Upload
buncit8
View
173
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tradisi menghormati nyawa, dan akan mempertimbangkan maknanya dalam kaitannya dengan situasi dunia modern.Zaman modern di mana kita hidup sekarang ini adalah zaman yang penuh harapan, yang membuka jalan besar bagi kehidupan manusia yang lebih sempurna. Tetapi di balik harapan ini terdapat juga krisis yan tidak kalah besarnya, krisis yang mengancam keselamatan nyawa.
Citation preview
Makalah untuk seminar Asosiasi Tradisi Lisan di Jakarta pada tgl. 1~4 Desember
Tradisi menghormai nyawa -- dalam halnya di Jepang
Yamamoto Haruki (Universitas Tenri, Jepang )
Pengdahuluan
Makalah ini bertujuan untuk memperkenalkan sebuah aspek tradisi Jepang
yaitu tradisi menghormati nyawa, dan akan mempertimbangkan maknanya
dalam kaitannya dengan situasi dunia modern.
Zaman modern di mana kita hidup sekarang ini adalah zaman yang penuh
harapan, yang membuka jalan besar bagi kehidupan manusia yang lebih
sempurna. Tetapi di balik harapan ini terdapat juga krisis yan tidak kalah
besarnya, krisis yang mengancam keselamatan nyawa.
Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa nyawa adalah sesuatu yang paling penting
dan amat berharga bagi mahluk hidup, termasuk manusia. Ancaman terhadap
keselamatan nyawa merupakan ancaman yang paling berbahaya bagi segenap
manusia.
Ancaman terhadap keselamatan nyawa bisa timbul dalam bermacam bentuk,
misalnya berupa peperangan, terorisme, pembunuhan, dan lain-lain. Gejalanya
terwujud berupa bunuh-membunuh yang terjadi di antara sesama manusia.
Ancaman terhadap nyawa serupa ini tidak sedikit pun berkurang selama ini,
malahan memburuk keadaannya terutama dalam bentuk peperangan dan
terorisme yang makin lama makin merajalela di seluruh bumi ini. Dan
malangnya kemiskinan pun ikut juga berperan dalam ancaman terhadap nyawa
ini. Buktinya, sekarang ini juga di dunia ini terdapat orang yang tidak kecil
jumlahnya, yang mati kelaparan karena miskin.
Ancaman terhadap nyawa ini tidak terbatas pada dunia manusia. Kalau kita
memperluas pandangan kita kepada dunia mahluk lain atau alam semesta
seluruhnya, tampaklah oleh kita adanya mahluk-mahluk lain yang terancam
keselamatan nyawanya, misalnya seperti binatang yang sedang menghadapi
bahaya kepunahan. Kita sudah maklum bahwa sumber ancaman terhadap
1
nyawa mahluk lain ini adalah perbuatan manusia. Masalah ini umumnya disebut
masalah lingkungan hidup, yang mana intinya juga mempermasalahkan
ancaman terhadap keselamatan nyawa.
Demikian juga masalah-masalah yang asyik dibincangkan sekarang, misalnya
saja masalah peperangan dan kedamaian, masalah terorisme, masalah
kemiskinan dan masalah lingkungan hidup, pada akhirnya, merupakan masalah
ancaman terhadap nyawa. Dengan kata lain, pemecahan masalah-masalah
dalam setiap bidang tersebut tadi, harus bertitik tolak atau berdasarkan pada
pandangan menghormati nyawa.
Penghormatan nyawa –- sebuah aspek tradisi Jepang
Dalam sejarah Jepang terdapat sebuah tradisi yang kiranya mungkin bisa
dijadikan sumber rujukan dalam mempertimbangkan masalah-masalah modern
seperti yang tersebut di atas.
Tradisi Jepang ini adalan tradisi menghormati nyawa, baik nyawa manusia
maupun nyawa mahluk hidup lain. Menurut hemat saya, biarpun belum
mendapat pengesahan secara umum, tradisi ini terdapat tidak terbatas pada
bidang budaya dan agama, melainkan merupakan salah satu dari tiang agung
yang menyangga mekanisme kekuasaan politik pada masa-masa yang lalu di
Jepang.
Sebelum memberi penjelasan tentang tradisi ini secara terperinci, saya harus
melengkapi keterangan yang saya sebut di atas. Saya sudah mengatakan
bahwa dalam sejarah Jepang terdapat tradisi menghormati nyawa. Tetapi
dengan mengatakan demikian, saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan
bahwa dalam sejarah Jepang setiap saat penghormatan terhadap nyawa ini
terwujud secara konkrit, dan orang Jepang selalu menaati norma menghormati
nyawa ini secara praktis. Tidak bisa disangkal bahwa sama halnya dengan di
negara-negara, daerah-daerah lain di dunia ini, di Jepang juga sering kali terjadi
peperangan baik antara sesama orang Jepang maupun dengan bangsa lain.
Dalam peperangan ini orang Jepang memperlihatkan perangai bengis, seperti
yang pernah ditunjukkan di Indonesia pada masa rezim tentara Jepang. Selain
dalam peperangan, dalam waktu-waktu normal juga selalu terjadi kejadian-
2
kejadian yang kejam. Tak jarang terjadi penganiayaan terhadap sesama warga
dari dulu sampai sekarang. Maka tradisi menghormati nyawa ini adalah hanya
satu aspek saja dari seluruh tradisi dan budaya Jepang. Satu aspek yang kecil,
kalau dibandingkan aspek-aspek yang lain. Tidak lebih dari itu. Tetapi,
kendatipun demikian, menurut pendapat saya, aspek ini masih mempunyai
makna untuk dipertimbangkan, terutama pada masa sekarang ketika sering kali
terdapat situasi yang mengancam keselamatan nyawa seperti telah saya
gambarkan tadi.
Baiklah, sekarang kita lanjutkan meninjau bagaimana kenyataannya tradisi
menghormati nyawa di Jepang.
Sejarah Jepang sebagai negara kesatuan mulai pada abad ke-6. Pada zaman itu
Kaisar Jepang menganut agama Buddha.
Agama Buddha dissebarkan ke Jepang dari Semenanjung Korea pada abad ke-
6. Pada masa itu, pihak Jepang terpecah dalam dua golongan mengenai
bagaimana sikap yang harus diambil terhadap agama yang baru ini. Satu
golongan berpendapat bahwa Jepang juga harus ikut menganut agama Buddha,
karena negara-negara tetangga telah memeluknya. Mereka mempertahankan
pendapatnya dengan alasan bahwa patung Buddha yang dikirim dari Korea,
yang bergemerlapan keemas-emasan itu, tampak berkekuatan untuk
melindungi negara dan masyarakat. Golongan yang satu lagi mempertahankan
bahwa dewa-dewa Jepang asli pasti akan marah dan akan membawakan
malapetaka kepada negara dan masyarakat, jikalau agama Buddha begitu saja
diterima.
Hal yang diutamakan dalam pertimbangan mereka itu, adalah agama yang
mana, agama Buddha atau agama Sinto, yang lebih kuat pengaruhnya dan
dapat diandalkan dalam usaha mencapai ketenteraman dan kesejahteraan
negara dan masyarakat. Sedangkan tentang ajaran agama Buddhanya sendiri
belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Zaman ketika agama Buddha masuk ke Jepang adalah zaman ketika Jepang
untuk pertama kali menegakkan tata negaranya. Dalam tata negaranya itu,
negara purba Jepang mengambil agama Buddha sebagai dasar pendukung dan
pelindung negara. Tentang hubungan antara negara dan agama Buddha, boleh
3
dikatakan bahwa negara memperalatkan agama, dan agama mengabdikan diri
kepada negara. Hubungan ini berlangsung terus pada zaman-zaman berikutnya,
dan baru berakhir pada awal Zaman Meiji ketika negara modern Jepang
memutuskan mengambil agama Shinto sebagai agama negara serta
menyingkirkan agama Buddha.
Demikianlah, boleh dikatakan bahwa sepanjang sejarah Jepang, agama Buddha
dianggap dan diperlakukan oleh negara seperti semacam alat yang bermanfaat
demi kepentingan negara. Memang, pada masa-masa itu pun terdapat juga
kepercayaan sejati kepada ajaran agama Buddha, tetapi dilihat dari segi
hubungan antara agama dan negara, begitulah keadaan yang sebenarnya.
Dalam keadaan sedemikian itu ada satu kekecualian. Kekecualian inilah yang
ingin saya kemukakan pada makalah ini.
Pada zaman-zaman purba sampai dengan abad pertengahan sering kali
diundangkan oleh kaisar-kaisar peraturan pemerintah yang dinamakan ‘Sessho-
kindanno-rei’, yaitu peraturan larangan membunuh.
Peraturan larangan membunuh ini berdasarkan pada ajaran agama Buddha,
terutama ajaran displin ‘Ahimsa’ dalam bahasa Sansekerta. Displin Ahimsa ini
berupa larangan membunuh atau mencabut nyawa, yang mana amat
diutamakan dalam ajaran agama Buddha. Dalam ajaran agama Buddha
terdapat bermacam-macam displin yang harus ditaati oleh penganutnya. Di
antara lima disiplin, yang paling diutamakan dan dianggap paling penting.,
yakni, displin larangan membunuh. Displin yang lainnya yakni displin larangan
mencuri harta orang lain, displin larangan berzinah, displin lerangan berbohong,
dan displin larangan minum minuman keras. Kelima disiplin ini adalah disiplin
yang harus ditaati bukan oleh biksu saja melainkan oleh orang biasa juga. Di
antara kelimanya itu, yang paling penting adalah disiplin tidak boleh
membunuh, yang merupakan salah satu tulang punggung dari ajaran agama
Buddha.
Dengan dikeluarkan dan dilaksanakannya peraturan larangan membunuh ini
oleh kaisar, masyarakat Jepang harus menghindari perbuatan membunuh atau
mencabut nyawa mahluk hidup seperti hewan dan ikan dalam jangka waktu
4
tertentu. Pelaksanaan ini dijalankan kadang-kadang di seluruh wilayah Jepang,
kadang-kadang di kawasan-kawasan tertentu.
Dengan mengeluarkan peraturan ini, kaisar menunjukkan bahwa ia sendiri
mengambil sikap untuk tunduk kepada ajaran agama Buddha. Pengeluaran
peraturan larangan membunuh dengan prakarsa kaisar yang sedemikian itu
boleh dikatakan merupakan suatu kekecualian dari hubungan antara negara
dan agama Buddha, karena pada umumnya negara yang diutamakan dan
agama yang meladeni negara, sebagaimana diterangkan di atas. Tetapi dalam
peraturan larangan membunuh, ternyata agama Buddha dianggap bukan
sebagai alat melainkan sebagai.sesuatu yang harus ditaati dan dipatuhi. .
Peraturan ini diundangkan sebanyak 135 kali dalam jangka waktu 1000 tahun.
Penjelasan seperti ini mungkin saja menimbulkan pertanyaan ; untuk apa
dikeluarkan peraturan seperti itu ? Memang pertanyaan itu pertanyaan yang
wajar dipertanyakan. Mengapakah peraturan itu dikeluarkan oleh kaisar-kaisar.
Sebenarnya ada banyak alasannya. Misalnya, itu dikeluarkan untuk memohon
hujan kepada Buddha atau dewa-dewi, memohon hasil panen yang baik,
dikeluarkan karena tertimpa gempa bumi, karena diserang wabah menular,
dikeluarkan untuk menghindari berbagai malapetaka, untuk mendoakan
keselamatan dan kesejahteraan negara, untuk membimbing rakyat dengan
ajaran agama Buddha, dll.
Kalau kita analisa alasan-alasan tersebut di atas itu, ternyatalah bahwa
peraturan ini pun dikeluarkan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu, misalnya untuk mencapai hasil panen yang baik, menghindari wabah
dll. Dilihat dari perincian alasannya, hubungan antara agama Buddha dengan
negara yang umum tetap diperthankan, yaitu hubungan bahwa agama
Buddhalah yang meladeni negara.
Tetapi harus diperhatikan pula fakta bahwa, kendatipun alasan
pengundangannya bersifat duniawi atau secular, peraturannya sendiri
merupakan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk bisa mencapai
tujuan secular. Dengan kata lain, negara ( kaisar serta rakyat ) harus menaati
ajaran larangan membunuh.
5
Sebagaimana telah diterangkan diatas, dalam pengeluaran dan pelaksanaan
peraturan larangan membunuh, ternyata bahwa kaisar dan rakyat mengaku diri
sebagai penganut ajaran agama Buddha. Tetapi pengakuan ini sebagian besar
dilakukan sekadar secara formal saja. Meskipun demikian, pernyataan
pengakuannya yang ditandaskan dengan pengeluaran peraturan itu
mempunyai arti yang amat besar. Yakni, di sini agama Buddha berperanan
sebagai agama yang sejati, jauh berbeda daripada peranannya sebagai
pengabdi kepada kepentingan negara dan masyarakat yang bersifat secular.
Pengakuan diri dari kaisar sebagai penganut agama Buddha ditunjukkan
dengan sikap mengikuti disiplin larangan membunuh, Fakta ini memberikan
sinar terang untuk memperoleh pengertian tentang cara penerimaan agama
Buddha di Jepang dan juga tentang hubungan antara agama Buddha dan
negara serta kekuasaannya.
Tentang cara penerimaan agama Buddha, dapat disimpulkan bahwa orang
Jepang menempatkan disiplin larangan membunuh sebagai inti seluruh ajaran
agama Buddha, dan di situ mereka menemukan suatu pandangan nyawa, yaitu
pandangan bahwa semua makhluk hidup dengan nyawa yang senilai, dan
karena itu semua makhluk hidup harus dihormati dan tidak boleh dicabut
nyawanya.
Pengertian terhadap ajaran agama Buddha seperti ini tidak begitu menonjol di
negara-negara dan daerah-daerah yang pernah melahirkan atau menerima
agama Buddha, meskipun di mana- mana memang diakui pentingnya disiplin
larangan membunuh.
Tentang hubungan antara agama dan negara, dapat diambil kesimpulan bahwa
negara atau kekuasaan kaisar berusaha memperoleh keabsahan ( authority )
kekuasaannya dengan mengakui disiplin larangan membunuh sebagai dasar
etikanya. Agama memberikan dasar keabsahan kepada negara melalui disiplin
larangan membunuh. Hubungan seperti ini boleh dikatakan merupakan satu hal
yang unik dalam sejarah agama dan politik di Jepang, yang tidak terlihat di
negara-negara agama Buddha lainnya.
Pada zaman Edo ( 1600 ~ 1867 ) ketika kaisar sudah tidak memegang
6
kekuasaan dan berotoritas lagi, dan juga tidak lagi mengeluarkan peraturan
larangan membunuh, peraturan serupanya dikeluarkan oleh Shogun yang pada
waktui itu memebang kekuasaan politik di Jepang. Shogun yang pernah
mengeluarkan peraturan serupa itu adalah Shogun kelima, Tsunayoshi, dan
yang dikeluarkannya adalah peraturan yang mengharuskan menaruh belas
kasihan kepada mahluk hidup.
Di kalangan orang Jepang pada umumnya peraturan ini dianggap sebagai
peraturan yang lucu di satu pihak, dalam arti bahwa peraturan ini dikeluarkan
berdasarkan pada takhayul. Takhayulnya begini ;
Tunayoshi tidak dikaruniai keturunan. Dalam keadaan ketidak-bahagiaan ini, ia
mendapat nasihat dari seorang pendeta yang termasyhur pada zaman itu.
Nasehatnya berbunyi sebagai berikut. Sebab-musabab mengapa Tsunayoshi
tidak dikaruniai keturunan adalah karena ia pernah membunuh banyak makhluk
hidup sebelum kelahirannya ke dunia ini. Maka kalau ia ingin mendapat anak, ia
harus menghormati segala nyawa, terutama harus menyayangi anjing. Atas
nasehat ini, Tsunayoshi lalu mengeluarkan peraturan yang memerintahkan
harus menaruh belas kasihan kepada mahluk hidup.
Tnggapan umum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Tsunayoshi ini tidak
mencerminkan kenyataan, melainkan mencerminkan perasaan perlawanan
terhadap peraturannya dari rakyat.Pasa masa itu memang rakyat sudah banyak
mengalami penderitaan yang cukup besar akibat peraturannya yang sering kali
disalah tafsirkan oleh petugas-petugas keamanan atau polisi dibawah
pemerintahan Tshunayoshi, sehingga sering kali terjadi kejadian bahwa
binatang, terutama anjing lebih diutamakan daripada manusianya. Misalnya
petugas pernah menjatuhkan hukuman berat kepada orang yang hanya karena
terpaksa harus menyepak anjing yang menggonggonginya.
Walaupun perasaan perlawanan rakyat ini dapat dimaklumi, tetapi tafsiran
bahwa peratuarn itu dikeluarkan berdasarkan takhayul tentang keturunan
Tsunayoshi, sama sekali tidak terdukung dan tidak dibenarkan oleh fakta-fakta
sejarah. Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa peraturan yang
memerintahkan harus menaruh belas kasihan kepada mahluk hidup itu
dikeluarkan oleh Tsunayoshi dengan serius, dengan maksud dan tujuan yang
7
serius.
Nah, sekarang perlu kita haru pertanyakan apakah maksud dan tujuannya yang
serius itu ?
Untuk memikirkan hal ini, mari kita mengarahkan pandangan kita kepada dua
hal yang berikut ; Pertama pada zaman Tsunayoshi, pemerintahnya
memerlukan sesuatu yang bisa menjamin keabsahannya demi kemantapan
pemerintahannya. Kedua, Tsunayoshi selalu menaruh perhatian kepada sejarah
kekuasaan politik pada zaman-zaman dulu, terutama jejak-jejak yang
ditinggalkan oleh kaisar-kaisar dalam memerintah negara.
Dari kedua hal ini dapat disimpulkan bahwa Tunayoshi bermaksud dan
bertujuan untuk mencapai keabsahannya malalui wibawa spirituil dari kaisar,
yaitu dengan mengikuti jejak kaisar-kaisar terdahulu yang telah berhasil meraih
keabsahannya melalui pengundangan paraturan larangan membunuh.
Demikainlah dengan meniru peraturan larangan membunuh, Tsunayoshi pun
lalu mengambil inisiatif mengeluarkan peraturan yang memerintahkan harus
memberi belas kasihan kepada mahluk
Dari uraian ini, jelas kelihatan satu kenyataan, yaitu kenyataan bahwa di
Jepang dahulu kala terdapat suatu alam pikiran yang menjungjung dan
menghormati nyawa. Alam pikiran seperti ini berfungsi sebagai dasar moril
dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan masyarakat, serta besar
pengaruhnya terhadap dunia kekuasaan, yaitu menjadi tulang punggung bagi
kekuasaan dengan jaminan keabsahan.
Sebagaimana telah saya singgung pada awal makalah ini, tradisi seperti yang
saya uraikan ini adalah hanya satu aspek yang kecil saja dari seluruh tradisi
Jepang. Tapi kendatipun demikian, menurut pendapat saya, aspek ini masih
mempunyai makna untuk dipertimbangkan, terutama pada masa sekarang di
mana sering kali timbul situasi yang mengancam keselamatan nyawa seperti
digambarkan tadi. Situasi dunia sekarang ini menuntut lahirnya pola berpikir
dan pola tingkah-laku yang berdasarkan pada penghormatan nyawa.
Tamat
8
9