29
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kesempatan, dan semangat kepada kami untuk menyusun makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pajak Pertambahan Nilai, yang dipandang perlu untuk dikuasai oleh mahasiswa dalam rangka membekali diri agar dapat menambah wawasan serta dapat menerapkan dalam bekerja. Terima kasih kepada dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai yang telah mengajar kami, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kepada teman-teman dan sumber- sumber lainnya yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih. Dengan adanya keterbatasan, baik kemampuan maupun kesempatan, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran, serta sumbangan pemikiran dari pembaca sebagai bahan masukan yang membantu untuk penyempurnaan makalah ini. Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca. Bintaro, 08 April 2015 Penulis i

Makalah Subjek PPN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah Subjek PPN. Pajak Pertambahan Nilai. UU PPN 1984. Perpajakan Indonesia

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kesempatan, dan semangat kepada kami untuk menyusun makalah ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pajak Pertambahan Nilai, yang dipandang perlu untuk dikuasai oleh mahasiswa dalam rangka membekali diri agar dapat menambah wawasan serta dapat menerapkan dalam bekerja.

Terima kasih kepada dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai yang telah mengajar kami, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kepada teman-teman dan sumber-sumber lainnya yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih.

Dengan adanya keterbatasan, baik kemampuan maupun kesempatan, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran, serta sumbangan pemikiran dari pembaca sebagai bahan masukan yang membantu untuk penyempurnaan makalah ini.

Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca.

Bintaro, 08 April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARi

DAFTAR ISIii

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang1

B. Tujuan1

BAB IIPEMBAHASAN

A. PPN atas Impor dan Ekspor2

B. Subjek PPN Berdasarkan Pasal 4 UU PPN 1984 jo.

Pasal 1 (15) UU PPN 19845

C. Pengusaha Kecil Sebelum dan Sejak 1 Januari 20087

D. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak9

E. Mekanisme Pelaksanaan Kewajiban Melaporkan Usaha Untuk

Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak11

F. Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak12

BAB IIIPENUTUP14

DAFTAR PUSTAKA15

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Subjek PPN bisa siapa saja tidak harus badan. Subjek PPN berbeda dengan subjek pajak penghasilan. Subjek PPN badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

B. Tujuan

1. Memahami Siapa Saja Subjek Pajak Pertambahan Nilai

2. Memahami Kewajiban Pengusaha Kena Pajak

3. Memahami Mekanisme Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

4. Memahami Mekanisme Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

18

BAB II

PEMBAHASAN

A. PPN atas Impor dan Ekspor

1. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean

Pasal 1 angka 10 UU PPN 1984 menyebutkan Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, maka atas Barang Kena Pajak tidak berwujud yang berasal dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam daerah pabean juga dikenakan PPN.

Contoh: PT. Seruni yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki pengusaha yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh PT. Seruni di dalam daerah pabean terutang PPN.

2. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean

Pasal 1 angka 8 UU PPN 1984 menyebutkan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Jasa yang berasal dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam daerah pabean dikenakan PPN.

Contoh: PT. ABC di Bandung memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari pengusaha yang berkedudukan di Malaysia. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang PPN.

3. Ekspor Barang Kena Pajak Oleh Pengusaha Kena Pajak

Pasal 1 angka 11 UU PPN 1984 menyebutkan Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean.

Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c, maka pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).

Kenapa ekspor Barang Kena Pajak menjadi objek PPN sedangkan pengertian PPN itu sendiri adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang di dalam negeri. Ekspor akan menyebabkan barang tersebut dikonsumsi di luar negeri. Oleh karenanya PPN atas ekspor dikenakan tarif 0% atau dengan kata lain tidak terkena PPN. Tarif PPN 0% atas ekspor akan menyebabkan pengusaha yang mengekspor barang akan mengalami kelebihan pembayaran PPN yang bisa direstitusi.

4. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

Pasal 1 angka 28 UU PPN 1984 menyebutkan Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari dalam daerah pabean di luar daerah pabean. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah:

1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;

2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;

3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikan, industrial, atau komersial;

4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:

a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan

6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Contoh: PT. Filmvisi adalah Pengusaha Kena Pajak berkedudukan di Jakarta bergerak dalam bidang produksi film, ia melakukan penjualan hak pemutaran salah satu film produksinya untuk ditayangkan di bioskop di Singapura. Pengenaan PPN atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud sama dengan kegiatan eksppr Barang Kena Pajak Berwujud, dikenakan hanya kepada pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

5. Ekspor Jasa Kena Pajak

Pasal 1 angka 29 UU PPN 1984 menyebutkan Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar daerah pabean.

Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar daerah pabean.

Tidak semua ekspor Jasa Kena Pajak dikenakan PPN, hanya beberapa jasa yang termasuk dalam Jasa Kena Pajak saja yang merupakan objek PPN. Batasan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK No.70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan Dan Jenis Jasa Kena Pajak Yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Jasa-jasa tersebut sebagai berkut:

a. Jasa Maklon. Batasannya adalah sebagai berikut:

Pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak berada di luar daerah pabean dan merupakan wajib pajak luar negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya;

Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak;

Bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan;

Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; dan

Pengusaha jasa maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penrima Jasa Kena Pajak ke luar daerah pabean.

b. Jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan

c. Jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan.

Batasan atas kedua jasa tersebut (jasa perbaikan dan jasa konstruksi) adalah sebagai berikut:

Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar daerah pabean; atau

Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar daerah pabean

Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak adalah pada saat ekspor Jasa Kena Pajak yaitu pada saat penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak pada saat ekspor Jasa Kena Pajak yang dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak.

Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor jasa maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir jasa maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai atas:

a. Perolehan Barang Kena Pajak;

b. Perolehan Jasa Kena Pajak;

c. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar daerah pabean;

d. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean; dan/atau

e. Impor Barang Kena Pajak

Yang bila dari kelima poin tersebut tidak berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor Jasa Maklon, merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN 1984.

B. Subjek PPN Berdasarkan Pasal 4 UU PPN 1984 jo. Pasal 1 Angka 15 UU PPN 1984

Berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang objek pajak sebagaimana diatur dalam pasal 4, pasal 16C dan pasal 16D UU PPN 1984, subjek PPN dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :

1) Pengusaha Kena Pajak

Ketentuan yang mengatur bahwa sibjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak diatur dalam pasal 4 huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, huruf h, dan pasal 16D serta pasal 1 angka 15 UU PPN 1984. Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah :

1. Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP (Pasal 4 huruf a dan c UU PPN 1984)

2. Pengusaha yang mengekspor BKP dan JKP (Pasal 4 huruf f, g, dan h UU PPN 1984)

3. Pengusaha yang melakukan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (Pasal 16 D UU PPN 1984)

2) Bukan Pengusaha Kena Pajak

Ketentuan yang mengatur pengusaha Bukan PKP diatur dalam pasal 4 huruf b, huruf d, huruf e dan pasal 16 C UU PPN 1984. Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa dapat dikenakan PPN terhadap :

1. Yang melakukan impor BKP (Pasal 4 huruf b UU PPN 1984)

2. Yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan JKP dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean (Pasal 4 huruf d UU PPN 1984)

3. Yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya (Pasal 16C UU PPN 1984)

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf a ditegaskan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa yang termasuk PKP tidak semata-mata hanya pengusaha yang sudah dikukuhkan menjadi PKP tetapi termasuk PKP yang timbul disebabkan oleh UU.

Selanjutnya diperluas kembali dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa termasuk pengusaha yang dikukuhkan sebagai PKP adalah:

1. Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP dan JKP.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha menyerahkan barang. Pengertian pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan pasal 1 angka 14 dan 15 UU PPN 1984 adalah sebagai berikut :

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang ada dalam kegiatan usaha atau pekerjaanya menghasilkan barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyarahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU atau jasa yang terutang PPN. Kegiatan usaha itu meliputi :

Menghasilkan barang

Mengimpor barang

Melakukan usaha perdagangan

Memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean

Melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari daerah pabean

2. Bentuk kerja sama operasi atau Joint Operation (JO)

Adanya ketentuan ini menjadi kelonggaran bagi pengusaha untuk dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak walaupun belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Oleh karena itu, terhadap pengusaha dapat dimungkinkan melakukan pengkreditan Pajak Masukan yang diterima atas perolehan barang modal dalam tahap pra operasi.

Ketentuan ini juga menegaskan bahwa status PKP sudah ada sejak semula pengusaha tersebut bermaksud melakukan penyerahan BKP dan JKP. Sehingga pengusaha berbentuk perseroan terbatas yang bermaksud akan melakukan kegiatan industri BKP, status PKP sudah dimiliki sejak tanggal yang tercantum dalam akte pendirian karena saat itu sudah bermaksud akan melakukan produk berupa BKP.

Apabila dua badan atau lebih dalam rangka menyelesaikan suatu proyek mendirikan suatu kerjasama usaha berbentuk Joint Operation, maka berdasarkan penegasan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak tentang bentuk kerjasama operasi atau Joint Operation (JO), perlakuan PPN nya sebagai berikut :

a. Apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata dilakukan atas nama Joint Operation, maka Joint Operation harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Oleh kerena itu Joint Operation harus mendaftarkan diri menjadi Pengusaha Kena Pajak dan harus memenuhi kewajibannya sebagai PKP./

b. Apabila seluruh dengan pihak lain secara nyata dilakukan atas nama masing-masing anggota Joint Operation, sedangkan Joint Operation hanya untuk koordinasi dan secara nyata tidak melakukan transaksi penyerahan BKP/JKP kepada pihak lain, maka wajib dikukuhkan menjadi PKP hanya para anggota Joint Operation saja.

c. Dalam hal Joint Operation menunjuk leader maka apabila atas jasa yang diberikan oleh leader kepada anggota diterima pembayaran imbalan, maka atas pembayaran tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 2 PP No. 28 Tahun 1988 jo. Pengunguman Direktur Jenderal Pajak No. PENG-139/PJ.63/1989, tentang PPN.

3) Pengusaha Kecil

Batasan pengusaha kecil berdasarkan Pasal 3A Ayat (1) UU PPN 1984 diatur bahwa pengusaha kecil tidak termasuk sebagai PKP sehingga tidak diwajibkan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Namun demikian, berdasarkan Pasal 3A Ayat (1a) UU PPN 1984 Pengusaha Kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kecil yang memilih dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPnBM yang terutang.

Batasan Pengusaha Kecil sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 68/PMK.03/2010adalah sebagai berikut :

1. Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

2. Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.

3. Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila sampai dengan suatu dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan/atau penerima brutonya telah melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

4. Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihiRp.600.000.000,00(enam juta rupiah).

5. Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukan adanya kewajiban perpajakan tidak dipenuhi pengusaha, DJP dapat mengukuhkan pengusaha PKP secara jabatan.

6. DJP dapat menerbitkan SKP dan/atau STP untuk masa pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai PKP, terhitung sejak saat jumlah peredaran dan/atau penerimaan brutonya Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

C. Pengusaha Kecil Sebelum dan Sejak 1 Januari 2008

Definisi atau batasan pengusaha kecil ternyata telah mengalami beberapa kali perubahan sejak berlakunya KMK-430/KMK.04/1984:

1. Periode 1 Juli 1984 - 31 Maret 1989.

Berdasarkan KMK-430/KMK.04/1984, Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dengan jumlah nilai peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 60.000.000,- (Enam puluh juta rupiah) setahun dan menggunakan modal usaha tidak lebih dari Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah).

2. Periode 1 April 1989 - 31 Desember 1991.

a. Berdasarkan KMK-303/KMK.04/1989, Pengusaha Kecil adalahpengusaha peroranganyang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan penyerahan

b. Barang Kena Pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun;

c. Jasa Kena Pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) setahun.

3. Periode 1 Januari 1992 - 31 Desember 1994.

a. Berdasarkan KMK-1288/KMK.04/1991, Pengusaha Kecil adalahorang atau badanyang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan penyerahan:

b. Barang Kena Pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah ) setahun;

c. Jasa Kena Pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun.

4. Periode 1 Januari 1995 - 31 Desember 2000.

a. Berdasarkan KMK-648/KMK.04/1994, Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan :

b. Barang Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp.240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah); atau

c. Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).

5. Periode 1 Januari 2001 - 31 Desember 2003.

Berdasarkan KMK-552/KMK.04/2000, Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan:

a. Barang Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah);

b. Jasa Kena Pajak dengan jumlah penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta rupiah); atau

c. Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, dengan jumlah peredaran bruto dan penerimaan bruto tidak lebih dari:

1) Rp 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) jika peredaran Barang Kena Pajak lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh peredaran bruto dan penerimaan bruto; atau

2) Rp 180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta rupiah) jika penerimaan Jasa Kena Pajak lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh peredaran bruto dan penerimaan bruto.

6. Periode 1 Januari 2004 - 31 Desember 2013.

Berdasarkan KMK-571/KMK.03/2003, Pengusaha kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.600.000.0000,- (enam ratus juta rupiah). KMK-571/KMK.03/2003 dicabut dengan PMK-68/PMK.03/2010 yang mulai berlaku 1 April 2010.Namun demikian di dalam PMK-68/PMK.03/2010, batasan pengusaha kecil tidak mengalami perubahan dibadingkan KMK-571/KMK.03/2003.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003, Pengusaha Kecil adalah:

0. Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang menyerahkan BKP dan/atau JKP dalam satu tahun buku memperoleh jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)

0. Apabila sampai dengan suatu Masa Pajak dalam satu tahun buku jumlah peredaran bruto lebih dari Rp600.000.000,00 maka pengusaha ini memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak sehingga wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya.

0. Dalam hal kewajiban pelaporan usaha dimaksud dilaksanakan tidak tepat waktu, maka saat pengukuhan adalah awal bulan berikutnya setelah akhir bulan seharusnya kewajiban pelaporan usaha dilakukan.

Dalam hal pengukuhan sebagai PKP dilakukan secara jabatan, makan saat pengukuhan tetap pada awal bulan berikutnya setelah batas akhir bulan seharusnya kewajiban pelaporan usaha dilakukan.

D. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) telah diatur dalam Pasal 3A UU PPN 1984 mengenai kewajiban melaporkan usaha dan kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.

Berdasarkan Pasal 3A Ayat (1), pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, atau huruf h diwajibkan:

2. Melaporkan usahanya (mendaftarkan perusahaannya) untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

2. Memungut PPN/PPnBM yang terutang.

2. Menyetor PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetor PPnBM yang terutang

2. Melaporkan penghitungan PPN/PPnBM (menyampaikan SPT Masa PPN/PPnBM)

Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil, yang batasannya detetapkan oleh Menteri Keuangan.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tanggal 14 Mei 2012 dan Pasal 2 Ayat (5) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ./2008, Wajib Pajak yang memenuhi syarat sebagai PKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama sebelum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. Dalam hal kewajiban ini tidak dilaksanakan, maka dapat diterbitkan surat pengukuhan secara jabatan sebagai PKP.

Berdasar pada Pasal 3A Ayat (1a) dan (2), pengusaha kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak tidak wajib dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak. Dengan demikian, atas penyerahan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan PPN, kecuali jika Pengusaha Kecil tersebut memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Apabila sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku, peredaran bruto (omzet) Pengusaha telah melewati batasan Pengusaha Kecil, Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, selambat-lambatnya akhir bulan berikutnya.

Apabila dalam satu tahun buku peredaran bruto Pengusaha Kena Pajak tidak melebihi batasan Pengusaha Kecil, maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pencabutan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagimana diamaksud dalam Pasal 4 huruf d dan atau yang memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang yang diperhitungkan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Subjek PPN bisa juga orang pribadi sebagaimana pasal 3A ayat 3 UU PPN 1984, PPN yang terutang atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean, harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud atau JKP tersebut.

E. Mekanisme Pelaksanaan Kewajiban Melaporkan Usaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak

1. Pengusaha yang dikenakan PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP.

2. Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha berbeda dengan tempat tinggal, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha dilakukan.

3. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP.

4. Pengusaha kecil yang tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batas yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.

Kemudian berikut merupakan tempat pendaftaran Wajib Pajak Tertentu dan Pelaporan Bagi Pengusaha Tertentu

1. Seluruh Wajib Pajak BUMN (Badan Usah Milik Negara) dan Wajib Pajak BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) di wilayah DKI Jakarta, di KPP BUMN Jakarta;

2. Wajib Pajak PMA (Penanaman Modal Asing) yang tidak go public, di KPP PMA kecuali yang telah terdaftar di KPP lama dan Wajib Pajak PMA di kawasan berikat dengan permohonan diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;

3. Wajib Pajak Badan dan Orang Asing (Badora), di KPP Badora;

4. Wajib Pajak go public, di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali Wajib Pajak BUMN/BUMD serta Wajib Pajak PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;

5. Wajib Pajak BUMN di luar Jakarta, di KPP setempat;

6. Untuk Wajib Pajak BUMN/BUMD, PMA, Badora, Go Public di luar Jakarta, khusus PPh pemotongan/pemungutan dan PPN/PPnBM di tempat kegiatan usaha atau cabang.

Mekanisme Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai PKP:

0. Wajib Pajak mengajukan berkas permohonan Pengukuhan sebagai PKP denganmenggunakan Formulir Pendaftaran dan Perubahan Data Wajib Pajak beserta persyaratannya kepada Petugas Tempat Pelayanan Terpadu.

0. Petugas Tempat Pelayanan Terpadu menerima berkas permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak kemudian meneliti kelengkapan persyaratannya. Dalam hal berkas permohonan pengukuhan PKP belum lengkap, dihimbau kepada WajibPajak untuk melengkapinya. Dalam hal berkas permohonan pengukuhan PKPsudah lengkap, Petugas Tempat Pelayanan Terpadu akan mencetak BPS dan LPAD.BPS akan diserahkan kepada Wajib Pajak sedangkan LPAD akan digabungkan dengan berkas permohonan pengukuhan PKP kemudian diteruskan kepadaPelaksana Seksi Pelayanan.

0. Pelaksana Seksi Pelayanan merekam permohonan Wajib Pajak.

0. Pelaksana Seksi Pelayanan mencetak konsep Surat Tugas Pembuktian Alamat kemudian menyerahkannya kepada Kepala Seksi Pelayanan.

0. Kepala Seksi Pelayanan menandatangani Surat Tugas Pembuktian Alamat kemudian mengembalikannya kepada Pelaksana Seksi Pelayanan.

0. Atas dasar Surat Tugas Pembuktian Alamat, Pelaksana Seksi Pelayanan melakukan penelitian lapangan kebenaran alamat Wajib Pajak

0. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, Pelaksana Seksi Pelayanan mencetak konsep Berita Acara Hasil Pembuktian Alamat kemudian menyerahkannya kepada Kepala Seksi Pelayanan. Dalam hal alamat Wajib Pajak terbukti benar, Pelaksana Seksi Pelayanan kemudian mencetak konsep Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Jika alamat PKP tidak benar, Pelaksana Seksi Pelayanan mencetak konsep Surat Penolakan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Konsep Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau konsep Surat Penolakan Pendaftaran Wajib Pajak dan Pelaporan PKP dicetak rangkap dua, yaitu:

6. Lembar ke1 : untuk Wajib Pajak

6. Lembar ke2 : untuk arsip Kantor Pelayanan Pajak

0. Pelaksana Seksi Pelayanan menyampaikan konsep Berita Acara Hasil Pembuktian Alamat dan konsep Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau konsep Surat Penolakan Pendaftaran Wajib Pajak dan Pelaporan PKP kepada Kepala Seksi Pelayanan.

0. Kepala Seksi Pelayanan menandatangani Berita Acara Hasil Pembuktian Alamat, Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau Surat Penolakan Pendaftaran Wajib Pajak dan Pelaporan PKP kemudian menyerahkan kepada Pelaksana Seksi Pelayanan.

0. Pelaksana Seksi Pelayanan menerima dokumen yang telah ditandatangani, memberi nomor, memberi stempel kantor, memisahkan dokumen untuk arsip dan dokumen yang akan diserahkan kepada Wajib Pajak.

0. Pelaksana Seksi Pelayanan mengarsipkan dan menyerahkan dokumen kepada Wajib Pajak melalui Subbagian Umum (SOP Penyampaian Dokumen di Kantor Pelayanan Pajak).

0. Proses selesai

F. Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah tindakan mencabut Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dari tata usaha Kantor Pelayanan Pajak. Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak. Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak hanya diajukan untuk kepetingan tata usaha perpajakan, dan tidak menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.

Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah hak bagi setiap Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak memenuhi syarat lagi sebagai Pengusaha Kena Pajak. Hak ini digunakan agar yang bersangkutan tidak lagi terikat pada kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tersebut dapat dilakukan dalam hal:

1. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain; atau

2. Sudah tidak memenuhi persayaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak termasuk Pengusaha Kena Pajak yang jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk pengusaha kecil.

Dalam hal jumlah peredaran bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran bruto untuk pengusaha kecil, maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat 1 bulan setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan (Pasal 13 Kep. Dirjen Pajak Nomor KEP-161/PJ./2001 yang masih berlaku).

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pecabutan Pengusaha Kena Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat 8 dan 9 UU KUP, apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dianggap dikabulkan dan surat keputusan mengenai pencabutan Pengusaha Kena Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.

BAB III

PENUTUP

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) telah diatur dalam Pasal 3A UU PPN 1984 mengenai kewajiban melaporkan usaha dan kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.

Berdasarkan Pasal 3A Ayat (1), pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, atau hurufh diwajibkan:

11. Melaporkan usahanya (mendaftarkan perusahaannya) untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

11. Memungut PPN/PPnBM yang terutang.

11. Menyetor PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetor PPnBM yang terutang

11. Melaporkan penghitungan PPN/PPnBM (menyampaikan SPT Masa PPN/PPnBM)

DAFTAR PUSTAKA

Poernomo, Yosep. 2011. Bahan Ajar Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

Sukardji, Untung. 2012. Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada