Upload
merlyn-sanctisya-yaznil
View
206
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PPOK
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. Bronkitis kronik ialah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya. Emfisema ialah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK
merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan resistensi
terhadap aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik
dan emfisema atau gabungan keduanya
(PDPI, 2006 ; Prince, S & Wilson, L, 2006).
PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk
penyakit ini mencapai $ 24 milyar per tahunnya. World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat (Riyanto, B.S & Hisyam, B, 2007).
Di teliti secara epidemiologi di berbagai Negara seperti di Belanda
angka insidensi PPOK ialah 10 – 15 % pria dewasa, 5 % wanita dewasa
dan 5 % anak – anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok
mempunyai risiko 4 kali lebih besar daripada bukan perokok, dimana faal
paru cepat menurun. Perbandingan penderita PPOK pada pria dan wanita
adalah 3 – 10 : 1. Pekerjaan penderita PPOK sering berhubungan erat
dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan,
insidensi PPOK 1 ½ kali lebih banyak daripada di pedesaan
(Alsagaff, H & Mukty, A, 2008).
2.2. ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO
Etiologi dan faktor resiko terjadinya PPOK adalah merokok,
hiperresponsif saluran napas, infeksi saluran napas pada masa kanak-
kanak, pekerjaan, polusi udara di dalam dan di luar rumah, perokok pasif
dan faktor genetik yaitu defisiensi enzim α1-antitripsin (α1AT)
(Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
Merokok
Beberapa studi longitudinal memperlihatkan adanya hubungan
dosis-respon antara percepatan penurunan FEV1 (Forced expiration
volume 1 second) dengan intensitas merokok (pak per tahun) dan
prevalens PPOK pada subyek perokok lebih tinggi dengan bertambahnya
usia. Tingginya prevalens PPOK pada pria mungkin dapat dijelaskan
karena tingginya angka perokok pria. Walaupun demikian ada variabilitas
untuk timbulnya PPOK pada perokok (hanya 15% yang berhubungan
dengan berapa pak rokok per tahun). Faktor genetik dan lingkungan
berperan dalam pengaruh rokok terhadap berkembangnya obstruksi
saluran napas (Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
Hiperresponsif saluran napas
Banyak pasien PPOK memperlihatkan hiperresponsif saluran
napas. Beberapa studi longitudinal yang membandingkan respon saluran
napas pada awal studi dengan penurunan fungsi paru memperlihatkan
bahwa ada hubungan signifikan antara peningkatan respon saluran napas
dengan fungsi paru, sehingga hiperresponsif saluran napas adalah faktor
risiko PPOK (Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
4
Pekerjaan
Beberapa jenis pekerjaan dengan paparan spesifik seperti tambang
batubara, tambang emas, debu tekstil kapas adalah faktor risiko terjadinya
PPOK (Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
Faktor Risiko PPOK
Etiologi & faktor risiko Keterangan
Usia (tua) Gangguan ventilasi, primer efek
kumulatif merokok
Jenis Kelamin Laki-laki lebih beresiko dari wanita
Kebiasaan merokok Berhubungan dengan berapa batang
rokok per-hari dan berapa pak per-
tahun
Polusi udara Di luar ruangan dan di dalam ruangan
(dapur)
Pekerjaan Macam-macam debu yang
menyebabkan hipersekresi mukus :
pekerja tambang batubara, emas dan
cadmium, petani, pemanen gandum,
pekerja pabrik semen dan tekstil.
Status sosial ekonomi Lebih sering pada sosial ekonomi
rendah
Diet Makan ikan banyak mengurangi risiko
pada perokok
Faktor genetic Defisiensi α1-antitripsin adalah risiko
terkuat
Berat lahir dan penyakit saluran napas
waktu kanak-kanak
FEV1 rendah pada berat lahir rendah
dan mortalitas karena PPOK tinggi
setelah dewasa, penyakit kronik pada
masa kanak-kanak predisposisi untuk
penyakit kronik setelah dewasa.
5
Tabel 1. Etiologi & faktor risiko PPOK (Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
Penyakit bronkopulmoner rekuren Menyebabkan penurunan fungsi paru
Alergi dan hiperresponsif saluran napas Peningkatan IgE darah dan eosinofil
dan hiperesponsif ditemukan pada
perokok tetapi sebagai faktor risiko
yang signifikan mungkin hanya pada
sebagian perokok
Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan adanya peningkatan gejala saluran
napas pada mereka yang tinggal di kota dibandingkan dengan yang tinggal
di desa yang mungkin berhubungan dengan peningkatan polusi di
perkotaan. Tetapi hubungan polusi udara dengan obstruksi saluran napas
kronik belum jelas. Di negara berkembang tingginya angka PPOK pada
wanita yang tidak merokok diduga berhubungan dengan polusi udara
dalam ruangan, khususnya berhubungan dengan memasak di dapur
(Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
Perokok pasif
Paparan rokok intra uterin secara signifikan menurunkan fungsi
paru setelah lahir dan paparan rokok terhadap anak-anak mengurangi
pertumbuhan paru. Bahkan perokok pasif berhubungan dengan penurunan
fungsi paru. Berapa besar pengaruh faktor risiko ini terhadap beratnya
penurunan fungsi paru pada PPOK masih belum jelas (Fishman’S, A.P, et
al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
Faktor genetik
Defisiensi berat enzim a1 antitripsin (a1AT) adalah faktor risiko
genetik untuk terjadinya PPOK disamping adanya determinan genetik
yang lain. Varian lokus protease inhibitor (Pi) yang mengkode a1AT
sudah diketahui. M alel berhubungan dengan kadar a1AT normal. S alel
berhubungan dengan penurunan ringan kadar a1AT. Z alel berhubungan
dengan penurunan bermakna kadar a1AT (muncul pada lebih 1%
6
penduduk Kaukasia). Jumlah pasien PPOK dengan defisiensi berat a1AT
turunan hanya 1-2%, tetapi mereka memperlihatkan bahwa faktor genetik
berpengaruh besar terhadap kemungkinan berkembangnya PPOK
(Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).
2.3. PATOFISIOLOGI
Faktor resiko utama dari PPOK ini adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan
edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan
sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (Prince, S & Wilson,
L, 2006 ; Sibernagl, S & Lang, F, 2007).
7
Gambar 1. Patogenesis PPOK (PDPI, 2006).
8
Asap rokok dan polusi udara
Gangguan pembersihan paru
Radang bronkus dan bronkiolus
Obstruksi jalan napas akibat radang
Hipoventilasi alveolar
Bronkiolitis kronikLemahnya dinding bronchial
dan kerusaan alveolar
Predisposisi genetik (defisiensi alfa 1 anti
protease)
Hilangnya septum dan jaringan ikat penunjang
Saluran nafas kecil kolaps saat ekspirasi
Empisema sentrilobular Empisema panlobular
Gambar 2. Patofisiologi PPOK (Prince, S & Wilson, L, 2006 ; Sibernagl, S & Lang, F, 2007).
2.4. PATOLOGI
Pada kelainan patologi PPOK terdapat bronkitis kronis dan
emfisema Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan
serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara
anatomik dibedakan tiga jenis emfisema : (Kumar, R ,et al, 2007 ; Prince,
S & Wilson, L, 2006)
a) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas
ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat
kebiasaan merokok lama.
b) Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah.
c) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran
napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa
atau dekat pleura.
Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien
PPOK, yakni : peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran
nafas), makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan
parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim).
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi
jalan napas (Kumar, R ,et al, 2007 ; Prince, S & Wilson, L, 2006 ;
Sibernagl, S & Lang, F. 2007).
9
2.5. KLASIFIKASI
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat : (GOLD, 2012)
1. Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada
derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi
parunya abnormal.
2. Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%;
50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan
oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi).
10
Gambar 3. Empisema sentriasianar & empisema panasinar (Fishman’S, A.P, et al, 2008).
Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas
latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas
hidup pasien.
4. Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan
adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.
2.6. DIAGNOSIS
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak
nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+).
Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dapat
ditegakkan dengan cara : (PDPI, 2006).
Anamnesis
Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan
perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap
aktivitas. (PDPI, 2006).
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR).
Infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi
udara.
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
Pemeriksaan Fisik, dijumpai adanya : (PDPI, 2006).
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
11
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding).
Penggunaan otot bantu napas.
Hipertropi otot bantu napas.
Pelebaran sela iga.
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai.
Penampilan pink puffer atau blue bloater.
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa.
Ekspirasi memanjang.
Bunyi jantung terdengar jauh.
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer.
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal
napas kronik.
12
Pemeriksaan penunjang (PDPI, 2006).
Pemeriksaan Foto Toraks, curiga PPOK bila dijumpai kelainan:
Hiperinflasi.
Hiperlusen.
Diafragma mendatar.
Ruang retrosternal melebar.
Corakan bronkovaskuler meningkat.
Bulla & jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance).
Pemeriksaan faal paru (PDPI, 2006).
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP).
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %.
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Uji bronkodilator.
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK
stabil.
2.7. DIAGNOSIS BANDING
PPOK didiagnosis banding dengan : (PDPI, 2006).
Asma.
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis).
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada
penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
Pneumotoraks.
13
Gagal jantung kronik.
Bronkiektasis, destroyed lung.
2.8. PENATALAKSANAAN (PDPI, 2006).
Tujuan penatalaksanaan :
Mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang.
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru serta meningkatkan
kualitas hidup penderita.
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi.
2. Obat – obatan.
3. Terapi oksigen.
4. Ventilasi mekanik.
5. Nutrisi.
6. Rehabilitasi.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif,
inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal.
3. Mencapai aktiviti optimal.
4. Meningkatkan kualitas hidup.
Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit PPOK :
Ringan
Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel.
14
Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok.
Segera berobat bila timbul gejala.
Sedang
Menggunakan obat dengan tepat, program latihan fisik dan pernafasan.
Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini.
Berat
Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi.
Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan.
Penggunaan oksigen di rumah.
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang
(long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
15
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
b. Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan
minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : Amoksisilin.
Makrolid.
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat.
Sefalosporin.
Kuinolon.
Makrolid baru.
Perawatan di Rumah Sakit :
- Amoksilin dan klavulanat.
- Sefalosporin generasi II & III per injeksi.
- Kuinolon per oral.
Anti pseudomonas :
- Aminoglikose per injeksi.
- Kuinolon per injeksi.
16
- Sefalosporin generasi IV per injeksi.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetil-sistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.
Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak.
- Memperbaiki aktiviti.
- Mengurangi hipertensi pulmonal.
- Mengurangi vasokonstriksi.
- Mengurangi hematokrit.
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri.
- Meningkatkan kualiti hidup.
Indikasi terapi oksigen :
- PaO2 < 60mmHg atau Saturasi O2 < 90%.
17
- Pa O2 diantara 55 - 59 mmHg atau Saturasi O2> 89% disertai Kor
Pulmonal perubahan P pulmonal, Hematokrit > 55% dan tanda - tanda
gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam – macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang.
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti.
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak.
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas.
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- Ventilasi mekanik dengan intubasi dan ventilasi mekanik tanpa intubasi.
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnia menyebabkan
terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas
PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan, kadar albumin darah.
- Antropometri, pengukuran kekuatan otot (kekuatan otot pipi).
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia).
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK.
18
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
1. Tatalaksana PPOK stabil (PDPI, 2006).
Terapi Farmakologis
a. Bronkodilator
Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak
terjangkau.
Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan
(gejala intermitten).
3 golongan :
Agonis -2: fenopterol, salbutamol, albuterol,
terbutalin, formoterol, salmeterol.
Antikolinergik: ipratropium bromid,
oksitroprium bromid.
Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila
kombinasi -2 dan steroid belum memuaskan.
Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi.
b. Steroid
- PPOK yang menunjukkan respon
pada uji steroid.
- PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi
(derajat III dan IV)
- Eksaserbasi akut.
c. Obat-obat tambahan lain
Mukolitik (mukokinetik,
mukoregulator) : ambroksol, karbosistein, gliserol iodida.
Antioksidan : N-Asetil-
sistein.
19
Imunoregulator
(imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin.
Antitusif : tidak rutin.
Vaksinasi : influenza,
pneumokokus.
Terapi Non-Farmakologis
a. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan
pernapasan, rehabilitasi psikososial.
b. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) : pada PPOK
derajat IV, Analisa Gas Darah :
PaO2 < 55 mmHg, atau
SaO2 < 88% dengan atau tanpa hiperkapnia.
PaO2 55-60 mmHg, atau
SaO2 < 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer
karena gagal jantung, polisitemia.
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian
oksigen harus dipantau secara ketat. Oleh karena, pada pasien
PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi
kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan
normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang
menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya
konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus
merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif
kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan
muatan apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk
bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya
memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat
diberi terapi dengan oksigen tinggi.
c. Nutrisi
d. Terapi Pembedahan
- Memperbaiki fungsi paru, memperbaiki mekanik paru.
20
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi.
- Memperbaiki kualiti hidup.
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
Bulektomi.
Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume
reduction surgey (LVRS) dan transplantasi paru.
Tabel 2. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).
DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN
Semua
derajat
Hindari faktor pencetus
Vaksinasi influenza
Derajat I
(PPOK
Ringan)
VEP1 / KVP < 70 %
VEP1 80%
Prediksi
a. Bronkodilator kerja singkat
(SABA, antikolinergik kerja pendek)
bila perlu
b. Pemberian antikolinergik kerja
lama sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II
(PPOK
sedang)
VEP1 / KVP < 70 %
50% VEP1 80%
Prediksi dengan atau
tanpa gejala
1. Pengobatan
reguler dengan
bronkodilator:
a. Antikoline
rgik kerja lama
sebagai terapi
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomat
ik
2. Rehabilitasi
Kortikosteroid
inhalasi bila
uji steroid
positif
Derajat III
(PPOK
Berat)
VEP1 / KVP < 70%;
30% VEP1 50%
prediksi
Dengan atau tanpa
gejala
1. Pengobatan
reguler dengan 1 atau
lebih bronkodilator:
a. Antikoline
rgik kerja lama
sebagai terapi
Kortikosteroid
inhalasi bila
uji steroid
positif atau
eksaserbasi
berulang
21
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomat
ik
2. Rehabilitasi
Derajat IV
(PPOK
sangat
berat)
VEP1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi
atau gagal nafas atau
gagal jantung kanan
1. Pengobatan reguler dengan 1 atau
lebih bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi
bila memberikan respons klinis
atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen
jangka panjang bila gagal nafas
4. Pertimbangkan terapi bedah
2. Tatalaksana PPOK eksaserbasi (PDPI, 2006).
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah:
bronkodilator seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari.
Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 ahri. Bila infeksi: diberikan
antibiotika spektrum luas (termasuk S.pneumonie, H influenzae, M
catarrhalis).
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:
Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
22
Bronkodilator : inhalasi agonis 2 (dosis & frekwensi ditingkatkan)
dan antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat : ditambahkan
aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam).
Steroid : prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari.
Steroid intravena: pada keadaan berat.
Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenza, M catarrhalis.
Ventilasi mekanik pada: gagal akut atau kronik.
Indikasi rawat inap :
Eksaserbasi sedang dan berat.
Terdapat komplikasi.
Infeksi saluran napas berat.
Gagal napas akut pada gagal napas kronik.
Gagal jantung kanan.
Indikasi rawat ICU :
Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau
ruang rawat.
Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi.
Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau
perburukan PaO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanik
(invasif atau non invasif).
2.9. KOMPLIKASI (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik.
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik.
2. Infeksi berulang (80 %) Infeksi S. Pneumonia, H. Influenza.
(Scharschmidt, B.F, 2007).
3. Kor pulmonal.
2.10. PROGNOSIS
23
Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit
komorbid lain (GOLD, 2012).
24