Upload
andi-fathimah-arrahmah
View
225
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah psikologi
Citation preview
PSIKOLOGI
INTELEGENSI
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang unik, artinya tidak ada satu individu pun yang persis sama
dengan individu yang lain. Salah satu perbedaan yang sering kita temui adalah dalam hal kecepatan
dan kemampuan individu dalam memecahakan suatu masalah atau persoalan yang dihadapi. Untuk
memecahkan masalah atau persoalan yang sama, ada individu yang mampu dengan cepat
memecahkannya,namun dipihak lain ada pula individu yang lambat bahkan mungkin tidak mampu
memecahkannya.
Hal itulah yang memperkuat pendapat bahwa taraf kecerdasan atau intelegensi itu memang
ada,dan berbeda-beda antara satu individu dengan individu lain. Individu yang memiliki intelegensi
tinggi akan mudah memecahkan suatu persoalan,dan sebaliknya individu yang intelegensinya
rendah hanya mampu memecahkan persoalan yang mudah.
Sebagai ilustrasi,seseorang mahasiswa yang menghadapi soal-soal ujian yang sama, ada
yang mampu dengan cepat dan benar menyelesaikan soal tersebut dan sebaliknya.
Intelegensi disebut sebagai kecerdasan atau kecakapan atau kemampuan dasar yang bersifat
umum,sedangkan kecerdasan atau kecakapan atau kemampuan dasar yang bersifat khusus,disebut
bakat (aptitude). Dalam proses belajar mengajar, prestasi belajar mahasiswa salah satunya
ditentukan oleh intelegensi.
Pengertian
Istilah Intelegensi atau dalam bahasa inggris “intelligence” berasal dari kata “intelilligere”
yang artinya menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Beberapa pengertian tentang
intelegensi,sebagaimana dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut.
Menurut Terman, “ intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak (Sukardi, 1997)
Ebbinghaus mendefinisikan “intelegensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi”
(Notoatmodjo, 1997)
Thorndike mengatakan bahwa “ inteligensi adalah hal yang dapat dinilai sebagai
kemampuan untuk menetukan ketidaklengkapan kemungkinan-kemungkinan dalam perjuangan
hidup individu” (Notoatmodjo, 1997)
Menurut Binet,sebagaimana dikutip oleh Winkel (1987) menyebutkan bahwa “ inteligensi
adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan
penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri”
(Sukardi, 1997)
Pendapat David Wechler yang dikutip oleh Sarlito Wirawan Sumarno (2000) menyebutkan
bahwa “ Inteligensi adalah kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah,serta
mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”.
Menurut Sukardi (1997), “inteligensi pada hakekatnya merupakan suatu kemampuan dasar
yang bersifat umum untuk memperoleh suatu kecakapan yang mengandung beberapa komponen”.
Pengukuruan Inteligensi
Prinsip pengkuran inteligensi adalah membandingkan individu yang dites dengan norma tertentu.
Secara umum,yang dipakai sebagai norma adalah inteligensi kelompok sebaya.
Cara untuk mengetahui inteligence quatient (IQ) seseorang menurut Binet adalah dengan
membandingkan antara umur kecerdesan ( mental age= MA) dengan umur kalender ( cronological
age=CA)
Alfred Binet menyusun tes
kecerdasan yang pertama
setelah diminta menciptakan
suatu cara membedakan
anak-anak yang layak masuk
ke sekolah-sekolah perancis
dan anak yang tidak dapat
masuk sekolah tersebut.
Tes Binet Tahun 1904, Menteri Pendidian Prancis meminta Psikolog Alfred Binet untuk
mencari suatu metode guna menentukan siswa-siswa yang mana yang tidak menerima keuntungan
dari pengajaran disekolah reguler. Binet dan muridnya, Theopile Simon, mengembangkan sebuah
tes kecerdasan untuk memenuhi permintaan ini. Tes tersebut terdiri dari 30 soal, mulai dari
kemampuan untuk menyentuh hidung atau telinga seseorang, sampai kemampuan menggambar
desain-desain dari memori dan mendefinisikan konsep-konsep abstrak.
Tes Binet mempresentasikan kemajuan besar dalam usaha-usaha awal untuk mengukur
kecerdasan. Binet menekankan bahwa inti dari kecerdasan terdiri atas proses-proses kognitif yang
kompleks, seperti memori, imajinasi, pemahaman, dan penilaian. Selain itu, ia yakin bahwa
pendekatan perkembangan bersifat krusial untuk memahami kecerdasan. Ia menyatakan bahwa
kemampuan intelektual anak meningkat berdasarkan usia. Oleh karena itu, ia menguji soal-soal
potensial dan menentukan, usia dimana seorang anak pada umumnya dapat menjawabnya dengan
benar. Binet mengembangkan konsep mental age (MA), yakni tingkat perkembangan mental
individu relatif dari orang lain. Bagi anak-anak pada umumnya, mental age (MA) bersesuaian
dengan chronological age (CA), yang merupakan usia sejak kelahiran. Seorang anak yang pandai
memiliki MA yang sangat tinggi melebihi CA, seorang anak yang bodoh memiliki MA sangat
rendah dibawah, CA.
Tes Binet telah direvisi berkali-kali untuk memasukkan kemajuan-kemajuan dalam
pemahaman kecerdasan dan tes kecerdasan. Banyak revisi telah dilakukan oleh Lewis Terman, yang
mengembangkan norma-norma ekstensif dan memberikan instruksi-instruksi yang jelas dan
terperinci untuk setial soal dalam tes. Terman juga mengaplikasikan suatu konsep yang
diperkenalkan oleh Wiliam Stern. Pada tahun 1912, Stern menciptakan istilah intelligence quotient
(IQ), yang mengacu pada mental age dibagi chronological age, kemudian dikalikan 100
Mental age (MA) Tingkat perkembangan mental
individu relatif dengan individu lain.
Intelligence quotient (IQ) Usia mental individu dibagi
usia kronologis dikali 100; disusun pada tahun 1912
oleh Wiliam Stern.
RUMUS = IQ = MA/CA x 100
MA: Mental Age diperoleh dari hasil tes inteligensi
CA: Chronological Age diperoleh dari menghitung umur berdasarkan tanggal kelahiran atau umur
kalender
Skala Wechsler Disamping Standford-Binet, tes kecerdasan yang lain yang digunakan secara luas
adalah skala Wechsler, dikembangkan oleh David Wechsler. Pada tahun 1939, Wechsler
memperkenalkan skalanya yang pertama, yang didesain untuk orang dewasa. Dalam edisi
ketiganya, Wechsler Adult Intelligence Scale-III (WAIS-III), diikuti oleh terbitnya Wechsler
Intelligence Scale for Children-IV (WISC-IV) untuk anak-anak usia 6 dan 16 tahun, serta Wechsler
Preschool and Primary Scale of Intelligence-III (WPPSI-III) untuk anak-anak usia 4 hingga 6,5
tahun.
Skala-skala wechsler tidak hanya menyediakan skor IQ yang menyeluruh tetapi juga menilai
enam aspek verbal dan lima aspek nonverbal. Hal ini memampukan penguji memisahkan skor-skor
IQ nonverbal dan verbal serta dapat mengetahui dengan cepat area-area dimana individu berada:
dibawah rata-rata, pada nilai rata-rata, atau diatas rata-rata. Pernyataan sejumlah sub skala
nonverbal membuat tes Wechsler lebih representatif untuk mengukur kecerdasan nonverbal dan
verbal. Tes Binet juga mencakup soal-soal nonverbal, meskipun tidak sebanyak dalam skala
Wechsler.
Subskala Verbal
Persamaan Pemahaman
Seorang anak harus berpikir logis dan abstrak
untuk menjawab sejumlah pertanyaan mengenai
kemiripan antara dua hal.
Contoh : “Dalam hal apa singa dan harimau
sama”?
Subskala didesain untuk mengukur penilaian
individu dan akal sehat. Contoh : “ Apa manfat
menyimpan uang di bank “?
Subskala non verbal
Desain Balok
Seorang anak harus memasangkan serangkaian balok warna-warni yang cocok dengan desain-
desain yang ditunjukkan oleh penguji. Koordinasi visual-motorik, organisasi preseptual, dan
kemampuan memvisualisasikan ruang menjadi tolak ukur penilaian.
Tes-tes kelompok memiliki beberapa kelemahan yang signifikan. Ketika suatu tes diberikan
terhadap kelompok yang besar, penguji tidak dapat menjalin rapport dengan masing-masing peserta,
sulit menentukan tingkat kegelisahan, dan sebagainya.
Sebagian besar ahli yang melakukan tes merekomendasikan bahwa ketika keputusan-
keputusan penting harus dibuat atas seorang individu, tes kecerdasan kelompok sebaiknya
dilengkapi dengan informasi lain tentang kemampuan individu sebagai contoh : untuk memutuskan
penempatan anak dikelas pendidikan khusus, hukum legal mensyaratkan bahwa keputusan tersebut
tidak boleh didasarkan pada tes kecerdasan kelompok. Psikolog harus menjalankan tes kecerdasan
individu, seperti Stanford-Binet atau Wechsler, dan memperoleh informasi ekstensif atas
kemampuan anak diluar situasi tes.
Tes-tes kecerdasan memiliki kegunaan langsung sebagai alat prediksi kesuksesan disekolah
dan pekerjaan (Brody, 2000). Sebagai contoh, nilai-nilai pada tes kecerdasan umum secara
mendasar berkorelasi dengan rangking sekolah dan hasil tes prestasi. Tes kecerdasan pada
umumnya berkolerasi dengan prestasi kerja (Lubinski,2000). Individu dengan nilai tes kecerdasan
yang lebih tinggi cenderung mendapatkan gaji yang lebih besar dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih
prestisius (Wagner, 1997). Namun seiring seseorang semakin lama bekerja pada suatu pekerjaan
cenderung IQ dan prestasi menurun.
Skor tunggal yang dihasilkan oleh kebanyakan tes IQ dapat dengan mudah menghasilkan
ekspetasi-ekspetasi yang keliru tentang individu (Ronsow dan Rosenthal, 1996). Generalisasi yang
berlebihan terlalu sering dibuat berdasarkan sebuah skor IQ.
Tes – tes kecerdasan juga dapat membantu guru-guru mengelompokkan anak-anak pada
tingkat yang sama dalam mata pelajaran seperti matematika atau membaca.
Jenis Tes Inteligensi
Jenis tes inteligensi dapat dikelompokkan menjadi 3,yaitu:
A. Tes inteligensi individual, antara lain: Stanford-Binet Intelligence Scale, Wechsler Belleve
Intelligence Scale (WBIS), Wechsler Intelligence Scale for Children(WISC), Wechsler Adult
Intelligence Scale(WAIS), Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI).
B. Tes Inteligensi kelompok, antara lain : Pintner Cunningham Primary Test, The California
Test of Mental Maturity, The Henmon Nelson Test Mental Abbility, Otis Lennon Mental Abbility
Test dan Progressvie Matrices.
C. Tes inteligensi dengan tindakan
Tingkatan IQ Deskripsi %
> 140
130-139
120-129
110-119
100-109
90-99
80-89
70-79
60-69
<60
50-59
20-49
<20
Jenius
Sangat Superior
Superior
Cerdas
Normal Tinggi
Normal Rendah
Bodoh(dull)
Inferior
Feebleminded
Maron
Imbecile
Idiot
0.5
3.0
7.0
14.5
25.0
25.0
14.5
7.0
3.0
0.5
a. Individu yang memiliki taraf kecerdasan feebleminded (perbatasan) cirinya bodoh dan
bebal
b. Individu yang taraf kecerdasannya moron atau debil, cirinya tolol
c. Individu yang taraf kecerdasannya imbecile, cirinya dungu
d. Individu yang taraf kecerdasannya idiot,cirinya pandir.
Teori-teori kecerdasan Ganda
Penggunaan suatu skor tunggal untuk mendeskripsikan kinerja seseorang dalam tes-tes
kecerdasan memberi kesan bahwa kecerdasan asalah kemampuan umum, sebuah sifat bawaan
tunggal. Skala-skala Wechsler memberikan nilai-nilai khusus untuk sejumlah keahlian intelektual,
dan juga sebuah nilai menyeluruh.
Wechler bukanlah psikolog pertama yang memilah-milah kecerdasan menjadi sejumlah
kemampuan dan juga bukan yag terakhir. Sejumlah psikolog kontemporer terus menerus mencari
komponen-komponen spesifik yang membentuk kecerdasan. Beberapa dari mereka tidak
bergantung pada test-test kecerdasan tradisional konsep-konsep alternatif mengenai kecerdasan,
dimulai dari pendahulu Wechler, Charles Spearmen.
Pendekatan-pendekatann faktor sebelum Wechler membagi kecerdasan menjadi kecerdasan
khusus dan umum, Charles Spearman (1927) mengajukan teorinya bahwa kecerdasan memiliki dua
faktor. Teori dua faktor adalah teori Spearmen bahwa individu-individu memilik kecerdasan umum
yang disebut “S”. Spearmen yakin bahwa kedua faktor ini mempengaruhi hasil tes kecerdasan
seseorang. Spearman mengembangkan teorinya dengan menerapkan suatu teknik-teknik yang
disebut analisis faktor. Analisis faktor ialah suatu prosedur statistik yang menghubungkan nilai-nilai
tes untuk indentifikasi kelompok-kelompok atau faktor-faktor yang mendasar.
L.L Thurstone (1938) juga menggunakan analisis faktor dalam menganalisis sejumlah tes-tes
kecerdasan. Ia menyimpulkan bahwa tes-tes tersebut hanya mengukur sejumlah faktor yang
spesifik, bukan kecerdasan umum. Teori faktor ganda adalah teori Thurstone bahwa kecerdasan
terdiri dari tujuh kemampuan mental primer : pemhaman verbal, kemampuan numerik, kefasihan
kata, visualisasi ruang, memori asosiatif, berfikir dan kecepatan perseptual.
Teori Gardner tentang kecerdasan ganda
Baki spearman maupun thurstone bergantung pada jenis-jenis tes kecerdasan tradisional dalam
usaha mereka menjelaskan hakikat kecerdasan. Sebaliknya, Howard Gardner berpendapat bahwa
tes-tes ini terlalu dangkal. Banyangkan seseorang yang memilki keterampilan di bidang musik,
tetapi tidak pandai dalam bidang matematika atau bahasa inggris. Komposer Ludwig Van
Beethoven adalah contohnya. Apakah anda lalu mengatakan Beethoven “idak cerdas” ? Tentu tidak!
Menurut Gardner, orang memiliki kecerdasan ganda dan tes-tes IQ mengukur sebagian kecil
saja. Kecerdasan-kecerdasan ini bersifat mandiri satu dengan yang lain. Sebagai bukti ada
Kecerdasan ganda,Gardner menunjukan kejadian-kejadian dimana kemampuan kognitif tertentu
tetap bertahan meski ada kerusakan di otak. Ia juga menunjuk anak-anak yang jenius dan individu-
individu yang mengalami keterbelakangan (seperti autis) tetapi memiliki keahlian luar biasa dalam
bidang tertentu (seperti karakter Dustin Hoffman dalam film “Rain Man”, yang merupakan seorang
autis tetapi memiliki kemampuan menghitung yang luar biasa).
Gardner(1983, 1993, 2001, 2002) mengusulkan delapan tipe kecerdasan. Daftar berikut
mendeskripsikan tipe-tipe tersebut disertai contoh-contoh pekerjaan yang cocok (Campbell,
Campbell, dan Dickinson, 2004)
Keahlian Penjelasan Pekerjaan
Keahlian Verbal Kemampuan menggunakan
kata-kata dan bahasa untuk
mengekspresikan makna
Penulis, jurnalis, pembicara
Keahlian Matematis Kemampuan mengerjakan
operasi-operasi matematika.
Ilmuan, insinyur, akuntan
Keahlian Spasial Kemampuan berpikir tiga
dimensi
Arsitek, seniman, pelaut
Keahlian Kinestetik-fisik Kemampuan memanipulasi
objek dan menjadi ahli secara
fisik
Ahli bedah, pemahat, penari,
atlet
Keahlian Interpersonal Kemampuan untuk berinteraksi
dan memahami secara efektif
dengan orang lain
Guru yang sukses, profesional
dibidang kesehatan mental
Keahlian Intrapersonal Kemampuan untuk memahami
diri sendiri
Teolog, psikolog
Keahlian Natural Kemampuan mengobservasi
pola-pola alam dan memahami
sistem alamiah atau sistem
buatan manusia
Petani, ahli botani, ahli taman
Keahlian Musikal Sensivitas terhadap pola
titinada (pitch), melodi, ritme,
dan nada
Komposer, pemusik, dan
pendengar musik yang peka.
Menurut Gardner, setiap orang memiliki semua tipe kecerdasan tersebut, tetapi dalam
tingkatan yang bervariasi. Akibatnya, kita cenderung mempelajari dan memproses informasi dengan
cara-cara yang berbeda. Orang mampu belajar dengan baik ketika mereka dapat mengaplikasikan
keunggulan kecerdasan mereka dalam tugas itu.
Ada ketertarikan yang meningkat untuk menerapkan teori Gardner tentang kecerdasan ganda
dalam pendidikan anak (Campbell, Campbell, Dickinson, 20004, Hirsh, 2004, Kornhaber, Fierros,
dan Veenema, 2004; Weber, 2005). Diawal menanpilkan kisah proyek Spectrum, yang menerapkan
pandangan Gardner dalam sistem sekolah. Tujuan menerapkan pandangan Gardner dalam mendidik
anak adalah memungkinkan mereka menemukan dan mengeksplorasi bidang-bidang di mana
mereka memiliki keingintahuan dan bakat alami. Menurut Gardner, seandainya para guru
memberikan kesempatan pada anak-anak untuk menggunakan tubuh, imajinasi, dan indera mereka,
hampir setiap siswa akan menemukan bahwa dirinya sangat ahli dalam suatu hal tertentu.
Teori Triarki Sternberg sperti Gardner,Robert J. Sternberg (1986, 1999, 2002, 2003, 2004, 2006)
yakin bahwa tes-tes IQ tradisional gagal mengukur beberapa dimensi penting dari kecerdasan. Teori
triarki kecerdasan Sternberg mengajukan tiga tipe utama kecerdasan: analisis, kreativitas,dan
praktis.
Teori triarki kecerdasan Teori
Sternberg bahwa kecerdasan terdiri
dari kecerdasan kompotensial,
eksperensial, dan konstektual.
Untuk memahami apa artinya kecerdasan analisis, kreativitas, dan praktis, mari kita lihat
contoh-contoh orang dibawah ini, yang merefleksikan tiga tipe kecerdasan.
Latisha memiliki nilai tinggi dalam tes kecerdasan tradisional (seperti tes Stanford-Binet)
dan ia adalah seorang penulis yang cerdas. Sternberg menyebut pemikiran analisis Latisha
dan penalaran abstraknya sebagai kecerdasan analisis. Kecerdasan analisis adalah
kecerdasan jenis kecerdasan yang paling dekat maknanya dengan 'Kecerdasan' dalam sudut
pandang awam (dan yang dinilai dalam tes kecerdasan). Dalam pandangan Sternberg, unit
dasar dari kecerdasan analisis adalah komponen. Komponen-komponen ini meliputi
kemampuan mendapatkan dan menyimpan informasi, mempertahankan atau mengambil
kembali informasi; mentransfer informasi; merencanakan dan membuat keputusan; serta
menerjemahkan pemikiran-pemikiran tersebut menjadi perbuatan.
Todd tidak memiliki nilai-nilai terbaik tetapi memiliki pemikiran yang kreatif dan
berwawasan luas. Keunggulan tipe berpikir Todd disebut Sternberg, Sebagai kecerdasan
kreatif. Menurut Sternberg, orang-orang yang kreatif memiliki kemampuan penyelesaian
masalah-malah baru dengan cepat, dan juga mampu menangani masalah-masalah rutin
secara otomatis sehingga pikiran-pikiran mereka bebas menangani persoalan-persoalan lain
yang membutuhkan wawasan dan kreativitas.
Contoh terakhir, Emmanuel adalah seorang yang memiliki skor tes IQ tradisional yang
rendah, tetapi dengan cepat menangkap persoaln-persoalan hidup yang nyata. Ia dengan
mudah menyerap pengetahuan tentang liku-liku kehidupan di dunia ini. “ Kecerdasan
jalanan” (streets smarts) dan pengetahuan praktis sebagai kecerdasan praktis. Kecerdasan
praktis meliputi kemampuan mengatasi persoalan dan kemampuan membina hubungan baik
dengan setiap orang. Sternberg, mendeskripsikan kecerdasan praktis sebagai semua
informasi penting untuk sukses didunia pergaulan, yang tak di ajarkan disekolah.
Kecerdasan Emosional Konsep kecerdasan emosional awalnya dikembangkan oleh Peter Salovey
dan John Mayer (1990). Mereka mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan
merasakan dan mengekspresikan emosi dengan tepat, sesuai situasi ( seperti menerima perspektif
orang lain); kemampuan memahami emosi dan pengetahuan emosional (seperti, memahami peran
emosi dalam hubungan pertemanan dan pernikahan); kemampuan menggunakan perasaan guna
melancarkan pemikiran (seperti, berada dalam suasana hati yang positif, yang dikaitkan dengan
pemikiran, kreatif); serta kemampuan mengatur emosi diri sendiri dan orang lain (seperti
kemampuan mengendalikan amarah) (Mayer, Salovey, dan Caruso, 2004)
Baru-baru ini Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT) dikembangkan
untuk mengukur keempat aspek kecerdasan emosi yang telah di deskripsikan diatas; merasakan
emosi, memahami emosi, memfasilitasi pemikiran, dan mengatur emosi (Mayer, Salovey, Caruso,
2002). Tes tersebut terdiri dari 141 soal, ditujukan bagi individu berusia 17 tahun atau lebih, dan
memerlukan waktu pengerjaan selama 30-45 menit. Karena MSCEIT baru ada sejak 2001, jumlah
penelitian yang menguji efektifitasnya, masih sedikit (Salovey dan Pizarro, 2003). Sebuah studi
baru-baru ini, yang menggunakan MSCEIT, menemukan bahwa remaja dengan kecerdasan
emosional yang tinggi cenderung tidak merokok atau minum-minuman beralkohol (Trinidad dan
Johnson, 2002).
Perbandingan Pandangan Tentang Kecerdasan dari Gardner, Sternberg, dan Salovey/Mayer
Gardner Sternberg Salovey/Mayer
Verbal Matematis Analitis
Spasial Kinestetik Musikal Kreatif
Interpersonal
Intrapersonal
Praktis Emosional
Naturalistik
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intelegensia
Pengaruh Keturunan dan Lingkungan
Kita telah melihat bahwa kecerdasan adalah suatu konsep yang memerlukan pemikiran yang cermat
dengan adanya beragam definisi, tes, dan teori. Tidaklah mengejutkan bahwa usaha-usaha untuk
memahami konsep kecerdasan dipenuhi dengan kontroversi. Salah satu area yang paling
kontroversial dalam bidang studi kecerdasan terpusat pada isu sejauh apa kecerdasan dipengaruhi
oleh faktor genetik dan lingkungan. Kita menunjukan bagaimana sulitnya memisahkan pengaruh-
pengaruh ini, meskipun hal ini tidak menghentikan usaha para psikolog untuk menguraikannya.
Pengaruh Genetik Pada tingkatan apa gen-gen kita membuat kita cerdas? Arthur Jensen (1969)
berpendapat bahwa kecerdasan pada umumnya diwariskan dan bahwa lingkungan hanya berperan
minimal dalam mempengaruhi kecerdasan. Jensen meninjau reset tentang kecerdasan, yang
kebanyakan melibatkan perbandingan-perbandingan skor tes IQ pada anak kembar identik dengan
kembar tidak identik. Anak kembar identik memiliki susunan gen yang serupa; jadi jika kecerdasan
diturunkan secara genetik, demikian argumen jensen, skor IQ anak kembar identik haruslah lebih
serupa satu sama lain ddibandingkan skor IQ anak kembar tidak identik.
Studi-studi yang dipelajari oleh jensen menunjukan korelasi rata-rata skor kecerdasan anak-
anak kembar identik sebesar 0,82 (asosiasi positif yang sangat tinggi). Uji korelasi skor tes IQ anak-
anak kembar tidak identik menghasilkan korelasi rata-rata 0,50; korelasi positif yang cukup tinggi.
Perbedaanya 0,32-cukup besar. Akan tetapi, tinjauan riset baru-baru ini- yang menyertakan
beberapa studi yang dilakukan sejak tinjauan awal Jensen-menemukan bahwa perbedaan rata-rata
antara kembar identik dengan tidak identik hanya 0,15; jauh lebih rendah dari yang ditemukan
Jensen (Grigorenko, 2000).
Studi-studi adopsi juga digunakan sebagai usaha menganalisis pentingnya hubungan sanak
keluarga dan keturunan bagi kecerdasan. Pada sebagian besar studi-studi adopsi, para peneliti
menentukan apakah perilaku anak-anak yang diadopsi lebih menyerupai orang tua angkat, yang
mengadopsi mereka. Dalam dua studi, tingkat pendidikan orang tua kandung menjadi tolak ukur
yang lebih baik dalam memprediksi skor-skor IQ sang anak ketimbang IQ orang tua angkat ( Petrill
dan Deater-Deckard, 2004; Scarr dan Weinberg,1983). Akan tetapi, studi-studi adopsi juga
mendokumentasikan pengaruh lingkungan. Perpindahan anak dari keluarga lama ke keluarga baru,
yang mengakomodasi lingkungan yang lebih baik, meningkatkan IQ anak sekitar 12 poin (Lucurto,
1990).
Seberapa kuatkah pengaruh keturunan terhadap kecerdasan? Konsep heritabilitas berusaha
memilah pengaruh keturunan dan lingkungan dalam suatu populasi. Heritabilitas (heritability)
adalah bagian dari variansi dalam suatu populasi yang dikaitkan dengan faktor genetik. Indeks
heritabilitas dihitung menggunakan teknik korelasional. Jadi tingkat paling tinggi dari heritabilitas
adalah 1,00; korelasi 0,70 ke atas mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat. Sebuah
komite, yang terdiri dari peneliti-peneliti terhormat yang dihimpun American Psychological
Association, menyimpulkan bahwa pada tahap remaja akhir, indeks heritabilitas kecerdasan kira-
kira 0,75, mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat ( Neisser dkk, 1996).
Menariknya, para peniliti menemukan bahwa indeks heritabilitas kecerdasan meninngkat
dari 0,45 pada bayi hingga 0,80 pada dewasa (Mcgue dkk, 1993; Petrill,2003; Plomin dkk, 1997).
Mengapa pengaruh heritabilitas terhadap kecerdasan meningkat seiring pertumbuhan usia?
Mungkin, ketika kita bertambah dewasa, pengaruh lingkungan dan orang lain atas diri kita semakin
berkurang, dan kita lebih mampu memilih lingkungan yang sesuai dengan keunggulan genetik kita
(Neisser dkk, 1996). Contohnya, anak-anak atau remaja kadang didorong orang tua mereka untuk
memasuki lingkungan yang tidak sesuai dengan warisan genetik mereka (anak ingin menjadi
pemusik tetapi didorong menjadi dokter, misalnya). Ketika dewasa, individu-individu ini memiliki
lebih banyak keleluasaan memilih lingkungan karier mereka sendiri.
Indeks heritabilitas memiliki kelemahan. Indeks tersebut sesungguhnya dibuat semata-mata
berdasarkan data-data tes IQ tradisional, yang dianalisis dan diinterpretasi. Data tersebut seluruhnya
berasal dari tes-tes IQ tradisional, yang diyakini beberapa ahli bukan merupakan indikator terbaik
dari kecerdasan (Gardner,2002; Sternberg, 2004). Indeks heritabilitas juga mengasumsikan bahwa
kita dapat memperlakukan pengaruh-pengaruh lingkungan dan genetika sebagai faktor-faktor yang
terpisah, dimana tiap-tiap bagian memberi kontribusi berupa sejumlah pengaruh yang unik. Seperti
yang kita diskusikan, faktor genetik dan faktor lingkungan selalu bekerja bersama-sama. Gen selalu
ada dalam suatu lingkunan dan lingkungan mempertajam aktivitas gen.
Pengaruh Lingkungan bagi kebanyakan orang faktor lingkungan dapat mengubah skor IQ mereka
secara dramatis (Campbell dkk, 2001; Ramey dan Lanzi, 2006). Meskipun dukungan genetik
mungkin mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang, pengaruh-pengaruh lingkungan dan
kesempatan yang kita sediakan bagi anak 0dan bagi orang dewasa) juga akan membuat perbedaan.
Apa saja aspek-aspek lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan? Studi-studi telah
menemukan korelasi-korelasi signifikan antara status sosioekonomi dan kecerdasan (Seifer, 2001).
Cara orang tua berkomunikasi dengan anak, dukungan yang diberikan orang tua, lingkungan
dimana keluarga tinggal, dan kualitas sekolah memberikan kntribusi terhadap korelasi-korelasi ini.
Dalam suatu studi, para peneliti mengunjungi rumah-rumah dan mengobservasi seberapa
ekstensifnya para orang tua (dari keluarga kaya raya hingga keluarga berpendapatan menengah)
berbicara dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka yang masih belia (Hart dan Risley, 1995).
Merekan menemukan bahwa orang tua berpendapatan menengah lebih banyak berkomunikasi
dengan anak-anak mereka yang belia dibandingkan orang yang kaya raya. Seberapa sering orang
tua berkomunikasi dengan anak-anaknya dalam masa tiga tahun pertama mereka berkolerasi dengan
skor IQ Stanford-Binet pada usia tiga tahun. Semakin sering orang tua berkomunikasi dengan anak-
anak mereka, skor IQ anak-anak tersebut semakin tinggi.
Sekolah juga mempengaruhi kecerdasan (Ceci dan Gilstrap, 2000; Christian Bachman, dan
Morisson, 2001). Pengaruh terbesar telah ditemukan pada anak-anak yang tidak mendapatkan
pendidikan formal dalam jangka waktu lama. Anak-anak ini mengalami penurunan kecerdasan.
Sebuah studi terhadap anak-anak di Afrika Selatan yang mengalami penundaan sekolah selama
empat tahun (karena tidak ada guru) menemukan adanya penurunan IQ sebesar lima poin pada
setiap tahun penundaan.
Pengaruh lain dari pendidikan dapat dilihat pada peningkatan pesat skor tes IQ diseluruh
dunia (Daley dkk, 2003; Flynn, 1999; Kanaya, Scullin, dan Ceci, 2003). Skor IQ meningkat sangat
cepat sehingga orang-orang yang dianggap memiliki kecerdasan rata-rata pada abad sebelumnya
akan menjadi orang-orang yang dianggap memiliki kecerdasan dibawah rata-rata di abad ini
(Howard, 2001). Jika orang zaman sekarang mengerjakan tes Stanford-Binet yang digunakan tahun
19932, kira-kira seperempatnya akan didefinisikan sebagai orang yang memiliki kecerdasan
superior, suatu label yang lazimnya hanya diraiholeh kurang dari tiga persen populasi (Horton,
2001). Karena peningkatan tersebut terjadi dalam waktu relatif singkat, hal itu tidak mungkin
diakibatkan oleh faktor keturunan. Peningkatan ini dimungkinkan karena meningkatnya tingkat
pendidikan yang diperoleh sebagian besar populasi didunia, atau karena faktor-faktor lingkungan
yang lain seperti ledakan informasi yang dapat diakses orang-orang diseluruh dunia (Blair dkk,
2005). dalam suatu studi baru-baru ini, peningkatan IQ yang dramatis terjadi pada anak-anak kenya
selama 14 tahun terakhir, yang kemungkinan besar diakibatkan oleh meningkatnya nutrisi dan
peran orang tua dalam pendidikan ( Darey dkk, 2003). Peningkatan nilai-nilai tes kecerdasan
diseluruh dunia yang terjadi dalam kerangka waktu yang singkat disebut Flynn Effect, mengambil
nama penemunya, James Flynn.
Ingatlah bahwa pengaruh-pengaruh lingkungan sengatlah kompleks (Neister, dkk, 1996;
Sternberg, 2001). Tumbuh dalam segala “Kelebihan”, contohnya, tidak menjamin kesuksesan. Anak
dari keluarga-keluarga sejahtera mungkin memiliki akses yang mudah terhadap sekolah, buku,
perjalanan, dan proses tutorial yang sangat baik, tetapi mereka mungkin menganggap remeh
kesempatan-kesempatan tersebut dan gagal mengembangkan motivasi untuk belajar dan untuk
mencapai sesuatu. Dengan kata lain “miskin” atau “berkurangan” tidak sama dengan “malapetaka”.
Para peneliti sangat tertarik dengan usaha memanipulasi lingkungan awal anak yang berisiko
memiliki kecerdasan yang “miskin” (Ramey,Ramey, dan Lanzi, 2001; Sternberg dan Grigorenko,
2001). Penekanan pada pencegahan lebih baik daripada perbaikan. Banyak orang tua dengan
pendapatan yang rendah memiliki kesulitan menyediakan lingkungan yang secara intelektual
menstimulasi anak-anak mereka. Program-program yang mendidik orang tua untuk menjadi
pengasuh yang lebih sensitif dan guru yang lebih baik, serta adanya layanan dukungan seperti
program-program pengasuhan anak berkualitas, dapat membuat perbedaan dalam perkembangan
intelektual anak.
Tinjauan baru-baru ini terkait riset intervensi-intervensi awal menyimpulkan hal-hal berikut
(Brooks-Gunn, 2003).
Intervensi-intervensi yang berpusat pada kualitas tinggi diasosiakan dengan peningkatan
kecerdasan anak dan prestasi disekolah.
Intervensi-intervensi lebih sukses dilakukan terhadap anak yang miskin dan yang orang
tuanya berpendidikan rendah.
Manfaat-manfaat positif berlanjut selama masa remaja tetapi tidak sekuat pada awal tahun-
tahun sekolah dasar.
Program-program yang dilanjutkan hingga pertengahan masa kanak-kanak dan akhir masa
kanak-kanak memiliki keberhasilan jangka panjang terbaik.
PENELITIAN DALAM PERKEMBANGAN ANAK
Proyek Abecedarian
Setiap pagi seorang ibu muda bersama anaknya menunggu bis yang akan mengantar si anak
ke sekolah. Usia anak itu baru 2 bulan, dan “sekolah” yang dimaksudkan adalah program
eksperimen dari Universitas North Carolina di Chapel Hill. Di sana, anak tersebut menjalani
sejumlah intervensi yang didesain untuk meningkatkan perkembangan intelektualnya-mulai
dari mengamati objek-objek yang mencolok yang berjuntai di depan matanya saat ia masih
bayi hingga pelajaran bahasa dan aktivitas-aktivitas menghitung ketika ia masih belum
dapat berjalan (Wickelgren, 1999). Ibu anak itu menjalani tes IQ saat si anak berusia 2
bulan. Hasilnya, ia dinyatakan memiliki IQ 40 ( sehari-harinya, ia memang tidak dapat
membaca atau menghitung uang kembalian yang ia terima dari kasir). Nenek si anak juga
memiliki IQ yang rendah.
Saat ini, paada usia 20 tahun, IQ anak tersebut sebesar 120; jadi 80 poin lebih tinggi
dari ibunya. Ini adalah sebuah hasil yang mengesankan, namun tidak setiap orang setuju
bahwa IQ dapat dipengaruhi sedemikian ekstensif seperti contoh ini. Meskipun demikian,
lingkungan dapat membuat perbedaan yang besar terhadap kecerdasan anak. Seperti
pendapat Robert Plomin (1999), seorang ahli perilaku genetika, bahkan sesuatu yang sangat
berhubungan dengan keturunan (seperti kecerdasan) dapat ditempa melalui intervensi-
intervensi. Intervensi tersebut adalah program intervensi Abecedarian dari Universitas
Carolina di Chapel Hill yang dilaksanakan oleh Craig Ramey dan rekan-rekannya (2006).
Mereka secara acak membagi 111 anak-anak belia dari keluarga-keluarga berpenghasilan
rendah dan berpendidikan rendah kedalanm kelompok intervensi (yang mendapatkan
perawatan harian setahun penuh, layanan kerja sosial dan medis) dan kelompok kontrol
(yang mendapat layanan sosial dan medis tetapi tidak mendapatkan perawatan harian).
Program perawatan harian tersebut meliputi aktivitas-altivitas permainan yang bertujuan
meningkatkan keahlian bahasa, motorik, sosial dan kognitif.
Kesuksesan program tersebut dalam meningkatkan IQ terbukti saat anak berusia 3
tahun. Pada usia tersebut, kelompok eksperimen menunjukkan IQ normal rata-rata 101,
yaitu 17 poin lebih tingi dari kelompok-kelompok kontrol. Hasl riset terkini menyatakan
bahwa pengaruh tersebut bertahan lama. Mereka menunjukkan kinerja yang baik dalam tes-
tes standar membaca dan matematika, dan hanya sedikit yang tiak naik kelas. IQ paling
tinggi dicapai khususnya oleh anak-anak yang ibunya memiliki IQ rendah dibawah 70. pada
usia 15 tahun, anak-anak tersebut menunjukkan 10 poin IQ diatas kelompok anak yang IQ
ibunya dibawah 70 tetapi tidak menjalani program pengasuhan harian.
KREATIVITAS
Ciri suatu perilaku yang kreatif adalah adanya sesuatu hasil yang baru,akibat perilaku tersebut.
Kreativitas seseorang berhubungan dengan motivasi dan pengalaman serta dipengaruhi oleh
inteligensi,cara berpikir,ingatan,minat dan emosinya,bakat,sikap,persepsi,perasaan,dan kepribadian.
Munculnya krativitas seseorang dapat dipicu karena seseorang mengalami tantangan atau
kendala dalam memecahkan suatu masalah dalam hidupnya.
Pengertian
Kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir dalam cara-cara yang baru dan tidak biasa
serta menghasilkan pemecahan masalah yang unik.
Kecerdasan dan kreativitas bukan hal yang sama(Sternberg,2004;Sternberg,Grigorenko, dan
Singer, 2004) Sebagian besar orang-orang kratif adalah orang-orang yang cerdas, tetapi sebaliknya
orang-orang yang cerdas belum tentu kreatif. Banyak orang berkecerdasan tinggi (yang meraih skor
tinggi dalam tes kecerdasan konvensional) tidak kreatif (sternbeg dan O'Hara,2000). Banyak orang-
orang dengan kecerdasan tinggi menghasilkan sejumlah produk tapi produk-produk itu bukan
sesuatu yang baru.
Mengapa skor IQ yang tinggi gagal memprediksi kreativitas? Kreativitas memerlukan
pemikiran yang divergen ( Guilford, 1967). Pemikiran divergen memunculkan banyak jawaban
terhadap pertanyaan yang sama. Sebaliknya, tes-tes kecerdasan konvensional memerlukan
pemikiran konvergen. Contohnya, sebuah soal dalam tes kecerdasan konvensional adalah,
“Berapa banyak kuarter (1 quarter = 25 sen) dalam 60 dim (1 dim = 10 sen)?” Hanya ada satu
jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini. Sebaliknya, suatu pertanyaan seperti, “Apa gambaran
yang muncul dalam pikiran Anda ketika Anda mendengar frasa 'duduk sendirian di dalam ruangan
yang gelap'?” akan memunculkan banyak kemungkinan jawaban. Jenis pemikiran seperti inilah
yang dinamakan pemikiran divergen.
Individu-individu menunjukkan kreativitas dalam bidang-bidang spesifik; beberapa orang
lebih dominan dari yang lain (Runco, 2004). Contohnya, seorang abak menunjukan kreativitas
dalam matematika mungkin tidak menunjukkan krativitas serupa dalam bidang seni. Untuk
mengetahui beberapa strategi menolong anak menjadi kreatif.
Kreativitas kemampuan berpikir secara baru dan tidak biasa dan
menemukan solusi unik atas masalah.
Pemikiran divergen Pemikiran yang menghasilkan banyak jawaban atas
pertanyaan yang sama; sebuah ciri kreativitas.
Pemikiran konvergen Pemikiran yang menghasilkan satu jawaban yang
benar; merupakan ciri pemikiran yang diisyaratkan dalam tes kecerdasan
konvensional.
Brainstorming Teknik pendukung ide kreatif dalam kelompok, memproses
ide satu sama lain, dan mengutarakan apapun yang terpikirkan.
PEDULI PADA ANAK-ANAK
Membimbing Kreativitas Anak
Suatu tujuan yang penting adalah menolong anak agar lebih kreatif. Apa strategi-strategi terbaik
untuk mencapai tujuan tersebut. Hal- hal itu adalah sebagai berikut:
Buatlah anak-anak terlibat dalam brainstorming dan memunculkan sebanyak mungkin ide.
Brainstorming adalah suatu teknik dimana anak diajak terlibat untuk memunculkan ide-ide kreatif
yang baru dalam sebuah kelompoknya, menyoroti ide-ide orang lain, dan mengatakan secara praktis
apapun yang muncul dalam pikiran. Akan tetapi, banyak anak lebih kratif jika bekerja sendiri.
Sebuah riset modern tentang Brainstorming menyimpulkan bahwa banyak anak individu, bekerja
seorang diri dapat memunculkan lebih banyak ide-ide yang lebih baik dibandingkan dengan
berkelompok. (Richards dan deCock, 2003). Satu alasan untuk hal ini bahwa dalam kelompok,
beberapa individu, akan bermalas-malasan sedangkan yang lain memikirkan hampir semua
pemikiran kreatif tersebut. Meskipun demikian, tetap ada banyak keuntungan dalam
Brainstorming,seperti dalam pembentukan tim,yang mendukung penggunaan brainstorming ini.
Anak-anak lazimnya diminta untuk tidak mengkritik ide-ide orang lain setidaknya
sampai sesi brainstorming selesai. Dalam kelompok ataupun perorangan, strategikreativitas yang
baik adalah memunculkan sebanyak mungkin ide baru. Semakin banyak ide baru yang dimunculkan
anak,semakin baik kesempatan mereka menghasilkan sesuatu yang unik. Pablo Picasso,
menghasilkan lebih dari 20.000 karya seni; tidak seluruhnya merupakan karya agungya. Anak-anak
kreatif tidak takut gagal atau melakukan sesuatu yang salah. Mereka mungkin jatuh bangun 20 kali,
sebelum menghasilkan sebuah ide yang inovatif
Sediakan lingkungan yang menstimulasi kreativitas anak. Banyak suasana lingkungan
memelihara munculnya kreativitas, namun banyak pula yang menekannya
(Csikszentmihalyi, 1996; Sternberg, Grigorenko, dan Siregar, 2004). Orang-orang yang
mendorong kreativitas anak seringkali bertumpu pada keingintahuan alami anak. Mereka
menyediakan latihan-latihan dan aktivitas yang menstimulasi anak untuk menemukan
pemecahan-pemecahan mendalam terhadap masalah, alih-alih menanyakan pertanyaan-
pertanyaan yang memerlukan jawaban-jawaban yang hafalan.. Orang-orang dewasa juga
mendorong kreativitas dengan membawa anak-anak pada lokasi dimana kreativitas dinilai.
Howard Gardner(1993) yakin bahwa ilmu pengetahuan,penemuan, dan museum anak
menawarkan kesempatan yang banyak untuk menstimulasi kreativitas anak
Jangan mengontrol secara berlebihan.Teresa Amabile (1993) mengatakan bahwa
memberitahu anak bagaimana melakukan sesuatu secara tepat-persis akan membuat anak
merasa bahwa keaslian adalah kesalahan dan eksporasi berarti membuang-buang waktu,
Orang dewasa dapat mengurangi tindakan merusak keingintahuan alami anak jika mereka
membiarkan anak memilih minat-minat mereka sendiri dan mendukung minat tersebut, alih-
alih mendiktekan kreativitas-kreativitas anak. Amabile juga percaya bahwa ketika orang-
orang dewasa konstan menunggui anaknya, anak akan merasa bahwa mereka diawasi terus
saat mengerjakan sesuatu. Ketika anak berada dalam pengawasan yang konstan, kreativitas
mereka beresiko menyusut dan semnagat petualangan mereka menurun. Menuru Amabile,
strategi lain yang dapat membahayakan kreativitas adalah memiliki harapan-harapan yang
terlalu ambisius terhadap pencapaian hasil anak dan berharap anak dapat melakukan dengan
sempurna.
Doronglah motivasi internal. Penggunaan hadiah yang berlebihan seperti medali,uang atau
mainan dapat melumpuhkan kreativitas dengan meruntuhkan kepuasan intrinsik yang
diperoleh anak dari berkreasi. Motivasi yang menggerakan anak kreatif berupa kepuasan
yang muncul dari hasil kerja itu sendiri. Kompetisi memperebutkan hadiah dan evaluasi
formal seringkali melumpuhkan motivasi intrinsik dan kreativitas (Amabile dan Hennesey,
1992).
Kenalkan anak dengan orang-orang kreatif. Pikirkan tentang identitas orang-orang paling
kreatif di komunitas anda. Guru-guru dapat mengundang orang-orang ini kekelas dan
meminta mereka mendeskripsikan apa yang membantu merekan menjadi kreatif atau
mendemonstrasikan keahlian kreatif mereka. Penulis,penyair,musisi,ilmuan, dan beragam
tokoh kreatif yang lain dapat memberikan dukungan dan hasil karya mereka ke kelas;
mengubah ruang kelas menjadi arena menstimulasi kreativitas anak.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kreativitas
Dalam buku “Perkembangan Anak” Hurlock Menyatakan ada beberapa faktor/kondisi yang
dapat meingkatkan kreativitas yaitu: waktu (anak perlu dibebaskan bermain tanpa pembatasan
waktu yang ketat); kesempatan sendiri (agar dapat mengembangkan imajinasi anak perlu dibiarkan
sendiri tanpa ada tekanan sosial); dorongan ,sarana (pemilihan sarana yang baik akan
mempengaruhi pengembangan kreativitas); lingkungan yang merangsang (ada dorongan dan
suasana yang mendukung kebebasan eksplorasi); sikap orang tua tidak permisif atau otoriter,
pemberian pengetahuan yang banyak.
Sementara itu ada pula faktor yang menghambat perkembangan kreativitas antara lain: Sikap
orang tua terlalu melindungi, eksporasi anak dibatasi, pengaturan waktu oleh orang tua sangat ketat,
membatasi khayalan (berpikir bahwa anak yang realistis lebih baik), peralatan bermain terstruktur
(misalnya boneka yang berpakaian lengkap tidak bisa dibongkar), orang tua konservatif.
Melihat faktor-faktor diatas dapat kita simpulkan pada awal masa anak peranan orang tua
untuk mengembangkan kreativitas anaknya sangat tinggi. Seluruh peraturan rumah, pola asuh,
pemilihan alat bermain akan ikut menentukan anak. Baru setelah masuk usia sekolah guru/sekolah
ikut menyumbang perkembangan anak. Salah satu sikap guru yang menghambat kreativitas adalah
tuntutan pada anak untuk membuat karya cipta yang seragam, dan sesuai dengan contoh yang
diberikan guru baik berupa hasil keterampilan, gaya bicara, gaya berpuisi, dan lain-lain.
Hubungan Inteligensi dengan Kreativitas
Dalam beberapa tahun terakhir, ada topic baru yang mengundang banyak tanggapan dan
perdebatan, yaitu hubungan kreativitas dang inteligensi . Adakah hubungan diantara keduanya ?
Menurut Dedi Supriyadi, kretivitas dan inteligensi mempunyai perbedaan (Supriyadi, 1994).
Inteligensi menurut Supriyadi lebih menyangkut pada cara berfikir konvergen (memusat),
sedangkan kreativitas berkenaan dengan cara berpikir divergen (menyebar). Berbagai studi lain
melaporkan hasil yang berbeda-beda mengenai hubungan antara kreativitas dan inteligensi. Pada
intinya, penelitian itu membuktikan bahwa sampai tingkat tertentu terdapat hunbungan antara
kretivitas dan inteligensi. Namun menurut Getzels & Jackson, pada tingkat IQ diatas 120, hamper
tidak ada hubungan diantara keduannya. Artinya , orang yang IQ-nya tinggi mungkin kreativitasnya
rendah, atau sebaliknya .
Selanjutnya, kedua peneliti tersebut membuat empat kelompok orang yaitu :
1. Kreativitas rendah, inteligensi rendah
2. Kreativitas tinggi, inteligensi tinggi
3. Kreativitas rendah, inteligensi tinggi
4. Kreativitas tinggi, inteligensi rendah
Dengan demikian,kreativitas dan inteligensi merupakan dua domain kecakapan manusia yang
berbeda. Dalam teori yang berlaku dewasa ini, baik kreativitas maupun inteligensi dijadikan criteria
untuk menentukan bakat seseorang . (Psikologi Umum , 2009;160)
REFERENSI
Daniel L. Smith, Lebih Tajam dari Pedang. Kanisius. 2005.
John W. Santrock. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga, 2007