120
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan hutan dan lingkungan di negara kita tak kunjung terselesaikan. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan baik dikarenakan unsur sengaja maupun tak sengaja, sampai pada permasalahan lumpur Lapindo menjadi isu lingkungan yang tak kunjung terpecahkan. Apakah keadaan ini harus menghentikan kita untuk terus memikirkan pemecahan permasalahn hutan dan lingkungan? Jawabannya tentu saja tidak. Namun, kebijakan apa yang pantas kita ambil untuk mengatasi permasalah semua ini? Tampaknya Pemerintah kita telah banyak merumuskan kebijakan. Namun, tak urung permasalahan-permasalahan seperti ini tetap terjadi. Dilatar belakangi hal tersebut, sudah saatnya kita mulai menerapkan Pendidikan Lingkungan di kurikulum sekolah di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Pendidikan Lingkungan adalah pendidikan konsep tentang ekologi, pendidikan lapangan, ilmu pengetahuan atau petunjuk berwawasan lingkungan tentang permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi (Ramsey, Hunger Ford & Volk, 1992). Menurut 1

Makalah Wl

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Permasalahan hutan dan lingkungan di negara kita tak kunjung terselesaikan.

Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan baik dikarenakan unsur sengaja maupun tak

sengaja, sampai pada permasalahan lumpur Lapindo menjadi isu lingkungan yang tak

kunjung terpecahkan. Apakah keadaan ini harus menghentikan kita untuk terus

memikirkan pemecahan permasalahn hutan dan lingkungan? Jawabannya tentu saja tidak.

Namun, kebijakan apa yang pantas kita ambil untuk mengatasi permasalah semua ini?

Tampaknya Pemerintah kita telah banyak merumuskan kebijakan. Namun, tak urung

permasalahan-permasalahan seperti ini tetap terjadi. Dilatar belakangi hal tersebut, sudah

saatnya kita mulai menerapkan Pendidikan Lingkungan di kurikulum sekolah di

Indonesia mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi.

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber

daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di

atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia

seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.

Pendidikan Lingkungan adalah pendidikan konsep tentang ekologi, pendidikan

lapangan, ilmu pengetahuan atau petunjuk berwawasan lingkungan tentang

permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi (Ramsey, Hunger Ford & Volk, 1992).

Menurut Unesco (1977), Pendidikan Lingkungan merupakan sebuah proses pembelajaran

yang meningkatkan pengetahuan dan kepedulian orang-orang terhadap lingkungan dan

hal-hal yang menjadi permasalahannya, yang selanjutnya mengembangkan ketrampilan-

ketrampilan yang penting dan trampil dalam menindaki permasalahan tersebut, serta

mengubah sikap, motivasi dan komitmen untuk membuat keputusan-keputusan serta

penentuan sikap/tindakan yang bertanggung jawab.

1

2. Tujuan Penulisan

Dengan adanya latar belakang di atas maka makalah ini bertujuan untuk menjelaskan

“Peranan Pendidikan Lingkungan dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan”, yang

mencakup beberapa tujuan yaitu:

Dapat mengetahui manfaat pendidikan lingkungan dalam mencegah kerusakan

lingkungan.

Dapat memahami tentang pentingnya pendidikan lingkungan bagi mahasiswa.

Dapat membantu mahasiswa untuk menerapkan pendidikan lingkungan.

3. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah kami dapat menjelaskan bagaimana

peranan pendidikan lingkungan dalam mencegah kerusakan lingkungan di sekitar. Selain

itu, makalah ini dapat pula membantu kami dalam menerapkan pendidikan lingkungan

dalam kehidupan sehari-hari.

2

BAB II

PERMASALAHAN

1. Apakah yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan?

2. Apakah yang dimaksud pendidikan lingkungan?

3. Apakah manfaat dari pendidikan lingkungan?

4. Bagaimana hubungan pendidikan lingkungan dengan pembangunan berkelanjutan

sebagai akibat dari kerusakan lingkungan?

5. Bagaimana Kerusakan Lingkungan di Indonesia?

6. Bagaimana mencegah kerusakan lingkungan menggunakan pendidikan lingkungan?

7. Bagaimana peranan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan?

3

BAB III

PEMBAHASAN

1. Kerusakan Lingkungan

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber

daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas

tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti

keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.

4

Gambar 1. Kerusakan lingkungan di bantaran sungai.

Memang manusia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap

lingkungannya , secara hayati ataupun kultural, misalnya manusia dapat menggunakan air

yang tercemar dengan rekayasa teknologi (daur ulang) berupa salinisasi, bahkan produknya

dapat menjadi komoditas ekonomi. Tetapi untuk mendapatkan mutu lingkungan hidup yang

baik, agar dapat dimanfaatkan secara optimal maka manusia diharuskan untuk mampu

memperkecil resiko kerusakan lingkungan.

Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi

dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam

dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang

berkembang seperti Gresik, Suarbaya, Jakarta, bandung, Lhoksumawe, Medan, dan

sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu

udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut

tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.

Kelangkaan air tawar semakin terasa, khususnya di musim kemarau, sedangkan di

musim penghujan cenderung terjadi banjir yang melanda banyak daerah yang berakibat

merugikan akibat kondisi ekosistemnya yang telah rusak. Temperatur udara maksimal dan

minimal sering berubah-ubah, bahkan temperatur tertinggi di beberapa kola seperti Jakarta

sudah mencapai 37 derajat celcius. Terjadi peningkatan konsentrasi pencemaran udara seperti

CO, NO2r S02, dan debu.

5

Gambar 2. Kondisi sungai yang rusak oleh olah manusia.

Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin menipis, seperti

minyak bumi dan batubara yang diperkirakan akan habis pada tahun 2020. Luas hutan

Indonsia semakin sempit akibat tidak terkendalinya perambahan yang disengaja atau oleh

bencana kebakaran. Kondisi hara tanah semakin tidak subur, dan lahan pertanian semakin

memyempit dan mengalami pencemaran.

Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam UU

No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau

komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan

manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai

peruntukannya.

Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga unsur dalam kerusakan, yaitu:

1. sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau proses alam,

2. perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan (hidup/mati) pada

lingkungan,

3. dan merosotnya fungsi lingkungan dalam menunjang kehidupan.

Kerusakan dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut pola

pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 102),

mengelompokkan pecemaran alas dasar:

1. bahan pencemar yang menghasilkanbentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik, dan

budaya.

2. pengelompokan menurut medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran

udara, air, tanah, makanan, dan social.

6

3. pengelompokkan menurut sifat sumber manghasilkan pencemaran dalam bentuk

primer dan sekunder.

7

2. Pendidikan Lingkungan

Pendidikan Lingkungan adalah pendidikan yang membawa setiap orang pada seluruh

proses pembelajaran, dari mulai tahap mengetahui sampai tahap aksi dan evaluasi yang

didapatkan melalui pembelajaran dan pengalaman langsung (konkret) di lingkungan

sebenarnya. Hasil akhir dari pendidikan lingkungan adalah adanya perubahan pola pikir dan

perilaku dari setiap orang dalam memandang lingkungan hidup di sekitarnya yang

diwujudkan melalui aksi (tindakan) konkret. Pendidikan Lingkungan ini adalah pendidikan

yang universal, artinya pendidikan ini berlaku pada semua orang serta semua tempat dengan

kondisi yang berbeda baik melalui pendidikan formal ataupun non formal.

Gambar 3. Pendidikan lingkungan pada anak-anak.

Pendidikan Lingkungan adalah pendidikan konsep tentang ekologi, pendidikan lapangan,

ilmu pengetahuan atau petunjuk berwawasan lingkungan tentang permasalahan-permasalahan

yang sedang terjadi (Ramsey, Hunger Ford & Volk, 1992). Menurut Unesco (1977),

Pendidikan Lingkungan merupakan sebuah proses pembelajaran yang meningkatkan

pengetahuan dan kepedulian orang-orang terhadap lingkungan dan hal-hal yang menjadi

permasalahannya, yang selanjutnya mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang penting

8

dan trampil dalam menindaki permasalahan tersebut, serta mengubah sikap, motivasi dan

komitmen untuk membuat keputusan-keputusan serta penentuan sikap/tindakan yang

bertanggung jawab.

Sampai saat inipun pendidikan lingkungan di pendidikan formal sebatas sebuah

materi pelajaran sebagaimana yang lain, dan belum dipahami bersama sebagai salah satu

media bagi pendidikan nilai dan moral. Sehingga pendidikan lingkungan dengan metodenya

masih dianggap sesuatu hal baru yang harus dipelajari dan dikuasai baik materi dan

metodenya. Dalam hal ini PPLH telah berupaya untuk bersama-sama pihak lain

mengembangkan berbagai metode yang sesuai bagi penerapan pendidikan lingkungan di

pendidikan formal mulai dari tingkat TK - Perguruan Tinggi. Upaya yang dilakukan sampai

saat ini :

1. Seminar, Lokakarya dan Pelatihan mengenai berbagai model Pendidikan Alternatif

dalam kaitan dengan penerapan pendidikan lingkungan di masyarakat

2. Seminar, Lokakarya dan Pelatihan bagi pengajar mengenai Pendidikan Lingkungan

Hidup : Penerapan dan pengembangan di sekolah baik konsep ataupun teknis.

3. Pengembangan Kapasitas bagi pelaku pendidikan lingkungan hidup di masyarakat.

4. Pengembangan materi dan metode pendidikan lingkungan hidup di lingkungan

sekolah dan masyarakat umum.

5. Sharing informasi dan pengalaman dengan beberapa sekolah mengenai penerapan

pendidikan lingkungan.

6. Pendampingan Sekolah (SD) sekitar sebagai laboratorium penerapan pendidikan

lingkungan.

7. Mengenalkan pendidikan lingkungan kepada anak-anak sekitar melalui berbagai

media dan kegiatan.

9

3. Manfaat Pendidikan Lingkungan

Pendidikan lingkungan dapat menciptakan inteligensi tentang alam, yakni

kemampuan untuk merasakan dan membuat koneksi dengan semua elemen yang ada di alam

semesta. Dengan mempunyai kemampuan inteligensi ini, orang-orang akan menjadi tertarik

dengan spesies-spesies lain, baik yang ada di lingkungannya maupun yang ada di bumi.

Mereka juga biasanya memiliki kemauan untuk memperhatikan dan mengenali benda-benda

yang ada di dunia alam, peduli terhadap binatang atau tumbuhan dan perubahan-perubahan

yang terjadi, baik dalam dunia tumbuhan, planet bumi dan binatang.

Anak-anak yang memiliki inteligensi ini, memiliki keterikatan yang kuat terhadap

dunia luar atau terhadap binatang-binatang, misalnya. Hal ini dimulai pada usia yang sangat

dini. Umumnya mereka menyukai pelajaran biologi, astronomi, geologi atau bidang-bidang

yang berkaitan dengan binatang atau fenomena alam, sedangkan pada orang dewasa, mereka

cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan perubahan-perubahan

yang terjadi dalam lingkungan, misalnya kebakaran hutan, punahnya satu jenis tanaman, dan

lain-lain. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa para pelajar yang mendapat pendidikan

lingkungan memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungan, mengenali hubungan antara

manusia dan alam, mendapat ketrampilan untuk pemecahan permasalahan lingkungan serta

pengembangan sikap berperan serta dalam pemeliharaan lingkungan.

Tujuan penerapan Pendidikan Lingkungan adalah untuk menciptakan manusia

Indonesia yang bertanggungjawab dalam setiap pola prilaku dan kebijakan yang diambil

tanpa merugikan apalagi membahayakan hutan dan lingkungan. Sebagai contoh, jika

Pendidikan Lingkungan diterapkan mulai dari usia dini sampai dengan perguruan tinggi,

seseorang dengan apa pun profesinya, baik dokter, sarjana tehnik sipil, sarjana tehnik

pertambangan, maupun petani, senantiasa mengambil sikap sesuai dengan hak dan kewajiban

mereka dengan diimbangi perlindungan hutan dan lingkungan. Sebagai contoh, seorang

sarjana teknik sipil pada saat mengadakan pembangunan tata kota, seharusnya melakukan

pembangunan berwawasan lingkungan. Pun begitu pula dengan para dokter. Limbah-limbah

dari rumah sakit, baik berupa jarum suntik, kantong-kantong darah, atau cairan-cairan kimia

diolah sesuai dengan prosedur pengolahan limbah yang aman terhadap lingkungan.

Ramsey dan Hunger Ford (1989) mengatakan bahwa tujuan pendidikan lingkungan

adalah untuk pengembangan prilaku berwawasan lingkungan yang bertanggung jawab, baik

secara individu maupun berkelompok. Secara umum, tujuan Pendidikan Lingkungan adalah :

10

1. Membantu siswa mengembangkan pengetahuan nyata tentang lingkungan alam,

khususnya yang berhubungan dengan cara ekosistem bekerja dan dampak prilaku

manusia terhadap lingkungan alam;

2. Menciptakan persepsi yang lebih positif tentang nilai alam semesta;

3. Mengembangkan kebiasaan yang ramah terhadap lingkungan, seperti menyuruh

orang-orang untuk mendaur ulang dan memproduksi barang-barang yang memiliki

limbah sedikit;

4. Melibatkan siswa dalam proyek-proyek dan tindakan-tindakan pemeliharaan terhadap

lingkungan;

5. Mengembangkan psikologi siswa dan hubungan spiritual siswa dengan alam.

Menurut buku Environmental Education Teaching Material (Kankyou Kyouiku Sidou

Siryou, 1991) tujuan Pendidikan Lingkungan adalah untuk menciptakan kepedulian terhadap

lingkungan, memahami tanggung jawab dan peranan manusia dalam lingkungan dan

mengembangkan sikap berperan serta dalam pemeliharaan lingkungan serta kemampuan

memecahkan permasalahan lingkungan. Buku yang diterbitkan oleh Kementerian

Kebudayaan, Pengetahuan dan Pendidikan Jepang ini menekankan bahwa tujuan dari

pendidikan lingkungan adalah untuk mengembangkan individu-individu yang dapat

memanajemen dan mengawasi lingkungan di sekitar mereka.

Secara umum, ada enam kategori tujuan Pendidikan Lingkungan, yaitu:

1. Kepedulian, yakni mempunyai kepedulian dan sensitivitas terhadap lingkungan dan

permasalahan di dalamnya;

2. Pengetahuan, yakni benar-benar mengerti lingkungan dan permasalahannya serta

tanggung jawab manusia dan misi-misi terhadap lingkungan tersebut;

3. Sikap, yakni memiliki sensitivitas terhadap nilai-nilai sosial dan lingkungan serta

memiliki kemauan untuk bekerja sama dalam perlindungan dan pemeliharaan

lingkungan;

4. Keterampilan, yakni belajar bagaimana menyelesaikan masalah-masalah lingkungan;

5. Kemampuan penilaian, yakni menilai ukuran-ukuran lingkungan dan program-

program pendidikan dari sudut pandang ekologi, politik, ekonomi, sosial dan

keindahan;

11

6. Partisipasi, yakni mendalami pengertian tentang tanggung jawab terhadap lingkungan

dan pentingnya kondisi-kondisi sekarang untuk ditindaklanjuti guna memecahkan

masalah-masalah lingkungan.

12

4. Hubungan Pendidikan Lingkungan Dengan Pembangunan Berkelanjutan Sebagai

Akibat Dari Kerusakan Lingkungan

Bisakah pendidikan dipertimbangkan sebagai bagian integral dari strategi

pembangunan berkelanjutan, dan jika demikian, mengapa begitu? Pembangunan

berkelanjutan pada intinya berbicara tentang hubungan-hubungan antar orang, dan antara

orang dengan lingkungan mereka. Dengan kata lain, ini sebuah persoalan sosio-kultural dan

ekonomi. Elemen manusia sekarang secara luas diakui sebagai variabel kunci dalam

pembangunan berkelanjutan, baik sebagai penyebab dari pembangunan berkelanjutan dan

juga sebagai harapan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Hubungan manusia yang

berdasarkan pada kepentingan diri sendiri (ketamakan, kecemburuan atau nafsu untuk

berkuasa, misalnya) mempertahankan distribusi kekayaan yang tidak adil, membangkitkan

konflik dan berujung pada kurangnya perhatian pada ketersediaan sumberdaya alam untuk

masa depan. Sebaliknya, hubungan yang bercirikan keadilan, perdamaian, dan kepentingan

bersama yang saling menguntungkan berujung pada keadilan yang lebih besar, penghargaan

dan pemahaman. Kualitas-kualitas inilah yang akan mendasari strategi-strategi pembangunan

berkelanjutan.

Nilai-nilai mendasar yang akan dipromosikan oleh pendidikan untuk pembangunan

berkelanjutan setidaknya disebutkan berikut ini:

Penghargaan atas martabat dan hak asasi manusia untuk semua orang di seluruh dunia

dan komitmen pada keadilan sosial dan ekonomi bagi semua;

Penghargaan atas hak asasi manusia dari generasi masa depan dan komitmen pada

pertanggungjawaban antar generasi;

Penghargaan dan kepedulian bagi komunitas kehidupan yang lebih luas dengan semua

keragamannya yang melibatkan perlindungan dan pemulihan pada ekosistem Bumi;

Penghargaan atas keragaman budaya dan komitmen untuk membangun secara lokal

dan global sebuah budaya toleransi, nirkekerasan dan perdamaian.

Pendidikan adalah kesempatan terbaik kita untuk mengenalkan dan mengakarkan nilai

dan perilaku yang dikandung pembangunan berkelanjutan. Seperti telah diketahui banyak

orang, dibutuhkan sebuah pendidikan yang transformatif: pendidikan yang membantu menuju

perubahan-perubahan fundamental yang dituntut oleh tantangan dari keberlanjutan.

Mempercepat kemajuan menuju keberlanjutan bergantung pada menghidupkan kembali

13

hubungan yang penuh kepedulian antara manusia dan dunia alam, untuk kemudian

mempermudah eksplorasi kreatif bentuk-bentuk pembangunan yang lebih bertanggungjawab

secara lingkungan dan sosial.’ Pendidikan memungkinkan kita sebagai individu dan

komunitas untuk memahami diri kita sendiri dan orang lain, dan hubungan kita dengan alam

dan lingkungan sosial yang lebih luas. Pemahaman ini berlaku sebagai dasar yang kokoh bagi

untuk menghormati dunia sekitar kita dan manusia yang menghuninya.

Pencarian atas pembangunan berkelanjutan itu beraneka segi – tidak bisa bergantung pada

pendidikan sendirian. Banyak parameter sosial lain yang mempengaruhi pembangunan

berkelanjutan, seperti tata kepemerintahan, hubungan gender, bentuk-bentuk organisasi

ekonomi dan partisipasi warga negara. Memang, bisa saja kita memilih untuk mengangkat

pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan, karena pembelajaran tidak dibatasi pada

pendidikan saja. Pembelajaran termasuk apa yang terjadi dalam sistem pendidikan, tetapi

memperluasnya kedalam kehidupan sehari-hari-pembelajaran mengambil tempat di rumah,

dalam setting sosial, di lembaga komunitas dan di tempat kerja. Meskipun dinamai sebagai

Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan, ini harus memasukkan dan

mendukung semua bentuk pembelajaran.

Adalah kepuasan melihat orang belajarlah yang menjadi motivasi banyak pendidik.

Penelitian telah menunjukkan bahwa sebagian besar pendidik bekerja untuk membantu

individu-individu untuk tumbuh dan berkembang secara intelektual, emosional, spiritual, dan

secara praktis,untuk kemudian tumbuh subur dalam konteks sosio-lingkungan atau sosio-

kultural apapun tempat mereka berada. Banyak pendidik memiliki pandangan bersemangat

tentang mengapa dan bagaimana aspek-aspek pendidikan dapat dan harus memainkan peran

vital dalam proses ini. Pembangunan nilai-nilai positif yang kuat dalam diri pembelajar –

tentang diri mereka sendiri, tentang pembelajaran, dunia di sekeliling mereka dan tempat

mereka di dalamnya– adalah bagian kunci dari apa yang berusaha pendidik tumbuh

kembangkan dalam seorang pembelajar: berkembang sebagai manusia yang utuh, menjadi

warga negara yang aktif dan bertanggung jawab, menemukan kecintaan pada pembelajaran

seumur hidup, menyadari kekuatan dan potensi diri mereka. Pembelajaran personal inilah

yang akan paling memungkinkan untuk mempercepat penanaman nilai-nilai yang mendasari

pembangunan berkelanjutan, karena pembangunan berkelanjutan adalah persoalan

mengadopsi suatu visi secara yakin daripada mencerna sebagian khusus dari ilmu

pengetahuan. Pembelajaran dalam ESD bagaimanapun juga tidak bisa berhenti pada

14

tingkatan personal– ini harus mendorong ke arah partisipasi aktif dalam mencari dan

mengimplementasikan pola-pola baru perubahan dan pengorganisasian sosial, bekerja untuk

menemukan struktur-struktur dan mekanisme-mekanisme yang akan lebih merefleksikan visi

pembangunan berkelanjutan.

15

5. Kerusakan Lingkungan di Indonesia

Indonesia dikaruniai jumlah pulau yang cukup banyak, dimana sedikitnya ada 17.508

pulau kecil maupun besar yang menaburi perairan nusantara dari Sabang hingga Marauke.

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau besar yang berada tepat di tengah-tengah perairan

Indonesia. Ciri yang paling menonjol dari Pulau Jawa adalah kepadatan penduduk yang

sangat tinggi (tertinggi di Indonesia), yakni hampir 60% jumlah penduduk Indonesia hidup

dan tinggal di Pulau Jawa. Dari hasil Susenas 1980 hingga tahun 2000, identitas Pulau Jawa

sebagai pulau terpadat di Indonesia belum juga hilang. Ironisnya, sebagian pulau lain, seperti

Maluku dan Papua, yang luasnya masing-masing hampir empat dan lima kali luas Pulau Jawa

hanya dihuni oleh sekitar 2 hingga 5 persen dari total penduduk Indonesia.

Praktek-praktek pembangunan yang bias daratan pasca diberlakukannya UU No. 32

Tahun 2004 (sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah, mendorong

percepatan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan dalam beberapa tahun terakhir.

Bergesernya kepentingan eksplorasi menjadi eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan,

secara besar-besaran, dirasa sudah jauh meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan

lingkungan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan bio-fisik saja, namun

juga turut memberikan tekanan yang cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakat yang

terlanjur menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan sumber daya alam dan

lingkungan.

Pantai Selatan maupun Pantai Utara Jawa merupakan pusat aktivitas berbagai

kegiatan perekonomian di Pulau Jawa. Berbagai aktivitas tersebut tidak lepas dari sejumlah

persoalan yang cukup kompleks, mulai dari kerusakan fisik lingkungan, semakin parahnya

kerusakan ekosistem pesisir dan laut hingga berbagai masalah sosial yang hadir di tengah-

tengah masyarakat pesisir yang jumlahnya mencapai 65% dari seluruh penduduk Pulau Jawa.

Pembangunan yang Merusak

Sebagai pulau yang strategis dengan berbagai aktivitas perekonomian yang

menjanjikan, pemerintah membangun berbagai fasilitas yang cukup fantastis di Pulau Jawa,

mulai dari penyediaan kawasan industri, perkantoran, transportasi, pariwisata hingga

pemukiman mewah, yang sebahagian besar didirikan disepanjang pesisir Jawa. Sayangnya,

kegiatan pembangunan ini tidak mempertimbangkan fisik Pulau Jawa yang luasnya hanya 7%

dari total luas daratan Indonesia. Akibatnya, Pulau Jawa tidak mampu

16

menampung/memenuhi segala kegiatan tersebut. Untuk mengatasinya, pemeritah membuat

kebijakan reklamasi serta berbagai bentuk konversi lahan untuk pemenuhan kegiatan

pembangunan dan investasi jangka pendek, yang mengakibatkan 47 lokasi di sepanjang

Pantai Utara dan Selatan Jawa telah dikonversi untuk berbagai peruntukan. Setidaknya dalam

kurun waktu 10 tahun terakhir, lebih dari 90 desa di sepanjang Pantai Utara maupun Selatan

Jawa terkena bencana abrasi. Bahkan, sebuah desa beserta 300 hektar lahan tambak

masyarakat di Kabupaten Demak hilang akibat abrasi pasca kegiatan reklamasi dan

pembangunan break water di pelabuhan Tanjung Mas Semarang.

Selain itu, intensitas bencana banjir dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada kurun

waktu 1996 hingga 1999, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya

semakin meningkat hingga lebih dari 100% (2.823 desa) di akhir tahun 2003.

Masyarakat Pesisir Korban Pembangunan

Data menunjukkan bahwa sedikitnya ada 63 Kabupaten/Kota yang berada di

sepanjang Pantai Utara dan Selatan Pulau Jawa dengan jumlah penduduk tidak kurang dari

74.910.306 jiwa (sekitar 65% dari total penduduk Pulau Jawa). Jika dilihat tren pertumbuhan

penduduk pesisir Jawa di era 90an hingga 2000an, maka pertumbuhan penduduk pesisir Jawa

rata-rata sekitar 2,2% (lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk rata-rata nasional).

Peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan tersebut juga diikuti secara konsisten

oleh jumlah penduduk miskin yang kini mencapai 20% dari jumlah keseluruhan penduduk

pesisir Pulau Jawa.

Tabel Peningkatan Jumlah Penduduk Pesisir Jawa

No Tahun Jumlah Penduduk

1 1995 71.777.316

2 2000 72.853.207

3 2002 74.910.306

Di Propinsi Jawa tengah, misalnya, tidak kurang dari 4 juta masyarakat pesisir hidup

dalam kemiskinan. Demikian juga di Propinsi Jawa Timur, setidaknya sepertiga (33,86%)

dari masyarakat desa yang tinggal di pesisir dalam kondisi miskin. Bahkan, di Kabupaten

Trenggalek dan Kabupaten Sumenep lebih dari 50% dari total jumlah penduduknya dalam

kategori miskin.

17

Selain itu, aktivitas pembangunan di Pesisir Jawa juga berimplikasi buruk terhadap

kehidupan masyarakat pesisir. Kasus reklamasi Pantai Utara Jakarta seluas 2.700 Ha dengan

panjang 32 Km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi, telah menyebabkan

hilangnya perkampungan dan pekerjaan ribuan nelayan di Kanal muara Angke, Muara Baru,

Kampung Luar Batang, pemukiman di depan Taman impian Jaya Ancol serta Marunda Pulo.

Hal serupa juga dialami oleh masyarakat pesisir Semarang, dimana pemerintah secara

terang-terangan melakukan perampasan tempat tinggal, pekerjaan, dan identitas nelayan

tradisional. Pencaplokan lahan masyarakat pesisir seluas 108 hektar untuk pembangunan

tempat wisata dan perumahan mewah telah mengakibatkan nelayan kehilangan hak atas

sumber daya pesisir dan laut sebagai tempat hidup dan mencari penghidupan. Pasca

pencaplokan tersebut, tercatat 20 orang perempuan dari desa pesisir tersebut terpaksa menjadi

pekerja seks akibat hilangnya sumber pencahariaan mereka sebagai pengolah hasil perikanan

pasca tangkap, seperti pengasapan ikan dan terasi. Sedangkan sebagian besar nelayan

terpaksa menjadi kuli bangunan, penarik becak, dan buruh pabrik untuk memenuhi kebutuhan

hidup ala kadarnya. Gizi dan kesehatan tidak lagi menjadi perhatian masyarakat, akibatnya

berbagai wabah penyakit, seperti disentri, malaria, demam berdarah, dan penyakit kulit

bermunculan. Kejadian yang lebih menyedihkan lagi bahwa 5 bayi meninggal di tahun 2000

akibat kurang gizi, dan satu di antaranya tanpa tempurung kepala.

Menyelamatkan Pulau Jawa, Menyelamatkan 60% Penduduk Indonesia

Menyelamatkan Pesisir Jawa, Menyelamatkan 65% Penduduk Pulau Jawa

Dengan fakta-fakta:

60% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa;

65% penduduk Pulau Jawa hidup di daerah pesisir dan sangat tergantung pada kualitas

dan kuantitas sumber daya pesisir dan laut;

pertumbuhan penduduk pesisir Jawa rata-rata cukup tinggi, mencapai 2,2% pertahun (di

atas pertumbuhan penduduk rata-rata nasional);

luas Pulau Jawa hanya 7% dari total pulau di Indonesia;

lebih dari 20% nelayan Indonesia merupakan nelayan yang berasal dari Pulau Jawa;

peningkatan jumlah nelayan di Pulau Jawa setiap tahunnya mencapai 13%;

hampir 20% masyarakat pesisir yang tinggal dan hidup di daerah pesisir Jawa berkutat

dalam kemiskinan;

hampir 3.000 desa di Pesisir Jawa mengalami bencana banjir setiap tahunnya;

18

dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, setidaknya terdapat 90 lokasi pesisir Jawa

mengalami bencana abrasi pantai hingga puluhan kilometer;

Maka hal tersebut di atas, telah mengisyaratkan bahwa kegiatan pembangunan dengan

pola-pola perusakan lingkungan pesisir yang dilakukan selama ini sudah berdampak buruk

terhadap kualitas lingkungan secara keseluruhan. Eksploitasi sumber daya pesisir, secara

besar-besaran, telah nyata mengundang berbagai bencana alam di Pulau Jawa. Hal ini juga

telah mengakibatkan keterpurukan masyarakat dalam kesehariannya, mulai dari kehilangan

hak atas pekerjaan, kehilangan hak atas tempat tinggal, hingga kehilangan hak atas pelayanan

kesehatan yang memadai. Untuk itu, diperlukan pola pembangunan pulau dengan

memperhatikan daya dukung pulau, khususnya daerah Pesisir Jawa yang sangat rentan

terhadap perubahan lingkungan.

Kerusakan Hutan

Indonesia merupakan rumah dari hutan hujan terluas di seluruh Asia, meski Indonesia

terus mengembangkan lahan-lahan tersebut untuk mengakomodasi populasinya yang semakin

meningkat serta pertumbuhan ekonominya.

Sekitar tujuh belas ribu pulau-pulau di Indonesia membentuk kepulauan yang

membentang di dua alam biogeografi - Indomalayan dan Australasian - dan tujuh wilayah

biogeografi, serta menyokong luar biasa banyaknya keanekaragaman dan penyebaran spesies.

Dari sebanyak 3.305 spesies amfibi, burung, mamalia, dan reptil yang diketahui di Indonesia,

sebesar 31,1 persen masih ada dan 9,9 persen terancam. Indonesia merupakan rumah bagi

setidaknya 29.375 spesies tumbuhan vaskular, yang 59,6 persennya masih ada.

Penebangan Hutan

Saat ini, hanya kurang dari separuh Indonesia yang memiliki hutan,

merepresentasikan penurunan signifikan dari luasnya hutan pada awalnya. Antara 1990 dan

2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan

perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di

bawah Brazil pada masa itu, dan sejak akhir 1990an, penggusuran hutan primer makin

meningkat hingga 26 persen. Kini, hutan-hutan Indonesia adalah beberapa hutan yang paling

terancam di muka bumi.

Jumlah hutan-hutan di Indonesia sekarang ini makin turun dan banyak dihancurkan

berkat penebangan hutan, penambangan, perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi,

19

dan aktivitas lain yang substansial, seperti memindahkan pertanian dan menebang kayu untuk

bahan bakar. Luas hutan hujan semakin menurun, mulai tahun 1960an ketika 82 persen luas

negara ditutupi oleh hutan hujan, menjadi 68 persen di tahun 1982, menjadi 53 persen di

tahun 1995, dan 49 persen saat ini. Bahkan, banyak dari sisa-sisa hutan tersebut yang bisa

dikategorikan hutan yang telah ditebangi dan terdegradasi.

Efek dari berkurangnya hutan ini pun meluas, tampak pada aliran sungai yang tidak

biasa, erosi tanah, dan berkurangnya hasil dari produk-produk hutan. Polusi dari pemutih

khlorin yang digunakan untuk memutihkan sisa-sisa dari tambang telah merusak sistem

sungai dan hasil bumi di sekitarnya, sementara perburuan ilegal telah menurunkan populasi

dari beberapa spesies yang mencolok, di antaranya orangutan (terancam), harimau Jawa dan

Bali (punah), serta badak Jawa dan Sumatera (hampir punah). Di pulau Irian Jaya, satu-

satunya sungai es tropis memang mulai menyurut akibat perubahan iklim, namun juga akibat

lokal dari pertambangan dan penggundulan hutan.

Penebangan kayu tropis dan ampasnya merupakan penyebab utama dari berkurangnya

hutan di negara itu. Indonesia adalah eksportir kayu tropis terbesar di dunia, menghasilkan

hingga 5 milyar USD setiap tahunnya, dan lebih dari 48 juta hektar (55 persen dari sisa hutan

di negara tersebut) diperbolehkan untuk ditebang. Penebangan hutan di Indonesia telah

memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang, di dunia pada

pembangunan. Setelah berhasil menebangi banyak hutan di daerah yang tidak terlalu

terpencil, perusahaan-perusahaan kayu ini lantas memperluas praktek mereka ke pulau

Kalimantan dan Irian Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak petak-petak hutan

telah dihabisi dan perusahaan kayu harus masuk semakin dalam ke daerah interior untuk

mencari pohon yang cocok. Sebagai contoh, di pertengahan 1990an, hanya sekitar 7 persen

dari ijin penambangan berada di Irian Jaya, namun saat ini lebih dari 20 persen ada di

kawasan tersebut.

Di Indonesia, penebangan kayu secara legal mempengaruhi 700.000-850.000 hektar

hutan setiap tahunnya, namun penebangan hutan illegal yang telah menyebar meningkatkan

secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar, dan mungkin

lebih tinggi - di tahun 2004, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan bahwa

75 persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada larangan resmi untuk

mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya diselundupkan ke Malaysia,

Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa perkiraan, Indonesia kehilangan

20

pemasukan sekitar 1 milyar USD pertahun dari pajak akibat perdagangan gelap ini.

Penambangan ilegal ini juga merugikan bisnis kayu yang resmi dengan berkurangnya suplai

kayu yang bisa diproses, serta menurunkan harga internasional untuk kayu dan produk kayu.

Agrikultur

Beberapa tahun terakhir ini, wilayah hutan yang luas telah banyak diubah menjadi

perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia bertambah dari 600.000

hektar di tahun 1985 hingga lebih dari 4 juta hektar pada awal 2006 ketika pemerintah

mengumumkan rencana untuk mengembangkan 3 juta hektar tambahan untuk perkebunan

kelapa sawit di tahun 2011. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman perkebunan

yang sangat menarik, karena merupakan minyak sayur termurah dan memproduksi lebih

banyak minyak per hektar bila dibandingkan dengan bibit minyak lainnya. Di masa ketika

harga energi cukup tinggi, minyak sawit tampak sebagai jalan terbaik untuk memenuhi

meningkatnya permintaan biofuel sebagai sumber energi alternatif.

Walau menghabisi hutan hujan yang masih alami dan perkebunan kelapa sawit boleh

dibuat di atas lahan hutan yang telah terdegradasi, penggundulan hutan diijinkan asalkan

prosesnya dinyatakan sebagai langkah awal untuk mendirikan perkebunan. Karenanya

perkebunan kelapa sawit kerap menggantikan hutan alami. Yang tengah menjadi kepedulian

para pemerhati hutan adalah proyek 2 juta hektar yang direncanakan di Kalimantan Tengah.

Rencana ini - yang dibiayai oleh Cina dan didukung oleh pemerintah Indonesia - telah

dikritik oleh kelompok-kelompok peduli lingkungan hidup. Menurut mereka pengubahan

hutan alami menjadi monokultur pohon kelapa sawit mengancam keanekaragaman hayati dan

sistem ekologi. World Wildlife Fund, yang selama ini termasuk vokal mengutuk kondisi

tersebut dan mempunyai beberapa peneliti di lapangan untuk menaksir wilayah yang

potensial terpengaruh, telah mengeluarkan beberapa laporan tentang keberagaman biologis di

daerah tersebut (361 spesies baru ditemukan di Borneo antara tahun 1994-2004).

Cara tercepat dan termurah untuk mengosongkan suatu lahan baru untuk perkebunan

adalah dengan membakarnya. Tiap tahun, ratusan dari ribuan hektar are berubah menjadi

asap saat para pengembang dan petugas perkebunan terburu-buru menyalakan api sebelum

musim hujan datang. Di musim kemarau - terutama selama tahun-tahun el Nino - api ini

dapat terbakar di luar kendali selama berbulan-bulan, menyebabkan polusi mematikan yang

mempengaruhi negara-negara tetangga dan menyebabkan berkobarnya pula kemarahan

politis.

21

Di tahun 1982-1983, lebih dari 9,1 juta are (3,7 juta hektar) terbakar di Borneo

sebelum musim hujan datang, sementara lebih dari 2 juta hektar hutan dan semak belukar

terbakar selama masa el Nino tahun 1997-1998, menyebabkan kerugian hingga 9,3 milyar

USD. Kebakaran tersebut juga menyebabkan kerusakan yang parah dan bermacam-macam

terhadap ekonomi, politik, sosial, kesehatan, dan ekologi di Indonesia, sementara negara-

negara tetangga Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand yang tergabung dalam ASEAN

telah berada di suasana krisis ekonomi. Analisa satelit mengenai kebakaran di tahun 1997-

1998 menjelaskan bahwa 80 persen dari kebakaran ini terkait pada pemegang ijin perkebunan

atau penebangan hutan.

Kabut asap dari kebakaran tahun 2005-2006 menyebabkan panasnya hubungan antara

pemerintah Malaysia dan Indonesia. Malaysia dan Singapura telah menawarkan bantuan

untuk menanggulangi kebakaran di Indonesia, sambil secara bersama-sama menimpakan

kesalahan pada negara tersebut atas tidak adanya peningkatan dalam mengendalikan

kebakaran. Indonesia, sebaliknya, menyalahkan perusahaan-perusahaan Malaysia karena

melakukan penebangan hutan ilegal di negara itu, yang menyebabkan hutan-hutannya

menjadi mudah terbakar.

Meski ada pencegahan, termasuk permintaan Indonesia agar dapat menerapkan

hukuman mati bagi penebang liar dan pembuat api, kebakaran seperti itu diperkirakan justru

akan bertambah parah di masa depan saat kawasan hutan tersebut menghadapi peningkatan

kekeringan akibat perubahan dan penurunan iklim.

Kebakaran rawa gemuk di Indonesia merusak akibat muatan karbon yang tinggi di

ekosistem - Dr. Susan Page, dari Universitas Leicester, mengestimasikan bahwa tanah gemuk

di Asia Tenggara bisa mengandung hingga 21 persen dari selueuh karbon tanah dunia.

Kebakaran di tahun 1997 melepaskan 2,67 milyar ton karbon dioksida ke atmosfer.

Masalah Populasi

Kebakaran di Indonesia diperparah dengan kurangnya pengarahan pada program

transmigrasi pemerintah yang memindahkan keluarga-keluarga miskin dari pulau-pulau pusat

yang padat ke daerah yang lebih jarang penduduknya di pulau lain. Dalam program lebih dari

2 dekade ini, lebih dari 6 juta migran - 730.000 keluarga - direlokasikan ke Kalimantan, Irian

Jaya, Sulawesi, dan Sumatera. Ketidaktahuan mengenai cara bercocok tanam di daerah

tersebut menyebabkan banyak transmigran dibayar rendah. Di tahun 1995, mantan Presiden

22

Suharto mencanangkan "Proyek Satu Juta Hektar", sebuah proyek ambisius untuk

memindahkan 300.000 keluarga dari Jawa ke Kalimantan Tengah dan menaikkan produksi

beras hingga 2,7 juta ton per tahun. Selama 2 tahun, para pekerja menggundulkan hutan dan

menggali hampir 3.000 mil kanal yang bertujuan untuk menjaga kekeringan tanah selama

musim hujan dan untuk irigasi selama musim kemarau. Namun karena tanah gemuk lebih

tinggi dari sungai, rencana tersebut gagal karena kanal-kanal tersebut justru membawa

seluruh kelembaban keluar dari tanah gemuk. Kegagalan proyek ini ditambah dengan

kekeringan selama 8 bulan akibat tahun el Nino yang intens. Di tahun 1997, tanah-tanah

gemuk yang kering ini terbakar. Kebakaran di daerah lain Indonesia ini terhubung pada

daerah-daerah hunian yang didirikan selama program transmigrasi.

Penambangan

Praktek penambangan mempunyai efek merusak pada hutan dan suku pedalaman di

Indonesia. Proyek yang terbesar dan paling terkenal adalah pertambangan Freeport di Irian

Jaya, dilakukan oleh Freeport-McMoran. Berbasis di New Orleans, Freeport-McMoran telah

menjalankan pertambangan emas, perak, dan tembaga Gunung Ertsberg di Irian Jaya,

Indonesia, selama lebih dari 20 tahun dan telah mengubah gunung itu menjadi lubang

sedalam 600 meter. Seperti yang telah didokumentasikan oleh New York Times dan banyak

kelompok lingkungan hidup, perusahaan pertambangan tersebut membuang limbah dalam

ukuran yang mengejutkan ke dalam sungai-sungai lokal, membuat aliran dan daerah

basahnya menjadi "tidak cocok untuk kehidupan akuatik". Bergantung pada petugas-petugas

militer bergaji besar, pertambangan ini dilindungi oleh tentara swasta virtual yang terlibat

dalam kematian sekitar 160 orang antara tahun 1975 dan 1997 di area pertambangan.

Menurut perkiraan, Freeport menimbulkan 700.000 ton limbah setiap harinya dan

limbah batu yang tersimpan di dataran tinggi - kedalaman 900 kaki di berbagai tempat - saat

ini telah mencapai luas 3 mil persegi. Survey pemerintah menemukan bahwa pertambangan

tersebut telah menghasilkan tingginya tingkat tembaga dan sedimen hingga hampir semua

ikan menghilang dalam radius sekitar 90 mil persegi daerah basah di sepanjang sungai di

sekitar lokasi mereka.

Menyelidiki perusakan lingkungan dan praktek-praktek hak asasi manusia yang

dipertanyakan di Freeport merupakan suatu tantangan tersendiri karena tambang tersebut

adalah salah satu dari sumber pendapatan terbesar bagi pemerintah Indonesia. Seorang

peneliti pemerintahan Indonesia menulis bahwa "produksi tambang tersebut sangatlah besar,

23

dan perangkat pengaturannya sangat lemah, sehingga membujuk Freeport untuk menuruti

permintaan menteri untuk mengurangi kerusakan lingkungan adalah bagaikan 'melukis di

awan'," menurut artikel di New York Times 27 Desember 2005.

Kroni dan Korupsi

Manajemen hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi. Petugas

pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa reputasi

baik dan politisi licik, larangan penebangan hutan liar yang tak dijalankan, penjualan spesies

terancam yang terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman nasional

yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman penjara yang tak pernah

ditimpakan. Korupsi telah ditanamkan pada masa pemerintahan mantan Presiden Jendral Haji

Mohammad Soeharto (Suharto), yang memperoleh kekuasaan sejak 1967 setelah

berpartisipasi dalam perebutan pemerintahan oleh militer di tahun 1967. Di bawah

pemerintahannya, kroni tersebar luas, serta banyak dari relasi dekat dan kelompoknya

mengumpulkan kekayaan yang luar biasa melalui subsidi dan praktek bisnis yang kotor.

Tradisi kapitalisme kroni ini mempunyai peran yang sangat penting dalam lemahnya

respon pemerintah terhadap kasus kebakaran hutan pada krisis tahun 1997-1998. Menurut

managing director IMF, Indonesia tidak mampu menggunakan dana reboisasi non-bujeter

mereka untuk melawan kebakaran karena dana tersebut telah dialokasikan untuk proyek

mobil yang gagal milik anak Suharto. Walaupun dana milyaran tersebut ditarik dari pajak

kayu, dana itu telah lama digunakan sebagai cara yang tepat untuk mendistribusikan

kekayaan kembali pada lingkaran elit ekonomi Indonesia, orang-orang dekat dari orang

terkuat pada masa itu. IMF mengatakan bahwa dana tersebut kebanyakan telah digunakan

untuk menyediakan pinjaman berbunga rendah pada perusahaan komersial kayu dan

perkebunan untuk pembukaan hutan dan mengganti hutan alami tadi dengan pinus,

eucalyptus, dan pohon akasia untuk produksi kertas.

Hutan-hutan Indonesia menghadapi masa depan yang suram. Walau negara tersebut

memiliki 400 daerah yang dilindungi, namun kesucian dari kekayaan alam ini seperti tidak

ada. Dengan kehidupan alam liar, hutan, tebing karang, atraksi kultural, dan laut yang hangat,

Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk eko-turisme, namun sampai saat ini

kebanyakan pariwisata terfokus pada sekedar liburan di pantai. Sex-tourism merupakan

masalah di beberapa bagian negara, dan pariwisata itu sendiri telah menyebabkan

24

permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan hidup, mulai dari pembukaan hutan,

penataan bakau, polusi, dan pembangunan resort.

25

6. Bagaimana mencegah kerusakan lingkungan menggunakan pendidikan lingkungan?

Strategi pengajaran disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didik. Secara

umum, tehnik pengajaran tersebut meliputi:

1. media audio visual, misalnya dengan penayangan kehidupan hutan dan lingkungan,

baik yang masih dilindung maupun yang telah rusak;

2. jurnal catatan alam, yakni perekaman kehidupan alam dari waktu ke waktu, termasuk

didalamnya adalah dunia hewan, keadaan planet/bumi, dunia tumbuhan, keadaan

udara dari waktu ke waktu, dan sebagainya;

3. studi lapangan, seperti kegiatan kemah, hiking;

4. penyimpanan data-data peristiwa perubahan lingkungan, baik yang berupa data dari

media cetak maupun, media elektronik.

Disadari bahwa peranan manusia begitu besar dalam menentukan kondisi dan kualitas

lingkungan.  Apabila peran aktif manusia nyatanya tidak peduli terhadap kelestarian mutu

dan fungsi lingkungan, maka akan rusaklah lingkungan hidup dan demikian sebaliknya. 

Bencana banjir dan longsor atau juga kerusakan dan kebakaran hutan yang tak-terkendali dari

tahun ke tahun adalah contoh akibat dari peran manusia pembangunan yang tidak

berwawasan lingkungan.  Istilah peduli lingkungan disini mengisyaratkan kondisi mental

individu manusia yang terbentuk dari pengalaman pahitnya atau dari suatu proses pendidikan

yang dilaluinya.

Apabila di banyak wilayah seputar Indonesia termasuk Sumatera Selatan tercatat

banyak bencana lingkungan khususnya insiden kebakaran hutan dari tahun ke tahun (Iam

Kompas 2006), maka hal itu mengindikasikan adanya kondisi sosial yang masih memerlukan

injeksi pendidikan lingkungan yang bersifat formal maupun pendidikan informal (kursus-

kursus dan pelatihan) dan pendidikan non formal maupun pendidikan (penyuluhan dan

kegiatan studi banding).  Pendidikan lingkungan melalui jalur formal tentu erat kaitannya

dengan aspek kurikulum yang secara khusus perlu dilengkapi dengan paket ‘kurikulum hijau’

dan perlu diajarkan sejak dari tingkat pendidikan terendah (Sekolah Dasar) hingga ke taraf

perguruan tinggi.

  Di Indonesia upaya penghijauan kurikulum yang amat mendasar dan sangat penting

itu sudah pernah didengungkan dan di awal tahun 1990-an khususnya ketika berlangsung

Konferensi Nasional PSL ke 10 di Palembang pada tahun 1992.  Salah satu butir himbauan

yang tersimpul dalam konferensi itu menekankan arti penting penghijauan kurikulum baik

secara substansial maupun secara parsial.  Cara substansial menghendaki agar dalam setiap

substansi mata-ajaran diberi wawasan dan bobot lingkungan.  Cara parsial adalah bersifat

26

penyisipan mata kuliah atau mata-ajaran ekologis pada setiap paket kurikulum yang diberikan

kepada peserta didik.  Cara substansial tentu makan biaya dan waktu lama, sedangkan cara

parsial bisa lebih cepat dan murah, tapi bisa kehilangan konteks saling menguatkan terhadap

mata-ajaran lainnya.  Terutama bilamana cara parsial itu tidak disertai dengan banyak

penataran lingkungan bagi para guru yang belum atau tidak paham bagaimana menghijaukan

materi pelajaran (non Lingkungan) yang diajarkannya (Sjarkowi,2005).

Upaya penghijauan kurikulum yang kemudian patut disebut dengan program

Pendidikan Lingkungan, adalah sebuah usaha untuk mengarahkan kembali tujuan pendidikan

sehingga kompetensi dan pemahaman tentang pendidikan lingkungan dimunculkan kembali

sebagai salah satu tujuan dasarnya di samping kompetensi personal dan kompetensi sosial. 

Materi pendidikan lingkungan seyogyanya tidak hanya sebagai satu pokok bahasan dalam

pendidikan (cara parsial), melainkan penghijauan kurikulum itu akan lebih tepat dengan cara

substansial yang mengedepankan pengembangan seluruh filosofi kurikulum sehingga dimensi

lingkungan tercakup menjadi satu kesatuan.  Cara demikian tentu lebih besar manfaatnya

karena lingkungan membutuhkan perhatian dan pengertian  yang sama besar dengan

perhatian yang kita berikan untuk kesejahteraan personal social (Smyth,1995).

Hutan beserta dengan isinya sebagai himpunan aneka sumberdaya alami merupakan

komponen penting dalam lingkungan hidup ( yang menurut Sjarkowi, 2004) terdiri dari

lingkungan alami, lingkungan sosial, dan lingkungan binaan).  Sumberdaya alami sebagai

unsur lingkungan alami dan harus dijaga kelestarian mutu dan fungsinya, secara teoritis

memiliki empat dimensi yaitu :

1. Dimensi  mutu (Kualitas) dengan memperhatikan beberapa fungsi ciri atribut dan

peran yang melekat pada sumberdaya tersebut, maka dapat dibedakan mana diantaran

sejumlah sumberdaya sejenis yang lebih bermutu dan apa penyebab turun naiknya

mutu tersebut.

2. Dimensi  jumlah (kuantitas) suatu sumberdaya selalu dapat dinyatakan jumlahnya

menurut satuan ukur tertentu.

3. Dimensi waktu, mengacu kepada lambat atau cepatnya ketersediaan sumberdaya akan

ludes atau dapat dipulihkan kembali.  Dimensi ini tergantung kepada keadaan

teknologi yang ada dan yang memberikan makna manfaat serta makna jumlah bagi

suau sumberdaya yang dimanfaatkan.

4. Dimensi ruang merupakan penunjuk tempat kedudukan sumberdaya disebut

sumberdaya in-situ, sehingga perlu disebarkan ke tempat dimana benda itu dirasakan

lebih langka adanya ( sumberdaya eks-situ)

27

Suatu bencana lingkungan hidup seperti bencana kebakaran hutan tentu dapat merusak

keempat dimensi sumberdaya alami itu.  Sekali dimensi kelestarian sumberdaya itu

mengalami kerusakan tentunya akan sulit dipulihkan, apalagi bila kebakaran hutan itu terjadi

berulang-unlang.  Maka dapat dimengerti betapa pentingnya merealisasikan program

pendidikan lingkungan yang telah dikemukakan tadi, dan dengan demikian menjadi mudah

pula untuk dimengerti jika dinyatakan bahwa tujuan pendidikan lingkungan itu secara umum

adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap keterkaitan di bidang ekonomi,

sosial, politik terhadap ekologi, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

2. Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan pengetahuan,

keterampilan, sikap/perilaku, motivasi dan komitmen, yang diperlukan untuk bekerja

secara individu dan kolektif untuk menyelesaikan masalah lingkungan saat ini dan

mencegah munculnya masalah baru.

3. Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru bagi individu, kelompok-kelompok

dan masyarakat terhadap lingkungan hidup.

28

7. Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Lingkungan

Pemerintah sebagai lembaga tertinggi dalam suatu Negara berwenang untuk mengatur

ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di

Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang

mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai

oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dan untuk

mengimplementasikan hal tersebut maka pemerintah melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan

hidup

2. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan

pememfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber genetika.

3. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang lain dan/atau subyek

hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya

buatan, termasuk sumber daya genetika

4. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial

5. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Gambar 4. Peranan pemerintah dalam memberikan pendidikan lingkungan pada anak 29

Dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup secara nasional pemerintah bahkan

mempunyai kewajiban yang dituangkan dalam undang-undang nomor 23 tahun 1997 yang

antara lain:

1. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan

tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

2. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak

dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup

3. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara

masyarakat, dunia usasha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya

tampung lingkungan hidup

4. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup

yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

5. Mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemitif, preventif dan

proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan

hidup

6. Memamfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup

7. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan dibidang lingkungan hidup

8. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskan kepada masyarakat

9. Memberikan pengahargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang

lingkungan hidup

30

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam menghadapi berbagai kerusakan-kerusakan (permasalahan) lingkungan yang

terjadi akibat dari keteledoran dan kemarukan manusia sebagai suatu penguasa alam

ini maka pada dasarnya adanya pendidikan lingkungan sangatlah penting. Karena

sangatlah membantu kita dalam mempelajari dan melatih diri kita untuk

menyelesaikan masalah yang terjadi didalam lingkungan kita.

Tidak bisa di pungkiri peranan manusia begitu besar dalam menentukan kondisi dan

kualitas lingkungan.  Apabila peran aktif manusia nyatanya tidak peduli terhadap

kelestarian mutu dan fungsi lingkungan, maka akan rusaklah lingkungan hidup dan

demikian sebaliknya.

Peduli lingkungan disini mengisyaratkan kondisi mental individu manusia yang

terbentuk dari pengalaman pahitnya atau dari suatu proses pendidikan yang

dilaluinya.

Dengan demikian adanya Pendidikan lingkungan melalui jalur formal tentu erat kaitannya

dengan aspek kurikulum yang secara khusus perlu dilengkapi dengan paket ‘kurikulum hijau’

dan perlu diajarkan sejak dari tingkat pendidikan terendah (Sekolah Dasar) hingga ke taraf

perguruan tinggi, karena dengan adanya pendidikan lingkungan maka akan menumbuhkan

pola pikir kita, menjadi suatu pola pikir yang bisa membuat kita menjadi orang yang

turut berpartisipai dalam memberikan pendapat-pendapatnya untuk menyelesaikan

masalah yang terjadi.

Materi pendidikan lingkungan seyogyanya tidak hanya sebagai satu pokok bahasan

dalam pendidikan (cara parsial), melainkan penghijauan kurikulum itu akan lebih

tepat dengan cara substansial yang mengedepankan pengembangan seluruh filosofi

kurikulum sehingga dimensi lingkungan tercakup menjadi satu kesatuan.  Cara

demikian tentu lebih besar manfaatnya karena lingkungan membutuhkan perhatian

dan pengertian  yang sama besar dengan perhatian yang kita berikan untuk

kesejahteraan personal social.

31

Saran

Sesungguhnya kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi di indonesia sangatlah

berhubungan erat dengan kita sendiri dalam hal ini kita sebagai suatu individu

maupun suatu warga yang mendiami negara ini. karena itu adanya suatu Pendidikan

yang dinamakan dengan Pendidikan Lingkungan sangatlah penting bagi kita agar kita

dapat dengan benar mengimplementasikan pendidikan tersebut. Dan juga agar kita

mampu memecahkan masalah-masalah kerusakan lingkungan yang terjadi di inonesia.

untuk mengatasi setiap permasalahan-permasalahan lingkungan tersebut maka

sebaiknya kita mencoba untuk mengintrospeksi negara ini. ini dimulai dari kita

sendiri, khususnya ini ditujukan kepada instansi-instansi pemerintah yang memang

berwewenang untuk mengatasi masalah yang terjadi. Yang di harapkan adalah suatu

solusi untuk mengatasi masalah yang terjadi bukan menambah masalah, maksutnya

yaitu, terkadang keputusan yang di ambil oleh para wakil rakyat tersebut bukanya

mendatangkan jalan keluar malah menambah masalah, contohnya pembanguna-

pembangunan yang di laksanakan mengakibakan masyarakat pesisir menjadi korban.

Ini diharapkan tidak terjadi karena Sesungguhnya semua rakyat menginginkan yang

terbaik untuk negara dimana mereka tinggal dan ini adalah tugas pemerintah untuk

mengerahkan semua tenaganya dalam mengatasi masalah yang dihadapi, Dan dengan

adanya upaya-upaya yang berasal dari pemerintah maka di harapkan dapat

menciptakan suatu ketatanegaraan indonesia yang adil dan beradab.

32

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara

http://library.usu.ac.id/download/fisip/sosiologi-henry.pdf.

G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat

menelusuri web.

Kerusakan Lingkungan Oleh Limbah Industri adalah Masalah Itikad

Henry Sitorus (Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik)

Program Studi Sosiologi

Universitas Sumatera Utara

Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara latin yang

gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core

industry)untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi

tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya

dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat

teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk

teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk

teknologi dan industri dari negara maju Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara

berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin

Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi

dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini

didukung oleh itikad pelaku pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan

pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.

Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi permintaan

akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri dapat menghasilkan

berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan

lingkunganhidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai

industri yang dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan

pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.

34

Disamping itu, iptek dan teknologi dikembangkan dalam bidang antariksa dan militer,

menyebabkan terjadinya eksploitasi energi, sumber daya alam dan lingkungan yang

dilakukan untuk memenuhi berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia dalam

kehidupannya sehari-hari.

Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat

menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta

melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi

dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia

secara tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 - 20). Selain itu, terdapat juga

indikasi yang memperlihatkan tidak terkendalinya polusi dan pencemaran lingkungan akibat

banyak zat-zat buangan dan limbah industri dan rumah tangga yang memperlihatkan ketidak

perdulian terhadap lingkungan hidup. Akibat-akibat dari ketidak perdulian terhadap

lingkungan ini tentu saja sangat merugikan manusia, yang dapat mendatangkan bencana bagi

kehidupan manusia. Oleh karena itu, masalah pencemaran lingkungan baik oleh karena

industri maupun komsumsi manusia, memerlukan suatu pola sikap yang dapat dijadikan

sebagai modal dalam mengelola dan menyiasati permasalahan lingkungan. Pengertian dan

persepsi yang berbeda mengenai masalah lingkungan hidup sering menimbulkan ketidak

harmonisan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya seringkali terjadi kekurang

tepatan dalam menerapkan berbagai perangkat peraturan, yang justru menguntungkan

perusak lingkungan dan merugikan masyaakat dan pemerintah.

Itikad penanganan dan pemecahan masalah lingkungan telah ditunjukan oleh

pemerintah melalui Kantor Menteri Lingkungan Hidup yang mempersyaratkan seluruh

bentuk kegiatan industri harus memenuhi ketentuan Amdal dan menata hasil buangan industri

baik dalam bentuk padat, cair maupun gas. Disamping itu, berbagai seruan dan ajakan telah

disampaikan kepada konsumen dan rumah tangga pengguna produk industri yang

buangannya tidak dapat diperbaharui ataupun didaur ulang.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, tulisan ini secara khusus akan membahas

permasalahan: 1). Bagaimana kontribusi industri dan teknologi yang menyebar terhadap

pencemaran lingkungan, 2). Bagaimana klasifikasi pencemaran lingkungan dan, 3).

Bagaimana menyikapi terjadinya pencemaran lingkungan hidup.

A. KONSEP-KONSEP UNTUK MEMAHAMI MASALAH LINGKUNGAN DAN

PENCEMARAN OLEH INDUSTRI

Seringkali ditemukan pernyataan yang menyamakan istilah ekologi dan lingkungan hidup,

karena permasalahannya yang bersamaan. Inti dari permasalahan lingkungan hidup adalah

35

hubungan mahluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. IImu tentang

hubungan timbal balik mahluk hidup dengan lingkungan hidupnya di sebut ekologi

(Soemarwoto, 1991: 19). Lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang

dengan semua benda, daya. keadaan dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia

dengan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupannya dan kesejahteraan

manusia serta mahluk hidup lainnya (Soerjani, dalam Sudjana dan Burhan, 1996: 13).

Dari definisi diatas tersirat bahwa mahluk hidup khususnya merupakan pihak

yang selalu memanfaatkan lingkungan hidupnya, baik dalam hal respirasi, pemenuhan

kebutuhan pangan, papan dan lain-lain.

Dan, manusia sebagai mahluk yang paling unggul di dalam ekosistemnya,

memiliki daya dalam mengkreasi dan mengkonsumsi berbagai sumbersumber daya alam

bagi kebutuhan hidupnya.

Di alam terdapat berbagai sumber daya alam. yang merupakan komponen

lingkungan yang sifatnya berbeda-beda, dimana dapat digolongkan atas :

Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable natural resources)

Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable natural resources).

Berbagai sumber daya alam yang mempunyai sifat dan perilaku yang beragam

tersebut saling berinteraksi dalam bentuk yang berbeda-beda pula (Suratmo, dalam

Sudjanan dan Burhan, 1996:31). Sesuai dengan kepentingannya maka sumber daya alam

dapat dibagi atas; (a). fisiokimia seperti air, udara, tanah, dan sebagainya, (2). biologi,

seperti fauna, flora, habitat, dan sebagainya, dan (3). sosial ekonomi seperti pendapatan,

kesehatan, adat-istiadat, agama, dan lain-lain.

Interaksi dari elemen lingkungan yaitu antara yang tergolong hayati dan non-

hayati akan menentukan kelangsungan siklus ekosistem, yang didalamnya didapati proses

pergerakan energi dan hara (material) dalam suatu sistem yang menandai adanya habitat,

proses adaptasi dan evolusi.

Dalam memanipulasi lingkungan hidupnya, maka manusia harus mampu

mengenali sifat lingkungan hidup yang ditentukan oleh macam-macam faktor. Berkaitan

dengan pernyataan ini, Soemarwoto (1991: 50 -51) mengkategorikan sifat lingkungan

hidup alas dasar: (1). Jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup

tersebut, (2). hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup tersebut, (3).

kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup, dan (4). faktor-faktor non-materil, seperti

cahaya dan kebisingan.

Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, yang dapat mempengaruhi

36

dan mempengaruhi oleh lingkungan hidupnya, membentuk dan dibentuk oleh lingkungan

hidupnya. Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya adalah sirkuler, berarti jika

terjadi perubahan pada lingkungan hidupnya maka manusia akan terpengaruh.

Uraian ini dapat menjelaskan akibat yang ditimbulkan oleh adanya pencemaran

lingkungan, terutama terhadap kesehatan dan mutu hidup manusia. Misalnya, akibat

polusi asap kenderaan atau cerobong industri, udara yang dipergunakan untuk bernafas

oleh manusia yang tinggal di lingkungan itu akan tercemar oleh gas CO (karbon

monoksida). Berkaitan dengan paparan ini, perlakuan manusia terhadap lingkungan akan

mempengaruhi mutu lingkungan hidupnya.

Konsep mutu lingkungan berbeda bagi tiap orang yang mengartikan dan

mempersepsikannya. Soemarwoto (1991: 53) secara sederhana menerjemahkan bahwa

mutu lingkungan hidup diukur dari kerasannya manusia yang tinggal di lingkungan

tersebut, yang diakibatkan oleh terjaminnya perolehan rejeki, iklim dan faktor alamiah

lainnya yang sesuai.

Batasan ini terasa sempit, bila dikaitkan dengan pengaruh elemen lingkungan

yang sifatnya tidak dikenali dan dirasakan, misalnya dampak radiasi baik yang

disebabkan oleh sinar ultarviolet atau limbah nuklir, yang bersifat merugikan bagi

kelangsungan hidup mahluk hidup.

B. INDUSTRI DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

Jika kita ingin menyelamatkan lingkungan hidup, maka perlu adanya itikad yang

kuat dan kesamaan persepsi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan

lingkungan hidup dapatlah diartikan sebagai usaha secar sadar untuk memelihara atau

memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-

baiknya (Soemarwoto, 1991: 73).

Memang manusia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap

lingkungannya , secara hayati ataupun kultural, misalnya manusia dapat menggunakan air

yang tercemar dengan rekayasa teknologi (daur ulang) berupa salinisasi, bahkan

produknya dapat menjadi komoditas ekonomi. Tetapi untuk mendapatkan mutu

lingkungan hidup yang baik, agar dapat dimanfaatkan secara optimal maka manusia

diharuskan untuk mampu memperkecil resiko kerusakan lingkungan.

Dengan demikian, pengelolaan lingkungan dilakukan bertujuan agar manusia

tetap "suvival". Hakekatnya manusia telah "survival" sejak awal peradaban hingga kini,

tetapi peralihan dan revolusi besar yang melanda umat manusia akibat kemajuan

pembangunan, teknologi, iptek, dan industri, serta revolusi sibernitika, menghantarkan

37

manusia untuk tetap mampu menggreskan sejarah kehidupan, akibat relasi kemajuan

yang bersinggungan dengan lingkungan hidupnya. Karena jika tidak mampu menghadapi

berbagai tantangan yang muncul dari permasalah lingkungan, maka kemajuan yang telah

dicapai terutama berkat ke-magnitude-an teknologi akan mengancam kelangsungan hidup

manusia

1. Dampak Industri dan Teknologi terhadap Lingkungan.

Joseph Schumpeter (dalam Marchinelli dan Smelser,1990 :14-20) mengisyaratkan

tentang pentingnya inovasi dalam proses pembangunan ekonomi di suatu negara. Dalam

hal ini, pesatnya hasil penemuan baru dapat dijadikan sebagai ukuran kemajuan

pembangunan ekonomi suatu bangsa.

Dari berbagai tantangan yang dihadapi dari perjalanan sejarah umat manusia,

kiranya dapat ditarik selalu benang merah yang dapat digunakan sebagai pegangan

mengapa manusia "survival" yaitu oleh karena teknologi.

Teknologi memberikan kemajuan bagi industri baja, industri kapal laut, kereta

api, industri mobil, yang memperkaya peradaban manusia.. Teknologi juga mampu

menghasilkan sulfur dioksida, karbon dioksida, CFC, dan gas-gas buangan lain yang

mengancam kelangsungan hidup manusia akibat memanasnya bumi akibat efek "rumah

kaca".

Teknologi yang diandalkan sebagai istrumen utama dalam "revolusi hijau"

mampu meningkatkan hasil pertanian,- karena adanya bibit unggul, bermacam jenis

pupuk yang bersifat suplemen, pestisida dan insektisida. Dibalik itu, teknologi yang sama

juga menghasilkan berbagai jenis racun yang berbahaya bagi manusia dan

lingkungannya, bahkan akibat rutinnya digunakan berbagi jenis pestisida ataupun

insektisida mampu memperkuat daya tahan hama tananam misalnya wereng dan kutu

loncat.

Teknologi juga memberi rasa aman dan kenyamanan bagi manusia akibat mampu

menyediakan berbagai kebutuhan seperti tabung gas kebakaran, alat-alat pendingin

(Iemari es dan AC), berbagai jenis aroma parfum dalam kemasan yang menawan, atau

abat anti nyamuk yang praktis untuk disemprotkan, dan sebagainya. Serangkai dengan

proses tersebut, ternyata CFC (chlorofluorocarbon) dan tetrafluoroethylene polymer yang

digunakan justru memiliki kontribusi bagi menipisnya lapisan ozone di stratosfer.

Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang)

untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber

devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi akibat yang ditimbulkannya

38

merusak hutan tropis sekaligus berbagai jenis tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis

fauna yang langka.

Bahkan akibat kemajuan teknologi, era sibernitika yang mengglobal dapat

dikomsumsi oleh negara-negara miskin sekalipun karena kemampuan komputer sebagai

intrumen informasi yang tidak memiliki batas ruang. Dalam hal ini, jaringan Internet

yang dapat diakses dengan biaya yang tidak mahal menghilangkan titik-titik pemisah

yang diakibatkan oleh jarak yang saling berjauhan. Kemanjuan teknologi sibernitika ini

meyakini ekonom Peter Drucker (Toruan, dalam Jakob Oetama (ep.) 1999:35, bahwa

kemajuan yang telah dicapai oleh negara maju akan dapat disusul oleh negara-negara

berkembang, terutama oleh menyatunya negara maju dengan negara berkembang dalam

blok perdagangan.

Kasus Indonesia Indonesia memang negara "late corner" dalam proses

industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini

kemampuan teknologinya juga masih terbelakang. Menurut PECC dalam laporannya

berjudul "Pasific Science and Technology Profit, menyimpulkan bahwa Indonesia dari

segi pengeluaran R&D (Research and Design) sebagai persentase PDB, tergolong masih

sangat kurang (Susastro, 1992:31).

Selanjutnya, dipaparkan bahwa Indonesia bersama dengan Filipina berada di

peringkat terbawah, yaitu sekitar 0,12 persen saja untuk tahun 1987. Sedangkan

Malaysia, Singapura dan Cina persentasenya mendekati 1 persen, di Korea mendekati 2

%, bahkan Amerika dan Jepang jauh diatas 2 persen.

Dari segi jumlah ilmuan dan insiyur, Indonesia juga berada pada peringkat

terbawah, yaitu hanya 4 orang per 10.000, dibandingkan dengan 15 orang di Korea, 18

orang di Taiwan, 23 orang di Singapura, 34 orang di Jepang dan 40 orang di Amerika.

Berdasarkan data perbandingan tersebut, indikasi kebijaksanaan harus

menitikberatkan perhatian yang lebih bagi upaya untuk mengkreasi penemuan-penemuan

teknologi, melalui tahapan mempelajari proses akuisisi dan peningkatkan kemampuan

teknologi yang telah dikuasai.

Seperti pengalaman negara-negara lain yang telah melalui berbagai tahapan

pembangunan sampai pada tahap industrialisasi, maka Indonesia juga mengandalkan

teknologi dalam industrinya untuk memelihara momentum pembangunan ekonomi

dengan tingkat pertumbuhan diatas 5 % pertahunnya 1. Masuknya teknologi ke Indonesia

sudah dimulai sejak diundangkannya UUPMA (UU No. 1 tahun 1967, yang diperbarui

dengan PP.No. 20 tahun 1994). Dengan dukungan UU tentang Hak Paten (Property

39

Right) dan UU Perlindungan Hak Cipta (Intelectual Right), maka banyak perusahaan

multinasional dan asing yang menggunakan, memakai dan mengembangkan teknologi

dalam menghasilkan berbagai produk industri.

Dalam hal merebaknya teknologi industri masuk ke Indonesia, Hiroshi Kakazu

(1990: 66) menyatakan bahwa transfernya dapat melalui: (a)Science aggrement, (b).

technical assistence and coopteration, (c). turnkey project, (d). foreign direct invesment,

dan (e). purchase of capital goods. Atau dalam bentuk equity participation dalam rangka

joint operation aggrement, know - how aggrement, kontrak-kontrak pembelian mesin-

mesin, trade fair dan berbagai lokakarya (Lubis, 1987: 5 dan 9). Sebagai salah satu

negara berkembang yang banyak membutuhkan dana bagi pembiayaan pembangunan,

maka Indonesia seringkali "dicurigai" melakukan eksploitasi sumber alamnya secara

besar-besaran, karena dukungan kemajuan teknologi dan besarnya tingkat kebutuhan

Industri-industri yang berkembang pesat secara kuantitif dan berskala besar.

Berdasarkan hasil studi empiris yang pernah dilakukan oleh Magrath dan Arens

pada tahun 1987 (Prasetiantono, di dalam Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 95),

diperkirakan bahwa akibat erosi tanah yang terjadi di Jawa nilai kerugian yang

ditimbulkannya telah mencapai 0,5 % dari GDP, dan lebih besar lagi jika diperhitungkan

kerusakan lingkungan di Kalimantan akibat kebakaran hutan, polusi di Jawa, dan

terkurasnya kandungan sumber daya tanah di Jawa.

Masalah prioritas model teknologi (iptek) apakah kompetitif (competitive) atau

komparalif (comparative), teknokrat yang diwakili Widjojo Nitisastro cs dan Sumilro

Djojohadikusumo, mengurutnya atas dasar teknik Delphi. Sedangkan B. J. habibie

(Dewan Riset Nasional) merangkainya dengan konsep matriks (Anwar, Ibrahim M.,

1987).

Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh

teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan

sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota

yang sedang berkembang seperti Gresik, Suarbaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe,

Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami

peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan

walaupun di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.

Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.),

1996:104), mencatat keadaaan lingkungan di beberapa kota di Indonesia, yaitu:

Terjadinya penurunan kualitas air permukaan di sekitar daerah-daerah industri.

40

Konsentrasi bahan pencemar yang berbahaya bagi kesehatan penduduk seperti merkuri,

kadmium, timah hitam, pestisida, pcb, meningkat tajam dalam kandungan air permukaan

dan biota airnya.

Kelangkaan air tawar semakin terasa, khususnya di musim kemarau, sedangkan di

musim penghujan cenderung terjadi banjir yang melanda banyak daerah yang berakibat

merugikan akibat kondisi ekosistemnya yang telah rusak.

Temperatur udara maksimal dan minimal sering berubah-ubah, bahkan temperatur

tertinggi di beberapa kola seperti Jakarta sudah mencapai 37 derajat celcius.

Terjadi peningkatan konsentrasi pencemaran udara seperti CO, NO2r S02, dan debu.

Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin menipis, seperti

minyak bumi dan batubara yang diperkirakan akan habis pada tahun 2020. Luas hutan

Indonsia semakin sempit akibat tidak terkendalinya perambahan yang disengaja atau oleh

bencana kebakaran. Kondisi hara tanah semakin tidak subur, dan lahan pertanian semakin

memyempit dan mengalami pencemaran.

2. Klasifikasi Pencemaran Lingkungan

Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam

UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,

dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan

oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke

tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi

berfungsi sesuai peruntukannya.

Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga unsur dalam pencemaran, yaitu:

sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah

berubahnya konsentrasi suatu bahan (hidup/mati) pada lingkungan, dan merosotnya

fungsi lingkungan dalam menunjang kehidupan.

Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut pola

pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996:

102), mengelompokkan pecemaran alas dasar: a).bahan pencemar yang menghasilkan

bentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik, dan budaya, b). pengelompokan menurut

medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran udara, air, tanah, makanan, dan

sosial, c). pengelompokan menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam bentuk

primer dan sekunder.

Namun apapun klasifikasi dari pencemaran lingkungan, pada dasarnya terletak

pada esensi kegiatan manusia yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang merugikan

41

masyarakat banyak dan lingkungan hidupnya.

3. Menyikapi Pencemaran Lingkungan

Konperensi PBB tentang lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972, telah

menetapkan tanggal 5 Juni setiap tahunnya untuk diperingati sebagai Hari lingkungan

Hidup Sedunia. Kesepakatan ini berlangsung didorong oleh kerisauan akibat tingkat

kerusakan lingkungan yang sudah sangat memprihatinkan.

Di Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah dilakukan sejak tahun

1960-an. Tonggak pertama sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup dipancangkan

melalui seminar tentang Pengelolaan lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang

diselenggarakan di Universitas Padjajaran pada tanggal 15 - 18 Mei 1972. Hasil yang

dapat diperoleh dari pertemuan itu yaitu terkonsepnya pengertian umum permasalahan

lingkungan hidup di Indonesia. Dalam hal ini, perhatian terhadap perubahan

iklim,kejadian geologi yang bersifat mengancam kepunahan mahluk hidup dapat

digunakan sebagai petunjuk munculnya permasalahan lingkungan hidup.

Pada saat itu, pencemaran oleh industri dan limbah rumah tangga belumlah

dipremasalahkan secara khusus kecuali di kota-kota besar.Saat ini, masalah lingkungan

hidup tidak hanya berhubungan dengan gejala-gejala perubahan alam yang sifatnya

evolusioner, tetapi juga menyangkut pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah industri

dan keluarga yang menghasilkan berbagai rupa barang dan jasa sebagai pendorong

kemajuan pembangunan diberbagai bidang.

Pada Pelita V, berbagai upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup

dilakukan dengan memperkuat sanksi dan memperluas jangkauan peraturan-peraturan

tentang pencemaran lingkungan hidup, dengan lahirnya Keppres 77/1994 tentang

Organisasi Bapedal sebagai acuan bagi pembentukan Bapeda/Wilayah di tingkat

Propinsi, yang juga bermanfaat bagi arah pembentukan Bapeda/Daerah. Peraturan ini

dikeluarkan untuk memperkuat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dianggap perlu untuk diperbaharui (Kusumaatmaja,

dalam Sudjana dan Burhan (ed,), 1996: 8).

Berdasarkan Strategi Penanganan Limbah tahun 1993/1994, yang ditetapkan oleh

pemerintah, maka proses pengolahan akhir buangan sudah harus dimulai pada tahap

pemilihan bahan baku, proses produksi, hingga pengolahan akhir limbah buangan

(Lampiran Pidato Presiden RI, 1994 : II/27). Langkah yang ditempuh untuk mendukung

kebijaksanaan ini, ditempuh dengan pembangunan Pusat Pengelolaan Limbah Industri

Bahan Berbahaya dan Beracun (PPLI-B3), di Cileungsi Jawa Barat, yang pertama di

42

Indonesia. Pendirian unit pengolahan limbah ini juga diperkuat oleh Peraturan

Pemerintah Nomor 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

Disamping itu, untuk mengembangkan tanggung jawab bersama dalam

menanggulangi masalah pencemaran sungai terutama dalam upaya peningkatan kualitas

air, dilaksanakan Program Kali Bersih (PROKASIH), yang memprioritaskan penanganan

lingkungan pada 33 sungai di 13 Propinsi. Upaya pengendalian pencemaran lingkungan

hidup ini, ternyata juga menghasilkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha baru di

berbagai kota dan sektor pembangunan.

Dari uraian tersebut diatas jelaslah bagi kita bahwa dalam menyikapi terjadinya

pencemaran lingkungan baik akibat teknologi, perubahan lingkungan, industri dan upaya-

upaya yang dilakukan dalam pembanguan ekonomi, diperlukan itikad yang luhur dalam

tindakan dan prilaku setiap orang yang peduli akan kelestarian lingkungan hidupnya.

walaupun telah ditetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, pp No. 19 tahun 1994 dan

Keppres No.7 tahun 1994 yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan, jika tidak

ada kesamaan persepsi dan kesadaran dalam pengelolaan lingkungan hidup mak berbagai

upaya pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan

masyarakat tidak akan dapat dinikmati secara tenang dan aman, karena kekhawatiran

akan bencana dari dampak negatif pencemaran lingkungan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dari tulisan diatas, sebagai berikut :

1. Pembangunan yang mengandalkan teknologi dan industri dalam mempertahankan

tingkat pertumbuhan ekonomi seringkali membawa dampak negatif bagi

lingkungan hidup manusia.

2. Pencemaran lingkungan akan menyebabkan menurunnya mutu lingkungan hidup,

sehingga akan mengancam kelangsungan mahluk hidup, terutama ketenangan dan

ketentraman hidup manusia.

3. Adanya pengertian dan persepsi yang sama dalam memahami pentingnya

lingkungan hidup bagi kelangsungan hidup manusia akan dapat mengendalikan

tindakan dan prilaku manusia untuk lebih mementingkan lingkungan hidup.

4. Kemauan untuk saling menjaga kelestarian dan kesimbangan lingkungan hidup

merupakan itikad yang luhur dari dalam diri manusia dalam memandang hakekat

dirinya sebagai warga dunia.

Saran.

43

1. Sebaiknya dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang

dilakukan oleh dunia industri tidak hanya bertujuan meningkatkan keuntungan

ekonomi semata, harus pula diiringi dengan kemauan untuk menyisihkan biaya

bagi penelitian dan pemeliharaan lingkungan hidup.

2. Perlu dilibatkan masyarakat dalam pengawasan pengolahan limbah buangan

industri agar lebih intens dalam menjaga mutu lingkungan hidup. Ikhtiar ini

merupakan salah satu bentuk partisipasi dan pengawasan bial untuk memelihara

kelestarian lingkungan hidup.

44

LAMPIRAN 2

Sumber Bacaan: Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan.

Jakarta: Rineka Cipta

Fatamorghana

Pengertian, Fungsi dan Jenis Lingkungan   Pendidikan

Posted on July 16, 2008 by Hartoto

Manusia selama hidupnya selalu akan mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah, dan

masyarakat luas. Ketiga lingkungan itu sering disebut sebagai tripusat pendidikan. Bab ini

akan membahas tentang pengertian dan fungsi lingkungan pendidikan, tripusat pendidikan

dan pengaruh timbal balik antara tripusat pendidikan dan perkembangan peserta didik.

A.    PENGERTIAN DAN FUNGSI LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Menurut Sartain (ahli psikologi Amerika), yang dimaksud lingkungan meliputi

kondisi dan alam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah

laku kita, pertumbuhan, perkembangan atau life processes.

Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik,

namun merupakan faktor yang sangat menentukan yaitu pengaruhnya yang sangat

besar terhadap anak didik, sebab bagaimanapun anak tinggal adlam satu lingkungan

yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi anak. Pada dasarny lingkungan

mencakuplingkungan fidik, lingkungan budaya, dan lingkungan sosial.

Lingkungan sekitar yang dengan sengaja digunakan sebagai alat dalam proses

pendidikan(pakaian, keadaan rumah, alat permainan, buku-buku, alat peraga, dll)

dinamakan lingkungan pendidikan.

Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam

interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya berbagai sumber daya

pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.

B.    TRIPUSAT PENDIDIKAN

Dilihat dari segi anak didik, tampak bahwa anak didik secara tetap hidup di dalam

lingkungan masyarakat tertentu tempat ia mengalami pendidikan. Menurut Ki Hajar

45

Dewantara lingkungan tersebut meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah an

lingkungan masyarakat, yang disebut tripusat pendidikan.

1.     Keluarga

Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama

dan utama dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati

orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik

anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik.

Pendidikan keluarga berfungsi:

Ø      Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak

Ø      Menjamin kehidupan emosional anak

Ø      Menanamkan dasar pendidikan moral

Ø      Memberikan dasar pendidikan sosial.

Ø      Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak.

2.     Sekolah

Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga,

terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh

karena itu dikirimkan anak ke sekolah.

Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan

kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap

pendidikan, diantaranya sebagai berikut;

Ø      Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang

baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.

Ø      Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam

masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.

Ø      Sekolah melaqtih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan

seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain

sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.

Ø      Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika,

membenarkan benar atau salah, dan sebagainya.

46

3.     Masyarakat

Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan lingkungan

keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai

ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan

berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh

pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.

Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak

sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan,

pembentukan pengertia-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun

pembentukan kesusilaan dan keagamaan.

C.    PENGARUH TIMBAL BALIK ANTARA TRIPUSAT PENDIDIKAN

TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK.

Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang memberikan kontribusi yang besar dalam

ketiga kegiatan pendidikan, yakni:

1.     pembimbingan dalam upaya pemantapan pribadi yang berbudaya

2.     pengajaran dalam upaya penguasaan pengetahuan

3.     pelatihan dalam upaya pemahiran keterampilan.

47

LAMPIRAN 3

MEMBUDAYAKAN SADAR LINGKUNGAN

Oleh : Indra Bachtiar

31-Okt-2008, 22:31:16 WIB - [www.kabarindonesia.com]

LOMBA TULIS YPHL :   MEMBUDAYAKAN SADAR LINGKUNGAN

Telah dikemukakan parahnya kerusakan sumberdaya alami yang sudah pada tingkat kritis,

baik di Jawa maupun di kawasan luar Jawa dan merupakan ancaman yang membahakan

kehidupan ataupun kelangsungan hidup manusia.

  Masalah sepenting itu, yang menyangkut jantung atau inti kehidupan masyarakat seluruhnya

sepanjang masa, dalam tulisan ini akan lebih banyak disoroti dari segi manusiawi,

kemiskinan, martabat manusia dan akhlak atau moral dalam kaitannya dengan ajaran

Kristiani dan Islam. Tidaklah ayal bahwa masalah kekayaan alam dan lingkungan hidup

mendapat tempat yang khas pula dalam ajaran agama-agama lainnya.  

Kerusakan lingkungan hidup dan kemiskinan.

  Sumber daya alami : tanah, air dan udara adalah tiang-tiang induk kehidupan manusia

maupun makhluk hidup lainnya yang membentuk sistem ekologi dalam lingkungan hidup

masing-masing menurut keadaan setempat atau daerah yang bersangkutan. Kerusakan

sumberdaya alami berarti pula kerusakan lingkungan hidup dan sistem ekologinya yang

mengakibatkan kelangkaan-kelangkaan dan pencemaran-pencamaran dengan bentuk maupun

sifatnya yang beraneka ragam.

  Daya dukung lingkungan hidup bagi kehidupan dan kemajuan hidup masyarakat yang

bersangkutan sangat tergantung dari daya dukung sumber-sumber alami dan kebijaksanaan

masyarakat itu sendiri dalam mengelola lingkungan hidupnya.

  Manusia dengan akal budinya, pengetahuan yang dimiliki dan keterampilan dalam usaha-

usahanya memelihara kelestarian daya dukung lingkungan hidupnya dengan menjalankan

penjagaan, pemugaran ataupun pengawetan. Bahkan dengan pengelolaan yang bijaksana,

48

manusia dapat meningkatkan daya dukung lingkungan hidupnya. Namun daya dukung

lingkungan hidupnya dengan sumber-sumber alamnya maupun sistem ekologinya

mempunyai keterbatasan yang tidak dapat dilanggar begitu saja, tanpa mendatangkan

kerugian-kerugian bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Pertambahan penduduk,

peningkatan serta perluasan kegiatan masyarakat dalam usahanya mencukupi tuntutan hidup

dan tambah intensifnya pendayagunaan ataupun pengolahan sumberdaya alami memberikan

tekanan-tekanan pada daya dukung lingkungan hidup. Terjadi penurunan daya dukung

lingkungan hidup yang membawakan kelangkaan-kelangkaan baru ataupun penciutan

kesempatan kerja yang bermuara pada kemiskinan.

  Kemiskinan berpangkal pada susutnya daya dukung lingkungan hidup. Sebaliknya,

kemiskinan juga menyebabkan merosotnya daya dukung dan pencemaran lingkungan hidup.

Kemerosotan daya dukung lingkungan hidup dan kemiskinan merupakan dua masalah yang

bergandengan dan saling mempengaruhi ke arah keadaan yang lebih parah dengan segala

seginya.

  Dalam masalah penyusutan daya dukung lingkungan hidup, yang pertama=pertama

menanggung akibatnya adalah bagian masyarakat yang yang sudah hidup dalam keadaan

miskin. Didalam lingkungan hidup yang daya dukung sumber-sumber alamnya sudah dalam

keadaan yang makin menyusut, kehidupan masyarakat yang sudah pada tingkat miskin akan

melaju bertambah miskin. Terjadi perluasan kemiskinan pada bagian besar penduduk,

sedangkan dikutub lain terjadi pemusatan kekayaan serta kemakmuran pada segolongan kecil

masyarakat.    

  Pola kehidupan masyarakat mempertontonkan perbedaan tingkat hidup sosial dan ekonomi

yang menyolok. Berlangsung penguasaan golongan kecil masyarakat atas kehidupan bagian

besar rakyat, baik sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kesempatan maupun kemampuan

untuk meraih kemajuan hidup terpusat pada golongan kecil masyarakat. Bagian besar

masyarakat menjadi tambah terkebelakang dan terkucil dari semua segi kehidupan nasional.

Kemiskinan adalah suatu bentuk kenistaan dan merendahkan martabat manusia.  

Kemiskinan adalah tantangan pembangunan.

  Kemiskinan masih merajai kehidupan bagian terbesar rakyat Indonesia. Kemiskinan yang

membelenggu bagian besar masyarakat sebagai lingkaran setan yang ganas merupakan

masalah besar dan tantangan pembangunan Indonesia.           

  Kemiskinan dengan segala seginya meliputi masalah yang luas. Tidak saja dalam arti

49

lahiriah, seperti kurang makan ataupun tidak memiliki kekayaan dan taraf kehidupan

kebendaan rendah. Akan tetapi meliputi keterbelakangan sosial disegi pendidikan akan

pengetahuan, miskin keterampilan olah-pikir maupun keterampilan badaniah. Kemiskinan

merupakan sumber segala hambatan bagi manusia untuk mencapai jenjang kehidupan yang

lebih maju serta lebih sejahtera, baik lahiriah, sosial, budaya dan spiritual.

  Kemiskinan adalah suatu taraf kehidupan yang merendahkan mertabat manusia,

menyebabkan pengasingan diri serta membudayakan rasa rendah diri dan menjadi manusia

bersikap acuh tak acuh atau apatis. Selanjutnya merupakan penghambat kemajuan bangsa

serta menyebabkan keterbatasan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bangsa maupun

pembangunan nasional. Adanya kemiskinan menunjukkan pola serta susunan masyarakat

yang kurang sekali memperhatikan ataupun menghargai keadilan sosial. Selama masih ada

kemiskinan, selama itu pula belum ada keadilan sosial. Kebersamaan serta setiakawan sosial

tidak pula ada. Kemiskinan bukan saja masalah sosial dan ekonomi, melainkan masalah

manusiawi dan politik. Kemiskinan sebagai pencemaran bangsa dan sebagai matarantai

dalam ketahanan nasional adalah masalah politik, selain sebagai tuntutan akan pelaksanaan

atau pengalaman Pancasila yang melandasi segala segi kehidupan bangsa Indonesia. Masalah

kemiskinan bukan saja masalah masyarakat kini, akan tetapi menyangkut pula hari depan

masyarakat keturunannya. Masalah kemiskinan yang terus berlarut-larut tanpa diusahakan

pemecahannya sampai pada akar-akarnya akan menutup cakrawala bagian besar masyarakat

dengan awan yang gelap.

Masalahnya kurang dihayati.

  Masalah kemiskinan yang masih menghantui kehidupan bangsa Indonesia kurang sekali

dirasakan serta dihayati oleh masyarakat sendiri sebagai masalah manusiawi ataupun sebagai

masalah keadilan sosial dan masalah politik. Terutama oleh golongan masyarakat yang sudah

hidup enak dan memiliki kelebihan-kelebihan atas rata-rata taraf kehidupan sosial dan

ekonomi masyarakat. Kurang sekali dihayati betapa kejamnya kemiskinan yang merendahkan

martabat manusia, baik dikota dan terutama di pedesaan. Ledakan-ledakan kurang pangan,

letusan-letusan berbagai penyakit, keterbelakangan pelayanan pendidikan sekolah maupun

keterampilan serta kesehatan, taraf kehidupan sosial yang rendah, keterbatasan jaringan

pengangkutan, ataupun perhubungan dan fasilitas kredit serta pemasaran adalah ciri-ciri

kehidupan dipedesaan. Masalah yang meliputi 80% penduduk Indonesia itu benar-benar

memprihatinkan. Lebih prihatin lagi bahwa golongan masyarakat yang berada, memiliki

50

kelebihan-kelebihan dan memegang kunci perkembangan masyarakat kurang sekali

perhatiannya tarhadap masalah kemiskinan yang menjalin kehidupan bangsa, malah bersikap

tidak acuh. Kenyataan yang pahit itu menyangkut akhlak dan pola berpikir. Akhlak dengan

pola berpikir serta tingkah laku yang menjurus pada pencapaian kepentingan sendiri

menonjol sekali dalam kehidupan serta perkembangan masyarakat nasional. Pola

kebijaksanaan pembangunan nasional kurang jelas menunjukkan keseimbangan antara

pencapaian kemajuan ekonomi dan memerangi kemiskinan. Tiada prioritas serta pernyataan

poltik untuk sungguh-sungguh “perang” melawan kemiskinan. Tidak dirasakan adanya siasat

serta tindakan pengerahan segala pemikiran serta peralatan dan kekuatan taktis untuk

mencapai kemenangan “perang” atas kemiskinan. Pencapaian kemajuan ekonomi dengan

pertumbuhan yang mantap belum berarti menang “perang” melawan kemiskinan.

Kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi tanpa siasat “perang” melawan kemiskinan secara

menyeluruh mungkin sekali malah melebarkan jurang pemisah antara golongan berpunya

dengan golongan besar masyarakat yang miskin.  

Besumber pada ulah tingkah manusia.

  Adanya kemiskinan tidak dapat dipersalahkan kepada pihak lain, melainkan bersumber pada

ulah dan tingkah laku manusia sendiri. Untuk mengejar kemajuan ekonomi serta kenikmatan

hidup materil, kegiatan dan pemikiran manusia dicurahkan secara intensif untuk

mendayagunakan kekayaan alam dengan penterapan ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan

baru dan tehnologi, tanpa dijalankan usaha-usaha pengawetan ataupun pemeliharaan

kelestarian daya dukung  sumber-sumber alami. Manusia tidak cermat dan bijaksana dalam

mendayagunakan serta mengelola kekayaan alam yang menghidupi dirinya. Bahkan manusia

dengan keangkuhannyalah yang hendak menguasai serta menundukkan hukum-hukum alam,

malah menjadi perusak sumberdaya alami serta lingkungan hidupnya. Manusia dengan

angkuhnya ingkar akan kekuasaan Allah yang menciptakan dirinya dan melimpahkan

kemurahan-Nya serta karunia-Nya berupa alam raya seisinya kepadanya untuk dinikmati

kegunaannya serta dikelola sebaik-baiknya sebagai tanggung jawabnya maupun sebagai

penghayatan imannya kepada Allah. Masalah itu terjalin sacara khusus dalam ajaran tiap

agama sebagai sendi akhlak ataupun moral manusia dalam hubungannya dengan

pendayagunaan semua sumberdaya alami.

  Betapa juga kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dicapai manusia, namun

hidupnya maupun kelangsungan hidupnya tetap tergantung dari alam raya dengan segala

51

isinya. Manusia tidak dapat ingkar akan hukum alam yang diciptakan Tuhan, tanpa

membinasakan dirinya sendiri.  

Membudayakan akhlak lingkungan hidup.

  Untuk menghindari sumberdaya alami dan lingkungn hidup dari bencana kerusakan, kiranya

perlu dijalankan usaha-usaha ke arah mengalihkan cara berpikir manusia dalam

memperlakukan sumber daya alami bagi kelestarian serta kebahagiaan hidupnya sendiri.

Dalam hal ini, pendidikan, penerangan serta penyuluhan mempunyai peranan penting.

  Pendidikan harus berarti pendidikan pada diri sendiri, selain menanamkan pengertian serta

menumbuhkan kesadaran pada orang lain. Masalah pengelola kelestarian daya dukung

sumber daya alami maupun lingkungan hidup menyangkut kepentingan semua lapisan

masyarakat. Dalam hubungan itu, pendidikan dan penyuluhan mengenai lingkungan hidup

perlu dikerjakan secara luas, merata, serta intensif dan meliputi semua golongan masyarakat.

Janganlah seperti biasanya hanya ditujukan pada rakyat kebanyakan yang sebenarnya sedikit

kesalahannya dalam pengerusakan sumber daya alami maupun lingkungan hidup. Dengan

pendekatan-pendekatan yang bijaksana, pendidikan serta penyuluhan lingkungan hidup

ditujukan antara lain:

1. Memberikan pengertian akan lingkup sumber-sumber alami dalam hubungannya

dengan kehidupan manusia

2. Memberikan pengertian akan kaitan-kaitannya antar sumber-sumber alami secara

ekologi,

3. Memberikan penyuluhan akan bahaya-bahaya kerusakan sumber-sumber alami

maupun lungkungan hidup,

4. Menumbuhkan sadar lingkungan,

5. Membudayakan sadar lingkungan hidup di kalangan masyarakat luas,

6. Menumbuhkan serta mengembangkan kelompok-kelompok pencinta lingkungan

alam untuk meluaskan sadar lingkungan di kalangan masyarakat ramai.

  Pendidikan lingkungan hidup lewat sekolah mulai Taman Kanak-kanak sampai

Perguruan Tinggi tidak akan banyak artinya, jika pandangan, sikap hidup, tingkah

laku dan akhlak atau moral masyarakat tidak berubah. Karenanya perlu diimbangi

dengan pendidikan maupun penyuluhan lewat semua saluran atau perangkat media

di luar sekolah, baik yang formil resmi maupun saluran-saluran ataupun perangkat

media yang dikelola oleh masyarakat sendiri, mulai dari keluarga sebagai satuan

52

perangkat terkecil.

  Pendidikan maupun penyuluhan mengenai lingkungan hidup adalah cara untuk

menanamkan pengertian akan alam raya dengan hukum-hukumnya, masalah

lingkungan hidup dengan sistim ekologinya, sebab-sebab pencemaran ataupun

kerusakan sumberdaya alami serta lingkungan hidup dalam hubungannya dengan

kehidupan manusia berdasarkan ilmu pengetahuan. Namun pengertian apa saja tidak

akan cukup untuk menanamkan sadar lingkungan sehingga membudaya dalam

kehidupan masyarakat. Masalah itu menyangkut akhlak atau moral dan sadar diri

sebagai manusia akan tempatnya dalam alam raya dan hubungannya dengan sesama

manusia dalam hidup bermasyarakat, dengan kehidupan lainnya dalam alam dan

dalam hubungannya dengan Allah, pencipta alam semesta dengan segala isinya,

termasuk manusia.

  Sebenarnya UUD-1945, pasal 33 ayat 3 sudah merupakan sendi moral dalam

mendayagunakan kekayaan alam. Selanjutnya soal moral itu ditegaskan lagi dalam

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, pasal 1, ayat 2 dan 3, yang

menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa sebagai kekayaan alam Indonesia

adalah karunia Allah dengan hubungan antara bangsa Indonesia dengan kekayaan

alam yang bersifat abadi.

  Sayang sekali bahwa sendi moral itu selama ini terlepas dari perhatian, dan tidak

dijabarkan sebagai landasan pembangunan yang pada umumnya dilaksanakan

dengan pendayagunaan tanah dan air atau dalam sistem ekologi alami. Akibatnya

memukul kembali dengan tambah meluasnya tanah kritis, banjir secara rutin,

rusaknya tata-air dan pencemaran lingkungan yang harus ditebus dengan biaya

sosial yang mahal sekali.

  Manusia pada dirinya adalah obyek, subyek dan pribadi yang perlu akan hubungan

secara mendatar denga sesama manusia atau masyarakat di satu pihak dan dengan

satuan-satuan kehidupan alamiah di lain pihak. Secara tegak adalah hubungan

dengan yang menciptakn dirinya serta alam semesta. Hubungan segi tiga itu tidak

terpisahkan dari penemuan diri dan sadar diri akan tempatnya dalam alam semesta

yang ia menjadi bagian mutlak dan hidup didalamnya. Sadar diri akan tempatnya

dalam alam semesta adalah moral dengan kehadirannya, baik dalam hubungan

dengan sesama ciptaan Allah maupun dengan Allah Maha Pencipta.

  Sebagai obyek serta subyek dalam lingkup pancasila dengan kepercayaan kepada

Tuhan sebagai sila pertama, peranan manusia dalam hubungan timbal balik manusia

53

dengan alam tidak saja didasarkan secara hubungan manusiawi, melainkan

bertambah dengan unsur yang bersifat Ilahi berdasarkan iman kepada Allah. Dengan

sistem hubungan segi tiga itu, sadar lingkungan hidup tidak saja didasarkan pada

pengertian secara ilmu pengetahuan, melainkan berlandaskan penemuan diri dan

nilai moral yang bersumber pada penghayatan iman kepada Allah sebagai

kekuasaan, Pencipta dan Pengatur tunggal. Dengan demikian tumbuh dan

berkembang etika lingkungan hidup. Kunci etika lingkungan hidup adalah

pengakuan terhadap kekuasaan, kebesaran, kemurahan maupun rahmat Allah dan

tanggapan serta tanggung jawab atas kemurahan dan rahmat yang dilimpahkan

Allah.

  Tiap agama memandang penting akan masalah alam seisinya, baik yang hayati

maupun yang berupa benda mati dalam hubungannya dengan lingkungan hidup.

Dengan penciptaan alam seisinya ditunjukkan kekuasaan , kebesaran serta

kemurahan Allah dan tanggapan serta tanggung jawab atas kemurahan dan rahmat

yang dilimpahkan Allah.

  Dalam ajaran Kristiani, kekuasaan Tuhan menciptakan alam seisinya secara

beruntun dinyatakan dengan firman Tuhan dalam Kitab Perjanjian Lama, Surat

Kejadian pasal 1, ayat 1-30. “Maka Allah melihat segala yang diciptakan-Nya itu

sungguh amat baik”. (Surat Kejadian, pasal 1, ayat 31). “Demikianlah diselesaikan

langit dan bumi dan segala isinya”. (Surat Kejaian pasal 2, ayat 1). 

  Dalam rangkaian penciptaan alam seisinya, didalamnya sudah terkandung masalah

ekologi dan pelimpahan amanat Tuhan kepada manusia mengelola segala isinya

untuk mencukupi keperluan hidupnya. Surat Kejadian, pasal 1 itu dapatlah

dipandang sebagai landasan etika lingkungan hidup, mengatur hubungan timbal

balik antara manusia dengan unsur-unsur alam dan hubungan manusia dengan

Tuhan yang menciptakan dirinya dengan menerima pelimpahan wewenang atas

segala isinya alam tanpa merusak ciptaan Tuhan yang “sungguh amat baik”.

Peringatan Tuhan dalam Surat Kejadian, pasal 6 akan tingkah laku manusia yang

merusak tatanan Tuhan adalah penting dalam hubungannya dengan iman Nabi Nuh

as. terhadap Tuhan denagn menyelamatkan segala makhluk hidup ciptaan Tuhan

secara ekologi (Surat Kejadian, pasal 7). Penylamatan makhluk berpasangan jantan-

betina, 7 pasang yang tidak haram dan 1 pasang yang haram merupakan petunjuk

pelestarian keseimbangan system ekologi. Beberapa pasal surat Kejadian itu

menunjukkan perhatian ajaran Kristiani akan etika lingkungan hidup.

54

  Sejajar dengan ajaran Kristiani mengenai etika lingkunga hidup, Islam

menunjukkan pula perhatiannya. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat

digolongkan sebagai “ayat ekologi”. Dalam penciptaan alam semesta, Allah telah

menunjukkan kebesaran-Nya serta kemurahan-Nya yang dilimpahkan kepada

manusia dengan mengadakan peraturan kerjanya masing-masing ciptaan sebagai

dasar pengertian system ekologi dan landasan etika lingkungan hidup, seperti firman

Allah dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 164: “Sesungguhnya tentang ciptaan

langit dan bumi, pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di lautan yang

membawa manfaat kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Allah dari langit,

lalu dihidupkan-Nya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati (kering) dan

berkeliaranlah berbagai bangsa binatang, dan perkisaran angin dan awan,

sesungguhnya semua itu menjadi bukti kebenaran untuk orang yang  mengerti”.

  Untuk menjaga keeimbangan ekologi, firman Allah mengatakan; “dan segala

sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya dapat kalian pikirkan”. (Surah

Adz-Dzariyat, ayat 49).

  “Tidaklah mereka perhatikan umbi ini berapa banyaknya kami tumbuhkan segala

macam jenis yang indah padanya?” (Suray Asy-Syura, ayat 7). “Sesungguhnya

dalam hal itu banyak keterangan ; tetapi kebanyakan mereka tidak percaya” (Surah

Asy-Syura, ayat 8).

  Manusia sebagai sesama makhluk hidup ciptaan Allah dimuliakan kedudukannya

dengan sabda-Nya: “sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami

angkat mereka di daratan dan lautan, Kami berikan mereka rezeki yang baik-baik

dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan, dengan

kelebihan yang sempurna” (Surat Al-Isra, ayat 70). “Sesungguhnya telah Kami

teguhkan kekuasaan kalian di bumi ini dan Kami jadikan di sana lapangan

penghidupan kalian, tetapi sedikit sekali kalian berterima kasih”  (Surah Al-A’raf,

ayat 10).

  Dua firman Allah itu yang memberikan kedudukan istimewa pada manusia sudah

memberikan tekanan pada wajib bagi umat Islam untuk aktif dalam pengelolaan

serta pengembangan lingkungan hidup berdasarkan etika lingkungan. Namun Allah

perlu juga memberikan peringatan dengan sabda-Nya : “Telah kelihatan kerusakan

di darat dan di laut disebabkan usaha tangan manusia” (Surah Ar-Rum, ayat

41).***  

55

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

Alamat ratron (surat elektronik): [email protected]  Berita besar hari

ini...!!! Kunjungi segera:

http://kabarindonesia.com/  

56

LAMPIRAN 4

Pendidikan Lingkungan: Untuk Sebuah Keberlanjutan

Hidup Bersama    

June 29th, 2007 | Oleh Ninil RM

Sebagai manusia kita mencari perubahan yang baik bagi diri kita sendiri, anak-anak dan

cucu-cucu kita; kita harus melakukannya dengan cara yang bertanggung jawab pada hak

semua orang untuk melakukan hal yang sama. Untuk melakukannya ini kita harus terus-

menerus belajar– tentang diri kita sendiri, kekuatan kita, keterbatasan kita, hubungan-

hubungan kita, masyarakat kita, lingkungan kita, dunia kita. Pendidikan untuk pembangunan

berkelanjutan adalah suatu ikhtiar yang luas, berlangsung seumur hidup, dan menantang

individu, lembaga dan masyarakat untuk memandang hari esok sebagai hari milik kita semua,

atau ini tidak akan menjadi milik siapapun.

Konferensi PBB pada Lingkungan dan Pembangunan pada tahun 1992, yakni Konferensi

Bumi (The Earth Summit) memberikan prioritas tinggi dalam Agenda 21-nya kepada peranan

pendidikan dalam mencapai jenis pembangunan yang akan menghormati dan menjaga

lingkungan alam. Pertemuan ini berfokus pada proses orientasi dan re-orientasi pendidikan

dalam rangka membantu perkembangan nilai-nilai dan tingkah laku yang bertanggung jawab

bagi lingkungan, juga untuk menggambarkan jalan dan cara melakukannya. Pada Pertemuan

Tingkat Tinggi Johannesburg pada tahun 2002 visi ini telah diperluas pada upaya meraih

keadilan sosial dan memerangi kemiskinan sebagai prinsip-prinsip kunci dari pembangunan

yang berkelanjutan: “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengesampingkan

kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”.

Selaras dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

Human Rights) dan Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Education on

Education for All), Forum Pendidikan Dunia (World Education Forum) telah mengakui

bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar dan ini adalah kunci bagi

pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan stabilitas, pertumbuhan sosial ekonomi, dan

pembangunan bangsa. Pada pertemuan ke-57 bulan Desember 2002, Sidang Umum PBB

menyatakan Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan untuk periode 2005-

57

2014, “dengan menekankan bahwa pendidikan adalah unsur yang sangat diperlukan untuk

mencapai pembangunan berkelanjutan”.

Area-area Kunci Pembangunan Berkelanjutan

Sebelum menguraikan peran khusus pendidikan berkenaan dengan pembangunan

berkelanjutan, penting untuk memahami apa area-area kunci konsep ini, sebagaimana

digambarkan oleh wacana internasional. Terdapat tiga area yang saling terkait dan paling

sering dikenali dalam pembangunan berkelanjutan. Yaitu: masyarakat, lingkungan, dan

ekonomi, dimana aspek-aspek politis dimasukkan dalam pembahasan masyarakat. Tiga unsur

ini, ditegaskan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg sebagai tiga pilar

pembangunan berkelanjutan, memberi bentuk dan isi pada pembelajaran yang berkelanjutan:

1. Masyarakat: pemahaman akan lembaga-lembaga sosial dan peran mereka dalam perubahan

dan pembangunan, begitu juga dengan sistem yang demokratis dan partisipatoris yang

memberi kesempatan pada kebebasan berpendapat, pemilihan pemerintahan, pembuatan

konsensus dan resolusi perbedaan.

2. Lingkungan: kesadaran akan kekayaan dan kerapuhan dari lingkungan fisik dan kerusakan

yang terjadi padanya dari aktivitas dan keputusan umat manusia, dengan komitmen untuk

memasukkan unsur kepedulian lingkungan dalam pengembangan kebijakan sosial dan

ekonomi.

3. Ekonomi: suatu kepekaan atas batas-batas dan kekuatan dari pertumbuhan ekonomi dan

pengaruhnya yang kuat pada masyarakat dan lingkungan, dengan komitmen untuk

membebani tingkat konsumsi perseorangan dan masyarakat dengan perhatian untuk

lingkungan dan untuk keadilan sosial.

Tiga unsur ini memikul sebuah proses perubahan yang terus-menerus dan berjangka panjang

- pembangunan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang dinamis, dengan pengakuan bahwa

umat manusia berada dalam suatu gerakan yang konstan. Pembangunan berkelanjutan

bukanlah tentang mempertahankan status quo, tetapi lebih tentang arah dan maksud

perubahan. Penekanan pada hubungan antara kemiskinan dengan persoalan pembangunan

berkelanjutan merujuk pada perhatian komunitas internasional bahwa mengakhiri

kemelaratan dan ketidakberdayaan menjadi perhatian kita untuk masa depan dunia seperti

halnya melindungi lingkungan. Menyeimbangkan keduanya adalah tantangan pokok

pembangunan berkelanjutan.

58

Dasar dan fondasi untuk keterkaitan tiga area ini dengan pembangunan berkelanjutan terdapat

dalam dimensi Budaya. Kebudayaan – cara hidup, berhubungan, berperilaku, berkeyakinan

dan bertindak yang berbeda-beda sesuai dengan konteks, sejarah dan tradisi, yang

didalamnya umat manusia menjalani kehidupan mereka. Ini adalah pengakuan bahwa

praktek-praktek kebiasaan, identitas dan nilai-nilai – perangkat lunak pengembangan manusia

– memainkan peran besar dalam menyusun dan membangun komitmen bersama. Dalam

kaitan proses dan tujuan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (ESD), penekanan

pada aspek kebudayaan akan menggaris bawahi pentingnya:

1. Menghargai keragaman: ‘permadani berharga’ pengalaman umat manusia dalam banyak

konteks fisik dan sosiokultural dunia;

2. Tumbuh dalam penghargaan dan toleransi atas perbedaan: dimana kontak dengan

keberbedaan adalah memperkaya, menantang dan menggairahkan;

3. Menghargai nilai-nilai dalam suatu debat terbuka dan dengan suatu komitmen untuk

mempertahankan dialog agar tetap berlangsung;

4. Meneladani nilai-nilai penghargaan dan martabat yang mendasari pembangunan

berkelanjutan, dalam kehidupan personal dan kelembagaan;

5. Membangun kapasitas manusia dalam semua aspek pembangunan berkelanjutan;

6. Menggunakan pengetahuan indigenous lokal tentang flora dan fauna dan praktek-praktek

budidaya pertanian yang berkelanjutan, penggunaan air, dan sebagainya;

7. Mempercepat dukungan pada kebiasaan dan tradisi yang membangun keberlanjutan–

termasuk aspek-aspek seperti pencegahan perpindahan besar-besaran orang desa;

8. Menghargai dan bekerja dengan pandangan yang khusus secara budaya atas alam,

masyarakat, dan dunia, alih-alih mengabaikan mereka atau menghancurkan mereka, secara

sengaja ataupun karena kekurang hati-hatian, atas nama pembangunan;

9. Menggunakan pola-pola komunikasi lokal, termasuk penggunaan dan pengembangan

bahasa-bahasa lokal, sebagai penghubung interaksi dan identitas budaya.

Persoalan kebudayaan juga terhubung dengan pembangunan ekonomi melalui pendapatan,

dimana perwujudan budaya bisa menghasilkan, melalui seni, musik, dan tarian, sebaik dari

pariwisata. Di tempat berkembangnya industri kebudayaan seperti itu, harus ada kesadaran

penuh akan bahaya pengkomodifikasian kebudayaan dan merusaknya menjadi sekedar objek

ketertarikan orang luar. Kebudayaan harus dihargai sebagai konteks yang hidup dan dinamis

yang di dalamnya manusia di manapun berada dapat menemukan nilai dan identitas mereka.

59

Tiga area ini – masyarakat, lingkungan, dan ekonomi – saling berhubungan melalui dimensi

kebudayaan, sebuah karakter pembangunan berkelanjutan yang harus kita jaga dalam pikiran.

Tak ada aspek kehidupan yang tak tersentuh oleh pencapaian pembangunan berkelanjutan,

seperti halnya pembangunan yang semakin berkelanjutan dan akan berpengaruh pada setiap

bagian kehidupan. Oleh karena Kompleksitas dan keterkaitan ini, ESD harus menyampaikan

pesan-pesan kehidupan yang tak kentara namun jelas, menyeluruh namun nyata,

multidimensi namun langsung.

Tujuan utamanya adalah mencapai kehidupan bersama yang penuh perdamaian, dengan lebih

sedikit penderitaan, lebih sedikit kemiskinan di sebuah dunia tempat orang dapat

menjalankan hak-hak mereka sebagai umat manusia dan warga negara dengan cara yang

bermartabat. Pada saat yang sama lingkungan alam akan memainkan perannya untuk

melakukan regenerasi dengan menghindari hilangnya keanekaragaman dan penumpukan

limbah di biosfer dan geosfer. Kekayaan dalam keragaman di semua sektor lingkungan

natural, kultural, dan sosial adalah komponen mendasar untuk sebuah ekosistem yang mapan

dan untuk keamanan dan kegembiraan setiap komunitas. Hubungan yang saling berkaitan ini

menggaris bawahi kompleksitas yang menjadi bagian dari lingkungan alam dan sistem

pembelajaran manusia, yang terus-menerus membutuhkan perawatan dengan pendekatan

holistik.

Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan: Mempromosikan Nilai-nilai

Bisakah pendidikan dipertimbangkan sebagai bagian integral dari strategi pembangunan

berkelanjutan, dan jika demikian, mengapa begitu? Pembangunan berkelanjutan pada intinya

berbicara tentang hubungan-hubungan antar orang, dan antara orang dengan lingkungan

mereka. Dengan kata lain, ini sebuah persoalan sosio-kultural dan ekonomi. Elemen manusia

sekarang secara luas diakui sebagai variabel kunci dalam pembangunan berkelanjutan, baik

sebagai penyebab dari pembangunan berkelanjutan dan juga sebagai harapan untuk mencapai

pembangunan berkelanjutan. Hubungan manusia yang berdasarkan pada kepentingan diri

sendiri (ketamakan, kecemburuan atau nafsu untuk berkuasa, misalnya) mempertahankan

distribusi kekayaan yang tidak adil, membangkitkan konflik dan berujung pada kurangnya

perhatian pada ketersediaan sumberdaya alam untuk masa depan. Sebaliknya, hubungan yang

bercirikan keadilan, perdamaian, dan kepentingan bersama yang saling menguntungkan

berujung pada keadilan yang lebih besar, penghargaan dan pemahaman. Kualitas-kualitas

inilah yang akan mendasari strategi-strategi pembangunan berkelanjutan.

60

Nilai-nilai mendasar yang akan dipromosikan oleh pendidikan untuk pembangunan

berkelanjutan setidaknya disebutkan berikut ini:

Penghargaan atas martabat dan hak asasi manusia untuk semua orang di seluruh dunia

dan komitmen pada keadilan sosial dan ekonomi bagi semua;

Penghargaan atas hak asasi manusia dari generasi masa depan dan komitmen pada

pertanggungjawaban antar generasi;

Penghargaan dan kepedulian bagi komunitas kehidupan yang lebih luas dengan semua

keragamannya yang melibatkan perlindungan dan pemulihan pada ekosistem Bumi;

Penghargaan atas keragaman budaya dan komitmen untuk membangun secara lokal

dan global sebuah budaya toleransi, nirkekerasan dan perdamaian.

Pendidikan adalah kesempatan terbaik kita untuk mengenalkan dan mengakarkan nilai dan

perilaku yang dikandung pembangunan berkelanjutan. Seperti telah diketahui banyak orang,

‘dibutuhkan sebuah pendidikan yang transformatif: pendidikan yang membantu menuju

perubahan-perubahan fundamental yang dituntut oleh tantangan dari keberlanjutan.

Mempercepat kemajuan menuju keberlanjutan bergantung pada menghidupkan kembali

hubungan yang penuh kepedulian antara manusia dan dunia alam, untuk kemudian

mempermudah eksplorasi kreatif bentuk-bentuk pembangunan yang lebih bertanggungjawab

secara lingkungan dan sosial.’ Pendidikan memungkinkan kita sebagai individu dan

komunitas untuk memahami diri kita sendiri dan orang lain, dan hubungan kita dengan alam

dan lingkungan sosial yang lebih luas. Pemahaman ini berlaku sebagai dasar yang kokoh bagi

untuk menghormati dunia sekitar kita dan manusia yang menghuninya.

Pencarian atas pembangunan berkelanjutan itu beraneka segi – tidak bisa bergantung pada

pendidikan sendirian. Banyak parameter sosial lain yang mempengaruhi pembangunan

berkelanjutan, seperti tata kepemerintahan, hubungan gender, bentuk-bentuk organisasi

ekonomi dan partisipasi warga negara. Memang, bisa saja kita memilih untuk mengangkat

pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan, karena pembelajaran tidak dibatasi pada

pendidikan saja. Pembelajaran termasuk apa yang terjadi dalam sistem pendidikan, tetapi

memperluasnya kedalam kehidupan sehari-hari-pembelajaran mengambil tempat di rumah,

dalam setting sosial, di lembaga komunitas dan di tempat kerja. Meskipun dinamai sebagai

Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan, ini harus memasukkan dan

mendukung semua bentuk pembelajaran.

61

Adalah kepuasan melihat orang belajarlah yang menjadi motivasi banyak pendidik. Penelitian

telah menunjukkan bahwa sebagian besar pendidik bekerja untuk membantu individu-

individu untuk tumbuh dan berkembang secara intelektual, emosional, spiritual, dan secara

praktis,untuk kemudian tumbuh subur dalam konteks sosio-lingkungan atau sosio-kultural

apapun tempat mereka berada. Banyak pendidik memiliki pandangan bersemangat tentang

mengapa dan bagaimana aspek-aspek pendidikan dapat dan harus memainkan peran vital

dalam proses ini. Pembangunan nilai-nilai positif yang kuat dalam diri pembelajar – tentang

diri mereka sendiri, tentang pembelajaran, dunia di sekeliling mereka dan tempat mereka di

dalamnya– adalah bagian kunci dari apa yang berusaha pendidik tumbuh kembangkan dalam

seorang pembelajar: berkembang sebagai manusia yang utuh, menjadi warga negara yang

aktif dan bertanggung jawab, menemukan kecintaan pada pembelajaran seumur hidup,

menyadari kekuatan dan potensi diri mereka. Pembelajaran personal inilah yang akan paling

memungkinkan untuk mempercepat penanaman nilai-nilai yang mendasari pembangunan

berkelanjutan, karena pembangunan berkelanjutan adalah persoalan mengadopsi suatu visi

secara yakin daripada mencerna sebagian khusus dari ilmu pengetahuan. Pembelajaran dalam

ESD bagaimanapun juga tidak bisa berhenti pada tingkatan personal– ini harus mendorong ke

arah partisipasi aktif dalam mencari dan mengimplementasikan pola-pola baru perubahan dan

pengorganisasian sosial, bekerja untuk menemukan struktur-struktur dan mekanisme-

mekanisme yang akan lebih merefleksikan visi pembangunan berkelanjutan.

Perspektif Lingkungan

Sumber daya alam (air, energi, pertanian, keragaman biologis): Dengan berdasar pada lebih

dari 30 tahun pengalaman pendidikan lingkungan, ESD harus terus melanjutkan pentingnya

membicarakan persoalan-persoalan ini sebagai bagian dari agenda yang lebih luas dalam

pembangunan berkelanjutan. Secara khusus, hubungan dengan pertimbangan kemasyarakatan

dan ekonomi akan memungkinkan para pembelajar untuk mengadopsi perilaku baru dalam

melindungi sumber daya alam dunia yang penting bagi pembangunan manusia dan untuk

bertahan hidup. Kemanusiaan bergantung pada barang dan jasa yang disediakan oleh

ekosistem. Jadi, perlindungan dan perbaikan pada ekosistem bumi adalah sebuah tantangan

penting.

62

Perubahan iklim: Pemanasan global adalah masalah “modern”- rumit, melibatkan seluruh

dunia, berada dalam keruwetan persoalan berbeda seperti kemiskinan, pembangunan

ekonomi, dan pertumbuhan penduduk. ESD harus membawa kesadaran para pembelajar pada

kebutuhan penting untuk persetujuan internasional dan target kuantitatif yang mampu

dipaksakan untuk membatasi kerusakan pada atmosfir dan mencegah perubahan iklim yang

berbahaya. Pada tahun 1992, sebagian besar negara-negara mengikuti Konvensi Kerangka

Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate

Change) untuk mulai mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi

pemanasan global dan dan bagaimana mengatasi seberapapun kenaikan suhu yang akan

terjadi. Pada tahun 1997, pemerintah-pemerintah menyetujui tambahan pada perjanjian ini,

Protokol Kyoto, yang memiliki kekuatan lebih besar, mengikat secara hukum, dan diharapkan

dapat berpengaruh secepatnya. ESD adalah suatu kunci penting untuk membangun suatu

lobby global untuk sebuah tindakan efektif.

Pembangunan pedesaan: Di luar urbanisasi yang berlangsung begitu cepat, tiga milyar atau

60% dari orang-orang di negara-negara berkembang, atau setengah penduduk dunia, masih

tinggal di pedesaan. Tiga perempat dari penduduk miskin dunia, berpenghasilan kurang dari

satu dolar sehari, mayoritas penduduk tersebut adalah wanita, tinggal di pedesaan. Tidak

bersekolah, putus sekolah, orang dewasa yang buta huruf dan ketimpangan gender dalam

pendidikan secara tidak proporsional berlangsung tinggi di pedesaan, sebagaimana halnya

kemiskinan. Perbedaan desa-kota dalam investasi pendidikan dan dalam kualitas pengajaran

dan pembelajaran telah tersebarluas dan perlu untuk dibicarakan kembali. Aktivitas

kependidikan harus dihubungkan dengan kebutuhan khusus dari komunitas pedesaan yakni

keterampilan dan kemampuan untuk memperbesar kesempatan ekonomi, menaikkan

pendapatan dan memperbaiki kualitas hidup. Dibutuhkan pendekatan kependidikan

multisektoral yang melibatkan berbagai usia dan pendidikan formal, non formal, dan informal

yang ada.

Urbanisasi yang berkelanjutan: Pada saat yang sama, kota-kota telah menjadi gerbang

terdepan perubahan sosio-ekonomi global, dengan setengah populasi dunia sekarang tinggal

di daerah-daerah urban dan setengah yang lainnya semakin bergantung pada kota untuk

kemajuan ekonomi, sosial, dan politik mereka. Faktor-faktor seperti globalisasi dan

demokratisasi telah meningkatkan peran penting kota demi tercapainya pembangunan

berkelanjutan. Oleh karena itu, lazim bila kota dianggap tidak hanya berperan mengancam

63

pembangunan berkelanjutan, namun juga menjanjikan peluang bagi kemajuan ekonomi dan

sosial, sekaligus peningkatan kualitas lingkungan di tingkatan lokal, nasional, maupun global.

Pencegahan dan mitigasi bencana: pembangunan berkelanjutan akan terhambat bila

komunitas sekitarnya mengalami atau terancam oleh bencana. Pengalaman dan kerja di masa

lampau telah menunjukkan pengaruh penting dan positif dari pendidikan yang ternyata

mampu membantu mengurangi resiko terjadinya bencana. Anak-anak yang tahu bagaimana

harus bertindak dalam kondisi gempa bumi, pemuka masyarakat yang siap sedia memberikan

peringatan pada warganya saat terjadi kondisi bahaya, dan keseluruhan lapisan masyarakat

yang telah diajari bagaimana menyiapkan diri saat terjadi bencana alam, semuanya

merupakan strategi yang lebih baik dalam meringankan dampak dari bencana yang terjadi.

Pendidikan dan pengetahuan telah membekali masyarakat dengan strategi pengurangan

kerawanan dan kemampuan menolong diri sendiri.

Pendidikan Untuk Keberlanjutan Hidup Bersama

Konsep yang hampir serupa (tapi tidak sama) adalah konsep pendidikan untuk keberlanjutan

(bukan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan), adalah penting untuk menghindari

sejak awal reduksi-reduksi tujuan-tujuan pendidikan untuk keberlanjutan bahkan ESD

sendiri.

Keberlanjutan berkenaan dengan cara pandang atas dunia, dan membentuk praktek-praktek

sosial dan personal yang membawa pada:

1. Individu-individu yang beretika, berdaya dan utuh secara personal;

2. Komunitas yang dibangun berdasar perjanjian kolaboratif, toleransi dan kesetaraan;

3. Sistem sosial dan lembaga yang partisipatori, transparan dan adil; serta

4. Praktek-praktek lingkungan yang menghargai dan menjaga keragaman dan proses

ekologis penyokong kehidupan.

Tuntutan rasional dari dunia yang saling bergantung dan sedang menciut ini adalah kesatuan

seluas dunia. Kesatuan ini mensyaratkan kesadaran dan rasa saling memiliki yang

menghubungkan kita dengan bumi kita, dan kampung halaman kita yang pertama serta

terutama. Kita semua memiliki identitas genetis, serebral, dan emosional yang sama melalui

dan melampaui keragaman individu, budaya, dan sosial. Kita adalah proses tumbuhnya

kehidupan yang dilahirkan oleh rahim bumi dan dipelihara oleh bumi. Dan sekarang, sejak

64

abad ke-20, semua manusia mempunyai masalah mendasar hidup dan mati yang sama. Semua

terlibat dalam komunitas planet yang sama, menghadapi takdir yang sama. Kita harus

menempatkan ‘ada’ kita dalam planet bumi ini. Belajar berada berarti belajar hidup, berbagi,

berkomunikasi, berkelompok, hal-hal yang biasanya dipelajari di dalam lingkup kecil

masyarakat. Sejak sekarang dan seterusnya kita harus belajar menjadi, belajar hidup, berbagi,

berkomunikasi, berkelompok, sebagai manusia Planet Bumi.

Kita harus mencari hal-hal berikut di dalam diri kita sendiri:

Suara hati antropologis, yang mengakui kesatuan dalam keragaman;

Suara hati ekologis, yang sadar bahwa kita bersama dengan semua makhluk hidup

mendiami lingkungan (biosfer) yang sama. Dengan kesadaran akan ikatan antara diri

kita dan biosfer, kita hentikan mimpi muluk untuk menguasai jagat raya dan sebagai

gantinya – memupuk kerinduan untuk hidup bersama di muka bumi;

Suara hati warga bumi, rasa solidaritas dan tanggung jawab terhadap anak-anak dunia;

Suara hati spiritual akan kondisi manusiawi, yang diperoleh melalui pemikiran

kompleks yang terbuka untuk saling mengkritik, kritis terhadap diri sendiri, dan saling

memahami.

Kembangkan identitas manusia kompleks kita. Imperatif ganda antropologis ini amat penting:

selamatkan kesatuan manusia dan selamatkan keragaman manusia. Kembangkan identitas

kita yang serentak konsentris dan plural; indentitas masyarakat lokal, etnis, dan nasional kita;

serta identitas kebumian kita. Sekarang ini, tujuan fundamental semua pendidikan – yang

bukan sekedar memajukan, melainkan juga mempertahankan hidup manusia – adalah

memperadabkan dan mempersatukan dunia, serta mentransformasikan seluruh umat manusia

ke dalam kemanusiaan sejati. Kesadaran akan kemanusiaan kita di era planeter ini niscaya

menuntun kita pada suatu kesatuan baru dan saling berbela rasa satu sama lain. Pendidikan

masa depan harus mengajarkan etika pemahaman berskala planet.

Ninil R M

65

LAMPIRAN 5

Oleh : Hafniliana

31-Okt-2008, 22:59:25 WIB - [www.kabarindonesia.com]

Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Melalui Penerapan Pendidikan Lingkungan

Dalam Kurikulum Pendidikan 

Oleh: Hafniliana, S.Pd

Permasalahan hutan dan lingkungan di negara kita tak kunjung terselesaikan. Banjir, tanah

longsor, kebakaran hutan baik dikarenakan unsur sengaja maupun tak sengaja, sampai pada

permasalahan lumpur Lapindo menjadi isu lingkungan yang tak kunjung terpecahkan.

Apakah keadaan ini harus menghentikan kita untuk terus memikirkan pemecahan

permasalahn hutan dan lingkungan? Jawabannya tentu saja tidak. Namur, kebijakan apa yang

pantas kita ambil untuk mengatasi permasalah semua ini? Tampaknya Pemerintah kita telah

banyak merumuskan kebijakan. Namun, tak urung permasalahan-permasalahan seperti ini

tetap terjadi. Dilatarbelakangi hal tersebut, sudah saatnya kita mulai menerapkan Pendidikan

Lingkungan di kurikulum sekolah di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan

perguruan tinggi.

Definisi Pendidikan Lingkungan

Pendidikan Lingkungan adalah pendidikan konsep tentang ekologi, pendidikan lapangan,

ilmu pengetahuan atau petunjuk berwawasan lingkungan tentang permasalahan-permasalahan

yang sedang terjadi (Ramsey, Hunger Ford & Volk, 1992). Menurut Unesco (1977),

Pendidikan Lingkungan merupakan sebuah proses pembelajaran yang meningkatkan

pengetahuan dan kepedulian orang-orang terhadap lingkungan dan hal-hal yang menjadi

permasalahannya, yang selanjutnya mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang penting

dan trampil dalam menindaki permasalahan tersebut, serta mengubah sikap, motivasi dan

komitmen untuk membuat keputusan-keputusan serta penentuan sikap/tindakan yang

bertanggung jawab.

Tujuan Pendidikan Lingkungan

66

Tujuan penerapan Pendidikan Lingkungan adalah untuk menciptakan manusia Indonesia

yang bertanggungjawab dalam setiap pola prilaku dan kebijakan yang diambil tanpa

merugikan apalagi membahayakan hutan dan lingkungan. Sebagai contoh, jika Pendidikan

Lingkungan diterapkan mulai dari usia dini sampai dengan perguruan tinggi, seseorang

dengan apa pun profesinya, baik dokter, sarjana tehnik sipil, sarjana tehnik pertambangan,

maupun petani, senantiasa mengambil sikap sesuai dengan hak dan kewajiban mereka dengan

diimbangi perlindungan hutan dan lingkungan. Sebagai contoh, seorang sarjana teknik sipil

pada saat mengadakan pembangunan tata kota, seharusnya melakukan pembangunan

berwawasan lingkungan. Pun begitu pula dengan para dokter. Limbah-limbah dari rumah

sakit, baik berupa jarum suntik, kantong-kantong darah, atau cairan-cairan kimia diolah

sesuai dengan prosedur pengolahan limbah yang aman terhadap lingkungan.

Ramsey dan Hunger Ford (1989) mengatakan bahwa tujuan pendidikan lingkungan adalah

untuk pengembangan prilaku berwawasan lingkungan yang bertanggung jawab, baik secara

individu maupun berkelompok. Secara umum, tujuan Pendidikan Lingkungan adalah : a)

Membantu siswa mengembangkan pengetahuan nyata tentang lingkungan alam, khususnya

yang berhubungan dengan cara ekosistem bekerja dan dampak prilaku manusia terhadap

lingkungan alam; b) Menciptakan persepsi yang lebih positif tentang nilai alam semesta; c)

Mengembangkan kebiasaan yang ramah terhadap lingkungan, seperti menyuruh orang-orang

untuk mendaur ulang dan memproduksi barang-barang yang memiliki limbah sedikit; d)

Melibatkan siswa dalam proyek-proyek dan tindakan-tindakan pemeliharaan terhadap

lingkungan; e) Mengembangkan psikologi siswa dan hubungan spiritual siswa dengan alam.

Menurut buku Environmental Education Teaching Material (Kankyou Kyouiku Sidou Siryou,

1991) tujuan Pendidikan Lingkungan adalah untuk menciptakan kepedulian terhadap

lingkungan, memahami tanggung jawab dan peranan manusia dalam lingkungan dan

mengembangkan sikap berperan serta dalam pemeliharaan lingkungan serta kemampuan

memecahkan permasalahan lingkungan. Buku yang diterbitkan oleh Kementerian

Kebudayaan, Pengetahuan dan Pendidikan Jepang ini menekankan bahwa tujuan dari

pendidikan lingkungan adalah untuk mengembangkan individu-individu yang dapat

memanajemen dan mengawasi lingkungan di sekitar mereka.

Secara umum, ada enam kategori tujuan Pendidikan Lingkungan, yaitu: 1. Kepedulian, yakni

mempunyai kepedulian dan sensitivitas terhadap lingkungan dan permasalahan di dalamnya;

2. Pengetahuan, yakni benar-benar mengerti lingkungan dan permasalahannya serta tanggung

jawab manusia dan misi-misi terhadap lingkungan tersebut; 3. Sikap, yakni memiliki

sensitivitas terhadap nilai-nilai sosial dan lingkungan serta memiliki kemauan untuk bekerja

67

sama dalam perlindungan dan pemeliharaan lingkungan; 4. Keterampilan, yakni belajar

bagaimana menyelesaikan masalah-masalah lingkungan; 5. Kemampuan penilaian, yakni

menilai ukuran-ukuran lingkungan dan program-program pendidikan dari sudut pandang

ekologi, politik, ekonomi, sosial dan keindahan; 6. Partisipasi, yakni mendalami pengertian

tentang tanggung jawab terhadap lingkungan dan pentingnya kondisi-kondisi sekarang untuk

ditindaklanjuti guna memecahkan masalah-masalah lingkungan.

Manfaat Pendidikan Lingkungan

Pendidikan lingkungan dapat menciptakan inteligensi tentang alam, yakni kemampuan untuk

merasakan dan membuat koneksi dengan semua elemen yang ada di alam semesta. Dengan

mempunyai kemampuan inteligensi ini, orang-orang akan menjadi tertarik dengan spesies-

spesies lain, baik yang ada di lingkungannya maupun yang ada di bumi. Mereka juga

biasanya memiliki kemauan untuk memperhatikan dan mengenali benda-benda yang ada di

dunia alam, peduli terhadap binatang atau tumbuhan dan perubahan-perubahan yang terjadi,

baik dalam dunia tumbuhan, planet bumi dan binatang.

Anak-anak yang memiliki inteligensi ini, memiliki keterikatan yang kuat terhadap dunia luar

atau terhadap binatang-binatang, misalnya. Hal ini dimulai pada usia yang sangat dini.

Umumnya mereka menyukai pelajaran biologi, astronomi, geologi atau bidang-bidang yang

berkaitan dengan binatang atau fenomena alam, sedangkan pada orang dewasa, mereka

cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan perubahan-perubahan

yang terjadi dalam lingkungan, misalnya kebakaran hutan, punahnya satu jenis tanaman, dan

lain-lain. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa para pelajar yang mendapat pendidikan

lingkungan memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungan, mengenali hubungan antara

manusia dan alam, mendapat ketrampilan untuk pemecahan permasalahan lingkungan serta

pengembangan sikap berperan serta dalam pemeliharaan lingkungan.

 

Prinsip Pendidikan Ekologi

Untuk melaksanakan pendidikan lingkungan, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan

adalah: 1. Pendidikan Lingkungan harus dilaksanakan di keluarga, sekolah dan tingkat

regiona;l 2. Pendidikan Lingkungan seharusnya diberikan pada semua umur, berdasarkan

setiap tahap perkembangan. Misalnya, pada masa remaja, interaksi lingkungan seharusnya di

utamakan dan stimulasi sensitifitas anak-anak terhadap lingkungan perlu dilakukan sedini

mungkin; 3. Pendidikan Lingkungan dilaksanakan tak hanya sekedar mendapat pengetahuan,

melainkan juga belajar tentang keterampilan-keterampilan dan pengembangan sikap;p 4.

68

Dalam Pendidikan Lingkungan, orang-orang mengembangkan kemampuan-kemampuan

untuk memutuskan keinginan-keinginan mereka menurut pola hidup ramah lingkungan. 5.

Dalam Pendidikan Lingkungan, orang-orang belajar bahwa permasalahan lingkungan di

sekitar mereka berkaitan dengan masalah-masalah lingkungan global. Orang-orang akan

berpikir secara global, namun akan bertindak secara lokal dalam memecahkan permasalahan

lingkungan.

Selanjutnya masih dalam buku yang sama, materi pembelajaran yang diterapkan harus

disesuaikan dengan setiap tahap perkembangan para pelajar. Namun, secara umum, hal-hal

yang patut diprioritaskan adalah: 1. Pengembangan sensitivitas; 2. Memiliki banyak aktivitas

dan pengalaman; 3. Memiliki peristiwa-peristiwa yang tak Verduga sebelumnya; 4.

Pengembangan kemampuan menarik ide secara sintaxis; 5. Pengembangan kamampuan

pemecahan masalah; 6. Pengembangan kemampuan berpikir dan mengambil keputusan

secara sintaxis; 7. Pengembangan kemampuan dan sikap ketidaktergantungan; 8. Belajar

pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan teknis dalam bidang spesialisasi yang digeluti.

Perancangan Kurikulum

Perancangan kurikulum untuk setiap institusi pendidikan disesuaikan dengan tahap

perkembangan para pelajar. Untuk sekolah dasar, baik TK maupun SD, anak-anak diajarkan

untuk terjun langsung ke alam untuk menstimulasi mereka terhadap pengalaman hidup yang

sesungguhnya. Misalnya, mereka belajar spesies burung, -cara berkembangbiak, jenis

makanan mereka, habitat mereka dan sebagainya. Pada tahap sekolah dasar yang lebih tinggi,

misalnya kelas enam SD dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), pengembangan

kemampuan pemahaman hubungan sebab-akibat dan pemecahan masalah secara individu

harus diterapkan melalui kegiatan observasi, eksperimen, media audio visual dan kegiatan

investigasi terjun langsung ke lapangan. Pada tingkat SMA pengembangan berpikir secara

sintaksis diterapkan melalui sistem debat untuk menciptakan pola pikir yang kritis, sedangkan

untuk perguruan tinggi, materi pembelajaran berupa pengambilan keputusan dan pemecahan

masalah terhadap masalah-masalah global. Monroe dan Kaplan (1988) menyatakan hal-hal

penting dalam pemecahan masalah adalah : 1. Pengetahuan tentang lingkungan dan

permasalahan-permasalahannya; 2. Mengetahui solusi-solusi terhadap permasalahan tersebut;

3. Pengetahuan akan strategi tindakan untuk pemecahan masalah-masalah; 4. Keterampilan

dalam mengambil tindakan; 5. Pengawasan; 6. Sikap-sikap dan nilai rasa tanggung jawab dan

komitmen; 7. Keterampilan bekerja sama; 8. Keterampilan berkomunikasi; 9. Pemecahan

masalah.

69

 

Strategi Pengajaran Pendidikan Lingkungan

Strategi pengajaran disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didik. Secara umum,

tehnik pengajaran tersebut meliputi a) media audio visual, misalnya dengan penayangan

kehidupan hutan dan lingkungan, baik yang masih dilindung maupun yang telah rusak; b)

jurnal catatan alam, yakni perekaman kehidupan alam dari waktu ke waktu, termasuk

didalamnya adalah dunia hewan, keadaan planet/bumi, dunia tumbuhan, keadaan udara dari

waktu ke waktu, dan sebagainya; c) studi lapangan, seperti kegiatan kemah, hiking; d)

penyimpanan data-data peristiwa perubahan lingkungan, baik yang berupa data dari media

cetak maupun, media elektronik.

 

Keberhasilan Pengajaran Pendidikan Lingkungan

Studi longitudinal pada tahun 1983 dan 1987, mengungkapkan bahwa penerapan Pendidikan

Lingkungan terhadap siswa kelas 5 dan 9 di Ohio meningkatkan pengetahuan tentang

lingkungan itu sendiri. Menurut Bartosh (2004), dalam Laporan Pendidikan Lingkungan di

Washington dan negara bagian lainnya menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang memiliki

program pendidikan lingkungan secara konsisten memiliki nilai yang lebih tinggi pada tes

standarisasi dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang tidak memiliki program pendidikan

lingkungan. Tak hanya itu, orang-orang muda yang mendapat Pendidikan Lingkungan

cenderung indeks prestasi kumulatif (IPK) mereka meningkat secara menyeluruh, menerima

beasiswa-beasiswa dan menunjukkan sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab, baik di

sekolah maupun di masyarakat. Tak hanya itu, mereka juga menjadi para pekerja yang siap di

pakai di dunia kerja. Hal ini terjadi dikarenakan pendidikan lingkungan meningkatkan

motivasi belajar di semua bidang disiplin ilmu, mengarahkan dan memajukan pola sikap

mereka di kelas, mengembangkan ketrampilan berpikir kritis, menciptakan kemampuan

bekerja, baik secara individu maupun berkelompok, serta menghubungkan pelajaran-

pelajaran di sekolah dengan komunitas dan dunia nyata mereka. Meninjau penerapan di

sekolah-sekolah di Jepang dan Amerika, sepatutnya Indonesia menerapkan Pendidikan

Lingkungan sebagai muatan kurikulum wajib yang berdiri sendiri, mesti di pelajari oleh para

pelajar mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hal ini

bertujuan agar insan Indonesia menjadi manusia bertanggung jawab terhadap hutan dan

lingkungan dengan apa pun profesi mereka. Tak akan ada lagi yang mengatakan bahwa hutan

dan lingkungan serta permasalahnnya adalah tanggung jawab pemerintah atau pihak-pihak

tertentu, misalnya para pemerhati lingkungan, melainkan, dengan adanya penerapan

70

kebijakan ini, semua individu bersinergi menyelamatkan hutan dan lingkungan dengan apa

pun profesi yang digeluti mereka.

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com

Alamat ratron (surat elektronik): [email protected]

Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:

www.kabarindonesia.com

71

LAMPIRAN 6

Jumat, 26 Desember 2008

ENVIRONMENTAL EDUCATION CENTER

Program Pendidikan Lingkungan

Setiap kegiatan dan program yang dilakukan oleh PPLH Seloliman berdasarkan dan dalam

konteks Pendidikan Lingkungan. Pendidikan Lingkungan yang dianut oleh PPLH

Seloliman adalah pendidikan yang membawa setiap orang pada seluruh proses

pembelajaran, dari mulai tahap mengetahui sampai tahap aksi dan evaluasi yang

didapatkan melalui pembelajaran dan pengalaman langsung (konkret) di lingkungan

sebenarnya. Hasil akhir dari pendidikan lingkungan adalah adanya perubahan pola pikir

dan perilaku dari setiap orang dalam memandang lingkungan hidup di sekitarnya yang

diwujudkan melalui aksi (tindakan) konkret. Pendidikan Lingkungan ini adalah

pendidikan yang universal, artinya pendidikan ini berlaku pada semua orang serta semua

tempat dengan kondisi yang berbeda baik melalui pendidikan formal ataupun non formal

Sampai saat inipun pendidikan lingkungan di pendidikan formal sebatas sebuah materi

pelajaran sebagaimana yang lain, dan belum dipahami bersama sebagai salah satu media

bagi pendidikan nilai dan moral. Sehingga pendidikan lingkungan dengan metodenya

masih dianggap sesuatu hal baru yang harus dipelajari dan dikuasai baik materi dan

metodenya. Dalam hal ini PPLH telah berupaya untuk bersama-sama pihak lain

mengembangkan berbagai metode yang sesuai bagi penerapan pendidikan lingkungan di

pendidikan formal mulai dari tingkat TK - Perguruan Tinggi. Upaya yang dilakukan

sampai saat ini :

1. Seminar, Lokakarya dan Pelatihan mengenai berbagai model Pendidikan Alternatif

72

dalam kaitan dengan penerapan pendidikan lingkungan di masyarakat

2. Seminar, Lokakarya dan Pelatihan bagi pengajar mengenai Pendidikan

Lingkungan Hidup : Penerapan dan pengembangan di sekolah baik konsep ataupun

teknis.

3. Pengembangan Kapasitas bagi pelaku pendidikan lingkungan hidup di masyarakat.

4. Pengembangan materi dan metode pendidikan lingkungan hidup di lingkungan

sekolah dan masyarakat umum.

5. Sharing informasi dan pengalaman dengan beberapa sekolah mengenai penerapan

pendidikan lingkungan.

6. Pendampingan Sekolah (SD) sekitar sebagai laboratorium penerapan pendidikan

lingkungan.

7. Mengenalkan pendidikan lingkungan kepada anak-anak sekitar melalui berbagai

media dan kegiatan.

 

73

LAMPIRAN 7

Arti Penting Pendidikan Lingkungan

Written by http://www.lianaindonesia.wordpress.com/   

Thursday, 28 September 2006

Sylvie Iriani (penggiat PLH Sumatera Selatan) 

        Disadari bahwa peranan manusia begitu besar dalam menentukan kondisi dan kualitas

lingkungan.  Apabila peran aktif manusia nyatanya tidak peduli terhadap kelestarian mutu dan

fungsi lingkungan, maka akan rusaklah lingkungan hidup dan demikian sebaliknya.  Bencana

banjir dan longsor atau juga kerusakan dan kebakaran hutan yang tak-terkendali dari tahun ke

tahun adalah contoh akibat dari peran manusia pembangunan yang tidak berwawasan

lingkungan.  Istilah peduli lingkungan disini mengisyaratkan kondisi mental individu manusia

yang terbentuk dari pengalaman pahitnya atau dari suatu proses pendidikan yang dilaluinya.

    Apabila di banyak wilayah seputar Indonesia termasuk Sumatera Selatan tercatat banyak

bencana lingkungan khususnya insiden kebakaran hutan dari tahun ke tahun (Iam Kompas

2006), maka hal itu mengindikasikan adanya kondisi sosial yang masih memerlukan injeksi

pendidikan lingkungan yang bersifat formal maupun pendidikan informal (kursus-kursus dan

pelatihan) dan pendidikan non formal maupun pendidikan (penyuluhan dan kegiatan studi

banding).  Pendidikan lingkungan melalui jalur formal tentu erat kaitannya dengan aspek

kurikulum yang secara khusus perlu dilengkapi dengan paket ‘kurikulum hijau’ dan perlu

diajarkan sejak dari tingkat pendidikan terendah (Sekolah Dasar) hingga ke taraf perguruan

tinggi.

    Sjarkowi (2005) menyatakan bahwa untuk membangun kadar pemahaman yang seimbang

tentang peran aktif manusia pembangunan di tengah lingkungan hidupnya, maka di seluruh

penjuru nusantara memang perlu diselenggarakan program penghijauan kurikula (Greening

The Curiculae) seperti digagas Collet, J & S dan Karakhasian (1996).  Dengan pola dan bobot

pendidikan yang berwawasan lingkungan itu maka kadar kesepahaman antar sesama manusia

pembangunan dan bobot kerjasama pro-aktif, dan reaktif mereka terhadap bencana dan

kerugian lingkungan pun akan dapat ditumbuhkan dengan cepat secara internal daerah atau

bahkan kebangsaan maupun selingkup Internasional.

    Di Indonesia upaya penghijauan kurikulum yang amat mendasar dan sangat penting itu

74

sudah pernah didengungkan dan di awal tahun 1990-an khususnya ketika berlangsung

Konferensi Nasional PSL ke 10 di Palembang pada tahun 1992.  Salah satu butir himbauan

yang tersimpul dalam konferensi itu menekankan arti penting penghijauan kurikulum baik

secara substansial maupun secara parsial.  Cara substansial menghendaki agar dalam setiap

substansi mata-ajaran diberi wawasan dan bobot lingkungan.  Cara parsial adalah bersifat

penyisipan mata kuliah atau mata-ajaran ekologis pada setiap paket kurikulum yang diberikan

kepada peserta didik.  Cara substansial tentu makan biaya dan waktu lama, sedangkan cara

parsial bisa lebih cepat dan murah, tapi bisa kehilangan konteks saling menguatkan terhadap

mata-ajaran lainnya.  Terutama bilamana cara parsial itu tidak disertai dengan banyak

penataran lingkungan bagi para guru yang belum atau tidak paham bagaimana menghijaukan

materi pelajaran (non Lingkungan) yang diajarkannya (Sjarkowi,2005).

    Upaya penghijauan kurikulum yang kemudian patut disebut dengan program Pendidikan

Lingkungan, adalah sebuah usaha untuk mengarahkan kembali tujuan pendidikan sehingga

kompetensi dan pemahaman tentang pendidikan lingkungan dimunculkan kembali sebagai

salah satu tujuan dasarnya di samping kompetensi personal dan kompetensi sosial.  Materi

pendidikan lingkungan seyogyanya tidak hanya sebagai satu pokok bahasan dalam pendidikan

(cara parsial), melainkan penghijauan kurikulum itu akan lebih tepat dengan cara substansial

yang mengedepankan pengembangan seluruh filosofi kurikulum sehingga dimensi lingkungan

tercakup menjadi satu kesatuan.  Cara demikian tentu lebih besar manfaatnya karena

lingkungan membutuhkan perhatian dan pengertian  yang sama besar dengan perhatian yang

kita berikan untuk kesejahteraan personal social (Smyth, 1995) .

    Hutan beserta dengan isinya sebagai himpunan aneka sumberdaya alami merupakan

komponen penting dalam lingkungan hidup ( yang menurut Sjarkowi, 2004) terdiri dari

lingkungan alami, lingkungan sosial, dan lingkungan binaan).  Sumberdaya alami sebagai

unsur lingkungan alami dan harus dijaga kelestarian mutu dan fungsinya, secara teoritis

memiliki empat dimensi yaitu :

a)    Dimensi  mutu (Kualitas) dengan memperhatikan beberapa fungsi ciri atribut dan peran

yang melekat pada sumberdaya tersebut, maka dapat dibedakan mana diantaran sejumlah

sumberdaya sejenis yang lebih bermutu dan apa penyebab turun naiknya mutu tersebut.

b)    Dimensi  jumlah ( kuantitas) suatu sumberdaya selalu dapat dinyatakan jumlahnya

menurut satuan ukur tertentu.

c)    Dimensi waktu, mengacu kepada lambat atau cepatnya ketersediaan sumberdaya akan

ludes atau dapat dipulihkan kembali.  Dimensi ini tergantung kepada keadaan teknologi yang

75

ada dan yang memberikan makna manfaat serta makna jumlah bagi suau sumberdaya yang

dimanfaatkan.

d)    Dimensi ruang merupakan penunjuk tempat kedudukan sumberdaya disebut sumberdaya

in-situ, sehingga perlu disebarkan ke tempat dimana benda itu dirasakan lebih langka adanya (

sumberdaya eks-situ)

Suatu bencana lingkungan hidup seperti bencana kebakaran hutan tentu dapat merusak

keempat dimensi sumberdaya alami itu.  Sekali dimensi kelestarian sumberdaya itu

mengalami kerusakan tentunya akan sulit dipulihkan, apalagi bila kebakaran hutan itu terjadi

berulang-unlang.  Maka dapat dimengerti betapa pentingnya merealisasikan program

pendidikan lingkungan yang telah dikemukakan tadi, dan dengan demikian menjadi mudah

pula untuk dimengerti jika dinyatakan bahwa tujuan pendidikan lingkungan itu secara umum

adalah sebagai berikut:

a.    Meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap keterkaitan di bidang ekonomi, sosial,

politik terhadap ekologi, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

b.    Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan,

sikap/perilaku, motivasi dan komitmen, yang diperlukan untuk bekerja secara individu dan

kolektif untuk menyelesaikan masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya masalah

baru.

c.    Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru bagi individu, kelompok-kelompok dan

masyarakat terhadap lingkungan hidup.

76