Upload
dian-susanti
View
205
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP
KETERSEDIAAN AIR
Disusun Oleh:
Kelompok 2
1. Destyana Puspitasari H0711031
2. Dhika Sri A. H0711032
3. Dian Susanti H0711035
4. Emma Femi P. H0711039
5. Robi Abraham H0711092
6. Wahyu Ardiyanto H0711108
7. Yhana Awang N. H0711112
Mata Kuliah Pengelolaan Air
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebentar lagi kita memasuki musim kemarau, masalah kekeringan,
kekurangan air minum, berita paceklik, hampir pasti akan kita dengar
kembali. Apalagi berdasarkan prakiraan lembaga penelitian nasional dan
intemasional, meskipun tidak terjadi el-nino tahun 2004, peluang curah hujan
musim kemarau diprakirakan normal sampai di bawah normal. Artinya pelan
dan pasti derita akibat kekeringan akan kita alami dan hadapi, terutama oleh
masyarakat miskin yang selama ini secara faktual sudah menderita.
Ironisnya, tneskipun terjadi berulang dengan intensitas, korban dan
kerugian terus meningkat, perhatian dan antisipasi pemerintah dan
masyarakat tidak proporsional, bahkan terkesan mudah melupakan begitu
kekeringan sudah berlalu, sehingga masalah esensialnya tidak pemah dan
tidak akan pemah diselesaikan. Tragisnya lagi, justru dalam kondisi tersebut,
masing-masing pihak mencoba mengeksploitasi masalah kekeringan untuk
kepentingan sektoral, personal sifatnya sesaat.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan
suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian
dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi
kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam
setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun demikian, suatu kekeringan yang
singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan kekeringan?
b. Apa saja faktor penyebab kekeringan?
c. Bagaimana dampak kekeringan baik fisik maupun non fisik?
d. Bagaimana usaha mitigasi untuk menangani bencana kekeringan baik pra
bencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana?
e. Bagaimana potensi bencana kekeringan di Jawa Tengah?
f. Bagaimana penyebab, dampak, dan mitigasi bencana kekeringan di Jawa
Tengah?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekeringan
Kekeringan adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan
air. Menurut Shelia B. Red (1995) kekeringan didefinisikan sebagai
pengurangan persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara
signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu
khusus. Dampak kekeringan muncul sebagai akibat dari kekurangannya air,
atau perbedaan-perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Apabila
kekeringan sudah mengganggu dampak tata kehidupan, dan perekonomian
masyarakat maka kekeringan dapat dikatakan Bencana. Tanda-tanda krisis
air, yaitu:
1. Kesulitan air saat ini hampir dipastikan berbeda dengan kekeringan
tahun-tahun sebelumnya karena tidak hanya terjadi di wilayah endemik
kekeringan klasik seperti Gunung Kidul, Nusa Tenggara Timur,
melainkan merambah wilayah yang sebelumnya memiliki sumber air
sangat melimpah seperti Bogor.
2. Ada pola pergeseran dan peningkatan luas (coverage) wilayah yang
mengalami kesulitan air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dari
hilir (down stream) bergerak ke atas dan meluas ke arab hulu (up stream)
yang secara konsisten trennya measurable. Wilayah yang sebelumnya
tidak pernah mengalami kekurangan air sekarang rnengalami kekeringan
yang luarbiasa.
3. Terjadinya peningkatan interval lamanya kekeringan sehingga secara
annual lamanya musim hujan semakin singkat. Dengan curah hujan
tahunan yang relatif tetap, maka intensitas hujan pada musim hujan akan
meningkat luar biasa. Dampaknya, tanah tidak dapat menyerap air hujan
secara maksimal karena dengan intensitas tinggi, rnaka sebagian besar air
akan dialirkan menjadi aliran permukaan. Konsekuensinya, penambahan
air ke dalam tanah (water recharging) sangat rendah dan pasokan air
pada musim kemarau menjadi rendah.
Menurut Shelia B. Red (1995) kekeringan bisa dikelompokan
berdasarkan jenisnya yaitu: kekeringan meteorologis, kekeringan hydrologis,
kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial ekonomi.
1. Kekeringan meteorologist
Berasal dari kurangnya curah hujan dan didasarkan pada tingkat
kekeringan relatif terhadap tingkat kekeringan normal atau rata–rata dan
lamanya periode kering. Perbandingan ini haruslah bersifat khusus untuk
daerah tertentu dan bisa diukur pada musim harian dan bulanan, atau
jumlah curah hujan skala waktu tahunan. Kekurangan curah hujan
sendiri, tidak selalu menciptakan bahaya kekeringan.
2. Kekeringan hidrologis
Mencakup mencangkup berkurangnya sumber–sumber air seperti sungai,
air tanah, danau dan tempat–tempat cadangan air. Definisinya
mencangkup data tentang ketersediaan dan tingkat penggunaan yang
dikaitkan dengan kegiatan wajar dari sistem yang dipasok (sistem
domestik, industri, pertanian yang menggunakan irigasi). Salah satu
dampaknya adalah kompetisi antara pemakai air dalam sistem–sistem
penyimpanan air ini.
3. Kekeringan pertanian
Kekeringan pertanian adalah dampak dari kekeringan meteorologi dan
hidrologi terhadap produksi tanaman pangan dan ternak. Kekeringan ini
terjadi ketika kelembapan tanah tidak mencukupi untuk mempertahankan
hasil dan pertumbuhan rata-rata tanaman. Kebutuhan air bagi tanaman,
bagaimanapun juga, tergantung pada jenis tanaman, tingkat pertumbuhan
dan sarana- sarana tanah. Dampak dari kekeringan pertanian sulit untuk
bisa diukur karena rumitnya pertumbuhan tanaman dan kemungkinan
adanya faktor–faktor lain yang bisa mengurangi hasil seperti hama,
alang–alang, tingkat kesuburan tanah yang rendah dan harga hasil
tanaman yang rendah. Kekeringan kelaparan bisa dianggap sebagai satu
bentuk kekeringan yang ekstrim, dimana kekurangan banjir sudah begitu
parahnya sehingga sejumlah besar menusia menjadi tidak sehat atau mati.
Bencana kelaparan biasanya mempunyai penyebab–penyebab yang
kompleks sering kali mencangkup perang dan konflik. Meskipun
kelangkaan pangan merupakan faktor utama dalam bencana kelaparan,
kematian dapat muncul sebagai akibat dari pengaruh–pengaruh yang
rumit lainnya seperti penyakit atau kurangnya akses dan jasa-jasa
lainnya.
4. Kekeringan sosioekonomi
Berhubungan dengan ketersediaan dan permintaan akan barang–barang
dan jasa dengan tiga jenis kekeringan yang disebutkan diatas. Ketika
persediaan barang–barang seperti air, jerami atau jasa seperti energi
listrik tergantung pada cuaca, kekeringan bisa menyebabkan kekurangan.
Konsep kekeringan sosioekonomi mengenali hubungan antara
kekeringan dan aktivitas–aktivitas manusia. Sebagai contoh, praktek–
praktek penggunaan lahan yang jelek semakin memperburuk dampak–
dampak dan kerentanan terhadap kekeringan di masa mendatang.
B. Faktor-Faktor Penyebab Kekeringan
Terjadinya kekeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-
faktor penyebab terjadinya bencana kekeringan antara lain:
1. Lapisan tanah tipis
Dengan lapisan tanah yang tipis, air hujan yang terkandung dalam tanah
tidak akan bertahan lama. Hal ini dapat terjadi karena air akan lebih cepat
mengalami penguapan oleh panas matahari. Biasanya bencana
kekeringan sering terjadi di daerah pegunungan kars,karena di daerah ini
memiliki lapisan tanah atas yang tipis.
2. Air tanah dalam
Air hujan yang jatuh pada saat musim penghujan, akan meresap jauh ke
dalam lapisan bawah tanah mengingat selain hanya mampu menyimpan
air dengan intensitas yang terbatas, tanah juga tidak mampu menyimpan
air dengan jangka waktu yang lebih lama. Hal ini menyebabkan aliran-
aliran air di bawah tanah (sungai bawah tanah) yang dalam, sehingga
tanaman tidak mampu menyerap air pada saat musim kemarau, karena
akar yang dimiliki tidak mampu menjangkaunya. Air tanah yang dalam
menyebabkan sumber-sumber mata air mengalami kekeringan di musim
kemarau,karena air yang terdapat jauh di bawah lapisan tanah tidak
mampu naik, sehingga kalaupun ada sumber mata air yang tidak
mengalami kekeringan pada musim kemarau, itu jumlahnya terbatas.
3. Tekstur tanah kasar
Tekstur tanah yang kasar, tidak mampu menyimpan air dengan jangka
waktu yang lama. Karena air hujan yang turun akan langsung mengalir
ke dalam, karena tanah tidak mampu menahan laju air. Di lain sisi, air
yang terkandung dalam tanah yang memiliki tekstur yang kasar akan
mengalami penguapan relatif lebih cepat, karena rongga-rongga tanah
jelas lebih lebar dan sangat mendukung terjadinya proses penguapan.
4. Iklim
Dalam hal ini iklim berkaitan langsung dengan bencana kekeringan.
Keadaan alam yang tidak menentu akan berpengaruh terhadap kondisi
iklim yang terjadi. Sehingga mengakibatkan perubahan musim.
Misalnya: Akibat perubahan kondisi iklim, menyebabkan musim
kemarau berjalan lebih lama daripada musim penghujan, dengan musim
kemarau yang lebih lama tentunya akan memungkinkan terjadinya
bencana kekeringan. Karena kebutuhan air kurang terpenuhi di musim
kemarau.
5. Vegetasi
Vegetasi juga mempunyai andil terhadap terjadinya kekeringan .Jenis
vegetasi tertentu seperti ketela pohon yang menyerap air tanah dengan
intensitas yang lebih banyak, daripada tanaman lain, tentunya akan
sangat menguras kandungan air dalam tanah. Dan lebih parahnya,
penanaman ketela pohon banyak terjadi di daerah pegunungan karst yang
rawan akan bencana kekeringan. Vegetasi lain yang dapat memicu
kekeringan adalah tanaman bambu. Bambu memiliki struktur yang sangat
rumit, dan menutupi permukaan tanah (lapisan tanah atas) di sekitar
bambu itu tumbuh. Sehingga kemungkinan tanaman lain untuk tumbuh
sangat kecil. Dengan demikian tanaman yang seharusnya berfungsi untuk
menyimpan air tidak ada atau terbatas jumlahnya.
6. Topografi
Topografi atau tinggi rendah suatu daerah sangat berpengaruh terhadap
kandungan air tanah yang dimiliki. Biasanya daerah yang rendah akan
memiliki kandungan air tanah yang lebih banyak daripada di daerah
dataran tinggi. Hal ini disebabkan karena air hujan yang diserap oleh
tanah akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Oleh
karena itu air akan lebih banyak terserap oleh tanah di dataran yang lebih
rendah. Dengan kata lain, di dataran tinggi kemungkinan terjadi bencana
kekeringan lebih besar daripada di dataran rendah. Karena dataran tinggi
tidak mampu menyimpan air lebih lama.
C. Dampak Kekeringan
Dampak adanya bencana kekeringan meliputi dampak fisik dan
dampak non fisik, yaitu:
1. Dampak Fisik
a. Kerusakan terhadap habitat spesies ikan dan binatang.
b. Erosi-erosi angin dan air terhadap tanah.
c. Kerusakan spesies tanaman.
d. Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas air (salinisasi).
e. Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas udara (debu, polutan,
berkurangnya daya pandang).
f. Kekeringan juga menjadikan tanah menjadi mengeras dan retak-
retak, sehingga sulit untuk dijadikan lahan pertanian.
g. Keadaan suhu siang hari pada saat kekeringan akibat musim
kemarau menjadikan suhu udara sangat tinggi dan sebaliknya pada
malam hari suhu udara sangat dingin. Perbedaan suhu udara yang
berganti secara cepat antara siang dan malam menyebabkan
terjadinya pelapukan batuan lebih cepat.
2. Dampak Non fisik
a. Ekonomi
1) Kerugian-kerugian produksi tanaman pangan, susu, ternak,
kayu, dan perikanan.
2) Kerugian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
3) Kerugian pendapatan petani dan lain-lain yang terkena secara
langsung.
4) Kerugian-kerugian dari bisnis turisme dan rekreasi.
5) Kerugian pembangkit listrik tenaga air dan meningkatkan biaya-
biaya energy.
6) Kerugian-kerugian yang terkait dengan produksi pertanian.
7) Menurunya produksi pangan dan meningkatnya harga-harga
pangan.
8) Pengangguran sebagai akibat menurunnya produksi yang terkait
dengan kekeringan.
9) Kerugian-kerugian pendapatan pemerintah dan meningkatnya
kejenuhan pada lembaga-lembaga keuangan.
b. Sosial Budaya
1) Saat terjadi kekeringan, tanah menjadi kering dan pasir lembut
atau debu mudah terbawa angin. Hal ini menyebabkan debu ada
dimana, sehingga menimbulkan banyak gejala penyakit yang
berhubungan dengan pernafasan. Banyak orang yang akan sakit
flu dan batuk.
2) Pengaruh-pengaruh kekurangan pangan ( kekurangan gizi,
kelaparan).
3) Hilangnya nyawa manusia karena kekurangan pangan atau
kondisi-kondisi yang terkait dengan kekeringan.
4) Konflik di antara penggunan air.
5) Masalah kesehatan karena menurunnya pasokan air.
6) Ketidakadilan dalam distribusi akibat dampak-dampak
kekeringan dan bantuan pemulihan.
7) Menurunnya kondisi-kondisi kehidupan di daerah pedesaan.
8) Meningkatnya kemiskinan, berkurangnya kualitas hidup.
9) Kekacauan social, perselisihan sipil.
10) Pengangguran meningkat, karena yang tadinya bertani
kehilangan mata pencaharian.
11) Migrasi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan atau bantuan
pemulihan, banyaknya TKI (tenaga kerja indonesia) yang
memilih keluar negeri.
c. Politik
Pemerintah harus bekerja keras untuk membuat kebijakan
penanggulangan bencana kekeringan. Badan khusus penanggulangan
bencana juga harus dibentuk, seperti yang sudah dibentuk di
Indonesia yanitu BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
D. Mitigasi Bencana Kekeringan
Mitigasi adalah meminimalkan dampak pengaruh iklim terhadap
ancaman banjir dan kekeringan dengan meningkatkan pengendalian limpasan
air/pencemaran air di daerah Aliran Sungai. Upaya ini dapat dilakukan
dengan perencanaan tata ruang (kawasan konservasi dan kawasan kerja),
pengendalian pemanfaatan lahan, intrumen Indeks Konservasi (Keppres
No.114 1999 Kawasan Konservasi Bopuncur), reboisasi, artificial recharge
dsb. Strategi Mitigasi dan Upaya Pengurangan Bencana
1. Penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan sistem pengiriman
data iklim dari daerah ke pusat pengolahan data.
2. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air
dengan memperhatikan historical right dan azas keadilan.
3. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
4. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan/perbaikan jaringan
pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan.
5. Pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah
rawan kekeringan
6. Memberikan sistem reward dan punishment bagi masyarakat yang
melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi sumber daya air dan hutan/
lahan.
Jika lebih dirincikan, tahap mitigasi bencana kekeringan adalah sebagai
berikut:
1. Pra bencana
a. Memanfaatkan sumber air yang ada secara lebih efisien dan efektif.
b. Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang masih tersedia
sebagai air baku untuk air bersih.
c. Menanam pohon dan perdu sebanyak-banyaknya pada setiap jengkal
lahan yang ada di lingkungan tinggal kita.
d. Membuat waduk (embung) disesuaikan dengan keadaan lingkungan.
e. Memperbanyak resapan air dengan tidak menutup semua permukaan
dengan plester semen atau ubin keramik.
f. Kampanye hemat air, gerakan hemat air, perlindungan sumber air
g. Perlindungan sumber-sumber air pengembangannya.
h. Panen dan konservasi air
Panen air merupakan cara pengumpulan atau penampungan air
hujan atau air aliran permukaan pada saat curah hujan tinggi untuk
digunakan pada waktu curah hujan rendah. Panen air harus diikuti
dengan konservasi air, yakni menggunakan air yang sudah dipanen
secara hemat sesuai kebutuhan. Pembuatan rorak merupakan contoh
tindakan panen air aliran permukaan dan sekaligus juga tindakan
konservasi air.
Daerah yang memerlukan panen air adalah daerah yang
mempunyai bulan kering (dengan curah hujan < 100 mm per bulan) lebih
dari empat bulan berturut-turut dan pada musim hujan curah hujannya
sangat tinggi (> 200 mm per bulan). Air yang berlebihan pada musim
hujan ditampung (dipanen) untuk digunakan pada musim kemarau.
Penampungan atau 'panen air' bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan air tanaman, sehingga sebagian lahan masih dapat berproduksi
pada musim kemarau serta mengurangi risiko erosi pada musim hujan.
1) Rorak
Rorak adalah lubang kecil berukuran panjang/lebar 30-50 cm dengan
kedalaman 30-80 cm, yang digunakan untuk menampung sebagian air
aliran permukaan. Air yang masuk ke dalam rorak akan tergenang
untuk sementara dan secara perlahan akan meresap ke dalam tanah,
sehingga pengisian pori tanah oleh air akan lebih tinggi dan aliran
permukaan dapat dikurangi. Rorak cocok untuk daerah dengan tanah
berkadar liat tinggi-di mana daya serap atau infiltrasinya rendah dan
curah hujan tinggi pada waktu yang pendek.
2) Saluran buntu
Saluran buntu adalah bentuk lain dari rorak dengan panjang beberapa
meter (sehingga disebut sebagai saluran buntu). Perlu diingat bahwa
dalam pembuatan rorak atau saluran buntu, air tidak boleh tergenang
terlalu lama (berhari-hari) karena dapat menyebabkan terganggunya
pernapasan akar tanaman dan berkembangnya berbagai penyakit pada
akar.
3) Lubang penampungan air (catch pit)
Bibit yang baru dipindahkan dari polybag ke kebun, seharusnya
dihindarkan dari kekurangan air. Sistem 'catch pit' merupakan lubang
kecil untuk menampung air, sehingga kelembaban tanah di dalam
lubang dan di sekitar akar tanaman tetap tinggi. Lubang harus dijaga
agar tidak tergenang air selama berhari-hari karena akan menyebabkan
kematian tanaman.
4) Embung
Embung adalah kolam buatan sebagai penampung air hujan dan aliran
permukaan. Embung sebaiknya dibuat pada suatu cekungan di dalam
daerah aliran sungai (DAS) mikro. Selama musim hujan, embung
akan terisi oleh air aliran permukaan dan rembesan air di dalam
lapisan tanah yang berasal dari tampungan mikro di bagian
atas/hulunya. Air yang tertampung dapat digunakan untuk menyiram
tanaman, keperluan rumah tangga, dan minuman ternak selama musim
kemarau.
Kapasitas embung berkisar antara 20.000 m3 (100 m x 100 m x 2 m)
hingga 60.000 m3. Embung berukuran besar biasanya dibuat dengan
menggunakan bulldozer melalui proyek pembangunan desa. Embung
berukuran lebih kecil, misalnya 200 sampai 500 m3 juga sering
ditemukan, namun hanya akan mampu menyediakan air untuk areal
yang sangat terbatas. Embung kecil dapat dibuat secara swadaya
masyarakat.
Embung cocok dibuat pada tanah yang cukup tinggi kadar liatnya
supaya peresapan air tidak terlalu besar. Pada tanah yang peresapan
airnya tinggi, seperti tanah berpasir, air akan banyak hilang kecuali
bila dinding dan dasar embung dilapisi plastik atau aspal. Cara ini
akan memerlukan biaya tinggi.
5) Bendungan Kecil (cek dam)
Cek dam adalah bendungan pada sungai kecil yang hanya dialiri air
selama musim hujan, sedangkan pada musim kemarau mengalami
kekeringan. Aliran air dan sedimen dari sungai kecil tersebut
terkumpul di dalam cekdam, sehingga pada musim hujan permukaan
air menjadi lebih tinggi dan memudahkan pengalirannya ke lahan
pertanian di sekitarnya. Pada musim kemarau diharapkan masih ada
genangan air untuk tanaman, air minum ternak, dan berbagai
keperluan lainnya.
6) Panen air hujan dari atap rumah
Air hujan dari atap rumah dapat ditampung di dalam bak atau tangki
untuk dimanfaatkan selama musim kemarau untuk mencuci, mandi,
dan menyiram tanaman. Untuk minum sebaiknya digunakan air dari
mata air karena pada awal musim hujan, air hujan mengandung debu
yang cukup tinggi.
Antisipasi penanggulangan kekeringan dapat dilakukan melalui
dua tahapan strategi yaitu perencanaan jangka pendek dan perencanaan
jangka panjang.
a. Perencanaan jangka pendek (satu tahun musim kering):
1) Penetapan prioritas pemanfaatan air sesuai dengan prakiraan
kekeringan.
2) Penyesuaian rencana tata tanam sesuai dengan prakiraan
kekeringan.
3) Pengaturan operasi dan pemanfaatan air waduk untuk wilayah
sungai yang mempunyai waduk.
4) Perbaikan sarana dan prasarana pengairan.
5) Penyuluhan/sosialisasi kemungkinan terjadinya kekeringan dan
dampaknya.
6) Penyiapan cadangan pangan.
7) Penyiapan lapangan kerja sementara (padat karya) untuk
meringankan dampak.
8) Persiapan tindak darurat.
9) Pembuatan sumur pantek atau sumur bor untuk memperoleh air.
10) Penyediaan air minum dengan mobil tangki.
11) Penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan.
12) Penyediaan pompa air.
b. Sedangkan perencanaan jangka panjang meliputi antara lain:
1) Pelaksanaan reboisasi atau konservasi untuk meningkatkan
retensi dan tangkapan di hulu.
2) Pembangunan prasarana pengairan (waduk, situ, embung).
3) Pengelolaan retensi alamiah (tempat penampungan air
sementara) di wilayah sungai.
4) Penggunaan air secara hemat.
5) Penciptaan alat sanitasi hemat air.
6) Pembangunan prasarana daur ulang air.
7) Penertiban pengguna air tanpa ijin dan yang tidak taat aturan.
2. Saat terjadi Bencana
Sasaran penanggulangan kekeringan ditujukan kepada
ketersediaan air dan dampak yang ditimbulkan akibat kekeringan. Untuk
penanggulangan kekurangan air dapat dilakukan melalui:
a. Pembuatan sumur pantek atau sumur bor untuk memperoleh air.
b. Penyediaan air minum dengan mobil tangki.
c. Penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan.
d. Penyediaan pompa air.
e. Pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat (seperti gilir
giring).
Untuk penanganan dampak, perlu dilakukan secara terpadu oleh sektor
terkait antara lain dengan upaya:
a. Dampak Sosial:
1) Penyelesaian konflik antar pengguna air.
2) Pengalokasian program padat karya di daerah-daerah yang
mengalami kekeringan.
b. Dampak Ekonomi:
1) Peningkatan cadangan air melalui pembangunan waduk-waduk
baru, optimalisasi fungsi embung, situ, penghijauan daerah
tangkapan air, penghentian perusakan hutan, dll.
2) Peningkatan efisiensi penggunaan air melalui gerakan hemat air,
daur ulang pemakaian air.
3) Mempertahankan produksi pertanian, peternakan, perikanan,
dan kayu/ hutan melalui diversifikasi usaha.
4) Meningkatkan pendapatan petani, dan perdagangan hasil
pertanian melalui perbaikan sistem pemasaran.
5) Mengatasi masalah transportasi air a.l dengan menggunakan
alternatif moda transportasi lain atau melakukan stok bahan
pokok.
c. Dampak Keamanan:
1) Mengurangi kriminalitas melalui penciptaan lapangan
pekerjaan.
2) Mencegah kebakaran dengan meningkatkan kehati-hatian dalam
penggunaan api.
d. Dampak Lingkungan:
1) Mengurangi erosi tanah melalui penutupan tanah (land
covering).
2) Mengurangi beban limbah sebelum dibuang kesumber air.
3) Meningkatkan daya dukung sumber air dalam menerima beban
pencemaran dengan cara pemeliharaan debit sungai.
4) Membangun waduk-waduk baru untuk menambah cadangan air
pada musim kemarau.
5) Mempertahankan kualitas udara (debu, asap, dll) melalui
pencegahan pencemaran udara dengan tidak melakukan kegiatan
yang berpotens i menimbulkan kebakaran yang menimbulkan
terjadinya pencemaran udara.
6) Mencegah atau mengurangi kebakaran hutan dengan pengolahan
lahan dengan cara tanpa pembakaran.
3. Pasca Bencana
Kegiatan pemulihan mencakup kegiatan jangka pendek maupun
jangka panjang akibat bencana kekeringan antara lain:
a. Bantuan sarana produksi pertanian.
b. Bantuan modal kerja.
c. Bantuan pangan dan pelayanan medis.
d. Pembangunan prasarana pengairan, seperti waduk, bendung karet,
saluran pembawa, dll.
e. Pelaksanaan konservasi air dan sumber air di daerah tangkapan
hujan.
f. Penggunaan air secara hemat dan berefisiensi tinggi.
g. Penciptaan alat-alat sanitasi yang hemat air.
h. Penertiban penggunaan air.
Kejadian kekeringan mempengaruhi sistem sosial, disamping
sistem fisik dan sistem lingkungan, sehingga manajemen kekeringan
merupakan suatu tanggung jawab sosial, yang pada dasarnya terarah pada
upaya pasokan air dan mengurangi/meminimalkan dampak (Yevjevich-
1978). Berikut ini dibahas upaya-upaya penanganan bencana kekeringan,
baik upaya non fisik maupun upaya fisik darurat dan upaya fisik jangka
panjang.
a. Upaya Non Fisik
Upaya non fisik merupakan upaya yang bersifat pengaturan,
pembinaan dan pengawasan, diantaranya adalah:
1) Menyusun neraca air regional secara cermat.
2) Menentukan urutan prioritas alokasi air.
3) Menentukan pola tanam dengan mempertimbangkan
ketersediaan air.
4) Menyiapkan pola operasi sarana pengairan.
5) Memasyarakatkan gerakan hemat air dan dampak kekeringan.
6) Menyiapkan cadangan/stok pangan.
7) Menyiapkan lapangan kerja sementara.
8) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan upaya penanganan
kekeringan.
b. Upaya Fisik Darurat
Upaya penanganan kekeringan yang bersifat fisik darurat/sementara
diantaranya adalah:
1) Penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan yang
mempunyai waduk/reservoir, sehingga hujan yang terbentuk
airnya dapat ditampung.
2) Pembuatan sumur pantek, untuk mendapatkan air.
3) Penyediaan pompa yang movable di areal dekat sungai atau
danau, sehingga pompa tersebut dapat dipergunakan secara
bergantian untuk memperoleh air.
4) Operasi penyediaan air minum dengan mobil tangki untuk
memasok air pada daerah-daerah kering dan kritis.
c. Upaya Fisik Jangka Panjang
Upaya penanganan kekeringan yang bersifat jangka panjang
diantaranya adalah:
1) Pembangunan prasarana pengairan, seperti waduk, bendung
karet, saluran pembawa, dll.
2) Pelaksanaan konservasi air dan sumber air di daerah tangkapan
hujan.
3) Penggunaan air secara hemat dan berefisiensi tinggi.
4) Penciptaan alat-alat sanitasi yang hemat air.
E. Potensi Kekeringan di Jawa Tengah dan Sekitarnya
Bencana kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Tanah Air.
Ratusan ribu hektare tanaman pangan, terutama padi, di Pulau Jawa terancam
gagal panen ini diakibatkan dengan curah hujan yang berkurang serta musim
kemarau yang panjang. Luas lahan padi yang potensial gagal panen terus
bertambah seiring dengan musim kemarau yang berubah pola. Perubahan
iklim–para ahli mengaitkannya dengan gejala pemanasan global–
menyebabkan musim hujan dan kemarau di Indonesia bergeser. Musim
kemarau yang biasanya terjadi pada periode April sampai Oktober, tahun ini
baru dimulai pada Juli. Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser
dari November sampai Maret ke Februari hingga Juni.
Daerah Gunung Sewu merupakan perbukitan kerucut karst yang
berada di zona fisiogafik Pegunungan Selatan Jawa Tengah–Jawa Timur, dan
secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Gunung Kidul, DIY.
Daerah ini senantiasa menderita kekeringan di musim kemarau, karena air
permukaan yang langka. Diperkirakan terdapat cukup banyak air di bawah
tanah, terbukti dari banyak dijumpainya sungai-sungai bawah permukaan.
Geomorfologi Daerah Gunung Sewu, berdasarkan morfogenetik dan
morfometriknya dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu Satuan
Geomorfologi Dataran Karst, Satuan Geomorfologi Perbukitan Kerucut
Karst, dan Satuan Geomorfologi Teras Pantai. Secara umum karstifikasi di
daerah ini sudah mencapai tahapan dewasa.
Lapisan paling bawah stratigafi Daerah Gunungsewu berupa endapan
vulkanik yang terdiri dari batupasir tufaan, lava, dan breksi, yang dikenal
sebagai Kelompok Besole. Di atas batuan basal tersebut, secara setempat-
setempat didapatkan napal Formasi Sambipitu, serta batugamping tufaan dan
batugamping lempungan Formasi Oyo. Di atasnya lagi dijumpai batugamping
Gunungsewu Formasi Wonosari yang dianggap merupakan lapisan pembawa
air. Di bagian paling atas, berturut-turut terdapat napal Formasi Kepek,
endapan aluvial dan endapan vulkanik Merapi.
Daerah ini terletak di kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta yang
merupakan bentukan asal solusional berupa polye. Daerah ini memiliki relief
yang berbukit dengan kandungan batugamping yang tebal dengan struktur
berlapis dengan batuan dasar (basement) berupa batu breksi dan bagian atas
berupa batugamping . Proses pembentukan daerah ini adalah melalui
pengangkatan dasar laut dangkal ( zona litoral ) karena adanya pengaruh
tenaga endogen atau tektonik. Polye ini sendiri terbentuk karena adanya gua
bawah tanah yang runtuh atau ambles karena tidak mampu menahan
bebannya sendiri. Proses geomorfologi yang terjadi di daerah ini adalah
berupa erosi dan pelapukan pada batugamping sehingga lapies lapuk dan
berubah menjadi tanah mediteran atau terrarosa. Tanah didaerah ini berupa
tanah terrarosa atau mediteran yang bercampur dengan robakan batugamping
kasar, perkembangan tanah tidak terlalu dominan karena didaerah ini jarang
terjadi hujan. Tanah ini sifatnya tidak subur yang terbentuk dari pelapukan
batuan yang kapur dan memiliki kejenuhan basa lebih dari 50 %, bertekstur
lempung debuan namun kondisi tanahnya masih dapat diusahakan untuk
kepentingan pertanian lahan kering.
Kondisi hidrologi daerah ini adalah tidak dijumpainya air permukaan
karena sebagian besar air yang jatuh ke permukaan langsung masuk kedalam
tanah karena batuannya porus, sehingga hampir sebagian besar tersimpan
dalam sungai bawah tanah. Penduduk didaerah ini menggunakan air dari
hasil pemompaan sungai Bribin yang disalurkan melalui pipa-pipa dengan
memanfaatkan tenaga gravitasi dan juga menggunakan PAH atau penampung
air hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jenis flora yang
terdapat daerah ini adalah ketela, jati, kelapa, jagung, kacang tanah dan padi
gogo. Jenis tanaman ini ditanam pada bagian yang tanahnya sudah
berkembang atau pada cekungan-cekungan yang biasanya terisi oleh tanah
terrarosa/mediteran.
Pada gambar tampak bahwa penggunaan lahan didaerah ini
didominasi oleh pertanian lahan kering yaitu sebagai tegalan dan sawah tadah
hujan dengan ditanami ketela, jagung dan padi. Penggunaan lahan seperti ini
biasanya terbatas pada cekungan-cekungan seperti polye dimana pada
cekungan tersebut terdapat material hasil pelapukan batu gamping yang
berkembang menjadi tanah terrarosa sehingga lahan dapat diusahakan.
Penduduk setempat sudah berusaha menyesuaikan dengan kondisi alam yang
kurang mendukung dengan berbagai percobaan tanaman yaitu mencari
tanaman yang cocok untuk bentuk lahan seperti ini.
F. Penyebab, Dampak dan Mitigasi Kekeringan di Jawa Tengah
1. Gambaran Umum Kekeringan di Jawa Tengah
Kondisi iklim tropis Provinsi Jawa Tengah yang terletak antara
5o40'-8o30' LS dan antara 108o30'-111o30' BT menjadikan potensi dan
ancaman bencana. Dampak dari bahaya iklim tersebut adalah banjir,
kekeringan, kebakaran lahan dan badai angin. Kejadian bencana alam
karena iklim dalam sepuluh tahun terakhir diantaranya adalah banjir di
Demak, Semarang, Brebes, Cilacap, Kebumen dan Purworejo; kekeringan
di Demak, Grobogan dan Wonogiri; kebakaran lahan di lereng Lawu,
Merbabu, Merapi, Sumbing dan Slamet; terjadi pula badai angin terjadi di
Kabupaten Karanganyar, Boyolali, Klaten dan bagian selatan Provinsi
Jawa Tengah.
Kondisi fisiografi Jawa Tengah ditinjau dari tingkat kemiringan
lahannya terdiri dari: 38% lahan dengan kemiringan 0- 2%, 31% lahan
dengan kemiringan 2-15%, 19% lahan dengan kemiringan 15-40%, dan
sisanya 12% lahan dengan kemiringan lebih dari 40%. Kawasan pantai
utara memiliki dataran rendah yang sempit. Daerah Brebes mempunyai
dataran rendah dengan lebar 40 km dari pantai dan terus menyempit
hingga Semarang mempunyai lebar 4 km yang bersambung dengan depresi
Semarang-Rembang di bagian timur. Kawasan pantai selatan merupakan
dataran rendah yang sempit dengan lebar 10-25 km, kecuali sebagian kecil
di daerah Kebumen yang merupakan perbukitan. Rangkaian utama
pegunungan di Jawa Tengah adalah Pegunungan Serayu Utara dan Serayu
Selatan yang dipisahkan oleh Depresi Serayu yang membentang dari
Majenang (Kabupaten Cilacap), Purwokerto, hingga Wonosobo. Terdapat
6 (enam) gunung berapi aktif di Jawa Tengah, yaitu: Gunung Merapi (di
Magelang), Gunung Slamet (di Pemalang), Gunung Sindoro dan Gunung
Sumbing (di Temanggung-Wonosobo), Gunung Lawu (di Karanganyar)
serta pegunungan Dieng (di Banjarnegara). Menurut Lembaga Penelitian
Tanah-Bogor, jenis tanah di Jawa Tengah didominasi oleh tanah latosol,
aluvial, dan grumosol sehingga hamparan tanah di daerah ini termasuk
tanah yang relatif subur. Kondisi hidrologis Jawa Tengah dibentuk oleh
beberapa aliran sungai. Bengawan Solo merupakan salah satu sungai
terpanjang dan merupakan sumber daya air terpenting. Selain itu terdapat
sungai yang bermuara di Laut Jawa diantaranya adalah Kali Pemali, Kali
Comal, dan Kali Bodri serta sungai yang bermuara di Samudera Hindia
diantaranya adalah Luk Ulo dan Cintanduy.
Jawa Tengah memiliki iklim tropis, dengan suhu rata-rata adalah
24,8oC–31,8oC dan curah hujan tahunan rata-rata 2.618 mm. Daerah
dengan curah hujan tinggi terutama terdapat di daerah Kabupaten
Kebumen sebesar 3.948 mm/tahun. Daerah dengan curah hujan rendah dan
sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah Blora,
Rembang, Sebagian Grobogan dan sekitarnya serta di bagian selatan
Kabupaten Wonogiri.
Pemanasan global terjadi karena meningkatnya temperatur rata-rata
atmosfer, laut dan daratan. Penyebab utama pemanasan ini adalah
pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas
alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal
sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya gas
rumah kaca maka akan menjadi insulator yang menahan lebih banyak
panas Matahari yang dipancarkan ke Bumi.
Daerah dengan iklim hangat akan menerima curah hujan yang lebih
tinggi, tetapi tanah akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah akan
merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan. Perubahan
iklim global berpengaruh terhadap kondisi iklim di Jawa Tengah. Musim
kemarau menjadi lebih panjang daripada musim hujan sehingga
menyebabkan kekeringan di daerah dengan cadangan air tanah yang
minimum. Daerah yang sering kali mengalami kekeringan terdapat adalah
Kabupaten Blora, Grobogan, Pati, Rembang, Demak, Wonogiri.
Sedangkan Kabupaten lain seperti Sragen, Pemalang, Pekalongan, Tegal,
Kendal, dan Brebes pada kondisi ekstrem akan mengalami kekeringan
cukup parah. Distribusi daerah yang sering mengalami kekeringan untuk
wilayah Jawa Tengah dapat dilihat pada gambar berikut:
Peta Zona Kekeringan di Provinsi Jawa Tengah
Sumber: Dinas Kesbang Linmas Provinsi Jawa Tengah
Dampak kekeringan adalah gagal panen, peningkatan kematian
vegetasi, percepatan pelapukan tanah dan peningkatan penyakit tropis
seperti malaria dan demam berdarah. Berikut adalah data kejadian
kekeringan yang pernah terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan dampak yang
diakibatkan.
2. Kekeringan di Rembang di Jawa Tengah
a. Penyebab
Setiap tahun kabupaten Rembang diakui mengalami masalah
kekeringan, rata-rata diprediksi setiap tahun hampir 7 sampai 8 bulan
tidak terjadi hujan, dan sisanya hari hujan rata-rata hanya 3 sampai 4
bulan. Kabupaten Rembang terletak di ujung timur laut Propinsi Jawa
Tengah dan dilalui jalan Pantai Utara Jawa (Jalur Pantura). Laut Jawa
terletak disebelah utaranya, secara umum kondisi tanahnya berdataran
rendah dengan ketinggian wilayah maksimum kurang lebih 70 meter
di atas permukaan air laut. Adapun batas- batasnya antara lain:
1) Sebelah Utara : Laut Jawa
2) Sebelah Timur : Kabupaten Tuban Propinsi Jawa Timur
3) Sebelah Selatan : Kabupaten Blora
4) Sebelah Barat : Kabupaten Pati
Secara administratif Kabupaten Rembang memiliki 14
kecamatan, 287 desa, 7 kelurahan serta memiliki luas wilayah
meliputi 101.408 ha. Adapun penyebab kekeringan tersebut antara lain
adalah sebagai berikut:
1) Topografi
Sebagian besar wilayah Kabupaten Rembang (46,39%)
berada pada ketinggian 25 - 100 meter dari permukaan air laut.
Sebesar 30,42 % berada pada ketinggian 100-500 meter dan
sisanya berada pada ketinggian 0-25 m dan 500-1000 m. Dengan
kondisi topografi datar sampai dengan pegunungan dan berbukit-
bukit. Kelerangan yang terdapat di Kabupaten Rembang terdiri
dari kelerengan 0-2 % seluas 45.205 Ha (46,58%), kelerengan 2-
15% seluas 33.233 Ha (43,18%), kelerengan 15-40 % seluas
13.980 Ha (14,38 %), dan sisanya 4,86% merupakan kelerengan
>40%.
Berdasarkan data dari Analisa USLE Wilayah BPDAS
Pemali Jratun tahun 2009 menyebutkan bahwa, Rembang
mengalami erosi tanah dari kuantitas sangat ringan hingga berat.
Penyebab erosi tanah ini ada yang alami karena proses pelapukan
dan sebagian oleh ulah manusia yang tidak memperhatikan cara
konservasi lahan. Alih fungsi lahan
2) Jenis Tanah
Secara umum dapat dikatakan bahwa wilayah
Kabupaten Rembang merupakan daerah pertanian yang cukup
berpotensi, kecuali di daerah pegunungan di sebelah timur yang
termasuk pegunungan tandus. Jenis tanah yang ada ermasuk jenis
tanah aluvial meliputi sekitar 10% dari wilayah kabupaten, jenis
tanah regosol meliputi area seluas 5%, jenis tanah andosol
meliputi area seluas 8%, tanah grumosol sebesar 32%, dan tanah
mediteran merah kuning seluas 5 % dari seluruh wilayah
kabupaten.
Jenis tanah secara umum di jawa tengah adalah jenis tanah
aluvial, litosol, dan grumusol. Aluvial adalah jenis tanah yang
berasal dari pengendapan lumpur sungai yang terdapat di dataran
rendah. Tanah ini sangat subur dan sangat baik untuk pertanian
padi. Litosol adalah jenis tanah yang baru mengalami pelapukan
dan sama sekali belum mengalami perkembangan tanah. Berasal
dari betuan-batuan konglomerat dan granit, kesuburannya cukup,
dan cocok untuk jenis tanaman hutan. Grumusol adalah jenis
tanah ini berwarna abu-abu kehitaman, cocok untuk tanaman
kapas, jagung, keledai, dan tebu. Sama dengan jenis tanah di Jawa
Tengah secara umum, di Rembang pun terdapat ketiga jenis tanah
tersebut. Jenis tanah grumusol merupakan jenis tanah yang akan
pecah-pecah saat terjadi musim kemarau, karena tanah ini tidak
dapat menyimpan air.
3) Klimatologi
Wilayah Kabupaten Rembang merupakan dataran rendah
di bagian Utara Pulau Jawa, maka wilayah tersebut memiliki jenis
iklim tropis dengan suhu maksimum 33 º C dan suhu rata-rata 23 º
C. Dengan bulan basah 4 sampai 5 bulan, sedangkan selebihnya
termasuk kategori bulan sedang sampai kering. Terdapat hujan
selama 1 tahun yang tidak menentu, sehingga implikasinya sering
terjadi kekeringan di wilayah Kabupaten Rembang. Berdasarkan
hal tersebut, maka upaya-upaya untuk melakukan konservasi
sumber daya air dan pengembangan embung-embung kecil untuk
menahan air hujan sangat diperlukan. Upaya ini diharapkan dapat
menjaga kesinambungan sumber daya air terutama pada musim
kemarau baik untuk kebutuhan pengairan sawah maupun untuk
kebutuhan lainnya.
Kepala Kantor Kesbangpol dan Linmas Kabupaten
Rembang Suharso mengatakan, berdasarkan hasil analisis dan
pengolahan data dari stasiun Klimatalogi Semarang bahwa
prakiraan curah hujan pada bulan Mei 2011 di beberapa wilayah
Jawa Tengah masih terjadi hujan, dengan prakiraan hujan pada
umumnya berkisar antara 100 mm sampai 400 mm per bulan.
Namun ada beberapa daerah curah hujannya di perkirakan hanya
berkisar antara 50 mm-100 mm per bulan, dan ada pula beberapa
daerah lebih besar 400 mm per bulan. Sedangkan pada bulan Mei
2011 di perkirakan frekwensi dan intensitas curah hujan
berkurang mengingat bulan Mei 2011 sudah memasuki musim
kemarau. Lebih lajut dikatakan Suharso, bahwa sifat hujan di
Jawa Tengah pada umumnya normal (N) dan beberapa daerah
sifat hujannya Atas Normal (AN). Sedangkan curah hujan di
kabupaten Rembang pada bulan Mei 2011 berkisar antara 50-100
mm perbulan dan sifat hujannya Normal (N).
4) Hidrologi
Kabupaten Rembang memiliki curah hujan yang rendah
dan memiliki sumber air berupa air permukaan dan air tanah.
Sumber air permukaan berupa sungai, bendungan dan air laut.
Sungai yang melewati wilayah Kabupaten embang antara lain
Sungai Randugunting, Babagan, Karanggeneng, Kening, Telas,
Kalipang, Sudo dan Sungai Patiyan. Di Kabupaten Rembang
terdapat 21 bendungan dan 25 daerah irigasi, tetapi tidak
sepanjang tahun dialiri air. Wilayah pantai meliputi sepanjang 7
km.
Rusaknya daerah hulu sungai yang berakibat
berkurangnya daerah tangkapan hujan, sehingga menyebabkan
pada musim penghujan air tidak dapat ditampung dan
menyebabkan banjir. Sedangkan pada musim kemarau akibat
tidak adanya tampungan air pada musim hujan maka pada musim
ini terjadi kekeringan.
b. Dampak kekeringan
1) Dampak Perekonomian
Kekeringan di Rembang mengakibatkan gagal panen.
Sebagian besar lahan pertanian adalah lahan tadah hujan,
sehingga sangat bergantung dengan musim penghujan. Padahal
dari data klimatologi rata-rata 50 – 100 mm per bulan. Di
Rembang rata-rata per tahun terjadi musim kemarau lebih panjang
dibanding dengan musim penghujan, setiap tahunnya rata-rata 4 –
5 bulan merupakan musim penghujan, dan selebihnya adalah
musim kemarau. Data menunjukan pada tahun 2003, 4.924 ha
tanaman padi mengalami puso. Tafsiran kerugian petani mencapai
Rp7,3 milyar lebih.
Hal tersebut di atas tentu akan menimbulkan kerugian
terhadap pendapatan petani. Selain itu juga akan menyebabkan
pengangguran karena sebagian besar petani akan mengurangi
produksi pada musim kemarau sehingga tentunya akan
mengurangi konsumsi penggunaan tenaga kerja.
Dengan adanya gagal panen akibat kekeringan juga akan
menimbulkan krisis pangan. Kekeringan akan mengurangi hasil
produktifitas Indonesia secara umum dan juga akan menyebabkan
Rembang kekurangan pangan, seperti padi.
Sektor Perikanan juga akan terpengaruh dengan adanya
bencana kekeringan. Produktifitas akan menurun sehingga akan
menurunkan pendapatan penduduk bahkan akan menyebabkan
pengangguran.
2) Dampak Sosial
Dampak sosial dari kekeringan dapat terjadi konflik antar
pengguna air yang saling berebut air, khususnya air bersih. Secara
tidak langsung kekeringan juga akan meningkatkan kriminalitas
di daerah bencana. Dampak lain adalah meningkatkan
kemungkinan kebakara dan kesehatan memburuk, seperti
menyebarnya penyakit malaria dan demam berdarah.
c. Penanggulangan
1) Pra bencana
Penanggulangan pra bencana adalah penanggulangan untuk
mencegah atau mengurangi dampak dari kekeringan. Adapun hal-
hal yang harus dilakukan antara lain:
a) Menjaga daerah tangkapan hujan, seperti menanami kembali
hutan-hutan gundul dan menjaga agar ilegal logging tidak
terjadi lagi sehingga meminimalisir erosi yang akan
mendangkalkan sungai. Pendangkalan sungai di satu sisi
dapat menyebabkan banjir juga akan menimbulkan
kekeringan karena sungai tidak mampu menampung air
dalam jumlah banyak.
b) Membangun waduk atau DAM di sungai-sungai sehingga
akan meningkatkan cadangan air.
c) Mengurangi pembakaran hutan untuk membuka lahan
pertanian atau perkebunan. Dalam hal ini polisi hutan dan
pihak terkait harus saling bekerja sama dalam menjaga
kelestarian hutan sebagai daerah tangkapan hujan.
d) Sosialisasi kepada masyarakat agar berhemat dalam
menggunakan air dan dalam menjaga kelestarian alam,
khususnya daerah tangkapan hujan.
e) Pemerintah setempat mengetahui daerah rawan bencana
kekeringan, sehingga pemerintah dapat melakukan
pencegahan dini.
f) Pemerintah setempat juga harus menyediakan dana bagi
penanggulangan bencana kekeringan saat terjadi dan pasca
terjadinya bencana.
g) Menyiapkan cadangan/ stok pangan.
h) Menyiapkan lapangan kerja sementara
2) Pada saat terjadi kekeringan
Penanggulangan yang dilakukan saat bencana terjadi, adapun
caranya antara lain:
a) Pemberian bantuan air bersih kepada daerah-daerah yang
krisis air. Di Rembang pada tahun 2009 mengalami
kekeringan yang cukup besar, sebanyak 90 desa di 13
kecamatan mengalami kekeringan dan mendapat bantuan dari
pemerintah sebanyak sekurang-kurangnya 2000 tangki air
bersih didistribusikan.
b) Meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat, dan
pencegahan penyakit malaria dan demam berdarah.
c) Mengendalikan konflik masyarakat setempat dalam berebut
air bersih.
d) Memberikan bantuan pangan kepada mereka yang mendapat
dampak dari gagal panen. Atau pemerintah juga dapat
membeli hasil panen meskipun dengan kualitas di bawah
standar sehingga para petani tidak terlalu merugi.
3) Pasca terjadinya kekeringan
Penanggulangan setelah terjadinya kekeringan dan sebagai data
lapangan untuk menangani bencana kekeringan tahun setelahnya.
Adapun caranya adalah sebagai berikut:
a) Bantuan sarana produksi pertanian.
b) Bantuan modal kerja dan lapangan kerja.
c) Bantuan pangan dan pelayanan medis.
d) Pembangunan prasarana pengairan, seperti waduk, bendung
karet, saluran pembawa, dan lainnya.
e) Pelaksanaan konservasi air dan sumber air di daerah
tangkapan hujan.
f) Penggunaan air secara hemat dan berefisiensi tinggi.
g) Penciptaan alat-alat sanitasi yang hemat air.
h) Penertiban penggunaan air.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kekeringan adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan
air. Faktor-faktor penyebab terjadinya bencana kekeringan yaitu lapisan tanah
tipis, air tanah dalam, tekstur tanah kasar, topografi, vegetasi, dan iklim.
Dampak kekeringa secara fisik seperti tanah menjadi tidak subur sehingga
banyak tanaman mati, secara ekonomi mengurangi pendapatan petani karena
gagal panen yang berpengaruh pada pengangguran dan kriminalitas. Secara
sosial budaya kekeringan berakibat banyaknya penyakit, kurang pangan dan
timbulnya konflik.
Mitigasi bencana kekeringan dapat dilakukan prabencana dengan
mempersiapkan segala cara untuk menyimpan air dan melakukan
penghematan penggunaan air. Saat terjadi bencana kekeringan dapat
dilakukan penanggulangan dengan mempertahankan produksi pertanian dan
melakukan penghematan air, juga menjaga sumber air yang tersisa dari
limbah. Mitigasi pasca bencan dilakukan dengan membuat sanitasi air,
pengawasan penggunaan air, dan bantuan pangan serta medis bagi korban
bencana kekeringan. Potensi kekeringan di Jawa Tengah terjadi di Demak,
Grobogan dan Wonogiri.
B. Saran
Perlu adanya kerja sama dai berbagai pihak untuk mencegah dan
menanggulangi masalah kekeringan. Dan perlu adanya sosialisasi tentang
menghadapi bencana kekeringan pada saat prabencana, saat terjadi bencana,
dan pasca bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Gsianturi. 2002. Akibat Kekeringan Ribuan Hektar Sawah Gagal Panen, (Online), (diakses pada http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid103421515536993, pada 25 Mei 2011).
Hermawan, Engkos. 2009. Menabung Air Mencegah Kekeringan, (Online), (diakses dari http://engkos-hermawan.blogspot.com/2009/12/menabung-air-mencegah-kekeringan.html, pada 25 Mei 2011).
Prayoga, Dendy. 2011. Untuk mencegah kekeringan di Malang Selatan, PDAM akan melakukan pengeboran air sumber, (Online), (diakses dari http://www.masfmonline.com/dinoyo/r_maya.php?nID=11267, pada 25 Mei 2011).
Susilo, Wiwil. 2001. Bencana Kekeringan di Gunung Kidul Semakin Meluas, (Online), (diakses dari http://berita.liputan6.com/daerah/200109/19177/bencana_kekeringan_di_gunung_kidul_semakin_meluas, pada 25 Mei 2011).
Anonim. 2010. Bentanglahan Karst Gunung Sewu, daerah Panggang, (Online), (diakses dari http://younggeomorphologys.wordpress.com/2010/04/07/bentanglahan-karst-gunung-sewu-daerah-panggang/, pada 25 Mei 2011).
Anonim. Kawasan Karst Pegunungan Sewu, (Online), (diakses dari http://www.gunungkidulkab.go.id/home.php?mode=content&id=115, pada 25 Mei 2011).
Sekretariat TKPSDA. 2003. Pedoman Teknis Kekeringan.Djuni. 2009. Diskusi Dampak bencana Kekeringan, (Online), (diakses dari
http://mpbi.org/taxonomy/term/33, pada 25 Mei 2011).