Upload
aulia-oktaviyanti
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PSIKOLOGI FENOMENOLOGI
Dosen Pengampu : M.S Hidayatullah S.Psi, M.Psi, Psikolog
Oleh :Kelompok 2
Choerunnisa MutiaraAulia Oktaviyanti (I1C112047)
Merry Hotmaida SHanif Al Gifary
Shintya WidiyanaTiara KarlianiVenni Savitri
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pentas hermeneutika dalam belantara intelektualitas kita memang
belum terasa signifikansinya, sekalipun telah jauh tahun para filosof
menggembar –gemborkan urgensinya. Fenomena ini mudah dimafhumi
lantaran hermeneutika bagi kita cenderung disimplikasikan sebagai “ilmu
tafsir”, sementara variabel-variabel filosofis dan kritisnya diabaikan.
Benar-benar tidak asing bagi kita istilah ‘hermeneutika’ di dunia
kefilsafatan. Istilah itu sendiri mempunyai makna: menerjemahkan,
menafsirkan yang timbul dari bahasa Yunani. Namun dalam menafsirkan
suatu teks butuh cara yang benar-benar hampir mendekati kebenaran atas
teks sebenarnya. Bahasa di pembahasan ini sangatlah dibutuhkan. Di mana
bahasa itu sendiri sebagai medium untuk berkomunikasi.
Banyak para filosof-filosof mempunyai teori yang bebeda-beda
tentang hermeneutika ini. Seperti Emilio Betti, Martin Heidegger, Rudolf
Bultmann, Kari-Otto Apel, Jurgen Habernas, Paul Ricoeur dan akhirnya
sampai pada Hans George Gadamer. Mereka semua mempunyai cara yang
berbeda-beda dalam menafsirkan suatu teks dan hasil pemahaman
merekapun berbeda-beda. Walaupun mereka mempunyai alasan-alasan
atas buah pemikirannya menafsirkan teks.
Dengan makalah ini kami berusaha mengungkap stagnasi diskursus
hermeneutika itu dengan memfokuskan diri pada pemikiran hermeneutika
Gadamer.
B. Rumusan Masalah
Dengan makalah ini kami akan menyebutkan berbagai rumusan
masalah, diantaranya:
1. Seperti apa perjalanan hidup seorang Hans George Gadamer?
2. Apa makna ‘hermeneutka’ dalam berbagai paradigma?
3. Bagaimana paradigma Hans George Gadamer terhadap hermeneutika?
4. Apa saja karya Hans George Gadamer?
C. Tujuan penulisan
Dengan adanya makalah ini pembaca diharapkan:
1. Bisa mengetahui riwayat hidup Hans George Gadamer.
2. Mampu menjelaskan arti hemeneutika dari berbagai tokoh.
3. Mampu menjelaskan paradigma Hans George Gadamer terhadap
hermeneutika.
4. Bisa menyebutkan beberapa karya dari Hans George Gadamer.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Hans-Georg Gadamer lahir pada tanggal 11 Februari di Marburg
bagian selatan Jerman pada tahun 1900. Ia dilahirkan dari keluarga
pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese(1869-1904) dan Dr.
Johannes Gadamer (1867-1928). Di usianya dua tahun ia pindah ke kota
Breslau (nama eksisnya sekarang Wroclau, Polandia). Holy Gost School
menjadi tempat ia menempuh pendidikan dasar dan menengah pada tahun
1907 sampai 1918. Ia belajar filsafat pada universitas di kota asalnya,
antara lain pada Nikolai Hartmann, teolog Protestan. Di tahun 1922, ia
menyandang gelar doktor filsafat dan pada tahun 1929 beliau menjadi
dosen privat di Marburg. Gelar sebagai seorang Profesor ia peroleh di
tahun 1937. Sejak tahun 1939 beliau pindah ke Leipzig dan kemudian ke
Frankfurt am Main di tahun 1947. Terhitung dari tahun 1949 beliau
mengajar di Heidelberg sampai pensiun. Latar belakang pendidikan
formalnya adalah studi bahasa-bahasa dan kebudayaan klasik serta
filsafat.
Dan ia wafat di Rumah sakit Universitas Heidberg pada 13 Maret
2002, Gadamer telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting abad XX,
diantaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang Dunia, terbelahnya
Jerman menjadi dua blok, Keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, dan
yang paling akhir, Peristiwa 11 september 2000.(46)
B. Pengertian Hermeneutika
Secara etimologis, hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani,
“hermeneuin”, yang berarti “menerjemahkan” dan kata bendanya
“hermeneia”. Pengertian itu sebenarnya mau mengungkapkan bahwa
hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang sekiranya
belum diketahui menjadi lebih faham atas teks.
Istilah hermeneutika memiliki asosiasi etimologis dengan nama
dewa dalam mitologi yunani, Hermes yang bertugas menyampaikan dan
menerjemahkan pesan-pesan Tuhan kepada manusia ke dalam bahasa
yang dapat dimengerti manusia(Gadamer, 1997:98-99; Vollmer, 1990; 1)
dengan bantuan kata-kata manusia(Hardiman, 1991: 3). Berhasil atau
tidaknya tugas Hermes tergantung bagaimana caranya agar manusia bisa
memahaminya (Bleicher, 1980: 11). Hermeneutika juga diartikan sebagai
proses mengubah sesuatu atau situasi dari yang tidak tahu menjadi
mengerti(Latief, 2000: 46; Sumaryono, 1999: 24). Definisi lain, bahwa
Hermenetika adalah suatu seni memahami dan menafsirkan sebuah teks
dengan memikirkan historistas masa lampau kemudian di kaitkan dengan
masa sekarang sehingga menjadi kaya makna atau produksi
makna(Habermas dalam Vollmer, 1990: 294).
Hemeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali di publikasikan oleh
Johann Konrad Dannhauer(1603-1666) seorang teolog dari Jerman
sekitar abad ke-17 dengan dua pengertian yaitu hemeneutika sebagai
seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai
penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan
dari kegiatan memahami (Grondin, 1994: 4).
C. Pemikiran Hermeneutika Hans Georg Gadamer.
Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin
Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan
proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai
hakikat kapasitas manusia sebagai sebuah ada. Gadamer juga memaknai
hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi pemahaman.
Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya
sebagaimana adanya. “Pemahaman” (atau “mengerti” ) harus dipandang
sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau
lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada
cara berada manusia sendiri. Dengan demikian, eksistensi manusia selalu
di bangun oleh kualitas proses pemahaman itu sendiri. Sehingga
sangatlah wajar jika Gadamer tidak hanya memusatkan perhatiannya
pada satu tugas filsafat (tori hermeneutis), melainkan juga melewati
banyak tugas lain yang mungkin dan karenanya pemikiran ini melihat
semua tema yang ada dalam filsafat dari satu segi tertentu, yaitu
hermeneutika. Menurutnya hermeneutik mempunyai tugas terutama
memahami teks, maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan
fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita
sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga pembicara asli
tidak akan gagal untuk menangakap nuansa-nuansa atau benang merah
bahasanya sendiri.
Sebelum munculnya Heidegger dan Gadamer, diskursus
Hermeneutika disatukan dengan sains yang bersifat metodologis, dengan
tekanan bahwa ilmu pengetahuan apapun baru diakui sebagai ilmiah jika
memiliki basis empirisme. Hermeneutika menjadi bagian yang tak
terpisahkan dengan alam positivisme yang notabene mensyaratkan
commensurable, yaitu obyektivisme. Ini melahirkan dilema bagi
hermeneutika lantaran sebagai interpretasi tentu saja ia tidak bisa itu
sendiri yang tentu memiliki wilayah historisnya sendiri.
Sosok Betti, Schleiermacher dan Diltey merupakan penggagas
aliran hermeneutika obyektivis ini. Sekalipun dalam tubuh Betti,
Schleiermacher dan Dilthey sendiri terdapat perbedaan dalam konteks
obyektivisme hermeneutika ini, di mana Schleiermacher lebih
memfokuskan pada “pengarang” sebagai obyektivikasinya dan Dilthey
lebih pada “teks”, namun ketiganya secara utopis mensyaratkan tampilan
hermeneutika yang steril dari intervensi historisitas penafsir.
Betti, misalnya, ia dapat mengemukakan tiga tipe interpretasi untuk
mengukuhkan obyektivismenya: (1) Rekognitinif, yaitu pengenalan yang
bersifat otentik, pemahaman dari sudut diri sendiri(orang pertama),
(2) Reproduktif, yaitu pembuatan atau penyusunan kembali yang
ditujukan untuk mengkomunikasikan beberapa pengalaman, dan
(3) Normatif, yaitu memberikan panduan dalam pelaksanaannya.
Sementara Schleiermacher dan Dilthey (setidaknya) bisa dilacak
dari penolakan kuat mereka atas munculnya praandaian dalam diri
penafsir ketika akan mendekati sebuah teks. Keduanya memutlakan diri
penafsir untuk menyebrangi “waktu yang mengantarai” historisitas
pengarang dengan historisitas penafsir. Penafsir dituntut untuk merasuki
dan menyatu dengan individu pengarang, sehingga penafsir dapat betul-
betul memahami juntaian makna yang ditanamkan pengarang dalam
teksnya.
Dalam krusialitas inilah, Gadamer memunculkan antitesis yang
sangat ekstrem dengan hermeneutika filosofinya, bahwa upaya
obyektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapapun yang
ingin menafsirkan teks. Karena antara pengarang dan penafsir
mempunyai watak tersendiri. Dengan demikian, upaya obyektivisme
murni dalam hermeneutika hanya aka menjadi kemustahilan, sehingga
yang kemudian bisa dilakukan penafsiran adalah memproduksi teks
sehingga menjadi banyak makna. Bisa dikatakan hermeneutika yang bisa
dihidupkan dengan baik menurut Gadamer yaitu subyektivisme
interpretasi yang relevan dengan praandai-praandaian yang dibangun oleh
historisitasnya di masa kini. Pemahaman hermeneutika inilah yang
membuat Gadamer membantah positivisme dalam kancah hermeneutika.
Ia menegaskan yang terpenting dalam jurang dan tradisi itu adalah
dialekta atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.
Kerangka hermeneutika Gadamer secara kategoris berkaitan
dengan pokok-pokok khusus, yaitu (a) kebenaran sebagai yang tak
tersembunyi, (b) Bahasa dan pemahaman, dan (c) Hubungan antara
kebenaran dan metode.
1. Kebenaran Sebagai Yang Tak Tersembunyi
Gadamer memilah secara dikotomis antara kebenaran dan
metode. Gadamer tidak pernah mengidealisasikan hermeneutika
sebagai sebuah metode, karena pemahaman yang ditekankannya
adalah tingkat ontologis, bukan metodologis. Menurutnya,
kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan
metode justru merintangi atau menghambat kebenaran. Untuk
mencapai kebenaran, kita harus menggunakan dialektika, bukan
metode, sebab dalam proses dialektis kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak
kemungkinannya dibandingkan dengan dalam proses metodis.
Dialektika Gadamer lebih mengacu pada dialetika Sokrates, yang
lebih tepat dikatakan suatu dialog, tidak mengacu ke Hegel. Bagi
Gadamer manusia mampu memahamai karena ia mempunyai
tradisi dan tradisi adalah bagian dari pengalaman kita, sehingga
tidak akan ada pengalaman yang berarti tanpa mengacu pada
tradisi.
2. Bahasa Dan Pemahaman
Bahasa merupakan media untuk memahami, maka
kebenaran yang tak tersembunyi itu juga harus dipahami lewat
dan dalam bahasa. Karena bahasa sangatlah penting diberbagai
aspek, khususnya dalam memahami suatu kata. Karena itulah
Gadamer menjadikan bahasa sebagai isu sentral hermeneutika
filosofisnya. Selain itu, Gadamer mengungkapkan bahwa bahasa
harus dipahami sebagai yang menunjuk pada pertumbuhan
mereka secara historis, dengan kesejarahan makna-maknanya,
tata bahasa dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa
muncul sebagai bentuk-bentuk variatif logika pengalaman,
hakikat, termasuk pengalaman historis/tradisi. Bahasa dengan
demikian bukan hanya penerimaan manusia di dunia, melainkan
bahkan penampakkan fakta bahwa manusia memiliki dunia
secara keseluruhan Dan tradisi disitu adalah proses yang menyatu
dengan eksistensi manusia. Kita senantiasa berdiri dalam tradisi.
Dengan demikian, untuk pemahaman teks, kita harus memasuki
tradisi yang sama dengan yang dimiliki oleh teks prasyarat.
Partisipasi pada warisan budaya yang mencakup sesuatu yang
akan dipahami merupakan prakondisi pemahaman. Dan arti lain
yang diungkapkan Gadamer juga kaitannya dengan bahasa.
Menurut ia bahasa merupakan modus operandi dari cara berada
manusia di dunia dan juga merupakan wujud yang seolah
merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Dan ia
berpandangan bahwa proses belajar bahasa kita yang pertama
bukan merupakan yang utama dan jauh kurang dari sifat ekslusif.
Saran dari Wittgenstein, persoalannya adalah bukan perhatian
kita (atau yang diarahkan orang lain), tetapi persoalannya itu
adalah sebuah peristiwa atau sejenis drama, yang meletakan
objek ”pada skala kata-kata”(TM: 359).
Aplikasi bahasa sebagai pengalaman dan tradisi dalam
konsep hermeneutika filosofis Gadamer memberikan implikasi
besar bagi proses pemahaman hermeneutis. Hal yang paling
pantas dikemukakan di sini ialah persyaratan praandaian-
praandaian bagi sesorang yang ingin melakukan sesuatu
pemahaman atau interpretasi sehingga kemudian terbangun
dialog/dialektika tanya jawab antara penafsir dan teks yang di
terjemahkannya. Tanpa adanya praandaian terhadap objek yang
didekati ini amatlah susah bagi seseorang untuk memperoleh
pemahaman. Itulah sebabnya Gadamer pun sejajar dengan
Heidegger yang bergerak sirkular dalam aplikasi hermeneutisnya.
Di sini akan dikemukakan beberapa variabel yang sifatnya
praktis dalam hermeneutika Gadamer.
a. Praandaian
Gadamer memang tidak menolak buah pikiran dari
Schleiermacher dan Dilthey tentang hermeneutika,
meskipun ia juga tidak menabung kritik-kritikan dari
mereka. Gadamer berbeda secara ekstrem dengan pemikiran
hermeneutis Dilthey, misalnya dalam konteks praandaian
ini.
Penafsir dituntut untuk menguasai “mesin waktu”,
mengantarai jarak waktu pengarang-penafsir, melepaskan
diri dari realitas historisnya sendiri dan melebur dalam
realitas historis pengarang supaya bisa mengahayati
internalitas pengarang.
Bagi Gadamer ketika seseorang menghilangkan praandaian
sama dengan mematikan pemikiran. (1) Ia tidak akan
mengimpikan hermeneutika bertugas menemukan arti yang
asli dari suatu teks. Menurutnya, interpretasi tidak sama
dengan mengambil suatu teks, lalu mencari arti yang
diletakan di dalamnya oleh pengarang. Suatu teks tetap
terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang,
sehingga interpretasi dengan sendiri menjadi wahana
mempercaya makna suatu teks dan bersifat produktif. (2)
Gadamer menyatakan bahwa akan mustahil jika penafsir
terjun ke dunia historis pengarang karena kita tidak
mungkin terhindar dari historis masa kini. Karena itu,
interpretasi suatu teks akan menjadi tugas yang tidak akan
pernah selesai. Setiap majunya zaman harus mengusahakan
interpretasinya sendiri. Di sinilah letak urgensi praandain-
praandaian seorang penafsir yang tentu beranjak dari
historisitasnya ketika akan memasuki sebuah teks yang
memiliki historisitasnya sendiri.
b. Dialektika atau dialo
Bekal historisitas dan praandaian penafsir dalam
aplikasi hermeneutika Gadamer meniscayakan suatu proses
dialektis atau dialog mengikuti aturan bahasa. Dalam proses
ini, teks dan penafsir menjalani suatu hubungan
keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling
mengerti dan kemudian bisa melahirakan pemahaman yang
baru. Proses dialogis antara cakrawala teks menyediakan
pertanyaan bagi penafsir dan penafsir dengan cakrawalanya
sendiri menimbulkan pertanyaan yang lain lagi. Peristiwa
dialogis dimana pertemuan antara pertanyaan dan jawaban
merupakan sebab yang menjadikan suatu pemahaman.
Peristiwa ini disebut dengan peleburan cakrawala-
cakrawala.
Hermeneutika Gadamer bergerak secara sirkular, masa lalu dan masa kini,
dalam suatu pertemuan ontologis sehingga Ada mewahyukan dirinya sendiri.
Itulah sebabnya mengapa Gadamer tidak pernah melegitimasi suatu penafsiran
sebagai yang benar dalam dirinya sendiri. Sebab setiap penafsiran mempunyai
pemahaman yang berbeda-beda atau pengalaman dan tradisi masing-masing.
Lahirnya suatu pemahaman yang baru atas kebenaran sebagai yang tersingkap itu
sangat ditentukan oleh proses dialetika tanya-jawab cakrawala-cakrawala tradisi
itu.
Dalam skema yang lebih simpel, hermeneutika filosofis Gadamer bisa
dikemukakan sebagai berikut.
Teks
Praandaian
Realitas Historis
Produksi
Subyektif
Jadi, teks didekati dengan praandain, realitas historis kekinian penafsir kemudian
memunculkan produksi makna atas teks itu, dan kesemuanya bersifat subyektif.
3. Hubungan Antara Kebenaran Dan Metode
Pencapaian kebenaran sebagai produksi operasi
hermeneutis terhadap suatu teks harus melampaui metode-
metode. Gadamer memang tidak pernah menafikan sama sekali
kedudukan metode, namun Gadamer menandaskan bahwa
kebenaran bukanlah produk metode. Metode tidak secara mutlak
merupakan wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran.
Kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis di
lampaui.
Dari sini menjadi jelas sistem relasi antara ketiga elemen
yang mengkerangkai pemikiran hermeneutika Gadamer. Gerakan
untuk memahami ada yang tidak tersembunyi berpijak pada
tradisi. Bahasa sebagai endapan tradisi sekaligus medium untuk
memahami sehingga ada yang tak tersembunyi itu dipahami lewat
dan dalam bahasa pula. Akhirnya, kebenaran itu tercapai melalui
Ada-nya sendiri sesuai dengan proses dialektif dan linguistik
yang melampaui batas-batas metodologis yang diaplikasikan oleh
penafsir teks. Menurutnya, kebenaran menerangi metode-metode
individual, sedangkan metode justru menghambat atau merintangi
kebenaran.
D. Karya-karyanya
Karyanya yang terpenting adalah Wahrheit und Methode(Jerman)
atau Truth and Method(Inggris) Grundzuge einer philoshopischen
Hermeneutik (1960) (Kebenaran dan Metode. Sebuah Hermeneutika
Filosofis menurut Garis Besarnya). Karya ini, pada dasarnya merupakan
dukungan sangat berharga bagi karya salah satu gurunya, Heidegger
(Being and Time). Meskipun jelas-jelas merupakan karya filsafat, tulisan
Gadamer tersebut telah dibaca tidak hanya oleh para ahli filsafat tetapi juga
diminati dan memberikan pengaruh terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan,
ilmu-ilmu sosial, dan bahkan ilmu alam. Dengan buku tebal itu Gadamer
menjadi filosof terkemuka di bidang Hermeneutika. Pada tahun 1965,
diterbitkan cetakan kedua dengan suatu kata pendahuluan yang baru
dimana Gadamer menjelaskan maksudnya dan menjawab keberatan-
keberatan yang telah dikemukakan sebagaian kritisi, ditambah lagi sebuah
lampiran. Pada cetakan ketiga di tahun 1972 masih ditambah suatu kata
penutup lagi.
Sesudah karya besar ini, Gadamer menerbitkan buku Plato to
dialektische Ethik un andere Studien zur platonischen Philoshopie (Etika
dialektis dan studi-studi lain tentang filsafat plato). Kemudian lahir juga
Hegels Dialektik. Funf hermeneutische Studien(1971) (Dialektika Hegel.
Lima studi hermeneutika). Berbagi artikel yang ditulis di majalah atau
kesempatan lain dikumpulkan dalam empat buku yang berjudul SchriftenI,
II, III, IV (1967, 1967, 1972, 1977). Dalam sebuah otobiografi, beliau
melukiskan filosof-filosof dan filsafat-filsafat yang telah
mempengaruhinya di masa mudanya: Philoshopische Lehrjahre. Eine
Ruckshau(1977).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sudah dijelaskan cukup banyak tentang riwayat hidup, paradigma
Gadamer tentang hermeneutika. Dapat kami simpulan, bahwa Gadamer ketika
menafsirkan teks, ia semata-mata tidaklah subyektif. Akan tetapi, disaat
menafsirkan teks haruslah ada praandaian atau bisa dikatakan masuk ke dunia
penafsir. Selain itu, penafsir juga harus berusaha mengkaitkan antara sejarah
pengarang dengan sejarah masa kini, walaupun hal itu mustahil yaitu tidaklah
sama anatra historis penafsir dan pengarang sama. Akan tetapi, walaupun
berbeda jauh historisnya, penafsir tetap mnyangkutpautkan antaraa sejarah dulu
dengan sekarang meskipun sedikit. Karena untuk mendapatkan pemahaman yang
mendekati kebenaran semua itu harus di lakukan, bukanlah hanya menafsirkan
secara subyektif yang tingkat kebenarannya lemah.
B. Kritik Dan Saran
Tidaklah salah jika seseorang yang sedang menuntut ilmu butuh kritik dan
saran demi memperbaiki hasil karyanya. Oleh karena itu, penulis sendiri sudah
merasa banyak kekurangan yang mungkin harusnya pembaca inginkan namun
tidak ada dalam makalah ini. Di harapkan sangat bagi pembaca untuk
memberikan kritik dan saran untuk memperbaiki makalah selanjutnya. Atas
kritik dan sarannya kami haturkan banyak trima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Atho Nafisul dan Fahrudin Arif, Hermeneutika Transendental, Yogyakarta: IRCiSod,
2003
http://wikipedia.com/
Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus
Dur, (Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI), 2010
Poesprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Roy J howard, Hermeneutika Wacana Analisis Psikososial dan Ontologis, Bandung:
Penerbit Nuansa, 2001
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1993