37
HUKUM LAUT MARINE SCIENTIFIC RESEARCH Oleh: Ayu Skrepsia Hadiwiguno 1206264032 Shanna Priangka Ramadhanti 1206209406

Makalah Laut (Msr)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Marine scientific Research

Citation preview

Page 1: Makalah Laut (Msr)

HUKUM LAUTMARINE SCIENTIFIC RESEARCH

Oleh:

Ayu Skrepsia Hadiwiguno 1206264032

Shanna Priangka Ramadhanti 1206209406

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

2015

Page 2: Makalah Laut (Msr)

Pendahuluan

The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS,

Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982) menetapkan kerangka hukum tentang

ketentuan untuk melaksanakan kegiatan di laut dan perairan. UNCLOS, dalam

Pembukaan, menyebutkan “keinginan untuk menyusun [...] tatanan hukum untuk laut

dan samudera yang akan [...] memajukan [...] studi [...] dari lingkungan laut”. Bagian

XIII dari UNCLOS sepenuhnya ditujukan untuk subjek penelitian ilmiah kelautan

(marine scientific research). Majelis Umum PBB telah secara konsisten menyoroti

pentingnya ilmu kelautan untuk memberantas kemiskinan, memberikan kontribusi

untuk ketahanan pangan, melestarikan lingkungan laut di dunia dan sumber daya,

membantu untuk memahami, memprediksi, dan menanggapi peristiwa alam, dan

mempromosikan pembangunan berkelanjutan dari lautan dan laut.1

Penelitian ilmiah kelautan merupakan salah satu bagian yang tidak kalah

penting dari ketentuan-ketentuan tentang batas zona maritim yang dimuat dalam

UNCLOS. Salah satu esensi dari diadakannya pengaturan tentang penelitian ilmiah

kelautan adalah untuk menyeimbangkan kontrol atas dan distribusi keuntungan

daripada laut dan kawasan dasar laut, dengan harapan baik Negara Peneliti maupun

Negara Pantai dapat menikmati potensi manfaat dan keuntungan secara maksimal.

Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan sejarah penelitian ilmiah kelautan

sebelum terkodifikasi di UNCLOS, aturan-aturan terkait penelitian ilmiah kelautan

yang dimuat dalam UNCLOS, praktik-praktik Negara, dan aplikasi serta

pengaturannya di Indonesia sendiri.

1 Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea Office of Legal Affairs, “Marine Scientific

Research A revised guide to the implementation of the relevant provisions of the United Nations

Convention on the Law of the Sea,” The Law of the Sea, (2010).

2

Page 3: Makalah Laut (Msr)

A. Sejarah

1. Konvensi Jenewa 1958

Hingga tahun 1950-an, penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research)

tidak diatur dalam perjanjian internasional manapun. Penelitian ilmiah kelautan

pertama kali dipertimbangkan pada saat Konferensi PBB tentang Hukum Laut pada

tahun 1958. Di antara empat Konvensi Jenewa 1958, hanya Konvensi Landas

Kontinen yang secara spesifik menyebutkan dalam Pasal 5 paragraf 8,

“Persetujuan Negara Pantai harus diperoleh sehubungan dengan penelitian mengenai, dan yang dilakukan di, landas kontinen. Namun demikian, Negara Pantai tidak boleh tidak memberikan persetujuannya jika permintaan tersebut diajukan oleh lembaga yang memenuhi kualifikasi dengan tujuan murni untuk penelitian terhadap karakteristik fisik atau biologis dari landas kontinen, dengan tunduk pada ketentuan bahwa Negara Pantai berhak, jika ingin, untuk berpartisipasi atau diwakili dalam penelitian dan bahwa setiap hasil penelitian tersebut akan dipublikasikan.”

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 5 Konvensi Landas Kontinen 1958 tersebut

menjadi dasar dari pengembangan ketentuan rezim penelitian ilmiah kelautan yang

dimuat dalam Konvensi 1982.2 Sementara itu, penelitian ilmiah kelautan tidak secara

spesifik dibahas dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas.

2. Committee on the Peaceful Uses of the Seabed and the Ocean Floor Beyond the

Limits of National Jurisdiction (Komite Penggunaan Dasar Laut dan Dasar

Samudera untuk Tujuan Damai di Luar Batas Jurisdiksi Nasional, "Komite

Dasar Laut")

Pada tahun 1970, Majelis Umum mengadopsi the Declaration of Principles

Governing the Seabed and the Ocean Floor, and the Subsoil Thereof, Beyond the

Limits of National Jurisdiction, di mana Negara-negara didesak untuk memajukan

kerjasama internasional dalam penelitian ilmiah secara eksklusif untuk tujuan damai

melalui program internasional, publikasi dan penyebaran informasi, serta penguatan

kemampuan penelitian oleh Negara berkembang. Komite Dasar Laut kemudian 2 E. D. Brown, “Freedom of Scientific Research and the Legal Regime of Hydrospace,” Indian

Journal of International Law, vol. 9, (1985), pp. 327-380.

3

Page 4: Makalah Laut (Msr)

ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi PBB tentang Hukum Laut Ketiga.

Dalam laporan tersebut, Komite Dasar Laut memasukkan penelitian ilmiah sebagai

salah satu topik yang akan dibahas dalam Konferensi, serta transfer teknologi,

penelitian ilmiah di landas kontinen, dan penelitian ilmiah di zona ekonomi eksklusif.

3. Konferensi PBB tentang Hukum Laut Ketiga

Dalam Konferensi PBB tentang Hukum Laut Ketiga, masalah penelitian ilmiah

dibahas oleh Komite Dasar Laut yang juga diberi mandat untuk membahas pelestarian

lingkungan laut, serta pengembangan dan alih teknologi kelautan.3 Mengingat

masalah yang dikemukakan saling berkaitan, dua Komite lain4 dari Konferensi

tersebut juga melakukan negosiasi terkait penelitian ilmiah kelautan dengan Komite

Dasar Laut. 5 Ketentuan terkait penelitian ilmiah kelautan antara lain termasuk:

1. Pasal 19, 21 dan 52 (lintas damai),

2. Pasal 40 (lintas transit),

3. Pasal 54 (lintas alur laut kepulauan),

4. Pasal 56 dan 62 (zona ekonomi eksklusif),

5. Pasal 87 (laut lepas),

6. Pasal 123 (tertutup atau semi-tertutup laut),

7. Pasal 143 dan 155 (Kawasan).

8. bagian XII tentang “Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut”,

9. bagian XIV tentang “Pengembangan dan alih teknologi kelautan”,

10. bagian XV tentang “Penyelesaian sengketa”, dan

11. Lampiran VIII (“arbitrase khusus”).

Ketentuan-ketentuan ini membentuk seperangkat aturan pertama tentang

penelitian ilmiah kelautan, yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara

kepentingan berbagai Negara. Ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur

tentang penelitian ilmiah kelautan dimuat dalam Bagian XIII UNCLOS (Pasal 238-

265).

3 Myron H. Nordquist, United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982: A Commentary, (Leiden, Martinus Nijhoff, 1985).

4 Komite Pertama adalah Seabed Mining, the Area, sedangkan Komite Kedua adalah Territorial Sea, Innocent Passage, Straits Used for International Navigation, Archipelagic States, the Exclusive Economic Zone, the Continental Shelf and High Seas, Regime of Islands, Enclosed or Semi-enclosed Seas, and Right of Access of Land-locked States to and from the Sea and Freedom of Transit.

5 Lucius Cafliscb dan Jacques Piccard, The Legal Regime of Marine Scientific Research and the Third United Nations Conference on the Law of the Sea, (Heidelberg: Max-Planck-Institut für ausländisches öffentliches Recht und Völkerrecht, 1978), hlm. 878.

4

Page 5: Makalah Laut (Msr)

B. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)

Istilah ‘penelitian ilmiah kelautan’ tidak didefinisikan dalam UNCLOS,

meskipun sejumlah usulan telah diberikan selama masa negosiasi Konvensi tersebut.

Penelitian ilmiah kelautan secara tegas disebut dalam UNCLOS sebagai kebebasan di

laut bebas.6 Selanjutnya, Pasal 238 UNCLOS menyebutkan bahwa semua Negara,

terlepas dari lokasi geografis mereka, dan organisasi-organisasi internasional yang

berkompeten7, memiliki hak untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan, dengan

tunduk pada hak dan kewajiban Negara lain sebagaimana diatur dalam Konvensi ini.

Namun demikian, hak ini dibatasi dengan Pasal 245 UNCLOS yang menyebutkan

bahwa Negara Pantai, dalam melaksanakan kedaulatannya, memiliki hak eksklusif

untuk mengatur, mengizinkan, dan melakukan penelitian ilmiah kelautan di laut

teritorial mereka. Oleh karena itu, penelitian ilmiah kelautan di wilayah laut hanya

dapat dilakukan dengan persetujuan dari dan di bawah kondisi yang ditetapkan oleh

Negara Pantai.8

Ketentuan dalam Pasal ini juga berkaitan dengan Pasal 252 UNCLOS yang

memuat ketentuan tentang persetujuan tersirat (implied consent). Disebutkan dalam

pasal tersebut bahwa Negara atau organisasi internasional dapat melaksanakan

penelitiannya dalam jangka waktu enam bulan sejak informasi9 diberikan kepada

Negara Pantai, kecuali jika dalam empat bulan sejak penerimaan informasi tersebut

Negara Pantai telah menginformasikan Negara Peneliti bahwa:

1. Negara Pantai tidak memberikan izinnya;10 atau

2. Informasi yang diberikan Negara Peneliti tidak sesuai dengan fakta-fakta

yang ada; atau

3. Negara Pantai memerlukan informasi tambahan dari yang disebutkan

dalam Pasal 248 dan 249 UNCLOS, atau

4. Terdapat kewajiban yang belum diselesaikan.11

6 United Nations Convention on the Law of the Sea [“UNCLOS”], United Nations Publication No.E.97.V. 10, Pasal 87.

7 Selanjutnya disebut “organisasi internasional”.8 W. S. Wooster, "Freedom of Oceanic Research," Ocean Development and International Law

Journal, vol. 4, (1987), pp. 41-95.9 Pasal 248 UNCLOS.10 Pasal 246 UNCLOS.11 Pasal 249 UNCLOS.

5

Page 6: Makalah Laut (Msr)

1. Prinsip-prinsip Umum

Dalam Pasal 240, UNCLOS mengidentifikasi prinsip-prinsip umum untuk melakukan

penelitian ilmiah kelautan, yakni penelitian ilmiah kelautan harus:

1. Dilakukan secara eksklusif untuk tujuan damai.12 Hal ini sesuai dengan

semangat umum UNCLOS untuk mempromosikan penggunaan laut

untuk tujuan damai, sebagaimana diatur dalam pembukaan dan

ditegaskan dalam berbagai artikel, termasuk Pasal 88, 143 dan 301.13

“Tujuan damai” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 (a) ini

memiliki makna sesuai dengan Piagam PBB yang menafsirkan “tujuan

damai” sebagai tujuan non-agresif atau defensif.

2. Dilakukan dengan metode ilmiah yang tepat dan kompatibel dengan

UNCLOS;14

3. Tidak mengganggu penggunaan laut untuk tujuan lain (yang sah dan

sesuai dengan UNCLOS) dan harus menghormati penggunaan

tersebut;15 dan

4. Dilakukan sesuai dengan semua peraturan terkait yang diadopsi sesuai

dengan UNCLOS, termasuk peraturan yang bertujuan untuk

perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.16

UNCLOS juga memuat prinsip tentang fasilitas dan memajukan penelitian

ilmiah kelautan dalam Pasal 239, Pasal 251, dan Pasal 255 UNCLOS. Negara dan

organisasi internasional memiliki kewajiban untuk memajukan dan memfasilitasi

pengembangan dan pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan sesuai dengan UNCLOS.17

Meskipun istilah “organisasi-organisasi internasional yang kompeten” tidak

didefinisikan dalam UNCLOS, pada umumnya dianggap meliputi organisasi antar

pemerintah yang diatur dengan seperangkat instrumen tertentu untuk melakukan,

mengoordinasi, atau mempromosikan dan memfasilitasi pengembangan dan

pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan.18

12 Pasal 240 (a) UNCLOS.13 Wegelein, Florian H. Th., Marine Scientific Research: The Operation and Status of Research

Vessels and Other Platforms in International Law, (Martinus Nijhoff publishers, 2005, hlm. 95).14 Pasal 240 (b) UNCLOS.15 Pasal 240 (c) UNCLOS.16 Pasal 240 (d) UNCLOS.17 Pasal 239 UNCLOS.

6

Page 7: Makalah Laut (Msr)

Selanjutnya, UNCLOS juga mengatur bahwa Negara harus mempromosikan,

melalui organisasi internasional, pembentukan kriteria umum dan pedoman untuk

membantu dalam memastikan sifat dan implikasi dari penelitian ilmiah kelautan.19

Negara juga dituntut untuk mengadopsi aturan, peraturan, dan prosedur untuk

mempromosikan dan memfasilitasi penelitian ilmiah kelautan di luar laut teritorial

dan memfasilitasi, dengan tunduk pada ketentuan hukum dan peraturan Negara

tersebut, akses ke pelabuhan dan meningkatkan bantuan untuk kapal riset ilmiah

kelautan.20

UNCLOS juga memuat prinsip non-kepemilikan melalui Pasal 241. Pasal

tersebut menjelaskan bahwa kegiatan penelitian ilmiah kelautan bukan merupakan

dasar hukum untuk mengklaim suatu bagian dari lingkungan laut atau sumber daya

yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan maksud dari ketentuan yang

sama sehubungan dengan prinsip non-kepemilikan laut lepas21 dan Kawasan.22

2. Penelitian Ilmiah Kelautan di Zona Maritim

a. Laut Teritorial

Laut teritorial dianggap sebagai wilayah kedaulatan suatu Negara Pantai,

asalkan batas-batas yang ditentukan diterima secara internasional dan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan UNCLOS. Negara Pantai memiliki hak eksklusif untuk

mengatur, mengizinkan, dan melakukan penelitian ilmiah kelautan di laut

teritorialnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UNCLOS. Karenanya, prinsip

dasar yang berlaku di laut teritorial adalah bahwa penelitian dapat dilaksanakan

berdasarkan persetujuan Negara Pantai, dengan tunduk pada syarat yang diberikan

oleh Negara Pantai. 23

Prinsip serupa termaktub dalam Pasal 40 dan 54 UNCLOS, yakni kapal yang

tengah melaksanakan lintas transit melalui selat atau lintas alur laut kepulauan melalui

perairan kepulauan, tidak dapat melaksanakan penelitian ataupun survey tanpa

18 George K. Walker, Definitions for the Law of the Sea: Terms Not Defined by the 1982 Convention, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2012), hlm. 138.

19 Pasal 251 UNCLOS.20 Pasal 255 UNCLOS.21 Pasal 89 dan 90 UNCLOS.22 Pasal 137 paragraf 1 dan 3 UNCLOS.23 J. Ashley Roach dan Robert W. Smith, Excessive Maritime Claims: Third Edition, (Leiden:

Koninklijke Brll NV, 2012), hlm. 433.

7

Page 8: Makalah Laut (Msr)

persetujuan lebih dulu dari Negara Selat atau Kepulauan.24 Prinsip tersebut juga

berlaku bagi kapal yang sedang menikmati hak lintas damai. Penelitian ataupun

survey yang dilakukan tanpa izin Negara Pantai, akan menghilangkan sifat ‘damai’

dari hak lintas tersebut25. Sebaliknya, Negara Pantai dapat melaksanakan segala

bentuk penelitian ilmiah di Laut Teritorialnya asalkan tidak mengganggu hak lintas

damai kapal-kapal yang berada di perairan tersebut. 26

b. Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen

Sama halnya dengan prinsip yang berlaku di Laut Teritorial, Negara Pantai,

dalam melaksanakan yurisdiksinya, memiliki hak untuk mengatur, mengizinkan, dan

melaksanakan penelitian ilmiah kelautan di ZEE dan Landas Kontinen sesuai dengan

peraturan dalam UNCLOS.27 Apabila Negara lain ingin melaksanakan penelitian

ilmiah kelautan di wilayah Negaranya, haruslah berdasarkan persetujuan Negara

Pantai tersebut.28

Selanjutnya, Negara Pantai harus memberikan persetujuannya bagi Negara lain

atau organisasi internasional untuk melaksanakan penelitian ilmiah kelautan sesuai

dengan UNCLOS, terbatas untuk tujuan damai dan dengan maksud meningkatkan

pengetahuan ilmiah atas lingkungan laut untuk keuntungan umat manusia.29 Namun

demikian, suatu Negara Pantai dapat tidak memberikan persetujuannya bagi Negara

lain untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan dalam hal:30

1. Proyek penelitian ilmiah kelautan memiliki signifikansi langsung terhadap

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang terkandung di dalam wilayah

dilakukannya proyek tersebut

“Signifikansi” adalah pentingnya sesuatu, terutama ketika hal

tersebut memiliki efek pada apa yang akan terjadi di masa depan. Maksud

dari “signifikansi” di sini mengacu pada isi dari penelitian dibandingkan

24 R. R. Churchill dan A. V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University Press, 1999), hlm. 404.

25 Pasal 19 paragraf 2 huruf j UNCLOS.26 David Joseph Attard, et. al., The IMLI Manual on International Maritime Law: Volume I: The

Law of the Sea, (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm. 422.27 Pasal 246 paragraf 1 UNCLOS.28 Pasal 246 paragraf 2 UNCLOS.29 Pasal 246 paragraf 3 UNCLOS.30 Pasal 246 paragraf 5 UNCLOS.

8

Page 9: Makalah Laut (Msr)

maksud dari peneliti.31 Mengenai kata “langsung”, the United Nations

Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea menuliskan dalam salah

satu publikasinya bahwa kata ini harus dipahami sebagai proyek yang

“dapat diharapkan untuk menghasilkan hasil yang memungkinkan sumber

daya untuk dapat ditemukan, dinilai, dan diawasi sehubungan dengan

status dan ketersediaan eksploitasi komersial”.32

2. Proyek penelitian melibatkan pengeboran, penggunaan bahan peledak,

atau pengenalan zat berbahaya

Penelitian yang melibatkan pengeboran ke landas kontinen dan

penggunaan bahan peledak dapat dianggap sebagai contoh kegiatan

penelitian ilmiah kelautan yang memiliki signifikansi langsung terhadap

eksplorasi sumber daya alam. Dalam hal ini, paragraf 5 (b) dapat dianggap

sebagai spesifikasi lebih lanjut dari paragraf 5 (a). Selain itu, ketiga unsur

yang disebutkan dalam bagian ini memiliki satu aspek kesamaan, yakni

semuanya dapat menimbulkan efek yang merugikan pada lingkungan

laut.33

3. Proyek penelitian yang melibatkan pulau-pulau buatan, instalasi, dan

bangunan

Menurut Pasal 246, paragraf 5 (c), Negara Pantai dapat tidak

memberikan persetujuannya untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan

yang melibatkan konstruksi, operasi, atau penggunaan pulau-pulau buatan,

instalasi atau struktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan 80

UNCLOS.

Kata-kata sebagaimana dimuat dalam kedua Pasal tersebut sendiri

menyiratkan bahwa mengacu pada instalasi dan bangunan yang tetap

maupun berlabuh, termasuk yang menembus permukaan laut, maupun

yang seluruhnya berada di permukaan.

4. Proyek penelitian berisi informasi yang tidak akurat atau yang akan

dijalankan oleh Negara atau organisasi internasional, yang memiliki

kewajiban yang belum diselesaikan31 Donald R. Rothwell, et. al., The Oxford Handbook of the Law of the Sea, (Oxford: Oxford

University Press, 2015), hlm. 563.32 Evanson Chege Kamau, Research and Development on Genetic Resources: Public Domain

Approaches in Implementing the Nagoya Protocol, (New York: Routledge, 2015), hlm. 78.33 Myron H. Nordquist, United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982: A

Commentary, (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 2002), hlm. 552.

9

Page 10: Makalah Laut (Msr)

Menurut Pasal 246, paragraf 5 (d), Negara pantai dapat tidak

memberikan persetujuannya bagi Negara Peneliti atau organisasi

internasional jika informasi yang diterimanya tidak akurat.34 Sementara itu,

kewajiban yang belum diselesaikan yang dimaksud di sini adalah dalam

hal Negara Peneliti memiliki kewajiban yang belum diselesaikan dari

penelitian sebelumnya.

Selain keempat keadaan tersebut, Negara Pantai juga dapat menentukan apakah

ia akan memberikan persetujuannya berdasarkan informasi dan keterangan yang

diberikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 248 UNCLOS. Setidaknya enam bulan

sebelum tanggal awal yang diharapkan dari kegiatan penelitian, deskripsi lengkap dari

proyek penelitian harus diberikan kepada Negara Pantai, sebagai berikut:

(a) sifat dan tujuan proyek;

(b) metode dan sarana yang akan digunakan, termasuk nama, tonnase35 atau berat,

jenis dan kelas kapal, serta deskripsi peralatan ilmiah;

(c) wilayah geografis di mana proyek tersebut akan dilakukan;

(d) tanggal kedatangan pertama dan keberangkatan terakhir dari kapal penelitian,

atau peletakan dan pengambilan kembali peralatan-peralatannya;

(e) nama lembaga sponsor, direkturnya, dan orang yang bertanggung jawab atas

proyek tersebut; dan

(f) sejauh mana Negara pantai dapat berpartisipasi atau diwakili dalam proyek

tersebut.

c. Laut Bebas dan Kawasan Dasar Laut Internasional

Penelitian ilmiah kelautan secara khusus disebutkan sebagai kebebasan di Laut

Bebas,36 dan Negara manapun dapat melaksanakan penelitian di Laut Bebas.37 Namun

demikian, perlu diingat bahwa berbeda dengan rezim Konvensi Jenewa, dalam

UNCLOS, dasar laut dan lapisan tanah dari laut lepas di luar landas kontinen adalah

area dasar laut internasional.38 Semua negara memiliki hak untuk terlibat dalam

34 Pasal 248 UNCLOS.35 Tonnage, Duhaime’s Law Dictionary, diakses dari

http://www.duhaime.org/LegalDictionary/T/Tonnage.aspx pada tanggal 9 Desember 2015.36 Pasal 87 UNCLOS.37 Pasal 275 UNCLOS.38 Pasal 1 paragraf 1 (1) UNCLOS.

10

Page 11: Makalah Laut (Msr)

penelitian di Kawasan tersebut,39 asalkan penelitian tersebut itu dilaksanakan secara

eksklusif untuk tujuan damai dan untuk kepentingan umat manusia secara

keseluruhan.40

The International Seabed Authority (ISBA, Otorita Dasar Laut Internasional)

telah ditetapkan oleh UNCLOS untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan di

Kawasan, atas nama umat manusia secara keseluruhan, terutama dengan maksud

untuk mengelola sumber daya yang terkandung di Kawasan41. Selain tanggung jawab

utamanya untuk pengembangan sumber mineral di Kawasan, yang merupakan

warisan bersama umat manusia,42 ISBA memiliki tanggung jawab umum untuk

mempromosikan dan mendorong pelaksanaan penelitian serta mengkoordinasikan dan

menyebarkan hasil penelitian tersebut dan analisis, bila tersedia, dengan penekanan

khusus pada penelitian yang berkaitan dengan dampak lingkungan dari kegiatan di

Kawasan.43 ISBA dapat melakukan penelitian ilmiah kelautan yang berkaitan dengan

Kawasan dan sumber daya mineral yang terkandung di dalamnya, dan melaksanakan

perjanjian untuk tujuan tersebut.44

Negara-negara Anggota UNCLOS diwajibkan untuk mempromosikan

kerjasama internasional dalam penelitian ilmiah kelautan45 dengan:

(a) Berpartisipasi dalam program internasional dan mendorong kerjasama

dalam penelitian ilmiah kelautan;

(b) Memastikan bahwa program yang dikembangkan melalui ISBA atau

organisasi internasional lainnya untuk kepentingan negara berkembang

dan negara yang dalam hal teknologi kurang berkembang dengan maksud

untuk memperkuat kemampuan penelitian mereka, pelatihan personil

mereka, dan mendorong perekrutan personil yang berkualitas; dan dengan

(c) secara efektif menyebarluaskan hasil penelitian dan analisis mereka, bila

tersedia, melalui ISBA atau jalur internasional lainnya, jika diperlukan.46

39 Pasal 256 UNCLOS, yang didefinisikan dalam UNCLOS sebagai dasar laut dan dasar laut dan tanah dibawahnya adalah di luar batas yurisdiksi nasional (Pasal 1 paragraf 1 (1) UNCLOS).

40 Pasal 143 ayat (1) UNCLOS.41 Pasal 153 dan 157 UNCLOS.42 Pasal 136 UNCLOS.43 W. T. Burke, “Marine Science Research and International Law,” Occasional Paper No. 8,

(1970).44 Pasal 143 paragraf 2 UNCLOS; Agreement Relating to the Implementation of Part XI of the

United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982, Annex, section 1 (5) (h).45 Pasal 143 ayat (3) UNCLOS.46 J. R. Moore, "The Future of Scientific Research in Contiguous Research Zones: Legal

Aspects," The International Lawyer, vol. 8 (1984), pp. 242-261.

11

Page 12: Makalah Laut (Msr)

3. Hak dan kewajiban setelah selesainya penelitian

Setelah selesai penelitian, Negara Peneliti memiliki sejumlah kewajiban, seperti

yang dijelaskan dalam Pasal 249, termasuk:

(a) Memberikan Negara pantai, atas permintaannya, laporan awal, hasil akhir,

dan kesimpulan penelitian;

(b) Menyediakan akses bagi Negara pantai, atas permintaannya, semua data

dan sampel berasal dari proyek tersebut;

(c) Jika diminta, menyediakan Negara pantai dengan penilaian data, sampel,

dan hasil penelitian, atau memberikan bantuan dalam melakukan penilaian

dan interpretasi;

(d) Memastikan bahwa hasil penelitian tersedia secara internasional; dan

(e) Melepaskan instalasi riset ilmiah atau peralatan setelah penelitian selesai,

kecuali disetujui lain.

4. Kerjasama Internasional

Pasal 242 UNCLOS mengatur sebagai berikut:

a) Negara dan organisasi internasional harus, sesuai dengan prinsip

menghormati kedaulatan dan yurisdiksi serta atas dasar saling

menguntungkan, meningkatkan kerjasama internasional dalam penelitian

ilmiah kelautan untuk tujuan damai.47

b) Suatu Negara harus memberikan Negara lain kesempatan untuk

mendapatkan, dari kerjasama ini, informasi yang diperlukan untuk

mencegah dan mengendalikan kerusakan terhadap kesehatan dan

keselamatan orang dan lingkungan laut48;

Selain itu, Negara dan organisasi internasional juga diharuskan untuk

bekerjasama melalui persetujuan-persetujuan bilateral dan multilateral, untuk

menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pelaksanaan penelitian ilmiah

kelautan di lingkungan laut.49 Negara dan organisasi internasional juga diminta untuk

menyediakan publikasi dan diseminasi tentang informasi atas usulan program

47 Pasal 242 ayat 1 UNCLOS.48 Pasal 242 ayat 2 UNCLOS.49 Pasal 243 UNCLOS.

12

Page 13: Makalah Laut (Msr)

penelitian beserta tujuan dan pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian tersebut.50

Selanjutnya, Negara, baik secara individu maupun dalam berkerjasama dengan

negara lain dan dengan organisasi internasional, harus secara aktif mempromosikan

aliran data ilmiah dan informasi serta transfer pengetahuan yang dihasilkan dari

penelitian ilmiah kelautan, terutama untuk negara berkembang, serta penguatan dari

kemampuan penelitian otonom kelautan ilmiah negara berkembang, melalui, antara

lain, program untuk memberikan pendidikan dan pelatihan teknis dan ilmiah personil

mereka51 yang memadai. Ketentuan terkait lainnya dimuat di Pasal 143 paragraf 3

UNCLOS yang mendorong promosi kerjasama internasional dalam kaitannya dengan

penelitian ilmiah kelautan di Kawasan.

Selanjutnya, Pasal 123 UNCLOS menetapkan bahwa Negara yang berbatasan

dengan laut yang tertutup atau semi tertutup harus bekerjasama satu sama lain dalam

menjalankan hak dan tugas mereka sesuai UNCLOS. Mereka diharuskan untuk

berusaha, secara langsung atau melalui organisasi regional yang sesuai untuk, antara

lain, mengkoordinasikan kebijakan penelitian ilmiah mereka dan melakukan program

bersama dari penelitian ilmiah di laut tertutup atau semi tertutup, dan mengundang,

Negara lain atau organisasi internasional yang berkepentingan untuk bekerja sama

untuk tujuan ini.52

Juga relevan dengan penelitian ilmiah kelautan adalah Pasal 197 UNCLOS yang

mendorong Negara untuk bekerjasama pada tingkat global maupun regional, secara

langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional, dalam merumuskan dan

menguraikan aturan, standar, dan praktik internasional, serta prosedur yang konsisten

dengan UNCLOS.

5. Instalasi Atau Peralatan Penelitian Ilmiah

Penelitian ilmiah kelautan dapat dilakukan tidak hanya pada kapal tetapi juga

pada instalasi atau peralatan yang dipasang di lingkungan laut. Sebagai prinsip umum,

persyaratan yang ditentukan dalam UNCLOS mengenai pemasangan dan penggunaan

instalasi dan peralatan untuk penelitian adalah sama di setiap zona maritim.53

Instalasi atau peralatan penelitian tidaklah berstatus pulau. Dengan demikian,

50 Pasal 244 ayat (1) UNCLOS.51 Pasal 244 ayat 2 UNCLOS.52 R. Winner, "Science, Sovereignty, and the Third Law of the Sea Conference,"Ocean Development and International Law Journal, vol. 14, (1990), pp. 297-342.53 Pasal 258 UNCLOS.

13

Page 14: Makalah Laut (Msr)

instalasi atau peralatan tersebut tidak memiliki laut teritorial sendiri, dan

keberadaannya tidak mempengaruhi penetapan batas dari setiap zona maritim.54

Selain itu, pemasangan instalasi atau peralatan penelitian tidak dapat menghalangi

rute pelayaran internasional.55

6. Hak Negara Tetangga yang Tidak Berpantai dan dengan Kondisi Geografis

Kurang Beruntung

Negara dan organisasi internasional yang telah menyerahkan permohonan

pelaksanaan penelitian56 harus memberikan pemberitabuan kepada Negara tetangga

yang tidak berpantai dan dengan kondisi geografis kurang beruntung mengenai

proyek penelitian yang diusulkannya, dan harus memberitahukan Negara pantai

tersebut.57 Setelah persetujuan telah diberikan, Negara dan organisasi internasional

harus menyediakan bantuan58 dan informasi terkait59 proyek penelitian kepada

Negara-Negara tersebut atas dasar permintaan mereka.60 Negara tersebut juga dapat

ikut serta dalam penelitian atas dasar pemintaan mereka, sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.61

7. Tanggung Jawab dan Kewajiban

Negara dan organisasi internasional yang kompeten harus bertanggung jawab

untuk memastikan bahwa penelitian ilmiah kelautan, baik yang dilakukan oleh atau

atas nama mereka, dilakukan sesuai dengan UNCLOS.62 Negara dan organisasi

internasional tersebut harus bertanggung jawab jika tindakan mereka bertentangan

dengan UNCLOS,63 atau menyebabkan pencemaran lingkungan,64 dan harus

memberikan kompensasi atas kerusakan dan pencemaran yang dihasilkannya

tersebut.65

54 Pasal 259 UNCLOS.55 Pasal 261 UNCLOS.56 Pasal 246 paragraf 3 UNCLOS.57 Pasal 254 paragraf 1 UNCLOS.58 Pasal 254 paragraf 4, Pasal 249 paragraf 1 (d), dan Pasal 249 paragraf 2 UNCLOS.59 Pasal 248 dan Pasal 249 paragraf 1 (f) UNCLOS.60 Pasal 254 paragraf 2 UNCLOS.61 Pasal 254 paragraf 3 UNCLOS.62 Pasal 263 paragraf 1 UNCLOS.63 Pasal 263 paragraf 2 UNCLOS.64 Pasal 263 paragraf 3 UNCLOS.65 Pasal 263 paragraf 2 UNCLOS.

14

Page 15: Makalah Laut (Msr)

8. Penyelesaian sengketa

Pasal 264 UNCLOS mengatur bahwa sengketa mengenai interpretasi atau

penerapan ketentuan UNCLOS berkenaan dengan riset ilmiah kelautan harus

diselesaikan sesuai dengan Bagian XV, bagian 2 dan 3.66

C. Pengaturan dalam Hukum Indonesia

Indonesia memiliki peran yang sifnikan dalam perkembangan hukum laut.

Indonesia merupakan salah satu negara yang terus menciptakan hukum dan

pengaturan terkait kelautan selama 5 dekade.67 Hal ini tentu dapat dilihat dengan

adanya pengaturan-pengaturan terkait negara kepulauan ( Archipelagic State). Lalu,

tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia juga kaya akan sumber daya alamnya.

Keanekaragam hayati yang sangat kaya sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa

kegiatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi akan selalu dilakukan di

Indonesia. Sebelum dilakukan hal tersebut, maka terdapat penelitian-penelitian yang

dilakukan yakni dengan penelitian ilmiah kelautan tersebut. Tujuan dari penelitian

ilmiah kelautan adalah untuk dapat meningkatkan pengetahuan ilmiah terkait

lingkuangan laut demi kepentingan umat manusia dan semata-mata diamksud dengan

damai.68 Oleh karena itu, sangat penting bagi Pemerintah Indonesia untuk

mengadakan peraturan terkait penelitian ilmiah kelautan yang sesuai dan selaras

dengan konvensi UNCLOS.

Apabila dilihat peraturan yang ada di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa

pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Indonesia masih bersifat sektoral ditinjau

dari segi rezim hukum laut. Hal ini dikarenakan terdapat berbagai peraturan

perundangan yang mengatur mengenai wilayah laut dibagi menjadi beberapa rezim

hukum laut. Diantara peraturan- peraturan tersebut hal yang berkaitan dengan

penelitian ilmiah kelautan hanya diatur sebagian kecil berdasarkan pelaksanaan

penelitian ilmiah kelautan di wilayah tertentu, bukan diatur secara keseluruhan untuk

wilayah perairan Indonesia. Akan tetapi, dengan dibentuknya Undang-Undang No. 32

66 Pasal 264 UNCLOS.67 Achmad Gusman Catur Siswandi, “Marine Bioprospecting: Marine Bioprospecting:

International Law, Indonesia and Sustainable Development” Thesis The Australian National University 2013, Page 101-102.

68MSR is therefore crucial to determine such thresholds through collection of data and interpretation of the results

15

Page 16: Makalah Laut (Msr)

tahun 2014 tentang kelautan, hal ini diharapkan untuk dapat lebih mengatur dari

seluruh aspek kelautan, termasuk penelitian sehingga terdapat adanya unifikasi.

a. Pengaturan dalam UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen

Indonesia sebenarnya telah memiliki hukum nasional yang membahas

tentang penelitian ilmiah kelautan, antara lain UU No. 1 Tahun 1973

tentang Landas Kontinen. Akan tetapi, pada undang-undang ini hanya

memberikan keterangan mengenai penyelidikan ilmiah kelautan atas

kekayaan alam di Landas Kontinen saja. Penelitian keilimihan kelautan

tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.69 Berdasarkan penjelasan

mengenai penyelidikan ilmiah di landas kontinen yang akan diatur

kemudian oleh Peraturan Pemerintah, belum ada bentuk aturan pelaksana

yang mengatur mengenai penyelidikan ilmiah yang dimaksud. Sehingga,

hal ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap penyelenggaraan

penyelidikan ilmiah terutama di bidang kelautan masih kurang dan belum

menjadi prioritas oleh Pemerintah.

b. Pengaturan dalam Undang- Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif

Pada undang-undang tersebut, telah dibahas juga terkait Penelitian

Ilmiah Kelautan. Akan tetapi, pengertian mengenai penelitian ilmiah

kelautan dan penjelasan mengenai pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan

di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang hanya dapat

dilaksanakan setelah permohonan untuk penelitian telah disetujui oleh

Pemerintah Republik Indonesia. Dalam undang- undang tersebut

dijelaskan mengenai rumusan pengertian penelitian ilmiah kelautan70,

69 Ristyo Weka Wismono, “Unifikasi Pengaturan Penelitian Ilmiah Kelautan di Indonesia dalam Rangka Meningatkan Alih Teknologi Kelautan”, Tesis dari Universitas Diponegoro, 2008. Hal 22

70 “Penelitian ilmiah adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian mengenai semua aspek kelautan di permukaan air, ruang air, dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif Indonesia.” Pasal 1 huruf c Undang-Undang No.5 tahun 1983 tentang ZEE

Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di zona ekonomi eksklusif Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.” Pasal 7 Undang- Undang No. 5 tahun 1983 tentang

16

Page 17: Makalah Laut (Msr)

tetapi apabila ditelaah lebih lanjut pengertian tersebut lebih luas

lingkupnya dibanding dengan pengertian penelitian ilmiah berdasarkan

Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Sebagai akibatnya, suatu kegiatan

penelitian ilmiah yang dilakukan di zona ekonomi eksklusif Indonesia

dapat dianggap mencakup pula kegiatan eksplorasi sumber daya alam.

c. Undang- Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil.

Penelitian ilmiah kelautan telah sedikit dibahas dalam undang-undang

ini. Secara eksplisit sebenarnya tidak pernah disebut apa penelitian

keilmuan laut. Namun, beberapa aspek mengenai penelitian dan

pengembangan telah diatur lebih lengkap dibandingkan dengan aturan-

aturan yang membahas mengenai penelitian ilmiah kelautan sebelumnya.

Walaupun tidak memberikan definisi secara jelas mengenai penelitian dan

pengembangan di wilayah pesisir, tetapi undang- undang ini telah

mengatur mengenai peran serta pemerintah dalam pelaksanaan penelitian

dan pengembangan, siapa saja yang dapat melaksanakan penelitian dan

pengembangan di wilayah pesisir, perizinan dalam melaksanakan

penelitian di wilayah pesisir serta terwakilinya kepentingan Indonesia

sebagai tuan rumah pelaksanaan penelitian dan pengembangan di wilayah

pesisir yang dilakukan oleh peneliti asing.

d. Undang- Undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian ,

Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Undang- Undang No 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi mengatur

secara spesifik terkait penelitan-penelitian. Akan tetap tetapi undang-

undang ini tidak mengatur secara spesifik mengenai penelitian ilmiah

kelautan, hanya mengatur penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu

ZEE

17

Page 18: Makalah Laut (Msr)

pengetahuan dan teknologi di Indonesia secara umum, tanpa menyebut

bidang- bidang tertentu, sehingga undang- undang ini sering juga disebut

sebagai aturan payung bagi pelaksanaan penelitian ilmiah dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Sehingga,

undang-undang ini lah yang sering kali dijadikan dasar saat menjalankan

penelitian ilmu kelautan walaupun tidak secara spesifik tertera.

e. Undang-Undang No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan

Undang-undang No. 32/2014 tentang Kelautan merupakan undang-

undang terkahir terkait kelautan Indonesia. Apabila dilihat dalam undang-

undang tersebut, penelitian ilmiah kelautan disini sudah lebih dijabarkan.

Dapat dilihat dalam Bagian Tiga- Bagian Lima (Pasal 37- Pasal 41). Akan

tetapi, belum ada pengaturan yang sangat khusus terkait pelaksanaan dari

penelitian ilmu kelautan itu sendiri. Dalam undang-undang ini, dapat

dilihat bahwa Pemerintah Indonesia menitikberat pelaksanaan penelitian

ilmu dalam bidang kelautan, dan ini akan menjadi bagian dari sistem

nasional penelitian. 71 Selain itu, Pemerintahan akan bekerja sama dengan

Pemerintah Daerah untuk dapat mengembangkan pusat fasilitas Kelautan

yang meliputi antara lain fasilitas pendidikan, pelatihan dan penelitian

yang dilengkapi dengan prasarana kapal latih dan kapal penelitian serta

tenaga fungsional peneliti.72 Ketentuan lebih lanjut terkait pembuntukan

fasilitas tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.73

Dalam undang-undang ini juga disebutkan penelitian yang bekerja

sama dengan asing. Pemerintah disini mengatur pelsakanaan penelitian

ilmiah kelautan dalam rangka kerja sama penelitian dengan pihak asing.74

Hasilnya lalu wajib dilaporkan kepada Pemerintah sesuai dengan peraturan

undang-undang. Apabila dilhat, maka disini merupakan pasal yang secara

eksplisit menggambarkan penelitian terkait ilmu kelautan. Akan tetapi,

disini tidak menjelaskan mengenai tata cara atau proses yang dilakukan

mengenai penelitian tersebut. Dan apabila dilihat lebih lanjut dalam bagian 71 Indonesia, Undang-Undang No. 32 tahun 2104 tentang Kelautan. Pasal 37 ayat (1). 72 Ibid. Pasal 38 ayat (1). 73 Ibid. Pasal 38 ayat (2). 74 Ibid.Pasal 39 ayat (1).

18

Page 19: Makalah Laut (Msr)

kelima yakni kerja sama kelautan, tidak secara spesifik kerja sama apa

yang dimaksud namun dapat diasumsikan kerja sama secara general atau

lebih pada eksplorasi, pemanfaatan dan pengelololaan Sumber Daya

Kelautan. Dalam hal ini, maka ketentuan hukum laut internasional lah

yang digunakan atau bisa dikatakan harus sesuai dengan UNCLOS.

Dalam Undang-Undang No.32 tahun 2014, dinyatakan diperlukan fasilitas untuk

dapat menjalankan penelitian-penelitian pada ilmu kelautan. Kementerian Kelautan

dan Perikanan ( KKP) telah membentuk badan untuk dapat menjalankan hal tersebut

yakni Badan Penelitan dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan ( BALITBANG).

Dalam badan ini, yang menjadi fokus adalah pada penelitian dan pengembangan dari

kelautan dan perikanan, Dalam BALITBANG, dibagi lagi kebeberapa departemen

yakni Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan serta Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sumber Daya Lautd dan Pesisir ( P3SDLP).

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir adalah salah

satu unit kerja Eselon II yang ada di lingkungan  Badan Penelitian dan Pengembangan

Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang ditetapkan

perubahannya berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.15/MEN/2010 yang semula bernama “Pusat Riset Wilayah Laut dan

Sumberdaya Non Hayati—Badan Riset Kelautan dan Perikanan”. Hal ini dikarenakn

adanya beberapa perubahan arah kebijakan dan struktur organisasi Kementerian

Kelautan dan Perikanan dan Unit Organisasi Eselon I lingkup Kementerian Kelautan

dan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir.75

Oleh karena itu, apabila dilihat perkembangannya, penelitian ilmu kelautan

semakin diatur dan terdapat perhatian padanya. Dapat dilihat juga KPP sudah memilki

badan khusus dalam Akan tetapi, terdapat banyak sekali pengaturan-pengaturan

sehingga sedikit membingungkan pengaturan mana saja yang harus dirujuk dan belum

terdapat peraturan yang khusus dibentuk untuk penelitian ilmu kelautan. Walaupun

sudah ada, namun belum terperinci khusus pada penelitian ilmu kelautan dan hal ini

perlu dibentuk. Penelitian ilmiah kelautan tidak hanya merupakan kepentingan negara

tertentu, dalam hal ini Indonesia, tetapi negara lain yang hendak melakukan penelitian

75SEJARAH http://p3sdlp.litbang.kkp.go.id/index.php/en/p3sdlp/sejarah diunduh pada 2 Desember 2015.

19

Page 20: Makalah Laut (Msr)

ilmiah kelautan di Indonesia juga bisa melaksanakannya asal mendapatkan izin dari

negara pantai yang lautnya digunakan sebagai tempat penelitian ilmiah kelautan.

Selanjutnya hasil dari penelitian ilmiah kelautan ini tidak hanya digunakan bagi

negara yang melakukan penelitian, tetapi negara lain yang membutuhkan juga dapat

menggunakannya, karena penelitian ilmiah kelautan pada dasarnya merupakan bagian

dari warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind). Dengan

demikian, pengembangan penelitian ilmiah kelautan untuk tujuan- tujuan damai

merupakan kepentingan bersama seluruh umat manusia.

Indonesia sebagai negara pantai sesuai dengan Pasal 245 Konvensi Hukum

Laut Internasional PBB 1982 memiliki kewenangan terhadap pelaksanaan penelitian

ilmiah kelautan oleh negara- negara lain di laut wilayahnya. Berdasarkan pasal

tersebut, Indonesia mempunyai hak eksklusif untuk mengatur, mengijinkan dan

menyelenggarakan penelitian ilmiah kelautan di laut wilayahnya. Demikian pula

pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan oleh negara- negara lain di laut wilayah

Indonesia semata- mata dengan ijin yang tegas yang dinyatakan oleh Indonesia dan

dengan syarat- syarat yang ditentukan Indonesia. Pelaksanaan penelitian ilmiah

kelautan di Indonesia diharapkan dapat memacu pelaksanaan alih teknologi kelautan,

karena dengan seringnya penelitian ilmiah kelautan dilakukan, maka alih teknologi

kelautan dari negara maju terhadap negara berkembang seperti Indonesia diharapkan

juga akan terwujud.

D. Kasus

Pengaturan mengenai Penelitian Ilmu Kelautan sangatlah krusial sehingga

diperlukan standar dalam pengumpulan data dan dalam melakukam intepretasi dari

hasilnya. Para ilmuan juga diharapkan untuk dapat menyimbangi tujuan dari

kelangsungan peneilitian dengan memperhatikan terhadap lingkungan sehingga tidak

terjadi eksploitasi yang berlebihan.76 Dengan itu sangatlah penting adanya pengaturan

terkait Penelitian Ilmu Kelautan dimana diatur mengenai quota sehingga tidak akan

terjadi suaut eksploitasi. Dapat dilihat dalam Southern Bluefin Tuna Case.

Dalam Southern Bluefin Tuna Case, perkara ini adalah antara Australia dan

Selandia Baru lawan Jepang. Perkara ini adalah mengenai Southern Bluefin Tuna

76 Tim Daniel, “Legal Aspects of Marine Scientific Research and Part XIII of the UN Convention on the Law of the Sea” dalam Konfrens ABLOS, Monaco Pada 10-12 Oktober 2015.

20

Page 21: Makalah Laut (Msr)

yang sudah ditangkap secara berlebihan sehingga harus dilindungkan. Karena itu,

maka Jepang, Australia dan juga Selandia Baru melakukan suatu perjanjian yakni

Convention for the Conservation of Southern Bluefish Tuna ( CSBT Convention)

pada tahun 1993. Disini, konvensi tersebut telah diatur berapa banyak yang dapat

ditangkap ikannya ( TAC) untuk ketiga negara tersebut. Namun, pada tahun 1998

Jepang telah melakukan experimental fishing di Samudra Hindia Selatan yakni

sekitar 1,400 ton.

Pihak yang mengajukan mengatakan bahwa Jepang dengan melakukan

pemancingan ikan dengan tujuan eksperimen, telah menghambat terlakuknya

konservasi dan managemen SBT di laut lepas sehingga Artikel 64, 116-119 dan 300

dari UNCLOS.77 Oleh karena itu, Jepang disini sudah melanggar prinsip berhati-hati

(precautionary principle), dimana menurut pihak aplikan ini adalah suatu norma

kebiasaan internasional. Oleh karena itu, Australia dan Selandia Baru melarang bagi

Kapal Jepang dan membawa ini kepada International Tribunal Law of the Sea in

Hamburg. Penetapan dari Pengadilan adalah untuk menjatuhkan putusan untuk

menentang terhadap eksploitasi ( yang akhirnya dicabut), namun hal ini juga

mengakibatkan Jepang untuk melakukan perjanjian agar program tersebut tidak

diteruskan.

Kasus lain terkait dengan Penelitian Ilmu Kelautan adalah produk farmasi

yang berumber sumber daya genetik laut yang bernama Prialt. Prialt merupakan obat

nyeri dan ditapatkan dari kerang yang dapat diambil di wilayah Indonesia dan sangat

umum untuk dapat diambil di Indo- Pacific. Pada tahun 2004, obat tersebut disetujui

dan diperbolehkan untuk diproduksi oleh US Federal Drug Agency. Pada tahun

berikutnya, Elan Corporation memproduksi obat tersebut dan mendapat hasil penjulan

Prialt mencapai $6.100.000 sampai pada tahun 2010. Mengingat bahan Prialt ini

didapatkan dalam wilayah perlautan Indonesia, namun dikarenakan tidak ada

kejelasan terkait pengaturan pembagian manfaat (Acess Benefit Sharing) untuk

Indonesia dalam hal pengkomersialisasikan sumber daya laut genetic yang

dikumpulkan dari Indonesia.

77 Simon Marr, “The Southern Bluefin Tuna Case: The Precautionary Approach and Management of Fish Resources”, EJIL Vol 11, 2000. Hal 816-817.

21

Page 22: Makalah Laut (Msr)

KESIMPULAN

Pengaturan terhadap penelitian ilmiah di bidang kelautan sangatlah penting,

mengingat sebagian besar wilayah Indonesia berupa laut, sehingga pengembangan

sektor kelautan juga sangatlah mendesak. Pengembangan tersebut salah satunya

dengan ilmu pengetahuan melalui pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan, tetapi saat

ini belum ada pengaturan secara tersendiri mengenai penelitian ilmiah kelautan. Pada

dasarnya adanya peraturan yang mengatur tentang penelitian ilmiah kelautan

memegang peran strategis dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang kelautan, memberikan arah pengaturan guna mewujudkan tujuan memperkuat

daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kelautan guna keperluan

pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam

memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional.

Berbagai peraturan perundangan yang mengatur tentang penelitian ilmiah

kelautan secara terpisah- pisah dan menjadi sub bagian dari suatu peraturan

perundang- undangan yang telah berlaku di Indonesia belum dapat mengakomodasi

dan meningkatkan kegiatan penelitian ilmiah kelautan di Indonesia, perlu ada suatu

unifikasi atau pengaturan tersendiri mengenai penelitian ilmiah kelautan di Indonesia

untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan,

tidak hanya sekedar pasal yang menjelaskan mengenai pengertian penelitian ilmiah

kelautan, tetapi juga hal- hal lain yang berkaitan dengan penelitian ilmiah kelautan.

Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ilmiah kelautan perlu diatur dalam suatu

peraturan tersendiri, tidak menjadi sub bagian dari suatu undang- undang, sehingga

dapat menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan.

22

Page 23: Makalah Laut (Msr)

Daftar Pustaka

Undang-Undang dan PerjanjianAgreement Relating to the Implementation of Part XI of the United Nations

Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982.United Nations Convention on the Law of the Sea. United Nations Publication

No.E.97.V. 10. Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas KontinenIndonesia.Undang- Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi EksklusifIndonesia. Undang- Undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Indonesia. Undang-Undang No. 32 tahun 2104 tentang Kelautan.

BukuAttard, David Joseph, et. al.. The IMLI Manual on International Maritime Law:

Volume I: The Law of the Sea. Oxford: Oxford University Press. 2014). hlm. 422.

Cafliscb, Lucius. The Legal Regime of Marine Scientific Research and the Third United Nations Conference on the Law of the Sea. Heidelberg: Max-Planck-Institut für ausländisches öffentliches Recht und Völkerrecht. 1978. hlm. 878.

Churchill, R. R. dan A. V. Lowe. The Law of the Sea. Manchester: Manchester University Press. 1999.

Kamau, Evanson Chege. Research and Development on Genetic Resources: Public Domain Approaches in Implementing the Nagoya Protocol. New York: Routledge. 2015.

Nordquist, Myron H. United Nations Convention on the Law of the Sea. 1982: A Commentary. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers. 2002.

Roach, J. Ashley dan Robert W. Smith. Excessive Maritime Claims: Third Edition. Leiden: Koninklijke Brll NV. 2012.

Rothwell, Donald R., et. al.. The Oxford Handbook of the Law of the Sea. Oxford: Oxford University Press. 2015.

Walker, George K.. Definitions for the Law of the Sea: Terms Not Defined by the 1982 Convention. Leiden: Koninklijke Brill NV. 2012.

Wegelein, Florian H. Th.. Marine Scientific Research: The Operation and Status of Research Vessels and Other Platforms in International Law. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers. 2005.

Wismono, Ristyo Weka. “Unifikasi Pengaturan Penelitian Ilmiah Kelautan di Indonesia dalam Rangka Meningatkan Alih Teknologi Kelautan”, Tesis dari Universitas Diponegoro, 2008.

Jurnal_____ “Marine Scientific Research A revised guide to the implementation of the

relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea.” The Law of the Sea. Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea Office of Legal Affairs. 2010.

23

Page 24: Makalah Laut (Msr)

Brown, E. D.. “Freedom of Scientific Research and the Legal Regime of Hydrospace.” Indian Journal of International Law. vol. 9. 1985.

Burke, W. T.. “Marine Science Research and International Law.” Occasional Paper. No. 8. 1970.

Moore, J. R.. "The Future of Scientific Research in Contiguous Research Zones: Legal Aspects." The International Lawyer. vol. 8 1984.

Marr, Simon. “The Southern Bluefin Tuna Case: The Precautionary Approach and Management of Fish Resources”. EJIL Vol 11. 2000.

Winner, R.. "Science, Sovereignty, and the Third Law of the Sea Conference."Ocean Development and International Law Journal. vol. 14. 1990.

Wooster, W. S.. "Freedom of Oceanic Research." Ocean Development and International Law Journal. vol. 4. 1987.

Artikel Internet

SEJARAH http://p3sdlp.litbang.kkp.go.id/index.php/en/p3sdlp/sejarah diakses pada 2 Desember 2015. Tonnage. Duhaime’s Law Dictionary. diakses dari

http://www.duhaime.org/LegalDictionary/T/Tonnage.aspx pada tanggal 9 Desember 2015.

24