Upload
maulana-rahmat-hidayatullah
View
74
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Sindrom Koroner Akut
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jantung memiliki peranan yang besar dalam mengatur siklus kehidupan manusia. Apabila adanya
gangguan terhadap sirkulasi kerja jantung, maka akan mengganggu kehidupan manusia. Gejala yang
ditimbulkan juga tidak semuanya dapat terlihat sehingga sulit untuk mendiagnosis. Angina pectoris
merupakan salah satu gejala yang sering ditemui, dengan gejala nyeri dada di sebelah kiri yang
menjalar hingga ke rahang dan lengan.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kelainan yang ditimbulkan dari gejala
angina pectoris stabil.
A. Pemeriksaan
1. Gejala Klinis
a. Gejala umum (Sistemik)
Tekanan atau nyeri substernum atau dada sesak dengan atau tanpa penyebaran ke leher,
rahang, bahu kiri, atau lengan; dispneu; mual atau muntah; kepala pening; stress; nyeri
berkurang dengan istirahat/berkepanjangan/menetap.2
b. Gejala khusus (khas)
- Angina pectoris stabil: nyeri dada episodik saat pasien berolahraga atau mengalami
bentuk stress lainnya. Nyeri mereda dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin.
- Angina Prinzmetal: angina yang terjadi saat pasien beristirahat bahkan saat tidur.
- Angina pectoris tidak stabil: nyeri angina yang frekuensinya meningkat dipicu oleh
olahraga dan serangan menjadi lebih intens, dan lebih lama dari angina pectoris stabil.
2. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada hal yang spesifik dalam pemeriksaan fisik. Sering pemeriksaan fisik
normal didapatkan pada pasien tersebut. Mungkin, pemeriksaan fisis yang dilakukan
waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop bahkan murmur, split S2
paradoksal, rongki basah bagian basal paru, yang menghilang saat nyeri berhenti. Hal-
hal lain yang bisa didapat dari pemeriksaan fisik adalah tanda-tanda adanya faktor
risiko, misalnya tekanan darah tinggi.
Denyut nadi, sering normal pada pasien dengan angina stabil. Selama serangan akut,
takikardia atau aritmia transien (misalnya fibrilasi atrium (AF), takikardia ventrikel) dapat terjadi.
Takikardia saat istirahat atau pulsus alternans dapat mengindikasikan disfungsi miokard iskemik
berat sebagai akibat infark sebelumnya.
1
Selama episode iskemia akut, pasien akan mengalami cemas, takikardi, takipneu,
kemungkinan ada rongki paru, S3, S4 atau murmur. Bila terjadi syok kardiogenik akan
terjadi hipotensi dengan perfusi jaringan yang buruk .3
Sebagian besar, pasien cemas dan tidak dapat beristirahat. Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior
mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis dan hampir setengahnya adalah
sebaliknya. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikuler adalah S4 dan S3 Gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung ke dua.
Dapat ditemukan murmur midsistolik yang bersifat sementara karena disfungsi apartus
katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38o C dapat dijumpai
dalam minggu pertama pasca STEMI.1
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn 1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skelet, karena pada
keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak bergantung pada
pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukan ada nekrosis
jantung (infark miokard); 1
- CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24
jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan
kardioversielektrik dapat meningkatkan CKMB.
- cTn ada 2 jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-
14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain, yaitu:
- mioglobin: dapat deteksi 12 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
- Kreatinin kinase atau CK : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
- LDH : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard mencapai puncak 3-6 hari dan
kembali normal dalam 8-14 hari.
2
1. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam
10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan
dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi
segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi
reperfusi. Jika pemeriksaan awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI
inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis miokard infark gelombang
Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi
thrombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami
angina pectoris tidak stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST
berkembang tanpa menunjukan gelombang Q disebut infark non Q. Istilah infark
miokard transmural digunakan jika EKG hanya menunjukan gelombang Q atau
3
hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya
menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T.
2. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien dengan murmur sistolik untuk
memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta atau kardiomiopati hipertropik. Selain itu
dapat pula menentukan luasnya iskemi bila dilakukan waktu nyeri dada sedang
berlangsung. 4
B. Diagnosis
1. Working diagnosis
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. IMA
dengan elevasi ST merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut yang terdiri dari angina
pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST. Infark miokard dengan
elevasi ST merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut yang gejalanya dapat ditandai
dengan adanya serangan angina pectoris. Angina pectoris adalah rasa nyeri yang timbul akibat
dari iskemi miokardium. Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥ 2 mm,
minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau ≥ 1 mm pada 2 sadapan ekstremitas.
Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnostic.
Namun, keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, mengingat dalam tatalaksana infark miokard.
4
2. Differential diagnosis
Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (Non ST Elevation Myokardia l Infarction = NSTEMI)
Angina Pektoris Tak Stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa
elevasi ST ( non ST Elevation Myokardial Infarction = NSTEMI ) diketahui merupakan
kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis, namun berbeda derajat
berat ringannya ,sehingga pada prinsip penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Yang
terutama berbeda apakah iskemi yang terjadi cukup berat untuk mengakibatkan kerusakan
miokard dan petanda kerusakan otot yang dapat diperiksa secara kuantitatif; yang tersering
troponin I (Tn I), troponin T (Tn T), atau creatine kinase-MB (CK-MB). Jika sudah terbukti
tidak ada petanda biokmia nekrosis miokard yang dikeluarkan, maka pasien dikatakan
mengalami UA. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA
menunjukkan adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Pada
keadaan tersebut dapat terjadi perubahan pada segmen T atau gelombang T. Pada pasien UA,
hal ini bisa saja terjadi, namun biasanya tidak menetap. Petanda dari kerusakan miokard
dapat terdeteksi di dalam darah beberapa jam setelah kejadian nyeri iskemik, yang
memberikan petunjuk untuk membedakan UA dan NSTEMI.
Tabel 2. Perbedaan antara Angina tidak stabil,NSTEMI dan STEMI.
GERD
- Pemeriksaan
a. Fisik
5
Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal, gejala
atipikal, dan gejala alarm.
1. Gejala tipikal (typical symptom)
Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien GERD, yaitu: heart burn,
belching (sendawa), dan regurgitasi (muntah)
2. Gejala atipikal (atypical symptom)
Adalah gejala yang terjadi di luar esophagus dan cenderung mirip dengan
gejala penyakit lain. Contohnya separuh dari kelompok pasien yang sakit dada
dengan elektrokardiogram normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari
penderita asma ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang
muncul sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala
atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi.
3. Gejala alarm (alarm symptom)
Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang berkepanjangan dan
kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien yang tidak ditangani
dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini disebabkan oleh refluks
berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm: sakit berkelanjutan,
disfagia (kehilangan nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan, tersedak.
Penting untuk diperhatikan bahwa keparahan gejala tidak selalu berkaitan
dengan keparahan esofagitis, tetapi berkaitan dengan durasi reflux. Pasien
dengan penyakit yang nonerosif dapat menunjukkan gejala yang sama dengan
pasien yang secara endoskopi menunjukkan adanya erosi esophagus.
b. Penunjang
Endoskopi dilakukan pada pasien yang tidak merespon terapi, pasien yang mengalami
gejala alarm, atau pasien yang mengalami gejala GERD terus menerus
o Endoskopi saluran cerna bagian atas, untuk menemukan kerusakan esophagus.
Pemeriksaan ini dapat didukung dengan pemeriksaan histopatologi.
o Esofagografi dengan barium, akan tetapi pemeriksaan ini kurang sensitive.
6
- Etiologi1
Inflamasi esophagus bagian distal terjadi ketika cairan lambung dan duedonum
termasuk asam lambung, pepsin, tripsin, dan asam empedu mengalami regurgitasi
dalam esophagus. Penurunan tonus spingter esophagus bagian bawah dan gangguan
motilitas meningkatkan waktu pengosongan dan terjadinya relaksasi transien spingter
esophagus bawah secara berulang. Faktor yang meningkatkan waktu pengosongan
esophagus termasuk didalamnya interaksi antara postur dan gravitasi, ukuran dan isi
makanan yang dimakan, pengosongan lambung abnormal, dan kelainan peristalsis
esophagus.
- Epidemiologi
Di USA, dilaporkan prevalensi GERD adalah 1139 pasien berusia 3-17 tahun. Di UK
pada tahun 2000-2005 ditemukan 1700 anak dengan diagnosis awal GERD. Insiden ini
menurun pada anak umur 1-12 tahun dan meningkat kejadiannya hingga berumur 16-17 tahun.
GERD terdapat hampir lebih dari 75% pada anak dengan kelainan neurologi. Hal ini
dihubungkan dengan kurangnya koordinasi antara peristaltik esophagus dan
peningkatan tekanan intra abdominal yang berasal dari hipertonus otot yang
dihubungkan dengan spastisitas. Di Indonesia sendiri insidens GERD sampai saat ini
belum diketahui, tetapi menurut beberapa ahli, GERD terjadi pada 50% bayi baru lahir
dan merupakan suatu keadaan yang normal.
- Patofisiologi
Gastroesophageal reflux adalah suatu proses fisiologis normal yang mucul beberapa kali
sehari pada bayi, anak dan dewasa yang sehat. Pada umumnya berlangsung kurang
dari 3 menit, terjadi setelah makan, dan menyebabkan beberapa gejala atau tanpa
gejala. Hal ini disebabkan oleh relaksasi sementara pada sfingter esofagus bawah atau
inadekuatnya adaptasi tonus sfingter terhadap perubahan tekanan abdominal.
7
Kekuatan sfingter esofagus bawah, sebagai barier antirefluks primer, normal pada
kebanyakan anak dengan gastroesophageal reflux. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
terjadi jika isi lambung refluks ke esofafus atau orofaring dan menimbulkan gejala.
Patogenesis GERD ini multifaktorial dan kompleks, melibatkan frekuensi refluks,
asiditas lambung, pengosongan lambung, mekanisme klirens esofagus, barier mukosa
esofagus, hipersensitivitas visceral, dan respon jalan napas. Refluks paling sering
terjadi saat relaksasi sementara dari sfingter esofagus bawah tidak bersamaan dengan
menelan, yang memungkinkan isi lambung mengalir ke esofagus.
Terjadi ketidakseimbangan antara factor defensive dan factor ofensif. Dimana factor
defensive adalah :
o LES (Lower Esophageal Sphincter)
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada
saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Factor yang dapat menurunkan
tonus LES: hiatus hernia, makin pendek LES makin rendah tonusnya, obat-obatan
seperti antikolinergik, theofilin, beta adrenergic dan factor hormonal kaena
selama kehamilan peningkatan kadar progesterone dapat menurunkan tonus LES.
o Bersihan asam dari lumen esophagus; Factor yang berperan adalah gravitasi,
peristaltic, eksresi air liur dan bikoarbonat. Sering terjadi refluks pada malam hari
karena selama tidur bersihan esophagus tidak aktif sehingga berpotensi
menimbulkan kerusakan esophagus
o Ketahanan epitel esophagus
Esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus.
Mekanisme ketahanan tersebut terdiri dari : membrane basal, batas intraseluler
yang membatasi difuse H+ ke jaringan esophagus, aliran darah esophagus yang
mensuplai nutrient, oksigen dan bikarbonat, serta mengeluarkan H+ dan CO2, dan
sel-sel esophagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
- Faktor ofensifnya adalah asam lambung, dilatasi lambung, obstruksi gastric outlet ,
delayed gastric emptying.
- Penatalaksanaan
o Modifikasi gaya hidup dengan memposisikan kepala lebih tinggi saat tidur, tidak
makan sebelum tidur, berhenti merokok karena rokok menurunkan tonus LES,
mengurangi konsumsi lemak, serta menghindari konsumsi alkohol dan minuman
bersoda.
o PPI, seperti Omeprazol, Lansoprazol, pantoprazol yang berperan dalam
menghilangkan keluhan dan penyembuhan lesi esophagus.
8
o Antasida, dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Dosisnya
4x1 sendok makan.
o Antagonis reseptor H2
Simetidin, Ranitidin, Famotidin, Nizatidin.
o Obat prokinetik, seperti domperidon (meningkatkan tonus LES dan mempercepat
pengosongan lambung), cisapride (menghilangkan gejala dan menyembuhkan lesi
esophagus).
- Komplikasi
o Penyempitan kerongkongan (striktur esofagus). Kerusakan sel-sel di
kerongkongan yang lebih rendah dari paparan asam menyebabkan
pembentukan jaringan parut. Jaringan parut mempersempit jalur makanan,
menyebabkan kesulitan menelan.
o Luka terbuka di dalam kerongkongan (esofagus ulkus) Asam lambung
sangat dapat mengikis jaringan di kerongkongan, menyebabkan luka
terbuka untuk membentuk.. Ulkus esofagus mungkin berdarah,
menyebabkan nyeri dan membuat menelan sulit.
o Perubahan prakanker kerongkongan (esofagus Barrett). Dalam
esofagus Barrett, warna dan komposisi jaringan lapisan perubahan
esofagus bagian bawah. Perubahan ini dikaitkan dengan peningkatan
risiko kanker esophagus. Risiko kanker rendah, tetapi dokter anda
mungkin akan merekomendasikan ujian reguler endoskopi untuk mencari
tanda-tanda peringatan awal kanker esophagus.
- Pencegahan
Untuk mencegah penyakit, yang mulai dikenal luas sejak 2002 ini, masyarakat harus
mengubah pola hidup dengan perbaikan konsumsi asupan yang seimbang. Perbanyak
makan sayuran dan buah-buahan merupakan langkah awal pencegahan GERD. Selain
itu, banyak berolahraga. Manajemen stres juga sangat membantu.
- Prognosis
9
Baik. Kebanyakan orang menanggapi tindakan nonsurgical, dengan perubahan
gaya hidup dan obat-obatan. Namun, banyak pasien perlu terus menggunakan
obat untuk mengontrol gejala mereka.
D. Etiologi
Penyakit jantung iskemik adalah sekelompok sindrom yang berkaitan erat yang
disebabkan olehn ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran
darah. Penyakit jantung iskemik juga merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang
timbul dengan keluhan dada seperti diikat atau nyeri seperti ditekan di bagian tengah dada
yaitu angina atau infark miokard. Penyebab tersering PJI adalah menyempitnya lumen arteria
koronaria oleh aterosklerosis, sehingga sering disebut penyakit jantung koroner.
C. Epidemiologi
Merupakan pembunuh nomor satu pada pria maupun wanita di Amerika Serikat. Lebih dari satu
juta infark miokard terjadi pertahun di AS. Kematian akibat kardiovaskuler telah menurun 50% pada 3
dekade terakhir (angka penurunan ini tertinggi terjadi pada pria kulit putih dan terendah pada wanita
kulit hitam). Diperkirakan bahwa lebih dari 2 juta warga AS menderita iskemia miokard silent dengan
peningkatan risiko menderiota MI dan kematian mendadak. Bahkan dari tahun 2000-an dapat
dipastikan kecenderungan penyebab kematian di Indonesia bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit
kardiovaskuler. Penyakit ini dapat timbul pada semua usia, tetapi paling sering pada usia lanjut,
dengan insiden lebih dari 60 tahun pada laki-laki dan 70 tahun pada perempuan.
D. Faktor risiko
1. Dapat Diubah (dimodifikasi)
Hiperkolesterolemia Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan
dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh derah tersebut menyempit dan
proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah
menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran derah pada pembuluh derah koroner yang
fungsinya memberi 02 ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya 02 akan menyebabkan otot
jantung menjadi lemah, sakit dada, serangan jantung bahkan kematian.
Rokok Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya konsumsi 02 akibat inhalasi CO. Katekolamin juga dapat menambah
reaksi trombosis dan juga menyebabkan kerusakan dinding arteri, sedangkan glikoprotein
tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri. Di samping itu rokok dapat
menurunkan kadar HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok
yang diisap, kadar HDL kolesterol makin menurun.
10
Hipertensi Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga
menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan
ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Serta tekanan darah yang tinggi dan menetap
akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina
pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi
dibandingkan orang normal.
Stress
Obesitas
Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol total dan LDL kolesterol.
Kurang aktifitas
Diabetes Mellitus
Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh
darah. Mekanismenya belum jelas, akan tetapi terjadi peningkatan tipe IV hiperlipidemi dan
hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi.
2 Tidak dapat diubah
Usia Meningkatnya usia akan menyebabkan meningkat pula penderita PJK pembuluh darah
mengalami perubahan progresif dan berlangsung lama dari lahir sampai mati. Tiap arteri
menghambat bentuk ketuanya sendiri. Arteri yang berubah paling dini mulai pada usia 20
tahun adalah pembuluhcoroner. Arteri lain mulai bermodifikasi hanya setelah usia 40 tahun.
terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Juga
diadapatkan hubungan antara umur dan kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol total akan
meningkat dengan bertambahnya umur.
Jenis KelaminMerupakan kenyataan bahwa wanita lebih sedikit mengalami serangan jantung
di bandingkan pria. Rata-rata kematian akibat serangan jantung pada wanita terjadi 10 ma
dari pria. Secara umum faktor resiko lebih sedikit menyebabkan kelainan jantung
PJK .namun ketahanan wanita berubah setelah menopause. Hal ini diduga faktor hormonal
seperti estrigen melindungi wanita.
Ras
Herediter
E. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat, yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
11
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskular, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, huioertensi, dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture, atau
ulserasi, dan jika kondisi lokal atau iskemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural
pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitianm histologist menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya akan
lipid. Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri Dari fibrin kaya akan thrombus, yang dipercaya
menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kiolagen, ADP, epinefrin)memicu aktivasi
trombosit yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2. Selain itu, aktivitas
trombosit akan memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami
konversi fungsinya, reseptor memiliki afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi
yang larut dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Koagulasi
diaktivasi oleh pada pajanan faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,
mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh thrombus yang
terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh
oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner,
dll.
Sindrome iskemia koroner transien7
- Angina stabil
o Lesi aterosklerotik mengobstruksi aliran secara parsial. Stenosis pembuluh darah
“saluran proksimal” menyebabkan autoregulasi pembuluh balik distal untuk
mempertahankan aliran; bila stenosis melebihi resistensi jaringan distal, autoregfulasi
tidak mampu lagi mengkompensasi.
o Obstruksi aterosklerosis koroner yang berkembang secara perlahan memungkinkan
perfusi kolateral sehingga risiko mengalami infark lebih kecil dan prognosis cukup baik,
tetapi risiko MI dan kematian meningkat sesuai jumlah pembuluh darah yang terkena
dan beratnya obstruksi.
- Iskemia transien terjadi bila terdapat peningkatan kebutuhan miokard terhadap aliran
koroner.
o Metabolisme anaerob menyebabkan stimulasi laktat pada reseptor nyeri dan
penghambatan kontraktilitas miokard mengakibatkan penurunan transien dalam fraksi
ejeksi dengan kongesti paru dan perfusi jaringan perifer yang buruk.
12
o Meskipun tidak ada infark akut dalam jaringan miokard pada angina stabil, iskemia yang
berulang menyebabkan remodeling miokard iskemik dan mengakibatkan risiko gagal
jantung.
o Semakin banyak bukti mengenai prakondisi iskenmik yang menunjukkan bahwa iskemia
episode singkat yang terjadi berulang kali dapat menginduksi mekanisme adaptif pada
jaringan miokard yang bersifat melindungi selama kejadian iskemik berkepanjangan.
- Hasil metabolisme anaerob oleh miosit akan menghasilkan asam laktat yang menyebabkan
stimulasi saraf simpatis aferen lainnya menyerbabkan nyeri di daerah substernum; stimulasi
silang pada saraf simpatis aferen lainnya menyenankan nyeri menyebar ke leher, rahang,
bahu kiri, atau lengan kiri.
Sindrom koroner akut
Terjadi apabila ada obstruksi koroner mendadak akibat pembentukan thrombus pada plak
aterosklerosis. Komite Jantung Amerika menetapkan landasan bahwa beberapa lesi aterosklerotik
stabil dan berkembang secara bertahap sehingga menyumbat lumen pembuluh darah, sementara
lesi lain yang tidak stabil rentan terhadap rupture plak mendadak dan pembentukan thrombus
mengakibatkan sindrom koroner akut pada angina tidak stabil, mengakibatkan miokard infark dan
kematian.
Plak yang tidak stabil dan rentan terhadap rupture adalah plak yang intinya kjaya akan LDL.
Pecahnya plak terjadi akibat aliran tekanan darah, infalamasi dengan pelepasan berbagai mediator
inflamasi , dan apoptosis sel pada tepi lesi. 8Dengan adanya plak, maka akan mengaktifkan
rangkaian peristiwa pembekuan dan aktivitas trombosit yang menyebabkan pelepasan koagulan
sehingga terjadi agregasi dan perlengketan trombosit. Trombus yang terbentuk akan menyumbat
dengan cepat. Trombus ini akan menyumbat pembuluh darah tidak lebih dari 10-20 menit dengan
kembalinya perfusi sebelum terjadinya nekrosis miokard yang bermakna. Angina tidak stabil
terjadi sebagai angina awitan baru, angina yang terjadi saat istirahat. Pasien mungkin mengalami
dispneu dan kecemasan yang semakin berat saat angina memburuk
F. Penatalaksanaan
- Medika
STEMI
1. Antitrombotik1
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi
arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan ntendensi pasien
menjadi thrombosis. Aspirin merupakan anti platelet standar pada STEMI.
13
Klopidogrel harus diberikan sesegera mungkin pada semua pasien STEMI yang
mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PCI, dianjurkan dosing loading 600 mg.
Sedangkan yang tidak mengalami PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75
mg per hari. Inhibitor glikoprotein menunjukan manfaat untuk mencegah komplikasi
thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif,
riwayat emboli, trombusmural pada echocardiografi 2 dimensi atau fibrtilasi atriakl
merupakan risiko tinggi tromboemboli paru siostemik. Pada keadaan ini harus mendapat
terapi anti thrombin kadar terapeutik penuh atau (UFH atau LMWH) selama dirawat,
dilanjutkan terapi Warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan. Pada pasca STEMI, dengan onset
<12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau pasien STEMI dengan onset >12 jam
aspirin, klopidogren dan obat anti thrombin (heparin, enoksapirin atau fondaparinux) harus
diberikan segera mungkin.
2. Penyekat beta
Manfaat penyekat beta terhadap pasien STEMI, dapat dibagi menjadi: yang terjadi
segera jika diberikan obat secara kuat dan diberikan dalam jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV
memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk : sebagian besar pasien yang mendapat
terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi atau (pasien dengan gagal
jantung atu fungis sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik
atau riwayat asma).
3. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Mekanisme yang melibatkan
penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung.
Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE ahrus diberikan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal
jantung. Pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel
kiri secara global atau terdapat abnormalitas dinding global. Penelitian klinis dalam
tatalaksana pasien gagal jantung trermasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI
menunjukkan bahwa angiotensin receptor bloker (ARB) bermanfaat pada pasien dengan
14
fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor
ACE.
4. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spectrum sindrom koroner akut. Inhibise cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325
mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
ANGINA STABIL:
1. Nitrat sublingual atau spray : untuk episode nyeri atau profilaksis terhadap aktivitas yang
diketahui mencetuskan angina; nitrat topical atau oral bila angina terjadi lebih dari 3-4 kali
perminggu.
2. Penyekat beta terutama pada pasien takikardi atau hipertensi, hindari pada lansia dan
gangguan PPOK.
3. Calcium channel blokers harus ditambahkan pada penyekat beta bila nyeri tidak hilang.
- Non medika
STEMI
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan
dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure
atau takiaritmia ventricular yang aritmia. Sasaran terapi reperfusi pada psien STEMI adalah door-
to-needle ( atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai
dalam 30 menit atau door-to-balloon (atau medical contact-to-balloon) time untuk PCI dapat
dicapai dalam 90 menit. Percutaneus Coronary Intervention (PCI), biasanya angiplasti dan/atau
stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard. PCI primer
lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka panjang dan jangka pendek yang lebih baik.
15
ANGINA STABIL:
1. Perubahan gaya hidup
2. Bila dari hasil pemeriksaan non invasive mennunjukkan adanya gangguan pada 3 pembuluh
darah atau penyakit utama koroner kiri, maka indikasikan PTCA atau CABG.
3. Bila nyeri menetap atau memberat, dilaksanakan katerisasi dan kemungkinan PTCA dengan
atau tanpa stenting atau CABG. Bila angina tidak teratasi, pertimbangkan revaskularisasi
miokardium perkutan (PMR).
G. Pencegahan
- Olahraga dapat mengurangi risiko sebanyak 45%, penurunan berat badan sebanyak 55%.
- Pengontrolan tekanan darah dengan gaya hidup, diet, dan obat-obatan dapat menurunkan risiko
secara bermakna.
- Diet: mengurangi lemak dan kolesterol diet menurunkan risiko jantung
- Berhenti merokok
H. Komplikasi
Disfungsi ventricular1
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan sereal dalam bentuk, ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling
ventricular dan umumnya mendahului perkembangannya gagal jantung secara kilnis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi
secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al: slippage serat otot, disrupsi sel
miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnmya, terjadi pula
pemanjangan segmen non infark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan
elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apex ventrikel kiri yang
16
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lenih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat
dengan terapi inhibor ACE dan vasodilator. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40% tanpa
melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus diberikan.
Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan atau pump failure merupakan penyebab utama kematian di RS pada STEMI.
Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai
adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 Gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering
ditemukan kongesti paru.
Gagal Jantung
Gagal jantung (Heart Failure) umumnya didefinisikan sebagai ketidakmampuan jantung
untuk memasok aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Ini memiliki
berbagai kriteria diagnostik, dan istilah gagal jantung sering salah digunakan untuk
menjelaskan penyakit jantung terkait lainnya, seperti infark miokard (serangan jantung) atau
serangan jantung. Penyebab gagal jantung (Heart Failure) termasuk infark miokard (serangan
jantung) dan bentuk lain dari penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit jantung katup,
dan cardiomyopathy. Gagal jantung dapat menyebabkan sejumlah gejala termasuk sesak
nafas (biasanya lebih buruk ketika berbaring datar, yang disebut ortopnea), batuk, kongesti
vena kronis, pergelangan kaki bengkak, dan intoleransi latihan. Gagal jantung sering tidak
terdiagnosa karena kurangnya definisi universal yang disepakati dan tantangan dalam
diagnosis definitif. Pengobatan umumnya terdiri dari langkah-langkah gaya hidup (seperti
berhenti merokok, cahaya latihan termasuk protokol pernapasan, penurunan asupan garam
dan perubahan pola makan lainnya) dan obat-obatan, dan kadang-kadang peralatan atau
bahkan operasi.8 Gagal jantung adalah kondisi umum, mahal, menonaktifkan, dan
berpotensi mematikan. Gagal jantung berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental secara
signifikan berkurang, sehingga kualitas hidup menurun tajam. Dengan pengecualian gagal
jantung disebabkan oleh kondisi reversibel, kondisi biasanya memburuk dengan waktu.
Meskipun beberapa orang yang bertahan hidup bertahun-tahun, penyakit progresif dikaitkan
dengan tingkat kematian secara keseluruhan tahunan sebesar 10%.
17
I. Prognosis
Indikator prognosis penting pada pasien dengan angina pektoris meliputi fungsi LV,
respon gejala pada perawatan medis, umur, luasnya penyakit arteri koroner,beratnya gejala
dan yang terpenting adalah jumlah otot jantung yang masih berfungsi normal.
Makin luas arteri koroner yang terkena atau makin buruk penyumbatannya, maka
prognosisnya makin jelek.
J. Pencegahan
Pencegahan terbaik untuk menurunkan resiko penyakit jantung koroner seperti: 9
a. Mengkonsumsi nitroglycerin sebelum melakukan aktivitas yang memicu terjadinya angina.
b. Berusaha untuk mencegah stress berlebih, mengkontrol tekanan darah, diabetes, dan kolesterol,
berhenti merokok
c. Memakan makanan sehat rendah lemak dan kolesterol, serta buah-buahan dan sayuran, olahraga
teratur, menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan.
d. Vitamin E atau C, antioksidan, asam folat dapat menjadi terapi pencegahan untuk resiko penyakit
jantung.
e. Konsumsi alcohol dapat menurunkan resiko masalah penyakit jantung (1 gelas/hari untuk wanita,
2 gelas/hari untuk pria). Tetapi, mengkonsumsi alcohol berlebih dapat membangkitkan penyakit
jantung.
II. PENUTUP
Adanya gejala seperti nyeri dada sebelah kiri yang timbul saat beraktivitas dan membaik saat
beristirahat merupakan salah satu gejala dari angina pectoris yang stabil juga disertai elevasi ST yang
merupakan STEMI (ST Elevasi Miocard Infark). Untuk itu, pasien harus diperiksa secara menyeluruh
untuk mendapatkan diagnosis yang pasti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Idrus Alwi. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Edisi V. Jakarta: interna publishing; 2010, hal
1741-1756.
2. Davey P. At a glance medicine. Dalam Nyeri dada. Editor: Amalia Safitri. Jakarta: Erlangga; 2007,
hal 10.
18
3. H Huon, Dawkins KD, Simpson LA, Morgan JM. Lecture notes: kardiologi. Dalam sindrom koroner
akut. Editor Azwar Agus, Asri Dwi R, Hamed Oemar. Edisi 4. Jakarta: Erlangga, 2005, hal 108-116.
4. Harijanto PN, Setiawan B, Zulkarnain I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Dalam Infark miokard akut
dengan elevasi ST oleh Idrus Alwi. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, penyunting. Edisi 5 (II).
Jakarta: Interna Publishing; 2009, hal 718-20.
5. Robbins, Cortan, Mitchell RN. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC, 2008, hal
331.
6. Valentina L. Brashers. Aplikasi klinis patofisiologi. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008, hal 35-42.
7. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2007,
hal 409.
19