23
I. Pendahuluan Sehubungan dengan pertambahan penduduk yang semakin meningkat, maka permintaan akan pangan, sandang dan papan juga semakin meningkat. Ha inimendorong peningkatan kegiatan pembangunan di berbagai sektor yang mengakibatkan pemanfaatan ekosistim secara tidak rasional dan tidak terke Kegiatan pembangunan tersebut mengakibatkan penurunankualitas bahkan perusakan ekosistem itusendiri serta berdampak lanjut terhadap gangguan ekosistem lain yang berada di sekitarnya, sehingga mengakibatkan kehidupan organisme yang hidup di dalamnya maupun terhadap manusia. Salah satu problema yang menimpa masyarakat modern adalah ma pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran air. Air yang tercemar sudah t tidak dapat dipergunakan lagi untuk berbagai keperluan. Lebih cel tercemar mungkin akan membahayakan kehidupan biota yang hidup disekitarny Zat-zat buangan industry, terutama yang mengandung belerang dan nitrogen, diuraikan oleh bakteri anaerob, menghasilkan gas-gas H 2 S, NH 3 , dan CH 4 yang menimbulkan bau busuk. Demikian pula air limbah pabrik yang meng logam-logam dalam jumlah besar dapat menimbulkan keracunan dalam manusia. Prosespencemaranperairan pantai pada umumnya disebabkan oleh berbagai kegiatan yang merupakan sumber bahan pencemar perairan laut anta lain pemukiman, industri, transportasi, dan pertanian. Kegiatan-kegiatan potensil menghasilkan bahan pencemar yang merusak sistim kehidupan di dal ekosistim pantai. Berdasarkan definisi Fardiaz (1992) bahwa polusi penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, dengan demikian peraira

MAKALAH OKSIGEN TERLARUT

Embed Size (px)

Citation preview

I. Pendahuluan Sehubungan dengan pertambahan penduduk yang semakin meningkat, maka permintaan akan pangan, sandang dan papan juga semakin meningkat. Hal ini mendorong peningkatan kegiatan pembangunan di berbagai sektor yang mengakibatkan pemanfaatan ekosistim secara tidak rasional dan tidak terkendali. Kegiatan pembangunan tersebut mengakibatkan penurunan kualitas bahkan perusakan ekosistem itu sendiri serta berdampak lanjut terhadap gangguan ekosistem lain yang berada di sekitarnya, sehingga mengakibatkan gangguan kehidupan organisme yang hidup di dalamnya maupun terhadap manusia. Salah satu problema yang menimpa masyarakat modern adalah masalah pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran air. Air yang tercemar sudah tentu tidak dapat dipergunakan lagi untuk berbagai keperluan. Lebih celaka lagi, air tercemar mungkin akan membahayakan kehidupan biota yang hidup disekitarnya. Zat-zat buangan industry, terutama yang mengandung belerang dan nitrogen, akan diuraikan oleh bakteri anaerob, menghasilkan gas-gas H2S, NH3, dan CH4 yang menimbulkan bau busuk. Demikian pula air limbah pabrik yang mengandung logam-logam dalam jumlah besar dapat menimbulkan keracunan dalam tubuh manusia. Proses pencemaran perairan pantai pada umumnya disebabkan oleh berbagai kegiatan yang merupakan sumber bahan pencemar perairan laut antara lain pemukiman, industri, transportasi, dan pertanian. Kegiatan-kegiatan tersebut potensil menghasilkan bahan pencemar yang merusak sistim kehidupan di dalam ekosistim pantai. Berdasarkan definisi Fardiaz (1992) bahwa polusi air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, dengan demikian perairan yang

sudah tidak lagi berfungsi secara normal dapat dikatergorikan sebagai perairan tercemar. Ketchum (1971) lebih jauh menegaskan bahwa pencemaran disebabkan oleh masuknya zat-zat asing ke dalam lingkungan, sebagai akibat dari tindakan manusia, yang merubah sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis lingkungannya. Bahan-bahan pencemar tersebut digolongkan ke dalam tiga tipe yaitu: (1) patogenik (menyebabkan penyakit pada manusia), (2) estetik (menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak nyaman berdasarkan panca indera) dan (3) ekomorpik (bahan cemar yang menyebabkan perubahan sifat sifat fisika lingkungan). Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan dapat menimbulkan ancaman bagi ikan-ikan dan biota perairan sekitarnya. Ada juga bahan pencemar yang merangsang pertumbuhan ganggang. Akibatnya permukaan air tertutupi ganggang, sehingga sinar matahari tidak dapat membuat berlangsungnya fotosintesis dalam air, dan kadar oksigen terlarut dalam air berkurang. Oleh karena itu, salah satu parameter kualitas air adalah bergantung pada nilai oksigen terlarut (DO), BOD, dan COD. Fenomena pencemaran tersebut di atas cenderung telah terjadi di Kota Makassar dan sekitarnya yang mengakibatkan mutu periran pantai Losari semakin menurun dan tidak dapat dimanfaatkan sesuai peruntukannya. Beberapa hasil penelitian tentang mutu air pantai Losari menunjukkan bahwa kondisi perairan tersebut semakin mengalami penurunan. Hal ini didasarkan pada beberapa indikator yaitu keragaman jenis biota yang ditemukan semakin rendah dan kandungan bahan cemar seperti logam berat dan bahan organik yang semakin

meningkat, melewati batas-batas maskimal bagi perkembangan organisme di daerah tropis (Supriharyono, 2002).

II. Uraian Umum Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik Keperluan organism terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relative lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen

dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978). Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous, 2004). Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobic atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun.

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organic, pada kondisi aerobic. Pemecahan bahan organic diartikan bahwa bahan organic ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod, 1973). Parameter BOD, secara banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama menguraikan bahan organic yang ada dalam suatu lingkungan perairan, pada kondisi yang hampir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemerikasan BOD, contoh yang diperikasa harus bebas dari udara luar untuk mencegah kontaminasi dari oksigen yang ada udara bebas. Konsentrasi air buangan/sample tersebut juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar 9 ppm pada suhu 20 oC (Sawyer dan Mc Carty, 1978). Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacammacam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organism hidup bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organic menjadi CO2 dan H2O. reaksi oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktivitas biologis dengan kecepatan

reaksi yang berlangsung, sangat dipengaruhi jumlah populasi dan suhu. Karenanya selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan pada 20oC yang merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis, waktu yang diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organic terurai menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya di laboratorium, biasanya berlangsung selama 5 dengan anggapan bahwa selama waktu itu persentase reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5 hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70-80% dari nilai BOD total (Sawyer dan Mc Carty, 1978). Penentuan waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi kemunkinan hasil oksidasi ammonia (NH3) yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa, ammonia sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehigga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD. Reaksi kimia yang dapat terjadi adalah : 2NH3 + 3O2 2NO2 + O2 2NO2- + 2H+ + 2H2O 2NO3

Oksidasi nitrogen anorganik ini memerlukan oksigen terlarut, sehingga perlu diperhitungkan. Dalam praktek untuk penentuan BOD yang berdasarkan pada pemeriksaan oksigen terlarut (DO), biasanya dilakukan secara langsung atau dengan cara pengenceran. Prosedur secara umum adalah menyesuaikan pada suhu 20oC dan mengalirkan oksigen atau udara ke dalam air untuk memperbesar kadar oksigen terlarut dan mengurangi gas yang terlarut, sehingga sampel mendekati kejenuhan oksigen terlarut. Dengan cara pengenceran pengukuran BOD didasarkan atas kecepatan degradasi biokimia bahan organic yang berbanding

langsung dengan banyaknya zat yang tidak teroksidasi pada saat tertentu. Kecepatan dimana oksigen yang digunakan dalam pengenceran sampel berbanding lurus dengan presentase sampel yang dalam pengenceran dengan anggapan factor lainnya adalah konstan. Sebagai contoh adalah 10% pengenceran akan menggunakan sepersepuluh dari kecepatan penggunaan sampel 100% (Sawyer dan Mc Carty, 1978). Dalam hal dilakukan pengenceran, kualitas airnya perlu diperhatikan dan secara umum adalah akuades yang dipakai telah mengalami demineralisasi. Untuk analisis air laut, pengencer yang digunakan adalah standard sea water (SSW). Derajat keasaman (pH) air pengencer biasanya berkisar antara 6,5-8,5 dan untuk menjaga agar pH-nya konstan bisa digunakan larutan penyangga (buffer) phospat. Untuk menentukan BOD, terlebih dahulu diukur DO-nya (DO 0 hari), sementara sampel yang lainnya diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20oC, selanjutnya setelah 5 hari diukur DO-nya (DO 5 hari). Kadar BOD ditentukan dengan rumus : 5 X [ kadar { DO (0 hari) DO (5 hari)}] ppm Selama penentuan oksigen terlarut, baik untuk DO maupun BOD, diusahakan seminimal mungkin larutan sampai yang akan diperiksa tidak berkontak dengan udara bebas. Khusus untuk penentuan BOD, sebaiknya digunakan botol sampel BOD dengan volume 250 ml dan semua isinya dititrasi secara langsung. Adapun COD (Chemical Oxygen Demand) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi seluruh bahan organik (mudah urai dan sukar urai) secara kimiawi dengan menggunakan pereaksi kimia seperti oksidator kuat (KMnO4 dan K2Cr2O7).

COD juga merupakan indicator pencemar untuk pencemar limbah industry, pertambangan, atau pertanian. Dalam perairan laut alami, kadar COD sekitar 1,5 2x kadar BOD. Adapun oksidator yang paling sering digunakan dalam analisa COD adalah K2Cr2O7 sebab beberapa alas an diantaranya bahan ini dapat diperoleh dengan tingkat kemurnian yang tinggi, stabil, larutan standarnya mudah dibuat, mudah larut, dan kelarutannya homogen. Namun, dalam penentuan COD dalam lingkungan perairan terkadangan sangat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor diantaranya apabila kadar klorida dalam air laut sangat tinggi dan kadar bahan organiknya sangat rendah.

III. Metode Analisa 3.1 Penetapan BOD Cara Winkler 3.1.1 Prinsip Dasar Cara uji BOD pada dasarnya adalah pengukuran oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi Iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atau HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulafat (Na2S2O3) dan menggunakan indicator larutan amilum (kanji).

3.1.2 Reaksi

MnCl2 + NaOH 2 Mn(OH)2 + O2 MnO2 + KI + 2 H2O I2 + 2 Na2S2O3

Mn(OH)2 + 2 NaCl 2 MnO2 + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH Na2S4O6 + 2 NaI

3.1.3 a.

Pereaksi

Larutan Nutrisi

- Larutan dapar (buffer) Larutan garam-garam berikut secara terpisah dalam air suling steril: a. b. c. d. 8,5 gram Kalium hydrogen fosfat (KH2PO4) 21,73 dikalium hydrogen fosfat (K2HPO4) 33,4 g dinatrium hydrogen fosfat (Na2HPO4.7H2O) 1,7 g ammonium klorida Campurkan larutan a, b, c, dan d kemudian encerkan dengan air suling steril hingga 1 liter. Simpan dalam tempat yang gelap. Larutan ini mudah rusak dan tidak tahan lama, bila larutan keruh atau disimpan lebih dari 1 bulan tidak dapat dipergunakan lagi. - Larutan Magnesium Sulfat (MgSO4) Larutkan 22,5 g magnesium sulfat (MgSO4.7H2O) dalam air suling, kemudian encerkan hingga satu liter. - Larutan Ferri Klorida (FeCl3) dan Kalium Klorida (CaCl2) Larutkan garam-garam tersebut secara terpisah dalam air suling: a. 0,25 g FeCl3.6H2O

b. 27,5 g Kalsium Klorida (CaCl2) Campurkan larutan a dan b kemudian encerkan hingga 1 liter. b. Larutan Bibit Mikroba Dapat digunakan air limbah domestic atau air limbah dari clarifler pengolahan primer. Sebelum digunakan larutan ini disimpan dulu dalam udara terbuka pada suhu 20oC selama 24 jam sampai 36 jam kemudian saring melalui kapas dan kertas saring. c. Air Pengencer Dapat digunakan air suling bebas CO2 atau bebas mineral yang mengandung oksigen terlarut sekitar 8 sampai 10 mg/L pada suhu 20 oC yang diperoleh dengan cara mengalirkan gelembung udara ke dalam air. Apabila digunakan udara tekan, udara tersebut perlu digunakan melalui saringan. Udara ini tidak boleh mengandung zat-zat lain, seperti minyak, air, dan gas. Bila perlu uji kadar oksigen dalam air pengencer menurut ketentuan yang berlaku. d. H2SO4 0,05 M e. Larutan NaOH 0,1 M f. Larutan Na2SO3 0,0125 M g. KI 10% h. Asam asetat 7,7 M i. Larutan Indikator kanji j. Larutan alkali Iodida k. Larutan MnSO4 l. Asam Fosfat pekat

m. Larutan Baku Natrium Tiosulfat 0,1 N n. Larutan Iodidum 0,01 N

3.1.4 Peralatan a. Botol DO 250 mL atau 300 mL yang ditera sampai ketelitian 0,1 mL b. Thermostat atau incubator c. Buret 25 mL atau 50 mL d. Pipet skala 2 mL, 5 mL, 10 mL, dan 25 mL e. Labu ukur 100 mL dan 1000 mL f. Gelas piala 1000 mL

3.1.5 Perlakuan Contoh Pengamatan contoh uji yang dilakukan dari induk contoh yang sudah serba sama. Apabila terdapat zat-zat pengganggu, lakukan penhilangan menurut caracara di bawah ini. a. Klor Aktif Ke dalam 100 mL contoh uji, ditambahkan 10 mL larutan KI, 10 mL asam asetat dan beberapa tetes indicator larutan kanji. Jika terjadi warna biru titrasi dengan larutan Na2SO3 sampai berwarna biru tepat hilang. Catat pemakaian larutan Na2SO3 (a mL). ke dalam 100 mL contoh uji yang lain, tambahkan a mL larutan Na2SO3, kocok dan biarkan selama 10 menit, kemusdian tambahkan 10 mL larutan KI dan 10 mLCH3COOH. Bila campuran berwarna biru, titrasi dengan larutan Na2SO3 sampai warna biru tepat hilang. Catat pemakaian Na2SO3 (b mL). Ke dalam 100 mL contoh uji yang akan diuji COD-nya. Tambahkan (a+b) mL larutan Na2SO3.

b. Belerang Dioksida Apabila contoh uji mengandung belerang dioksida, tuangkan sejumlah volume tertentu contoh uji tersebut ke dalam gelas piala dan asamkan dengan H2SO4 sampai pH 3 atau lebih rendah. Catat pemakaian asam tersebut untuk diperhitungkan pada factor pengenceran apabila diperlukan.

c. Hidrogen Sulfida Cara menghilangkan sesuai dengan prosedur di atas dengan meniupkan gas N2 ke dalam contoh uji pada pH = 5 atau lebih rendah sampai bau sulfide hilang. d. Pengaturan pH Nilai pH contoh uji harus netral. Penetralan dapat dilakukan dengan penambahan asam sulfat larutan NaOH.

3.1.6 Prosedur Kerja Pembuatan larutan pengencer ini minimal sebanyak 2 liter, sehingga mencukupi untuk 6 botol DO. a. Pengenceran contoh uji Encerkan contoh uji dengan larutan pengencer hingga 1 liter. Pengenceran contoh uji dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: - Buat beberapa seri pengenceran Nilai BOD 5 diambil dari pengenceran yang memberikan sisi oksigen terlarut sekitar 1-2 mg/L setelah inkubasi 5 hari. - Apabila nilai BOD tidak dapat diperkirakan, dapat pula dilakukan pengenceran berdasarkan tabek berikut:

Macam air Limbah Untuk yang bebas pencemarannya berat Untuk yang mengalami pengendapan Untuk yang telah diolah Untuk air sungai yang sudah tercemari

Kepekatan contoh 0-1 % 1-5 % 5-25 % 25-100%

b. Tuangkan contoh uji yang telah diencerkan ke dalam 3 botol BOD sampai meluap kemudian tutup masing-masing botol dengan hait-hati, agar tidak terdapat gelembung udara. Tandai masing-masing botol dengan notasi I, II, dan III. Simpan botol II dan III dalam incubator 20 oC selama 5 hari. c. Tambahkan ke dalam botol BOD 12 mL larutan mangan dan 2 mL larutan alkali iodide dengan menggunakan pipet ukur mulai dari dasar botol terus ke permukaan secara vertical. d. Tutup botol BOD I dengan hati-hati, kocok kemudian biarkan sampai terbentuk endapan cokelat. e. Pisahkan contoh uji dalam botol BOD I menjadi 2 bagian. Tambahkan 1 mL asam fosfat pekat ke dalam masing-masing bagian sampai endapan larut. f. Titrasi masing-masing bagian dengan larutan baku natrium tio sulfat 0,01 N dengan menggunakan indicator larutan kanji sampai warna biru tepat hilang. Hasil titrasi menyatakan nilai oksigen terlarut pada nol hari (A1). g. Ulangi pengerjaan c sampai f untuk botol BOD II dan III setelah inkubasi 5 hari. Hasil titrasi menyatakan nilai oksigen terlarut pada hari (A2 dan A3). h. Lakukan pengerjaan c sampai f untuk menetapkan blanko dengan menggunakan larutan pengencer tanpa contoh uji. Hasil titrasi menyatakan

nilai oksigen terlarut nol hari (B1) dan nilai oksigen terlarut 5 hari (B2 dan B3).

3.1.7 Perhitungan Nilai DO dihitung sebagai berikut:

800 x A x N DO = Dimana: DO = Banyaknya oksigen terlarut A = Banyaknya larutan tio (mL) N = Normalitas larutan tio Vb = Volume botol BOD (mL) Nilai BOD 5 hari dihitung sebagai berikut: (2 + A3) BOD5 = (A12 Dimana: BOD5 = Nilai BOD 5 hari (mg/L) A1 = Nilai DO contoh sebelum inkubasi (mg/L) A2 = Nilai DO contoh setelah inkubasi (mg/L) B1 = Nilai DO larutan pengencer sebelum inkubasi (mg/L) B2 = Nilai Do larutan pengencer setelah inkubasi (mg/L) V = Volume contoh uji (mL) f = Nilai perbandingan jumlah larutan bibit dalam contoh dengan jumlah larutan bibit dalam larutan blanko (Vb-4)

(B2 + B3) -- (fB12 x1000/V))

3.2 Penentuan COD 3.2.1 Prinsip Dasar Zat organic dioksidasikan dengan larutan K2Cr2O7 dalam suasana asam (reaksi 1). Kelebihan K2Cr2O7 dititrasi kembali dengan garam ferro ammonium sulfat, reaksi 2 dengan menggunakan indicator ferroin. 3.2.2 Reaksi CnHaOb + Cr2O72Dimana: C = 2/3 n + a/b b/3 3Fe3+ + Cr2O72- + 14 H+ 2Fe3+ + 2Cr3+ + 7H2O nCO2 + a + 8eH2O + 2eCr+

3.2.3 Pengambilan dan Pengawetan Contoh Penetapan COD harus segera terutama untuk contoh yang tidak stabil. Apabila contoh mengandung lumpur, sebelum pemipetan harus dikocok dan diaduk terlebih dahulu sampai merata. Penangguhan pemeriksaan dapat dilakukan dengan pengawetan H2SO4 sampai pH 2 (0,8 mL H2SO4/L contoh). Untuk COD tinggi yang melebihi 200 mg/L sebaiknya dilakukan pengenceran terlebih dahulu. 3.2.3 Alat - Erlenmeyer - Buret 50 mL - Pipet Volum 15 mL

- Gelas piala 300 mL 3.2.4 Pereaksi - Larutan standard K2Cr2O7 0,0250 N - Asam sulfat (p) - Titran standard Ferro Ammonium Sulfat 0,01 N - Indikator Ferroin - HgSO4 kristal - Asam sulfamat, diperlukan apabila gangguan nitrat dihilangkan 3.2.5 Prosedur Kerja a. Pipet 10 mL sample ke dalam Erlenmeyer b. Tambahkan K2Cr2O7 0,0250 N (5 mL) c. Tambahkan 15 mL H2SO4 (p) dalam ruang asam d. Tutup Erlenmeyer dengan kaca arloji biarkan sampai 30 menit e. Encerkan dengan akuadest 7,5 mL, aduk f. Tetesi 2-3 tetes indicator Ferroin g. Titrasi dengan Ferro ammonium sulfat 0,01 N h. Buat blanko dengan menggunakan akuadest (B - 5) x 8 x N x 1000 ppm COD = mL sample

Dimana: B = mL Ferro ammonium sulfat untuk blanko 5 = mL Ferro ammonium sulfat untuk sample N = Normalitas Ferro ammonium sulfat

IV. Hasil dan Pembahasan 4.1 Kondisi Kualitas Air Perairan Pantai Losari 4.1.1 Suhu Suhu air merupakan parameter fisik air yang dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan karena berkaitan dengan tingkat kelarutan oksigen, proses respirasii biota perairan dan kecepatan degradasi bahan pencemar. Pada umumnya suhu permukaan perairan Indonesia adalah berkisar antara 28 - 31 oC. Suhu air yang terukur di perairan pantai Losai masih dalam kisaran yang normal yaitu berkisar antara 30 - 32 oC (Tabel 1) 4.1.2 Total Suspended Solid (TSS) Total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganic yang dapat disaring dengan kertas millipore berporipori 0,45 m. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yamg menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. Kandungan total padatan tersuspensi (TSS) yang terukur di perairan pantai Losari sudah sangat tinggi yaitu sekitar 104 - 456 ppm (Mispar, 2001). Perairan

yang mempunyai nilai kandungan padatan tersuspensi sebesar 300 - 400 ppm mutu perairan tersebut tergolong buruk (Allert, 1984). Berdasarkan kandungan TSS, perairan pantai Losari termasuk kategori tinggi karena kandungan padatan tersuspensinya jauh di atas ambang batas yang diinginkan yaitu 23 ppm.

4.1.3 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kimia air yang berperan pada kehidupan biota perairan. Penurunan okasigen terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan oksigen bagi biota perairan sehingga menurunkan kemampuannya untuk hidup normal. Menurut Lung (1993), kelarutan oksigen minimum untuk mendukung kehidupan ikan adalah sekitar 4 ppm. Nilai oksigen terlarut di perairan pantai Losari adalah berkisar antara 4,48 - 8,3 ppm. Nilai tersebut masih mendukung kehidupan biota perairan yaitu minimum 4, 0 ppm. Namun berdasarkan kriteria Miller dan Lygre (1994) yang didasarkan pada kandungan oksigen terlarut, maka kondisi perairan pantai Losari sudah termasuk kategori agak tercemar (DO = 6,7 - 7,9 ppm) sampai tercemar sedang (DO = 4,5 - 6,6 ppm).

4.1.4 Biochemical Oxygen Demand (BOD) BOD adalah jumlah oksigen yang digunkan untuk mendegrdasi bahan organik secara biokimia, sehingga juga dapat diartikan sebagai ukuran bahan yang dapat dioksidasi melalui proses biokimia. Oleh karena itu, tujuan pemeriksaan BOD adalah untuk menentukan pencemaran air akibat limbah domestic atau limbah industri.

Hasil penelitian Mispar (2001), menunjukkan nilai BOD di perairan pantai Losari berkisar antara 1,8 - 8,64 ppm (Tabel 1). Menurut Miller dan Lygre (1994), jika nilai BOD di atas dari 5,0 ppm maka perairan tersebut tergolong tercemar, sedang Mahida (1984) menganjurkan kadar BOD yang aman adalah tidak lebih dari 4 ppm. Dengan demikian, berdasarkan nilai BOD , perairan pantai Losari termasuk ke dalam kategori tercemar ringan - sedang.

4.1.5 COD Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi. Sama halnya dengan BOD, COD juga digunakan menduga jumlah bahan organik yang dapat dioksidasi secara kimia. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai COD perairan Pantai Losari sudah cukup tinggi yaitu berkisar antara 32 82 ppm. Mutu air yang baik untuk standar kualitas air limbah adalah 40 ppm (Allaert, 1984). Sedang nilai COD yang paling tinggi untuk kehidupan biota perairan adalah sekitar 10 ppm, dan untuk kebutuhan mandi dan renang lebih kecil dari 30 ppm. 4.1.6 Kandungan Logam Berat Hasil penelitian Lifu (2001), ternyata perairan pantai Losari telah terkontaminasi oleh logam berat antara lain besi (Fe), timbal (Pb) dan tembaga (Cu). Kandungan logam besi yang terukur adalah berkisar antara 0,00297 0,0324 ppm , timbal (Pb) sekitar 0,64 - 1,39 ppm dan tembaga (Cu) berkisar antara 0,37 - 0,57 ppm. Kehadiran jenis logam ini akan mengancam kehidupan biota perairan karena logam tersebut selain mempunyai sifat peracunan kronis juga bersifat akut.

Tabel 1. Nilai Beberapa parameter Kualitas Air di Perairan Pantai Losari.

4.2 Pengaruh Pembangunan Terhadap Kondisi Perairan Kegiatan pembangunan pada dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap perubahan beberapa komponen lingkungan, namun besarnya perubahan tersebut tergantung pada tingkat dan intensitas pembangunan yang dilaksanakan. Kegiatan pembangunan yang dilakukan di Kota Makassar dan sekitarnya diduga telah menimbulkan dampak terhadap penurunan kualitas perairan Pantai Losari. Dugaan ini telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa parameter kualitas air telah mengalami perubahan kandungan padatan tersuspensi, adanya gejala eutrofikasi dan peningkatan kandungan logam berat. Penyebab penurunan kualitas perairan pantai Losari diduga berasal dari tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di kota, kegiatan industri di sekitar kota makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang

serta Sungai Tallo. Terpusatnya penduduk di kota menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, baik limbah padat maupun cair. Selanjutnya limbah tersebut masuk ke dalam perairan pantai Losari melalui run-off dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan beberapa parameter kaulitas air seperti kandungan DO, BOD, COD, peningkatan kandungan deterjen dan munculnya senyawa-senyawa beracun dan eutrofikasi. Menurut Pike dan Gameson (1970), limbah domestik mengandung beberapa jenis bakteri patogen yang dapat menimbulkan beberapa penyakit seperti penyakit diare, keracunan makanan, tuberkulosa, polio dan hepatitis. Kegiatan industri yang ada di kota Makassar diduga ikut mempengaruhi penurunan kualitas perairan pantai Losari. Dalam banyak hal limbah industri walaupun telah diproses di IPAL, namun kualitasnya masih jelek (nilainya masih di atas ambang batas yang telah ditetapkan) saat dibuang ke laut, sehingga masih berpengaruh terhadap kualitas ekosistim perairan. Jenis bahan pencemar yang berasal dari industri adalah bahan organik yang degrdable dan non degradable (persisten) menyebabkan perubahan DO, BOD, COD, TSS, dan eutrofikasi, bahan organik yang tidak larut seperti logam berat. Kegiatan pertanian di hulu sungai juga menimbulkan dampak terhadap pencemaran perairan pantai. Pemakian pupuk yang berlebihan pada kegiatan pertanian menyebabkan terjadinya eutrofikasi, residu pestisida akibat penggunaan pestisida yang tidak terkontrol akan berpengaruh pada kematian biota laut serta timbulnya berbagai jenis bagi manusia yang mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh bahan aktif pestisida. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak terkair memikirkan bagaimana mengelola air buangan tersebut (mis.

Fardiaz, 1992 ; Supriharyono, 2002), agar fungsi perairan sebagai habitat dan sumber kehidupan dapat kembali pulih.

5.1 Kesimpulan 1. Kondisi perairan di kawasan ini saat ini sudah dikategorikan tercemar dengan komposisi dan kepadatan organisme yang semakin menurun. 2. Pencemaran yang telah berlangsung lama di kawasan ini telah menyebabkan distribusi dan komposisi organisme yang terbatas dan didominasi oleh sekelompok kecil organisme yang teradaptasi oleh kondisi lingkungan tercemar. 3. Pembangunan di kawasan pesisir kota Makassar adalah hal yang tidak bisa dihindarkan, namun demikian dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan laut sekitarnya sebaiknya di minimalisir. 4. Mengingat kualitas air di sekitar pantai losari sudah sangat memprihatinkan, diperlukan upaya untuk mengurangi tingkat pencemaran di kawasan ini (misalnya dengan water treatment plant) sehingga di masa depan kawasan yang merupakan salah satu kebanggaan Kota Makassar bisa lebih dinikmati oleh masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA Allert, G. dan S.S. Santika, (1987). Metode penelitian air. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Anonimous. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. No. 5 1 Tahun 2004. Tentang : Baku Mutu Air Laut. 2004. 11 hal. Fardiaz, S., (1992). Polusi air dan udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Jompa, J., (1996). Monitoring and Assessment of Coral Reef in Spremonde Archipelago, South Sulawesi. M.Sc. Thesis. McMaster University, Canada. Lung, W.S., (1993). Water quality modelling; application to estuaria. Vol. II CRC Press. Florida Mahida, U.N., (1986). Pencemaran air dan pemanfaatan limbah indudtri. Edisi II. Rajalai Press. Jakarta. Miller, G. dan G. Lygre, (1994). Chemistry a contemporary approach 3rd Edition. Wadworth Publishing Company. California. Mispar, M. (2001). Sebaran bahan organik dan total padatan tersuspensi di sekitar perairan pantai Losari Kota Makassar Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp. Pescod, M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59 pp Saru, M.A., (2001). Dampak sedimentasi terhadap pola distribusi makrozoobenthos di sekitar muara Sungai Jeneberang. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin.

Sawyer, C.N and P.L., Mc Carty, 1978. Chemistry for Environmental Engineering. 3rd ed. Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.: 405 - 486 pp.

Supriharyono (2002). Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ketchum, B.H. (1971). Pollution, natural resources, and biological effects of pollution of estuaries and coastal waters. The massachusetts Institute of Technology. Massachussetts.