Upload
eunhkaf
View
491
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
Psikologi pada Wanita Keguguran
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bila seseorang membuat rencana, biasanya rencana itu bersifat optimis dan positif. Bagi
mereka yang menginginkan anak dan ingin membentuk keluarga, masa depan yang
dibayangkan adalah tentang bayi, kepuasan serta kebahagiaan, bukan rasa sakit, rasa
kehilangan ataupun duka yang tak direncanakan dan tak diharapkan. Bila seorang wanita
mengalami keguguran, kejadian itu membuat ia syok dan menyalahkan tubuhnya. Hal ini
seringkali membuat wanita kehilangan kepercayaan baik terhadap tubuhnya maupun terhadap
dirinya sendiri, disamping juga terhadap kehidupan, yang tiba-tiba menyadarkannya bahwa
tidak ada kepastian dan jaminan dalam hidup ini.
Sementara keguguran secara medis seolah merupakan kejadian kecil, bagi mereka yang
mengalaminya, hal itu bisa merupakan pengaruh yang meluas dan menetap. Tidak hanya
menghancurkan semua harapan dan rencana yang menyertai realita tersebut.
Dibandingkan dengan abad terdahulu, kita hidup pada masa dimana standar hidup dan
perawatan medis sudah maju tetapi kemajuan ini bisa membuat kita keliru dengan menduga
bahwa setiap kehamilan akan membuahkan bayi cukup usia, yang sehat serta siap untuk
menerima seluruh kasih sayang yang kita berikan. Akibatnya, bila kehamilan tidak
berlangsung sebagaimana mestinya dan bayi tidak dilahirkan, kita akan merasa sangat ditipu.
Banyak yang bahkan tidak menyadari betapa besar tumpuan harapan pada kehamilan tersebut
sampai kehamilan itu berakhir secara mendadak dan menyakitkan. Setelah itu kita tidak dapat
memandang diri kita atau dunia sekitar kita dengan pandangan yang sama.
Landasan Teori
Persalinan (partus) adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup
bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan
bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri).
Keguguran (abortus) adalah berakhirnya kehamilan oleh akibat-akibat tertentu pada atau
sebelum kehamilan tersebut 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu hidup di luar
kandungan.
A. Jenis-jenis abortus :
1. Abortus Spontan
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi dari luar untuk
mengakhiri kehamilan tersebut. Abortus spontan terdapat beberapa macam yaitu :
a. Abortus Imminen
Terjadi akibat perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan sutau
kehamilan. Kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan.
b. Abortus Insipien
Perdarahan ringan hingga sedang dimana hasil konsepsi masih berada di kavum uteri.
Kondisi ini menunjukkan bahwa proses abortus sedang berlangsung dan akan berlanjut
menjadi abortus inkomplit atau abortus komplit.
c. Abortus Inkomplit
Perdarahan dimana sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis
servikalis.
d. Abortus Komplit
Perdarahan dimana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan dari kavum uteri.
e. Abortus Habitualis
Keadaan dimana pasien mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih. Biasanya
disebabkan karena kelainan ovum atau spermatozoa sehingga terjadi pembuahan yang
patologis, serviks inkompeten, rhesus antagonis, kelainan anatomi rahim, malnutrisi,
malfungsi plasenta dan gangguan psikologis.
2. Abortus Buatan
Abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan untuk
mengakhiri proses kehamilan (abortus provokatus). Abortus provokatus ada 2 macam yaitu
abortus provokatus medisinalis dan abortus provokatus kriminalis.
3. Abortus Infeksiosa
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai komplikasi infeksi.
4. Missed Abortion
Missed abortion adalah perdarahan disertai dengan retensi hasil konsepsi yang telah mati
hingga perdarahan 8 minggu atau lebih. Biasanya diagnosis tidak dapat ditentukan hanya
dalam satu kali pemeriksaan melainkan memerlukan waktu pengamatan dan pemeriksaan
ulangan
B. Etiologi abortus :
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Faktor penyebabnya :
a. Kelainan kromosom
b. Lingkungan di endometrium tempat implantasi kurang sempurna.
c. Pengaruh dari luar : radiasi, virus, obat-obatan dan sebagainya.
2. Gangguan sirkulasi plasenta
Biasanya terjadi pada penyakit hipertensi menahun karena oksigenasi plasenta terganggu
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan dan kematian janin.
3. Penyakit ibu
Seperti pnemoni, tifus abdominalis, pielonefritis, malaria dan penyakit lain yang dapat
menyebabkan abortus.
4. Kelainan traktus genitalis
a. Kongenital anomali (hipoplasia uteri, uterus bikornis)
b. Kelainan letak uterus (retroversion uteri)
c. Mioma uteri
d. Uterus terlalu cepat regang (kehamilan ganda, mola)
Tinjauan Kasus
Ibu X berumur 24 tahun dengan G1P0A0 sangat menikmati kehamilannya. Bahkan Ibu X
mengagumi bentuk tubuhnya yang membesar di pantulan kaca etalase toko yang
membuktikan kesuburannya dan bahwa ia akan menjadi ibu. Bayinya seharusnya lahir di
bulan Agustus. Ketika ia sakit seperti gejala flu di bulan Mei, ia tidak khawatir kecuali ketika
ia bangun dari tempat tidur dan perutnya tampak sangat membesar. Ibu X pergi ke klinik
bersalin pada hari Senin untuk membuat janji dan segera dirawat untuk diobservasi. Ibu X
melewatkan hari Senin sampai Sabtu dengan rasa sakit yang tak henti (pada atau diluar
kehamilan tetapi ia tidak mengetahui pada saat itu). Sementara itu ukuran harian
menunjukkan bahwa Ibu X terus membengkak dan ia merasa pusarnya akan meledak keluar
karena tekanan dari dalam. Ibu X diberitahu bahwa karena suatu alasan, cairan ketuban
berlebihan di luar kendali, oleh karenanya ukuran perut membesar dengan cepat. Dokter
enggan untuk mengurangi kelebihan cairan itu karena dokter merasa bahwa tindakan itu akan
memicu kelahiran. Rumah sakit memilih untuk ‘menunggu dan melihat’ perkembangan. Ibu
X melewatkan seminggu berharap untuk yang terbaik dan takut untuk yang terburuk.
Semakin dini Ibu X dan keluarganya diberitahu teantang kenyataan, semakin cepat mereka
menyesuaikan diri. Ibu X merasa bahwa memberi harapan palsu hanya meningkatkan
perasaan tertekan pada saat harapan itu tidak terpenuhi. Usia kehamilan Ibu X sudah
mencapai 27 minggu dan ia ingin bayinya selamat. Tetapi ketika itu baru tahun 1994 dan
fasilitas perawatan khusus masih jarang. Ibu X menghargai perawat yng cukup jujur untuk
memberitahukan bahwa kemungkinan selamat mustahil terjadi pada tahap ini dan Ibu X bisa
mempercayainya karena kejujurannya. Pada hari Sabtu, Ibu X merasa sangat kesakitan. Ibu X
tidak percaya ataupun hormat pada perawat yang mencoba membohongi dengan mengatakan
bahwa rasa sakit yang ia alami hanyalah infeksi ginjal. Ibu X belum pernah melahirkan
sehingga ia tidak tahu bahwa melahirkan bisa menimbulkan nyeri punggung. Yang Ibu X
tahu bahwa menahan rasa sakit itu membuat hari Sabtunya menjadi hari paling panjang,
paling sepi dan paing sakit sepanjang hidupnya.
Suami dan orangtua Ibu X datang berkunjung. Mereka merasa tidak berdaya dan memberi
dukungan semampu mereka lalu pergi. Ibu X hanya sesekali bertemu perawat. Ibu X merasa
ditinggal sendiri untuk mengatasi ‘infeksi ginjal’nya. Pada malam harinya, rasa sakit itu
membuat segala sesuatu menjadi tidak nyata bagi Ibu X. Dalam hati, Ibu X mulai meminta
maaf kepada bayinya, mengatakan bahwa Ibu X sangat menyayangi dan ingin melindunginya
didalam tubuh serta berjanji untuk melawan tubuhnya sekuat mungkin. Dalam benak Ibu X,
bayinya menjawab, memberitahukan bahwa ia adalah seorang anak perempuan,
memberitahukan namanya, memberitahu bahwa ia sangat mengerti mengapa ia harus
dilahirkan sekarang dan memberitahu agar Ibu X jangan berduka karena ia tidak
membutuhkan hidup ini. Semuanya begitu jelas dan menetramkan bagi Ibu X.
Pada pukul 22.45 ketuban Ibu X pecah dan membasahi tempat tidur dengan deras. Karena air
ketubannya bertambah tidak terkendali, sambil berbaring Ibu X memencet bel memanggil
perawat. Rambut, pakaian dan tempat tidur basah semua. Ketika perawat dinas malam
datang, ia panik melihat keadaan ibu X. Perawat itu menyuruh Ibu X duduk di tepi tempat
tidur tetapi hal itu justru membuat air ketuban tumpah ke lantai bercampur dengan air dari
vas bunga yang dipecahkan perawat tersebut karena kebingungan. Perawat itu malah
menyuruh Ibu X duduk di kursi dan melepaskan seprai dari tempat tidur.
Karena persalinan Ibu X tidak terduga maka tidak ada persiapan termasuk dari Ibu X sendiri.
Perawat tidak bisa menemukan arsip Ibu X. Perawat itu juga tidak bisa menemukan dokter
Ibu X. Ibu X belum dimandikan dan diberi pencahar. Pada saat itu, Ibu X tahu ia akan
melahirkan karena ia bisa merasakan kepalanya. Perawat memindahkan Ibu X ke kursi roda
lalu meninggalkan Ibu X sendirian di koridor untuk mencari bantuan karena yakin bahwa
bayi Ibu X akan lahir di kursi roda atau di lantai rumah sakit. Tubuh Ibu X memaksa untuk
mendorong meskipun ia berusaha untuk menahan dengan sangat ketakutan.
Ketika perawat kembali, mulailah perjalanan ke ruang bersalin. Ibu X ingat wajah terkejut
seorang calon ayah yang masih muda ketika melihat Ibu X didorong melewatinya dalam
keadaan basah kuyup serta menggigil syok dan ketakutan.
Keadaan tidak membaik setelah sampai di ruang bersalin karena dokter memegang pisau
skapel dan bertanya apakah Ibu X bersedia dilakukan episiotomi. Saat itulah Ibu X
mendorong sekuat tenaga dan melahirkan anak perempuan.
Ibu X tidak pernah benar-benar menatapnya. Dalam keadaan kesakitan, Ibu X melihat sekilas
anaknya sewaktu perawat-perawat menggendongnya serta membungkusnya dengan handuk
lalu dilarikan untuk diberi oksigen. Pada saat itu, seorang perawat kembali dari ruang
resusitasi dengan murung. Ia menjelaskan bahwa jantung bayi masih berdetak setelah
dilahirkan tetapi bayi tidak pernah bisa bernafas dengan tanpa alat bantu dan tidak mungkin
selamat.
Ibu X langsung mengalami syok. Bayinya telah meninggal. Ibu X merasa tidak ingin lagi
berjuang hidup, Ibu X hanya ingin menyerah dan meninggal bersama bayinya.
Pembahasan
Dari ilustrasi kasus di bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa Ibu X yang sangat mengharapkan
kehadiran seorang bayi harus mengalami keguguran di kehamilan pertamanya. Sangat
disayangkan Ibu X harus melahirkan tanpa ditemani oleh suami, keluarga atau teman-teman
dekatnya. Yang paling menyedihkan lagi, Ibu X ditangani oleh perawat yang belum
berkompenten dan kurang pengalaman. Pihak rumah sakit juga tidak mau berterus terang
mengenai apa yang sebenarnya dihadapi oleh Ibu X. Siapapun wanita yang mengalami
kejadian seperti Ibu X ini tentu akan merasa sangat terpukul dan frustasi.
Bagaimana wanita memandang kehilangan bayi mereka, tidak selalu berkaitan dengan usia
kehamilan. Sebagian wanita tidak menganggap janin sebagai bayi yang sesungguhnya sampai
hamil tua atau bahkan sampai bayi itu lahir. Yang lain merasa bahwa embrio yang
terkecilpun adalah bayi. Wanita baru bersedih jika mereka mengganggap keguguran mereka
sebagai suatu kehilangan dan sebagian wanita tidak merasa kehilangan dengan menganggap
bahwa keguguran awal tidak lebih dari haid yang terlambat. Karena mereka belum
membentuk keterkaitan emosional dan belum membayangkan embrio atau janin sebagai bayi,
mereka bisa pulih dengan hanya sedikit pengaruh emosional. Jika mereka merasa bahwa ada
yang salah dengan kehamilan mereka dan bahwa keguguran merupakan tindakan alami dan
benar yang dilakukan oleh tubuh mereka maka perasaan kehilangan itu akan diminimalkan.
Besarnya pengaruh keguguran bergantung pada perasaan wanita terhadap calon bayi sebelum
keguguran, disamping juga bergantung pada alasan wanita hamil dan besarnya keterkaitan
emosional.
A. Dampak Emosional yang diakibatkan dari peristiwa Abortus adalah :
1. Berduka
Bagi yang merasa keguguran sebagai suatu kehilangan seperti pada kasus ibu X, tentu
akan berduka. Tidak ada reaksi yang benar atau salah dalam kedukaan itu, yang ada
hanyalah reaksi alami. Pada saat tertentu, seorang wanita bisa mengatasinya tetapi
adakalanya tidak. Proses berduka akan berlanjut dalam waktu yang lama. Seberapapun
manusia mencoba untuk ‘tabah’, untuk menekan perasaan, cepat atau lambat duka itu
akan muncul dan manusia harus bisa menghadapinya agar bisa pulih dan melanjutkan
kehidupan berbekal pengalaman.
Kita semua adalah individu dan reaksi kita mencerminkan diri kita. Merupakan asumsi
yang keliru bila kedukaan, karena mempunyai awal yang jelas, tentu akan mempunyai
akhir yang jelas pula. Kita menganggap pasti akan ada waktu dimana kita bisa berkata,
“Saya telah mengalaminya dan sekarang sudah usai. “ Padahal sesungguhnya kita tahu
bahwa kedukaan tidak mempunyai akhir. Kita bisa belajar untuk menata dan
menyesuaikan kehidupan tetapi tampaknya kedukaan , meskipun telah kita singkirkan,
tetap menjadi bagian dari diri kita. Seperti yang sering dikemukakan semua wanita yang
pernah mengalami keguguran, pengalaman keguguran bukanlah suatu hambatan untuk
‘diatasi’, melainkan merupakan bagian integral dari diri dan bagaimana cara mengatasi
diri sendiri.
2. Mati Rasa dan Syok
Sebagaian besar orang yang secara tiba-tiba mengalami keguguran akan terlalu sibuk
mengatasi trauma fisik. Sementara pengaruh emosional dibiarkan hilang dengan seiring
berjalannya waktu. Menyangkut mati rasa, syok terasa membantu karena dapat bertindak
sebagai anestesi. Pada saat syok itu menghilang, barulah rasa sakit hati itu dimulai.
Seorang wanita mungkin akan mendapatkan obat penenang. Namun obat ini hanya
menunda rasa sakit bukan menghilangkannya. Wanita yang merasa bahwa
memperpanjang masa mati rasa itu bisa membantu harus ingat bahwa bahwa cepat atau
lambat realita kematian bayinya harus dihadapi dan membiarkan kedukaan itu mulai.
Pengaruh alkohol juga bisa membantu mematikan rasa sakit hati untuk sementara waktu,
tetapi sekali lagi pengaruhnya hanya untuk sementara dan bukan solusi untuk jangka
panjang. Seperti pernah diutarakan seseorang, “Saya minum untuk menenggelamkan
duka saya, tetapi tidak lama kemudian kedukaan itu sudah pandai berenang.”
Respon terhadap syok dan kedukaan yang sesungguhnya cenderung berbeda-beda.
Sebagian mungkin merasa sangat ingin ditemani, merasakan kenyamanan dan dukungan
fisik orang lain di sekitar kita. Namun sebagian mungkin ingin menyendiri untuk
sementara waktu. Emosi yang tidak rasional merupakan salah satu konsejuensi
keguguran.
Bila keguguran terjadi, sebagian wanita mengalami masa singkat dimana berbaur
perasaan lega dan gembira bahwa keguguran itu akhirnya usai dan mereka selamat.
Namun perasaan ini seringkali diikuti oleh masa depresi berat karena kehilangan itu
menjadi nyata. Kehilangan bayi melibatkan kehilangan segala kegiatan yang berhubungan
dengan kelahiran.
Kekosongan umum dirasakan setelah keguguran baik secara fisik karena bayi tidak lagi
berada di dalam tubuh, maupun secara emosional, yaitu perasaan mati rasa dan syok yang
hanya bisa dirasakan oleh wanita itu sendiri. Bagi sebagian wanita, kekosongan ini bisa
berlangsung lama. Wanita yang keguguran seolah sudah mengesampingkan sebagian
dirinya yang telah disiapkan untuk menerima semua pengalaman dan kenangan yang
ingin dibagi dengan anak-anak mulai dari bayi, kanak-kanak, remaja hingga dewasa.
Sehingga bila bayi lahir terlalu awal dan tidak selamat, bagian diri wanita tersebut akan
tetap kosong dan tidak bisa terisi kembali.
3. Rasa Tidak Percaya
Untuk sementara waktu, wanita yang mengalami keguguran tidak dapat menerima apa
yang telah terjadi. Bagaimana mungkin hidup berjalan normal, bus-bus melaju, orang-
orang berbelanja sementara dunianya hancur? Keinginan kembali ke waktu dimana
keadaan baik-baik saja dapat teras sangat kuat. Ketika hal itu tidak terpenuhi, wanita
tersebut akan merasa marah dan tidak berdaya. Wanita yang mengalami keguguran yang
tidak disadari atau kerusakan sel telur harus menghadapi realita tambahan yang
sebenarnya. Anggapan bahwa dirinya hamil serta merasa mempunyai hubungan yang
dekat dan komunikasi, ternyata tidak pernah ada. Realisasi yang mengejutkan ini tidak
mengurangi perasaan. Jika bayinya nyata maka rasa kehilangan dan kedukaan juga akan
nyata.
Sebagian dari kesulitan mengatasi rasa tidak percaya ini adalah bahwa naluri alami
seorang ibu tidak mati saat bayinya mati. Banyak yang merasakan kerinduan besar untuk
menimang bayi yang sudah tiada (terutama bila ASI mengalir) disertai ingin melindungi
bayi dari petaka. Hasrat untuk melindungi ini wajar.ungkapan klise seperti ‘keguguran
adalah cara alami untuk menghilangkan janin yang rusak atau abnormal’ tidak akan
menentramkan. Mendengar calon bayi disebut janin tidak sempurna dan tidak pantas
hidup justru akan memperkuat naluri keibuan.
Naluri keibuan itu pula yang membuat wanita yang mengalami keguguran berat
meninggalkan rumah sakit atau rumah bersalin. Wanita tersebut merasa seolah-olah ia
mengkianati dan menelantarkan bayinya. Sekalipun ia tahu bahwa bayinya telah
meninggal. Bila wanita menyangkal dorongan ini, hal tersebut biasanya akan muncul
dalam bentuk mimpi. Itulah sebabnya mengapa sering terjadi mimpi buruk setelah
keguguran.
B. Cara mengatasi dampak emosional akibat keguguran
1. Mengatasi masalah dari dalam diri
Sebagian besar wanita yang mengalami keguguran tentu akan merasa depresi. Depresi
adalah kemarahan yang dipendam. Kemarahan ini cepat muncul dan hilang. Untuk
mengurangi resiko depresi, mungkin sebaiknya kemarahan ini dilampiaskan dari pada
disangkal atau dipendam. Banyak wanita melakukannya tanpa disadari dengan
mengarahkan perasaaan mereka yang sesungguhnya pada dokter, petugas rumah sakit,
wanita hamil, nasib ataupun Tuhan. Bahkan wajar untuk marah pada bayi yang seolah
menolak ibunya dengan lahir terlalu awal dan pergi begitu saja tetapi dalam hal ini,
wanita cenderung merasa bersalah dan menyangkal amarah tersebut.
Sementara wanita merasa malu dan bersalah karena marah, emosi ini bersifat positif
karena membantu wanita tersebut mengatasi perasaan menjadi korban dan
ketidakberdayaan. Kadang kemarahan terhadap dokter atau petugas kesehatan lainnya
bisa dibenarkan jika penanganan yang mereka berikan tidak selayaknya atau tidak
memadai. Kemarahan itu bisa menjadi motivasi untuk perbaikan mutu perawatan di
kemudian hari.
2. Hubungan persahabatan dapat membantu mengatasi masalah emosional akibat
keguguran.
Ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan seseorang yang sahabatnya baru saja
mengalami keguguran. Misalnya dengan memerlihatkan kekhawatiran dan kasih sayang
kepadanya, mendampingi untuk mendengarkan, membantu tugas-tugas kecil, menjaga
anak yang lain atau apapun yang diperlukan saat itu.
Seringkali teman bersedia membantu, namun sama sekali tidak tahu harus bagaimana.
Padahal mereka bisa saja membantu dengan cara yang praktis, dengan menyiapkan
makanan, mencuci atau berbelanja. Mereka juga dapat membantu secara emosional yakni
dengan membicarakan kejadian itu. Dibutuhkan teman sejati dan berani untuk
melakukannya.
3. Peran bidan dalam membantu memulihkan emosi wanita yang mengalami
keguguran
Salah satu realita menyakitkan yang harus diketahui oleh setiap wanita yang mengalami
keguguran adalah bahwa seringkali bila terancam keguguran, sangat sedikit hal yang bisa
dilakukan bidan atau penolong medis lainnya untuk mencegahnya. Ini merupakan situasi
yang sulit karena wanita yang bersangkutan cenderung merasa bahwa bidan atau
dokternya telah mengecewakan mereka dengan tidak melakukan apa-apa. Bidan atau
dokter yang bersangkutan cenderung merasa bahwa wanita itu tidak realistis karena
mengharapkan sesuatu yang tidak dapat terwujud. Dokter, bidan atau perawat dilatih
untuk aktif melakukan sesutau dan keguguran seringkali menghadapkan mereka pada
situasi dimana tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Keadaan ini dapat membuat frustasi
dan menghancurkan hati. Jika ada tindakan yang bisa menyelamatkan kehamilan, tenaga
medis tentu dengan senang hati megambil tindakan. Keguguran tidak hanya membuat
stress wanita yang bersangkutan tetapi juga dokter, bidan dan petugas kesehatan lainnya.
Dapat dipahami bahwa sebagian bidan dan dokter merasa perlu membuat jarak, tidak
hanya untuk mempertahankan efisiensi, tetapi juga sebagai pelindung diri melawan
keterlibatan sakit hati dan stress. Namun seperti halnya orang yang telah mengalami
keguguran, mereka perlu menyeimbangkan kepedulian dan perhatian. Sebagian besar
dokter dan bidan peduli tetapi yang dibutuhkan adalah agar pasien melihat bahwa mereka
peduli.
A. Kesimpulan
1. Sebagian besar orang menganggap bahwa keguguran adalah masalah yang tidak pantas
dibicarakan.
2. Penyebab keguguran adalah multifaktor.
3. Keguguran mengakibatkan luka emosional yang mendalam di hati setiap wanita yang
menginginkan kehamilan.
4. Keguguran mengakibatkan rasa bersalah di hati wanita yang mengalaminya.
5. Usia kehamilan saat keguguran tidak berpengaruh pada intensitas duka yang
diakibatkan oleh peristiwa keguguran.
6. Mengatasi kesedihan akibat kehilangan bayi dapat dilakukan dengan beragam cara.
7. Peran bidan atau tenaga medis lainnya sangat penting dalam membantu memulihkan
mental wanita yang mengalami keguguran.
B. Saran
1. Wanita yang baru saja mengalami keguguran perlu mendapat dukungan baik itu dari
pihak keluarga, sahabat dan tenaga medis.
2. Rumah sakit atau rumah bersalin perlu meningkatkan pelayanannya untuk
meminimalisasi angka keguguran dewasa ini.
3. Masyarakat perlu lebih terbuka dalam membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan
masalah keguguran.
4. Bidan sebagai tenaga kesehatan yang dekat dengan masyarakat sekitar hendaknya
dapat menjadi sosok yang membantu meringankan duka wanita yang baru mengalami
keguguran.
Daftar Pustaka
Murphy, Sarah. 2000. Keguguran : Apa yang Perlu Diketahui. Jakarta : Ardan
Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
Wiknjosastro, Hanifa dkk. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Wiknjosastro, Hanifa dkk. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Psikologi
Perubahan Psikologi Wanita Keguguran
NAMA kelompok :
1. Selvi zelandari
2. Siska linggasari
3. Sumarni
4. Tika bela sari
5. Tika pramitha
6. Wahyuni adha
7. Wenti novika sari
8. Yesi anggraini
9. Yosena septiana
10. Zone asia alva berty
DINAS KESEHATAN PROVINSI BENGKULU
POLTEKKES PROVINSI BENGKULU
TAHUN AJARAN 2010/2011