Upload
muhaimin-mz
View
175
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
PERBANKAN SYARIAH
“Prinsip Rahn (Gadai syariah)”
Oleh:
MUHAIMIN
2009110020
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2013
i
DAFTAR ISI
BAB I.....................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah..............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3. Tujuan..........................................................................................................2
BAB II....................................................................................................................3
2.1. Sejarah Berdirinya Rahn (Gadai Syariah)....................................................3
2.2. Tujuan Berdirinya Rahn (Gadai Syariah).....................................................3
2.3. Aspek Pendirian Rahn (GadaiSyariah).........................................................4
2.4. Pengertian Rahn...........................................................................................6
2.5. Dasar hukum................................................................................................7
2.6. Hikmah Persyariatannya............................................................................10
2.7. Unsur-unsur dalam Rahn...........................................................................11
2.8. Syarat-syarat Rahn.....................................................................................12
2.9. Jenis-jenis Rahn (Gadai Syariah)...............................................................16
2.10. Kapan Rahn (Gadai) menjadi keharusan?................................................17
2.11. Kapan Dianggap Sah Serah Terima Rahn?..............................................18
2.12. Hukum-hukum Setelah Serah Terima......................................................18
2.13. Hak dan Kewajiban Rahin dan Murtahin.................................................20
2.14. Resiko kerusakan Marhun........................................................................21
2.15. Manfaat Barang Gadai.............................................................................22
2.16. Memanfaatkan Barang yang Digadaikan.................................................23
2.17. Pertumbuhan barang gadai.......................................................................25
2.18. Perpindahan Kepemilikan dan Pelunasan Barang Gadai..........................26
2.19. Persamaan dan Perbedaan Rahn (Gadai Syariah) dengan Gadai Konvensional....................................................................................................28
2.20. Konstruksi Sistem Operasional Gadai Syari’ah (Rahn)...........................28
2.21. Riba dan Rahn (Gadai Syariah)................................................................32
2.22. Berakhirnya Akad Gadai Rahn................................................................33
2.23. Praktek Rahn (gadai) di Indonesia...........................................................34
ii
BAB III................................................................................................................ 40
PENUTUP............................................................................................................40
3.1. Kesimpulan...............................................................................................40
3.2. Kritik dan saran..........................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................43
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dengan melihat fenomena yang terjadi diera globalisasi dan pengaruh
westerinasi khususnya pada bidang fiqih muamalat, dimana orang sekarang
kurang memperhatikan akan peraturan-peraturan yang tertera pada fiqih
muamalat, sehingga terkadang menimbulkan kejanggalan, seperti contoh
berhutang dengan menggunakan jaminan, banyak terjadi kesalah pahaman ,
terkadang orang menganggap barang jaminan itu telah menjadi miliknya, padahal
tidak demikian. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan
kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk).
Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling
menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena itulah
sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita
sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia,
khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang
lainnya. Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman
kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya.
Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian
baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai
ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil
Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam
kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini.
Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya
dengan batil.
1
Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam hal
kemudahan dan kecepatan prosedur. Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang
yang cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair. Praktis,
sehingga sangat menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.
Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah dalam
hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem
pembiayaan, antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah
(bagi hasil) Bukan tanpa alasan mereka tertarik untuk menggarap gadai ini. Di
samping alasan rasional, bahwa gadai ini memilki potensi pasar yang besar, sistem
pembiayaan ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di negara–
negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan
Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat sehingga dalam pembahasan
makalah ini akan kami bahas mengenai tentang rahn.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian rahn (gadai) dalam ilmu fiqih ?
2. Bagaimana pendapat para ulama fiqih tentang gadai ?
3. Bagaimana proses penerapan Rahn?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian rahn (gadai) dalam ilmu fiqih.
2. Untuk mengetahui pendapat –pendapat yang telah diutarakan oleh para
ahli fiqih mengenai gadai
3. Untuk mengetahui proses penerapan Rahn yang benar?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Berdirinya Rahn (Gadai Syariah)
Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan
Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya kolonial Belanda, yaitu
sekitar akhir abad XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank
tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak,
sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian.
Lahirnya pegadaian syariah sebenarnya berawal dari hadirnya fatwa MUI
tanggal 16 Desember 2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini memperkuat
terbitnya PP No. 10 tahun 1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban
oleh pegadaian syariah adalah untuk mencegah praktik riba, dan misi ini tidak
berubah hingga diterbitkannya PP No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai
landasan kegiatan usaha Perum pegadaian hingga sekarang.
Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit
Layanan Gadai Syariah ( ULGS ). Konsep operasi pegadaian syariah mengacu
pada sistem administrasi modern, yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan efektifitas
yang diselaraskan dengan nilai islam. ULGS merupakan unit bisnis mandiri yang
secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.
Kemudian menyusul pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang,
Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di
tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi
Pegadaian Syariah.
2.2. Tujuan Berdirinya Rahn (Gadai Syariah)
Dalam perspektif ekonomi, pegadaian merupakan salah satu alternatif
pendanaan yang sangat efektif karena tidak memerlukan proses dan persyaratan
yang rumit. Pegadaian melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa
pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum
3
gadai. Tugas pokok dari lembaga ini adalah memberikan pinjaman kepada
masyarakat yang membutuhkan. Lembaga Keuangan Gadai Syariah mempunyai
fungsi sosial yang sangat besar. Karena pada umumnya, orang-orang yang datang
ke tempat ini adalah mereka yang secara ekonomi sangat kekurangan.
Dan biasanya pinjaman yang dibutuhkan adalah pinjaman yang bersifat
komsumtif dan sifatnya mendesak. Dalam implementasinya, pegadaian syariah
merupakan kombinasi komersil-produktif, meskipun jika kita mengkaji latar
belakang gadai syariah, baik secara implisit maupun eksplisit lebih berpihak dan
tertuju untuk kepentingan sosial. Banyak manfaat lain yang bisa diperoleh dari
pegadaian syariah. Pertama, prosesnya cepat.
Dalam pegadaian syariah, nasabah dapat memperoleh pinjaman yang
diperlukan dalam waktu yang relatif cepat, baik proses administrasi, maupun
penaksiran barang gadai. Kedua, caranya cukup mudah. Yakni hanya dengan
membawa barang gadai (marhun) beserta bukti kepemilikan. Ketiga, jaminan
keamanan atas barang diserahkan dengan standar keamanan yang telah diuji dan
diasuransikan dan sebagainya.
2.3. Aspek Pendirian Rahn (GadaiSyariah)
Dalam mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan beberapa
aspek pendirian. Adapun aspek – aspek pendirian pegadaian syariah adalah :
1. Aspek legalitas
Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin
pemerintah. Aspek ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990
tentang berdirinya lembaga gadai yang berubah dari bentuk Perusahaan Jawatan
Pegadaian menjadi Perusahaan Umum Pegadaian.
2. Aspek permodalan
Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk
perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek
penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk
4
menjalankan perusahaan gadai cukup besar karena selain diperlukan dana untuk
dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan investasi untuk tempat penyimpanan
barang gadaian. Permodalan gadai syariah bias diperoleh dengan system bagi
hasil, seperti mengumpulkan dana dari bebrapa orang ( musyarakah ), atau dengan
mencari sumber dana (shahibul mal), seperti bank atau perorangan untuk
mengelola perusahaan gadai syariah (mudharabah).
3. Aspek sumber daya manusia
Keberlangsungan pegadaian syariah sangat ditentukan oleh kemampuan sumber
daya manusia ( SDM ) nya. SDM pegadaian syariah harus memahami filosofis
gadai dan system operasionalisasi gadai syariah. SDM selain mampu menangani
masalah taksiran barang gadai, penentuan instrument pembagian rugi laba atau
jual beli, menangani masalah – masalah yang dihadapi nasabah yang berhubungan
penggunaan uang gadai, juga berperan aktif dalam syiar islam di mana pegadaian
itu berada.
4. Aspek kelembagaan
Sifat kelembagaan mempengaruhi keefektifan ssebuah perusahaan gadai dapat
bertahan. Sebagai lembaga yang relative belum banyak dikenal masyarakat,
pegadaian syariah perlu mensosialisasikan posisinya sebagai lembaga yang
berbeda dengan gadai konvensional. Hal ini guna memperteguh keberadaannya
sebagai lembaga yang berdiri untuk memberikan ke maslahatan bagi masyarakat.
5. Aspek sistem dan prosedur
System dan prosedur gadai syariah harus sesuai dengan prinsip – prinsip syariah
yang keberadaannya menekankan akan pentingnya gadai syariah. Oleh karena itu
gadai syariah merupakan representasi dari suatu masyarakat di mana gadai itu
berada, maka system dan prosedural gadai syariah berlaku fleksibel dan sesuai
dengan prinsip gadai syariah.
5
6. Aspek pengawasan
Untuk menjaga jangan sampai gadai syariah menyalahi prinsip syariah maka
gadai syariah harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas
Syariah bertugas mengawasi operasional gadai syariah supaya sesuai dengan
prinsip – prinsip syariah.
2.4. Pengertian Rahn
Secara etimologi, rahn atau gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang berarti
tetap dan ad-dawamu yang berarti terus menerus. Sehingga air yang diam tidak
mengalir dikatakan sebagai maun rahin. Dan Rahn dalam istilah positif Indonesia
disebut dengan barang jaminan,sedangkan dalam islam rahn merupakan sarana
saling tolong menolong bagi ummat islam Pengertian secara bahasa tentang rahn
ini juga terdapat dalam firman Allah SWT :
رهينة كسبت نفسبما كل
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.(QS. Al-
Muddatstsr : 38)
Sedangkan berdasarkan terminilogi terdapat beberapa perbedaan pendapat
para ulama :
1.Ulama fiqih syafi’yah
منها تعدروعند يستوفانه وثيقةفى بدين عين جعل
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan
pembayaran ketika berhalangan dalam membayar hutang.
2.Ulama fiqih hanabilah
المااللدييجعلوتيقةبالدينليسثوفىمنتمنهانثعدراسثفاؤهممنهواله
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayaran harga atau nilai
hutang ketika yang berhutang berhalangan atau tidak mampu membayar
hutangnya kepada pemberi pinjaman.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai dalah
suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang
bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh
6
seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang.
Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahnsebagai jaminan
hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang
tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu
melunasinya.
Dari pendapat diatas bisa diambil kesimpulan bahwa jaminan adalah suatu
barang yang dijadikan penguat kepercayaan dalam hutang piutang atau yang lebih
populer dengan sebutan gadai, dengan catatan barang yang digadaikan harus
barangnya sendiri bukan barang ghasab atau pinjaman. Barang tersebut boleh
dijual jika sang peminjam tidak dapat membayar hutang, hanya saja penjualan itu
hendaknya dengan keadilan ( dengan harga yang berlaku pada waktu itu). Jika
terdapat sisa dari penjualan barang tersebut untuk membayar hutang maka sisanya
di kembaikan pada pemilik.
2.5. Dasar hukum
Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam islam
berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW dalam Al-Quran Al-Kariem
disebutkan:
/ؤ-د+ 0ي ف-ل -ع0ض1ا ب /م -ع0ض/ك ب م5ن-- أ 5ن0 ف-إ /وض-ة9 م;ق0ب ف-ر5ه-ان9 1ا 5ب -ات ك 0 -ج5د/وا ت -م0 و-ل ف-ر= س- ع-ل-ى /م0 /نت ك 5ن و-إ
?ه/ و-الل /ه/ 0ب ق-ل 5م9 آث ;ه/ 5ن ف-إ /م0ه-ا 0ت -ك ي و-م-ن ه-اد-ة- الش; 0 /م/وا 0ت -ك ت - و-ال ;ه/ ب ر- ?ه- الل ;ق5 -ت 0ي و-ل -ه/ -ت م-ان- أ /م5ن- اؤ0ت ;ذ5ي ال
5يم9 ع-ل -ع0م-ل/ون- ت 5م-ا ب
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..”.(QS Al-Baqarah ayat 283)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang dipegang
oleh yang berpiutang. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal
sebagai objek gadai atau jaminan (kolateral) dalam dunia perbankan.
7
Selain itu, istilah ar-Rahnu juga disebut dalam salah satu hadis nabawi.
Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang
yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya…
Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR
Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari
seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan
Muslim)
Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Ketentuan Umum:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun
(barang) sampai utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunsi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun.
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi.
8
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.
Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesainnya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian
hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
a. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan
menengah ke bawah.
b. Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba, dan pinjaman
tidak wajar lainnya.
Para fuqaha sepakat membolehkan praktek rahn / gadai ini, asalkan tidak
terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan. Di masa Rasulullah
praktek rahn pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya.
Rasululah SAW ditanya bolehkah susu kambingnya diperah. Nabi mengizinkan,
sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullulah mengizinkan kita
boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya
pemeliharaan. Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang
ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi
produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri
seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau merupakan
bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.Praktek gadai syariah
9
ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-
tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya
masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya
sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk
kelancaran bisnisnya.
Misalnya seorang produsen film butuh biaya untuk memproduksi
filemnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar
beberapa puluh juta rupiah. Setelah hasil panenya terjual dan bayaran telah
ditangan, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap
jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.
2.6. Hikmah Persyariatannya
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang
miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu
waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang
mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang
meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.
Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya
dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan
ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang
hingga ia melunasi hutangnya. Oleh karena itu Allah mensyariatkan Al Rahn
(gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Raahin), pemberi
hutangan (Murtahin) dan masyarakat.
Untuk Raahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya.
Ini tentunya bias menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan
dihatinya serta kadang ia bias berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi
sebab ia menjadi kaya. Sedangkan Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi
tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’I dan bila
ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
10
Adapun kemaslahatan yang kembalai kepada masyarakat adalah
memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan kasih
saying diantara manusia, karena ini termasuk tolong menolong dalam kebaikan
dan takwa. Disana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil
permusuhan dan melapangkan penguasa.
2.7. Unsur-unsur dalam Rahn
Dalam praktek rahn menurut jumhur ulama’ ada terdapat beberapa unsur
yaitu:
1. Ar-Rahin
Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan
jaminan barang
2. Al-Murtahin
Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang
meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun / Ar-Rahn
Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan
4. Al-Marhun bihi
Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.
5. Al-'Aqdu
Yaitu akad atau kesepaktan untuk melakukan transaksi rahn
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu
hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik
barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang
anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan
mengikatya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh
kridor.Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan,
dan utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan
rukunnya.
11
2.8. Syarat-syarat Rahn
Sedangkan secara umum yang termasuk rukun rahn adalah hal-hal
berikut :
1. Adanya Lafaz
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan
secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud
adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai.
Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig
sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai
dengan ketentuan syari’at Islam.
3. Adanya barang yang digadaikan.
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai
dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada
dibawah pengasaan penerima gadai.
4. Adanya utang/ hutang.
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan
tambahan bunga atau mengandung unsur riba.
Sedangkan menurut ulama’ fiqh syarat rahn itu tersendiri dari masing-
masing unsur atau rukun rahn yaitu sebagai berikut:
1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakat adalah cakap
bertindak hokum. Kecakapan bertindak hokum, menurut jumhur
ulama, adalah orang yang telah balig dan berakal. Namun menurut
ulama Mazhaf hanafi, kedua belah pihak yang berakat tidak
disayaratkan balig melainkan cukup berakal saja. Oleh sebab itu,
menurut mereka anak kecil yang mumayis boleh melakukan akad
rahn, dengan syarat akad rahn yang dialakukan anak kecil yang sudah
mumayis ini mendapat persetujuan wilayah.
2. Syarat sigah ( lafal). Ulama mazhab hanafi mengatakan dalam akad
rahn tidak boleh di kaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan
12
dengan masa yang akan datang, karena akad rahn sama dengan akad
jual beli. Apa bila akad tersebut dibarengi dengan syarat tertentu atau
dikaitkan dengan masa yang akan datang.
3.Syarat al-marhunbih (utang) adalah
a.Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
b.Hutang itu bisa dilunasi dengan agunan
c.Utang itu jelas dan tertentu
4.Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan) menurut ahli fiqhi :
a.Agunan itu bisa dijual dan nilainya seimbang dengan utang
b.Agunan itu bernilai harta dan bisa dimanfaatkan
c.Agunan itu jelas dan tertentu
d.Agunan itu milik sahdebitor
e.Agunan itu tidak terkait dengan dengan hak orang lain
f.Ugunan itu harta yang utuh tidak bertebaran dalam beberapa tempat
g. Agunan itu bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya
Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan
dalam Kifayatul Akhyar 5 bahwa semua barang yang boleh dijual – belikan
menurut syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya
adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang
disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah
menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang
dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah menerima barang jaminan
dengan nilai yang aman untuk uang yang akan dipinjamkannya., sedang
kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati
bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi
tanggungan hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan
13
sejumlah uang yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin
berhak menerima pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal
perjanjian hutang, sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang
menjadi tanggungan hutang rahin secara utuh tanpa cacat.
Diatas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah
memelihara barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang
amanah, sedang haknya dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin.
Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan
murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang menjadi tanggungan
hutang dalam keadaan utuh. Dasar hukum siapa yang menanggung biaya
pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang didasarkan kepada Hadist Nabi
riwayat Al – Syafi’I, Al – Ataram, dan Al – Darulquthni dari Muswiyah bin
Abdullah Bin Ja’far :
Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul
bebannya (beban pemeliharaannya).
Ditempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu
diizinkan untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang
memanfaatkan itu berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits
Rasullullah SAW : Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW :
Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan
susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan
orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai. (HR. Al-
Bukhari).
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan
hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak
menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya.Namun dalam praktek pihak
murtahim telah mengambil langkah – langkah pencegahan dengan menutup
asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.
14
Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah
perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan
menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya. Berita dari
Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW., :
Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah
menggadaikannya.Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang.
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya
dan tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka
hakim/pengadilan dapat memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual
barangnya. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup
hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada pemilik barang tetapi apabila
kurang pemilik barang tetap harus menutup kekurangannya
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung
hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga
umum.Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya,
apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap
harus menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris
setelah melunasi hutang almarhum pemilik barang.
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang
gadai sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang
piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan
syariat menurut Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep
ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan.
Hutang piutang dalam bentuk al- qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn),
dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial.
Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan
atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai
mitra usaha dalam perjanjian mudharabah. Didalam bentuk al-qardhul hassan ini
15
hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa ada tambahan
apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam menanggung biaya yang
secara nyata terjadi seperti biata penyimpanan dll., dan dibayarkan dalam bentuk
uang (bukan prosentase).
Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh
menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.Apabila peminjam
memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan mempertimbangkannya
apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila peminjam memilih
perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi bagihasil
masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.
2.9. Jenis-jenis Rahn (Gadai Syariah)
Gadai jika dilihat dari sah tidaknya akad terbagi menjadi dua yaitu gadai
shahih dan gadai fasid adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
a. Rahn Shahih / lazim, yaitu rahn yang benar karena terpenuhi syarat dan
rukunnya
b. Rahn Fasid, yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya.
Apabila sebuah akad rahn telah terpenuhi rukun dan syaratnya maka
membawa dampak yang harus dilakukan oleh murtahin dan juga rahin, diantara
dampak tersebut adalah :
a. Adanya hutang bagi rahin (penggadai).
b. Penguasaan suatu barang yang berpindah dari rahin kepada
murtahin.
c. Kewajiban untuk menjaga barang gadaian bagi murtahin.
d. Biaya-biaya pemeliharaan harta gadai menjadi tanggung jawab
rahin, karena itu murtahin berhak untuk memintanya kepada rahin.
Sedangkan pada rahn yang fasid maka tidak ada hak ataupun kewajiban
yang terjadi, karena akad tersebut telah rusak / batal. Para imam madzhab fiqh
telah sepakat mengenai ha ini. Karena itu tidak ada dampak hukum pada barang
gadaian, dan murtahin tidak boleh menahannya, serta rahin hendaknya meminta
16
kembali barang gadai tersebut, jika murtahin menolak mengembalikannya hingga
barang tersebut rusak maka murtahin dianggap sebagai perampas, karena itu dia
berhak mengembalikannya. Jika rahin meninggal dunia sedangkan dia masing
berhutang, maka barang gadaian tersebut menjadi hak milik murtahin dengan nilai
yang seimbang dengan hutangnya.
2.10. Kapan Rahn (Gadai) menjadi keharusan?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah Al Rahn menjadi keharusan
langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya dalam dua
pendapat:
1. Serah terima adalah syarat keharusan terjadinya Rahn.
Ini pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab
Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah. Dasar pendapat ini adalah firman
Allah : /وض-ة//ف-ر5ه-ان9 dalam ayat م;ق0ب ini Allah mensifatkannya dengan dipegang
(serah terima) dan Al rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada
penerimaan, sehingga butuh kepada serah terima (Al Qabdh) seperti hutang. Juga
karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak
diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal
dunia.
2. Rahn langsung Terjadi Setelah Selesai Transaksi
Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan
barang gadainya maka dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat madzhab
Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah. Dasar pendapat ini adalah
firman Allah : /وض-ة// 9م;ق0ب dalam ayat ف-ر5ه-ان ini Allah menetapkannya sebagai Al
Rahn sebelum dipegang (serah terimakan). Juga Rahn adalah akad transaksi yang
mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya
seperti jual beli. Demikian juga menurut imam Malik, serah terima hanyalah
menjadi penyempurna Al rahn dan bukan syarat sahnya.
17
Syeikh Abdurrahman bin Hasan menyatakan: sedangkan mengenai firman
Allah /وض-ة//ف-ر5ه-ان9 itu م;ق0ب adalah sifat keumumannya namun hajat menuntut
(keharusannya) tidak dengan serah terima (Al Qabdh). Prof. DR. Abdullah Al
Thoyyar menyatakan bahwa yang rojih adalah Al Rahn menjadi keharusan dengan
akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faedah Al Rahn berupa
pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya ketika tidak mampu dilunasi
dan ayat hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan menuntut adanya
jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan
mendapatkannya.
2.11. Kapan Dianggap Sah Serah Terima Rahn?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan
seperti rumah dan tananh, maka disepakati serah terimanya dengan
mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya. Ada kalanya berupa
barang yang dapat dipindahkan, bila berupa barang yang ditakar maka disepakati
serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka
disepakati serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung bila barangnya dapat
dihitung serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara
tumpukan maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya; ada
yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula dan ada yang
menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya dan
murtahin dapat mengambilnya.
2.12. Hukum-hukum Setelah Serah Terima.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang
berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan
pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang,
diantaranya:
1. Pemegang barang gadai
18
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian
gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
إ�ن و� ر�ع�ل�ىك�نت�م� ف� ل�م�س� د�واو� ان��ك�ات�ب�ات�ج� ر�ه� ة��ف� ب�وض� ق� م"
Jika kamudalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidakmemperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:
ك�ب�ال ون�اك�ان�إ�ذ�اي�ر� ه� ر� ل�ب�ن�م� و� ب�الد"ر) ر� ه�ون�اك�ان�إ�ذ�اي�ش� ر� ك�ب�ال"ذ�يو�ع�ل�ىم� ب�ي�ر� ر� ي�ش� و� ت�ه� ق� ن�ف�
ر� ظ"ه�
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
2. Pembiayaan pemeliharaan barang gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak
boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut
berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh
menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam
pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan
dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
ك�ب�ال ون�اك�ان�إ�ذ�اي�ر� ه� ر� ل�ب�ن�م� و� ب�الد"ر) ر� ه�ون�اك�ان�إ�ذ�اي�ش� ر� ك�ب�ال"ذ�يو�ع�ل�ىم� ب�ي�ر� ر� ي�ش� و� ت�ه� ق� ن�ف�
ر� ظ"ه�
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Syeikh Al Basaam menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa biaya
pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.Demikian juga
pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua
19
pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas
(pen).
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan
gadai dengan pernyataan: Hadits ini dan kaedah dan ushul syari’at menunjukkan
hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak
kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak
jaminan.
2.13. Hak dan Kewajiban Rahin dan Murtahin
Akibat hukum adanya kesepakatan dalam suatu perjanjian ialah
berlakunya hak dan kewajiban yang bersifat mengikat para pihak. Secara umum,
hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
Penerima gadai (murtahin)
Hak Kewajiban
1) Penerima gadai (murtahin)
mendapatkan biaya administrasi
yang telah dikeluarkan untuk
menjaga keselamatan harta
benda gadai (marhun)
2) murtahin mempunyai hak
menahan marhun sampai semua
hutang(narhun bih) dilunasi.
3) Penerima gadai berhak menjual
marhun apabila rahin pada saat
jatuh tempo tidak dapat
memenuhi kewajiban. Hasil
penjualan diambil sebagian
untuk melunasi marhun bih dan
sisanya dikembalikan kepada
rahin
a) Murtahin bertanggungjawab atas
hilang atau merosotnya harga
marhun bila itu disebabkan oleh
kelalaian.
b) Murtahin tidak boleh
menggunakan barang gadai
untuk kepentingan pribadinya.
c) Murtahin berkewajiban
memberikan informasi kepada
rahin sebelum mengadakan
pelelangan harta benda gadai
20
Pemberi gadai (rahin)
1) Rahin berhak mendapatkan
pembiayaan dan/atau jasa
penitipan.
2) ]Rahin berhak menerima
kembali harta benda yang
digadaikan setelah melunasi
hutangnya.
3) Rahin berhak menuntut ganti
rugi atas kerusakan dan/atau
hilangnya harta benda yang
digadaikan.
4) Rahin berhak menerima sisa
hasil penjualan harta benda
gadai yang sudah dikurangi
biaya pinjaman dan biaya
lainnya.
5) Rahin berhak meminta kembali
harta benda gadai jika diketahui
adanya penyalahgunaan
a) Rahin berkewajiban melunasi
marhun bih yang telah
diterimanya dalam tenggang
waktu yang telah ditentukan,
termasuk biaya lain yang
disepakati.
b) Pemeliharaan marhun pada
dasarnya menjadi kewajiban
rahin. Namun jika dilakukan
oleh murtahin, maka biaya
pemeliharaan tetap menjadi
kewajiban rahin. Besar biaya
pemeliharaan tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman.
c) Rahin berkewajiban merelakan
penjualan marhun bila dalam
jangka waktu yang telah
ditetapkan ternyata tidak
mampu melunasi pinjamannya
2.14. Resiko kerusakan Marhun
Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin,maka murtahin tidak
wajib menggantinya,kecuali bila rusak atau hilangnya itu Karen kelalaian
murtahin atau karena di sia-siakan. Menurut Hanafi,murtahin yang memegang
marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun,bila
marhun itu rusak atau hilang baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun
tidak.Demikian pendapat Ahmad Azhar Basyir.
Perbedaan dua pendapat tersebut ialah menurut Hanafi murtahin harus
menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun yang dipegangnya,baik
21
marhun hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya.Sedangkan menurut
Syafi`iyah murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun bila
marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.
2.15. Manfaat Barang Gadai
Para ulama fiqhi sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan
untuk pemeliharaan barang gadai tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya,
yaitu debitor hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW yang mengatakan”…..
pemilik gadai berhak atas segala hasil barang gadai dan ia juga bertanggung
jawab atas segala biaya barang gadai tersebut. ( HR. Asy-syafi’i dan ad-
Daruqutni).
Ulama fiqhi juga sepakat bahwa barang yang dijadikan gadai itu tidak
boleh di biarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan
tersebut termaksuk tindakan meyiayiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW
(HR. At-Tirmidzi). Akan tetapi bolekah pihak pemegang barang jaminan
memanfaatkan barang jaminan tesebut: sekalipun mendapat izin dari pemilik
barang jaminan? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat ulama.
Jumhur ulama fiqhi, selain ulama mazhab hambali, berpendapat bahwa
pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang itu bukan miliknya secara
penuh. Hak pemegang barang gadai terhadap barang itu hayalah sebagai jaminan
piutang yang ia berikan, dan apabila debitor tidak mampu melunasi utangnya,
barulah ia bisa menjual barang itu, alasan jumhur ulama mengatakan seperti itu
dikarenakan Rasulullah SAW Bersabda yang artinya : “barang jaminan tidak
boleh disembuyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang jaminan dan
tanggung jawabnya” ( HR. al-hakim, al-baihaki, dan ibnu Hibban dari Abu
Hurairah).
Akan tetapi apa bila pemilik barang mengizinkan pemengan barang gadai
memanfaatkannya maka barang tersebut selama ditangannya dia bisa
22
memanfaatkannya, maka sebahagian ulama membolehkannya, karena dengan
adanya izin maka tidak ada halangan bagi pemegang gadai tersebut.
2.16. Memanfaatkan Barang yang Digadaikan
Pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang gadaian
sebab hal itu akan menyebabkan barang rusak atau hilang. Dalam hal ini terdapat
prebedaan diantara para ulama :
1. UlamaHanafiyah berpendapat bahwa rahin (orang yang menggadaikan )
tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin murtahin ( orang
yang menerima gadai), begitu pula sebaliknya. Mereka beralasan bahwa
barang gadaian harus tetap dikuasai oleh murtahin, sebab manfaat yang
ada dalam barang gadaian pada dasarnya termasuk rahn. Hal ini
sependapat dengan ulama Hanabilah.
2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika murtahin mengizinkan rohin
untuk memanfaatkan barang gadaian maka akad menjadi batal,adapun
murtahin boleh memanfaatkan barang gadaian sekedarnaya itupun atas
tanggungan rahin.
3. Ulama syafiiyah berpendapat bahwa rahin di perbolehkan untuk
memanfaatkan marhun, jika tidak menyebabkan marhun berkurang tidak
perlu minta izin, akan tetapi bila marhun berkurang harus meminta izin
murtahin.
Dari keterangan diatas bisa di simpulkan bahwasanya memanfaatkan
barang yang di gadaikan itu di perbolehkan, atas izin yang punya dengan tidak
merusak atau tidak megurangi nilai barangnya.sabda nabi :
Dari Abu Hurairah, Rosulullah Bersabda : Binatang tunggangan jika tergadai
boleh ditunggangi karena memberinya makan, susunya boleh diminum jika
binatang itu tergadai, karena memberinya makan, dan wajib atas orang yang
menunggang dan meminum susunya memberi makan binatang tersebut.( HR.
Bukhari)
23
Adapun bagi orang yang mempunyai barang berhak mengambil manfaat
dari barang yang di gadaikan,bahkan semua manfaatnya tetap milik dia walaupun
tanpa seizin orang yang menerima gadai, kerusakan barangpun atas tanggunganya.
Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya atau mengurangi harga barang itu
tidak diperbolehkan kecuali atas izin orang yang menerima gadai, maka menjual
atau menyewakan barang yang sedang di gadaikan hukumnya tidak sah.
Rosulullah Bersabda :
Barang gadaianmu tidak menutup pemiliknya dari manfaat barang itu faedahnya
kepunyaan dia, dan dia wajib membayar dendanya.
Adapun bagi orang yang memegang barang gadaian diperbolehkan juga
mengambil manfaat barang tersebut dengan sekedar ganti kerugianya untuk
menjaga barang itu.Sabda Rosulullah Saw :
Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang memegang barang
gadaian itu boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang di
berikannya pada kambing itu. Jika lebih dari itu, maka lebihnya adalah riba.(HR.
Hammad bin salmah).
Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan
pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah
miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia
mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang
gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka
tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki
susu perah, maka diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya
sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
ه�ون�اك�ان�إ�ذ� ر� ل�ب�ن�م� و� ب�الد"ر) ر� ي�ش� ت�ه� ق� ه�ون�اك�ان�إ�ذ�اب�ن�ف� ر� ك�ب�ال"ذ�يو�ع�ل�ىم� ب�ي�ر� ر� ي�ش� ة�و� ق� الن"ف�
ه�ن� ك�ب�الر" ي�ر� ت�ه� ق� اب�ن�ف�
Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu
hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib
24
bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini
madzhab Hanabilah.
2.17. Pertumbuhan barang gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan
adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti
(bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan
ulama dan bila terpisah maka terjadi perbedaan pendapat ulama disini. Abu
hanifah dan imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan
atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan
murtahin maka ikut kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan imam Syafi’I dan ibnu Hazm dan yang menyepatinya
memandang hal itu bukan ikut barang gadai dan itu milik orang yang
menggadaikannya. Hanya saja Ibnu hazm berbeda dengan Syafi’I dalam
kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat dalam kendaraan
dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang
menafkahinya. Adapun mengenai pertumbuhan atau pertambahan barang yang
digadaikan masih terbagai dua yaitu sebagai berikut:
1. Tambahan yang terpisah
Tambahan yang terpisah seperti telur, buah, atau anak yang lahir sesudah
digadaikan, tidak termasuk barang yang di gadaikan, tetapi tetap
kepunyaan orang yang menggadaikan.
2. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan
Tambahan yang tidak dapat dipisahkan seperti tambah gemuk, tambah
besar, dan anak yang masih dalam kandungan, semuanya itu termasuk
dalam barang jaminan.
Jadi apabila seseorang mengadaikan sawah, pohon kelapa, pohon
mangga,dan semua penghasilanya diambil orang yang menerima gadai, maka hal
itu tidak sah dan tidak halal sebab gadai itu hanya berguna untuk menambah
25
kepercayaan orang yang memberi hutang kepada orang yang berhutang, bukan
untuk mencari keuntungan bagi yang berpiutang. Nabi bersabda : Tiap-tiap
piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba
(Riwayat Baihaqi).
2.18. Perpindahan Kepemilikan dan Pelunasan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila
telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang
menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya Pada zaman jahiliyah
dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang
menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka
pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin
orang yang menggadaikannya.
Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa
barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang,
tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam
keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi
saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan
hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik barang gadai
tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang
tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya
tersebut masih menanggung sisa hutangnya.
Demikianlah barang gadai adlah milik orang yang menggadaikannya,
namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik
piutang) untuk emnyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang
yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia
dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian)
barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut.
26
Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib
bagi orang yang menggadaikan (Al Raahin) untuk menjual sendiri barang
gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan
murtahin daalam pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai
tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka
pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang
gadainya tersebut.
Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai
tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat
madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh
menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut
dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh
menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk
memenjarakannya bila nampak ia tidak mau melunasinya.
Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun
memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.
Yang rojih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan
hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena
tujuannya adalah membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu.
Ditambah juga adanya dampak negatip social masyarakat dan lainnya pada
pemenjaraan.
Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka
selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai
tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib
melunasinya. Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti
yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang
gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-
lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.
27
2.19. Persamaan dan Perbedaan Rahn (Gadai Syariah) dengan Gadai
Konvensional
Persamaan Perbadaan
Hak gadai atas pinjaman uang.
Adanya agunan sebagai jaminan
utang.
Tidak boleh mengambil manfaat
barang yang digadaikan.
Biaya barang yang digadaikan
ditanggung para pemberi gadai.
Apabila batas waktu pinjaman
uang habis, barang yang
digadaikan dijual atau dilelang.
Rahn dalam islam dilakukan secara
suka rela atas dasar tolong –
menolong tanpa mencari
keuntungan sedangkan gadai
menurut hukum perdata disamping
berprinsip tolong – menolong juga
menarik keuntungan dengan cara
menarik bungan atau sewa modal.
Dalam hukum perdata, hak gadai
hanya berlaku pada benda yang
bergerak sedangkan dalam hukum
islam, rahn berlaku pada seluruh
benda, baik harus yang bergerak
maupun yang tidak bergerak.
Dalam rahn tidak asa istilah bunga.
Gadai menurut hukum perdata
dilaksanakan melalui suatu lembaga
yang di Indonesia disebut Perum
Pegadaian, rahn menurut hukum
islam dapat dilaksanakan tanpa
melalui suatu lembaga.
28
2.20. Konstruksi Sistem Operasional Gadai Syari’ah (Rahn)
A. Pegadaian dan Bunga Gadai dalam Islam
Pada dasarnya saat akad perjanjian gadai merupakan akad utang-piutang.
Namun akad utang-piutang gadai mensyaratkan adanya penyerahan barang dari
pihak yang berhutang sebagai jaminan utangnya. Apabila terjadi penambahan
sejumlah uang atau penentuan persentase tertentu dari pokok utang (dalam
pembayaran utang tersebut), maka hal terbut termasuk perbuatan riba, dan riba
merupakan suatu hal yang dilarang oleh syara’ (Basyir, 1983: 55).
Mengenai pengertian riba para Ulama’ telah berbeda pendapat. Walaupun
demikian, Afzalurrahman (1996) memberikan pedoman bahwa yang dikatakan
riba (lebih lazim) disebut bunga, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut: Pertama,
kelebihan dari pokok pinjaman; kedua, kelebihan pembayaran sebagai imbalan
tempo pembayaran; ketiga, sejumlah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.
Adapun mengenai berlakunya pemungutan bunga (Riba) dalam lembaga
pegadaian yang selama ini berlaku, merupakan sudah menjadi hal yang biasa. Hal
ini disebabkan oleh karena pendapatan terbesar dari lembaga pegadaian tersebut
adalah dari pemungutan bunga dari pokok pinjaman. Bagaimana Islam
menanggapi terjadinya praktek tersebut?.
Mengenai hal ini sebenarnya sudah ada dua peneliti yang telah mengkaji
lebih jauh tentang bunga pegadaian, yaitu Muhammad Yusuf dan Viyolina.
Adapun untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai deskripsi dari penelitian
tersebut, secara umum adalah sebagai berikut:
Pertama: Muhammad Yusuf (2000) berpendapat dalam hasil penelitiannya
tersebut berpendapat bahwa:
a) Islam membenarkan adanya praktik pegadaian yang dilakukan dengan
cara-cara dan tujuan yang tidak merugikan orang lain. Pegadaian
dibolehkan dengan syarat rukun yang bebas dari unsur-unsur yang
dilarang dan merusak perjanjian gadai.
29
b) Praktik yang terjadi di pegadaian konvensional, pada dasarnya masih
terdapat beberapa hal yang dipandang merusak dan menyalahi norma dan
etika bisnis Islam, diantaranya adalah masih terdapat unsur riba, yaitu
yang berupa sewa modal yang disamakan dengan bunga.Pegadaian yang
berlaku saat ini masih terdapat satu diantara banyak unsur yang dilarang
oleh syara’, yaitu dalam upaya meraih keuntungan (laba) pegadaian
tersebut memungut sewa modal atau lebih lazim disebut dengan bunga.
Kedua: Viyolina (2000) lebih tegas memaparkan dalam penelitiannya tersebut
berpendapat bahwa:
Unsur riba yang terdapat dalam aktivitas pegadaian saat ini sudah pada
tingkat yang nyata, yaitu pada transaksi penetapan dan penarikan bunga dalam
gadai yang sudah jelas tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Penerapan
bunga gadai yang pada awalnya sebagai fasilitas untuk memudahkan dalam
menentukan besar kecilnya pinjaman, telah menjadi kegiatan spekulatip dari kaum
kapitalis dalam mengesploitasikan keuntungan yang besar.
Berdasarkan kenyataan tersebut dapat dijadikan dasar Istinbat (kesimpulan
hukum) untuk menyatakan bahwa penarikan dan penetapan bunga gadai belum
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan lebih banyak mendatangkan
kemudharatan, sehingga dapat pula dikatakan bahwa penarikan dan penetapan
bunga gadai adalah tidak sah dan haram.
Berdasarkan kedua penelitian tersebut di atas, Islam membenarkan adanya
praktik utang-piutang dengan cara akad gadai yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
Artinya, bahwa utang-piutang gadai tersebut tidak boleh mengandung unsur-unsur
yang dilarang oleh syara’ seperti adanya unsur riba di dalam akadnya.
B. Aspek Sosial dan Komersial Gadai
Gadai pada dasarnya mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Yaitu
menolong orang yang sedang dalam kesusahan. Namun pada kenyataannya dalam
masyarakat konsep tersebut dinilai “tidak adil” karena adanya pihak-pihak yang
merasa dirugikan. Dilihat dari segi komersial, yang meminjamkan uang merasa
30
dirugikan, misalnya karena inflasi, pelunasan yang berlarut-larut, sementara
barang jaminan tidak laku.
Dilain pihak, barang jaminan mempunyai hasil atau manfaat yang
kemungkinan dapat diambil manfaatnya atau dipungut hasilnya. Bagaimanakah
cara untuk mengatasi hal tersebut? Sejauh manakah hak penerima gadai atas hasil
atau manfaat barang yang digadaikan? (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 59).
Bertolak dari permasalahan tersebut diatas, berikut akan dibahas solusi
alternatif agar pihak penggadai dan penerima gadai tidak merasa saling
diperlakukan tidak adil dan tidak merasa saling dirugikan. Sedangkan untuk lebih
jelasnya adalah pada bagian berikut:
Pendapat ahli hukum Islam tentang manfaat barang gadai pada dasarnya
barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh Rahin sebagai pemilik
maupun Murtahin sebagai pemegang amanat, kecuali mendapat izin masing-
masing pihak bersangkutan. Hak Murtahim terhadap Marhun hanya sebatas
menahan dan tidak berhak menggunakan atau memungut hasilnya. Demikian pula
Rahin, selama Marhun ada ditangan Martahin sebagai jaminan hutang, Rahin
tidak berhak menggunakan Marhun. Keadaan demikian ini, apabila kedua belah
pihak (rahin dan murtahin) tidak ada kesepakatan (Basyir, 1983: 56).
Adapun mengenai boleh atau tidaknya barang gadai diambil manfaatnya,
beberapa Ulama’ berbeda pendapat. Namun menurut Syafi’i (1997) dari kesekian
perbedaan pendapat para Ulama yang tergabung dalam beberapa mazhab,
sebenarnya ada titik yang mengarah menuju kesamaan dari pendapat mereka. Inti
dari kesamaan pendapat Mazhab tersebut terletak pada pemanfaatan barang
gadaian pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh syara’, namun apabila
pemanfatan barang tersebut telah mendapatkan izin kedua belah pihak (rahin dan
murtahin), maka pemanfaatan barang gadaian tersebut diperbolehkan.
Sedangkan untuk lebih jelasnya mengenai pendapat para Ulama’ fiqh
tentang pemanfaatan barang gadai menurut Syafi’i (1997) adalah sebagai berikut:
31
a. Pendapat Ulama as- Syafi’iyah
Mengenai pemanfaatan barang gadaian, masih menajadi perdebatan
dikalangan para Ulama, ada yang berpendapat Rahinlah yan berhak atas Marhun,
dan adapula berpendapat sebaliknya Murtahinlah yang berhak atas Marhun
tersebut. Imam Syafi’i mengatakan dalam bukunya, yaitu al-Um bahwa:
“Manfaat dari barang jaminan atau gadaian adalah bagi yang menggadaikan,
tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai” (t.t:
155).
b. Pendapat Ulama Malikiyah
Mengenai pemanfaatan dan pemungutan hasil barang gadaian dan segala
sesuatu yang dihasilkan dari padanya, adalah termasuk hak-hak yang
menggadaikan. Hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama pihak
penerima gadai tidak mensyaratkan.
c. Pendapat Ulama Hanabillah
Ulama Hanabilah dalam masalah ini memperhatikan barang yang
digadaikan itu sendiri, yaitu hewan atau bukan hewan, sedangkan hewanpun
dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan
yang tidak dapat diperah dan ditunggangi.
d. Pendapat Ulama Hanafiah
Menurut Ulama Hanafiah tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang
gadaian yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, maka apabila yang
menggadaikan memberi izin, maka penerima gadai sah mengambil manfaat dari
barang yang digadaikan oleh penggadai (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 72).
2.21. Riba dan Rahn (Gadai Syariah)
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja
dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad
gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada
32
murtahinketika membayar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan syarat-
syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang
telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan
kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku riba.
2.22. Berakhirnya Akad Gadai Rahn
Ada beberapa sebab yang menjadikan akad gadai akan berakhir di
antaranya adalah :
1) Rahn diserahkan kepada pemiliknya. Ketika barang gadaian dikembalikan
kepada pemiliknya maka berakhirlah akad gadai tersebut.
2) Hutang dibayarkan semuanya. Dengan dibayarkannya hutang maka rahin
berhak mengambil kembali barang gadaiannya. Sayid Sabiq menukil
perkataan Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ahli ilmu telah sepakat
jika seseorang menggadaikan sesuatu lalu membayar hutangnya sebagian,
dan ingin mengambil sebagian barang gadaiannya maka hal ini tidak
berhak atasnya sampai dia melunasi seluruh hutangnya.
3) Penjualan rahn secara paksa oleh hakim. Hakim berhak mengambil harta
rahn dari murtahin untuk pembayaran hutang rahin, walaupun rahin
menolak hal itu.
4) Pembebasan hutang oleh murtahin. Ketika murtahin membebaskan hutang
rahin maka berakhirlah akad gadai tersebut.
5) Pembatalan hutang dari pihak murtahin.Murtahin berhak untuk
membatalkan hutang kepada pihak rahin, ketika hal ini terjadi maka
batalah akad gadai.
6) Rahin meninggal dunia. Pendapat ini adalah dari Ulama Hanâfiyah.
Menurut pendapat ulama Malikiyah bahwa rahn itu batal jika rahin
meninggal dunia sebelum menyerahkan harta gadai kepada murtahin,
bangkrut, tidak mampu untuk membayar hutangnya, sakit atau gila yang
membawa pada kematian. Sedangkan, menurut Ulama Syafi’iyah
dan Hanâbilah hal tersebut tidak menyebabkan batalnya akad. Merujuk
33
pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn
pasal 348 ayat 1 dinyatakan :
”Ahli waris yang memiliki kecakapan hukum dapat menggantikan pemberi
gadai (baca : râhin) yang meninggal”
7) Rahn rusak atau sirna. Dengan rusak atau sirnanya harta gadai maka
berakhirlah akad gadai tersebut. Menurut Ulama Hanâfiyah, atas perkara
tersebut murtahin dapat dikenakan denda sebesar harga barang minimum
atau sebesar utang râhin, sebab hakikatnya marhun adalah amanah yang
diberikan
8) Pemindahan rahn kepada pihak lain baik berupa hadiah, hibah atau
shadaqah.
2.23. Praktek Rahn (gadai) di Indonesia
Setelah kita memahami gadai dalam fiqh Islam, maka bagaimanakah
praktek gadai yang ada di tengah masyarakat pada masa kini? Di Indonesia ada
beberapa praktek gadai, diantaranya adalah yang terjadi di daerah pedesaan,
dimana sebagian mereka menggadaikan sawah, ladang atau pohon kelapa, dan
hasil dari barang gadaian tersebut menjadi hak penuh bagi murtahin, hal ini tentu
bertentangan dengan sabda Nabi :
, , اق5ط9 س- -اد/ه/ ن 5س0 و-إ ام-ة- س-/ أ 5ي ب
- أ 0ن/ ب 0ح-ار5ث/ -ل ا و-اه/ ر- 1ا ر5ب ف-ه/و- 0ف-ع-ة1 م-ن ج-ر; ق-ر0ض= Mل/ ك
“Setiap pinjaman yang mengambil manfaat maka itu adalah riba " HR. Al-Harist
bin Abi Usamah.
Hal di atas terjadi karena ketidakpahaman mengenai akad gadai, yang
dipahami menjadi milik mutlak bagi murtahin. Karena tujuan dari rahn adalah
sebagai penguat kepercayaan orang yang berhutang kepada pemilik piutang,
bukan untuk mencari keuntungan. Mengenai biaya perawatan barang gadaian
maka hal ini menjadi kewajiban rahin, dan murtahin berhak untuk meminta biaya
perawatan tersebut.
Karena itu buah dari pohon dan penghasilan dari sawah atau ladang adalah
menjadi milik dari rahin, dan jika murtahin yang menggarap sawahnya maka
harus dengan izin dari rahin.
34
Selain itu kita mengenal adanya Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian
yang ditetapkan dengan PP10/1990 tanggal 10 April 1990 serta PP 103 tahun
2000 yang menjadi lembaga yang memberikan pelayanan gadai milik pemerintah
Pola kerjanya adalah pihak pegadaian menyediakan dan menyalurkannya bagi
masyarakat yang membutuhkan dana segar dengan segera, adapun masyarakat
menjadikan harta bendanya sebagai jaminan ( barang gadaian ).
Dengan semakin berkembangnya sistem ekonomi syari'ah maka saat ini
Perum Pegadaian juga telah membuka Unit Pegadaian Syari'ah, yaitu pegadaian
dengan prinsip akad rahn yang bebas bunga dan sesuai dengan prinsip Islam.
Implementasi operasional Pegadaian Syariah hampir sama dengan Pegadaian
konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga
menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk
memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya
menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang
pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15
menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan
menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang
juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek
landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri
tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.
Dari beberapa perbedaan yang sangat urgen adalah tidak adanya riba yang
dikenakan bagi penggadai, karena riba adalah sesuatu yang diharamkan dalam
Islam.
Di antara landasan yang menjadi rujukan bagi pegadaian syari'ah selain
sumber-sumber hukum Islam juga Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-
MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan.
Adapun ketentuannya sebagai berikut:
35
1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun
( barang ) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan
tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti
biaya pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun, Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan
rahin untuk segera melunasi utangnya.Apabila rahin tetap tidak melunasi
utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi. Hasil Penjualan Marhun
digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang
belum dibayar serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik
rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
6. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah
berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu.
1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai
jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi
36
Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik
nasabah yang telah melakukan akad.
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian
Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah
menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan
merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul
dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai
investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses
kegiatannya.
Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada
nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa
tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang
diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses
pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat
konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin
mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang
dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya
seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh
dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik
materi maupun manfaatnya.
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan
serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
37
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya
penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat
hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-
lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf
Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan
dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan)
dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan
berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum
Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90%
dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Gadai Syariah dan nasabah melakukan akad
dengan kesepakatan :
1) Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama
maksimum empat bulan.
2) Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh
rupiah ) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar
bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3) Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian
pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
1) Melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum
jangka waktu empat bulan.
2) Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan
yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
3) atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat
jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
38
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar
jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan
cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan
pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi
kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam
satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah
akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
Aplikasi gadai syariah dalam perbankan syariah sendiri dipakai dalam
beberapa hal, diantaranya sebagai akad pelengkap, yaitu akad tambahan dalam
pembiayaan bai' al-murabahah dimana barang dari nasabah dijadikan sebagai
jaminan. Manfaat yang dapat diambil oleh pihak bank dalam akad rahn ini
adalah : menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas
pembiayaan yang diberikan bank. Selain itu rahn juga sangat membantu
masyarakat yang membutuhkan dana dengan segera namun tidak mau jatuh
kepada riba. Selain keuntungan yang didapat pihak bank, maka ada beberapa
resiko yang terjadi jika nasabah tidak dapat melunasi hutangnya (wanprestasi),
atau penurunan nilai barang gadai karena rusak atau harganya yang turun.
39
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
awal berdirinya Rahn (Gadai syariah) adalah fatwa MUI tanggal 16 Desember
2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini memperkuat terbitnya PP No. 10 tahun
1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban oleh pegadaian syariah adalah
untuk mencegah praktik riba, dan misi ini tidak berubah hingga diterbitkannya PP
No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum
pegadaian hingga sekarang. Sedangkan
Gadai syariah memiliki tugas pokok yaitu memberikan pinjaman kepada
masyarakat yang membutuhkan. Lembaga Keuangan Gadai Syariah mempunyai
fungsi sosial yang sangat besar. Karena pada umumnya, orang-orang yang datang
ke tempat ini adalah mereka yang secara ekonomi sangat kekurangan. Adapun
pengertian dari rahn (gadai syariah) adalah suatu barang yang dijadikan penguat
kepercayaan dalam hutang piutang atau yang lebih populer dengan sebutan
gadai.dengan catatan barang yang digadaikan harus barangnya sendiri bukan
barang ghasab atau pinjaman. Rahn berlandaskan pada Al-Qur’an, Hadits, dan
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002.
Ada beberapa aspek yang menjadi latar belakang pemdirian Rahn (gadai
syariah yaitu:
Aspek Legalitas
Aspek permodalan
Aspek sumber daya manusia
Aspek kelembagaan
40
Aspek sistem dan prosedur
Aspek pengawasan
Selain itu dalam imlplementasi gadai syariah rukun dan syarat yang harus
dipenuhi yaitu:
Rukun Rahn (Gadai syariah)
Ar-Rahin
Al-Murtahin
Al-Marhun / Ar-Rahn
Al-Marhun bihi
Al-'Aqdu
Syarat Rahn (Gadai syariah)
Adanya Lafaz
Adanya pemberi dan penerima gadai
Adanya barang yang digadaikan
Adanya utang/ hutang
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya
adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang
disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedangkan kewajiban rahin adalah
menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk jumlah huyang yang
dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah menerima barang jaminan
dengan nilai yang aman untuk uan yang akan dipinjamkannya. Sedangkan
kewajibanya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati
bersama.
Rahn (Gadai Syariah) jika dilihat dari sah tidaknya akad terbagi menjadi
dua yaitu gadai shahih dan gadai fasid adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
a. Rahn Shahih / lazim, yaitu rahn yang benar karena terpenuhi syarat dan
rukunnya
b. Rahn Fasid, yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya.
41
Di Indonesia ada beberapa praktek gadai, diantaranya adalah yang terjadi
di daerah pedesaan, dimana sebagian mereka menggadaikan sawah, ladang atau
pohon kelapa, dan hasil dari barang gadaian tersebut menjadi hak penuh bagi
murtahin, hal ini tentu bertentangan dengan sabda Nabi :
, , اق5ط9 س- -اد/ه/ ن 5س0 و-إ ام-ة- س-/ أ 5ي ب
- أ 0ن/ ب 0ح-ار5ث/ -ل ا و-اه/ ر- 1ا ر5ب ف-ه/و- 0ف-ع-ة1 م-ن ج-ر; ق-ر0ض= Mل/ ك
“Setiap pinjaman yang mengambil manfaat maka itu adalah riba " HR. Al-Harist
bin Abi Usamah.
3.2. Kritik dan saran
Keterbatasan penulis tentunya tidak bisa dipungkiri dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis membuka dengan tangan terbuka atas kritik dan
saran dari dosen pengampu ataupun pembaca. Kritik dan saran yang bersifat
konstruktif akan menjadikan penulis menjadi lebih untuk kedepannya karena
tolok ukur dari kesempurnaan makalah ini adalah dari pembaca pada umumnya
dan dosen pengampu mata kuliah perbankan syariah pada kususnya.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. D. Sirojuddin Ar (Ensiklopedi Hukum Islam) PT Ichtiar Baru van
Hoevo, Jakarta. 2000
2. Msi Suherdi Hendi H. Drs, Fiqh Muamallah, PT RajaGrafindo Persada :
jakarta 2002.
3. MA Karim Helmi. Dr, Fiqh muamallah, PT RajaGrafindo Persada 2002 :
Jakarta 2002
4. I’ Doi Rahman A, Syariat Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada :
Jakarta 1996
5. Al- Quran Al-karim, QS Ai-Baqarah : 283
6. Asyatiri, Sayyid Ahmad Ibnu Umar, Alyaqutu Annafisa Fi Madzhabi Ibnu
Idris, Maktabah Alhidayah, Surabaya.
7. Algazi, Muhammad Ibnu Qasim, Fathu Al-Qarib Al-mujib, Al-Haramain,
halaman 32
8. Asyafi’i, Imam Taqiyyudin abi Bakrin Ibnu muhammad alhusaini alhusni
addimisyaqi, Kifayatu Al- Ahyar, Syirkah Maktabah Ahmad Ibnu Sa’id
Ibnu Nabhan waauladuhu, Surabaya, jiz I, hlm 263.
9. Syafi’i Rahmad, Fiqh Muamalah, Prof. Dr. H.MA, cv Pustaka Setia,
Bandung, 2001
10. Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Mu’amalah, Prof. DR Abdullah bin
Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq
dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H,
Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
11. Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al
Su’udiyah, disusun oleh Al Amaanah Al ‘Amah Lihai’at Kibar Al Ulama.
Cetakan pertama tahun 1422H
43
12. Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah Al
Bassaam cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA
13. Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki
dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, cetakan kedua tahun 1412H,
penerbit hajar, Kairo, Mesir.
14. Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan
Muhammad Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al
TUrats Al ‘Arabi, Beirut.
15. Abdul Muhsin Sulaiman, “Haajul Musykilah al-Iqtisshaadiyah fil Islam”,
Terj. Anshari Umar Sitanggal, Bandung : Al-Ma’arif, 1985.
16. Rachmadi Usman, Aspek – Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia,
Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002
17. Muhammad Firdaus, dkk, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah,
Jakarta: Renaisan, 2005
18. Rahmad Syafei, Konsep Gadai (al-rahn Dalam Fiqh Islam: Antara Nilai
Sosial dan Nilai Komersial), Dalam “Problematika Hukum Islam
Kontemporer III”, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan,
1995.
19. Ahmad Rodoni dan Abdul hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta :
Zikrul Hakim, 2008
20. Basyir Ahmad Azhar.Hukum Islam Tentang Riba, Utang-piutang Gadai.
Bandung: Al-Ma’arif. 1993.
21. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. XVII, At-Tahiriyah : Jakarta, tahun
1976, hal. 298.
22. Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’ah Juz II, Darul Ihya
At-Turats Al-Arabi, Beirut, Libanon, tahun 1993
23. Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir
kalam Al-Manan, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, Kuwait, tahun 2003
24. http://majelispenulis.blogspot.com/2011/03/gadai-dalam-islam.html
44