman hortikultura, dianjurkan melalui tunas aksilair, karena dapat

menghasilkan bibit yang true-to-type (sesuai dengan sifat induknya). Tunas adventif , terutama

yang melalui fase kalus, tidak dianjurkan dalam perbanyakan tanaman hortikultura, kecuali

untuk tujuan seleksi dan variasi. Tunas adventif langsung, juga menunjukkan kemungkinan

variasi, hanya dalam taraf lebih rendah daripada regenerasi melalui fase kalus (Gunawan, 1995).

Pisang termasuk salah satu jenis tanaman hortikultura. Kultivar pisang yang telah

berhasul dikulturkan secara in vitro, antara lain Cavendish (Matsumoto dan Yamaguchi, 1988;

Bhagyalaksmi dan Singh, 1995), Dwarf Cavendish (Vuylsteke dan Langhe, 1984; Banerjee dan

Langhe, 1985; Jarret dkk., 1985a; Fitchet dan Winnaar, 1988), Ambon (Hoesen, 1990; Setiyoko,

1995), Basrai (Ganapathi dkk., 1992), Maricongo (Gupta, 1986), Poyo ( ateille dan Foncelle,

1988), Saba (Damasco dan Barba, 1984; Jarret dkk., 1985b). Dan Willams (Hamill dkk., 1993).

Dari sekian banyak jenis media dasar yang digunakan dalam teknik kultur jaringan,

tampaknya media MS (Murashige dan Skoog) mengandung jumlah hara organik yang layak

untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Gunawan, 1990).

Pada kultur in vitro tanaman pisang, ada beberapa macam media dasar yang digunakan.

Beberapa contoh resep dasar yang digunakan, yaitu medium dasar Murashige dan Skoog (MS)

(Swamy dkk., 1983; Cronauer dan Krikorian, 1984; Alvard dkk., 1993; Setiyoko, 1995), media

dasar Murashige dan Tucker (MT) (Fitchet dan Winnaar, 1988), atau media dasar White

(Ganapathi dkk., 1992).

Karena untuk mengumpulkan zat-zat kimia bagi pembuatan suatu media kultur jaringan

dibutuhkan biaya besar, juga untuk menimbang dan mencampur bahan-bahan tersebut ternyata

cukup banyak menyita waktu, belum lagi ditambah kemungkinan terjadi kesalahan dalam

mempersiapkan kultur media tersebut, maka sekarang banyak laboratorium yang menggunakan

media kultur siap pakai, yang banyak terdapat dalam perdagangan. Beberapa pabrik sekarang

menjual campuran dari bahan kimia penyusun media tersebut, dalam bentuk kering atau serbuk.

Sebagai hasil dari pengalaman dalam menanam materi tumbuhan yang cukup banyak macamnya,

doctor T. Murashige telah membuat sejumlah formulasi dari media untuk propagasi secara in

3

Page 6: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

vitro yang memenuhi kebutuhan masa sekarang. Beberapa industri sekarang telah menjual

campuran mineral dan zat organic dari Murashige dan media organic, dengan atau tanpa agar.

Juga berbagai formulasi Murashige yang dibuat khusus untuk spesies-species yang biasa

dipropagasikan telah terdapat dalam perdagangan. Beberapa jenis media kultur jaringan yang

lain juga bisa didapatkan. Untuk membuat media kultur dari campuran serbuk yang siap pakai,

dilakukan dengan hanya melarutkan dalam sejumlah tertentu air yang kualitasnya memenuhi

persyaratan,lalu menyesuaikan pH-nya, memasukkan dalam wadah-wadah, dan kemudian

mensterilkan. (Wetherell, 1982)

Menurut Wetherell (1982) peran sitokinin dalam kultur in vitro mempunyai dua peran

penting yaitu merangsang pembelahan sel serta pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar dan

tunas adventif, tetapi kadar sitokinin yang optimum ini dapat menghambat pertumbuhan dan

pembentukan akar. Sitokinin alami yang biasa digunakan adalah zeatin (4-hydroksi-3-methyl-

trans-2-butenylaminopurine) dan 2-iP (N6-(2-isopentenyl adenine). Sitokinin buatan meliputi

BAP / BA ( 6-benzylaminopurine/benzyladenine ) dan kinetin (6-furfurylaminopurine) (George

dan Sherrington, 1984). Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan

pembelahan sel dan morfogenesis. (Sriyanti dan Wijayani, 1994).

Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang terbentuknya tunas pada

kultur in vitro tanaman pisang adalah sitokinin (BAP). Konsentrasi yang ditambahkan ke dalam

medium berkisar antara 0,7 – 10 mgl-1 (Damasco dan Barba, 1984; Gupta, 1986; Hoesen, 1990;

Widayati, 1992; Hamill dkk., 1993). Selain itu, ada juga yang menggunakan kinetin dengan

konsentrasi antara 0,7 – 5 mgl-1 (Gupta, 1986; Fitcher dan Winnaar, 1988; Setiyoko, 1995).

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon eksplan tunas pisang (Musa paradisiaca

L. cv. Ambon) bila konsentrasi BAP dan Kinetin hanya satu kombinasi.

4

Page 7: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A. Alat Dan Bahan

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro, CV. Agri Bio Tech,

Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian lebih kurang selama 3 bulan , dimulai dari bulan September

2009 sampai dengan Desember 2009.

Pisang yang digunakan untuk penelitian ini adalah pisang ambon ( Musa paradisiaca L.

cv. Ambon ) yang diambil dari kebun milik CV. Agri Bio Tech, di kampung Jambon Sleman.

Bahan yang digunakan untuk eksplan adalah tunas yang sedang tumbuh dari bonggol tumbuhan

pisang, dengan diameter antara 5 – 10 cm. Sedangkan medium yang digunakan adalah medium

dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) siap pakai buatan Duchefa Biochemie, Belanda. Gula

yang ditambahkan adalah gula biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Agar yang dipakai

adalah agar biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Hormon yang diitambahkan adalah BAP

9 ppm dan kinetin. 1 ppm. Medium diatur pH-nya kurang lebih 5,8. Medium dimasukkan ke

dalam botol-botol kultur dan disterilkan menggunakan autoclave. (121 ºC, 15 menit).

B. Metode

Tunas tumbuhan pisang dicuci dan disikat sampai bersih dan bagian luar yang kering dan

kotor dibuang. Setelah itu direndam dalam air sabun selama 15 menit dan setelah lima belas

menit kemudian air sabun dibuang lalu dibilas dengan air mengalir selama 15 menit. Kemudian

diambil dan ditiriskan. Kemudian selanjutnya eksplan yang berupa tunas dari bonggol pisang

dilakukan sterilisasi dengan cara pembakaran sebanyak tiga kali. Setelah itu eksplan di bawa ke

dalam laminar air flow, lalu tunas dari bonggol pisang tersebut diletakkan dalam cawan petri,

lalu dikupas lagi dengan menggunakan scalpel hingga diameter bagian dasarnya berukuran 1 -

1,5 cm. Eksplan dipegang dengan menggunakan pinset dan ditanam dalam botol kultur. Satu

botol kultur berisi 1 eksplan. Untuk tiap perlakuan menggunakan 5 ulangan. Botol kultur

dipelihara dalam ruang kultur, dan diberi penyinaran dengan lampu TL 40 watt secara kontinyu

selama 8 jam sehari, pada suhu 26 °C. Penggantian medium dilakukan apabila terjadi

pencoklatan pada medium. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 2, 4, 6, dan 8 setelah tanam.

Pengamatan dilakukan secara kualitatif, yaitu ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya

tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk.

5

Page 8: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tabel Hasil Pengamatan

Setelah dilakukan pengamatan tentang ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya

tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk maka hasilnya bisa

dilihat pada tabel 1 sampai dengan tabel 4 di bawah ini :

Tabel 1. Pengamatan pembentukan kalus pada eksplan

BAP : KIN(ppm)

MINGGU KE2 4 6 8

9:1

+ + + +

+ + + +

+ + + +

+ + + +

+ + + +

Keterangan :

+ = terbentuk kalus

- = tidak terbentuk kalus

Tabel 2.Pengamatan pembentukan tunas pada eksplan

BAP : KIN(ppm)

MINGGU KE2 4 6 8

9:1

- + + +

- + + +

- + + +

- + + +

- + + +

Keterangan :

+ = sudah terbentuk tunas

- = belum terbentuk tunas

6

Page 9: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

Tabel 3.Pengamatan jumlah tunas yang terbentuk pada eksplan

BAP : KIN(ppm)

MINGGU KE2 4 6 8

9:1

- 1 2 4

- 1 1 2

- 1 2 3

- 1 1 2

- 1 3 4

Rata-rata - 1 1,8 3

Keterangan :

- = belum terbentuk tunas

Tabel 4.Pengamatan panjang tunas yang terbentuk pada eksplan ( dalam cm )

BAP : KIN(ppm)

MINGGU KE2 4 6 8

P1 Tunas

P1 Tunas

P1 Tunas

1

P1 Tunas

2

P1 Tunas

3

P1 Tunas

1

P1 Tuna

s 2

P1 Tunas

3

P1 Tunas

4

9:1

- 0,4 1,5 1,2 - 4 3 2 2

- 0,7 2,5 - - 5,5 4,8 - -

- 0,3 1,7 1,5 - 5,2 1,4 1,4 -

- 0,6 3 - - 6,5 5,5 - -

- 0,5 1,8 1 0,5 2,3 1,7 1 0,7

Rata-rata - 0,5 1,63 3,83

B. Pembahasan

Pada medium MS yang ditambahkan BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm memperlihatkan

hasil yang bagus, yaitu respon pertumbuhan yang dimulai dengan terbentuknya kalus pada

bagian bekas irisan luka di minggu kedua setelah penanaman eksplan. Hal ini terjadi hampir

pada seluruh eksplan yang ditanam. Adapun warna kalus yang terbentuk adalah putih

kekuningan dan sifat kalus yang terjadi adalah remah. George dan Sherrington ( 1984 )

menyebutkan bahwa keseimbangan dan interaksi antara auksin dan sitokinin, juga bisa

menyebabkan pembentukkan kalus. Demikian juga dengan keseimbangan dan interaksi antara

7

Page 10: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen . Di duga penambahan BAP dan Kinetin

mempengaruhi terbentuknya kalus pada eksplan tunas apikal pisang.

Pada pengamatan minggu ke empat setelah penanaman terlihat eksplan sudah mulai

membentuk tunas. Pembentukkan tunas ini dimungkinkan karena adanya kandungan sitokinin

yang tinggi pada media penanaman eksplan (BAP 9 ppm dan kinetin 1 ppm). Fungsi sitokinin

adalah merangsang pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar. BAP dan kinetin merupakan zat

pengatur tumbuh dari golongan sitokinin, maka proses pembentukan dan perbanyakan tunas

dapat berjalan. Pada minggu ke empat, rata-rata tunas yang terbentuk adalah satu tunas dengan

rerata panjang tunas 0,5 cm.

Pada minggu keenam setelah penanaman, terjadi penambahan jumlah tunas yang

terbentuk, yaitu rerata jumlah tunas yang terbentuk 1,8 tunas dengan panjang rerata tunas yang

terbentuk 1,63 cm. Adanya penambahan rerata jumlah tunas yang terbentuk dan rerata panjang

tunas yang terbentuk ini menunjukkan adanya pengaruh hormon BAP dan kinetin.

Proses penambahan jumlah dan panjang tunas yang terjadi tidak berhenti di minggu ke

enam saja akan tetapi terus berjalan sampai ke minggu ke delapan. Jumlah tunas yang terbentuk

maupun panjang tunas yang terbentuk juga semakin bertambah, yaitu rerata tunas yang terbentuk

3 tunas dengan rerata tunas yang terbentuk 3,13 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh zat

pengatur tumbuh baik BAP maupun sitokinin masih berjalan.

Dari pengamatan minggu kedua sampai dengan minggu ke delapan, eksplan baru

menunjukkan proses pembentukan, multiplikasi, dan pemanjangan tunas, namun eksplan belum

membentuk akar. Hal ini disebabkan dalam media kultur hanya terdapat zat pengatur tumbuh

BAP dan kinetin dimana keduanya merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin yang

merangsang pembelahan sel, pembentukan serta perbanyakan tunas aksilar, akan tetapi

menghambat proses pembentukan dan pemanjangan akar. Diduga kandungan auksin endogen

yang terdapat di dalam eksplan belum cukup untuk merangsang terjadinya pembentukkan akar.

BAB IV

PENUTUP

8

Page 11: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

Kesimpulan

Eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) yang ditanam pada media

MS + BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm menunjukkan respon pembentukan tunas dan

multiplikasi tunas. Jumlah rerata tunas yang terbentuk adalah 3 tunas dengan rerata panjang

tunas 3,13 cm.

Saran

Sebaiknya dalam melakukan penelitian, kita harus memperhatikan prosedur kerja

agar penelitian yang kita lakukan dapat menghasilkan suatu kajian yang selanjutnya bisa

diaplikasikan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

9

Page 12: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

Himawan Achmad and Surono Agung, 2010, Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Secara In

Vitro Dengan Menggunakan Medium Murashige Dan Skoog Dengan Penambahan Hormon

Benzylaminopurin Dan Kinetin, CV. AGRI BIO TECH, Ruang MP-1. 6 Gedung Fakultas

FMIPA Universitas Brawijaya Malang, Malang.

Alvard, D., F. Cote and C Teisson, 1993, Comparison of Methodes of Liquid Medium

Culture for Banana Micropropagation, Plant Cell, Tissue and Organ Cult., 32, 55 – 60.

Avivi, S. dan Ikrarwati, 2004, Mikropropagasi Pisang Abaca ( Musa textillis, Nee ) melalui

teknik Kultur Jaringan, Ilmu Pertanian Vol. II No. 2, 27 – 34.

Banerjee, N. and E. De Langhe., 1985, A Tissue Culture Technique for Rapid Clonal

Propagation and Storage Under Minimal Growth Condition of Musa, Plant Cell Reports, 4,

351 – 354.

Bhagyalakshmi and N. S. Singh, 1995, Role of Liquid Versus Agar-gelled Media in Mass

Propagation and Ex Vitro Survival in Bananas, Plant Cell, Tissue and Organ Cult, 41,71-73.

Cahyono, B., 1995, Pisang, Budidaya dan Analisis Usahatani Cetakan Pertama, Penerbit

Kanisius, Yogyakarta.

Cronauer, S. S. and A. D. Krikorian, 1984, Multiplication of Musa from Excised Stem Tips,

Ann. Bot., 53, 321 – 328.

Damasco, O. P. and R. C. Barba, 1984, In Vitro Culture of Saba Banana [ Musa sp. cv. Saba

( BBB ) ] Phil. Agr., 67, 351 – 358.

Fitchet, M. and W. D. Winnaar, 1988, Effect of Sterillants and Nutrient Media on the

Establishment of Shoot Tips of Two Banana Cultivars in Culture, Subtropika 9(3), 12 – 16.

Ganapathi, T. R., P. Suprasanna, V. A. Bapat and P. S. Rao, 1992, Propagation of Banana

Through Encapsulated Shoot Tips, Plant Cell Rep., 11, 571 – 575.

George, E. F. and P. D. Sherrington., 1984, Plant Propagation by Tissue Culture, Handbook

and Directory of Commercial Laboratories, Exegetic Ltd. England, 184-330.

Gunawan, L.W., 1990, Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan,

Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB, Bogor, 304

Gunawan, L. W., 1995, Teknik Kultur In Vitro Dalam Hortikultura, Cetakan I, PT. Penebar

Swadaya, Jakarta, 35, 87.

10

Page 13: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

Gupta, P. P., 1986, Eradication of Mosaic Disease and Rapid Clonal Multiplication of

Bananas and Plantains Through Meristem Tip Culture, Plant Cell, Tissue and Organ Cult., 6,

33 – 39.

Hamill, S. D, S. L. Sharrock and M. K. Smith, 1993, Comparison of Decontamination

Methods Used In Initiation of Banana Tissue Cultures from Field-Collected Suckers, Plant

Cell, Tissue and Organ Cult, 33, 343 – 346.

Hoesen, D. S. H., 1990, Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Adenin Dan Benzyl Aminopurine

Pada Perbanyakan Tanaman Pisang ( Musa sp ) Kultivar Ambon, Raja Bulu, dan Tanduk

Secara In Vitro, Prosiding Seminar Biologi Dasar I, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Biologi, LIPI, Bogor, 43 – 48.

Imelda, M., 1991, Penerapan Teknologi In Vitro Dalam Penyediaan Bibit Pisang, dalam

Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer Untuk Industri, PAU

Bioteknologi IPB, Bogor, 72 – 76.

Jarret, R. L., J. B. Fisher and R. E. Litz, 1985a, Organ Formation in Musa Tissue Cultures, J.

Plant Physiol, 121, 123 – 130.

Jarret, R. L., W. Rodriguez and R. Fernandez, 1985b, Evaluation, Tissue Culture

Propagation, and Dissemination of ‘Saba’ and’Pelipita’ Plantains In Costa Rica, Sci. Hort.,

25, 137 – 147.

Katuuk, J. R. P., 1989, Teknik Kultur Jaringan Dalam Mikropropagasi Tanaman,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Proyek

Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 3 - 6.

Mateille, T. and Foncelle, B., 1988. Micropropagation of Musa AAA cv Poyo in The Ivory

Coast, Tropical Agricultural (Trinidad), 65, 325 - 328.

Matsumoto, K. and H. Yamaguchi, 1989, Nonwogen Materials as a Supporting Agent for In

Vitro Culture of Banana Protocorm-Like Bodies, Trop. Agric. ( Trinidad ) 66 ( 1 ), 8-10.

Meldia, Y., Winarno, M., dan Sunyoto., 1992, Pengaruh IAA dan BAP Terhadap Inisiasi dan

Multiplikasi Tunas Pada Beberapa Varietas Pisang Secara In Vitro, Penelitian Hortikultura,

5, 23-31.

Priyono, D. Suhandi, dan Matsaleh., 2000, Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh IAA dan 2-IP

pada Kultur Jaringan Bakal Buah Pisang, Jurnal Hortikultura. 10 (3) , 183 – 190.

11

Page 14: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

Setiyoko, B., 1995, Kultur Meristem Tanaman Pisang ( Musa paradisiacal L. ) Kultivar

Ambon Untuk Memperoleh Tanaman Yang Bebas Dari Cucumber Mosaic Virus, Skripsi,

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.

Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani, 1994, Teknik Kultur Jaringan, Yayasan Kansius. Yogyakarta,

18, 54, 57, 63, 67, 69, 82-83.

Sunarjono, H. Drs., 2006, Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah, Penebar Swadaya, Jakarta, 66 -

67.

Surono, A. dan A. Himawan, 2009, Perbanyakan Tiga Kultivar Pisang ( Musa paradisiaca L.

) Menggunakan Medium Murashige dan Skoog (MS) Instan dan Variasi Hormon

Benzylaminopuryn ( BAP ), dalam Prosiding Bioteknologi Seminar Nasional Biologi XX

dan Kongres Perhimpunan Biologi Indonesia XIV, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 44

- 49.

Suyanti dan A. Supriyadi, 2008, Pisang, Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar, Edisi

revisi, Penebar Swadaya, Jakarta, 37, 53 – 56.

Swamy, D. R., S. Rao dan E. K. Chacko, 1983, Tissue Culture Propagation Of Banana,

Scientica Hortic., 18, 247 – 252.

Vuysteke, D. & E. D. Langhe, 1984, Feasibility of in vitro propagation of bananas and

plantains. Trop. Agric. ( Trinidad ) 62(4): 323 – 328.

Wetherel, D. F., 1982, Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro, Avery Publishing

Group Inc, New Jersey, 51.

Widayati, E., 1992, Laporan Latihan Kultur Jaringan Pisang di Los Banos dan Davao,

Philipina, Sub Balai Penelitian Holtikultura, Malang, 6.

12

Page 15: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

13

Page 16: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

14

Page 17: Makalah Kultur Jaringan 2010

Kultur In Vitro

15