Author
mulyadi
View
460
Download
43
Embed Size (px)
MAKALAH STRUKTUR PUISI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Poetry
Disusun Oleh
Aditya Y Sumarya
Gina Silvia
Dedeh Krisdayanti
Feti Fitriani
Ida Ayu Purnamasari
Mulyadi
N. Susan Rohmanita
Rina Anggraeni
Rostini
Wiku Sunda Laras
STBA Sebelas April Sumedang
2013
Kata Pengantar
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
‘Struktur Puisi’ yang diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Poetry.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan ketulusan dan kerendahan hati,
penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Imas Maryanah, S.S
M.Pd selaku dosen mata kuliah Poetry.
Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Sumedang, 2 April
2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas, adapun
rumusan masalah dari makalah ini sengaja penyusun batasi, yaitu :
1. Ada berapa macam struktur dalam puisi?
2. Apa saja yang termasuk struktur batin dan struktur fisik
dalam puisi?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui struktur dalam puisi
baik struktur batin maupun struktur fisik puisi.
1.4 Metode Penelitian
Metode yang dilakukan oleh penyusun adalah mencari informasi
melalui internet.
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah yang diberi judul ‘Struktur Puisi’ ini menguraikan
sistematika penulisannya sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan.
Bab III Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Unsur Pembangun Puisi
Puisi dibangun dari dua bagian unsure yang disebut dengan struktur
batin dan struktur fisik. Bila struktur batin lebih menekankan unsur
pembangun dari dalam puisi, maka struktur fisik menekankan unsur
pembangun dari luarnya. Banyak kajian yang menelaah struktur puisi, baik
struktur fisik maupun maupun struktur batin, atau keduanya.
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi:
a) Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan, bahwa unsur puisi terdiri
dari; (1) Hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat
(intention), nada (tone), serta (2) Metode puisi yang meliputi diksi, imajeri,
kata nyata, majas, ritme, dan rima.
b) Waluyo (1987) mengatakan, bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik
atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi
yang berupa ungkapan batin pengarang.
c) Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak
menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku
mereka bisa dilihat adanya (1) Sifat puisi, (2) Bahasa puisi: diksi, imajeri,
bahasa kiasan, sarana retorika, (3) Bentuk: nilai bunyi, versifikasi, bentuk,
dan makna, (4) Isi: narasi, emosi, dan tema.
d) Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27), menyebut adanya unsur
penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan
unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur
batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
e) Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi; (1) Diksi, (2) Imajeri, (3)
Bahasa kiasan, (4) Simbol, (5) Bunyi, (6) Ritme, (7) Bentuk [Badrun, 1989:6].
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
puisi meliputi; (1) Tema, (2) Nada, (3) Rasa, (4) Amanat, (5) Diksi, (6) Imaji,
(7) Bahasa figuratif, (8) Kata konkret, (9) Ritme dan rima. Unsur-unsur puisi
ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua
struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat), dan
struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan
rima).
2.2 Struktur Batin Puisi
Dibawah ini merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam struktur
batin puisi:
1.Sense
Sesuatu yang diciptakan atau dikembangkan oleh penyair lewat puisi
yang dihadirkannya itulah yang disebut sense (Aminuddin, 1978:150).
Terdapatnya sense dalam suatu puisi, pada dasarnya akan berhubungan
dengan gambaran dunia atau makna puisi secara umum yang ingin
diungkapkan penyairnya. Dalam analisis puisi keberadaannya akan
menimbulkan pertanyaan lagi, “Apa yang ingin dikemukakan penyair lewat
puisi yang dikemukakannya?”
2.Subject Matter
Struktur yang kedua dalam struktur batin ialah subject matter. Subject
matter merupakan pokok pikiran yang dikemukakan penyair lewat puisi yang
diciptakannya (Aminuddin, 1987:150). Bila sense baru berhubungan dengan
gambaran makna dalam puisi secara umum, maka subject matter
berhubungan dengan satuan-satuan pokok pikiran tertentu yang secara
khusus membangun sesuatu yang diungkapkan penyair. Oleh sebab itu,
dalam rangka mengidentifikasi subject matter, pembaca akan menampilkan
pertanyaan, “Pokok-pokok pikiran apa saja yang diungkapkan penyair,
sejalan dengan sesuatu yang secara umum dikemukakan penyairnya?”.
Subject matter yang dimaksud adalah seperti pengulasan pada setiap
baitnya yang kemudian dibentuk paragraf atas pokok-pokok pikiran sehingga
dapat disimpulkan bahwa dalam puisi tersebut pokok pikiran antara yang
satu dengan yang lainnya begitu erat berkaitan.
3. Feeling
Adapun mengenai sikap penyair terhadap pokok pikiran yang
ditampilkannya disebut dengan feeling (Aminuddin, 1987:150). Feeling
mungkin saja terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan
terdapatnya pokok pikiran dalam puisi karena setiap menghadirkan pokok
pikiran tertentu, manusia pada umumnya juga dilatarbelakangi oleh sikap
tertentu pula. Maka akan timbul pertanyaan dari pembaca dalam
menganalisis feeling, “Bagaimana sikap penyair terhadap pokok pikiran yang
ditampilkannya?”.
Pembahasan mengenai felling tidak akan terlepaskan dengan pembahasan
sebelumya, yakni subject matter. Sikap penyair terhadap apa yang
ditampilkan lewat puisinya tersebut akan tercermin ketika pokok pikiran
penyair terhadap puisinya sudah diketahui terlebih dahulu.
4. Tone
Tone mengandung maksud sikap penyair terhadap pembaca sejalan
dengan pokok pikiran yang ditampilkannya (Aminuddin, 1987:150). Hal yang
demikian ini mungkin saja terjadi karena sewaktu penulis berbicara masalah
cinta maupun tentang cinta itu sendiri kepada kekasih, penulis akan berbeda
sewaktu peneliti berbicara kepada teman. Dalam rangka menganalisis tone
dalam suatu puisi, pembaca akan berhubungan dengan pencarian jawaban
dari pertanyaan, “Bagaimana sikap penyair terhadap pembaca?”. Jawaban
yang diperoleh mungkin akan berupa sikap keterharuan, kesedihan,
keriangan, semangat, masa bodoh, menggurui, atau pelbagai macam sikap
lainnya sejalan dengan keanekaragaman sikap manusia dalam menyikapi
realitas yang dihadapinya.
5. Total of Meaning
Tingkatan kelima dalam struktur batin ialah total of meaning. Total of
meaning (totalitas makna) adalah keseluruhan makna yang terdapat dalam
satu puisi (Aminuddin, 1987:151). Penentuan totalitas makna puisi
berdasarkan atas pokok-pokok pikiran yang ditampilkan penyair, sikap
penyair terhadap pokok pikiran, serta sikap penyair terhadap pembaca. Hasil
rangkuman itu akan menimbulkan totalitas makna dalam suatu puisi, yang
berbeda dengan sense yang baru memberikan gambaran secara umum saja
kepada pembaca. Bila menganalisis totalitas makna puisi, pembaca dapat
menampilkan pertanyaan, “Bagaimanakah makna keseluruhan puisi yang
saya baca berdasarkan subject matter, felling, dan tone yang telah saya
temukan?”.
Menganalisis dengan tahapan ini, tidak dapat meninggalkan tahapan-
tahapan sebelumnya, sebab tahapan sebelumnya merupakan suatu korelasi
yang tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Karena sebelum
mencapai tahapan total of meaning (totalitas makna) maka haruslah
melampaui tahapan-tahapan sebelumnya seperti subject matter, felling, dan
tone.
6. Theme
Ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna
dalam suatu puisi itulah yang dimaksud dengan theme atau tema
(Aminuddin, 1987:151). Tema berbeda dengan pandangan moral ataupun
message meskipun tema itu dapat berupa sesuatu yang memiliki nilai
rohaniah. Disebut tidak sama dengan pandangan moral maupun message
karena tema hanya dapat diambil dengan jalan menyimpulkan inti dasar
yang terdapat dalam totalitas makna puisi, sedangkan pandangan moral
atau message dapat saja terdapat dalam butir-butir pokok pikiran yang
ditampilkannnya. Dengan kata lain, bidang cakupan tema lebih luas daripada
pandangan moral maupun message. Nantinya dalam menganalisis tema
muncul pertanyaan seperti berikut, “Apakah ide dasar atau inti dari totalitas
makna itu?”. Masalahnya sekarang, bagaimanakah memberikan jawaban
atas sejumlah pertanyaan itu.
Theme juga demikian, merupakan sebuah kelanjutan dari telaah-telaah pada
tahapan sebelumnya. Sehingga pada tahapan theme ini ide dasar atau
pokok dari totalitas makna tersebut apa.
7. Intention
Intention atau amanat merupaakan pesan atau tujuan yang hendak
disampaikan oleh penyair (Aminuddin, 1987:151). Tingkatan ketujuh ini
dapat ditelaah setelah mampu memahami pelbagai tahapan sebelumnya.
Tujuan amanat ini merupakan yang mendorong penyair menciptakan
puisinya. Amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun, dan yang berada
dibalik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan penyair
mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak
penyair tidak sadar akan amanat yang disampaikan.
2.3 Struktur Fisik Puisi
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut:
a) Tipografi (perwajahan puisi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang
tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris
puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
b) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam
puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata
dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih
secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan
makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo,
19987:68-69), menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan)
aspek penyimpangan, yaitu; penyimpangan leksikal, penyimpangan
semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan
dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi
tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan
penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik).
c) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman indrawi, seperti; penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu; imaji suara (auditif), imaji penglihatan
(visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan
pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang
dialami penyair.
d) Kata konkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang
memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan
atau lambang. Misal kata konkret “salju”: melambangkan kebekuan cinta,
kehampaan hidup, dll., sedangkan kata konkret “rawa-rawa” dapat
melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
e) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat
menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu
(Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis,
artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo,
1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-macam
majas antara lain; metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke,
eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
f) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah
persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima
mencakup; (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang
memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi
(aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang,
sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo,
187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi
rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol
dalam pembacaan puisi.
2.4 Analisis Struktur Puisi Senja Di Pelabuhan Kecil dan
Anjangsana
Dibawah ini merupakan salah satu analisi struktur puisi Senja Di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar :
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat Sri Aryati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang-gudang, rumah tua , pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada yang berlaut,
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam, ada juga kelepak elang
Menyinggung muram,desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini, tanah, air tidur, hilang ombak.
Tiada lagi, aku sendiri, Berjalan
Menyisir semenanjung, masih penggap harap
Sekali tiba di ujung dan sekali selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa berdekap
(Chairil Anwar,1946)
A. Struktur Fisik Puisi
1. Diksi (pilihan kata)
Pilihan kata banyak mengunakan kata-kata yang bernada muram,dipantulkan
oleh kata-kata: gudang, rumah tua, tiang , temali, kelam, laut, tidur,
hilang ombak, ujung dll.
2. Pengimajinasian(imagery/pencitraan)
Penggunaan kata-kata yang digambarkan atas bayangan konkret apa yang
kita hayati secara langsung melalui pengindraan manusia.
Di antara gudang-gudang, rumah tua , pada cerita ( imaji visual
penglihatan.)
3. Kata konkret( penyebab terjadinya imaji)
Untuk melukiskan dan menumbuhkan imajinasi dalam daya bayang pembaca,
maka penyair mengkonkretkan kata-kata seperti: sepi yang mencekam, kapal
tiada berlaut, gerimis mempercepat kelam, kelepak elang menyinggung
kelam.
4. Majas(bahasa figuratif)
Gaya bahas hiperbola ditemukan pada kalimat ”dari pantai keempat sedu
penghabisan bisa terdekap”. Kata ”senja” melambangkan berpisahnya suatu
hubungan percintaan. ”perahu tiada berlaut” melambangkan hati yang tiada
keceriaan dankegembiraan karena kehilangan cinta.
5. Versifikasi(rima,ritma, metrum)
Masih mengikuti pola lama. Rima akhir setiap bait( /ta-ta-ut-ut(abab) dan
(/ang-ang-ak-ak(aabb), dan pada bait ketiga rima akhir berubah menjadi
(abab). Ritma barupa ikatan yang mengikat bait dengan menggunakan
keterangan kalimat. Pada bait pertama menggunakan frasa/ini kali/ pada
bait kedua menggunakan/gerimis/ pada bait ketiga menggunakan /tiada
lagi). Kata pengikat tersebut memunculkan gelombang irama baru.
6. Tipografi(tata wajah)
Mengunakan tipografi puisi konvenional dengan dilengkapi enyambemen
berupa titik ditengah baris yang menunjukan bahwa gagasan pada suatu
baris dalam puisi masih berlanjut pada baris berikutnya.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung
muram, desir hari lari berenang.
B. Struktur batin puisi
1. Tema :
Bertema tentang kedukaan karena kegagalan cinta atau cinta yang gagal sehingga menimbulkan kedukaan.
Jika diuraikan bait demi bait, maka struktur tematik/struktur intaksis sebagai berikut:
Bait I
Penyair merasakan kehampaan hati karena cintanya yang hilang. Kenangan cinta sangat memukul hatinya sehingga hatinya mati setelah orang yang di cintainya pergi seperti kapal yang tidak berlaut hidupnya tiada berarti
Bait II
Duka hati penyair menambah kelemahan jiwa karna sepi, kelam, sehingga kelepak elang dapat didengar. Harapan bertemu dengan kekasihnya timbul tenggelam tetapi harus dilupakan karena cintanya tinggal bertepuk sebelah tangan dan menimbulkan kelukaan yang dalam
Bait III
Setelah mendengar Sri Ayati bahwa ia telah membunyai seorang suami hingga harapannya di pertegas dengan “sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan”. Ratap tangis menggema sampai pantai keempat.
2. Nada :
Penyair menceritakan kegagalan cintanya dengan nada ratapan yang sangat mendalam, karena lukanya benar-benar sangat dalam.
3. Perasaan :
Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi merasakan kesedihan, kedukaan, kesepian, dan kesendirian itu disebabkan oleh kegagalan cintanya dengan Sri Aryati. Bahkan sedu tangisnya menggumandang sampai ke pantai keempat karena kegagalan cintanya. Harapan untuk mendapatkan perempuan pujaannya diumpamakan sebagai ”pelabuhan cinta”.
4. Amanat : Penyair inggin mengungkapkan kegagalan cintanya yang menyebabkan seseorang seolah-olah kehilangan segala-galanya. Cinta yang sungguh-sungguh akan menyebabkan seseorang menghayati apa arti kegagalan secara total.
Sedangkan dibawah ini merupakan contoh analisis puisi Anjangsana karya Murdani Tulqadri :
ANJANGSANA
Oleh: Murdani Tulqadri
Sebuah rinud. .
Rindu begitu renjana…
Kepada sang kekasih bergelar sanak di sudut kota sana
Bersarang di pojok-pojok jiwa
Balig bahkan sudah tua
Renta dan begitu sengasara karena cinta
Hanya ada sebuah penawar
Bagi sengsara yang juga konsekuensi desir rasa
Anjangsana ianya
Ah, ini bukan persoalan mengapa dan siapa!
Hanya sebuah anjangsana
Lalu… hilang sudah duduk perkara
Ketika paras-paras telah saling berhadapan
Pucuk-pucuk rindu mulai layu
Berganti bianglala di langit-langit hati
Saling berceloteh mengumbar kasih…
Air muka lalu menjadi begitu suci
Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati
Hanya sebuah anjangsana
Lalu… sudah hilang semua perkara
Hingga musim semi yang dinanti… tiba… melukis rona merah di hati
28 Oktober 2012
Di peraduan sanak
1. Struktur Global
Puisi di atas adalah puisi modern namun bentuk puisinya mirip dengan puisi baru dengan klasifikasi tersina (3 baris). Dia tidak termasuk puisi baru karena sudah terlepas dari rima (ciri puisi lama) yang masih terasa pada puisi baru. Adanya penggunaan tanda baca berupa titik dan tanda seru di tengah dan di akhir puisi menunjukkan perbedaan puisi tersebut dari puisi lama.
Puisi di atas terdiri dari tujuh bait dan tiap-tiap bait terdiri dari tiga baris. Seluruh bait dan baris mengungkapkan tema kerinduan. Kerinduan itu dapat kita tangkap lewat penggunaan bahasanya. Gaya bahasa yang berhubungan dengan suasana hati seorang manusia yang dilukiskan oleh penyair membantu mengungkapkan tema kerinduan tersebut. Kerinduan kepada siapa? Kerinduan terhadap keluarganya. Hal tersebut dapat kita temukan apabila meneliti bait demi bait puisi di atas dan kita akan menemukan jawaban yang dikemukakan penyair sebagai berikut:
1. Bait I: sudah menceritakan alasan puisi tersebut diciptakan. Penyair telah memasukkan diksi rindu, renjana, dankekasih bergelar sanak yang menandakan bahwa ia begitu rindu bahkan sangat rindu kepada keluarganya.
2. Bait II: menceritakan gambaran rindu tersebut yang telah dipendam oleh sang penyair. Baris yang berbunyi “ Bersarang di pojok-pojok jiwa” dan “Balig bahkan sudah tua” menceritakan bahwa rindu itu telah begitu lama dipendam oleh penyair yang sudah sedemikian menderitanya karena hal tersebut. Itu diperjelas lagi dibaris berikutnya.
3. Bait III: menceritakan cara mengatasi kerinduan yang sudah menyesakkan dada tersebut. Diksi-diksi sepertipenawar, sengsara, dan anjangsana sudah
cukup bagi pembaca untuk mengerti langkah yang akan dilakukan oleh sang penyair untuk mengobati kerinduannya. Solusi tersebut berupa anjangsana yang berarti kunjungan untuk melepas rindu kepada keluarganya.
4. Bait IV: mempertegas bahwa anjangsana memang satu-satunya jalan untuk mengobati kerinduan yang sudah mengakar kuat dan menumbuhkan derita yang begitu perih. Dengan anjangsana tersebut maka hilang sudah semua derita sang penyair karena bukan persoalan “mengapa” dan “siapa” yang menjadi pertanyaan, namun “apa” yang mesti dilakukan sang penyair.
5. Bait V: menceritakan keadaan yang akan terjadi setelah anjangsana dilakukan. “Ketika paras-paras telah saling berhadapan” berarti ketika sang penyair telah bertemu dengan keluarganya. “Pucuk-pucuk rindu mulai layu” berarti rindu mulai memudar dan terobati. “Berganti bianglala di langit-langit hati” berarti rindu tersebut sudah berganti menjadi kebahagian di dalam hati penyair.
6. Bait VI: menceritakan suasana lanjutan ketika sang penyair telah berkumpul dengan keluarganya. “Saling berceloteh mengumbar kasih…” berarti sang menceritakan segala hal yang ia rasakan dan pengalamannya kepada keluarganya hingga menimbukan cinta kasih di antara mereka. “Air muka lalu menjadi begitu suci” menandakan bahwa paras wajah penyair yang begitu mengalami perubahan setelah bertemu dengan keluarganya. Wajahnya yang mungkin dahulu sayu kini berganti cerah dan bersinar. “Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati” berarti perasaan bahagia yang besar yang telah penyair rasakan.
7. Bait VII: mempertegas bahwa anjangsanalah yang benar-benar merupakan satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah kerinduan yang kronis yang penyair hadapi. Ketika hal itu dilakukan, maka sang penyair akan benar-benar merasakan kebahagian yang luar biasa seperti yang ia gambarkan secara umum dalam puisinya.
2. Analisis Struktur Fisik
Secara sepintas lalu dapat kita rasakan bahwa puisi di atas mempunyai kepaduan dan harmoni antara struktur fisik dan struktur batin. Puisi “Anjangsana” cukup mudah dipahami bahasanya. Bahasa yang digunakan penyair dalam puisinya sebenar cukup jelas. Namun diksi-diksi yang digunakan penyair adalah diksi yang tidak biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung memiliki nilai estetis. Ini dipertegas lagi dengan
pelukisan-pelukisan keadaan dalam puisi tersebut yang dilakukan oleh penyair yang menambah nilai keindahan puisi tersebut.
Diksi yang digunakan penyair adalah kata-kata yang bernada muram (pada saat mengambarkan kerinduan) dan cerah (ketika kerinduan mulai terobati dengan anjangsana). Diksi tentang kemuraman itu seperti: rindu, renjana, renta, dansengsara yang hampir semuanya dipantulkan kepada perasaan di hati. Kata-kata tersebut jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan diksi tentang kecerahan tersebut seperti: penawar, anjangsana, bianglala, kasih,suci, bahagia, musim semi, dan rona merah yang juga berhubungan dengan gambaran hati yang bahagia.sebagian kata-kata tersebut jarang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena bernada muram dan cerah, maka keterangan kalimat ditempatkan hampir di setiap baris sebagai penggambaran makna puisi. Sebagai bukti:
Sebuah rindu… …………………………………………………………………………(keterangan keadaan)
Rindu begitu renjana…………………………………………………………………(keterangan keadaan)
Bersarang di pojok-pojok jiwa…………………………………………………..(keterangan tempat)
Lalu… …………………………………………………………………………………….(keterangan waktu)
Hingga musim semi…………………………………………………………………..(keterangan waktu)
Kata-kata yang digunakan penyair juga menimbulkan sugesti pada pembaca. Penggunaan kata-kata dengan vokal akhir /a/ menyugesti pembaca untuk merasakan kerinduaan yang dirasakan oleh penyair. Sebagai contoh:
Rindu begitu renjana…
Kepada sang kekasih bergelar sanak di sudut kota sana
Bersarang di pojok-pojok jiwa
Balig bahkan sudah tua
Renta dan begitu sengasara karena cinta
Penggunaan perumpamaan yang dilakukan penyair juga menimbulkan daya sugesti seperti bersarang, pojok-pojok jiwa,renta, dan sengsara juga menimbulkan daya sugesti. Diksi-diksi tersebut pun juga menggambarkan keadaan rindu yang dialami oleh penyair. Sejauh yang kita ketahui, penggunaan dan perpaduan diksi dalam puisi “Anjangsana” adalah khas ciptaan penyair dan bukan merupakan jiplakan dari ciptaan penyair lain. Daya sugesti yang diciptakan oleh ungkapan-ungkapan tersebut juga cukup besar. Dengan demikian, puisi tersebut memantulkan kerinduan dan kebahagian—ketika rindu telah terobati dengan anjangsana—yang diungkapkan dengan gaya khas Murdani Tulqadri.
Pengimajian dan kata kongkret yang digunakan oleh penyair tidak memperkabur makna puisi yang hendak disampaikan. Perasaan rindu penyair diperkonkret dengan pernyataan berikut:
Sebuah rindu/ Rindu begitu renjana/ Bersarang di pojok-pojok jiwa/Balig bahkan sudah tua/ Renta dan begitu sengasara karena cinta.
Kata kongkrit tersebut menimbulkan pengimajian dalam bayangan pikiran pembaca. Perasaan rindu penyair dilukiskan begitu dalam dan mencekam.
Bagaimana bayangan kita apabila rindu tersebut sudah menjadi renjana? penyair telah merasakan rindu yang begitu dalam, sangat dalam dan menutup perasaan itu dengan syair: Renta dan begitu sengasara karena cinta.
Kemudian penyair menggambarkan bahwa sebuah pertemuan lewat lawatannya kepada orang yang dirindukan. Ia menggambarkannya imaji visual tersebut dengan larik seperti: Ketika paras-paras telah saling berhadapan. Dan begitu gembiranya penyair hingga menyusun larik indah berbunyi: Pucuk-pucuk rindu mulai layu/ Berganti bianglala di langit-langit hati. Selain itu, penulis juga memasukkan imaji auditif sehingga pembaca seolah mendengar bunyi tersebut. Imaji tersebut seperti pada baris: Saling berceloteh mengumbar kasih. Namun, penulis lebih banyak memasukkan unsur visual ke dalam puisinya seperti: Lalu… sudah hilang semua perkara/ Hingga musim semi yang dinanti… tiba… melukis rona merah di hati. Dengan larik-larik tersebut, penyair seakan-akan menginginkan pembaca untuk merasakan apa yang dirasakan olehnya dengan visualisasi. Penyair ingin kita merasakan rindu seperti yang ia gambarkan. Penyair pun menginginkan kita merasakan kebahagian ketika bertemu dengan orang yang kita cintai.
Bahasa figuratif yang digunakan oleh penyair tidak terlalu sulit untuk dimengerti pembaca dan tidak mengganggu pemahaman makna puisi. Ungkapan-ungkapan yang digunakan Murdani Tulqadri begitu segar dan bernilai estetis yang tinggi dan digambarkan dengan kiasan-kiasan yang menghidupkan suasana. Lambang-lambang yang digunakan tidak mencontoh penyair sebelumnya dan diungkapkan secara hidup serta tidak mengganggu keharmonisan komposisi puisinya.
Kata “renta” mengambarkan bahwa kerinduan penyair telah lama ia pendam dan menyisakan sengsara berkepanjangan apabila ia tidak diobati segera. Kata “bianglala” melukiskan kebahagiaan yang dirasakan oleh penyair apabila ia bertemu dengan orang yang ia kasihi yang bagai bianglala begitu indah di angkasa. Begitu pula dengan “rona merah” yang berarti kecerahan hati penyair apabila bahagia. Gaya bahasa hiperbola kita jumpai pada kalimat “Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati” dan kalimat pelukisan lainnya yang ternyata mampu memberikan gambaran yang tepat tentang kebahagiaan penyair.
Versifikasi dalam puisi ini mengitu pola puisi komporer. Walaupun sebagaian besar mengikuti pola syair (puisi lama) yaitu a-a-a, namun ia tidak termasuk puisi lama karena struktur lainnya tidak sama. Bait pertama, kedua, empat, dan enam memilki pola a-a-a. sedangkan bait ketiga memiliki pola b-a-a, bait kelima memiliki pola a-b-c, dan bait ketujuh memiliki pola a-a-b. Pola rima akhir pada tiap-tiap bait tersebut memang ada yang sama namun tak sedikit yang berbeda hingga puisi di atas tidak digolongkan sebagi puisi lama.
Ritma puisi berupa ikatan yang mengikat bait dengan menggunakan keterangan kalimat. Pada bait pertama digunakan frasa /sebuah ridu/; pada bait kedua digunakan kata /gerimis/; pada bait ketiga digunakan kata /hanya/; pada bait keempat digunakan kata ekspresi /Ah/; pada bait kelima digunakan kata /ketika/; pada bait keenam digunakan kata /saling/; dan pada bait ketujuh digunakan kata /hanya/. Setiap bait puisi itu diikat dengan kata pengikat sehingga pada permulaan bait seakan muncul sebuah gelombang irama baru.
Tipografi puisi “Anjangsana” adalah tipografi puisi kontemporer. Adanya titik dan tanda seru di tengah dan akhir baris menunjukkan bahwa gagasan pada suatu baris dilanjutkan dengan baris berikutnya. Gagasan-gagasan yang beruntun dikumukakan dalam satu baris, misalnya:
Ah, ini bukan persoalan mengapa dan siapa!/Saling berceloteh mengumbar kasih…/Air muka lalu menjadi begitu suci/Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati
3. Struktur Batin Puisi
Secara sepintas telah diinterprestasikan tema puisi ini, yakni tema kerinduan
terhadap keluarga. Kerinduaan hati penyair sangat dalam. Hal ini dapat
dibuktikan setelah kita menelaah struktur bahasa penyair. Diksi,
pemgimajian, kata kongkrit, majas, dan struktur sintaksis dari puisi ini
mendukung kerinduan penyair yang mendalam. Dengan demikian,
interprestasi tentang tema itu dapat dibenarkan.
Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi ini dapat kita rasakan juga
sewaktu mambahas bait demi bait. Perasaan sedih karena kerinduan dan
bahagia apabila bertemu dengan orang yang dicintai begitu jelas
digambarkan oleh penyair hingga membuat pembaca ikut merasakan apa
yang dirasakan oleh penyair. Kerinduan itu digambarkan begitu dalam dan
telah lama berada di dalam hati sang penyair. Begitulah rindu penyair
kepada keluarganya. Kemudian penyair menggambarkan pula kebahagian
yang akan ia rasakan tatkala bertemu dengan keluarganya yang begitu amat
bahagia. Rasa rindu kemudian berganti bahagia seperti yang penyair sebut
dalam puisinya yang berbunyi “Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan
hati”.
Nada dan Suasana puisi ini adalah nada dan suasana bercerita dengan
mengungkapkan perasaan sedih dan bahagianya. Penyair menceritakan
kerinduannya disertai pelukisan rasa yang begitu jelas, bahwa rindu itu telah
membuatnya menderita berkepanjangan. Penyair pun menceritakan
kebahagian yang akan memupuskan kerinduan dan penderitaan tersebut,
bahwa raut wajahnya akan kembali cerah, bersemangat, dan rasa senang
akan selalu menghiasi hatinya.
Amanat puisi menyatakan bahwa penyair ingin mengungkapkan rasa
rindunya yang begitu dalam yang menyebabkan ia menderita dan juga
penyair ingin menceritakan rasa bahagianya yang begitu indah apabila telah
bertemu dengan orang yang dirindukannya. Kerinduan itu dapat membuat
orang menderita dan dapat mengacaukan hal yang kita perbuat. Namun,
obat rindu ialah menemui orang yang dirindukan. Dengan begitu, maka rindu
akan berubah menjadi rasa bahagia yang selalu menghiasi hati dan berbagi
kasih dengan orang yang dirindukan.