Upload
citra-dwi-cahya
View
26
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Makanan yang Tekontaminasi Berakibat DemamTifoid pada Manusia
Citra P Dwi Cahya
102010307
D7
16 November 2011
Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat korespondensi :
Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Terusan arjuna no.6 Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Dengan terjadinya perubahan cuaca yang sangat signifikan, maka banyak sekali penyakit
yang menimpa pada penduduk Indonesia saat ini. Mulai dari penyakit yang disebabkan oleh
bakteri, virus, dan vector nyamuk. Semua verktor itu bisa menularkan atau menyebabkan
penyakit apabila mereka masuk ke tubuh kita. Bahkan akibat dari penyebaran itu bisa sampai
terjadi kejadian luar biasa. Namun saat ini sudah di ciptakan berbagai imunisasi atau vaksin
untuk beberapa penyakit itu, sehingga untuk melakukan pencegahan ataupun untuk pengobatan
kita sudah bisa memakainya. Walaupun vaksin dan imunisasi sudah banyak ada dan bisa untuk
mengobati berbagai penyakit, tetapi bakteri dan virus pun semakin banyak dan berkembangbiak.
Sehingga banyak muncul penyakit baru di Indonesia ini dan belum ditemukan vaksinnya. Karena
lingkungan sudah tidak bersahabat dengan kita, maka dari itu hanya diri kita yang bisa menjaga
kita dari serangan penyakit itu. Banyak cara yang bisa kita lakukan, namun yang paling pertama
tubuh kita akan membentuk imun untuk melawan penyakit yang pertama masuk, kemudian jika
penyakit itu semakin banyak di tubuh kita dan imun tidak dapat melawan maka kita
membutuhkan penanganan yang lebih lanjut.
Ibarat payung yang digunakan di kala hujan atau matahari terik, sistem imun melindungi
tubuh kita dari berbagai kuman dan mikro-organisme setiap hari. Bila tidak ada perlindungan itu,
maka tubuh kita akan mudah diinfeksi oleh kuman dan mikro-organisme tersebut. Sistem imun
1
kita terdiri dari rangkaian sel, protein, jaringan otot, dan organ-organ tertentu. Sel yang terlibat
dalam sistem imun manusia adalah lekosit (sel darah putih) yang diproduksi dan disimpan di
berbagai lokasi di tubuh, seperti thymus, limpa, dan sumsum tulang. Dari lokasi-lokasi tersebut,
lekosit menyebar ke seluruh organ tubuh melalui pembuluh limpatik dan pembuluh darah.
Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh dapat bekerja secara terkoordinasi dalam mengawasi
pertahanan tubuh kita. Semua bagian sistem imun itu bekerja melindungi tubuh kita dari berbagai
penyakit. Perlindungan itu dinamai imunitas. Namun, imunitas setiap orang berbeda. Ada yang
terlihat selalu sehat, ada yang mudah sakit. Seiring pertambahan usia, antibodi kita pun mengenal
semakin banyak antigen. Itulah sebabnya orang dewasa cenderung lebih jarang sakit
dibandingkan anak-anak. Perbedaan itu bisa terletak pada salah satu dari tiga jenis imunitas yang
pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang.
Pembahasan
Demam adalah peningkatan abnormal suhu badan rectal minimal 380C. demam
merupakan tanda adanya masalah yang menjadi penyebab, bukan suatu penyakit, dan tidak
terjadi dengan sendirinya. Data klinis terkait menemukan tanda yang menunjukan keseriusan
demam (mis, anak yang aktif dan sadar memiliki suhu 40oC secara umum kurang
mengkhawatirkan dibandingkan dengan bayi yang lesu dan letargik dengan suhu 39oC).1 Definisi
demam adalah suhu rectal yang lebih dari 38oC (100,4oF). suhu normal dapat berfluktuasi
sepanjang hari, berkisar antara 36,1oC-38oC(97oF-100,4oF). umumnya suhu tubuh pada anak-
anak lebih tinggi, kemudian menurun hingga pada tingkat dewasa pada usia 13-14 tahun pada
anak perempuan, dan 17-18 tahun pada anak laki-laki.
Pemeriksaan pasien
Anamnesis
Dalama mengevaluasi pasien dengan kemungkinan infeksi, ada beberapa pertanyaa
penting yang harus di pertimbangkan :
Apakah gejala yang ada menunjukkan proses infeksi , yaitu tidak mungkin atau hamper
tidak mungkin demam disebabkan oleh hal lain?
2
Panjanan infeksi (makan di luar rumah, penyakit demam dalam kontak rumah tangga,
susu atau keju tanpa pasteurisasi, telur dan produk ayam yang di masak kurang matang).3
Di mana kemungkinan letak infeksi? Gejala yang timbul dari suatu organ tertenu
biasanya bisa di jadikan petunjuk letak infeksi. Gejala non spesifik (demam, mialgia) bisa
terjadi pada infeksi generalisata (septicemia atau viremia).
Pasien ini telah terpapar pad organism apa ? adalah penyakit epidemic local, seperti
influenza, kolera, dan lain-lain.
Adakah alas an mengapa pasien ini mudah terkena infeksi ? orang dengan system imun
yang tertekan lebih mudah terkena infeksi, termasuk oleh organism yang biasnya non-
patogen.
Adakah bukti kerusakan jaringan atau organ (ginjal, paru, dan lain-lain)? Ini bisa
menentukan perlu tidaknya terapi suportif (seperti ventilasi mekanik, support tekanan
darah).1
Hasil anamnesis
o Suhu tubuh naik turun menerus sejak 7 hari yang lalu.
o Suhu meningkat terutama sore.
o Panas disertai menggigil, kadang sampai mengigau.
o Pasien belum BAB sejak 5 hari yang lalu.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti harus di ulangi secara regular. Semua tanda-tanda
vital merupakan petunjuk yang relevan. Suhu tubuh harus di ukur secara oral atau pun
rectal, tetapi lokasi spesifik yang digunakan harus konsisten. Hasil pengukuran suhu
aksila dikenal sebagai petunjuk yang tidak bisa diandaikan sebagaimana halnya hasil
pengukuran oral yang dikerjakan segera setelah minum minuman dingin atau panas,
merokok ataupun setelag mengalami hiperventilasi.2
Hasil pemeriksaan fisik
o TD 105/75 mmHg.
3
o Demam yang tinggi terus menerus (390C).
o Denyut nadi 88x/menit.
o Murmur (-), ronkhi basah halus pada basal paru.
o Hepatosplenomegali.
Diagnosis deferensial3
Diagnosis working
Demam tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh salmonella typhi, yang
sampai saat ini mejadi masalah kesehatan yang masih perlu mendapatkan perhatian. WHO
memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia menjadi 16-33 juta dengan 500-600
ribu kematian tiap tahunnya, sekitar 3,5% dari seluruh kasus yang ada. Di Indonesia, demam
tifoid merupakan penyakit endemic (penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang waktu
walaupun dengan angka kejadian yang kecil) dan termasuk penyakit menular yang tercantum
dalam undang-undang nomor 6, tahun 1962, tentang wabah. Angka kejadian demam tifoid
bervariasi di setiap daerah. Hal ini berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
4
Malaria Demam (perabaan atau pengurukuran dengan termometer)Pucat pada conjungtiva palpebrae atau telapak tanganPembesaran limpa (splenomegali)Pembesaran hepar (hepatomegali)
demam tifoidsuhu tubuh meningkat dan menetap.suhu meningkat terutama sore dan malam hari.demam yang tinggi terus menerus (39-400C),hepatosplenomegali, nyeri tekan.perut kembung (meteorismus).
leptospirosisDemamMenggigil Sakit kepalaMeningismusAnoreksiaMialgiaConjuctivalSuffosionMualMuntahNyeri abdomenIkerusHepatomegaliRuam kulitfotopobi
memadai dan sanitasi lingkungan yang buruk serta pembuangan sampah yang kurang memenuhi
syarat kesehatan lingkungan. Vaksinasi terhadap demam tifoid merupakan alternative untuk
menurunkan kejadian demam tifoid mengingat semakin meningkatnya kuman tifoid yang kebal
terhadap antibiotika.4
Diagnosis demam typhoid tidak selalu didapatkan setelah semua kriteria diagnosis
terpenuhi, mengingat panjangnya perjalanan penyakit tersebut. Gejala klinis yang khas dapat
menjadi dasar untuk pemberian terapi empirik sebelum pemeriksaan penunjang lainnya
dilakukan guna mencegah perburukan atau komplikasi lebih lanjut dari penyakit tersebut. Tidak
jarang pula diagnosa demam typhoid ditegakkan secara eksjuvantibus.
Diagnosis klinis terutama ditandai oleh adanya panas badan, gangguan saluran
pencernaan, gangguan pola buang air besar, hepatomegali/spleenomegali, serta beberapa
kelainan klinis yang lain. Diagnosis laboratoris kebanyakan di Indonesia memakai tes serologi
Widal, tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya sangat terbatas, belum ada kesepakatan titer dari
masing – masing daerah. Biakan S. Typhi merupakan pemeriksaan baku emas, tetapi hasilnya
seringkali negatif dan memerlukan waktu lama, padahal dokter harus segera memberi
pengobatan. Beberapa serodiagnostik lain yang telah dikembangkan seperti TUBEX, merupakan
pemeriksaan Immunoassay yang dapat mendeteksi anti-salmonella 09 dengan sensitivitas dan
spesifisitas 100%.4
Etiologi
Demam tifoid, di masyakarat di kenal dengan nama sakit tifus. Disebabkan kuman
Salmonella typhi. Kuman ini masuk ke tubuh kita melalui makanan dan minuman yang tercemar.
Setelah kuman masuk tubuh biasanya akan timbul gejala penyakit (masa inkubasi) setelah 7-21
hari. Demam typhoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah kuman
gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan anaerob fakultatif yang
memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi memiliki antigen H yang
terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang terletak pada envelope, serta
komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel. Ada dua sumber penularan
5
salmonella typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang
yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air
kemih selama lebih dari 1 tahun.
Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella ,
khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi. Bakteri salmonella ini mempunyai karakteristik
batang gram-negatif, Beta-hemolitik, dan tidak memfermentasikan laktosa. Salmonella
menyebabkan dua kelompok besar penyakit, yaitu demam tifoid dan gastroenteritis.
Salmonela tifoid (S. typhi atau S. paratyphi) menyebabkan penyakitsistemik yang tidak
disertai diare. Infeksi terjadi lewat kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau lewat
kontak tak-langsung dengan makanan atau air yang terkontaminasi. Mikroorganisme yang
tertelan masuk ke dalam sistem limfatik dan aliran darah dari usus halus sehingga terjadi demam
tinggi, rose spots pada kulit, konstipasi, bradikardi dan kemungkinan perdarahan usus disertai
perforasi.5
Salmonela nontifoid(kelompok luas) menyebabkan gastroenteritis yang ditandai oleh
mual, muntah, demam dan diare berdarah dan berlendir yang terjadi dalam waktu 72 jam
sesudah mengonsumsi makanan atau air yang terkontaminasi. Transmisi terjadi akibat makanan
yang tidak diolah dengan baik yang terkontaminasi feses, terutama telur dan daging unggas di
samping terjadi lewat kontaminasi fekal-oral dari manusia lain atau dari hewan peliharaan,
khususnya reptil (misalnya, ular, kadal, kura-kura dan iguana).5
Epidemiologi
Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim. Kebersihan
perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun lingkungan hidup
umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi
penyebaran penyakit ini.
Penyebaran Geografis dan Musim
6
Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia. Penyebarannya tidak
bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu sering merebak di daerah yang kebersihan
lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.
Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin lelaki atau
perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak. Orang dewasa sering
mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri.
Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Usia Persentase
12 – 29 tahun 70 – 80 %
30 – 39 tahun 10 – 20 %
> 40 tahun 5 – 10 %
Pada demam tifoid ini tidak ada perbedaan yang nyata antara insidens pada pria dan
wanita. Didaerah endemik tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa
sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidens pada penderita
yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% penderita berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-
20% antara 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.3
Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella parathyphi (S. paratyphi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman di
musnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plak Peyeri ileum
7
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang dapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah ( mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendoteial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan di sertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik.3
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman di
keluarkan melalui feses dan sebagian lagi masuk kedalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubungan makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.3
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.3
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ
lainnya.3
Gejala klinis6
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang
tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan
tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
8
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit
yang khas di derita komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala klinis
penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya di dapatkan
suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore
hingga malam. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relative (bradikardi relative adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor,
koma, delirium, atau psikos. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.3
1. Masa inkubasi : 10 -14 hari (mungkin kurang dari 7 hari atau lebih dari 21 hari).
2. Keluhan utama yang mencolok:
1. Panas yang makin tinggi terutama pada malam hari dan pagi hari, bila panas sering
disertai delirium, demam dapat bersifat remitten dapat pula kontinua. Suhu
meningkat dan bertahap seperti tangga, mencapai puncaknya pada hari ke 5, dapat
mencapai 39o - 40oC.
2. Lemah badan, nyeri kepala di frontal.
3. Mual - anoreksia.
4. Gangguan defekasi :
Obstipasi pada minggu I.
Diare pada minggu II (peas soup diare). Karena peradangan kataral dari
usus, sering disertai dengan perdarahan dari selaput lendir usus, terutama
ileum.
9
5. Insomnia.
6. Muntah.
7. Nyeri perut.
8. Apatis/bingung dapat diakibatkan toksik menjadi delirium yang akan menjadi
meningismus (akhir minggu ke I).
9. Myalgi/atralgi.
10. Batuk.
3. Nadi terjadi bradicardi relatif (normalnya frekuensi nadi akan meningkat sebanyak
18x/menit pada setiap peningkatan suhu tubuh sebanyak 1o C, pada demam typoid denyut
nadi akan lebih lambat dari perhitungan yang seharusnya), hal ini disebabkan oleh karena
efek endotoksin pada miokard.
o Lidah, typhoid tongue, dengan warna lidah putih kotor kecoklatan dengan ujung dan tepi
hiperemis dan terdapat tremor.
o Thoraks, paru-paru dapat terjadi bronchitis/pneumonia, pada umumnya bersifat tidak
produktif, terjadi pada minggu ke II atau minggu ke III, yang disebabkan oleh
pneumococcus atau yang lainnya.
o Abdomen, agak cembung dan meteorismus.
1. Splenomegali pada 70% dari kasus, dengan perabaan keras, mulai teraba pada akhir
minggu ke I sampai minggu ke III, akan tetapi dapat juga lunak dan nyeri tekan
positif.
2. Hepatomegali pada 25% dari kasus, terjadi pada minggu ke II sampai dengan masa
konvalesens.
10
3. Kantung empedu, merupakan sumber kuman yang dapat tetap utuh, dapat terjadi
kholesistitis akut terutama pada wanita tua dan gemuk. Karier sering terjadi pada
penderita dengan kholesistitis kronik dan batu empedu. Meteorismus, kita harus
hati-hati untuk tanda perforasi/adanya perdarahan pada usus.
4. Perubahan terjadi pada bagian distal dari Ileum, Plaque payeri menunjukkan :
Hiperplasti pada minggu ke I.
Nekrose pada minggu ke II.
Ulcerasi pada minggu ke III.
Penyembuhan pada minggu ke IV.
o Kulit, Rose spot, adalah suatu rash yang khas untuk tipoid, terjadi pada akhir minggu ke I
sampai minggu ke III terutama pada dinding dada dan perut. Hal ini terjadi karena
infiltrasi oleh sel monosit pada ujung-ujung kapiler yang disebabkan oleh infiltrasi
kuman Salmonella typhi pada kulit, yang menyebabkan terjadinya proses radang,
sehingga terjadi perembesan dari sel eritrosit, karena permeabilitas kapiler meningkat.
o Ginjal, karena 25% - 30% dari penderita demam tifoid mengeksresikan Salmonella typhi
dalam air kemih pada stadium akut dari penyakit, maka dianggap bahwa ginjal sering
terjangkit. Tetapi kelainan ginjal yang menetap jarang terjadi, seperti juga jarangnya
karier air kemih.
o Sistim syaraf pusat, dapat timbul encephalopathy dengan ring haemorrhagic, trombus
kapiler, demyelinasi perivaskuler, transverse myelitis dan Guillain Barre syndrome.
Meningitis purulenta telah dilaporkan. Penurunan pendengaran juga sering ditemukan.
o Lesi-lesi fokal, abses tifoid dapat terjadi dimana-mana:
1. Osteomyelitis.
2. Abses otak.
11
3. Abses limfa.
4. Eksudat pada kasus-kasus ini merupakan suatu PMN dan bukan mononuklear.
o Status typhosa :
1. Toxic
2. Mengantuk
3. Apatis
4. Delirium
5. Incontinentia urine et alvi
6. Tremor halus: tangan dan lidah.
7. Gejala psikose sampai koma.6
Penatalaksaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Istirahat dan Perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan.
2. Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
3. Pemberian Antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman
Istirahat dan Perawatan,tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi.Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
12
Diet dan Terapi Penunjang,diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.Di
masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi
bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi
dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
Pemberian Antimikroba,Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati
demam tifoid adalah sebagai berikut:
Kloramfenikol.DiIndonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara
per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester yang dapat terjadi dan tempat suntikan terasa nyeri.
Penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.
Tiamfenikol.Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg,
demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Kotrimokaazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (I tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin dan Amoksisilin.Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan
digunakan selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang
terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama enamjam perinfus sekali sehari, diberikan selama
3 hingga 5 hari.
13
Golongan Fluorokuinolon.Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan
pemberiannya :
•. Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
• Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
• Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7
hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.Hasil
penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan
fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon
yang'dikembangkan kemudian.
Kombinasi obat antimikroba,kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada
keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang
pernah terbukti ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella.
Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam
tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3x5 mg.
Pengobatan demam Tifoid-pada wanita hamil,kloramfenikol tidak dianjurkan pada
trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus
intrauterin, dan grey Syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada
trimester pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia
belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat digunakan. Demikian
juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk
mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.3
Pencegahan6
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi
di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57ºC untuk beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah
14
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta
tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan
angka kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman
yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan
interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada
anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan
secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.6
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
Daerah non-endemik ,tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi.Tindakan preventif dapat dilakukan dengan cara:
Menjaga sanitasi air dan kebersihan lingkungan Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-minuman Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier Bila ada kejadian epidemi tifoid Pencarian dan eliminasi sumber penularan Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
Padadaerahendemic,tindakanpreventifdapatdilakukandengancara:
Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570C, iodisasi, dan klorinisasi).
Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/buah) Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.
Vaksinasi
Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar 67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri,tetapi tidak mampu proteksi bila terpapar 107 bakteri.
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam
15
tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika). Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid juga dianjurkan untuk mendapat vaksinisasi, dan vaksinisasi jugadi indikasikan bagi petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Terdapat dua jenis vaksin pada demam Tifoid, yaitu Vaksin oral: Ty21a (vivotif Berna).Yang besisi vaksin hidup yang dilemahkan, danVaksin parenteral: ViCPS (TyphimVi/Pasteur Merieux), yaitu vaksin kapsul polisakarida Vi dari S.Thypii. Namun kedua vaksin ini hanya dapat memberikan perlindungan 60-70%.4-7
Pemilihan Vaksin
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada anak > 10 tahun sedangkan anak usia 5-9th insidens turun 17%.
Vaksin parenteral non-aktif,relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupunTy21a oral.Jenis vaksin dan jadwal pemberian, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS (Typhim Vi).
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor resiko yang berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya.Populasi,khususnyaanak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.Individual,khusunyapengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat dengan pengidap tifoid (karier).Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respons imunologisnya sama dengan anak usia lebih besar.6
Kontraindikasi Vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan denga obat anti-malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi.Dianjurkan tidakmemberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamid atau antimikroba lainnya.6
Efek Samping vaksinasi
Pada vaksin Ty21a demam yang timbul pada orang yang mendapat vaksinsebesar 0- 5%, sakit kepala 0-5%, sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil(demam 0,25%; malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal 17%). Efek samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heatphénol inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri dan edema 3-35%,bahkan reaksi berat termasuk nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun sangat jarang terjadi.6
16
Efektivitas Vaksinasi
Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari -3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik (Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.6
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angkatan kematian pada
anak-anak 2,6 % dan pada orang dewasa 7,4% rata-rata 5,7%.3
Prognosis untuk penderita dengan demam enteric tergantung pada terapi segera, usia
penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab, dan munculnya
komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi antimikroba yang tepat, angka mortalitas dibawah
1%. Di Negara yang sedang berkembang, angka mortalitas lebih tinggi daripada 10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, rawat inap rumahsakit, dan pengobatan. Bayi dengan umur
dibawah satu tahun dan anak-anak dengan gangguan dasar yang melemahkan berada pada risiko
yang lebih tinggi. S. typhi menyebabkan penyakit yang lebih berat, dengan angka komplikasi dan
kematian yang lebih tinggi, dari pada serotiplain. Munculnya komplikasi, seperti perforasi
saluran pencernaan atau perdarahan berat, meningitis, endocarditis dan pneumonia disertai
dengan angka morbiditas dan moralitas tinggi.
Relaps sesudah respons klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati dengan
antibiotic. Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat, manifestasi klinis
relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antobiotik dengan menyerupai
penyakit akut. Namun relaps biasanya lebih ringan dan lebih pendek.
Dapat pula terjadi relaps berulang terutama pada individu yang mengekskresi S. typhi
tiga bulan atau lebih lama sesudah infeksi, biasanya berkisar satu tahun dan ditetapkan sebagai
pengidap kronis. Risiko menjadi pengidap rendah pada anak dan bertambah pada umur yang
lebih tua: dari semua penderita dengan demam tifoid, 1-5% menjadi pengidap kronis. Insiden
penyakit saluran empedu lebih tinggi pada pengidap kronis dari pada pada populasi umum.
17
Prognosis demam tifoid bergantung pada umur, keadaan umum, derajat kekebalan penderita, jumlah bakteri dan virulensi dari bakteri.2 Tifoid yang tidak diobati memiliki angka mortalitas yang mendekati 20%.3
Komplikasi
Tifoid sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang
dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
demam tifoid yaitu :
Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasis usus, ileus paralitik, pankreatitis
Komplikasi ekstra-intestinal
Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis
Komplikasi darah: anemia hemolititk, trombositopeniam KID, trombosis
Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier: hepatitis kolesistis
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
Komplikasi tulangL osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis
Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksis.3
KomplikasiIntestinal3
Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjangterhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding ususmaka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat
terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25%
penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi
darah. Perdarahan dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis pererdarahan
akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor
hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat mortalitas cukup tinggi sekitar 10-
32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat
mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.
Perforasi Usus
18
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa
terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama
di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perutdan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat,tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosit dengan pergeseran ke kiri dapat
menyokong adanya perforasi.Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi)
ditemukanudara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai
yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang
dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30) demam, modalitas
pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobnati kuman S. typhitetapi
juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya
diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena.
Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harusdiberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuaskan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
Komplikasiekstra-Intestinal
Komplikasi Hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia,hipofibrino-gemina,peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time peningkatan fibrin degradation
products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KJD) dapat ditemukan pada kebanyakan
pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena
menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan
adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan
kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh
darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi, baik KID kompensata
maupun dekompensata.Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi
19
trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin meskipun ada pula yang tidak
sependapat tentang manfaat heparin pada demam tifoid.
Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. Typi daripada S. paratyphi. Untuk membedakan
apakah, hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan
kelainan fisik parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid
kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin(untuk membedakan
dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitistifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi
dan sistem yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.
Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat
disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik.
Pemeriksaan enzim amilase dan B serta ultrasonograafi/CT-Scan dapat membantu diagnosis
penyakit ini dengan akurat.Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan
pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti
seftriakson atau kuinolon.
Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya
tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif,
aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan
elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini
disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S. typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab
kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.
Tifoid Toksik
Tifoid toksik dapat berupa delirium dengan atau tanpa sindrom, semi-koma atau koma,
Parkinson rigidit/transientparkinsonism,sidrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus,
skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer,
sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.
20
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor, atau koma)
dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih
dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid
toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid
ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang
buruk, tingkat pendiidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan
kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan
akibatnya meningkatkan angka kematian.
Semua kasus tifoid toksik, terjadi dengan pertimbangan klinis sebagai demam tifoid
berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x400 mg ditambah ampisilin 4
x 1 gram dan deksametason 3x5 mg.3
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi.
Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan dan lebih bervariasi. Demam
adalah gejala yang paling konstan di antara semua penampakan klinis.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare
atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh
meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan malam hari.
Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi terus menerus, nafas
berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah /terkupas, lidah ditutupi
selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan tremor, pembesaran hati dan limpa dan
timbul rasa nyeri bila diraba, perut kembung. Anak nampak sakit berat, disertai gangguan
kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif, acuh tak acuh (apatis) sampai berat (delirium,
koma).
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Safitri, A.Medicine at a glance.Jakarta: Penerbit Erlangga.2003.h.64-1.
2. Rahmalia, A.Lecture notes on clinical medicine.Jakarta: Penerbit Erlangga.2005.h.387.
3. Sudoyo AW,Setiyohadi B,Alwi I,Simadibrata M,Setiati S.Ilmu penyakit dalam.Jakarta:
Interna Publishing.2009.p.2798-805.
4. Wahyuningsih, E.Panduan belajar:keperawatan pediatric, E/3.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.2005.h.185.
5. Hartono A. Intisari mikrobiologi dan imunologi.Jakarta:EGC.2006.p.53.
6. Suharjo, J.Vaksinasi,cara ampuh cegah penyakit infeksi.Jakarta: Penerbit
Kasinus.2010.h.92-5.
7. Asdie, H.Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.vol.1.E/13.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
22