Upload
zeni-marlina
View
35
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas protan sayur
Citation preview
TINJAUAN EKOLOGIS, EKONOMIS DAN SOSIAL PADA PERTANIAN KONVENSIONAL DAN TERKENDALI
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional dirasakan akan semakin penting dan strategis. Hal tersebut dikarenakan sektor pertanian tidak terlepas dan sejalan dengan arah perubahan dan dinamika lingkup nasional maupun internasional (Departemen Pertanian, 2010).
Dalam satu abad terakhir jumlah penduduk dunia telah meningkat secara eksponensial dan diperkirakan mencapai angka 8,3 miliar menjelang tahun 2025. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan lahan untuk pemukiman dan aktifitas industri meningkat, sehingga memaksa manusia berusaha tani pada lahan yang marginal. Guna memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk dunia yang diproyeksikan terus meningkat ini, produksi rata-rata tanaman serealia harus meningkat setidaknya 80 persen hingga tahun 2025 (Zulkarnaen, 2009).
Di lain pihak, hampir seluruh lahan pertanian di dunia telah menurun secara drastis secara kualitas ekosistem dikarenakan oleh sistem pertanian terdahulu yang disebut dengan sistem pertanian tradisional dan Revolusi Hijau atau sistem pertanian konvensional. Diperlukan suatu strategi pertanian khusus untuk bisa tetap bertahan agraris yakni pertanian berkelanjutan.
Definisi komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi 3 fungsi dasar pembangunan pertanian berkelanjutan. Fungsi tersebut adalah fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan fungsi ekologi. Fungsi tersebut direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian.
Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input). Penggunaan input minimal dalam pendekatan berkelanjutan pada sistem pertanian digunakan dengan alasan bahwa pertanian itu sendiri memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal (Departemen Pertanian, 2010).
Tujuan dari sustainable agriculture adalah peningkatan daur ulang secara alami untuk memaksimalakan input menggunakan bahan-bahan organik. Konsep pertanian berbasis ekologi telah berkembang pesat sejalan meningkatnya taraf hidup dan kesadaran lingkungan. Sistem pertanian ekologis (sustainable agriculture) yang dikembangkan antara lain LISA (low input sustainable agriculture), pertanian ekologis terpadu (integrated ecological farming system), dan pertanian organik (organic farming system) (Zulkarnaen, 2009).
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pertanian berkelanjutan, diperlukan berbedaan fungsi dan contoh dari setiap sistem pertanian, baik sistem pertanian tradisional, maupun sistem pertanian konvensional.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaiaman gambaran 3 fungsi dasar sistem pertanian tradisional, konvensional, dan perkelanjutan ?
2. Bagaimana menganalisis perbedaan sistem pertanian tradisional, konvensional, dan berkelanjutan dalam 3 bidang ekologi, ekonomi dan sosial ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran 3 fungsi dasar sistem pertanian tradisional, konvensional, dan perkelanjutan.
2. Untuk menganalisis perbedaan sistem pertanian tradisional, konvensional, dan berkelanjutan dalam 3 bidang ekologi, ekonomi dan sosial melalui beberapa indikator.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pertanian merupakan basis negara agraris seperti Indonesia. Pertanian merupakan sentral utama penghidupan negara Indonesia. Pertanian tradisional adalah salah satu model pertanian yang masih sangat sederhana dan merupakan perkembangan pertanian yang masih sangat sederhana dengan pola masyarakat yang serba kurang menerima teknologi. Pertanian tradisional merupakan buntut dari pertanian zaman prasejarah yang mulai mengalami peningkatan pola fikir dari sebelumnya huma (ladang berpindah) menjadi pertanian menetap.
Sistem pertanian tradisional adalah sistem pertanian yang masih bersifat ekstensif dan tidak memaksimalkan input yang ada. Sistem pertanian tradisional salah satu contohnya adalah sistem ladang berpindah. Sistem dallang berpindah telah tidak sejalan lagi dengan kebutuhan lahan yang semakin meningkat akibat bertambahnya penduduk.
Sistem pertanian Revolusi Hijau juga dikenal dengan sistem pertanian yang konvensional. Program Revolusi hijau diusahakan melalui pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas baru yang melampaui daerah adaptasi dari varietas yang ada. Varietas tanaman yang dihasilkan adalah yang responsive terhadap pengairan dan pemupukan, adaptasi geografis yang luas, dan resisten terhadap hama dan penyakit. Gerakan ini diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi diFilipina (1960). Revolusi hijau menekankan pada tanaman serelia seperti padi, jagung, gandum, dan lain-lain.
Gagasan tersebut telah merubah wajah pertanian dunia, tak terkecuali wajah pertanian Indonesia. Perubahan yang nyata adalah bergesernya praktik budidaya tanaman dari praktik budidaya secara tradisional menjadi praktik budidaya yang modern dan semi-modern yang dicirikan dengan maraknya pemakaian input dan intensifnya eksploitasi lahan. Hal tersebut merupakan konsekwensi dari penanaman varietas unggul yang responsif terhadap pemupukan dan resisten terhadap penggunaan pestisida dan herbisida. Berubahnya wajah pertanian ini ternyata diikuti oleh berubahnya wajah lahan pertanian kita yang makin hari makin menjadi kritis sebagai dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik, pestisida, dan herbisida serta tindakan agronomi yang intensif dalam jangka panjang (Departemen Pertanian, 2010).
Data Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan tahun 1993 menunjukkan bahwa luas lahan bermasalah sudah mencapai sekitar 18,4 juta ha dengan rincian 7,5 juta ha
potensial kritis; 6,0 juta semikritis; 4,9 juta ha kritis. Bila diasumsikan, laju penggundulan hutan sekitar 2-3 juta ha pertahun dan ditambah dengan lahan bekas tambang maka luas lahan kritis di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 30-40 juta hektar (Zulkarnaen, 2009).
Keadaan tersebut akan semakin parah karena adanya konversi lahan ke nonpertanian, pengrusakan hutan yang mencapai 25 ha permenit atau 2 juta ha per tahun. Selain itu, pemakaian berbagai senyawa xenobiotika seperti pestisida dan fungisida berlangsung secara intensif dalam merusak lingkungan antara 300.000 – 600.000 hektar per tahun. Penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan juga menyebabkan lahan menjadi kritis. Berdasarkan hasil kajian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, sebagian lahan pertanian di Indonesia memiliki kandungan C-organik kurang dari 1%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa anorganik dengan dosis berapa pun tidak akan meningkatkan produksi (Zulkarnaen, 2009).
Adanya dinamika tersebut menyebabkan munculnya ide untuk mengembangkan suatu sistem pertanian yang dapat bertahan hingga generasi berikutnya dan tidak merusak alam. Dalam dalam dua dekade terakhir telah mulai diupayakan metode alternatif dalam melakukan praktik pertanian yang dinilai berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (environtmentally sound and sustainable agriculture). Salah satu caranya adalah menggunakan konsep pertanian berkelanjutan (Departemen Pertanian, 2010).
Pertanian berkelanjutan atau pembangunan pertanian berkelanjutan pertama kali menjadi pembicaraan dunia pada tahun 1987, tahun 1992 diterima sebagai agenda politik oleh semua negara di dunia sebagaimana dikemukakan dalam Agenda 21, Rio de Jeneiro. Dalam pertemuan tersebut ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangka panjang dapat dilakukan bila dikaitkan dengan masalah perlindungan lingkungan. Pertemuan Johanesberg, Afrika Selatan (2-4 September 2002) yang merupakan pertemuan puncak Pembangunan Berkelanjutan (”World Summit On Sustainable Development”) menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan pandangan dan penanganan jangka panjang dengan partisipasi penuh semua pihak. Secara jelas dinyatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Di bidang pertanian diterapkan dengan pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan atau berwawasan lingkungan, yang dalam pelaksanaannya sudah termasuk aspek pertanian organik.
III. METODE PENULISAN
3.1. Lokasi
Data dan informasi dalam makalah ini diperoleh melalui penelusuran di internet dan studi pustaka. Akses internet dan studi pustaka dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Jember dan Perpustakaan Pusat Universitas Jember
3.2 Waktu
Karya tulis ilmiah ini disusun mulai 15 sampai 18 September 2012 untuk diajukan tugas mata kuliah Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan.
3.3 Metode Penulisan
Karya tulis ilmiah ini disusun dari data dan informasi yang akurat, terutama yang berkaitan dengan konsep pertanian baik tradisional, konvensional maupun berkelanjuutan dilihat dari 3 bidang kajian yakni ekologi dan ekonomi serta sosial dari beberapa indikator yang ada dan dicermati.
IV. PEMBAHASAN
4.1 Tiga Fungsi Dasar Sistem Pertanian
4.1.1 Pertanian Tradisional
A. Fungsi Ekologi
1. Pengolahan Tanah: Bercocok tanam pada pertanian tradisional dilakukan pada lahan tegalan atau sawah tadah hujan. Pengolahan tanah sangat sederhana. Pengolahan tanah dilakukan dengan cangkul dan alat pertanian lain yang sederhana. Setelah diolah tanah diberi pupuk dari jerami yang dibakar ditempat.Bila dibutuhkan pengairan, pengairan didapat dari aliran sungai yang dialirkan ke sawah atau dari tadah hujan (Depdikbud, 1989).
2. Pemeliharaan Tanaman: Dalam bercocok tanam disawah, pekerjaan memelihara tanaman merupakan pekerjaan yang paling ringan karena petani jarang ke sawah. Gangguan gulma yang ada diselesaikan dengan cara penyiangan. Untuk tanaman palawija, jagung, kacang, tomat, tembakau, dan lain sebagainya memiliki cara pemeliharaan yang bervariasi. Secara umum petani menggemburkan tanah dengan cangkul sehingga gulma yang ada menjadi tertimbun tanah yang digemburkan dan mati (Depdikbud, 1989).
B. Fungsi Ekonomi:
1. Pemanenan dan Pendistribusian Hasil Panen: Pada pertanian konvensional, petani menjual hasil panen secara langsung ke pasar atau kepada tengkulak. Lingkup cakupan ekonomi masih terbilang kecil sehingga meminimalisir adanya kegiatan monopoli. Petani yang menjual hasil panennya kepada tengkulak, tengkulak tidak membayar secara langsung atau lunas, akan tetapi ada bagian kekurangannya dan pelunasannya sesuai dengan perjanjian bersama (Depdikbud, 1989).
C. Fungsi Sosial:
1. Sistem Kepercayaan dan Agama: Pada pertanian tradisional, pada umumnya petani masih percaya dengan adanya Dewi Sri. Diantara para petani sehabis menanampadi salalu diadakan penghormatan pada Dewi Sri. Penghormatan ini dilakukan dalam bentuk sesaji. Proses penghormatan dengan sesaji ini hanya memberi sesaji pada ujung-ujung sawah. Sesaji dapat berupa tanaman palawija, bunga, atau jenang (Depdikbud, 1989).
2. Pengaruh Keluarga: Pada petani tradisional, pengaruh keluarga sangat besar. Hal tersebut dikarenakan berbagai macam usaha tani dilakukan dengan keluarga sehingga berbagai pekerjaan dibagi antara keluarga. Petani melakukan praktek kegiatan pertanian secara turun temurun, sehingga ilmu yang didapat berasal dari orang tua atau leluhurnya (Soetriono, 2006).
3. Lembaga Pertanian: Pada pertanian tradisional, lembaga pertanian jarang ditemukan. Hal tersebut berimplikasi pada keputusan mengenai hal pertanian masih dilakukan secara perorangan. Meskipun begitu, anggota masyarakat selalu hidup bergotong royong, oleh karena itu, para petani enggan berbuat hal yang merusak kebersamaan mereka. Petani selalu memerlukan pesertujuan masyarakat di mana ia hidup. Kepercayaan masyarakat terhadap nilai dan tradisi diketahui dan dihormati (Soetriono, 2006).
4.1.2 Pertanian Konvensional
A. Fungsi Ekologi
1. Metode Aplikasi Pestisida: Didalam teknik budidaya tanaman konvensional, penggunaan pestisida menjadi kunci utama dalam memberantas hama. Pada pertanian konvensional di Indonesia sendiri, penggunaan pestisida sangat dianjurkan. Hal tersebut terbukti dari adanya peraturan Pemerintah No. 7/1973 mengenai definisi pestisida dan fungsinya. Pestisida pada pertanian konvensional umumnya adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan OPT. Pertaian konvensional telah memahami mengenai bahaya konvensional bagi konsumen, pengguna, dan bagi lingkungan (Djojosumarto, 2000).
Metode aplikasi pestisida dalam pertaian di Indonesia secara umum dilakukan dengan cara spraying (penyemprotan), fogging (pengapasan), dusting (pengehembusan), perawatan benih, dipping (pencelupan), fumigation, Injection (suntikan), dan drenching (penyiraman). Dari cara-cara tersebut, petani konvensional Indonesia sering menggunakan teknik spraying. Diperkirakan, 75% penggunaan pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan dari udara. Bentuk formulasi pestisida yang diaplikasikan dengancara disemprotkan meliputi WP, EC, EW, WSC, SP, FW, WDG (Djojosumarto, 2000).
Pada pertaian konvensional di Indonesia, penggunaan pestisida telah mengalami beberapa kejadian yang merugikan, diantaranya adalah meningkatnya serangan hama tertentu setelah pengaplikasian insektisida pada padi. Selain itu, munculnya ledakan hama sekunder berupa hama ganjur sesudah penyemprotan intensif dengan fosfamidon untuk mengendalikan hama penggerek padi di daerah pantai Utara jawa Barat pada tahun 1960/1970 (Djojosumarto, 2000).
3. Praktek Penebangan Hutan: Pertanian konvensional mulai dikenal di Indonesia ketika VOC menguasai nusantara. Orang Belanda mengusahakan perkebunan sendiri dengan memilih tanah-tanah yang paling baik bagi perkebunannya. Cara untuk mendapatkan tanah yang baik adalah menggunakan cara penggundulan hutan dan menjadikan hutan untuk pertanian konvensional monokultur seperti teh, tembakau,coklat, dan kopi. Akibat dari hal ini adalah rusaknya kesetabilan alam dan lingkungan secara ekologi (Kartasapoetra et. al., 1985).
4. Praktek Ladang Berpindah: Pada zaman kolonial, masyarakat pribumi sering menggunakan praktek ladang berpindah. Praktek tersebut sering dilakukan didaerah luar Jawa. Para petani kecil membuka lahan dengan membakar hutan. Tanah baru tersebut ditananami padi huma, ubi kayu, dan beberapa tanaman pangan lain. Setelah 2 atau 3 kali panen, produktiifita lahan menurun, sehingga mereka berpindah ke hutan lain untuk melakukan praktek yang sama. Tanah atau lahan yang ditinggalkan itu dibiarkan begitu saja sehingga dikuasai oleh tanaman Imperata cylindrica atau alang-alang. Cara ladang tersebut secarajelasdapat menimbulkan kerusakan tanah (Kartasapoetra et. al., 1985).
5. Pencegahan Erosi Secara Kimiawi: Yang dimaksud pencegahan erosi secara kimiawi adalah menggunakan pemanfaatan soil conditioner, atau bahan pemantap tanah dalam hal memperbaiki struktur tanah sehingga tanah akan menjaditetap resisten terhadap erosi. Menurut M. De Boodth dalam Use on Soil ConditionersbAround The World, (1975), pemantapan tanah dengan bahan pemantap ialah pembentukan struktur tanah dengan pori atau ruang udara di dalam tanah di antara agregat yang sekaligus mencapai kestabilan menggunakan bahan buatan (Kartasapoetra et. al., 1985).
Salah satu bahan pemantap tanah secara buatan adalah menggunakan emulis bitumen. Emulsi bitumen merupakan bahan pemantap tanah berbentuk cairan. Beberapa bahan pemantap tanah lainnya yang berupa cairan adalah polyurethane, polyacrylamide, polyacrylacid, dan lain-lain. Salah satu cara pengaplikasiannya adalah dengan pemakaian di permukaan tanah (surface application). Cara tersebut adalah cara dimana larutan atau emulsi zat kimia pemantap tanah dilakukan dengan cara disemprotakan ke permukaan tanah (Kartasapoetra et. al., 1985).
6. Penggunaan Teknologi: Sejalan dengan kemajuan teknologi, pertanian konvensional telah merubah wajah pertanian tradisional. Pada tahun 1960-1970, petani talah diperkenalkan dengan Panca Usaha Tani. Secara umum, dengan adanya Panca Usaha Tani, pengolahan sawah dan lahan pertanian terlihat lebih sistematis dan menggunakan teknologi bermesin (Depdikbud, 1989).
B. Fungsi Ekonomi
1. Pertanian Masal: Ketika Indonesia menggunakan sistem pertanian konvensional, pada tahun1965 terjadi kemrosotan harga karet dunia. Dikarenakan Indonesia tidak mendiversifikasi jenis tanaman yang dibudidayakan, akibatnya Indonesia tidak mampu menangani pasar dan perusahaan karet dan petani karet mengalami kerugian (Kartasapoetra et. al., 1985).
C. Fungsi Sosial
1. Organisasi Penyuluh Pertanian: Pada masa pertanian konvensional sedang marak terjadi, di Indonesia terjadi berbagai terobosan baru yang dilakukan, diantaranya adalh adanya organisasi penyuluh pertanian. Organisasi tersebut bersistem piramida dengan dasar yangluas di tingkat desa. Hal tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Tanggal 29 Januari 1961 No. Per. 72/1/30 (IPB, 2002).
2. Program BIMAS: Pertanian konvensional dikenal juga dengan pertanian massal. Disebut pertanian massal karena pertanian konvensional secara fungsi sosial menggunakan banyak elemen masyarakat untuk suksesinya. Program BIMAS diawali dengan kegiatan Demonstrasi Masal oleh IPB di Karawang pada 1964/65-1965/1966, sejak 1966 pemerintah menetapkan kebi-jakan Bimbingan Masal (BIMAS). Dalam organisasi BIMAS tersebut Perguruan Tinggi terlibat secara aktif, meskipun keberadaan mahasiswa sebagai tenaga penyuluh bersifat sementara (selama satu musim). Program BIMAS yang terkenal adalah KUD atau Koperasi Unit Desa, Lembaga Kredit (BRI Unit Desa), PPL atau Penyuluh Pertanian Lapang, sistem kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU) atau Training and Visit (TV). Ada kejelasan tugas penyuluh pertanian (PPL, PPM, dan PPS) sebagai tenaga fungsional yang hanya dibebani tugas penyuluhan dan dibebaskan dari tugas-tugas sampiran yang semestinya menjadi beban tugas aparat struktural. Dengan adanya program BIMAS, secara tidak langsung
meningkatkan kualitas SDM Indonesia untuk terlatih dan meningkatkan interaksi sosial antar masyarakat petani dan masyarakat sipil (IPB, 2002).
4.1.3 Pertanian Berkelanjutan
A. Fungsi Ekologi
1. Pengendalian Hama Alami: Pada pertanian berkelanjutan, salah satu cara untuk mengendalikan hama adalah dengan cara metode mengimpor musuh alami hama tertentu. Metode ini dikenal sekitar 1 abad laludi California. Di sana serangga bersisik (Icerya purchasi) dibasmi mengggunakan serangga jenis kumbang (Rodolia cardinalis). Kumbang Rodolia cardinalistelah berhasil memberantas hama serangga bersisik di berbagai belaahan dunia (Espig, 1988).
Selain itu, contoh pengendalian hama menggunakan pemangsa alami juga terjadi pada kumbang badak atau dikenal dengan Oryctes rhonoceros. Kumbang badak diberantas dengan virus yang bersifat patogen (Espig, 1988).
2. Pestisida Alami: Pestisida alami sangat penting bagi pertanian berkelanjutan. Pestisida alami mengandung senyawa kimia alami yang dapat mengusir hama tanaman budidaya. Contohnya adalah: ekstrak biji daun nimba (Azadirachta indica); ekstrak biji bunga krisan (Chrysanthemum cinerariifolium) efektif mengendalikan semut, aphid, ulat, dan kutu daun; ekstrak biji bawang putih (Allium sativum) efektif mengendalikan serangan aphid, ekstrak daun paitan (Tithonia diversifolia) efektif mengendalikan serangan rayap, bakteri Bacillus thuringiensis efektif mengendalikan ulat Plutella xylostella dan Crocidolomia binotalis; cendawan Trichoderma sp. dapat menekan serangan Fusarium sp. Rhizoctonia sp., dan Phythium sp. terhadap tanaman hortikultura (Zulkarnaen, 2009).
3. Agroforestri: Pada pertanian berkelanjutan, salah satu pola tanam yang digunakan adalah menggunakan pola tanam berbasis agroforestri. Pola tanam ini secara umum adalah pola tanam yang memadukan integrasi pohon hutan dengan ladang. Fungsi ekologi pohon hutan dapat memberi manfaat berupa pengangkutan unsur hara, penambatan nitrogen, kenaikan bahan organik tanah, perbaikan strutuktur tanah, dan pengendalian erosi. Pohon dapat mengembangkan sistem perakaran yang jauh lebih dalam dari tanaman musiman, sehingga pohon dapat menyerap unsur hara yang tidak diserap oleh tanaman budidaya. Unsur hara yang didapat oleh pohon hutan dibawa kembali kedalam daur biologi kedalam kayu pohon, daun, serta buah pohon. Salah satu pohon yang memiliki biomasa terbesar adalah lamtoro. Penaman pohon lamtoro dalam sistem agroforestri dapat memberikan dampak positif bagi sistem pertanian berkelanjutan (Espig, 1988).
4. Skema Suksesi: Pada pertanian berkelanjutan, salah satu pola bertanamnya adalah meniru suksesi hutan. Metode suksesi biasanya dilakukan pada lahan yang keanekaragamanhayatinya kurang. Konsepnya adalah petani menanam suatu tanaman, kemudian tanaman tersebut tidak dipanen secara total dan membiarkan tanaman budidaya di tumbuhi ilalang dan semak belukar. Dengan adanya metode suksesi, keanekaragaman hayati akan bertambah, sehingga konsep keberlanjutan akan dapat diwujudkan (Sutejo, 1987).
5. Keanekaragaman Tanaman: Ciri umum dari pertanian berkelanjutan adalah keanekaragaman tanaman. Bahkan sistem yang berorientasi pasar pun akan menghasilkan beberapa produk. Salah satu sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pasar adalah
sistem pertanian drip di Meksiko. Dalam banyak hal, mencampurkan tanaman akan meningkatkan pertumbuhan, bukan menghalanginya. Penggunaan kacang-kacangan sebagai tanaman sela akan meningkatkan kesuburan tanah. Di Tomo Acu misalnya, petani menggunakan pohon pengikat nitrogen sebagai pengganti tiang untuk tanaman merica yang merambat.Dengan berbagai jenis tanaman yang ditanam, hal ini akan menghindari kekurangan pangan karena beragamnya tanaman yang akan dipanen (Sutejo, 1987).
6. Rotasi Tanaman: Salah satu metode pertanian berkelanjutan adalah menerapkan sistem rotasi tanam. Rotasi tanam dapat meningkatkan kandungan bahan mineral tanah. Rotasi tanam yang disarankan adalah Rhizobium, Phaseolus sp, dan lain lain. Hal tersebut karena kedua jenis tanaman tersebut dapat menimbun N (Sutejo, 1987).
7. Sistem Pengolahan Minimal: Pertanian berkelanjutan juga menggunakan metode sistem pengolahan minimal. Pada tanah yang memiliki top soil tipis, atau pada tanah yang kemiringannya curam, sebisa mungkin mengolah tanah secara minimal untuk pengembalian atau peningkatan unsur hara (Sutejo, 1987).
8. Daur Ulang Zat Hara: Daur ulang zat hara didaerah tropika berlangsung cepat dan efisien. Kebanyakan hara terikat pada vegetasi hidup. Ketika vegetasi hidup itu mati, zat hara akan di urai oleh mikroba dan zathara tersebut dapat digunakan oleh tanamanan. Pada konsep pertanian berkelanjutan, hara di lahan pertanian lebih banyak karena terdapat pola daur ulang hara dari tumbuhan yang telah mati lalu dibiarkan. Dengan hara yang lebih banyak, lahan dapat ditanami secara lebih intensif tanpa merusak kesuburan lahan pertanian (Gradwohl dan Greenberg, 1991).
9. Pengembalian Sisa Tanam: Salah satu metode pertanian berkelanjutan adalah pengembalian sisa tanaman. Pengembalian sisa-sisa tanaman dari musim panen pada tanah sedapat mungkin harus dilakukan. Dengan teknik pengembalian sisa tanaman pada tanah, sisa tanaman akakn cepat terombak melalui penguraianoleh jasad renik sehingga akan menjadi bahan organik tanah. Adanya bahan organik tanah akan meningkatkan kualitas tanah, sehingga tanaman budidaya akan tumbuh lebih baik (Sutejo, 1987).
10. Penggunaan Pupuk Organik: Pupuk oraganik selalu digunakan pada sistem pertanian berkelanjutan. Pupuk organik berasal dari serasah tumbuhan atau sisa hewan yang telah mati. Pupuk organik harus memiliki beberapa persyaratan yaitu: N harus mudah diserap oleh tanaman dalam bentuk organik, pupuk tidak meninggalkan asam organik dalam tanah, Pupuk sebaiknyamemiliki kandungan C yang tinggi seperti hidrat arang. Pupuk organik memiliki peran penting untuk menggemburkan lapisan top soil. Pupuk organik dapat meningkatkan pertumbuhan jasad renik yang baik untuk kesuburan tanah. Walaupun demikian, pupuk organik tidak bis diandalkan karenakandungan mineralnya sedikit (Sutejo, 1987).
11. Menggunakan Pupuk Hijau: Pupuk hijau diperlukan dalam sistem pertanian berkelanjutan. Pupuk hijau didapat dengan menggunakan famili leguminosa. Tanaman dari famili leguminosa digunakan karena banyak mengandung N. Adanya N akan mendorong zat renik untuk menguraikannya. Dalam hidupnya, zat renik membutuhkan N untuk hidup. Kandungan N yang tinggi (perbandingan C/N besar) melebihi tersedianya N yang diperlukan jasad renik, kelebihannya ini dimanfaatkan tanaman bagi peningkatan pertumbuhan dan perkembangannya (Sutejo, 1987).
12. Penggunaan Bioteknologi Tanah: Pada pertanian berkelajutan, penggunaan biologi tanah cukup menjanjikan. Dengan menggunakan bioteknolgi tanah, penggunaan pupuk buatan akan dapat dikurangi juga meningkatkan efisiensi input (Zulkarnaen, 2009). Contoh bioteknologi tanah adalah:
1. Legin dan Rhizogin: Penggunaan Legin dan Rhizogin yang mampu mengurangi penggunaan pupuk Urea sebesar 50-75%
2. Azolla: Penggunaan Azolla padapadi sawah dapat menghemat pemakaian Urea hingga50%
3. Azotobacter:Inokulassibakteri Azotobacter pada area pertanian biji-bijian mampu menekan penggunaan urea antara 60-70 kg ha-1.
4. Azoxpirilium. Dengan inokulasi bakteri Azosprilium pemakaian urea dapat dihemat antara 50-100 kg ha-1.
5. Ganggang Biru-hijau: Penggunaannya akan menghemat 100 kg ha-1 urea.6. Mikoriza: Mikoriza dapat melarutkan fosfat, sehingga dapat menekan penggunaan
pupuk TSP antara 70-90%.
13. Metode Konsevasi Tanah: Pada pertanian berkelanjutan, fungsi ekologi sangat diperhatikan. Salah satunya dengan cara menjaga kesuburan tanah. Dalam konsep pertanian berkelanjutan dalam hal konservasi tanah, dikenal sebuah istilah yaiutu using for immediate needs and saving for future use yang artinya adalah bahwa dalam mengelola dan pengelolaan tanah, dibutuhkan perhatian mengenai kebutuhan yang segera (sekarang) serta manfaatnya yang akan datang bagi generasi penerusnya (Kartasapoetra et. al., 1985). Cara pengkonversian tanah yang bisa dilakukan dalam sistem pertanian yang berkelanjutan adalah:
1. Berdaya upaya agar permukaan tanah tetap tertutupi tanaman pelindung, sehingga kandungan organiknya dapat dipertahankan.
2. Pembuatan sengkedan yang mengikuti kontur tanah agar tidak terjadi erosi.3. Segala tindakan atau perlakuan dalam melakukan pengolahan tanah seperti
membajak, menggaru, menyimpan bedengan pembibitan, dan lain-lain harus sejajar dengan garis kontur tanah agar tidak terjadi erosi.
14. Metode Konservasi Air: Metode konservasi air dapat dilakukan dengan sistem pengaturan jadwal irigasi, atau dengan cara yang lebih mudah yaitu mengembangkan tanaman rerumputan yangg tidak mengganggu di sela-sela tanaman budidaya yang dapat berfungsi ganda yang dapat mencegah erosi serta menjadi makanan ternak (Kartasapoetra et. al., 1985).
Salah satu tanaman rumput yang digunakan adalah Cynodon dactylon (bermuda grass), Pennisctum clanddestium (kikuyu grass), dan Pueraria phaseolides (Tropical kudzu). Penggunaan tanaman rumput diatas sangat beralasan karena tanaman rumput tersebut dapat tumbuh dengan cepat sehingga dalam waktu pendek tanah dapat tertutup pleh rumput tersebut. Rumput tersebut secara sistematis berfungsi sebagai pelindung permukaan tanah dari tumbukan butir-butir air hujan dan memperlabat aliran permukaan, sedangkan bagian akar rumput dapat memperkuat resistensi tanah dan membantu melancarkan infiltrasi air kedalam tanah (Kartasapoetra et. al., 1985).
B. Fungsi Sosial
Pertanian berkelanjutan hadir sebagai salah satu jalan pemutus mata rantai kemiskinan utamanya yang ada di pedesaan. Stabilitas produksi yang terus meningkat dengan harga bahan hasil panen pertanian organik yang tinggi mulai menjajikan input bagi pedesaan miskin. Selain itu, pertanian berkelanjutan juga berkorelasi positif dengan peningkatan kesehatan masyarakat. Hal ini karena produk pertanian yang dihasilkan memiliki sertifikasi aman dimakan, baik dalam jangka waktu yang berkepanjangan, dan bebas pestisida, serta persenyawaan sintetis lainnya.
Pertanian berkelanjutan juga telah berisi campur tangan pemerintah dan para ahli lingkungan pertanian yang mulai tersadar untuk hidup optimal, baik optimal secara ekonomi ataupun optimal dalam menjaga lingkungan agar terus bisa hidup. Selain itu sumber daya manusia yang digunakan sudah lebih dewasa, lebih terbuka sehingga lebih mengerti benar tentang alam dan bagaimana merawatnya tanpa harus mengabaikan aktivitas ekonomi usaha tani yang berorientasi profit. Pengetahuan didapatkan secara formal mauopun nonformal dari sharing para penuluh lapang.
C. Fungsi Ekonomi
Pendapatan aktual yang dituai memang lebih rendah ketimbang sistem pertanian yang lain hanya sajahal ini akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju perbaikan kualitas lahan-lahan. Sistem permodalan yang digunakan harus bersumber dari dana pribadi, ataupun pinjaman dari bank-bank negeri, koperasi pemerintahan ataupun lembaga penyedia jasa kredit resmi lainnya. Hal ini untuk menghindari terselenggaranya praktek pembungaan pinjaman yang salah. Selain itu diharapkan petani berkontribusi aktif mengikuti asuransi sehingga ketika hasil yang dituai belum maksimal masih tersedia uang untuk tetap betahan hidup. Daya saing ekonomis produk konvensional lebih tinggi. Hal ini karena orientasi pasar yang dituju pertama kali adalah konsumen tingkat atas yang mapan dalam hal membeli. Hasil panenan akan lebih terjual mahal seiring dengan laju kesadaran masyarakat akan pentingnya pangan organik sebagai salah satu produk dari pertanian berkelanjutan.
V.KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Adapun dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Fungsi dasar sistem pertanian tradisional, konvensional, dan perkelanjutan meliputi fungsi ekonomi, ekologi dan sosial.
2. Setelah dianalisis sistem pertanian tradisional lebih dekat dengan masyarakat, ramah lingkungan, namun ekonomi menengah kebawah, pertanian konvensional berprofit tinggi dan aktual, mulai melemah sosialnya dan buruk secara ekologi dan untuk pertanian berkelanjutan sangat ramah lingkungan, hidup ditengan kultur masyarakat modern dan berprofit.
5.2 Saran
Pemerintah, ilmuan dan masyarakat luas sudah seharusnya beralih dari pertanian konvensional kearah pertanian berkelanjutan yang jauh lebih baik dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia dan kelestarian alam.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1989. Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya di Daerah Isitimewa Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud Press.
Djojosumarto P. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Elpig Gustaf. 1988. Ekologi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Grandwohl Judith dan Greenberg Russel. 1991. Menyelamatkan Hutan Tropika. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
IPB. 2002. Tahun 1963 Perguruan Tinggi Menjawab Tantangan Masalah Pangan. Bogor : IPB Press.
Kartasapoetra A.G dkk.. 1985. Teknologi Konesrvasi Tanah dan Air. Jakarta: Rineka Cipta.
Soetriono dkk. 2006. Pengantar Ilmu Pertanian. Jakarta : Bayumedia.
Sutejo Mul Mulyani. 1987. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta : Rineka Cipta.
Tim Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman. 2000. Kebijakan Perlindungan Tanaman Hortikultura Dengan Orientasi Pasar Global. Jakarta : Departemen Pertanian
Zulkarnaen. 2009. Dasar-Dasar Hortikultura. Jakarta : Bumi aksara.