102
Makalah Populer : PENYUSUNAN RENCANA STRATEGIS DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH I. Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan Dan Pusat Pembudayaan Dalam pengelolaan pendidikan menganut konsep demokratisasi sebagaimana dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni pandangan hidup, sikap dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski telah memiliki rencana dan program namun pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang lebih fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan tertulis. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan (encultural), suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pernyataan ini, maka

Makalah Populer

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ghjg

Citation preview

Makalah Populer : PENYUSUNAN RENCANA STRATEGIS DALAM PENGEMBANGANSEKOLAHI.Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan Dan Pusat PembudayaanDalam pengelolaan pendidikan menganut konsep demokratisasi sebagaimana dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni pandangan hidup, sikap dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski telah memiliki rencana dan program namun pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang lebih fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan tertulis.Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan (encultural), suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pernyataan ini, maka praktik pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat (Zamroni, 2000:82).Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemampuan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Pembinaannya pun harus oleh semua guru. Semua guru harus menjadi sosok teladan yang berwibawa bagi para siswanya.Kebijakan Strategis Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis SekolahManajemen berbasis sekolah atauSchool Based Managementadalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah dalam mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.Makna dari MBS yaitu otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, karyawan, siswa,orang tua, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Dengan demikian semakin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya.Melalui MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga memiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang berkepentingan dengan sekolah (Anonim,2000).Melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah mandiri, di antaranya sebagai berikut : i) pengelolaan sekolah akan lebih desentralistik, ii) perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah, iii) regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana, iv) peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dari mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko, v) akan mengalami peningkatan manajemen, vi) dalam bekerja akan menggunakan team work , vii). pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua kelompok kepentingan sekolah, viii) manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.2.Pendidikan Berbasis Pada Partisipasi Komunitas (Community Based Education)Adanya reformasi yang menimbulkan tuntutan demokratisasi, yang mengarah kepada dua hal yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Ini artinya peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.Dengan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1 UU Siskdiknas). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional) (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).Sehubungan dengan hal tersebut konsep pendidikan berbasis pada partisipasi masyarakat layak diterapkan, salah satu wujud kerjasama sekolah dengan masyarakat adalah pembentukan Komite Sekolah. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.Komite sekolah berkedudukan di satuan pendidikan. Komite sekolah dapat terdiri dari satu satuan pendidikan, atau beberapa satuan pendidikan dalam jenjang yang sama atau beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang tetapi berada pada lokasi yang berdekatan, atau satuan pendidikan yang dikelola oleh suatu penyelenggara pendidikan.Komite sekolah bertujuan untuk mewadahi dan menjalankan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan dan meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan serta menciptakan suasana dan kondisi trasnparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.Peran komite sekolah sebagai pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol dan mediator.Keanggotaan Komite Sekolah terdiri dari unsur masyarakat dan dewan guru/penyelenggara sekolah/aparat desa dengan anggota sekurang-kurangnya 9 orang.Tata hubungan antara komite sekolah dengan satuan pendidikan Dewan Pendidikan dan institusi lain yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pendidikan bersifat koordinatif.3. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education)Agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yakni memiliki keberanian dari kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan yang wajar tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya diperlukan pendidikan yang menerapkan prinsip pendidikan berbasis luas (Broad Based Education) yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau keterampilan saja tetapi juga belajar teori dan mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupannya.Pendidikan dengan berorientasi pada kecakapan hidup (Life Skill) bertujuan untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi dan memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah dengan memberi peluang pemanfaatan sesuai dengan yang ada di masyarakat sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.Kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, kecakapan hidup dapat dipilah menjadi kecakapan mengenal diri (kemampuan personal) kecakapan berfikir rasional, kecakapan sosial kecakapan akademik dan kecakapan vokasional.Prinsip Pelaksanaan pendidikanlife skilladalah :a. Tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat inib. Tidak menurunkan pendidikan menjadi pelatihan terintegrasic. Penerapan manajemen berbasis sekolah dan masyarakatd. Mengarahkan peserta didik agar hidup sehat dan berkualitas, memperoleh wacana pengetahuan yang luas dan memiliki keinginan untuk mampu hidup layak4. Pengelolaan sekolah Yang Efektif Dan EfisienPengertian tentang sekolah efektif dikemukakan oleh Cheng (1994) yakni sekolah efektif menunjukkan pada kemampuan sekolah dalam menjalankan fungsinya secara maksimal, baik fungsi ekonomis, fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya maupun fungsi pendidikan. Fungsi ekonomis sekolah adalah memberi bekal kepada siswa agar dapat melakukan aktivitas ekonomi sehingga dapat hidup sejahtera. Fungsi sosial kemanusiaan sekolah adalah sebagai media bagi siswa untuk beradaptasi dengan kehidupan masyarakat. Fungsi politis sekolah adalah sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara. Fungsi budaya adalah media untuk melakukan transmisi dan transformasi budaya. Adapun fungsi pendidikan adalah sekolah sebagai wahana untuk proses pendewasaan dan pembentukkan kepribadian siswa.Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah yang efektif. Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut (i) visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara lokal, (ii) Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun.(iii) Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah.(iv) Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara optimal (v) Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan non akademik.Disamping efektif sekolah juga efisien dalam penyelenggaraan sekolah. Efisiensi dalam pendidikan artinya pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas sehingga mencapai optimalisasi yang tinggi. Sekolah akan dikatakan efisien jika tercapai: i) penurunan DO dan mengulang kelas, ii) pemetaan mutu sekolah berdasarkan pada SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan Manajemen, iii) Pengembangan sistem penilaian hasil belajar (penilaian kelas dan ujian akhir sekolah), iv) pengawasan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.II.IMPLIKASI PARADIGMA BARU PENDIDIKAN TERHADAP MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAHEra reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikanharus disesuaikandengan jiwa dan semangat otonomi.Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentukperubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinyamewarnai kebijakan pendidikanbaik kebijakan pendidikan yang bersifatsubstantifmaupunimplementatif.Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa dengan era otonomi daerah :lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan.Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius. Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang telah diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata Abdul Madjid dalam tulisannya Pendidikan Tanpa Planning (Kedaulatan Rakyat, 2006), bahwa rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh belum komprehensifnya pendekatan perencanaan yang digunakan. Perencanaan pendidikan, katanya, hanya dijadikanfaktor pelengkapatau dokumen tanpa maknasehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Dapat juga terjadi, seperti dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa pembuatan implementasi kebijakan berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh para eksekutiftanpa penelitian lebih dahulu. Kemungkinan resikonya beragam, misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu, tidak realistis, tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan manipulatif-koruptif .Konsep Desentralisasi PendidikanBila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin de, artinya lepas dan centrum, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI. Sedangkan menurut Jose Endriga (Verania Andria & Yulia Indrawati Sari,2000:iii) desentralisasi diartikan sebagaisystematic and rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multisectoral decision making as close as possible to problem area.Lain halnya dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi sebagai delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower levels.Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997) dalam bukuLeading Change, menyatakan bahwa lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat, lebih luwes dan konstruktif.Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite (1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai the devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of education or local education authority, to a lower organizational level, such as individual schools. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun.Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative decentralization).Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang dilimpahkan.Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda menerima kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan, mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya.Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai pendapat dari para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu (a) the improvement of schools, (b) the belief that local participation is a logical form of governance in a democracy, dan (c) in relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity, efficiency, and economic growth.Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai negara, Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis danlaissez-fairedan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis, seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.Pendapat lain yang lebih sesuai dengan konteks desentralisasi pendidikan di Indonesia dikemukakan oleh Nuril Huda (1998:3-5). Ia berpendapat bahwa desentralisasi pendidikan di Indonesia dimaksudkan untuk mencapai efisiensi pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal. Ia juga memberi alasan rinci mengapa pertanggungjawaban implementasi pendidikan didesentralisasikan, yaitu:Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara mendemokratiskan manajemen urusan-urusan publik (politically decentralization is a way of democratizing the management of public affairs). Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban pendidikan tertentu diberikan kepada pemerintah daerah. DPRD mengawasi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah. Dengan melibatkan wakil rakyat di dalam urusan pendidikan, diharapkan akan mendukung partisipasi masyarakat yang lebih besar di dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengannya.Kedua, secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan secara efisien di dalam sebuah wilayah yang luas yang berisi banyak pulau (technically it is difficult to manage education efficiently in a vast area consisting of islands).Masalah komunikasi dan transportasi antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya pada masa lalu, telah menjadi pertimbangan penting untuk desentralisasi. Lagi pula, sentralisasi akan membuat sulit untuk memecahkan masalah masalah perbedaan-perbedaan regional dan untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan khusus mereka. Perbedaan-perbedaan budaya dan tingkat perkembangan masing-masing daerah menyumbang perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan dan hakekat pendekatan untuk menyelesaikan masalah.Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi dan efektifitas dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan (efficiency and effectiveness in handling problems related to the implementation of education). Dan, alasankeempat, untuk mengurangi beban administrasi yang berlebihan dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of administration of the central government).Sementara itu, berbeda dengan empat argumen itu, Kacung Marijan (Abdurrahmansyah, 2001:58) melihat penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Sedangkan Arbi Sanit (2000:1) memandang penerapan desentralisasi secara umum sebagai jalan keluar bagi problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pemberian sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyakstakeholdersdi daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu, desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan daerah.Model-Model Desentralisasi PendidikanTingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda membawa konsekuensi pada model pelaksanaannya. William (Depdiknas, 2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan tanggung jawab pemerintah pusat.Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom. Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintahmemandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas. Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di pusat.Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari pemerintah pusat, semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.Rondinelli (Husen & Postlethwaite, 1994:1412) menambahkan satu kategori lagi, yaitu privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61), dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil model yang terakhir, swastanisasi. Selain tidak terlalu rumit, menurutnya, bentuk ini terkesan hanya sekedar pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah menjadi urusan masyarakat.Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model desentralisasi pendidikan, yaitu (1) manajemen berbasis lokasi (site-based management), (2) pengurangan administrasi pusat, dan (3) inovasi kurikulum. Pada model manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat merupakan konsekuensi dari model pertama. Pengurangan administrasi pusat diikuti dengan peningkatan wewenang dan urusan pada masing-masing sekolah. Model ketiga, inovasi kurikulum menekankan pada inovasi kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah yang bervariasi. Di antara ketiga model ini, model manajemen berbasis lokasi yang banyak diterapkan, untuk meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru-guru, orang tua, siswa dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.Paradigma Baru PendidikanEra otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseranarah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yangtop down kekebijakan yangbottom up, (3) dari orientasi pengembanganparsialmenjadi orientasi pengembanganholistik, (4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusinonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren, maupun dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas (2002:10) tentangMateri Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari sentralistik ke desentralistik dan orientasi pendekatan dari atas ke bawah (top down approach)ke pendekatandari bawah ke atas (bottom up approach)sebagaimana yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi, dari Manajemen Tertutup (Closed Management) ke Manajemen Terbuka (Open Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat(stakeholders).Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut.a. Darisentralisasikedesentralisasi pendidikanSebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud. Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota, bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan-kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah.Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah, Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang otonom, dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah(school policy)masing-masing atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakatDengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.b. Dari kebijakan yangtop downke kebijakan yangbottom up;Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan mekanisme pendekatan dari atas ke bawah (top down approach)Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah.Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan dari bawah ke atas(bottom up approach).Pendekatanbottom upharus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.Oleh karenanya, tidak heran bila di Kabupaten/Kota sering terjadi unjuk rasa para guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.c. Dari orientasi pengembangan yangparsialke orientasi pengembangan yangholistikSebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanyato know(untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lainto do(melakukan),to live together(hidup bersama),to be(menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurangintegrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafatholisme, yang cirinya adalah keterkaitan(connectedness), keutuhan(wholeness),dan proses menjadi(being).Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non linier (Hent, 2001). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa lain, antara guru dengan guru lain, dan lain-lain.Interrelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik dengan yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia, sebagai pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam sistem itu. Dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang bila terlibat, ikut aktif didalamnya. Non linier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski kita telah menentukan unsur-unsurnya. Kita dapat membantu anak-anak dengan segala macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas lalu hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan unsur pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara integral.Prinsip proses menjadi mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus-menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.d. Dari peranpemerintah yang dominankemeningkatnya peranserta masyarakatsecara kualitatif dan kuantitatif.Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3). Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagaiconstituentdari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah.Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.e.Darilemahnya peran institusi non sekolahkepemberdayaan institusi masyarakat.Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan sebagainya).Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan(continuous enrichment)dan pengembangan kebijakan afirmatif(affirmative policy)(Fasli Jalal, 2001:72-73).f. Dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi.Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah-sekolah, dalam iklim birokrasi berlebihan. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan adanya kasus birokrasi yang berlebihan dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan kekuasaan berlebihan dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah-sekolah.Dalam era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar kekuasaan atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan deregulasi, dalam arti pengurangan aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk sekolah.g. Dari manajemen tertutup (close management) ke management terbuka (open management).Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk manajemen tertutup, sehingga tidak transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan manajemen terbuka dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.h. Dari pengembangan pendidikan terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders)Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan lain-lain, diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari Dinas Propinsi.Paradigma Baru Perencanaan PendidikanDengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-tidaknya akan menyentuh lima aspek, yaitusifat, pendekatan, kewenangan pengambilan keputusan, produk serta pola perencanaan anggaran.Dari segisifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada tingkat daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk kegiatan yangwajibdilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan kebijakan tentang perencanaan nasional, yang dalam pelaksanaannya telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun 2000 tentangProgram Pembangunan Nasional. Pada tingkat Departemen,Propenasini dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumenRencana Strategis (Renstra) yang memuat strategi umum untuk mencapai tujuan program pembangunan di bidang masing-masing dan dituangkan dalam Keputusan Menteri. Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat menyusun Program pembangunan tahunan yang disingkatPropetayang dituangkan dalam Keputusan Menteri, sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan masing-masingSelain itu, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan prakarsa, serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah Kabupaten/Kotaperlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang makro, tetapi juga dapatmempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya daerah masing-masingsehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakanbagian atau fotokopidari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan nasional.Darisegi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatandiskrit sektoralmenjadiintegrated dengan sektor lainnyadi daerah. Sebelum otonomi, sistem alokasi anggaran pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah otonomi diperoleh dari APBD yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi, dana perbantuan, pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat. Dengan demikian, telah terjadi perubahan sumber anggaran yang semula bersifattunggal-hierarkhi-sektoralsekarang menjadijamak-fungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor.Darisegi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era otonomi Daerahdapat dan harus menetapkan kebijakan, program, skala prioritas, jenis kegiatan sampai dengan alokasi anggarannyasesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan.Sementaradari segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk perencanaan pendidikan diharapkan merupakanbagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan Daerah secara lintas sektoral.Oleh karena itu, produkperencanaan pendidikan yang dihasilkan harusmencakup seluruh komponenperencanaan pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas, program, sasaran dan kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan secara spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan program-program strategis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.Dampak dari pergeseran paradigma dari keempat aspek tersebut di atas juga membawa dampak pada perubahan pola perencanaan anggarannya. Pola perencanaan anggaran menggunakan pendekatanintegratif,sehingga pola dalam merencanakan anggaran selain mengacu pada sifat prosedural juga menggunakan prinsip efisiensi dengan berorientasioutcomeskarena tingkat keberhasilan pendidikan dikontraskan dengan tingkat keberhasilan sektor lain. Pola manajemen anggaran yang tepat adalahmanajemen strategik anggaranyang lebih berorientasi kepada pencapaian program dan upaya pengembangan.Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/KotaDalam upaya perumusan dokumen-dokumen perencanaan pendidikan tersebut, Slamet P.H. (2005), mengemukakan sebuah model proses perencanaan pendidikan Kabupaten/ Kota sebagai berikutGambar 1.1Proses Perencanaan Pendidikan Kabupaten/KotaModel proses perencanaan pendidikan di atas sekaligus memberi gambaran mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut.1. Melakukananalisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda, Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan lingkungan strategis harusdiinternalisasikanke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahuistatus situasi pendidikan saat ini(dalam kenyataan) yang meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, danbest practicespendidikan saat ini.3. Memformulasikanpendidikan yang diharapkan di masa mendatangyang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan kabupaten/kota.4. Mencarikesenjanganantara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah.5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlahrencana kegiatantahunan untuk selama 5 tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop).6.Melaksanakan rencanapengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.7. Melakukanpemantauanterhadap pelaksanaan rencana dan melakukanevaluasiterhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang direncanakan.Dengan memperhatikan substansi utamanya, model tahap-tahap perencanaan pendidikan di atas bisa digambarkan dalam bentuk sebagai berikut.Gambar 1.3.Perencanaan Pendidikan Kabupaten/KotaSebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah perencanaan dibuat dalam rangka mengubah situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan) menuju ke situasi pendidikan yang diharapkan di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitukebijakan, perencanaan dan program pendidikan.1.Kebijakan PendidikanKebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis, 2004).Sementara, menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu kebijakanregulatori, kebijakandistributif, kebijakanredistributif, kebijakankapitalisasidan kebijakanetik. Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara kebijakansubstantifdan kebijakanimplementatif. Kebijakan implementatif adalah penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan substantif.Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut. Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan memperhatikan kebijakan yang sederajat yang lain; Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan; Kebijakan yang dibuat harus adil; Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu; Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah ada; Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami, diimplementasikan, dimonitor dan dievaluasi; Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar danup to date; Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan terlebih dulu.Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984) menjelaskan bahwa Policy is sometimes used in a narrow sense to refer to formal statements of action to be followed, while others use the word policy as a synonym for words such as plan or programme. Many writers too do not distinguish clearly between policy-making and decision-making.Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan tersebut disamaartikan dengan konsep lain, yaitu :Goals : desired ends to be achieved.Plans or proposals : specified means for achieving goals.Programmes : authorized means, strategies and details of procedure for achieving goals.Decision : specific actions taken to set goals, develop plans, implement and evaluate programmesEffects : measurable impact of programmesLaws or regulations : formal or legal expressions providing authorization to policies.Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or actively rather than random or chance behaviour. It refers to courses or patterns of action, rather than separate discrete decision; usually policy development and application involves a number or related decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in orientation, purpose and whether they are explicitly stated. Policies may be either positive or negative in the sense that they can have as their basis decisions to take particular action in response to a problem, as well as developing simply from failure to act, or from decisions to delay action. Policies include substantive policy as well as procedural or administrative policy.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat dicapai secara efektif dan efisien.2. Perencanaan PendidikanPerencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan tersebut, perencana melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan kabupaten/kota.Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku pendidikan dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah, oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/ kota.Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang menggunakanteknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam berbagai aspek bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi dan program-programnya, serta peta urutan pelaksanaannya3.Program pendidikanPada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan.4.Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasionala.Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan pendidikan yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua warga negara dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh karena itu pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib berupaya untuk memenuhinya.Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan sumber daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan sebagai berikut.Tabel 1.4Kebijakan Pemerataan dan Perluasan Akses PendidikanStudi yang secara langsung diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh James Coleman (Ace Suryadi dan H. A. R Tilaar, 1994: 29) yang berjudulEquality of Educational Opportunity.Coleman membedakan secara konsepsional antara pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif, dengan pemerataan pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh sekolah kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.Komponen-komponen konsep pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas diungkapkan oleh Schiefelbein dan Farrel (1982). Dalam studinya di Chili, mereka menggunakan landasan konsep pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif daripada konsepsi pemerataan pendidikan yang selama ini digunakan. Berdasarkan konsep mereka, pemerataan pendidikan atauequality of educational opportunitytidak hanya terbatas pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk sekolah (pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi lebih dari itu, murid tersebut harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk, belajar, lulus, sampai dengan memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti dalam kehidupan di masyarakat.Pertama, pemerataan kesempatanmemasukisekolah (equality of access). Konsep ini berkaitan erat dengan tingkat partisipasi pendidikan sebagai indikator kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan ini dapat dikaji berdasarkan dua konsep yang berlainan, yaitu pemerataan kesempatan (equality of access) dan keadilan (equity) di dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan.Kedua, pemerataan kesempatan untukbertahandi sekolah (equality of survival). Konsep ini menitikberatkan pada kesempatan setiap individu untuk memperoleh keberhasilan dalam pendidikan dan pelatihan. Jenis analisis ini mencurahkan perhatian pada tingkat efisiensi internal sistem pendidikan dilihat dari beberapa indikator yang dihasilkan dari metode Kohort. Metode ini mempelajari efisiensi pendidikan berdasarkan murid-murid yang berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang mengulang kelas dan yang putus sekolah.Ketiga, pemerataan kesempatan untukmemperoleh keberhasilan dalam belajar(equality of output). Dilihat dari sudut pandang perseoranganequality of outputini menggambarkan kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kemampuan dan ketrampilan yang tinggi kepada lulusan tanpa membedakan variabel suku bangsa, daerah, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep output pendidikan biasanya diukur dengan prestasi belajar akademis. Di pandang dari sudut sistemnya itu sendiri, konsep ini menggambarkan seberapa jauh sistem pendidikan itu efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan tenaga kerja dalam hubungannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.Keempat, pemerataan kesempatan dalammenikmati manfaat pendidikandalam kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi lulusan disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih jauh lagi pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan biasanya meliputi analisisrate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja, fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan status attainment analytical model, dan sebagainya.Kebijakan pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses dan keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya, beasiswa untuk siswa miskin, pelatihan guru PLB, pembenahan SMP terbuka, perencanaan bagi daerah-daerah terpencil atau gender, peningkatan APK dan APM, peningkatan angka melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah, dan lain-lain.b. Kualitas pendidikanRealitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi jajaran dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor ini haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan sarana penunjang belajar lainnya.Kualitas pendidikan mencakup aspekinput, proses dan output, dengan catatan bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Contoh perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio (siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan tes standar di tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan model pembelajaran (pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran kooperatif dan sebagainya).c. Efisiensi pendidikan;Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaituefisiensi internaldanefisiensi eksternal. Efisiensiinternalmerujuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumber daya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensieksternalmerujuk kepada hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain.d.Relevansi pendidikan.Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya, program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia kerja.e. Pengembangan KapasitasYang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan (UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan olehtingkat kesiapankapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan. Pengembangan kapasitas tingkatmakromeliputi : (1) arahan-arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol. Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi), pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia (manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan, pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak.Khusus mengenai kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan pendukung sebagai berikut.Tabel 1.5Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya saingDalam arah pengembangan manajemen Dikdasmen juga dikemukakan mengenai kebijakan penguatan tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik, yang konsep, indikator keberhasilan, pendukung dan programnya sebagai berikut.Tabel 1.6Kebijakan Penguatan Tatakelola, Akuntabilitas dan Pencitraan publikIII. LANDASAN KEBIJAKAN PERENCANAAN STRATEGIS PENGEMBANGAN SEKOLAHSebagai pengelola satuan pendidikan, harus mendasarkan semua kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan di sekolah pada semua kebijakan pendidikan yang berlaku baik secara nasional, propinsi, maupun kebupaten/kota. Adalah suatu keharusan bagi setiap pemimpin satuan pendidikan untuk memahami dengan seksama setiap kebijakan yang berlaku di bidang pendidikan itu. Pemahaman ini akan sangat membantu sekolah untuk memiliki wawasan dalam skala nasional maupun regional dan lokal, kemudian mewujudkannya dalam tindakan-tindakan nyata pada tingkat satuan pendidikan. Dengan demikian, setiap langkah dan kebijakan yang dilakukan di sekolah benar-benar terilhami dan didasari oleh kebijakan nasional di bidang pendidikan dan akan mengarah pada cita-cita pendidikan nasional yang dituangkan dalam visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional. Peraturan perundang-undangan utama yang harus dipahami antara lain: Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Terus mengikuti perkembangan kebijakan pendidikan lainnya baik dalam skala nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota. Berikut diuraikan hal-hal pokok yang diatur dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut.A. Undang-Undang Sistem Pendidikan NasionalUraian singkat berikut menyajikan hal-hal pokok yang tercantum dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 yang harus dipedomani oleh kepala sekolah dalam penyusunan rencana pengembangan sekolah, yang meliputi visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional, sumber daya pendidikan, pengelolaan pendidikan, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.Visi Pendidikan NasionalVisi Pendidikan Nasional adalah wujud sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi Pendidikan Nasional1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.1.Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan NasionalPendidikan nasional diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2.Pengelolaan PendidikanBerkaitan dengan sumber daya pendidikan, hal-hal yang perlu dijadikan acuan dalam perencanaan pengembangan sekolah adalah pasal-pasal dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 yang mengatur tentang pendidik dan tenaga kependidikan (pasal 39 sampai dengan pasal 44), sarana dan prasarana pendidikan (pasal 45), dan pendanaan pendidikan (pasal 46 sampai dengan pasal 49).Pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 merupakan pasal penting yang harus dijadikan pijakan dalam perencanaan pengembangan sekolah. Pasal ini menentukan bahwa pengelolaan sekolah harus menerapkan manajemen berbasis sekolah, sebagaimana ditegaskan: Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.3.Peran Serta MasyarakatBerkenaan dengan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, hal-hal penting yang harus dipahami oleh perencana pengembangan sekolah meliputi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 54, 55, dan 56. Pasal 54 mengatur bentuk dan ruang lingkup peran serta masyarakat, sebagai berikut:a. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.b. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.Pasal 55 UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengatur prinsip-prinsip pendidikan berbasis masyarakat. Dalam pasal ini ditetapkan bahwa:1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.Selain hal-hal pokok yang diuraikan di atas, para perencana pengembangan sekolah juga perlu untuk mengkaji dan memahami secaha komprehensif ketentuan-kentuntuan lain yang diatur dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 agar setiap keputusan yang dimbil tidak bertentangan dengan kebijakan nasional di bidang pendidikan.4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional PendidikanSasaran minimal pengembangan sekolah yang dituangkan dalam setiap rencana pengembangan sekolah haruslah menggunakan standar penyelenggaraan pendidikan yang berlaku secara nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan ketentuan rinci mengenai standar-standar nasional pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003. Peraturan Pemerintah ini menetapakan arah reformasi pendidikan nasional dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional.PP nomor 19 tahun 2005 menetapkan delapan standar yang meliputi:1. standar isi;2. standar proses;3. standar kompetensi lulusan;4. standar pendidik dan tenaga kependidikan;5. standar sarana dan prasarana;6. standar pengelolaan;7. standar pembiayaan; dan8. standar penilaian pendidikan.Di antara standar-standar tersebut, standar pengelolaan pada tingkat satuan pendidikan merupakan standar terpenting yang harus djadikan acuan dalam perencanaan pengembangan sekolah. Untuk itu berikut diuraikan kententuan-ketentuan yang berkaitan dengan standar pengelolaan dan pengambilan keputusan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 49 sampai dengan pasal 58 PP nomor 19 tahun 2005Pasal 49 ayat (1) pada Peraturan Pemerintah ini menyatakan: Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengahmenerapkan manajemen berbasis sekolahyang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Berkaitan dengan penerapan manajemen berbasis sekolah itu di tingkat satuan pendidikan, PP nomor 19/2005 tersebut menetapkan sejumlah standar pengelolaan yang mencakup pengambilan keputusan, pedoman pendidikan, rencana kerja, prinsip-prinsip dasar pengelolaan satuan pendidikan, pengawasan, pemantauan, supervisi, dan pelaporan. Secara ringkas standar-standar pengelolaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.Pengelolaan satuan pendidikan harus berpegang pada prinsip-prinsip kemandirian, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah.Terkait dengan Pengambilan Keputusan, beberapa hal penting yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut meliputi bidang-bidang pengambilan keputusan, prosedur pengambilan keputusan dan pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan itu. Pengambilan keputusan bidang akademik dilakukan melalui rapat Dewan Pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah. Sedangkan bidang non-akademik pengambilan keputusan dilakukan oleh komite sekolah/madrasah yang dihadiri oleh kepala sekolah. Rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah dilaksanakan atas dasar prinsip musyawarah mufakat yang berorientasi pada peningkatan mutu satuan pendidikan.Rencana kerja yang harus dibuat oleh satuan pendidikan meliputi Rencana Kerja Jangka Menengah (4 tahun) dan Rencana Kerja Tahunan. Rencana Kerja Satuan Pendidikan dasar dan Menengah harus disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah/Madrasah.Pengawasan penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan mencakup pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pemantauan dilakukan oleh pimpinan satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah atau bentuk lain dari lembaga perwakilan pihak-pihak yang berkepentingan secara teratur dan berkesinambungan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas satuan pendidikan. Supervisi yang meliputi supervisi manajerial dan akademik dilakukan secara teratur dan berkesinambungan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan dan kepala satuan pendidikan.Standar pengelolaan tersebut mengisyaratkan bahwa sejak saat ini sekolah sebagai satuan pendidikan memiliki peran, wewenang dan tanggung jawab yang sangat strategis dan jauh lebih luas di bandingkan masa sebelumnya. Sekolah dituntut untuk lebih mandiri, lebih mampu membangun hubungan kemitraan dengan dan memperkuat partisipasi semua pemangku kepentingan (stakeholders), bersikap lebih terbuka dan akuntabel.Kewenangan yang begitu luas yang diberikan kepada sekolah pada gilirannya menuntut setiap sekolah mereformasi dirinya. Setiap sekolah harus beralih dari budaya dan manajemen yang bersifat menunggu dan bertindak sesuai kebijakan atas yang bersifat konvensional kepada sebuah budaya dan manajemen baru yang menempatkan hasil telaah diri sebagai titik awal usaha pengembangan, kemandirian dan akuntabilitas sebagai instrumen utama dalam proses pengembangan dirinya, dan peningkatan mutu sebagai muara dan tujuan utama dari setiap usaha pengembangan itu.IV. MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAHA. Pengertian Perencanaan Pengembangan SekolahPerencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), menggerakkan atau memimpin (actuatingatauleading), dan pengendalian (controlling) merupakan fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam proses manajemen. Jika digambarkan dalam sebuah siklus, perencanaan merupakan langkah pertama dari keseluruhan proses manajemen tersebut. Perencanaan dapat dikatakan sebagai fungsi terpenting diantara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Apapun yang dilakukan berikutnya dalam proses manajemen bermula dari perencanaan. Daft (1988:100) menyatakan: When planning is done well, the other management functions can be done well.Perencanaan pada intinya merupakan upaya penentuan kemana sebuah organisasi akan menuju di masa depan dan bagaimana sampai pada tujuan itu. Dengan kata lain, perencanaan berarti pendefinisian tujuan yang akan dicapai oleh organisasi dan pembuatan keputuan mengenai tugas-tugas dan penggunaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu. Sedangkan rencana (plan) adalah hasil dari proses perencenaan yang berupa sebuah cetak biru (blueprint) mengenai alokasi sumber daya yang dibutuhkan, jadwal, dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan.Dalam pengertian tersebut, tujuan dan alokasi sumber daya merupakan dua kata kunci dalam sebuah rencana. Tujuan (goal) dapat diartikan sebagai kondisi masa depan yang ingin diwujudkan oleh organisasi. Dalam organisasi, tujuan ini terdiri dari beberapa jenis dan tingkatan. Tujuan pada tingkat yang tertinggi disebut dengan tujuan strategis (strategic goal), kemudian berturut-turut di bawahnya dijabarkan menjadi tujuan taktis (tactical objective) kemudian tujuan operasional (operational objective). Tujuan strategis merupakan tujuan yang akan dicapai dalam jangka panjang, sedangkan tujuan taktis dan tujuan operasional adalah tujuan jangka pendek yang berupa sasaran-sasaran yang terukur.Dalam SD/MI, tujuan strategis merupakan tujuan tertinggi yang akan dicapai pada tingkat sekolah. Tujuan ini bersifat umum dan biasanya tidak dapat diukur secara langsung. Tujuan-tujuan taktis merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh bagian-bagian utama organisasi sekolah, misalnya bidang kurikulum, kesiswaan, atau kerja sama dengan masyarakat. Sedangkan tujuan operasional merupakan tujuan yang harus dicapai pada bagian-bagian yang secara struktur yang lebih rendah dari bagian-bagian utama sekolah tersebut. Tujuan mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, misalnya, dapat dikategorikan sebagai tujuan operasional.Masing-masing tingkatan tujuan tersebut terkait dengan proses perencanaan. Tujuan strategis merupakan tujuan yang harus dicapai pada tingkat rencana strategis (strategic plan). Tujuan taktis dan tujuan operasional masing-masing merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai pada rencana taktis (tactical plan) dan rencana operasional (operational plan).Perlu dicatat bahwa semua sekolah, apapun bentuknya, berdiri atau didirikan atas dasar asumsi, keyakinan, sistem nilai dan mandat tertentu. Dalam kaitannya dengan perencanaan pengembangan, dasar-dasar keberadaan ini disebut denganpremis lembagaataupremis sekolah. Permis-premis sekolah itu biasanya disajikan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan nilai-nilai fundamental organisasi. Visi dapat dipandang sebagai alasan atas keberadaan lembaga dan merupakan keadaan ideal yang hendak dicapai oleh lembaga; sedangkan misi adalah tujuan utama dan sasaran kinerja dari lembaga. Keduanya harus dirumuskan dalam kerangka filosofis, keyakinan dan nilai-nilai dasar yang dianut oleh sekolah yang bersangkutan dan digunakan sebagai konteks pengembangan dan evaluasi atas strategi yang diinginkan.Premis-premis tersebut harus menjadi titik-tolak dalam perencanaan. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan yang tertuang dalam rencana harus berada dalam kerangka premis-premis itu. Untuk memudahkan pemahaman, Gambar 2.1 mengilustrasikan hubungan antara premis organisasi, hierarki tujuan, dan bentuk rencana sebagaimana diuraikan di atas.Visi, Misi, dan Nilai-Nilai Dasar(Premis Sekolah)

Manajemen Puncak(Tingkat Sekolah)

Tujuan Strategis

Rencana Strategis

Manajemen Menengah(Bidang Kurikulum, Kesiswaan, dsb.)

Tujuan Taktis

Rencana Taktis

ManajemenBawah(Mapel, Individu Guru)

Tujuan Operasional

Rencana Operasional

Tujuan(hasil)

Rencana(alat)

Gambar 1.7 Hubungan antara Premis, Tujuan, dan RencanaPerencanaan pengembangan sekolah (schooldevelopment planning) merupakan proses pengembangan sebuah rencana untuk meningkatkan kinerja sebuah sekolah secara berkesinambungan. Perbedaan pokok rencana pengembangan dengan rencana lainnya terletak pada tujuan. Sedangkan hierarki tujuan dan rencana sebagaimana telah diuraikan di atas juga berlaku dalam rencana pengembangan. Tujuan yang akan dicapai dalam rencana pengembangan merupakan hasil-hasil yang lebih baik dari apa yang selama ini telah di oleh sekolah. Rencana pengembangan sekolah disusun agar sekolah terus-menerus meningkatkan kinerjanya. Oleh karena itu, selain didasarkan pada visi dan misi sekolah, perencanaan pengembangan harus didasarkan atas pemahaman yang mendalam tentang keberadaan dan kondisi sekolah pada saat rencana pengembangan itu disusun. Pemahaman semacam ini dapat dilakukan melalui kajian dan telaah mendalam terhadap kondisi internal maupun lingkungan eksternal dimana sekolah itu berada.a. Model Perencanaan Pengembangan SekolahStandar nasional pendidikan sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa proses perencanaan menjadi perangkat yang esensial dalam pengelolaan sekolah. Dalam kaitannya dengan standar pengelolaan satuan pendidikan, sistem perencanaan pengembangan lembaga yang diterapkan pada setiap sekolah harus mampu memfasilitasi dan mengakomodasi lima pilar utama yang digariskan dalam standar pengelolaan, yaitu kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.Model perencanaan strategis (strategis planning) hingga saat ini dipandang sebagai proses perencanaan yang demikian itu. Dengan menerapkan pendekatan perencanaan strategis, diharapkan sekolah akan terdorong untuk melakukan perencanaan secara sistematis. Sekolah diharapkan akan menyediakan waktu untuk mentelaah dan menganalisis dirinya sendiri dan lingkungannya, mengidentifikasi kebutuhannya untuk mendapatkan keunggulan terhadap yang lain, dan melakukan komunikasi dan konsultasi secara terus-menerus dengan berbagai pihak baik dari dalam maupun luar lingkungan lembaga selama berlangsungnya proses perencanaan. Di samping itu perencanaan strategis juga diharapkan akan mendorong sekolah untuk menyusun langkah-langkah untuk mencapai tujuan strategis, secara terus-menerus memantau pelaksanaan rencana itu, dan secara teratur melakukan pengkajian dan perbaikan untuk menjaga agar perencanaan yang dibuat tetap relevan terhadap berbagai kondisi yang terus berkembang (Nickols dan Thirunamachandran, 2000).Perencanaan strategis (strategic planning) merupakan bagian dari proses managemen strategis yang terkait dengan proses identifika