29
BAB I PENDAHULUAN Avian Influenza merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A, termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus Influenza tipe A adalah suatu virus RNA beruntai tunggal yang mempunyai envelope dengan delapan segmen, berpolaritas negatif dan berbentuk bulat atau filamen dengan diameter 50 – 120 nm x 200 – 300 nm. Virus Influenza tipe A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda dan kadang-kadang pada mamalia seperti cerpelai dan ikan paus. Virus ini dibedakan menjadi beberapa subtipe berdasarkan protein antigen yang melapisi permukaan virus yaitu Haemaglutinin (HA) dan Neuraminidase NA) sehingga penamaan subtipe berdasarkan HA dan NA yaitu HxNx, sebagai contoh H5N1,H9N2 dan lain-lain. 1 Menurut patogenitasnya dapat dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Penularan virus Avian Influenza telah terjadi di benua Amerika, Eropa, Afrika dan Asia. Wabah Avian Influenza ini menyebabkan angka kematian yang tinggi pada unggas peliharaan dan juga telah dilaporkan adanya kasus kematian pada manusia yang disebabkan oleh virus Avian Influenza subtipe H5N1. Untuk mengantisipasi kondisi seperti ini, perlu adanya suatu usaha pencegahan terhadap penyebaran Avian Influenza. Diagnosa laboratorium berperan penting terhadap keberhasilan program pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Avian Influenza. 1 1

Makalah Seminar Diagnosis H5N1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah Seminar Umum II

Citation preview

Page 1: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

BAB I

PENDAHULUAN

Avian Influenza merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Influenza

tipe A, termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus Influenza tipe A adalah suatu virus

RNA beruntai tunggal yang mempunyai envelope dengan delapan segmen, berpolaritas

negatif dan berbentuk bulat atau filamen dengan diameter 50 – 120 nm x 200 – 300 nm.

Virus Influenza tipe A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda dan kadang-

kadang pada mamalia seperti cerpelai dan ikan paus. Virus ini dibedakan menjadi

beberapa subtipe berdasarkan protein antigen yang melapisi permukaan virus yaitu

Haemaglutinin (HA) dan Neuraminidase NA) sehingga penamaan subtipe berdasarkan

HA dan NA yaitu HxNx, sebagai contoh H5N1,H9N2 dan lain-lain.1

Menurut patogenitasnya dapat dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu Highly

Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI).

Penularan virus Avian Influenza telah terjadi di benua Amerika, Eropa, Afrika dan Asia.

Wabah Avian Influenza ini menyebabkan angka kematian yang tinggi pada unggas

peliharaan dan juga telah dilaporkan adanya kasus kematian pada manusia yang

disebabkan oleh virus Avian Influenza subtipe H5N1. Untuk mengantisipasi kondisi

seperti ini, perlu adanya suatu usaha pencegahan terhadap penyebaran Avian Influenza.

Diagnosa laboratorium berperan penting terhadap keberhasilan program pencegahan,

pengendalian dan pemberantasan Avian Influenza.1

Hingga saat ini terdapat dua macam metode diagnostik untuk mendeteksi virus

Avian Influenza yaitu metode konvensional dan metode molekuler. Metode

konvensional biasanya digunakan untuk diagnosis awal infeksi virus Avian Influenza.

Metode konvensional biasanya membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya. Oleh

karena itu, sekarang telah dikembangkan metode molekuler yang lebih efektif

dibandingkan metode konvensional. Berdasarkan teknik diagnostik yang ada, pada

prinsipnya diagnosis virus Avian Influenza dilakukan dengan uji serologi, isolasi dan

identifikasi virus serta uji patogenitas.2

1

Page 2: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Virus Influenza

Virus influenza beredar sangat luas di seluruh dunia dan mengakibatkan

terjadinya epidemi penyakit saluran napas pada manusia setiap tahun. Virus influenza

juga menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas dengan implikasi sosial ekonomi

yang besar di seluruh dunia. Pada epidemi antara tahun 1975-1976 dan antara tahun

1989-1990 diperkirakan sebanyak 6.200-29.600 orang meninggal dunia akibat

penyakit influenza. Selama periode tahun 1976-1999 tingkat kematian tahunan akibat

pneumonia dan influenza di Amerika Serikat sebanyak 8.097 orang. Sekitar 90%

kematian yang disebabkan influenza terjadi pada orang yang berumur 65 tahun atau

lebih. Selain itu, tingkat kematian yang tinggi juga ditemukan pada anak yang berumur

kurang dari 1 tahun.3,4

Virus influenza termasuk ke dalam family Orthomyxoviridae. Memiliki

envelope dengan material genetik negative ssRNA. Virus influenza memiliki 4 jenis

antigen, yaitu protein nukleokapsid (NP), hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA),

dan protein matriks (MP)5,. Berdasarkan antigen nucleoprotein (NP) dan matrix (M1)

protein, virus influenza dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A

ditemukan di manusia dan berbagai hewan seperti kuda, babi, anjing laut, burung liar,

dan di peternakan, sedangkan tipe B hanya ditemukan manusia, dan tipe C meskipun

dapat menyerang manusia, tetapi jarang ditemukan. Tipe A merupakan tipe influenza

yang paling virulent dan dapat menyebabkan pandemik, sedangkan tipe B dan C hanya

menyebabkan epidemik local6,7.

2.2 Virus Influenza H5N1

Virus Influenza A dengan subtipe H5N1 (flu burung) pertama kali menyebar

di Hongkong pada tahun 1997 yang menyebabkan keparahan penyakit pada

manusia. Semenjak tahun 2003, kasus flu burung menyebar luas di berbagai negara

di Asia, Eropa, dan Afrika dan menyebabkan infeksi pandemik yang mematikan.

Virus influenza H5N1 ini merupakan bentuk genetic reassortment yang

mempunyai kemampuan beradaptasi pada host manusia.8 Perubahan dan variasi

2

Page 3: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

antigen permukaan virus (HA dan NA) menjadi dasar penentu subtipe virus

influenza tipe A. Fenomena ini disebut ‘antigenic drift’ dan ‘antigenic shift’.

Antigenic drift merupakan perubahan kecil pada antigen HA atau NA. Antigenic

drift terjadi akibat akumulasi mutasi titik pada viral genome, sehingga terjadi

substitusi asam amino pada tempat antigenik. Mutasi ini dihasilkan sebagai salah

satu respon virus dalam menghindari sistem imun tubuh. Antigenic shift merupakan

perubahan yang besar pada antigen HA atau NA dan dapat menghasilkan subtipe

virus baru dengan antigen HA atau NA yang berbeda (terjadi genetic

reassortment). Fenomena antigenic shift ini dapat menyebabkan terjadinya

epidemic dan hanya terjadi pada influenza tipe A. Hingga tahun 2007, telah

ditemukan 16 subtipe HA [H1-H16] dan 9 tipe NA [N1-N9]. Pada manusia,

ditemukan subtipe HA [H1-H3] dan subtype NA [N1, N2]9,10.

Transmisi dari virus influenza sangat dipengaruhi oleh virus dan faktor host.

Virus H5N1 dapat mengenali reseptor α2,3 yang terdapat pada unggas dan pada

manusia, reseptor α 2,6 terdapat pada saluran pernapasan bagian atas. Beberapa

penelitian menujukkan virus H5N1 sulit mengenali reseptor pada manusia sehingga

H5N1 ini perlu mengalami mutasi untuk dapat menginfeksi dan bereplikasi pada

tubuh manusia.8

Awalnya virus influenza di manusia hanya H1N1, H2N2, H3N2. Sejauh ini

juga disebabkan oleh virus H5N1, H9N2 dan H7N7. Subtipe yang sangat virulen

ialah H5N1, virus tersebut dapat hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22° C dan

lebih dari 30 hari pada 0°C di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit, virus

dapat bertahan lebih lama, virus akan mati dengan pemanasan 60° C selama

30 menit atau 56° C selama 3 jam, detergen, desinfektan misalnya formalin atau

iodine.

Penularan AI (H5N1) terjadi karena droplet infection (infeksi akibat

percikan cairan hidung/ mulut) baik akibat kontak langsung maupun tidak

langsung. Transmisi langsung dapat melalui sentuhan unggas/manusia yang

terinfeksi, melalui udara jarak pendek seperti bersin, melalui kontak sosial

yang intensif (ciuman). Transmisi tidak langsung dapat melalui perantaraan

benda lain yang telah tercemar, melalui serangga (lalat Musca domestica)

tetapi masih dugaan, dan melalui udara jarak jauh.8

3

Page 4: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

Menurut WHO, infeksi AI (H5N1) lebih mudah menular dari unggas ke

manusia dibandingkan dengan dari manusia ke manusia. Sampai saat ini belum

terbukti penularan dari manusia ke manusia atau penularan manusia lewat daging yang

dikonsumsi. Satu-satunya cara virus influenza A (H5N1) dapat menyebar dengan

mudah dari manusia ke manusia ialah jika virus influenza A (H5N1) tersebut

bermutasi dan bercampur dengan virus influenza manusia.

Penyebaran rute virus influenza. H5N1. Virus influenza menyebar antara

spesies melalui kontak dari unggas, terutama di peternakan unggas.

Adanya kontak dengan peternakan unggas (ayam, bebek,dll) menyebabkan

terjadinya transmisi H5N1 terhadap host non unggas.

Walaupun tidak dilaporkan, transmisi influenza subtipe H1N1, H2N2, dan

H3N2 dari babi kepada manusia dapat terjadi di alam.

2.3 Genom Virus Influenza H5N1

Terdiri dari 8 segment pada (-)ssRNA yang mengkode 10 protein yaitu

hemagglutinin (HA), neuraminidase (NA), matrix proteins M2 dan M1, protein

nonstructural (NS) NS1 dan NS2, the nucleocapsid, dan tiga polymerases yaitu

protein PB1, PB2, dan PA (polymerase)6,9,10.

4

Page 5: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

Gambar 2: Struktur virion influenza tipe A9

Gambar 3 : genome virus influenza tipe A9

2.3.1 Haemagglutinin (HA)

HA dikode oleh RNA segment 4. Berfungsi dalam pengenalan sel inang,

penempelan, dan fusi selubung viral dengan sel inang. Virus akan berikatan

dengan reseptor asam sialat-galaktosa pada permukaan sel epitel pernafasan. HA

disintesis sebagai precursor poliprotein (HA0). Saat proses post-translasi, sisi

pemutusan HA, yang hanya terdiri dari residu arginine, akan dipotong oleh enzim

trypsin-like protease menghasilkan dua subunit yaitu HA1 dan HA2. Enzim

trypsin-like protease ini dimiliki oleh sel inang dan terbatas hanya ada di saluran

pernafasan. Setelah dipotong, HA1 terdiri dari 324 asam amino dengan gugus

5

Page 6: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

karbohidrat yang bervariasi dan mengandung antigen, sedangkan HA2 terdiri dari

222 asam amino dengan karbohidrat yang bervariasi dan 3 residu palmitat6.

Dikarenakan aktivitas error-prone RNA polimerasi, tingkat mutasi HA sangat

tinggi. Lima sisi antigenic pada molekul HA rentan mengalami mutasi (gambar 3)

karena terletak di permukaan struktur. Akan tetapi, bagian lain dari molekul HA

yang bersifat lestari untuk menjaga fungsi dan strukturnya6,10..

Gambar 4 : struktur molekul HA10

Gambar 5 : struktur primer polipeptida HA10

Glikoprotein H merupakan dasar perbedaan subtipe dan menentukan virulensi

subtipe virus influenza A. Penelitian Kobasa et al pada tahun 2004 menunjukkan

bahwa glikoprotein H menentukan virulensi strain virus influenza A. Dalam

penelitian tersebut digunakan glikoprotein H dan N yang mempunyai genetik

yang mirip dengan strain penyebab pandemi Spanish Influenza tahun 1918–1919

yang diberikan pada hewan percobaan tikus.

6

Page 7: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

2.3.2 Neuraminidase (NA)

NA dikode oleh RNA segment 6. NA merupakan enzim sialidase yang

menghilangkan asam sialat dari glikokonjugat (glikoprotein dan glikolipid). NA

juga memfasilitasi virus keluar dari sel inang dan membantu mencegah

terbentuknya agregasi virion dengan menghilangkan residu asam sialat dari

glikoprotein viral. Selain itu, NA membantu virus melewati lapisan mucus pada

saluran pernafasan untuk mencapai sel target, yaitu sel epitel6.

Tingkat mutasi pada neuraminidase cukup tinggi seperti pada protein HA6.

Gambar 6 : struktur primer polipeptida NA6

2.3.3 Protein M (M1 dan M2)

Gen M mengkode dua protein yang tumpang tindih, yaitu protein M1 yang

sangat lestari yang dikode oleh 252 asam amino dan protein M2 yang terdiri dari

97 asam amino. Protein M1 membentuk selubung menutupi komplek

nucleocapsid. Pada sel yang terinfeksi, protein terdistribusi baik pada sitoplasma

dan di dalam nucleus6.

Protein M2 secara khusus diperoleh setelah pemotongan dari transkrip

precursor M1. M2 bersama dengan glikoprotein HA dan NA membentuk kanal ion

yang berfungsi menjaga pH, mencegah pemaparan viral HA terhadap pH

intraselular yang rendah. M2 protein berperan dalam pelepasan viral nucleoprotein

selama replikasi dalam sel inang6,7,.

2.3.4 Nucleoprotein (NP)

Dikode oleh RNA segmen 5. Gen NP bersifat lestari. Berfungsi sebagai

protein structural. NP membentuk asosiasi yang longgar dengan RNA virion dan

menyelubungi genom virus untuk membentuk partikel RNP (RNA-NP dan

polimerasi PB1, PB2, dan PA) untuk menjaga stablilitas genom dalam sel.

Kompleks RNP ini berfungsi sebagai template untuk replikasi RNA viral dan

7

Page 8: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

transkripsi. Keberadaan NP bebas penting untuk replikasi viral RNA karena NP

mencegah degradasi cRNA dan dikarenakan NP selalu berinteraksi dengan

polymerase. Selain itu, NP ikut berperan juga dalam perubahan aktivitas viral

polimerase RNA dari sintesis mRNA menjadi sintesis cRNA (replicative

intermediate RNA) dan vRNA7.

2.3.5 Polimerase (PB1,PB2, dan PA)

Ketiga RNA polymerase ini merupakan RNA-dependent. PB1 dikode oleh

RNA segmen 2. Terletak di nucleus sel yang terinfeksi. Fungsi dari PB1 adalah

dalam proses pemanjangan viral primer mRNA dan untuk sintesis vRNA6.

PB2 dikode oleh RNA segmen 1. Berfungsi dalam pengenalan 5’mRNA cap

dari inangnya untuk digunakan sebagai primer transkripsi mRNA viral dan

pemutusan struktur cap membentuk primer untuk transkripsi mRNA viral6.

PA dikode oleh RNA segmen 3. Terletak juga di nucleus sel yang terinfeksi.

Fungsinya terlibat dalam replikasi RNA viral6,10.

2.3.6 Protein Nonstruktural (NS1 dan NS2)

NS1 dan NS2 dikode oleh RNA segmen 8. NS2 diperoleh dari pemutusan

precursor NS1. Pada sel yang terinfeksi, NS1 ada dalam jumlah yang banyak

terletak baik di sitoplasma dan di nucleus, sedangkan NS2 terletak di sitoplasma.

Pada bentuk virion, juga terdapat NS2 yang berinteraksi dengan protein matriks

(M1. Selama proses replikasi virus, NS2 ikut berperan dalam pelepasan RNP

komplek dari nucleus melalui interaksi dengan protein M1 sehingga disebut juga

sebagai NEP (nuclear export protein). Selain itu, NS1 mencegah mRNA sel inang

keluar dari nucleus dan membantu proses pembentukan mRNA viral dan proses

translasi membentuk protein-protein viral6

2.4 Replikasi Virus Influenza

2.4.1 Penempelan Virus pada Sel Inang (Virus Attachment)

Pengenalan virus ke sel inangnya diperantarai oleh protein permukaan virus,

yaitu protein HA. HA akan berikatan dengan residu asam sialat di glikoprotein

atau glikolipid pada permukaan sel epitel di saluran pernafasan.7.

8

Page 9: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

Protein HA (HA0) yang juga akan mengalami pemutusan menjadi HA1 dan

HA2 oleh enzim proteolitik (tripsin-like protease) yang disekresikan atau berada

di permukaan membran sel epitel saluran pernafasan. HA1 berfungsi membantu

penempelan virus ke reseptor asam sialat dan menginisiasi endositosis, sedangkan

HA2 akan mengontrol fusi antara membrane viral dan membrane endosomal7.

2.4.2 Masuknya Virus pada Sel Inang (Virus Entry)

Terjadi proses endositosis di mana partikel virus masuk sel dengan cara

‘ditelan’ oleh membrane plasma sel inang membentuk vesikel endositik. Proses

endositosis ini akan diikuti dengan asidifikasi yang memicu perubahan struktur

HA. Perubahan struktur HA ini akan menyebabkan terjadinya fusi antara

membrane viral dengan membran endosome. Fusi ini menyebabkan pelepasan

viral RNP ke sitoplasma sel inang11,12.

Gambar 7 : hipotesis mekanisme antara membrane virus influenza dan membrane endosom12

(a) Pada pH yang rendah, terjadi perubahan pada struktur HA. (b) Perubahan bentuk

ini menghasilkan pergerakan peptide fusi HA2 yang sebelumnya tersembunyi di

9

Page 10: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

dalam HA trimer ke permukaan ujung HA dan kemudian menempel pada

membrane endosome. (c) terjadi pembentukan struktur seperti α-heliks yang

memiliki 7 bagian. (d,e) penyatuan kedua membrane melibatkan terbentuknya

hemifusion. (f) terbentuk pori fusi (fusion pore) di mana genetic viral (RNP)

memiliki akses untuk keluar ke sitosol sel. Pelepasan viral RNP dari endosome

ke sitoplasma difasilitasi oleh proses asidifikasi yang dimediasi oleh kanal

proton M2 di selubung viral. pH yang rendah 5-6 dalam endosome membuat

proton mengalir masuk ke dalam viral sehingga melemahkan interaksi antara

lapisan protein M1 dengan selubung viral dan RNP.

2.4.3 Replikasi Virus

Komplek RNP yang dilepaskan ke dalam sitosol sel inang kemudian

ditransportasikan ke dalam nucleus. Dalam nucleus, vRNP ditranskripsikan

menjadi mRNA oleh enzim transcriptase (PB1, PB2, dan PA) yang dibawa oleh

RNP. Proses transcriptase ini memerlukan fragment RNA capped yang berfungsi

sebagai primer untuk sintesis mRNA virus. Fragmen RNA capped ini dibentuk

dari mRNA sel inang dengan bantuan viral polymerase sehingga setiap mRNA

viral mengandung 12 basa dari sekuens inangnya pada ujung 5’. mRNA viral

mengalami modifikasi pasca translasi, di mana bagian ujung 5’ di‘capped’ dan

ujung 3’ memiliki rantai poly(A). Bagian ‘capped’ diperlukan untuk pengikatan

mRNA ke ribosom di sitosol sehingga translasi dapat terjadi11,12.

Setelah proses transkripsi, vRNP berperan sebagai template untuk sintesis

RNA viral. Replikasi genom viral ini tidak memerlukan primer. vRNP langsung

menjadi template untuk produksi cRNA (complementary RNA, positive-sense

RNA) di mana ujung 5’ tidak di‘capped’ dan ujung 3’ tidak memiliki rantai

poly(A). cRNA akan langsung berinteraksi dengan NP membentuk cRNP

intermediate yang kemudian akan menjadi template untuk membuat lebih banyak

vRNA (negative ssRNA). vRNA memiliki ikatan yang spesifik pada ujung 5’ nya

dengan polimerase viral, hal ini membantu menarik NP untuk berinteraksi dengan

vRNA membentuk vRNP. vRNP ditransportasikan kembali ke dalam sitosol untuk

pembentukan partikel virus yang baru dengan bantuan protein M1 dan NS2

(NEP)11,12..

10

Page 11: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

Selama sintesis protein selubung viral (HA,NA, dan M2), rantai polipeptida

yang sedang terbentuk langsung ditransportasikan ke reticulum endoplasmic di

mana protein diglikosilasi dan dibentuk struktur trimer dan tetramer. Setelah itu,

protein ditransportasi melewati badan Golgi ke membrane plasma sel. Selama

melewati badan Golgi, protein mengalami beberapa modifikasi juga seperti

pembentukan ikatan disulfide dan rantai oligosakarida. Dikarenakan pH dalam

trans-Golgi bersifat asam, kemungkinan terjadinya perubahan bentuk struktur HA

dapat terjadi. Keberadaan protein M2 membantu menetralisis pH di trans-Golgi

sehingga HA dapat sampai ke permukaan sel tanpa mengalami perubahan struktur.

2.4.4 Pemasangan & Pelepasan Virus (Virus Assembly & Release)

NP dan RNA polimerasi virus yang telah dibentuk di sitosol akan

berinteraksi dengan vRNA membentuk komplek RNP. Komplek RNP

selanjutnya akan berinteraksi dengan protein M1, di mana protein M1 akan

berinteraksi dengan domain C-terminal HA dan NA di membrane plasma sel.

Interaksi RNP dengan protein M1 ini mencegah RNP kembali masuk ke dalam

nucleus sekaligus menandakan akhir dari tahap pengemasan partikel virus yang

baru11,12.

Partikel virus yang baru tidak akan langsung lepas dari sel, tetapi masih

menempel pada permukaan sel melalui interaksi antara HA dengan asam sialat.

NA viral akan memutus asam sialat sehingga melepaskan virion dari permukaan

sel dan membuat virion dapat menyebar di saluran pernafasan11,12

3. Metode Diagnosis Virus Avian Influenza H5N1

3.1 Uji serologi

Uji serologi digunakan untuk mendeteksi titer antibodi terhadap virus Avian

Influenza. Uji ini menggunakan sampel serum dari hewan yang diduga terinfeksi virus

Avian Influenza. Sampel serum yang telah diperoleh dapat diuji dengan uji

Hemaglutinasi (HA) dan Hambatan Hemaglutinasi (HI), Neuraminidase Inhibition

(NI), Agar Gel Immunodiffusion (AGID), Viral Neutralization Test (VNT) dan

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Dalam makalah ini hanya dibahas

tentang uji HA, HI, NI, VNT dan ELISA berdasarkan standar referensi OIE.

11

Page 12: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

3.1.1. Uji Hemaglutinasi dan Uji Hambatan Hemaglutinasi

Uji hemaglutinasi (HA) dan hambatan hemaglutinasi (HI) dilakukan berdasarkan

sifat virus Avian Influenza yang dapat mengaglutinasi sel darah merah (RBC) dan

kemampuan antibodi spesifik untuk menghambat aglutinasi tersebut. Hemaglutinasi

merupakan proses penggumpalan sel darah merah yang terlihat seperti butir-butir pasir.

Uji ini merupakan salah satu uji serologi standar yang direkomendasikan OIE untuk

mendeteksi keberadaan antibodi yang terdapat pada serum yang diperiksa. Pada

prinsipnya uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi yang terkandung dalam serum

yang diperiksa dan jumlah antigen hemaglutinin Avian Influenza yang digunakan

sebanyak 4 HAU (Haemagglutination Unit). Umumnya uji ini cukup sensitif dan

mampu memberikan hasil yang spesifik terhadap subtipe antigen virus Avian Influenza.

Reaksi silang heterolog kemungkinan bisa terjadi antara subtipe-subtipe virus Influenza

tipe A. Namun demikian, reaksi homolog akan selalu menunjukkan hasil yang lebih

sering terjadi daripada reaksi heterolog.

Disamping yang telah disebutkan di atas, uji HA dan HI juga masih mempunyai

beberapa kelebihan dan kekurangan lainnya. Kelebihan dari uji ini adalah relatif simpel,

murah serta reagen dan RBC yang diperlukan untuk pengujian dapat dipersiapkan

dengan mudah oleh masing-masing laboratorium. Sedangkan kekurangan-kekurangan

yang dimiliki uji ini diantaranya titrasi antigen harus dilakukan setiap pengujian,

interpretasi hasil uji memerlukan keahlian khusus serta adanya prosedur yang berbeda

dari masing-masing laboratorium dapat memberikan hasil yang berbeda13.

Prosedur standar dalam uji HI menggunakan microtiter plate V dengan ukuran

0,075 ml. Reagen yang diperlukan dalam uji ini adalah PBS 0,1 M dalam kondisi pH

7,0 – 7,2. RBC dapat diambil dari minimal 3 ayam Specific Pathogen Free (SPF).

Tetapi apabila tidak tersedia ayam SPF, maka RBC dapat diperoleh dari ayam Specific

Antibody Neutralisation (SAN). Kemudian RBC yang telah diperoleh dilarutkan dalam

larutan Alsever dengan perbandingan volume sama. Selanjutnya RBC harus dicuci

dengan PBS sebanyak 3 kali sebelum digunakan sebagai suspensi RBC 1%. Untuk

mengidentifikasi antigen Avian Infuenza maka diperlukan panel antigen AI subtipe H1-

H16, apabila uji HI yang dilakukan menggunakan salah satu subtipe antigen AI serta

mampu menginhibisi terjadinya aglutinasi maka positif terhadap subtipe tersebut. Setiap

12

Page 13: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

melakukan pengujian HI harus selalu menggunakan kontrol positif dan negatif terhadap

antigen dan antisera1.

Hasil uji HI dapat diintepretasikan sebagai antibodi negatif terhadap subtipe

antigen AI apabila telur dan serum berkisar 4 – 8 log2. Perbedaan ini mungkin

disebabkan kandungan antibodi yang diturunkan oleh induk dalam kuning telur

mempunyai titer antibodi lebih rendah dari kandungan titer antibodi yang terdapat di

dalam serum induk. BECK et al.(2003) menyatakan juga bahwa antibodi AI dapat

dideteksi lebih awal dari ayam yang terinfeksi virus hidup daripada ayam yang

divaksinasi AI adjuvan serum kontrol menunjukkan aglutinasi serta serum yang diuji

tidak mengalami inhibisi. Serum yang menunjukkan inhibisi pada pengenceran 1 : 16

atau lebih besar dari 4HAU maka antigen dinyatakan positif mengandung antibodi yang

memadai. Namun demikian, ada beberapa laboratorium yang lebih memilih

menggunakan 8HAU dalam melakukan uji HI1.

3.1.2 Neuraminidase Inhibition (NI)

Neuraminidase Inhibition merupakan suatu uji serologi untuk mengetahui titer antibodi

dari hewan yang terinfeksi virus Avian Influenzaserta untuk mengidentifikasi subtipe

Neuraminidasedari isolat virus Avian Influenza. Prinsip dasar dari uji ini adalah adanya

suatu ikatan antara antibodi dalam serum yang diperiksa dan subtipe antigen

Neuraminidasetertentu. Reaksi silang heterolog antara subtipe-subtipe virus Influenza A

tidak ditemukan dalam uji ini. Uji Neuraminidase ini biasanya dilakukan sebagai

Differentiating Infected from Vaccinated Animal (DIVA) untuk mendeteksi spesifik

antibodi anti-N1. Pada pengujian ini, enzim virus Neuraminidase bereaksi dengan

substrat (fetuin) dan melepaskan sialic acid. Adanya sialic acid ditentukan secara

chemis dan oleh thiobarbituric acid yaitu dihasilkan warna merah muda. Chromiphor

warna merah muda ini dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 549

nm14.

Uji Neuraminidase ini tidak umum dilakukan oleh laboratorium-laboratorium

diagnostik dikarenakan lebih sulit, lebih lama dan diperlukan suatu keahlian khusus

untuk interpretasi hasil serta membutuhkan microtiter plate tertentu. Gambar 8

menunjukkan visualisasi hasil uji Neuraminidase. Timbulnya warna merah muda

13

Page 14: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

menunjukkan hasil negatif sedangkan tidak berwarna menunjukkan hasil positif.

Kontrol fetuin harus menunjukkan warna merah muda.

3.1.3 Viral Neutralization Test (VNT)

Uji dengan menggunakan teknik netralisasi virus ini tergolong sangat sensitif

dan spesifik dalam mendeteksi antibodi anti-H5N1. Uji ini juga mampu mendeteksi titer

antibodi dengan kadar sedikit yang mungkin tidak bisa dideteksi dengan uji HI

biasa15.Namun sayangnya, uji netralisasi virus ini hanya bisa dikerjakan pada

laboratorium dengan fasilitas laboratorium Biosafety level-3 (BSL-3) karena untuk

proses produksi virus menggunakan telur ayam berembrio sebagai media pertumbuhan

virus dan virus Avian Influenza ini mudah menyebar cepat secara aerosol. Berbeda

dengan uji HI yang bisa dikerjakan pada laboratorium Biosafety level-2 (BSL-2).

Prinsip dari uji netralisasi virus ini yaitu kultur sel diinfeksi oleh virus sehingga

diperoleh konsentrasi virus yang dapat diujikan pada serum pasien.

Pada penelitian yang dilakukan Setiawaty et al (2010) dari Litbangkes, untuk uji

VNT digunakan sel MDCK pasase ke-5 yang dibiakkan di laboratorium NIID, Tokyo.

Jumlah sel yang dimasukkan ke dalam microplate 96 well yaitu 1.5x104 sel per well dan

dikultur dalam waktu 3 hari pada inkubator CO2 5% pada 37°C. Media pertumbuhan

kultur sel yaitu Minimum Essential Medium (MEM) dengan penambahan 10% Fetal

Calf Serum (FCS), dan 100 unit/ml Penicilin-Streptomycin kemudian 50% tissue

14

Page 15: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

culture infectious dose (TCID50) ditentukan dengan penambahan ½ log virus pada sel

MDCK untuk menemukan konsentrasi virus yang dibutuhkan untuk uji NT. Secara

garis besar, uji VNT ini yaitu dilakukan dengan menambahkan 100TCID50/50µl virus

pada serum pasien yang ditempatkan pada microplate 96 well. Pada plate yang sama 4

well digunakan sebagai kontrol untuk virus sementara 4 well lainnya digunakan kontrol

untuk sel. Plate kemudian diinkubasi 30 menit pada inkubator CO2 5%, 37°C.

Kemudian campuran serum dan virus diinokulasikan pada microplate 96 well yang

mengandung sel MDCK. Plate diinkubasi selama 3 hari pada inkubator CO2 5%, 37°C.

Pada hari ke-4, plate dicuci dan virus dinaktivasi, sel kemudian diwarnai dengan

Naphtalene Blue Black dan diukur Optical Density (OD) dengan menggunakan plate

reader dengan panjang gelombang ƛ 630 nm. Keberadaan Cythopatic Effect (CPE)

ditentukan dengan hasil postif dengan nilai OD sama atau kurang dari nilai rata-rata

kontrol untuk virus. Mengacu pada standar cut-off point WHO, uji NT dipertimbangkan

positif jika titer antibodi anti-H5N1 sama atau lebih dari 8016.

3.1.4 Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Prinsip metode immunoassay adalah reaksi antara antigen dan antibodi spesifik

dimana hasil reaksi dapat diamati dengan menggunakan suatu label atau marker. ELISA

merupakan salah satu metode immunoassay yang paling banyak digunakan. Pada uji ini

reaksi terjadi dengan mengabsorbsikan antigen atau antibodi pada suatu fase solid serta

dengan memberi label suatu enzim. Enzim yang paling banyak digunakan adalah

Horseradish peroxidase (HRP) dan Alkaline phosphatase. Enzim ini dapat dilabel baik

pada antibodi maupun antigen yang akan membentuk warna dengan penambahan suatu

substrat. Pengujian secara kuantitatif dapat dilakukan dengan mengamati intensitas

warna yang terbentuk17.

Saat ini ELISA sudah tersedia dalam bentuk kit komersial sehingga mudah

diaplikasikan. Uji ini juga sesuai untuk pengujian dalam jumlah banyak dikarenakan

satu kit ELISA dapat digunakan untuk menguji sebanyak 48 sampel dalam satu kali

pengujian. Spesifisitas dan sensitivitas dari uji ini dapat ditingkatkan sehingga dapat

digunakan untuk mendeteksi antigen atau antibodi yang lebih spesifik. Akan tetapi uji

ini membutuhkan biaya dan peralatan yang mahal13.

15

Page 16: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

Teknik pengujian dengan metode ELISA dapat dilakukan dalam beberapa

format, pemilihan format tergantung dari besar molekul yang akan dideteksi serta

tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang dikehendaki. Terdapat dua teknik dalam

metode ELISA yaitu Competitive ELISA dan Non Competitive ELISA. Competitive

ELISA merupakan teknik yang banyak dipakai untuk pengujian antigen, toksin serta

senyawa dengan molekul kecil. Avian Influenza competitive ELISA (AIVc-ELISA)

dikembangkan untuk menggantikan Agar Gel Immunodiffusion Assay (AGID) sebagai

uji untuk mendeteksi antibodi terhadap kelompok Influenza tipe A. AIVc-ELISA dapat

diterapkan pada serum ayam, babi, kuda dan manusia. Uji AIVc-ELISA lebih sensitif

dibandingkan dengan uji AGID dan HI18.

Antigen dan antibodi monoklonal yang akan digunakan harus distandardisasi

terlebih dahulu untuk menentukan pengenceran yang tepat. Antigen distandardisasi pada

pengenceran 1 : 200, 1 : 400, 1 : 800, 1 : 1600, 1 : 3200, 1 : 6400 dan 1 : 12800

sedangkan standardisasi antibodi monoklonal dilakukan pada pengenceran 1 : 200, 1 :

400, 1 : 800, 1 : 1600 dan 1 : 3200. Pengenceran yang paling tepat untuk digunakan

dalam pengujian ini dilihat berdasarkan nilai tertinggi dari Optical Density (OD) dan

Percentage Inhibition (PI). Hasil titer antibodi dari serum yang diuji dengan AIVc-

ELISA dihitung berdasarkan PI. PI merupakan persentase penghambatan dari antibodi

monoklonal (yang secara normal tidak berada dalam serum) oleh antibodi yang ada

dalam serum.

3.2 Metode Molekuler

Kualitas sampel adalah faktor penting dalam isolasi dan identifikasi virus

Influenza. Jaringan yang sudah mengalami autolisis atau swab yang terkontaminasi

dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas pada isolasi dan identifikasi virus

Influenza sehingga diperlukan uji yang lebih sensitif dan spesifik. Karena alasan inilah,

teknik-teknik yang berkembang saat ini seperti Reverse Transcriptase-Polymerase

Chain Reaction (RT-PCR) banyak digunakan untuk mendeteksi virus Influenza1. Waktu

yang dibutuhkan juga lebih cepat apabila dibandingkan dengan isolasi dan identifikasi

dengan kultur pada jaringan atau telur SPF. Hal ini dikarenakan teknik RTPCR

langsung dapat mendeteksi Avian Influenza dari swab kloaka atau swab trakea dalam

16

Page 17: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

media transpor. Selain itu, isolat virus Avian Influenzadari cairan allantois telur SPF

juga dapat digunakan sebagai sampel untuk RT-PCR.19

Avian Influenza adalah virus single-stranded RNA sehingga pada reaksi PCR

diperlukan suatu tahap sintesa copi DNA (cDNA). Tahap ini membutuhkan suatu

enzim transcriptase balik (reverse transcriptase). Beberapa enzim transcriptase balik

yang dapat digunakan antara lain Taq DNA Polymerase, mesophilic viral reverse

transcriptase (RTase) danTth DNA Polymerase. Taq DNA Polymerase adalah enzim

yang tahan pada suhu tinggi serta mempunyai laju polimerase yang tinggi dan

kemampuan yang tinggi untuk menggabungkan nukleotida dengan suatu primer secara

terus menerus tanpa terdisosiasi dari komplek primer-DNA cetakan (prosesivitas).

RTase yang dikode oleh virus avian mycoblastosis (AMV) atau M-MuLV bersifat

sangat prosesif dan mampu mensintesis cDNA sampai sepanjang 10 kb, sedangkan Tth

DNA Polymerase mampu mensintesis cDNA sampai sepanjang 1-2 kb. Berdasarkan

alasan di atas, maka uji ini disebut sebagai Reverse Transcriptase.

Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Teknik ini digunakan untuk menemukan genome virus influenza. Kebanyakan

genom virus adalah single stranded RNA (ribonucleicacid), dan kopi/ tiruan deoxy-

ribonucleicacid(cDNA) harus disintesis dulu menggunakan RT polymerase. Dalam

tes ini diperlukan oligonucleotide primers A/H5 dan N1 yang sudah tersedia secara

komersial (Hexaplex assay, prodesse. Inc). Beberapa penelitian menunjukkan

sensitivitas dan spesifisitas 95–100% dan 93–98%. Tes ini tampaknya lebih

tersedia secara luas guna mendiagnosis virus influenza.

Bahan yang dibutuhkan:

• QIAamp viral RNA mini kit,

• QIAGEN Onestep RT-PCR kit

• RNA ase inhibitor(ABI) 20U/µl

• tabung microcentrifugesteril, 0,5 dan

1,5 ml,

• Sepasang primer:

HA primer gen untuk amplifikasi H5

(modifikasi Yuen et al. 1998 )

H5-1: GCC ATT CCA CAA CAT ACA

CCC

H5-2: TAA ATT CTC TAT CCT TTC

CAA

Ukuran produk amplifikasi: 358 bp

NA primer gen untuk amplifikasi

N1(modifikasi Wright et al. 1995)

17

Page 18: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

NI-1: TTG CTT GGT CGG CAA GTG

C

NI-2: CCA GTA CAC CCA TTT GGA

TCC

Ukuran produk amplifikasi: 615 bp

• kontrol positif (WHO H5 reference

laboratory),

• Bufer PCR,

• pipet 10, 20, 100 ul,

• microcentrifuge 13000 rpm,

• vortex mixer,

• thermocycler,

• Nampan agarose gel,

• perangkat elektroforesis dan power

supply,

• TransilluminatorUV (ultraviolet) atau

UV lampu dengan panjang gelombang

302 nm.

Prinsip RT-PCR:

1. Tahap ekstraksi RNA: 140ul spesimen ditambah QIAamp viral RNA,

menggunakan random hexamers(konsentrasi akhir 2,5 uM). Penambahan reverse

transcriptase,kemudian diperam (inkubasi) 10 menit pada suhu ruangan lalu 42° C

selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan pemanasan 95° C selama 5 menit lalu

didinginkan dengan es. Dalam proses ini didapatkan cDNA yang akan diperbanyak

sebagai template (cetakan) pada proses penggandaan atau amplifikasi selanjutnya.

2. Tahap amplifikasi DNA: persiapan PCR master mixture diperlukan reagen 10×

bufer PCR sebanyak 5 ul, air 25 ul, enzim polimerase/taq polymerase(5 U/ul)

sebanyak 0,25 ul. Primer dan enzym polimerase tersedia berlebihan, maka produk

siklus pertama dapat berfungsi sebagai cetakan untuk siklus berikutnya, begitu

seterusnya. Kemudian dimasukkan 45 ul master mix ke dalam tiap tabung PCR 0,2 ml,

tiap tabung ditambahkan 5 ul cDNA. Pengaturan kondisi PCR selanjutnya dalam 40

siklus dengan kondisi 94° C 3 menit; suhu 94° C selama 30 detik (denaturasi yaitu

pemisahan untai DNA), 45° C 30 detik (annealing yaitu penempelan primer dengan

untai DNA), 72° C 1 menit; 72° C 7 menit (extension yaitu sintesis materi DNA baru)

dan proses ini menggunakan alat thermocycler(Amershan Pharmacia Biotech

System).

3. Tahap analisa produk PCR: hasil amplifikasi DNA yang berupa jutaan DNA dapat

diperlihatkan di elektroforesis agarose gel 1,5–2% menggunakan pewarnaan ethidium

bromide, diamati secara penglihatan tanda berat molekul dan pita PCR di bawah sinar

UV.

18

Page 19: Makalah Seminar Diagnosis H5N1

Interpretasi hasil: pemeriksaan selesai dalam waktu 4 jam. Pada gambar 9.

hasil tampak sebagai pita DNA dengan panjang base pair(bp) tertentu yang telah

diketahui. Ukuran produk PCR yang diharapkan untuk influenza A/H5 adalah 358 bp

dan untuk N1 adalah 615 bp. DEPKES RI menyarankan penggunaan 3 macam

genom primer guna meningkatkan spesifisitas pemeriksaan RT-PCR.

Kesimpulan

1. Terdapat dua macam metode karakterisasi dan identifikasi Avian Influenzasecara

laboratorium yaitu metode konvensional (aspek virologi) dan metode molekuler.

2. Metode konvensional (aspek virologi) biasanya digunakan untuk diagnosis awal

Avian Influenza. Metode ini membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya.

3. Metode molekuler merupakan metode yang lebih efektif daripada metode

konvensional sehingga metode ini sekarang lebih sering diaplikasikan di

laboratorium diagnostik.

19