24
PSIKOLOGI FENOMENOLOGI Dosen Pengampu : M.S Hidayatullah S.Psi, M.Psi, Psikolog Oleh : Kelompok 2 Choerunnisa Mutiara Aulia Oktaviyanti (I1C112047) Merry Hotmaida S Hanif Al Gifary Shintya Widiyana Tiara Karliani Venni Savitri PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

makalah.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: makalah.docx

PSIKOLOGI FENOMENOLOGI

Dosen Pengampu : M.S Hidayatullah S.Psi, M.Psi, Psikolog

Oleh :Kelompok 2

Choerunnisa MutiaraAulia Oktaviyanti (I1C112047)

Merry Hotmaida SHanif Al Gifary

Shintya WidiyanaTiara KarlianiVenni Savitri

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016

Page 2: makalah.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pentas hermeneutika dalam belantara intelektualitas kita memang

belum terasa signifikansinya, sekalipun telah jauh tahun para filosof

menggembar –gemborkan urgensinya. Fenomena ini mudah dimafhumi

lantaran hermeneutika bagi kita cenderung disimplikasikan sebagai “ilmu

tafsir”, sementara variabel-variabel filosofis dan kritisnya diabaikan.

Benar-benar tidak asing bagi kita istilah ‘hermeneutika’ di dunia

kefilsafatan. Istilah itu sendiri mempunyai makna: menerjemahkan,

menafsirkan yang timbul dari bahasa Yunani. Namun dalam menafsirkan

suatu teks butuh cara yang benar-benar hampir mendekati kebenaran atas

teks sebenarnya. Bahasa di pembahasan ini sangatlah dibutuhkan. Di mana

bahasa itu sendiri sebagai medium untuk berkomunikasi.

Banyak para filosof-filosof mempunyai teori yang bebeda-beda

tentang hermeneutika ini. Seperti Emilio Betti, Martin Heidegger, Rudolf

Bultmann, Kari-Otto Apel, Jurgen Habernas, Paul Ricoeur dan akhirnya

sampai pada Hans George Gadamer. Mereka semua mempunyai cara yang

berbeda-beda dalam menafsirkan suatu teks dan hasil pemahaman

merekapun berbeda-beda. Walaupun mereka mempunyai alasan-alasan

atas buah pemikirannya menafsirkan teks.

Dengan makalah ini kami berusaha mengungkap stagnasi diskursus

hermeneutika itu dengan memfokuskan diri pada pemikiran hermeneutika

Gadamer.

B. Rumusan Masalah

Dengan makalah ini kami akan menyebutkan berbagai rumusan

masalah, diantaranya:

1. Seperti apa perjalanan hidup seorang Hans George Gadamer?

2. Apa makna ‘hermeneutka’ dalam berbagai paradigma?

3. Bagaimana paradigma Hans George Gadamer terhadap hermeneutika?

4. Apa saja karya Hans George Gadamer?

Page 3: makalah.docx

C. Tujuan penulisan

Dengan adanya makalah ini pembaca diharapkan:

1. Bisa mengetahui riwayat hidup Hans George Gadamer.

2. Mampu menjelaskan arti hemeneutika dari berbagai tokoh.

3. Mampu menjelaskan paradigma Hans George Gadamer terhadap

hermeneutika.

4. Bisa menyebutkan beberapa karya dari Hans George Gadamer.

    

Page 4: makalah.docx

BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup

Hans-Georg Gadamer lahir pada tanggal 11 Februari di Marburg

bagian selatan Jerman pada tahun 1900. Ia dilahirkan dari keluarga

pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese(1869-1904) dan Dr.

Johannes Gadamer (1867-1928). Di usianya dua tahun ia pindah ke kota

Breslau (nama eksisnya sekarang Wroclau, Polandia). Holy Gost School

menjadi tempat ia menempuh pendidikan dasar dan menengah pada tahun

1907 sampai 1918. Ia belajar filsafat pada universitas di kota asalnya,

antara lain pada Nikolai Hartmann, teolog Protestan. Di tahun 1922, ia

menyandang gelar doktor filsafat dan pada tahun 1929 beliau menjadi

dosen privat di Marburg. Gelar sebagai seorang  Profesor ia peroleh di

tahun 1937. Sejak tahun 1939 beliau pindah ke Leipzig dan kemudian ke

Frankfurt am Main di tahun 1947. Terhitung dari tahun 1949 beliau

mengajar di Heidelberg sampai pensiun. Latar belakang pendidikan

formalnya adalah studi bahasa-bahasa dan kebudayaan klasik serta

filsafat.

Dan ia wafat di Rumah sakit Universitas Heidberg pada 13 Maret

2002, Gadamer telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting abad XX,

diantaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang Dunia, terbelahnya

Jerman menjadi dua blok, Keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, dan

yang paling akhir, Peristiwa 11 september 2000.(46)

B. Pengertian Hermeneutika

Secara etimologis, hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani,

“hermeneuin”, yang berarti “menerjemahkan” dan kata bendanya

“hermeneia”. Pengertian itu sebenarnya mau mengungkapkan bahwa

hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang sekiranya

belum diketahui menjadi lebih faham atas teks.

Page 5: makalah.docx

Istilah hermeneutika memiliki asosiasi etimologis dengan nama

dewa dalam mitologi yunani, Hermes yang bertugas menyampaikan dan

menerjemahkan pesan-pesan Tuhan kepada manusia ke dalam bahasa

yang dapat dimengerti manusia(Gadamer, 1997:98-99; Vollmer, 1990; 1)

dengan bantuan kata-kata manusia(Hardiman, 1991: 3). Berhasil atau

tidaknya tugas Hermes tergantung bagaimana caranya agar manusia bisa

memahaminya (Bleicher, 1980: 11). Hermeneutika juga diartikan sebagai

proses mengubah sesuatu atau situasi dari yang tidak tahu menjadi

mengerti(Latief, 2000: 46; Sumaryono, 1999: 24).   Definisi lain, bahwa

Hermenetika adalah suatu seni memahami dan menafsirkan sebuah teks

dengan memikirkan historistas masa lampau kemudian di kaitkan dengan

masa sekarang sehingga menjadi kaya makna atau produksi

makna(Habermas dalam Vollmer, 1990: 294).

Hemeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali di publikasikan oleh

Johann Konrad Dannhauer(1603-1666) seorang teolog dari Jerman

sekitar abad ke-17 dengan dua pengertian yaitu hemeneutika sebagai

seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai

penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan

dari kegiatan memahami (Grondin, 1994: 4).

C. Pemikiran Hermeneutika Hans Georg Gadamer.

Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin

Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan

proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai

hakikat  kapasitas manusia sebagai sebuah ada. Gadamer juga memaknai

hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi pemahaman.

Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya

sebagaimana adanya. “Pemahaman” (atau “mengerti” ) harus dipandang

sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau

lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada

cara berada manusia sendiri. Dengan demikian, eksistensi manusia selalu

di bangun oleh kualitas proses pemahaman itu sendiri. Sehingga

Page 6: makalah.docx

sangatlah wajar jika Gadamer tidak hanya memusatkan perhatiannya

pada satu tugas filsafat (tori hermeneutis), melainkan juga melewati

banyak tugas lain yang mungkin dan karenanya pemikiran ini melihat

semua tema yang ada dalam filsafat dari satu segi tertentu, yaitu

hermeneutika. Menurutnya hermeneutik mempunyai tugas terutama

memahami teks, maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan

fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita

sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga pembicara asli

tidak akan gagal untuk menangakap nuansa-nuansa atau benang merah

bahasanya sendiri.

Sebelum munculnya Heidegger dan Gadamer, diskursus

Hermeneutika disatukan dengan sains yang bersifat metodologis, dengan

tekanan bahwa ilmu pengetahuan apapun baru diakui sebagai ilmiah jika

memiliki basis empirisme. Hermeneutika menjadi bagian yang tak

terpisahkan dengan alam positivisme yang notabene mensyaratkan

commensurable, yaitu obyektivisme. Ini melahirkan dilema bagi

hermeneutika lantaran sebagai interpretasi tentu saja ia tidak bisa itu

sendiri yang tentu memiliki wilayah historisnya sendiri.

Sosok Betti, Schleiermacher dan Diltey merupakan penggagas 

aliran hermeneutika obyektivis ini. Sekalipun dalam tubuh Betti,

Schleiermacher dan Dilthey sendiri terdapat perbedaan dalam konteks

obyektivisme hermeneutika ini, di mana Schleiermacher lebih

memfokuskan pada “pengarang” sebagai obyektivikasinya dan Dilthey

lebih pada “teks”, namun ketiganya secara utopis mensyaratkan tampilan

hermeneutika yang steril dari intervensi historisitas penafsir.

Betti, misalnya, ia dapat mengemukakan tiga tipe interpretasi untuk

mengukuhkan obyektivismenya: (1) Rekognitinif, yaitu pengenalan yang

bersifat otentik, pemahaman dari sudut diri sendiri(orang pertama),

(2) Reproduktif, yaitu pembuatan atau penyusunan kembali yang

ditujukan untuk mengkomunikasikan beberapa pengalaman, dan

(3) Normatif, yaitu memberikan panduan dalam pelaksanaannya.

Page 7: makalah.docx

Sementara Schleiermacher dan Dilthey (setidaknya) bisa dilacak

dari penolakan kuat mereka atas munculnya praandaian dalam diri

penafsir ketika akan mendekati sebuah teks. Keduanya memutlakan diri

penafsir untuk menyebrangi “waktu yang mengantarai” historisitas

pengarang dengan  historisitas penafsir. Penafsir dituntut untuk merasuki

dan menyatu dengan individu pengarang, sehingga penafsir dapat betul-

betul memahami juntaian makna yang ditanamkan pengarang dalam

teksnya.

Dalam krusialitas inilah, Gadamer memunculkan antitesis yang

sangat ekstrem dengan hermeneutika filosofinya, bahwa upaya

obyektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapapun yang

ingin menafsirkan teks. Karena antara pengarang dan penafsir

mempunyai watak tersendiri. Dengan demikian, upaya obyektivisme

murni dalam hermeneutika hanya aka menjadi kemustahilan, sehingga

yang kemudian bisa dilakukan penafsiran adalah memproduksi teks

sehingga menjadi banyak makna. Bisa dikatakan hermeneutika yang bisa

dihidupkan dengan baik menurut Gadamer yaitu subyektivisme

interpretasi yang relevan dengan praandai-praandaian yang dibangun oleh

historisitasnya di masa kini. Pemahaman hermeneutika inilah yang

membuat Gadamer membantah positivisme dalam kancah hermeneutika.

Ia menegaskan yang terpenting dalam jurang dan tradisi itu adalah

dialekta atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.

Kerangka hermeneutika Gadamer secara kategoris berkaitan

dengan pokok-pokok khusus, yaitu (a) kebenaran sebagai yang tak

tersembunyi, (b) Bahasa dan pemahaman, dan (c) Hubungan antara

kebenaran dan metode.

1. Kebenaran Sebagai Yang Tak Tersembunyi

Gadamer memilah secara dikotomis antara kebenaran dan

metode.  Gadamer tidak pernah mengidealisasikan hermeneutika

sebagai sebuah metode, karena pemahaman yang ditekankannya

adalah tingkat ontologis, bukan metodologis. Menurutnya,

Page 8: makalah.docx

kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan

metode justru merintangi atau menghambat kebenaran. Untuk

mencapai kebenaran, kita harus menggunakan dialektika, bukan

metode, sebab dalam proses dialektis kesempatan untuk

mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak

kemungkinannya dibandingkan dengan dalam proses metodis.

Dialektika Gadamer lebih mengacu pada dialetika Sokrates, yang

lebih tepat dikatakan suatu dialog, tidak mengacu ke Hegel. Bagi

Gadamer manusia mampu memahamai karena ia mempunyai

tradisi dan tradisi adalah bagian dari pengalaman kita, sehingga

tidak akan ada pengalaman yang berarti tanpa mengacu pada

tradisi.

2. Bahasa Dan Pemahaman

Bahasa merupakan media untuk memahami, maka

kebenaran yang tak tersembunyi itu juga harus dipahami lewat

dan dalam bahasa. Karena bahasa sangatlah penting diberbagai

aspek, khususnya dalam memahami suatu kata. Karena itulah

Gadamer menjadikan bahasa sebagai isu sentral hermeneutika

filosofisnya. Selain itu, Gadamer mengungkapkan bahwa bahasa

harus dipahami sebagai yang menunjuk pada pertumbuhan

mereka secara historis, dengan kesejarahan makna-maknanya,

tata bahasa dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa

muncul sebagai bentuk-bentuk variatif logika pengalaman,

hakikat, termasuk pengalaman historis/tradisi. Bahasa dengan

demikian bukan hanya penerimaan manusia di dunia, melainkan

bahkan penampakkan fakta bahwa manusia memiliki dunia

secara keseluruhan Dan tradisi disitu adalah proses yang menyatu

dengan eksistensi manusia. Kita senantiasa berdiri dalam tradisi.

Dengan demikian, untuk pemahaman teks, kita harus memasuki

tradisi yang sama dengan yang dimiliki oleh teks prasyarat.

Partisipasi pada warisan budaya yang mencakup sesuatu yang

Page 9: makalah.docx

akan dipahami merupakan prakondisi pemahaman. Dan arti lain

yang diungkapkan Gadamer juga kaitannya dengan bahasa. 

Menurut ia bahasa merupakan modus operandi dari cara berada

manusia di dunia dan juga merupakan wujud yang seolah

merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Dan ia

berpandangan bahwa proses belajar bahasa kita yang pertama

bukan merupakan yang utama dan jauh kurang dari sifat ekslusif.

Saran dari Wittgenstein, persoalannya adalah bukan perhatian

kita (atau yang diarahkan orang lain), tetapi persoalannya itu

adalah sebuah peristiwa atau sejenis drama, yang meletakan

objek ”pada skala kata-kata”(TM: 359).

Aplikasi bahasa sebagai pengalaman dan tradisi dalam

konsep hermeneutika filosofis Gadamer memberikan implikasi

besar bagi proses pemahaman  hermeneutis. Hal yang paling

pantas dikemukakan di sini ialah persyaratan praandaian-

praandaian bagi sesorang yang ingin melakukan sesuatu

pemahaman atau interpretasi sehingga kemudian terbangun

dialog/dialektika tanya jawab antara penafsir dan teks yang di

terjemahkannya. Tanpa adanya praandaian terhadap objek yang

didekati ini amatlah susah bagi seseorang untuk memperoleh

pemahaman. Itulah sebabnya Gadamer pun sejajar dengan

Heidegger yang bergerak sirkular dalam aplikasi hermeneutisnya.

Di sini akan dikemukakan beberapa variabel yang sifatnya

praktis dalam hermeneutika Gadamer.

a. Praandaian

Gadamer memang tidak menolak buah pikiran dari

Schleiermacher dan Dilthey tentang hermeneutika,

meskipun ia juga tidak menabung kritik-kritikan dari

mereka. Gadamer berbeda secara ekstrem dengan pemikiran

hermeneutis Dilthey, misalnya dalam konteks praandaian

ini.

Page 10: makalah.docx

Penafsir dituntut untuk menguasai “mesin waktu”,

mengantarai jarak waktu pengarang-penafsir, melepaskan

diri dari realitas historisnya sendiri dan melebur dalam

realitas historis pengarang supaya bisa mengahayati

internalitas pengarang. 

Bagi Gadamer ketika seseorang menghilangkan praandaian

sama dengan mematikan pemikiran. (1) Ia tidak akan

mengimpikan hermeneutika bertugas menemukan arti yang

asli dari suatu teks. Menurutnya, interpretasi tidak sama

dengan mengambil suatu teks, lalu mencari arti yang

diletakan di dalamnya oleh pengarang. Suatu teks tetap

terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang,

sehingga interpretasi dengan sendiri menjadi wahana

mempercaya makna suatu teks dan bersifat produktif. (2)

Gadamer menyatakan bahwa akan mustahil jika penafsir

terjun ke dunia historis pengarang karena kita tidak

mungkin terhindar dari historis masa kini. Karena itu,

interpretasi suatu teks akan menjadi tugas yang  tidak akan

pernah selesai. Setiap majunya zaman harus mengusahakan

interpretasinya sendiri. Di sinilah letak urgensi praandain-

praandaian seorang penafsir yang tentu beranjak dari

historisitasnya ketika akan memasuki sebuah teks yang

memiliki historisitasnya sendiri.

b. Dialektika atau dialo

Bekal historisitas dan praandaian penafsir dalam

aplikasi hermeneutika Gadamer meniscayakan suatu proses

dialektis atau dialog mengikuti aturan bahasa. Dalam proses

ini, teks dan penafsir menjalani suatu hubungan

keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling

mengerti dan kemudian bisa melahirakan pemahaman yang

baru. Proses dialogis antara cakrawala teks menyediakan

Page 11: makalah.docx

pertanyaan bagi penafsir dan penafsir dengan cakrawalanya

sendiri menimbulkan pertanyaan yang lain lagi. Peristiwa

dialogis dimana pertemuan antara pertanyaan dan jawaban

merupakan sebab yang menjadikan suatu pemahaman.

Peristiwa ini disebut dengan peleburan cakrawala-

cakrawala.

           Hermeneutika Gadamer bergerak secara sirkular, masa lalu dan masa kini,

dalam suatu pertemuan ontologis sehingga Ada mewahyukan dirinya sendiri.

Itulah sebabnya mengapa Gadamer tidak pernah melegitimasi suatu penafsiran

sebagai yang benar dalam dirinya sendiri. Sebab setiap penafsiran mempunyai

pemahaman yang berbeda-beda atau pengalaman dan tradisi masing-masing.

Lahirnya suatu pemahaman yang baru atas kebenaran sebagai yang tersingkap itu

sangat ditentukan  oleh proses dialetika tanya-jawab cakrawala-cakrawala tradisi

itu.

        Dalam skema yang lebih simpel, hermeneutika filosofis Gadamer bisa

dikemukakan sebagai berikut.

Teks

Praandaian

Realitas Historis

Produksi

Subyektif

 Jadi, teks didekati dengan praandain, realitas historis kekinian penafsir kemudian

memunculkan produksi makna atas teks itu, dan kesemuanya bersifat subyektif.

3. Hubungan Antara Kebenaran Dan Metode

Pencapaian kebenaran sebagai produksi operasi

hermeneutis terhadap suatu teks harus melampaui metode-

metode. Gadamer memang tidak pernah menafikan sama sekali

Page 12: makalah.docx

kedudukan metode, namun Gadamer menandaskan bahwa

kebenaran bukanlah produk metode. Metode tidak secara mutlak

merupakan wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran.

Kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis di

lampaui.

Dari sini menjadi jelas sistem relasi antara ketiga elemen

yang mengkerangkai pemikiran hermeneutika Gadamer. Gerakan

untuk memahami ada yang tidak tersembunyi berpijak pada

tradisi. Bahasa sebagai endapan tradisi sekaligus medium untuk

memahami sehingga ada yang tak tersembunyi itu dipahami lewat

dan dalam bahasa pula. Akhirnya, kebenaran itu tercapai melalui

Ada-nya sendiri sesuai dengan proses dialektif dan linguistik

yang melampaui batas-batas metodologis yang diaplikasikan oleh

penafsir teks. Menurutnya, kebenaran menerangi metode-metode

individual, sedangkan metode justru menghambat atau merintangi

kebenaran.

D. Karya-karyanya

Karyanya yang terpenting adalah Wahrheit und Methode(Jerman)

atau Truth and Method(Inggris) Grundzuge einer philoshopischen

Hermeneutik (1960) (Kebenaran dan Metode. Sebuah Hermeneutika

Filosofis menurut Garis Besarnya). Karya ini, pada dasarnya merupakan

dukungan sangat berharga bagi karya salah satu gurunya, Heidegger

(Being and Time). Meskipun jelas-jelas merupakan karya filsafat, tulisan

Gadamer tersebut telah dibaca tidak hanya oleh para ahli filsafat tetapi juga

diminati dan memberikan pengaruh terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan,

ilmu-ilmu sosial, dan bahkan ilmu alam. Dengan buku tebal itu Gadamer

menjadi filosof terkemuka di bidang Hermeneutika. Pada tahun 1965,

diterbitkan cetakan kedua dengan suatu kata pendahuluan yang baru

dimana Gadamer menjelaskan maksudnya dan menjawab keberatan-

keberatan yang telah dikemukakan sebagaian kritisi, ditambah lagi sebuah

Page 13: makalah.docx

lampiran. Pada cetakan ketiga di tahun 1972 masih ditambah suatu kata

penutup lagi.

Sesudah karya besar ini, Gadamer menerbitkan buku Plato to

dialektische Ethik un andere Studien zur platonischen Philoshopie (Etika

dialektis dan studi-studi lain tentang filsafat plato). Kemudian lahir juga

Hegels Dialektik. Funf hermeneutische Studien(1971) (Dialektika Hegel.

Lima studi hermeneutika). Berbagi artikel yang ditulis di majalah atau

kesempatan lain dikumpulkan dalam empat buku yang berjudul SchriftenI,

II, III, IV (1967, 1967, 1972, 1977). Dalam sebuah otobiografi, beliau

melukiskan filosof-filosof dan filsafat-filsafat yang telah

mempengaruhinya di masa mudanya: Philoshopische Lehrjahre. Eine

Ruckshau(1977).

Page 14: makalah.docx

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sudah dijelaskan cukup banyak tentang riwayat hidup, paradigma

Gadamer tentang hermeneutika. Dapat kami simpulan, bahwa Gadamer ketika

menafsirkan teks, ia semata-mata tidaklah subyektif. Akan tetapi, disaat

menafsirkan teks haruslah ada praandaian atau bisa dikatakan masuk ke dunia

penafsir. Selain itu, penafsir juga harus berusaha mengkaitkan antara sejarah

pengarang dengan sejarah masa kini, walaupun hal itu mustahil yaitu tidaklah

sama anatra historis penafsir dan pengarang sama. Akan tetapi, walaupun

berbeda jauh historisnya, penafsir tetap mnyangkutpautkan antaraa sejarah dulu

dengan sekarang meskipun sedikit. Karena untuk mendapatkan pemahaman yang

mendekati kebenaran semua itu harus di lakukan, bukanlah hanya menafsirkan

secara subyektif yang tingkat kebenarannya lemah.

B. Kritik Dan Saran

Tidaklah salah jika seseorang yang sedang menuntut ilmu butuh kritik dan

saran demi memperbaiki hasil karyanya. Oleh karena itu, penulis sendiri sudah

merasa banyak kekurangan yang mungkin harusnya pembaca inginkan namun

tidak ada dalam makalah ini. Di harapkan sangat bagi pembaca untuk

memberikan kritik dan saran untuk memperbaiki makalah selanjutnya. Atas

kritik dan sarannya kami haturkan banyak  trima kasih.

Page 15: makalah.docx

DAFTAR PUSTAKA

Atho Nafisul dan Fahrudin Arif, Hermeneutika Transendental, Yogyakarta: IRCiSod,

2003

http://wikipedia.com/

Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus

Dur, (Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI), 2010

Poesprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Roy J howard, Hermeneutika Wacana Analisis Psikososial dan Ontologis, Bandung:

Penerbit Nuansa, 2001

Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1993