13
1 | Makalah Ashabah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum Era islam, bangsa arab telah mengenal system waris yang menjadi sebab berpindahnya hak kepemilikan atas harta benda atau hak-hak material lainnya, dari seseorang yang meninggal kepada orang lain yang menjadi ahli warisnya. Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara‟. seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Dalam Al-Qur'an telah dijelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak warisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Seiring berkembangnya zaman, masalah kewarisan dikembangkan secara kompleks oleh para fuqoha. Dalam kewarisan tersebut mereka mengelompokkan pihak-pihak dalam hal warisan diantaranya Ashabah. Mewariskan dengan cara Ashabah merupakan cara kedua untuk memberikan harta waris kepada ahli waris si mayit. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa pembagian harta waris dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fard dan ta‟shib (ashabah). Ahli waris yang mewarisi bagian tetap lebih didahulukan dari pada ahli yang menjadi ashabah. Hal ini dikarenakan kedudukan ashabul furudh lebih utama daripada kedudukan ashabah. Nabi SAW bersabda. “Berikanlah bagian-bagian tetap itu kepada orang yang berhak, dan jika ada sisa, baru untuk laki-laki dari keturunannya.” Dalam istilah ulama fiqh ashabah berarti ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati para ulama (seperti ashabul furudh) atau yang belum disepakati oleh mereka.

Makalah Tentang Ashabah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hukum dalam harta warisan

Citation preview

Page 1: Makalah Tentang Ashabah

1 | M a k a l a h A s h a b a h

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum Era islam, bangsa arab telah mengenal system waris yang menjadi sebab

berpindahnya hak kepemilikan atas harta benda atau hak-hak material lainnya, dari

seseorang yang meninggal kepada orang lain yang menjadi ahli warisnya. Islam telah

meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan

seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki

atau perempuan melalui jalan syara‟. seperti perpindahan hak milik laki-laki dan

perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya

setelah ia meninggal dunia.

Dalam Al-Qur'an telah dijelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang

berkaitan dengan hak warisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus

diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia

sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas

saudara seayah atau seibu. Seiring berkembangnya zaman, masalah kewarisan

dikembangkan secara kompleks oleh para fuqoha. Dalam kewarisan tersebut mereka

mengelompokkan pihak-pihak dalam hal warisan diantaranya Ashabah.

Mewariskan dengan cara Ashabah merupakan cara kedua untuk memberikan

harta waris kepada ahli waris si mayit. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa

pembagian harta waris dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fard dan ta‟shib

(ashabah). Ahli waris yang mewarisi bagian tetap lebih didahulukan dari pada ahli yang

menjadi ashabah. Hal ini dikarenakan kedudukan ashabul furudh lebih utama daripada

kedudukan ashabah. Nabi SAW bersabda. “Berikanlah bagian-bagian tetap itu kepada

orang yang berhak, dan jika ada sisa, baru untuk laki-laki dari keturunannya.”

Dalam istilah ulama fiqh ashabah berarti ahli waris yang tidak mempunyai bagian

tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati para ulama (seperti ashabul

furudh) atau yang belum disepakati oleh mereka.

Page 2: Makalah Tentang Ashabah

2 | M a k a l a h A s h a b a h

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian ahli waris ashabah ?

2. Apa saja macam-macam ashabah ?

Page 3: Makalah Tentang Ashabah

3 | M a k a l a h A s h a b a h

BAB II

PEMBAHASAN

A. ‘Ashabah

„Ashabah adalah bentuk jama‟ dari kata عاصب yakni ahli waris yang mendapat

harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan.1 Sedangkan ahli faroid

mendefinikan „ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada

sendirian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat bagian mereka yang

telah ditentukan.2 Jika ahli waris mayit hanya mereka, maka mereka mengambil semua

harta, dan apabila bersama mereka ini ada ahli waris yang mendapat

bagian furudh, maka mereka mengambil sisa harta setelah bagian furudh diberikan.

Namun jika harta tidak tersisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa.3

Dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang lebih

dahulu menerimanya. Konsekuensinya adalah, ahli waris yang peringkat

kekerabatannya dibawah tidak mendapatkan bagian. Hal ini berdasarkan hadist

Rasulullah :

اَأ َأ ُق ٍل َأ َأ ٍل َأ ا َأ ِح َأ َأ ُق َأ َأ ْل واِح َأ ِح َأ ْل ِح َأا َأ َأ اْل ِح ُق و واْل َأ َأ

“Berikanlah warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan jika

tersisa, maka diberikan kepada ahli waris laki-laki yang lebih berhak menerimanya”. (

H.R Al-Bukhari dan Muslim ).

Ahli waris ashabah harus menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah

ditentukan bagiannya, dan keistimewaan ashabah ini ia dapat menghabiskan seluruh,

kalau ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil apa yang menjadi

haknya.

1. Muhammad bin Shahil al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor, Pustaka Ibnu

Katsir,2009) hlm. 96 2 . Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara

Ilmu, 2010) hlm.55 3 . Suhrawardi K.Lubis, Hukum Waris Islam ( Jakarta,Sinar Grafika, 2007 ) hlm 99

Page 4: Makalah Tentang Ashabah

4 | M a k a l a h A s h a b a h

B. Macam-macam ‘Ashabah

Ashabah terbagi menjadi 2 bagian yaitu „Ashabah Nasabiah dan Ashabah

Sababiyah. Nasabiah adalah ashabah yang disebabkan oleh nasab. Sedangkan ashabah

Sababiah adalah ashabah yang disebabkan pembebasan budak.4

I. Ashabah Nasabiah

adalah ashabah yang disebabkan oleh nasab. Adapun macam-macam ashabah

nasabiah terbagi kepad 3 macam yaitu:

1. Ashabah bin Nafsi

Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima

bagian ashabah, ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu‟tiqah (orang

perempuan yang memerdekakan hamba sahaya) yaitu terdi dari:

Anak laki-laki

Cucu laki-laki dari garis laki-laki

Bapak

Kakek (dari garis bapak)

Saudara laki-laki sekandung

Saudara laki-laki seayah

Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah

Paman sekandung

Paman se ayah

Anak laki-laki paman sekandung

Anak laki-laki paman se ayah

Mu‟tiq atau mu‟tiqah (orang laki-laki atau perempuan yang

memerdekakan hamba sahaya).5

Sebagai contohnya, jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli

waris seorang ayah dan seorang anak laki-laki, maka ayah mendapatkan 1/6 dan

4 . Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit, hlm 57 5 . Ahmad Rofiq, Op., Cit

Page 5: Makalah Tentang Ashabah

5 | M a k a l a h A s h a b a h

selebihnya diberikan kepada anak laki-laki sebagai bagian „ashabah. Dalam hal ini

bapak tidak mendapatkan „ashabah, sebab jalur bunuwwah mendahului arah ubuwwah.6

Hukum „ashabah bin nafsi

„Ashabah bin nafsh mempunyai empat arah dan derajat kekuatan hak warisnya

sesuai urutannya. Hingga salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris

seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada.

Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari „ashabul furudh, maka sebagai

„ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada „ashabul furudh. Dan bila

setelah dibagikan kepada „ashabul furudh ternyata tidak ada sisa, maka para „ashabah

tidak mendapat bagian.

Adapun bila para „ashabah bin nafsh lebih dari satu orang, maka cara

penarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut :

Pertama : penarjihan dari segi arah

Apabila ada suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa „ashabah bin nafs,

maka pengunggulannya di lihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan

dibanding yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau

akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada „ashabul furudh bagian

masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak

laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada.

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara

kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi „ashabah adalah anak laki-laki.

Sebab arah anak lebih didahulukan dari pada arah yang lain. Sedangkan ayah

termasuk „ashabul furudh karena mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki.

Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan

arahnya lebih jauh.

Kedua : penarjihan secara derajat

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat „ashabah bin nafs, kemudian

merekapun dalam satu arah, maka penarjihannya dengan melihat derajat mereka,

siapakah diantara mereka yang paling dekat pada pewaris. Sebagai misal, seseorang

6 . Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Op. Cit, hlm 101

Page 6: Makalah Tentang Ashabah

6 | M a k a l a h A s h a b a h

wafat dan meninggalkan anak dan cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak

warisnya secara „ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan

bagian apapun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki.

Ketiga : penarjihan menurut kuatnya kekerabatan

Bila dalam suatu kedaan pembagian waris terdapat banyak „ashabah bin nafsi yang

sama dalam arah dan derajatnya, maka penarjihannya dengan melihat manakah

diantara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Misal : saudara

kandung lebih kuat dari pada seayah, paman kandung lebih kuat dari pada paman

seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat dari pada anak dari saudara seayah dan

seterusnya. Dalam hal ini hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.

2. ‘Ashabah bil ghair

Yaitu ahli waris yang menerima bagian dari sisa karena bersama-sama dengan

ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada

maka ia tetap menerima bagian tertentu. Ahli waris penerima „ashabah bil ghair tersebut

terdiri dari :

a. Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki

b. Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki

c. Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung

d. Saudara perempuan se ayah bersama dengan saudara laki-laki se ayah.7

Adapun syarat-syarat „ashabah bil ghair :

1) Perempuan tersebut tergolong ahli waris ashabul furud (mempunyai bagian

tetap).

Orang perempuan yang tidak tergolong ashabul furud walaupun ia mewarisi

bersama dengan muasib-nya, tidak menjadi ashabah bil ghair. Misalnya, anak

perempuannya saudara laki-laki sekandung tidak dapat menjadi ashabah dengan

saudara laki-laki sekandung. Hal ini, karena anak perempuannya saudara laki-

laki sekandung tidak mempunyai bagian tetap. Demikian juga, saudara

7 . Suhrawardi K.Lubis, Op.Cit hlm 100

Page 7: Makalah Tentang Ashabah

7 | M a k a l a h A s h a b a h

perempuan ayah sekandung tidak dapat menjadiashabah dengan saudara laki-

laki ayah sekandung. Karena saudara perempuan ayah sekandung tidak memiliki

bagian tetap.

2) Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud) dengan orang

yang meng-ashabah-kan (muasibnya) memiliki tingkatan (dalam jihat) yang

sama.

Dengan demikian, anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki

yang mewarisi bersama saudara kandung tidak menjadi ashabah bil ghair, karena

kedudukan derajat mereka tidak sama. Anak perempuan dari anak laki-laki

jihatnya adalah bunuwwah, sedangkan saudara sekandung jihatnya adalah

ukhuwwah.

3) Orang yang meng-ashabah-kan (muasib) harus sama derajatnya dengan

perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud).

Oleh karena itu, cucu perempuan dari anak laki-laki bila ia mewarisi bersama

dengan anak laki-laki, tidak dapat menjadi ashabah bil ghair sebagaimana halnya

saudari kandung bila bersama-sama anak laki-laki saudara kandung. Dalam

contoh terakhir, saudara kandung mendapat bagian ½ , kemudian sisanya yaitu

½ di berikan kepada anak laki-laki saudara sekandung secaraashabah.

4) Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan ashabul

furuddengan muasib-nya.

Saudari kandung yang mempunyai (yang mempunyai dua jurusan kekerabatan)

bila bersama-sama dengan saudara seayah (yang hanya mempunyai satu jurusan

kekerabatan) tidak dapat menjadi ashabah bil ghair,kecuali cucu perempuan dari

anak laki-laki yang dapat menjadi ashabah bil ghair dengan cucu laki-laki dari

anak laki-laki yang lebih rendah derajatnya, bila ia di butuhkan oleh cucu

perempuan tersebut untuk memperoleh warisan.8

Adapun beberapa contoh dari ashabul bil ghair yaitu:

a. Seseorang wafat meninggalkan anak perempuan, ibu, dan paman, dalam hal ini

anak perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6

berdasarkan furudh dan paman mendapatkan sisanya ashabah

8 . Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Cet : III, Bandung, Pustaka Setia, 2006) hlm 89-90

Page 8: Makalah Tentang Ashabah

8 | M a k a l a h A s h a b a h

b. Seseorang wafat meninggalkan 2 anak perempuan, istri, dan paman, dalam hal

ini dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian berdasarkan ketentuanfurudh,

istri mendapatkan 1/8 bagian berdasarkan ketentuan furudh, dan paman

mendapatkan sisanya ashabah.

c. Seseorang wafat meninggalkan ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan

dalam hal ini, ayah memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furdh, ibu

memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furudh,dan anak laki-laki dan

anak perempuan mendapatkan sisanya sebagaiashabah dengan ketentuan bagian

kali-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan.9

3. Ashabah ma’al ghair

Ashabah ma‟al ghair adalah ahli waris yang menerima bagian ashabah karena

bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian ashabah. Apabila ahli waris lain

tadi tidak ada, maka menerima bagian tertentu. Ashabah ma‟al ghair ini diterima ahli

waris:

Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena bersama dengan anak

perempuan (seorang atau lebih), atau bersama dengan cucu perempuan garis

laki-laki (seorang atau lebih). Misalnya, seorang meninggal ahli warisnya terdiri

dari seorang anak perempuan, saudara perempuan dan ibu. Maka bagian:

Anak perempuan ½

Saudara perempuan sekandung ashabah

Ibu 1/6

Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu

perempuan (seorang atau lebih). Misalnya seorang meniggal, ahli warisnya

terdiri dari seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki dan

dua orang saudara perempuan seayah. Maka bagian masing-masing adalah:

Anak perempuan ½

Cucu perempuan garis laki-laki 1/6

2 saudara perempuan seayah ashabah

Yang menjadi ashabah ma‟al ghair ini adalah saudara perempuan seibu sebapak

karena mewaris bersama dengan anak perempuan, cucu perempuan, cicit perempuan,

9 . M. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris, (Cet.1 Solo, Tiga Serangkai, 2007) hlm.409

Page 9: Makalah Tentang Ashabah

9 | M a k a l a h A s h a b a h

dan seterusnya. Apabila saudara perempuan seayah seibu menjadi ashabah bersama

lainnya, maka ia menjadi seperti saudara lelaki seayah maupun seibu. Maka ia menutupi

saudara-saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan dan menutup ashabah yang

derajatnya di bawah mereka seperti anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki dan

paman-paman seayah seibu atau seayah.

Begitu pula saudara perempuan seayah bilamana menjadi ashabah bersama anak

perempuan. Ia menjadi sama kekuatannya dengan saudara lelaki seayah dan menutup

anak-anak lelaki dari saudara lelaki dan yang sesudah mereka.10

Contoh kasus 1:

Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dan

saudara kandung perempuan, dalam hal ini seorang anak perempuan memperoleh ½ dari

harta warisan, cucu perempuan memperoleh 1/6 dari harta warisan untuk melengkapi

2/3, dan saudara kandung perempuan memperoleh sisa sebagai ashabah.

Contoh kasus 2:

Seorang wanita wafat meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, dan

saudara perempuan seayah, dalam hal ini suami memperoleh ¼ dari harta warisan, ibu

memperoleh 1/6 dari harta warisan, dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian.

Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa ashabah ma‟al ghair memiliki dua kondisi

dalam warisan:

a. mewarisi apa yang tersisa setelah ashabul furud sebagaimana dalam contoh

pertama.

b. Tidak mewarisi apapun. Hal itu terjadi jika seluruh harta warisan telah habis

dibagikan kepada asbabul furud.

Perbedaan Ashabah Bil Ghair dan Ashabah Ma’al Ghair

Ashabah bin nafsi adalah setiap perempuan yang mempunyai bagian tetap

(ashabul furud) kemudian mendapatkan ashabah dengan saudaranya. Misalnya, anak

perempuan dengan anak laki-laki, saudara perempuan sekandung dengan saudara laki-

10 . Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., hlm 62-65

Page 10: Makalah Tentang Ashabah

10 | M a k a l a h A s h a b a h

laki sekandung, dan seterusnya. ketentuan hukum warisannya adalah seorang laki-laki

mendapatkan bagian dua kali lipat bagian perempuan.

Adapun ashabah ma‟al ghair adalah ashabah yang diperoleh saudara perempuan

dengan beberapa anak perempuan. Ketentuan hukum warisnya adalah saudara-saudara

perempuan mendapatkan sisa harta warisan setelah dibagikan kepada ahli warisyang

mempunyai bagian tetap (ashabul furud). Dari ketentuan ini dapat, dapat di ketahui letak

perbedaannya, yaitu dalamashabah bil ghair, selalu ada orang-orang yang

memperoleh ashabah dengan dirinya sendiri, yaitu anak laki-laki, anak laki-lakinya anak

laki-laki, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Adapun

dalam ashabah ma‟al ghairtidak ada orang lain (ahli waris) yang

mendapat ashabah dengan dirinya sendiri.

Dalam Syarah Syirajiyah dijelaskan bahwa perbedaan tersebut dapat di lihat dari

dua segi, yaitu :

a) Dari segi mu‟asib-nya

Muashib ashabah bil ghair adalah para ashabah bin nafsi, seperti anak laki-lak,

cucu laki-lakidari anak laki-laki, dan saudara sekandung atau seayah.

b) Dari segi penerimaan pusaka

Pada ashabah bil ghair baik orang yang di ashabahkan maupun muasibnya,

bersama-sama menerima bagian ashabah dari ashabul furud, atau seluruh harta

peninggalan bila seluruh ahli waris hanya ashabah saja, dengan ketentuan,

laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.

Adapun pada ashabah ma‟al ghair, muasibnya tidak turut menerima usubah. Ia

hanya di minta untuk meng-ashabahkan saja. Selesai tugasnya, ia menduduki fungsinya

sebagai ashabul furud.11

11 . Dian Khairul Umam, Op.Cit.,hlm 94-95

Page 11: Makalah Tentang Ashabah

11 | M a k a l a h A s h a b a h

II. Ashabah sababiyah

Ashabah sababiyah adalah ashabah yang terjadi karena telah memerdekakan

budak. Nabi SAW bersabda : “Hak ketuanan itu milik orang memerdekakannya”. Orang

laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi ahli waris,

kecuali apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang termasuk ashabah

nasabiyah. Dari Abdullah bin Syaddah dari putrid Hamzah, ia berkata : “Bekas budakku

telah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang putri, maka Rasulullah SAW

membagi harta peninggalannya kepada kami dan kepada putrinya, yaitu beliau

menetapkan separuh untukku dan separuh lagi untuk dia”.

Page 12: Makalah Tentang Ashabah

12 | M a k a l a h A s h a b a h

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata ashabah merupakan jamak dari عاصب yang berarti kerabat seseorang dari

pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta‟shib pada hakikatnya, para

ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul antara lain sebagai mana

yang dikemukakn Rifa‟I Arif. Dalam pengertian lain ashabah adalah bagian sisa setelah

diberikan kepada ahli waris ashbul al-furud. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa,

ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan)

terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama

sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris ashabul al-furud.

Macam-macam Ashabah

1. Ashabah bi nafsi

Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima

bagian ashabah, ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu‟tiqah (orang

perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)

2. Ashabah bi al-ghair

Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris

yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia

tetap menerima bagian tertentu.

3. Ashabah ma‟al-ghair yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena

bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak meneriman bagian sisa.

Page 13: Makalah Tentang Ashabah

13 | M a k a l a h A s h a b a h

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shabuni, Ali. 2010. Ilmu HUKUM WARIS menurut ajaran islam. Surabaya :

Mutiara Ilmu

Rofiq, Ahmad. 1993. FIQIH MAWARIS. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Utsaimin, Shahil. 2009. Panduan Praktis HUKUM WARIS. Bogor : Pustaka Ibnu

Katsir

Umam, Dian Khairun. 2006. FIQIH MAWARIS. Bandung : Pustaka Setia

Lubis.K, Suhrawardi. 2007. HUKUM WARIS ISLAM. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Khalifah, Thaha Abul Ela. 2007. HUKUM WARIS. Solo : Tiga Serangkai

Sayid Sabiq,. Fiqh Sunnah, terjemahan Mahyudin Syaf, jil.14, Penerbit Al-Maarif,

Bandung,1993

Faturrahman., Ilmu mawaris PT-Al-Ma’arif , bandung, 1987