Upload
zaeni-ali-rosidin
View
42
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
BAB IX
”TEORI BELAJAR HUMANISTIK”
Disusun oleh:
5201411069 Saian Nur Fajri
5202411006 Desi Dwi Lestari
5302411254 Rony Hendratno
6101411240 Fikri Faila Sufah
7101411253 Koeri Ulinuha
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2012
0
BAB IX
TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengkaji bab ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan dalam:
1. Menjelaskan akar perkembangan pendekatan humanistik
2. Menjelaskan pandangan humanistik dalam belajar
3. Menjelaskan prinsip-prinsip pendekatan humanistik
A. Akar Gerakan Humanistik
Teori belejar dan pendidikan humanistik diawali oleh munculnya
gerakan mahapeserta didik pada tahun 1960an karena mereka tidak
menyukai terhadap proses dan hasil pendidikan di Amerika Serikat yang
telah mereka peroleh. Gerakan yang disampaikan itu merupakan respon
ketidak puasanka amat atas kompetisi, tekanan, kehidupan yang selalu
diawasi, dan ketidak sesuaian apa yang mereka pelajari dengan apa yang
mereka amati ketika belakar disekolah. Gerakan itu dipopulerkan oleh Neill,
Jhon Holt, Jonathan Kozol, dan Paul Goodman. Gerakan itu juga
memunculkan nama-nama gerakan pendidikan baru dengan berbagai
sebutan seperti romantisme, sistem pendidikan alternatif, dan pendidikan
humanistik.
Praktik pendidikan yang dilawan oleh para tokoh gerakan itu adalah
pendidikan di sekolah yang selalu diarahkan oleh pendidik (direct
intruction). Pendidikan yang diarahkan oleh pendidik itu mengutamakan
pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Dalam
pendidikan humanistik, fokus utamanya adalah hasil pendidikan yang
bersifat afektif, belajar tentang cara-cara belajar (learning how to learn), dan
meningkatakan kreativitas dan semua potensi pesetra didik. Praktik
pendidikan humistik berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1960an
dan mencapai puncaknya pada tahun 1990an dengan munculnya tokoh-
tokoh psikologi seperti Abraham Maslow dan Calrs Rogers.
1
Praktik pendidikan humanistik tidak jauh berbeda dengan pendidikan
progresif selama paroh pertama tahun 1900an. Jhon Dewey adalah seorang
pelopor pendidikan progresif yang melawan pendidikan yang tidak relevan
dengan masyarakat industri. Dia melawan orang-orang yang berpegang
teguh pada waktu, menolak gagasan psikologi medern, penggunaan latihan
(drill) sebagai metode pembelajaran, dan beberapa aspek pendidikan yang
tidak memiliki nilaimanfaat dan bersifat dekoratif. Para pendidik humanistik
merupakan penerus dari gagasan Jhon Dewey tersebut. Mereka percaya
bahwa masyarakat perkotaan kontemporer akan menjadi masyarakat yang
tidak peka terhadap lingkungan. Oleh karena itu pendidikan yang
menyajikan bahan belajar spesifik dan diorganisir secara ketat, penggunaan
metode belajar yang sistematis, memotivasi peserta didik, pengolahan kelas,
dan asasmen kemajuan belajar peserta didik yang dilakukan oleh pendidik
(direct-intruction) sebagaimana yang telah berlangsung pada waktu itu akan
mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pesera didik, namun
tidak akan mampu menumbuhkembangkan kepekaan anak (affetive
education), belajar tentang cara-cara belajar, dan meningkatkan kreativitas
dan potensi anak. Para pakar pendekatan humanistik percaya bahwa setiap
individu anak memiliki sifat-sifat kebijakan yang berasal dari dalam dan
bersifat realistik. Demikian pula anak-anak akan berkembang sepanjang
mereka mampu mengembangkannya.
Hasil belajar dalam pandangan humanistik adalah kemampuan peserta
didik mengambil tanggung jawab dalam menentukan apa yang dipelajari
dan menjadi individu yang mampu mengarahkan diri sendiri (self-directing)
dan mandiri (independent). Di samping itu pendekatan humanistik
memandang pentingnya pendekatan pendidikan di bidang kreativitas, minat
terhadap seni, dan hasrat ingin tahu. Oleh karena itu pendekatan humanistik
kurang menekankan pada kurikulum standar, perencanaan pembelajaran,
ujian, sertifikas9i pendidik, dan kewajiban hadir disekolah.
Dalam praktik pembelajaran, pendekatan humanistik
mengkombinasikan metode pembelajaran individual dan kelompokkecil.
Namun pendekatan humanistik mempersyaratkan perubahan status pendidik
2
dari individu yang lebih mengetahui dan terampil segala sesuatu menjadi
individu yang memiliki status kesetaraan dengan peserta didik. Pilihan
materi pembelajaran yang hendak digunakan dalam proses pembelajaran
merupakan hak peserta didik, dan bukan menjadi hak pendidik yang akan
disampaikan kepada pesera didik, atau perancang kurikulum.
Pembelajaranmerupakan wahana bagi peserta didik untuk melakukan
aktulisasi diri, sehingga pendidik harus membangun kecenderungan tersebut
dan mengorganisir kelas agar peserta didik melakukan kontak dengan
peristiwa-peristiwa yang berakna. Apabila kelas tersebut terbangun seperti
harapan tersebut, maka peserta didik akan memiliki keinginan untuk belajar,
ingin tumbuh, berupaya menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri, memiliki harapan untuk menguasainya, dan ingin untuk
menciptakan sesuatu.
Pendekatan humanistik selalu memelihara kebebasan peserta didik
untuk tumbuh dan melindungi pesera didik dari tekanan kelurga dan
masyarakat. Demikian pula hasil belajar yang berkaitan dengan pendidikan
yang bersifat akademik. Oleh karena itu apabila kondisi pendidikan itu
dapat terjadi, maka peserta didik akan menjadi pembelajaran swa arah (self-
directed learners) dan proses belajar akan akan menjadi sangat bermakna
bagi peserta didik.
Penggunaan metode humanistik dalam pendidikan akan memungkinkan
peserta didik menjadi individu beraktualisasi diri (self-actualized person).
Kreativitas individu yang beraktualisasi diri, telah melekat pada setiap anak,
tidamk memerlukan bakat dan kemampuan perkembangan. Kreativitas itu
memerlukan lingkungan yang mendukung perklembangan. Lingkungan itu
harus mendukung individu dalam mengungkapkan sifat-sifat perseptif,
spontan,ekspresif, tidak bersifat pura-pura (genuine), menyenangkan, dan
tidak menakutkan..Lingkungan pendidikan yang bebas itu akan
menghasilkan orang-orang yang mampu mengembangkan sifat-sifat
tersebut. Dengan kata lain lingkungan seperti itu akan menghasilkan peserta
didik seperti individu yang telah memperoleh psikoterapi yang berhasil.
Ragers dan Daymond (Gage dan Berliner, 1994) menyatakan bahwa
3
prosedur terapeutik yang menghasilkan seseorang mampu memandang diri
sendiri secara berbeda, yakni menerima diri sendiri, perasaanya sendiri, dan
orang lain secara penuh. Dia menjadi individu yang mampu mengarahkan
diri sendiri, percaya diri, matang, realistik dalam mencapai tujuan, dan
bersifat fleksibel. Dia menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan
lingkungannnya. Pendidik yang berhasil menciptakan suasana pendidikan
seperti itu akan mampu mendorong peserta didik untuk menampilkan
perilaku yang memili karakteristik tersebut. Namun demikian hasil belajar
dalam pendekatan humanistik itu sukar dispesifikasi dalam bentuk perilaku
dan sukar diukur, sebab pendekatan humanistik kurang menekankan
pengetahuan dan keterampilan, sebaliknya lebih menekankan pada hasil
belajar yang yang lebih bersifat personal.
B. Pandangan Abraham Maslow
Abraham maslow adalah tokoh gerakan psikologi humanistic di
Amerika. Walaupun dia memperoleh pendidikan di kalangan behavioristik,
Maslow mampu mengembangkan pandangan yang komprehensif tentang
perilaku manusia. Kontribusi yang diberikan Maslow adalah motivasi,
aktualisasi diri dan pengalaman puncak yang memiliki dampak terhadap
kegiatan belajar.
Maslow menyampaikan teori motivasi manusia berdasarkan pada
hierarki kebutuhan. Kebutuhan pada tingkat yang paling rendah adalah
kebutuhan fisik (physiological needs), seperti rasa lapar dan haus, dan harus
dipenuhi sebelum individu dapat memenuhi kebutuhan akan rasa aman
(safety needs). Kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan menjadi milik dan
dicintai (sense of belongingness and love), kemudian kebutuhan
penghargaan (esteem needs), yakni merasa bermanfaat dan hidupnya
berharga dan akhirnya kebutuhan aktualisasi diri (self-actialization needs).
Kebutuhan aktualisasi diri itu termanifestasi di dalam keinginan untuk
memenuhi sendiri (self-fulfillment), untuk menjadi diri sendiri sesuai
dengan potensi yang dimiliki.
4
Penelitian Maslow tentang orang-orang terkenal, seperti Lincoln dan
Bethoven, telah mengarahkan perhatiannya dalam mengidentifikasi 15
karakteristik kepribadian dasar bagi orang-orang yang beraktualisasi diri.
Pandangan yang menarik dari Maslow setelah melakukan penelitian itu
adalah bahwa aktualisasi diri hanya mungkin dicapai oleh orang-orang yang
sudah dewasa.
Individu yang beraktualisasi diri menampilkan karakteristik sebagai
berikut:
a. Berorientasi secara realistic
b. Menerima diri sendiri, orang lain, dan dunia alamiah ebagaimana adanya.
c. Bersifat spontan dalam berfikir, beremosi, dan berperilaku.
d. Terpusat pada masalah (problem centered) dan bukan terpusat pada diri
sendiri.
e. Memiliki kebutuhan privasi dan berupaya memperolehnya, jika memiliki
kesempatan, serta memerlukan waktu berkonsentrasi untuk memperoleh
sesuatu yang menarik bagi dirinya.
f. Bersifat otoomi, independen dan mampu mempertahankan kebenaran
ketika menghadapi perlawanan.
g. Kadang-kadang memiliki pengalaman mistik yan tidak berkaitan dengan
pengalaman keagamaan.
h. Merasa sama dengan manusia secara keseluruhan berkenaan bukan saja
dengan keluarga, melainkan juga kesejahteraan dunia secara keseluruhan.
i. Memiliki hubungan dekat dan secara emosional dengan orang-orang
yang dicintai.
j. Memiliki struktur karakter demokratis berkenaan dengan penilaian
individu dan mampu bersahabat bukan didasarkan pada ras, status,
agama.
k. Memiliki etika yang berkembang terus.
l. Memiliki selera humor yang tinggi.
m. Memiliki selera kreativitas yang tinggi.
n. Menolak keseragaman kebudayaan.
5
Dalam pandangan Maslow, tujuan pendidikan adalah aktualisasi diri
atau membantu individu menjadi yang terbaik sehingga mereka mampu
menjadi yang terbaik. Pendidik hendaknya menjadikan kegiatan belajar itu
berasal dari dalam individu, yakni belajar berada pada diri manusia pada
umumnya, dan kedua belajar menjadi manusia tertentu. Proses pendidikan
hendaknya memberikan pengalaman puncak agar terjadi belajar dan
pemahaman. Tujuan pendidikan di semua jenjang hendaknya bersifat
menemukan identitas dan kecakapan. Menemukan identitas diri berarti
menemukan karier diri sendiri.
Maslow disebut sebagai bapak spiritual psikologi humanistik di
amerika juga bertanggungjawab menyampaikan pandangan manusia sebagai
peserta didik aktualisasi diri (self actualizing learner). Pandangan yang sama
(self actualizing learner) juga disampaikan oleh Carl Rogers yang
menyatakan orang yang berfungsi secara penuh (fully functioning person).
C. Pandangan Charl Rogers
Dalam teori sendiri (self).Rogers menyampaikan tiga unsur pokok pada
diri individu, yaitu: (a) Organisme, yakni orang secara penuh (b) Medan
fenomena, yakni totalitas pengalaman, dan (c) Diri sendiri yakni bagian dari
medan yang terdefrensi. Diri sendiri memilki karakteristik tertentu,
mencakup upaya memperoleh konsistensi, dan perubahan sebagai hasil dari
kematangan dan belajar .Rogers menyatakan adanya diri sendiri yang ideal
dan diri sendiri yang nyata dimana orang itu akan berada kesenjangan antara
keduanya dapat menjadi stimulus belajar dan potensi perrilaku yang
memunculkan tekanan tidak sehat.
Dengan memandang terapi dan pendidikan sebagai proses yang
sama ,rogers berupaya menjawab pertanyaan “jika pendidikan itu sempurna
seperti yang di harapkan dalam meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan individu , maka jenis manusia apakah yang muncul ..?
kemudian dia menjawab ,yaitu : orang yang mampu mengalami semua
perasaaanya dan tidak cemas dan perasaaanya; dia berada dalam penyaring
informasi namun terbuka terhadap informasi dari berbagai sumber ; dia
6
terlibat dalam proses menjadi dan menjadi diri sendiri serta menemukan diri
sebagai mahluk sosial ; dia hidup dalam suatu peristiwa yang benar-benar
sempurna namun belajar kehidupan sepanjang hayat. Manusia merupakan
organisme yang berfungsi secara penuh, dan karena kesadaran diri sendiri
yang berlangsung bebas karena melalui pengalamanya , maka dia menjadi
orang yang berfungsi secara penuh.
Rogers mendeskripsikan proses belajar yang terdiri atas dorongan
kearah aktualisasi diri secara penuh . ada kontinum makna yang terdapat di
dalam belajar yang bertentang dari hafalan yang tidak ada artinya dan tidak
bermakna sampai pada belajar eksperiental, bermakna , dan signifikan.
Rogers menggambarkan kualitas belajar eksperintal dalam mengembangkan
individu yang berfungsi secara penuh sebagai berikut:
a. Keterlibatan personal , yakni aspek aspek kognitif dan efektif individu
harus terlibat di dalam peristiwa belajar .
b. Prakarsa diri yakni menemukan kebutuhan yang berasal dari dalam diri
c. Pervasif ,yakni belajar memiliki dampak terhadap perilaku , sikap atau
kepribadian diri
d. evaluasi diri yakni individu dapat mengevaluasi doro jika pengalamanya
memenuhi kebutuhan
e. esensi adalah makna , yakni apabila terjadi belajar eksperiental,
maknanya menjadi terpadu dengan pengalamanya secar total.
Tekanan rogers terhadap belajar yang diprakasai oleh diri sendiri adalah
relevan dengan kebutuhan peserta didik di dalam perencanaan dan evaluasi
belajar merupakan model baru dalam pendidikan. Apabila peserta didik
memiliki kemandirian dan tanggung jawab sendiri, mereka akan mampu
berpartisipasi di dalam menstrusturkan kegiatan belajarnya sendiri.
Kelompok merupakan mekanisme yang dikembangkan oleh rogers
dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan individu. Sebagaimana
dalam terapi yang terpusat pada klien, dimana individu dapat tumbuh
melalui penggantian penahanan diri bersifat artifisial (kepura puraan),
dengan mengenali diri secara nyata , dan kemudian mengalami dan
berinteraksi dengan orang lain , maka kelompok itu dapat memberikan
7
suasana yang membuka tabir kehidupan diri sendiri. Kelompok itu
mendrong anggotanya untuk mengungkapkan pengalaman dan mendorong
anggotanya untuk memilih ,kreativ, menilai, dan aktualisasi diri.
Kelompok adalah bukan hal baru dalam pendidikan. Sejak jaman
kolonial,kelompok itu telah menjadi format belajar pertukaran informasi,
pemecahkan masalah, dan perkembangan personal. Rogers memperkenlakan
pandangannya tantang penggunaan proses kelompok untuk mempelancar
kematangan emosi dan psikologis. Kelompok, yakni kelompok pelatihan
(training Group), dan kelompok kepekaan telah mencapai popularitas pada
akhir tahun 1960 an . rogers menyatajkan bahwa perubahan perilaku yang
terjadi dalam kelompok tidak harus berlangsung lama. Individu mungkin
terlibat secara mendalam di dalam mengungkapkan dirinya sendiri dan
kemudian meninggalkan berbagai masalah yang tidak terselesaikan.
Tekanan marital mungkin muncul,dan komplikasi mungkin berkembang
berkenaan dengan hubungan antar anggota kelompok. Di samping adanya
kelemahan itu, proses kelompok merupakan kekuatan untuk memanusiakan
kembali hubugan manusia dan membantu menghidupkan kehidupan secar
penuh di sini dan sekarang (here and now)
D. Prinsip-Prinsip Belajar HumanistikMenurut Rogers dalam Yuly (2008:1), yang terpenting dalam proses
pembelajaran adalah pentingnya dosen memperhatikan prinsip pendidikan
dan pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar.
Mahasiswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Mahasiswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
3. Pengorganisasian bahan pembelajaran berarti mengorganisasikan bahan
dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi mahasiswa.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang
proses.
8
Menurut pendapat Djiwandono, (2004:183-186) Carl Rogers dalam
bukunya yang sangat populer Freedom to Learn and Freedom to Learn for
the 80’s, menganjurkan pendekatan pendidikan sebaiknya mencoba
membuat belajar dan mengajar lebih manusiawi, lebih personal dan berarti.
Rogers menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik yang
penting, diantaranya ialah:
Keinginan untuk belajar
Seorang anak secara wajar mempunyai keinginan untuk belajar.
Keingintauan anak yang sudah melekat atau sudah menjadi sifatnya
untuk belajar adalah asumsi dasar yang penting untuk pendidikan
humanistik. Dalam kelas anak diberi kebebasan untuk memuaskan
keingintauan mereka, untuk mengikuti minat, menemukan jati diri serta
apa yang penting dan berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka.
Contoh : saat siswa belajar tentang candi Borobudur, dengan buku dan
cerita dosen, mahasiswa akan kesulitan untuk mengetahui gambaran
tentang candi tersebut, dengan adanya media pembelajaran mahasiswa
dapat terpuaskan keingintauannya tentang candi borobudur lebih
menyeluruh.
Belajar secara signifikan
Belajar secara signifikan terjadi ketika belajar dirasakan relevan
terhadap kebutuhan dan tujuan siswa. Menurut pandangan Combs
dalam Soemanto (2003:137), belajar di bagi dua proses yaitu
pemerolehan informasi baru dan menurut selera mahasiswa. Jika
mahasiswa belajar dengan baik dan cepat, humanis menganggap ini
adalah belajar secara signifikan. Contoh : pikiran siswa yang belajar
menggunakan komputer agar mereka bisa menikmati permainan
(game). Siswa akan lebih baik dan cepat dalam belajar mengenai
kehidupan ikan di dalam laut atau kehidupan singa di Afrika dengan
kehadiran media pembelajaran di dalam kelas.
Belajar tanpa ancaman
Belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu
lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika
9
mahasiswa dapat menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman
baru, bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami sakit hati karena
kritik dan celaan. Contoh : bosan dan jenuh merupakan salah satu
ancaman terhadap mahasiswa dalam proses belajar terhadap mata
kuliah yang tidak ‘menarik’ buat mereka, dengan menggunakan media
pembelajaran proses belajar akan bervariasi dan ‘Hidup’ sehingga
bosan dan jenuh bisa diatasi.
Belajar atas inisiatif sendiri
Belajar akan paling signifikan dan meresap ketika belajar itu atas
inisiatifnya sendiri, dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran
si pelajar sendiri. Penguasaan mata pelajaran penting, tapi tidak lebih
penting dari pada kemampuan untuk menemukan sumber, merumuskan
masalah, menguji hipotesis dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif
sendiri juga mengajarkan mahasiswa untuk mandiri dan percaya diri,
mereka akan tergantung pada diri mereka sendiri dan kurang tergantung
pada penilaian orang lain. Contoh : dengan media pembelajaran
mahasiswa diberi kesempatan untuk belajar mandiri, pada tempat dan
waktu serta kecepatan yang ditentukan sendiri (Miarso, 2005: 460).
Belajar dan berubah
Rogers mencatat bahwa mahasiswa pada masa lalu belajar satu set fakta
ilmu statistik dan ide-ide. Dunia menjadi lambat untuk berubah dan apa
yang dipelajari di sekolah cukup untuk memenuhi tuntutan waktu.
Sekarang, perubahan adalah fakta hidup. Pengetahuan berada dalam
keadaan yang terus berubah secara konstan. Belajar seperti waktu yang
lalu tidak cukup lama untuk memungkinkan seseorang akan sukses
dalam dunia modern. Apa yang dibutuhkan sekarang menurut Rogers,
adalah individu yang mampu belajar dalam lingkungan yang berubah.
Contoh : dengan penggunaan media pembelajaran pengetahuan yang
terus menerus berubah dapat dipelajari siswa dengan baik dan cepat.
Penerapan pendidikan humanistik dimaksudkan untuk membentuk
insan manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu insan
manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan dan tanggung jawab
10
sebagai insan manusia individu, namun tidak terangkat dari kebenaran
faktualnya bahwa dirinya hidup ditengah masyarakat. Dengan
demikian, ia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya,
berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi
kesejahteraan masyarakat (Baharuddin,2007:23).
1. Swa Arah (Self-Direction)
Prinsip ini lebih menekankan pada motivasi intrinsik, dorongan
dari dalam untuk bereksplorasi, dan hasrat ingin tahu yang timbul
dari dalam diri sendiri.
Dalam prinsip ini akan menjadi peserta didik yang mampu
mengarahkan belajarnya sendiri, memotivasi diri, dan tidak
menjadi penerima informasi yang bersifat pasif.
Tugas fasilitator di dalam mengarahkan peserta didik menjadi
pembelajar swa-arah adalah sebagai berikut :
Mendorong peserta didik untuk memenuhi kompetensi baru
Membantu memperjelas aspirasinya guna meningkatkan
kompetensinya
Membantu mendiagnosis kesenjangan antara aspirasi dengan
kinerjanya sekarang .
Membantu mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan yang
mereka alami, dan
Melibatkan peserta didik dalam proses merumuskan tujuan belajar
dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik yang telah
didiagnosis.
2. Belajar tentang Cara-Cara belajar (Learning how to learn)
Prinsip kedua dalam pendekatan humanistik adalah bahwa sekolah
hendaknya menghasilkan anak-anak yang secara terus-menerus
menumbuhkan keinginannya untuk belajar dan mengetahui cara-cara
belajar.
11
Keinginan belajar merupakan kondisi motivasional yang
diharapkan oleh peserta didik, kemudian tugas pendidik dan sekolah
adalah membantu peserta didik belajar tentang cara-cara belajar
Tugas fasilitator dalam membantu peserta didik mengetahui cara-
cara belajar adalah :
a. Memotivasi peserta didik mempelajari tugas-tugas belajar yang
telah dirancang bersama
b. Membantu merancang pengalaman belajar, memilih bahan belajar,
dan metode belajar dan melibatkan peserta didik dalam pembuatan
keputusan bersama.
3. Evaluasi Diri (Self-Evaluation)
Evaluasi diri merupakan prasyarat bagi perkembangan kemandirian
peserta didik.
Namun ujian yang mempersyaratkan peserta didik tidak boleh
membuka buku catatan dalam bentuk apapun juga tidak disukai oleh
pendekatan humanistik karena jika tujuan ujian itu digunakan untuk
memberikan balikan atau bimbingan belajar kepada peserta didik maka
buku pelajaran boleh dibuka. Banyak peserta didik melupakan bahan
ajar disekolah bukan karena mereka memiliki memori yang buruk,
melainkan karena mereka merasa tidak percaya diri akan memori yang
mereka miliki .
Peserta didik harus mengambil tanggung jawab untuk memutuskan
kriteria yang penting bagi dirinya sendiri, tujuan belajar yang dicapai,
seberapa jauh mereka telah mencapai tujuan belajar yang ditetapkan
sendiri, semua itu diputuskan oleh peserta didik sendiri. Untuk
mereaalisassikan prinsip evaluasi diri, pendidik dan peserta didik
bertemu secara regular untuk melaksanakan perencanaan belajar dan
kontrak kegiatan belajar
Tugas fasilitator dalam kegiatan evaluasi diri peserta didik:
a. Melibatkan peserta didik dalam mengembangkan kriteria kinerja,
dan metode dalam mengukur kemajuan tujuan belajarnya.
12
b. Membantu mengembangkan dan menerapkan prosedur evaluasi
kemajuan belajar.
4. Pentingnya Perasaan (Important of Feeling)
Dari sudut pandangan pendekatan humanistic, belajar merupakan
kegiatan memperoleh informasi atau pengalaman baru, dan
secarapersonal peserta didik menemukan makna akan informasi atau
pengalaman baru tersebut. Kegagalan peserta didik di sekolah adalah
bukan di sebabkan oleh kurangnya mereka memperoleh informasi atau
pengalaman, melainkan karena sekolah tidak memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan makna personal dan
perasaan mengenai objek, peristiwa, atau pengetahuan. Untuk
merealisasikan pembelajaran yang di arahkan pada pengembangan
domain kognitif dan afektif sekaligus , pakar hmanistik
mengembangkan metode pembelajaran pertemuan kelas untuk
membahas masalah, nilai-nilai, dan perasaan interpersonal. secara
spesifik , pakar humanistic merekomendasikan bahwa pendidikan
dalam melaksanakan pembelajaran hendakanya menekankan nilai-nilai
kerjasama, saling menghormati, dan kejujuran, baik pada waktu
membuat contoh dan pada waktu mendiskusikan serta memperkuat
nilai-nilai yang di pahami peserta didik.
Tugas fasilitator dalam mengembangkan perasaan positif peserta
didik terhadap pembelajaran adalah sebaga berikut :
1. Membantu peserta didik mengunakan pengalamanya sendiri
sebagai sumber belajar dengan mengunakan teknik seperti diskusi,
permainan peran, studi kasus , dan sejenisnya
2. Menyampaikan isi pembelajaran berdasarkan sumber-sumber
belajar yang sesuai dengan tingkat pengalaman peserta didik,
3. Membantu menerapkan hasil belajar ke dalam dunia nyata
(transfer of learning). Hal ini akan membuat belajar lebih
bermakna dan terpadu.
13
5. Bebas dari Ancaman ( Freedom of threat )
Belajar akan lebih mudah, lebih berrmakna, dan lebih di perkuat
apabila belajar itu terjadi dalam suasana yang bebas dari ancaman.
Pendidikan yang berlangsung selama ini di pandang oleh pakar
humanistic sebagai tempat yang tidak menghargai peserta didik,
menjijikan, membuat malu peserta didik , dan memgancam identitas
social peserta didik. Persoalan utamanya adalah peserta didik selalu di
kendalikan dan dievaluasi oleh sekolah dan pendidik, mereka tidak
memiliki pilihan untuk melilih bahan belajar, dan tidak ada kesempatan
untuk memilih kegiatan belajar dengan gaya belajar sendiri. Berbagai
persoalan itu menjadi ancaman pembelajar yang pada giliranya akan
menggangu belajarnya.
Peserta didik yang belum mampu membaca bacaan dengan baik
kemudian di minta membaca dengan suara keras, peserta didik yang
belum mampu mengerjakan soal matematika kemudian di suruh
mengerjakan soal di depan papan tulis, peserta didik yang mengalami
gangguan fisik kemudian di suruh melaksanakan gerakan-gerakan
olahraga secara sempurna, bentuk-bentuk tindakan itu di pandang
sebagai ancaman, pada diri peserta didik. Apabila pendidik
melaksanakan tindakan seperti itu, maka belajar disekolah di pandang
peserta didik sebagai ancaman. Karena peserta didik mengalami
kendala dalam melaksanakan kegiatan belajar. Kegiatan belajar yang di
pandang membebaskan peserta didik dari ancaman adalah
pembelajaran yang di warnai oleh suasana demokratis secara
bertanggung jawab. Dalam kegiatan belajar ini peserta didik dapat
mengungkapkan perasaanya dan kerendahan hatinya. Sebalikanya,
kegiatan belajar yang diwarnai dengan berbagai ancaman, peserta didik
merasa gagal sebelum melaksanakan kegiatan belajar, dan merasa gagal
itu pada akhirnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Dengan kata lain anak yang merasa gagal sebelum
melaksanakan kegiatan belajar tidak menumbuhkan kesehatan mental
karena selalu di hinggapi perasaan gagal sebelum melakukan kegiatan.
14
Tugas fasilitator dalam memciptakan iklim belajar yang bebas dari
ancaman adalah sebagai berikut :
1. Menciptakan kondisi fisik yang menyenangkan, seperti tempat
duduk, ventilasi, lampu dan kondusif untuk terciptanya interaksi
antar peserta didik,
2. Memandang bahwa peserta didik merupakan pribadi yang
bermanfaat, dan menghormati perasaan dan gagasan-gagasanya
3. Membangun hubungan saling membantu antar peserta didik dengan
mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat kooperatif dan
mencegah adanya persaigan dan salaing memberikan penialaian.
15