Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
MAKNA SIMBOLIK RITUAL MABBACA-BACA
DI DESA ALELEBBAE KEC. PITUMPANUA KAB. WAJO
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
YULIANTI
NIM. 105381103317
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
JUNI, 2021
vi
MOTTO
Bersabarlah
Hanya Soal Waktu
Setiap Kesulitan akan Berganti Kemudahan
Dan Kesedihan akan Berubah menjadi Kebahagiaan
“Dan bersabarlah Kamu, Sesungguhnya Janji Allah
Adalah benar”
(Q.S AR-rum : 60)
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini sebagai darma baktiku untuk Ayahanda
dan Ibunda Ku tercinta serta kakakku tersayang.
vii
ABSTRAK
YULIANTI 2021, Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae
Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar Pembimbing I H. Andi Sukri
Syamsuri, Pembimbing II Sam’un Mukramin
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Makna Simbolik Ritual
Mabbaca-baca dan untuk menganalisis pelaksanaan Mabbaca-baca di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo Penelitian ini merupakan
penelitian fenomenologi dengan menggunakan 4 informan dengan metode
pengumpulan data menggunakan metode Observasi, Wawancara dan
Dokumentasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif
Hasil penelitian menunjukan bahwa makna mabaca-baca adalah amanah
yang di wariskan kepada penerusnya kemudian arti ma baca baca dari segi bahan
yang paling utama di gunakan ialah alat yang digunakan sebagai penyampaian
kemudian dari segi bahan yang digunakan saat pelaksanaan ialah arti yang paling
umum diungkapkan di antaranya memohon perlindungan dan permintaan maaf
atas kesalahan yang dilakukan agar kedepanya dapat menjalankan kehidupan
dengan tenag dan proesesi ritual mabaca-baca adalah yang dilakukan semua orang
yang ada dilnkungan tersebut dan keluarga yang ada waktunya datang untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, para masyarakat dalam proses
mabca baca membagi tugas agar saling mempercayai dalam melaksanakan tugas
tersebut dan bacaan di ucapkan sudah memang ada yang disiapkan secara khusus
saat melakukan ritual apapun itu semuanya sama dan secara otomatis persiapan
pun juga dalam melakukan proses mabaca juga sama yang bertujuan agara doa
yang di utarakan dapat dikabulkan
Kata Kunci : Makna, Ritual Mabaca-baca
viii
ABSTRACT
YULIANTI 2021, Symbolic Meaning of Mabbaca-read Ritual in Alibaba Village,
Pitumpanua District, Wajo Regency, Faculty of Teacher Training and Education.
University of Muhammadiyah Makassar Supervisor I H. Andi Sukri Syamsuri
Supervisor II Sam'un Mukramin
This study aims to determine the symbolic meaning of Abaca-baca rituals
and to analyze the implementation of Mabbaca-baca in Alelebbae Village,
Pitumpanua District, Wajo Regency.
The results showed that the meaning of mabaca-baca is amanah which is
passed on to his successors then the meaning of reading mabaca in terms of the
most important material used is the tool used as a delivery then in terms of the
materials used during implementation is the most common meaning expressed
including asking protection and apologies for mistakes made so that in the future
they can run their lives in a calm manner and the mabaca-baca ritual procession
is what everyone in the environment and families do who has time to come to
prepare everything needed, the people in the macabacus process share the task of
trusting each other in carrying out these tasks and readings being said there are
already specially prepared when carrying out any rituals, everything is the same
and automatically the preparation is also in doing the membaca posisi also the
same which aims to make the prayers that are said can be done accept
Keywords: Meaning, Mabaca-baca Ritual
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala Atas segala limpahan
rahmat, hidayat dan karunia. Shalawat dan salam tercurahkan kepada junjungan
kita baginda Nabi Muhammad Salallahhu Aiaihi Wasallam, beserta keluarga dan
sahabat-sahabatnya. Sosok teladan umat dalam segala perilaku keseharian yang
berorientasi kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Alhamdulillah atas hidayah dan
inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo.” Yang merupakan salah satu syarat guna
menempuh ujian skripsi gelar Sarjana Pendidikan Sosiologi pada Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar.
Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah menyumbangkan tenaga, pikiran, ilmu pengetahuan motivasi beserta
do’a kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Keberhasilan dalam
penyelesaian skripsi ini tidak hanya terletak pada diri peneliti semata tetapi
tentunya banyak pihak yang memberikan sumbangsi khususnya kepada kedua
orang tuaku, ibunda tercinta Indo Uleng dan ayahanda tercinta Sangkala yang
selama ini telah memberikan dukungan doa yang tidak pernah putus dan tidak
dapat saya balaskan dengan apapun itu serta kakak ku tercinta Zainal Abidin, SH
yang selalu memberikan dukungan, penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag.
x
selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis menimba ilmu pengetahuan di kampus tercinta ini,
Bapak Erwin Akib, M.Pd., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, Bapak Drs. H. Nurdin, M.Pd.
selaku ketua prodi Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar yang selalu memberikan semangat dalam
pengerjaan skripsi, Bapak Dr. H. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum. selaku
Pembimbing I yang telah memberikan saran, motivasi dan sumbangan pemikiran
kepada penulisan sehingga tersusunnya skripsi ini, Bapak Sam’un Mukramin,
S.Pd, M.Pd. selaku Pembimbing II yang dengan penuh ketelitian dan kesabaran
membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih kepada kakak ipar
saya Nurfadilla, S.Pd. yang telah mendampingi dan mendaftarkan saya ke kampus
tercinta Universitas Muhammadiyah Makassar, Sahabatku yang seperjuangan
didunia perkuliahan ini Fitri Handayani serta teman Kelas Sosiologi 17 A, yang
senantiasa mengisi hari-hari saya menjadi menyenangkan, terima kasih kepada
Team Bembeng saya Ainun Jariah Hakim, Alma Rosdiana, Abdi Adriansyah dan
Tizar Firdaus yang selalu menemani dan membantu saya dalam penyusunan
skripsi ini jangan cepat puas dengan hasil yang dicapai dan sampai jumpa di
puncak kesuksesan dan terima kasih atas dukungannya, Teman-teman Magang 3
dan P2K yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala
dorongan dan motivasi yang diberikan untuk peneliti, Semua pihak yang tidak
sempat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini, terima kasih atas bantuan dan dukungannya.
xi
Demikianlah mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti
khususnya dan pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT melimpahkan
pahala yang berlipat ganda atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti
dalam menyelesaikan skripsi ini, Aamiin Yarobbl Alamin.
Makassar , 16 Juli 2021
Peneliti
Yulianti
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
SURAT PERNYTAAN ........................................................................................ iv
SURAT PERJANJIAN ........................................................................................... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
ABSTRACT ........................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 4
E. Definisi Operasional .......................................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................ 6
A. Kajian Konsep .................................................................................................... 6
B. Kajian Teori ........................................................................................................ 9
C. Kerangka Pikir ................................................................................................ 16
D. Penelitian Terdahulu ....................................................................................... 17
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................ 19
xiii
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ................................................................... 19
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 20
C. Informan Penelitian ........................................................................................ 20
D. Fokus Penelitian .............................................................................................. 21
E. Jenis dan Sumber Data ................................................................................... 21
F. Instrumen Penelitian ....................................................................................... 22
G. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 23
H. Teknik Analisis Data ...................................................................................... 25
I. Teknik Keabsahan Data ................................................................................. 26
J. Etika Penelitian ................................................................................................ 27
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 28
A. Sejarah Lokasi Penelitian .............................................................................. 28
B. Letak Geografi .................................................................................................. 43
C. Keadaan Penduduk ........................................................................................... 48
D. Keadaan Ekonomi ............................................................................................ 50
E. Keadaan Pendidikan ......................................................................................... 51
F. Keadaaan Sosial dan Budaya .......................................................................... 52
G. Keadaan Agama ................................................................................................ 53
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 56
A. Hasil Penelitian ................................................................................................. 56
B. Pembahasan ....................................................................................................... 79
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 90
A. Kesimpulan Hasil Penelitian ......................................................................... 90
xiv
B. Saran Penelitian ................................................................................................ 91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 92
LAMPIRAN
RIWAYAT HDUP
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara majemuk yang memiliki beragam ciri khas,
agama, tradisi, dan kebudayaan. Ketika membahas tentang tradisi yang ada di
Indonesia seakan tak bisa dilepaskan dari peradaban manusia sebelumnya atau
leluhurnya yang mengandung norma dan nilai yang sangat melekat pada
masyarakat yang menganut tradisi tersebut. Kebudayaan dan tradisi yang
beraneka ragam itu masih kita saksikan hingga sekarang ini.
Berbicara tentang budaya, Budaya merupakan hasil pemikiran dan gagasan
yang dijadikan cara hidup yang berkembang dimiliki oleh suatu kelompok dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya mengandung arti penting dalam
masyarakat. meskipun ada beberapa kalangan masyarakat yang menganggap
kebudayaan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang lain dianggap
bertentangan dengan agama. Perlu diketahui bahwa agama bersumber dari
Allah, budaya bersumber dari manusia, akan tetapi tidak berarti keduanya tidak
terkait sama sekali melainkan memiliki hubungan yang erat. Ajaran Allah yang
disebut agama, mewarnai corak budaya.
Tradisi-tradisi di Indonesia ada begitu banyak, setiap daerah memiliki
tradisi masing-masing yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat daerah
tersebut, sama halnya di Sulawesi Selatan yang memiliki 4 suku besar yaitu
Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar di setiap suku itu memiliki budaya dan
tradisi masing-masing.
1
1
Masyarakat Bugis dikenal memiliki budaya atau tradisi yang sangat kental
salah satunya terletak di Kabupaten Wajo yang merupakan daerah yang
penduduknya adalah suku bugis yang masih kental dengan tradisi Mabbaca-
baca, terutama di Desa Alelebbae, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo.
Tradisi Membaca-baca, dalam bahasa bugis Mabbaca-baca artinya membaca
doa. Jadi Mabbaca-baca dapat kita artikan sebagai proses pembacaan doa. Tapi
tradisi Mabbaca-baca ini tidak seperti membaca doa pada umumnya. Doa
dibacakan oleh seorang Pembaca (orang yang dipercaya waktu-waktu tertentu,
seperti ketika sudah lebaran, setelah panen padi, naik rumah baru, waktu-waktu
tertentu untuk meminta keselamatan dan mengucap syukur kepada sang
pencipta atas segala yang diberikan.
Pelaksanaan Mabbaca-baca dilakukan dengan menyediakan berbagai
macam makanan, namun makanan yang paling utama disediakan adalah sokko
bolong (songkolo hitam) dan sokko pute (songkolo putih), nasu lekku (ayam
kampung yang dimasak dengan banyak lengkuas), otti lereng ( pisang ambon),
rang tello ( telur rebus), dan masih banyak makanan lain serta yang paling
penting dan tidak boleh dilewatkan adalah dupa dan kemenyang.
Di dalam kesempatan, dimana anggota keluarga dan tetangga berkumpul,
solidaritas sosial yang berbentuk pemberian makanan yang sudah dibacakan
oleh pembaca. Dengan memperhatikan tradisi mabbaca-baca sebagai bagian
bentuk siklus sosial masyarakat dan dengan mempertimbangkan bahwa tradisi
seperti ini adalah bagian cara anggota keluarga dan anggota masyarakat
2
memindahkan nilai-nilai agama melalui kenangan panjang tentang sejarah
sosial kehidupan Nabi Muhammad sebagai Rasul.
Namun seiring berjalannya waktu berbagai macam spekulasi muncul di
tengah masyarakat dengan kehadiran ritual tersebut. Hal ini didasari karena
ternyata masyarakat di desa tersebut masih belum paham dengan motif ritual
Mabbaca-baca apakah itu dari keyakinan keagamaan atau hanya budaya atau
tradisi yang turun-temurun, Selain itu banyak masyarakat yang masih
mengaitkan nya dengan hal mistis.
Tradisi sejenis ini memang banyak kita jumpai di berbagai daerah dengan
nama yang berbeda-beda seperti Penelitian yang dilakukan oleh Rahmatang
(2016) dengan judul “Tradisi Massuro Mabbaca Dalam Masyarakat
Rompegading Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros“, Penelitian yang
dilakukan oleh Muh.Aking (2018) dengan judul “Tradisi Membaca Doa Pada
Masyarakat Bugis Perantauan Di Desa Tombekuku Kecamatan Basala
Kabupaten Konawe Selatan”, Penelitian yang dilakukan oleh Eka Kartini
(2013) dengan judul “Tradisi Barzanji Masyarakat Bugis di Desa Tungke Kec.
Bengo Kab. Bone Sulsel (Studi Kasus Upacara Menre Aji (Naik Haji)),
meskipun tujuannya sama yaitu mengucap syukur kepada Allah SWT atas
keberkahan dan rezeki yang telah diberikan, ada juga yang melakukannya
untuk menolak bala, dan masih banyak tujuan lain. Cara pelaksanaan setiap
suku atau daerah juga berbeda masing-masing mempunyai cara tersendiri dan
keunikan tersendiri. Dari hasil penelitian terdahulu yang dijelaskan di atas
membuat peneliti berusaha untuk memunculkan unsur kebaruan dari penelitian
3
yang akan dilakukan di mana fokus utama yang akan diteliti adalah Apa Makna
Simbolik Ritual Mabbaca – baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua
Kabupaten Wajo.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Apa Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae
Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo ?
2. Bagaimana Proses Pelaksanaan Mabbaca-baca di Desa Alelebbae
Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian untuk menjawab rumusan masalah adalah :
1. Untuk mengetahui apa Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo.
2. Untuk menganalisis Bagaimana proses Pelaksanaan Mabbaca-baca di
Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Peneliti dalam hal ini mengharapkan dapat menjadi sumber informasi
dalam menambah ilmu pengetahuan dan mengembangkannya pada
jurusan sosiologi dan sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.
4
2. Manfaat Praktis
Peneliti mengharapkan, ini bisa menjadi bahan pengetahuan selanjutnya
bagi peneliti lainnya dan membuat peneliti lainnya tertarik untuk meneliti
hal ini. Sehingga studi pendidikan sosiologi mampu menyesuaikan diri
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Serta peneliti bisa menjadikan
hal ini sebagai sumbangsi pengetahuan yang membahas Makna Simbolik
Ritual Mabbaca-Baca di Desa Alelebbae Kec. Pitumpanua Kab. Wajo.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Peneliti mengharapkan agar ilmu pengetahuan mengenai hal ini bisa
berguna untuk memahamkan masyarakat tentang Makna Simbolik Ritual
Mabbaca-Baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten
Wajo.
E. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional sebagai berikut:
1. Makna Simbolik adalah Makna simbol dapat diartikan sebagai bentuk
interpretasi masyarakat terhadap nilai dalam pelaksanaan tradisi. Simbol
juga sebagai bentuk ritual adat yang dilakukan sebagai petunjuk atau ciri
khas dalam tradisi.
2. Mabbaca-baca adalah ritual membacakan doa sebagai bentuk rasa
syukur di hadapan hidangan makanan seperti songkolo, telur, pisang serta
yang paling penting dan tidak boleh dilewatkan adalah dupa dan
kemenyang yang menjadi sebuah tradisi yang masih kental di suku bugis.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Konsep
1. Makna Simbolik Ritual Mabbaca-Baca
a. Makna simbolik
Makna simbol dapat diartikan sebagai bentuk interpretasi masyarakat
terhadap nilai dalam pelaksanaan tradisi. Simbol juga sebagai bentuk ritual adat
yang dilakukan sebagai petunjuk atau ciri khas dalam tradisi. Tradisi yang masih
kental di suku bugis yakni Mabbaca-baca (membacakan doa).
Kebudayaan itu bukan saja merupakan seni dalam hidup, tetapi juga
benda-benda yang terdapat di sekeliling manusia yang dibuat oleh manusia. Itulah
sebabnya kemudian kebudayaan diartikan sebagai cara hidup yang dikembangkan
oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan
hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Kebudayaan
adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Pada kebudayaan, manusia
menampakkan jejak-jejak dalam panggung sejarah di zaman modern yang
memungkinkan adanya perubahan dalam setiap aspek budaya yaitu dari budaya
tradisional menjadi budaya modern.
Setiap kebudayaan yang diciptakan oleh manusia tentunya mengandung
makna yang tersirat di dalamnya. Ibarat sebuah simbol, mabbaca-baca tentu tidak
hadir begitu saja ditengah masyarakat kabupaten Wajo. Seluk beluk
kehadirannya tidak bisa dipungkiri kalau tradisi mabbaca-baca dipelopori oleh
6
6
nenek moyang dan akhirnya dinikmati hingga sekarang. Jadi makna simbolik
disini yaitu makna dari setiap yang dilakukan dalam pelaksanaan mabbaca-baca,
seperti makna simbol dari sarana mabbaca-baca seperti symbol pisang, songkolo,
telur, kemenyan, dan dupa.
b. Mabbaca-baca
Mabbaca-baca dalam bahasa Indonesia artinya membacakan doa. Jadi
dapat diartikan sebagai proses pembacaan doa. Tapi tradisi ini berbeda dengan
prosesi pembacaan doa pada umumnya. Doa dalam tradisi mabbaca-baca
dibacakan oleh orang yang dipercaya. Mabbaca-baca merupakan adat istiadat
yang membudaya di kabupaten Wajo. Sejak dahulu tradisi tersebut sudah
terlaksana hingga sekarang serta sudah menjadi rutinitas wajib bagi masyarakat
setempat pada sebuah musim. Bukan kepercayaan namun bagian dari prosesi
ibadah mereka kepada Tuhan dan jalinan antar sesama manusia. Jadi Mabbaca-
baca diartikan sebagai tradisi yang turun temurun sebagai bentuk rasa syukur
kepada Tuhan.
1. Asal Mula Membaca-baca
Warisan budaya tidak lepas dari kontribusi para pendahulu sebelum
akhirnya dirasakan oleh masyarakat hingga sekarang. Budaya kadangkala lenyap
pada dimensi tertentu namun ada pula yang tetap jalan hingga menembus dimensi
waktu. Terlepas dari aspek tersebut, sebuah tradisi yang menjadi identitas
berbagai daerah tidak lepas dari pengaruh masa lalu hingga bisa hadir di tengah
dinamika dan proses kehidupan.
7
Mabbaca-baca merupakan sebuah prosesi adat istiadat yang menjadi
rutinitas masyarakat kabupaten Wajo ketika hendak mewujudkan rasa syukur
dalam bentuk pembacaan doa secara bersama-sama. Tradisi tersebut sudah
menjadi kebiasaan masyarakat setempat sejak dahulu hingga sekarang. Pada
dasarnya adat ini hampir sama dengan tradisi mabbaca-baca di daerah lain yang
ada di sulawesi selatan yang membedakan hanya dari segi penamaan serta pola
konstruksi masyarakat dalam meramu tata laksananya.
Jadi kehadiran tradisi ini tidak bisa dilepaskan dari proses masuknya
agama islam di kabupaten Wajo terkhusus di Desa Alelebbae. Selain itu, tidak
bisa kita hindarkan bahwa tradisi ini lahir ditengah-tengah masyarakat atas
dedikasi peranan para pendahulu.
2. Fungsi Mabbaca-baca
Mengenai masa prasejarah aspek-aspek keagamaan tertentu hanya dapat
didekati melalui interpretasi dan keterkaitan antar benda di dalam suatu suatu
siklus penggalian maupun melalui analogi dengan praktik keagamaan dan tradisi
tertentu. Dalam ceramah-ceramah Robertson Smith mengemukakan tiga gagasan
penting yang menambah pengetahuan kita mengenai asas-asas religi dan agama
pada umumnya yang berkaitan dengan fungsi tradisi mabbaca-baca antara lain :
a. Sebagai Perwujudan Religi
Sistem religi selalu berkaitan dengan upacara keagamaan, banyak cara
yang dilakukan manusia untuk menginterpretasikan sistem keyakinan yang
mereka miliki, informasi yang diberikan oleh informan diatas menggambarkan
8
bahwa perwujudan dari rasa syukur yang mereka rasakan itu dengan Mabbaca-
baca, mereka merasa perlu pembuktian atas apa yang mereka rasakan dari apa
yang mereka yakini.
b. Mengintensifikasikan Solidaritas Masyarakat
Gagasan yang kedua adalah upacara religi atau agama yang biasanya
dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang
bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifikasikan
solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama menjalankan
kewajiban mereka untuk melakukan upacara-upacara yang berkaitan keyakinan
mereka dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula hanya melakukannya
setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada
dewa atau tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi,
tetapi juga karena mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu
kewajiban sosial.
B. Kajian teori
Teori merupakan alat terpenting dalam ilmu pengetahuan, karena tanpa suatu
teori, yang ada hanyalah serangkaian pengetahuan mengenai fakta. Salah satu
fungsi dari teori adalah sebagai suatu kerangka pemikiran, fungsinya sebagai
pendorong proses berpikir deduktif yang bergerak dari tak berwujud menuju ke
fakta-fakta nyata. Mengenai hal tersebut, teori yang digunakan oleh peneliti
berfungsi sebagai kerangka yang memberikan batasan kepadanya. Ini perlu
dilakukan karena dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai fakta konkret
9
sehingga pembatasan perlu diperhatikan dalam penelitian. Oleh karena itu, perlu
adanya landasan teori dalam penelitian ini agar penelitian ini tidak melebar
kemana-mana (Eka Kartini, 2013).
Agama dan kebudayaan
Perbincangan tentang agama dan budaya adalah perbincangan tentang
suatu hal yang memiliki dua sisi. Agama di satu sisi memberikan kontribusi
terhadap nilai-nilai budaya, sehingga agama bisa berdampingan atau bahkan
berasimilasi dan melakukan akomodasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat.
Menurut Anne Marie Malefijt (dalam agus, 2006:5), bahwa agama adalah the
most important aspects of culture. Aspek kehidupan beragama tidak hanya
ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi dengan institusi
budaya yang lain dalam suatu struktur masyarakat. Dari pernyataan Malefijt.dapat
disimpulkan bahwa agama mewarnai kebudayaan.
Di sisi lain, agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak
(terutama agama-agama samawi) dan universal, maka agama tidak bisa
disejajarkan dengan nilai-nilai budaya yang relatif dan lokal. Agama harus
menjadi sumber nilai bagi kelangsungan nilai-nilai budaya. Dengan demikian,
terjadilah hubungan timbal balik antara agama dan budaya. Dan yang menjadi
problem adalah apakah nilai-nilai lebih dominan dalam kehidupan masyarakat
tersebut (Wahyuni, 2013:114).
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu keduanya
merupakan sistem simbol yang diresapi, dihayati, diyakini, serta diejawantahkan
10
dalam praksis laku hidup manusia. Agama dalam perspektif ilmu-ilmu sosial
adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi
realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata
sosial. Sementara tradisi merupakan hasil cipta manusia ( dalam masyarakat
tertentu) yang berisi nilai religius. Agama maupun budaya, berasal dari potensi
bawaan (fitrah) manusia. Keduanya berkembang secara terpadu dalam kehidupan
manusia. Secara bersama pula keduanya membentuk sistem budaya dan
peradaban suatu masyarakat/bangsa. Di sisi lain, keduanya memiliki sifat yang
berbeda sifat, “kebergantungan” dan “kepasrahan, sedangkan budaya memiliki
sifat “kemandirian” dan “keaktifan”. Oleh karena itu dalam setiap tahapan
perkembangan menunjukkan adanya gejala variasi dan irama yang berbeda antara
lingkungan masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya (Marno, 2005:53-
54).
Agama dan kebudayaan kemudian berjumpa dalam sebuah ruang sosial
dan satu sama lain menampilkan identitasnya masing-masing dengan segala
keikhlasannya. Agama sebagai sebuah narasi universal dan global serta dengan
klaim absolut kemudian merespon kebudayaan sebagai narasi lokal. Meski
keduanya berbeda pada basis narasi, keduanya menempati posisi yang sama, yaitu
sama-sama menempati ruang sakral dan profane dalam kehidupan manusia.
Agama sebagai sebuah sistem religi membutuhkan perwujudan budaya dalam
bentuk simbol atau tindakan simbolis yang merupakan relasi komunikasi antara
huma-kosmis dengan komunikasi religious yang bersifat lahir maupun batin (Heru
Satoto, 2007:45).
11
1. Nilai budaya
Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan
dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-
nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan itu
dilakukan. Di Dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan
ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi
perubahan folkways dan mores (Narwoko dan Suryanto, 2013 : 55).
Makna utama dari prosesi mabbaca-baca adalah yakni berdoa kepada
Allah SWT. Pelaksaannya merupakan sebuah nilai yang dituangkan melalui cara
pelaksanaan. Proses mabbaca-baca hanyalah cara, sedangkan tujuannya adalah
berdoa. Maka dari itu tidak salah jika masyarakat mamaknainya sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, ketika ada proses berdoa maka ada orang
yang berkumpul untuk duduk menikmati hidangan yang sudah dibacakan oleh
pabbaca sehingga akan mempererat tali persaudaraan dan ikatan sosial dalam
masyarakat . Itulah nilai yang dianggap sah pada masyarakat alelebbae terkait
tradisi mabbaca-baca.
Nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai masalah. Masalah dasar
yang bersifat umum yang sangat penting serta bernilai bagi kehidupan masyarakat
(Setiadi dan Kolip, 2011: 127). Nilai pada tradisi mabbaca-baca hal yang lahir
sejak masa tumpakki hingga sekarang. Nilai itu kemudian menjadi acuan hidup
masyarakat sebagai salah satu identitas daerah yang patut dilestarikan sulit
12
dirasionalkan, tapi itulah maknanya yang menjadi nilai sebuah tradisi masyarakat
di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo.
Setiadi dan Kolip (2011: 127) unsur-unsur kebudayaan bisa seperti religi,
kekerabatan, kesenian dan sebagainya. Hal tersebut tergambar pada tradisi
mabbaca-baca tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran agama hindu dan implikasi
proses masuknya islam di Desa Alelebbae kala itu. Hal tersebut menjadi
konstruksi masyarakat sehingga menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat.
Akan tetapi, makna atau nilai sesungguhnya dari tradisi mabbaca-baca bukan
karena proses atau cara yang digunakan dalam pelaksanaannya namun bagaimana
doa yang dipanjatkan kepada Tuhan dapat di ijabah.
1.1 Teori Nilai Religi
Berdasarkan dari pelaksanaan tradisi Mabbaca-baca, jika kita bercermin
dari Teori Koentjaraningrat tentang konsep religi. Manusia sebagai ciptaan
Tuhan secara sadar memiliki hubungan individu antar manusia dengan
penciptanya. Hubungan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara baik
melalui agama maupun berbagai pola kepercayaan yang selalu dipegang teguh
dan melekat dalam kehidupan keseharian. Kebudayaan yang merupakan hasil
dari sebuah proses kehidupan manusia. Secara garis besar terdiri dari tujuh
unsur yang meliputi Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem dan
organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa, Kesenian Sistem
mata pencaharian hidup, Sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat,
1974). Dari pendapat ini dapat katakana bahwa sistem religi merupakan unsur
13
budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat baik melalui kegiatan adat
istiadat maupun upacara-upacara keagamaan.
Kesenian yang juga merupakan bagian dari unsur kebudayaan dalam
proses penciptaannya juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
religious baik sebagai sarana upacara maupun untuk keperluan adat istiadat
yang berlaku dalam kelompok masyarakat.
1.2 Teori Interaksionisme Simbolik(Herbert Blumer)
Pentingnya interaksionisme simbolik tercermin dari pandangan
mengenai objek-objek. Blummer(1966) membedakan objek-objek menjadi
tiga tipe yaitu : (1)objek-objek fisik, seperti pohon, mobil, motor, dan rumah
(2)objek-objek social seperti manusia dan kelompok (3)objek-objek abstrak,
seperti nilai, dan norma social. Suatu objek mempunyai makna yang berbeda
bagi para individu, contohnya objek fisik seperti “pohon” memiliki makna
yang berbeda bagi petani, bagi penyair, bagi pecinta lingkungan dan bagi
para pelaku industri.
Interaksi simbolik menurut blumer memiliki tiga premis utama yaitu :
1. Manusia bertindak berdasarkan makna yang ada pada sesuatu orang lain
2. Makna yang didapatkan berdasarkan hasil interaksi dengan dengan orang
lain
3. Makna-makna tersebut kemudian direvisi, diubah, atau disempurnakan
melalui proses interaksi sosial. Ketiga premis tersebut merupakan
substansi dasar untuk menciptakan struktur ide-ide dasar. Poloma(2000)
14
mengatakan perspektif yang dikemukakan oleh Blumer memiliki ide-ide
dasar yaitu :
a. Masyarakat adalah terdiri dari beberapa manusia yang saling
berinteraksi, akhirnya melakukan tindakan bersama dan akhirnya
membentuk struktur sosial.
b. Interaksi manusia terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang
berhubungan dengan kegiatan manusia yang lain. Interaksi secara
simbolik senantiasa mencakup penafsiran atas tindakan-tindakan
tersebut.
c. Objek-objek fisik, social, abstrak tidak mempunyai makna intrinsic
karena makna merupakan produk interaksi simbolik.
d. Manusia tidak hanya mengenal objek secara eksternal namun juga
mengenal dirinya sebagai objek
e. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh
manusia itu sendiri
f. Tindak tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan dengan anggota-
anggota kelompok.
Perspektif interaksionisme simbolik merupakan unit analisis tingkat
mikro, dimana actor tidak dipandang sebagai manusia yang semata-
mata responsive, tapi actor yang senantiasa mendefinisikan dan
menafsirkan setiap tindakan orang lain. Actor baik secara langsung
maupun tidak langsung didasarkan atas penafsiran makna tindakan
manusia dengan menggunakan simbol sebagai jembatan interaksi.
15
C. Kerangka Pikir
Setiap penelitian sangat diperlukan adanya kerangka berpikir pijakan
atau sebagai pedoman dalam menentukan arah dari suatau penelitian, hal ini
diperlukan agar penelitian tetap terfokus pada kajiannya yang akan diteliti.
Kerangka pikir tersebut digunakan untuk memberikan suatu konsep dalam
melaksnakan penelitian dilapangan, alur kerangka yang dibuat oleh peneliti
ini akan di deskripsikan.
Ritual Mabbaca-baca sebuah bentuk keyakinan keagamaan dan
bentuk keyakinan budaya atau tradisi yang berkembang di tengah masyarakat
di Desa Alelebbae. Dalam hal ini proses pelaksanaan Mabbaca-baca
dilakukan dengan mengundang masyarakat sekitar serta menyiapkan
hidangan khusus seperti songkolo, ayam, telur, pisangg, dupa dan
kemenyang. Proses ritual Mabbaca-baca dimakna sebagai bentuk rasa syukur
kepada Tuhan selain itu fungsi ritual Mabbaca-baca sebagai perwujudan
keagamaan dan solidaritas masyarakat desa.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
digambarkan dalam skema dari kerangka pikir dan adapun gambaran dari
skema kerangka pikir yang penulisannya yang ada di bawah ini :
16
Bagan 1 Kerangka Pikir
D. Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang meneliti tentang
Mabbaca-baca :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Muh. Aking (2018) dengan judul “Tradisi
Membaca Doa Pada Masyarakat Bugis Perantauan Di Desa Tombekuku
Kecamatan Basala Kabupaten Konawe Selatan” hasil dari penelitian
tersebut menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat masih mempertahankan
tradisi dan adat istiadatnya sebagai masyarakat bugis, yaitu tradisi
Ritual Mabbaca-baca
Keyakinan Keagamaan Keyakinan
Prosesi Pelaksanaan
Mabbaca-baca
Makna Mabbaca-Baca Fungsi Mabbaca-baca
Nilai
Moral
Sosial
17
mabbaca-baca (membaca doa ) karena sudah menjadi kepercayaan turun-
temurun yang dilakukan oleh leluhur masyarakat bugis.
Penelitian ini lebih fokus pada bagaimana masyarakat bugis perantauan
masih mempertahankan tradisi tersebut.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmatang (2016) dengan judul “ Tradisi
Massuro Mabbaca Dalam Masyarakat Rompegading Kecamatan Cenrana
Kabupaten Maros “hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa dalam
tradisi massuro mabbaca merupakan salah satu rangkaian dalam acara
yang tidak boleh terlewatkan karena acara ini merupakan bentuk rasa
syukur kepada Allah SWT. Yang telah memebrikan limpahan rahmat dan
rezeki yang tidak pernah putus. Penelitian ini lebih focus menjelaskan
tentang nilai-nilai budaya yang terkandung dalam prosesi massuro
mabbaca.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Al Mushar Firandi ( 2017) dengan Judul
“Barazanji Dalam Kajian Perspektif Modern Dan Budaya Masyarakat
Bugis Di Kelurahan Ujung Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng”
hasil penelitian ini menjelaskan bahwa dalam tradisi barzanji sebagai
kegiatan dan proses pada kehidupan masyarakat bugis.
Jadi penelitian disini Barazanji merupakan pelengkap dari upacara dari
upacara adat atau syukuran yang mereka lakukan, seperti menre aji(Naik
haji), akikah, perkawinan, mobil baru, dan lain-lain.
Meskipun cara pelaksanaannya yang berbeda tetapi tujuannya tetap
sama yaitu sebagai bentuk rasa syukur.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field
research) dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif artinya data yang
dikumpulkan bukan berupa angka melainkan data yang berasal dari naskah
wawancara, catatan lapangan, dokumentasi pribadi, catatan memo dan dokumen
resmi lainnya, dengan mengkaji Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo.
2. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan Pendekatan Fenomenologi untuk
mendapatkan data secara mudah. Schutz berpendapat dalam cresswell, 1998 :53)
menjelaskan bahwa fenomenologi mengkaji bagaimana anggota masyarakat
menggambarkan dunia hari-harinya terutama bagaimana individu dengan
kesadarannya membangun makna dari hasil interaksi dengan individu lainnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu
gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang.
19
19
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Alelebbae, Kecamatan Pitumpanua,
Kabupaten Wajo. Lokasi ini dipilih adalah masyarakat bugis di Desa
Alelebbae yang masih melaksanakan tradisi Mabbaca-baca yang merupakan
hal “wajib” mereka melaksanakan ketika ada acara-acara sakral seperti
perkawinan, naik rumah baru, habis panen, kendaraan baru seperti mobil dan
motor.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang dibutuhkan peneliti untuk melakukan penelitian ini
dilaksanakan sejak 31 April 2021 sampai tanggal 31 Mei 2021 terhitung sejak
dikeluarkannya surat izin penelitian dalam kurung waktu kurang lebih 1 bulan
untuk melakukan penelitian di lokasi penelitian yang telah ditentukan oleh
peneliti
C. Informan Penelitian
Teknik penentuan informan yang dilakukan oleh peneliti dalam
penelitian ini adalah teknik purposive sampling. Menurut sugiyono, “teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu”
(Sugiyono,2010:300). Teknik penentuan informan dengan menggunakan
purposive sampling dipilih karena teknik ini memilih orang(informan) dengan
penilaian tertentu menurut kebutuhan peneliti, sehingga dianggap layak untuk
dijadikan sumber informasi.
20
Informan penelitian yang dimaksud disini yaitu dimana peneliti diberi
informasi oleh informan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan
peneliti itu sendiri. Peneliti memilih informan kunci yaitu orang-orang yang
dipandang tahu permasalahan yang diteliti. Informan dalam penelitian ini
adalah;
a. Pabbaca : Sudah melakukan Mabbaca-baca selama kurang lebih 25
tahun.
b. Imam Desa : Sudah melakukan Mabbaca-baca selama kurang lebih 20
tahun.
c. Tokoh Masyarakat : Sudah melakukan Mabaca-baca kurang lebih 25
tahun.
d. Masyarakat : Sudah melakukan Mabbaca-baca kurang lebih 23 tahun
D. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini makna simbolik ritual mabbaca-baca di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo. Alasan peneliti dalam
menentukan fokus ini adalah masyarakat bugis di Desa Alelebbae yang
masih melaksanakan tradisi Mabbaca-baca yang merupakan hal “wajib”
mereka melaksanakan ketika ada acara-acara sakral seperti Aqiqah.
E. Instrumen Penelitian
Adapun instrument penelitian yang digunakanlah instrumen
penelitian berupa lembar observasi, panduan wawancara, dokumentasi dan
peneliti itu sendiri.sebagai pendukung dalam penelitian. Adapun instrumen
yang di maksud adalah sebagai berikut:
21
1. Catatan Lapangan, berisi catatan yang diperoleh peneliti pada saat
melakukan pengamatan langsung dilapangan.
2. Pedoman wawancara, berisi seperangkat daftar pertanyaan peneliti sesuai
dengan rumusan masalah pertanyaan.
3. Kamera yang digunakan ketika penulis melakukan observasi untuk
merekam kejadian yang penting pada suatu peristiwa baik dalam bentuk foto
maupun video.
4. recorder. Recorder digunakan untuk merekam suara ketika melakukan
pengumpulan data, baik menggunakan metode wawancara, observasi dan
sebagainya.
5. Peneliti itu sendiri.
F. Jenis dan Sumber Data
Adapun sumber data yang dikumpulkan peneliti adalah, sebagai berikut:
1. Data Primer
Data yang dikumpulkan melalui pengamatan langsung pada objek. Untuk
melengkapi data, maka melakukan wawancara secara langsung dan
mendalam dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan
sebagai alat pengumpulan data. Dalam hal ini sumber data utama (data
primer) diperoleh langsung dari setiap informan yang diwawancarai secara
langsung dalam penelitian.
a. Informan Kunci :
1. Nur Alam (Tokoh masyarakat )
2. Baco Tang (Imam Desa)
22
3. Kasmari ( Masyarakat)
a. Informan Pendukung :
1. Ilyas Mawi ( Sekretaris Desa )
2. Hj. Bolong ( Masyarakat )
3. Sitti ( Masyarakat )
4. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data-data yang dapat digunakan dari hasil buku
referensi,jurnal dan internet.
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang
dilakukan periset untuk mendapatkan data yang mendukung penelitiannya.
Penelitian ini menggunakan beberapa metode pengumpulan data yakni:
1. Metode observasi
Dalam metode pengumpulan data menggunakan metode observasi
dimana teknik pengumpulan data dilakukan untuk mengoptimalkan
kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak
sadar, kebiasaan, dan sebagainya. Pengamatan memungkinkan pengamat
untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subyek penelitian, hidup saat
itu, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subjek pada keadaan
waktu itu. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara memusatkan
perhatian terhadap fenomena-fenomena yang sedang diteliti.
Pada awal penelitian hal yang pertama dilakukan peneliti untuk melakukan
metode observasi yaitu dengan mendatang atau mengunjungi tempat
23
penelitian, setelah itu peneliti mulai melihat dan merasakan untuk
melakukan observasi terhadap masyarakat yang akan diteliti, dalam
penelitian ini peneliti membutuhkan waktu selama 2 minggu untuk
melakukan observasi di tempat penelitian, setelah data observasi dirasa telah
cukup untuk memberikan informasi maka peneliti menghentikan observasi
kemudian melanjutkan ke metode selanjutnya.
2. Metode wawancara
Dalam metode wawancara ini, peneliti terlebih dahulu membuat
daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan, sebelum itu perlu
ditetapkan terlebih dahulu informan kunci yang akan pertama kali
diwawancarai. Wawancara dilakukan selama 3 pekan dan hal yang dilakukan
sebelum wawancara dengan para informan yaitu dengan mendatangi setiap
informan secara langsung serta meminta izin dan membuat janji terlebih
dahulu untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk wawancara dengan
informan tersebut.
Setelah semuanya siap maka dilakukan wawancara dengan informan
dimana pada awal wawancara peneliti terlebih dahulu menanyakan mengenai
identitas informan seperti nama, umur dan pekerjaan. Serta peneliti juga
diwajibkan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada informan agar
informan lebih yakin dan percaya terhadap peneliti dan informasi yang
didapatkan dapat maksimal. Setelah itu peneliti mulai menanyakan satu
persatu pertanyaan yang telah dibuat oleh peneliti sebagai panduan dalam
melakukan wawancara dengan informan agar informan yang didapatkan
24
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh peneliti sehingga dibutuhkan daftar
pertanyaan yang sudah dibuat terlebih dahulu sebelum melakukan
wawancara, peneliti menulis informasi serta merekam informasi atau
pendapat yang telah disampaikan oleh informan.
Wawancara dilakukan dengan cara bertahap yaitu mulai dari informan
kunci lalu setelah itu peneliti mulai melakukan wawancara terhadap beberapa
informan pendukung yang dianggap tahu mengenai permasalahan yang
diteliti oleh peneliti
3. Dokumentasi
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. sebagian besar data yang tersedia yaitu berbentuk surat, catatan
harian, laporan dan foto.
H. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif di mana
analisis yang dilakukan berdasarkan data yang telah diperoleh sebelumnya
yang selanjutnya akan dikembangkan . menurut Miles dan Huberman analisis
data kualitatif dilakukan dengan cara interaktif dan harus berlangsung terus
menerus sampai mencapai kalimat tuntas dan data yang diinginkan terisi
penuh. Aktivitas yang dilakukan dalam teknik menganalisis data
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu :
1. Reduksi data
Kegiatan yang dimaksud adalah data yang telah diperoleh di lapangan
kemudian disatukan misalnya dari hasil observasi, interview dan dokumentasi
25
kemudian disatukan dan diringkas menjadi sebuah data yang terperinci
dengan harapan agar mudah untuk dipahami.
2. Penyajian data
Setelah data direduksi maka langkah selanjutnya adalah penyajian data.
Melalui penyajian data maka terorganisasikan, tersusun dalam pola
hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian
kualitatif, penyajian data biasa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart atau sejenisnya.
3. Pengambilan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan ini dilakukan secara konduktif, kesimpulan yang
diambil kemudian diverifikasi dengan jalan meninjau ulang catatan lapangan
dan mendiskusikannya guna mendapatkan kesepakatan intersubjektif, hingga
dapat diperoleh kesimpulan yang kokoh.
I. Teknik Keabsahan Data
Untuk memperoleh keabsahan data dari penelitian Tentang Makna
Simbolik Ritual Mabbaca-baca adalah dengan triangulasi. Hal ini dilakukan
untuk menganalisis data hasil penelitian yang berupa hasil wawancara dan
observasi melalui pengecekan ulang dari berbagai informan.
1. Triangulasi Sumber dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang sama
pada informan yang berbeda mengenai Makna Simbolik ritual Mabbaca-
baca.
26
2. Triangulasi Teknik dilakukan dengan melakukan observasi langsung
setelah melakukan wawancara dari berbagai informasi seperti data
tentang Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca.
3. Triangulasi Waktu dilakukan untuk pengecekan hasil wawancara
observasi sehingga peneliti melakukan wawancara 3-4 orang informan
dalam waktu yang berbeda dan melakukan observasi dalam secara
berkala.
J. Etika Penelitian
Etika penelitian adalah standar tata perilaku peneliti selama
melakukan penelitian, mulai dari menyusun desain penelitian,
mengumpulkan data lapangan (melakukan wawancara, observasi, dan
pengumpulan data dokumen), menyusun laporan penelitian hingga
mempublikasikan hasil penelitian. Misalnya :
1. Menginformasikan tujuan penelitian kepada informan.
2. Meminta persetujuan informan (informed Consent) untuk diwawancarai.
3. Menjaga kerahasiaan identitas informan, jika terkait informasi sensitif.
4. Meminta izin informan jika ingin merekam wawancara, atau ingin
mengambil dokumen baik secara video maupun foto.
27
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Lokasi Penelitian
1. Kabupaten Wajo
Kabupaten Wajo adalah salah satu daerah tingkat II di Provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sengkang.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 persegi dan
berpenduduk sebanyak kurang lebih 378.024 jiwa. Rata-rata tingkat
kepadatan penduduk kabupaten Wajo adalah 151 jiwa per km2.
Kabupaten Wajo terdiri dari 14 kecamatan, dengan 48 kelurahan
dan 142 desa, memiliki sumber daya alam yang besar. Kabupaten ini
terletak sekitar 242 km dari kota Makassar (Ibukota Provinsi Sulawesi
Selatan) memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir merupakan selat
dengan posisi geografis antara 3ᵒ39’- 4ᵒ16’ LS dan antara 119ᵒ53’ - 120ᵒ27
BT . Sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah hingga dataran
tinggi bergelombang dengan ketinggian 0-520 Mdpl. Hanya sebagian kecil
yang berupa perbukitan di bagian utara. Bagian timur berupa dataran
rendah dan pesisir teluk bone, termasuk pulau-pulau pasir di perairan teluk
bone sedangkan bagian barat merupakan dataran aluvial Danau Tempe-
Danau Sidenreng.
Luas wilayah Kabupaten Wajo 2.506,19 km dengan rincian lahan
berikut:
28
28
a) Persawahan : 86.000 Ha
b) Lahan tegal/kebun : 36.706 Ha
c) Lading huma : 12.177 Ha
d) Lahan pertambakan : 15.000 Ha
e) Danau Tempe : 13.000 Ha
f) Perkebunan : 29.413 Ha
g) Tanah tanaman kayu-kayu 7.226 Ha, dan lainnya 63.353 Ha
Secara morfologi, kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan di atas
permukaan laut 9(dpl) dengan rincian sebagai berikut:
a) 0 -7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,57%
b) 8 – 25 meter, luas 94,536 Ha atau sekitar 37,72 %
c) 26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90 %
d) 101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50% diatas 500
meter luasnya hanya 167 Ha atau sekitar 0.66%.
Berdasarkan data Badan pusat Statistik Kabupaten Wajo, Jumlah
penduduk kabupaten Wajo adalah 378.024 jiwa, terdiri atas 183.392 laki-
laki dan 194.632 perempuan. Dengan luas wilayah kabupaten sekitar
2.504,00 km persegi, rata-rata tingkat penduduk kabupaten Wajo 151
jiwa/km.
Kabupaten Wajo dikenal sebagai kota niaga karena masyarakatnya
yang sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup
konon memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan di daerah
29
lainnya. Selain kota niaga, kabupaten Wajo juga dikenal sebagai Kota
Sutera. Aktivitas masyarakat Wajo dalam mengelola kain sutera telah
dilakukan secara turun temurun dan dapat ditemukan hampir di setiap
kecamatan yang ada di kabupaten Wajo.
Menurut beberapa sumber arti kata Sengkang adalah tempat atau
daerah persinggahan, kedatangan, dan bersama-sama datang. Sehubungan
dengan makna sengkang tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah
Sengkang merupakan tempat strategis yang membuat orang-orang jika
melewatinya akan singgah karena adanya sesuatu yang istimewa dan
menarik ditempat ini.
Pada beberapa wilayah bugis di Sulawesi Selatan yang merupakan
bekas-bekas kerajaan proses pendiriannya diawali dengan kemunculan
sosok misterius yaitu To Manurung seperti yang diceritakan dalam epos
La Galigo, ini berbeda dengan Wajo yang terbentuk d ari bekas kerajaan
lama. Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (Wajo-Wajo). Di bawah
bayang-bayang (Wajo-Wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan
kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat yang sepakat membentuk
Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama
Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo. Ada versi lain
tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri dari
Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau
dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut
Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya
30
beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai
Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh. Saat beliau
sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru,
hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang
mengatakan Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We
Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-
raja Wajo.
Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to
manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada
umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan
elektif atau demokrasi terbatas. Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu,
termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi
dan jaminan terhadap hak-hak rakyatnya.
Adapun konsep pemerintahan adalah :
1. Kerajaan
2. Republik
3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu.
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam Lontara Sukkuna Wajo.
Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa
Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada
kebesaran dan kejayaan antara lain :
31
1. Latadampare Puangrimaggalatung
2. Petta Latiringeng To Taba Arung Simettengpola
3. Lamungkace Toaddamang
4. Latenrilai Tosengngeng
5. Lasangkuru Patau
6. Lasalewangeng To Tenri Rua
7. Lamadukelleng Daeng Simpuang, Arung Singkang
8. Lafariwusi Tomaddualeng
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Wajo yang
menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo. Beberapa versi
tentang kelahiran Wajo, yakni :
1. Versi Puang Rilampulungeng
2. Versi Puang Ritimpengen
3. Versi Cinnongtab
4. Versi Boli
5. Versi Kerajaan Cina
6. Versi masa Kebataraan
7. Versi masa ke Arung Matoa-an
32
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada hari jadi
Wajo ialah versi boli, yakni pada waktu pelantikan batara Wajo pertama
latenri bali tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon bajo). Tempat
pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah tosora
kecamatan majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya la tenri bali bersama saudaranya
bernama la tenri tipe diangkat sebagai arung cinnongtabi, menggantikan
ayahnya yang bernama la patiroi. Akan tetapi dalam pemerintahannya,
latenri tippe sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang
diistilahkan ”narempekengngi bicara tauwe”, maka latenri bali
mengasingkan dirinya ke penrang (sebelah timur tosora) dan menjadi arung
penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan
diangkat menjadi arung mata esso di kerajaan boli. Pada upacara pelantikan
dibawah pohon bajo, terjadi perjanjian antara latenri bali dengan rakyatnya
dan diakhiri dengan kalimat ”bataraemani tu mene’ na jana citta, tanae mani
riawana” (hanya batara langit di atas perjanjian kita, dan bumi di bawahnya)
naritellana petta latenri bali petta batara Wajo.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata
Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya
dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan Latenri Bali menjadi Batara
Wajo yang pertama.
33
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan
beberapa versi, yakni :
1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat
mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan
Kodingareng.
2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir,
Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan
gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan
Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama islam.
4. Versi ketika andi ninnong ranreng tuwa Wajo, menyatakan di depan
dr. sam ratulangi dan lanto dg. pasewang di sengkang pada tahun
1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang negara kesatuan
indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari
Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum
pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran
terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741. Dengan perpaduan dua
versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29
Maret 1399.
Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini
mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri
34
Maggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam
diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa
Lasangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu
terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama
Islam.
Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan
Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan
Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoe untuk membendung
ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa
dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa
dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung
Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin
menandatangani Perjanjian Bongaya.
Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan
Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan
Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka. Setelah Wajo ditaklukkan,
tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau
meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah. Hingga saat
datangnya La Maddukelleng Arung Matoa Wajo, Arung Peneki, Arung
Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang memerdekakan Wajo sehingga
mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerde kakan
Wajo).
35
Arung Matoa Wajo masih kontroversi, yaitu :
1. Versi pertama, pemegang jabatan Arung Matowa adalah Andi
Mangkona Datu Soppeng sebagai Arung Matowa Wajo ke-45, setelah
beliau terjadi kekosongan pemegang jabatan hingga Wajo melebur ke
Republik Indonesia.
2. Versi kedua hampir sama dengan yang pertama, tetapi Ranreng
Bettempola sebagai legislatif mengambil alih jabatan Arung Matowa
(jabatan eksekutif) hingga melebur ke Republik Indonesia.
3. Versi ketiga, setelah lowongnya jabatan Arung Matowa maka Ranreng
Tuwa (H.A. Ninnong) sempat dilantik menjadi pejabat Arung Matowa
dan memerintah selama 40 hari sebelum kedaulatan Wajo diserahkan
kepada Gubernur Sulawesi saat itu, yaitu Bapak Ratulangi.
Demikianlah sejarah Wajo hingga melebur ke Republik Indonesia,
kemudian ditetapkan sebagai sebuah kabupaten sampai saat ini.
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun
1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi
Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari
kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah
terbentuknya Wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap
sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia
bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya
36
mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan
lain yaitu kisah La Bandera, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke
Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya
memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal
Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan
komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang
dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul di pinggir
Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui
namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri
Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda
alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung
dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas
wilayahnya hingga ke Sebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal,
komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan
sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini
kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang
hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu,
yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun
urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti
37
oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenisui,
putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La
Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Paroi, Adat Cinnotabi
mengangkat La Tenri Bali dan La Tenri Tipe sekaligus sebagai Arung
Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga
dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang
disebut Lipu Tellu KajuruE.
La Tenri Atau menguasai wilayah majauleng, La Tenri Pekka
menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah
takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali
sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut
Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga
sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja
mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah
kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara
Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah
distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri
Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola
pertama. La Tenri Pekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian
menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi
Paddanreng ri Takkalalla menjadi Paddanreng Tua.
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa
yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi
38
Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa
yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada
pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota
persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai
saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada
pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato
Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali
ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri
Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke
Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-
1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi
yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng
sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan
La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bongaya, sehingga Wajo
diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga
berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo
menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan
membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang
Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima
kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal
sebagai Samarinda.
39
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenriruwa Arung Matowa
ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara
membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan
pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La
Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada
zamannya ia memajukan posisi Wajo secara sosial politik di antara
kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur
kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenderal (Jendral),
Koronel (Kolonel), Many Nyoro (Mayor), dan Kepiting (Kapten). Dia juga
menandatangani Large Veklaring sebagai pembaharuan dari perjanjian
Bongaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone
membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone.
Saat itu Belanda melancarkan politik pasifikasi untuk memaksa semua
kerajaan di Sulawesi Selatan tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone
melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus
membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte
Verklaring sebagai pembaharuan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara
Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah
Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi
kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak
berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontakan DI/TII.
40
Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang
dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja,
dan akhirnya menjadi kabupaten.
Struktur Kerajaan Wajo
e. Masa Batara Wajo
1. Batara Wajo = Penguasa tertinggi (1 orang)
2. Paddanreng = Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola untuk
Majauleng, Talotenreng untuk Sabbamparu dan Tuwa untuk
Takkalalla (3 orang)
3. Arung Mabbicara = Aparat pemerintah (12) orang
f. Masa Arung Matoa
1. Arung Matoa = Penguasa tertinggi (1 orang)
2. Paddanreng = Penguasa wilayah (3 orang)
3. Pabbate Lompo = Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan
Cakkuridi (3 orang)
4. Arung Mabbicara = Aparat pemerintah (30 orang)
5. Suro = Utusan (3 orang)
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.
Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE
1. Arung Bettempola = biasanya dirangkap Paddanreng Bettempola.
Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung
41
Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Pada masa Batara Wajo,
tugas ini dijabat oleh Arung Penrang
2. Punggawa = Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili
ke pejabat Arung Patappuloe
3. Petta MancijiE = Staf keprotokolan istana
2. Sejarah singkat Desa Alelebbae
Desa Alelebbae merupakan salah satu dari 23 Desa di wilayah
Kecamatan Pitumpanua yang terletak kurang lebih 7 km dari Kecamatan
Pitumpanua, Desa Alelebbae mempunyai luas wilayah 3,602 km.. Desa
Alelebbae terdiri atas tiga (3) dusun yakni Dusun Alelebbae, Dusun
Macekke’e dan Dusun Batu Titti. Desa Alelebbae adalah salah satu desa
penghasil produk-produk pertanian dan perkebunan. Berikut gambaran
tentang sejarah perkembangan desa Alelebbae yaitu dapat dilihat berikut
ini:
Pada tahun 2006 Alelebbae awalnya merupakan satu kesatuan dari
pemerintah desa Tellesang yang dipimpin oleh Hasan Basri. Namun
karena ada peraturan daerah kabupaten Wajo yang memerintahkan bagi
desa yang memiliki wilayah yang luas dan penduduk padat harus
dimekarkan, sehingga pada waktu itu terbentuklah desa persiapan Desa
Alelebbae dan dusun Alelebbae.
Pada tahun 2019 untuk pertama kalinya dilakukan pemilihan
kepala desa secara langsung melalui pemilu dan yang terpilih menjadi
kepala desa yaitu Haeruddin, SH.
42
B. Letak Geografi
1. Kondisi Geografis Kabupaten Wajo
Kabupaten Wajo dengan ibu kota Sengkang, terletak di bagian tengah
Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari Makassar Ibukota
Sulawesi Selatan mempunyai luas 2.506,19 km2 atau 4,01%dari luas
wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, terletak diantara 3ᵒ39’- 4ᵒ16’ LS dan
antara 119ᵒ53’ - 120ᵒ27 BATU yang berbatasan:
a) Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten luwu dan kabupaten
sidrap
b) Sebelah timur berbatasan dengan teluk bone
c) Sebelah selatan dengan kabupaten bone dan kabupaten soppeng
d) Sebelah barat berbatasan dengan kabupaten sidrap
Dilihat dari topografinya, Kabupaten Wajo terletak di tengah-
tengah Provinsi Sulawesi Selatan dan berdasarkan fotografi Sulawesi yang
dibagi 3(tiga) Zona Utara, Tengah, dan Selatan, maka kabupaten Wajo
terletak pada Zona tengah yang merupakan suatu depresi yang memanjang
pada arah laut tenggara dan terakhir merupakan selat.
Gambar 1 : Peta Kabupaten Wajo
43
Kabupaten Wajo tergolong beriklim tropis yang termasuk type B
dengan 29 C – 31 C atau suhu rata-rata 29 C siang hari. Daerah ini
tahunnya berlangsung agak pendek yaitu rata-rata 3 (tiga) bulan yaitu
bulan april sampai dengan bulan juli, dan bulan agustus sampai dengan
bulan oktober, curah hujan rata-rata 8.000 mm dengan 120 hari hujan.
Menurut peta geologi Indonesia, kabupaten Wajo terdiri 3 (tiga)
jenis batuan yaitu batuan vulkanik, sedimen, dan batuan pluton. Menurut
peta eksplorasi Sulawesi Selatan, jenis tanah kabupaten Wajo terdiri dari
a) Alluvial : jenis tanah ini tersebar di seluruh kecamatan.
b) Clay : jenis tanah ini terdapat pada kecamatan Pammana dan
Takkalalla
c) Podsolik : jenis tanah ini terdapat pada kecamatan maniangpajo,
tanasitolo, tempe, sajoanging, majauleng, belawa, pitumpanua.
d) Mediteran : jenis tanah ini terdapat pada kecamatan tanasitolo,
maniangpajo, pammana, belawa.
e) Grumosal : jenis tanah ini terdapat di kecamatan sabbangparu dan
pammana.
Karakteristik lahan dan potensi wilayah kabupaten Wajo yang di
dalam khasanah lontara Wajo diungkapkan sebagai daerah yang berbaring
dengan posisi yang dikatakan “Mangkulungung sibuluE Massulappe
RipottanangE Matondang Ritasi/TapparenggE” yang artinya Kabupaten
Wajo memiliki lahan 3 (tiga) dimensi yaitu :
44
1) Tanah berbukit yang berjejer dari Selatan Kecamatan Tempe ke
Utara semakin bergunung utamanta Kecamatan Maniangpajo dan
Kecamatan Pitumpanua yang merupakan wilayah pembangunan
hutan dan tanaman industri, perkebunan coklat, cengkeh, jambu mete
serta pengembangan ternak
2) Tanah dataran rendah yang merupakan hamparan sawah dan
perkebunan/tegalan pada wilayah bagian timur, selatan, tengah dan
barat.
3) Danau Tempe dan sekitarnya serta hamparan laut yang terbentang
sepanjang pesisir atau Teluk Bone di sebelah Timur merupakan
potensi untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak.
Potensi sumber daya air yang cukup besar, baik air tanah maupun air
permukaan yang terdapat di danau dan sungai-sungai yang ada
seperti sungai Bila, Sungai Walanae, Sungai Cenrana, Sungai
Gilireng, Sungai Siwa dan Sungai Awo merupakan potensi yang
dapat dan akan dimanfaatkan untuk pengairan dan penyediaan air
bersih.
Kabupaten Wajo terdapat 6 (enam) kecamatan yang merupakan
wilayah pesisir pantai yaitu :
1. Kecamatan Pitumpanua
2. Kecamatan Keera
3. Kecamatan Takkalalla
4. Kecamatan Sajoanging
45
5. Kecamatan Penrang
6. Kecamatan Bola
Jumlah Desa yang masuk dalam 6 (enam) kecamatan tersebut
adalah 25 desa yang langsung berada di pantai pesisir dan perbatasan
dengan laut, sedangkan 42 desa yang berada di daratan
Luas wilayah desa yang masuk pantai pesisir menempati sekitar
47,437 Ha dan panjang pantai keseluruhan dari 6 kecamatan tersebut
adalah 103 km.
2. Kondisi Demografis
Penduduk merupakan faktor utama dalam perkembangan suatu
wilayah/daerah. Wilayah yang dihuni penduduk yang peduli, cerdas
dan kreatif dalam memikirkan dan merencanakan perkembangan suatu
wilayah secara sistematis sampai kepada tahap implementasi serta
menjunjung nilai-nilai suatu budaya itu dapat menciptakan
kependudukan yang harmonis dalam suatu wilayah apalagi dengan
jumlah kependudukan yang terus bertumbuh, dalam artian rantai atau
regenerasi pemikir (penduduk) dalam perkembangan suatu wilayah itu
terus ada dan berkembang.
Jumlah pertumbuhan dan perkembangan penduduk dalam suatu
wilayah dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian, selain itu juga
dipengaruhi oleh faktor migrasi penduduk baik berpindah ke wilayah
lain atau masuk dalam suatu wilayah. Beberapa tahun terakhir
46
Kabupaten Wajo selalu menempati urutan kedua penduduk terpadat
setelah Kota Makassar dan merupakan salah satu daerah padat
penduduk di Sulawesi Selatan dalam beberapa tahun terakhir 2016-
2020 pertumbuhan penduduk di Wajo naik turun. Pada tahun 2016
jumlah penduduk mencapai 394,495 penduduk, dan 2017 tembus
395,583 penduduk kemudian di tahun 2018 menjadi 396.810 jiwa,
tahun 20 19 mencapai 397,814 penduduk, pada tahun 2020 turun
menjadi 379,079 penduduk. Pada catatan terakhir jumlah penduduk
Kabupaten Wajo mencapai 378.024 yang terdiri dari 183.392 laki-laki,
dan 194.632 perempuan.
3. Kondisi Umum Desa Alelebbae
1. Keadaan Geografis Desa
a. Letak dan Luas wilayah
Desa Alelebbae merupakan salah satu dari 23 Desa di
wilayah Kecamatan Pitumpanua yang terletak kurang lebih 7
km dari Kecamatan Pitumpanua, Desa Alelebbae mempunyai
luas wilayah 3,602 km. sebagian besar wilayahnya adalah
daerah Perbukitan/pegunungan.
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
b. Batas wilayah
1) Sebelah utara : Kabupaten Luwu
2) Sebelah Selatan : Desa Bau Bau
3) Sebelah Barat : Desa Lacinde
47
4) Sebelah Timur : Desa Tellesang
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
2. Iklim
Iklim Desa Alelebbae sebagaimana desa-desa lain di wilayah
Indonesia beriklim Tropis dengan dua musim, yakni Kemarau
dan hujan.
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
3. Wilayah Administrasi Pemerintah Desa
Desa Alelebbae terdiri atas Tiga (3) dusun yakni Dusun
Alelebbae , Dusun Macekke dan Dusun Batu Titti dengan jumlah
Rukun Tetangga (RT) sebanyak tujuh, sebagaimana pada tabel
berikut:
Nama Dusun Jumlah RT
Dusun Alelebbae 2
Dusun Macekke’e 3
Dusun Batu Titti 2
Tabel 1. Jumlah RT di setiap Dusun Desa Alelebbae
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
C. Keadaan Penduduk
1. Jumlah Penduduk Kabupaten Wajo
Dilihat dari jumlah penduduk, Kabupaten Wajo termasuk
Kabupaten yang ada pada kawasan Indonesia Timur, Kabupaten Wajo
berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil sensus 2020,
48
penduduk Kabupaten Wajo tercatat sebesar 379,079 jiwa. Persebaran
penduduk di Kabupaten Wajo pada 14 kecamatan sangat bervariasi. Hal ini
terlihat kepadatan penduduk per Kecamatan di Kabupaten Wajo yang masih
sangat timpang. Adapun persebaran jumlah penduduk di Kabupaten Wajo,
antara lain:
Kecamatan
Jumlah Penduduk Tahun 2020
Kecamatan Sabbangparu 24,365
Kecamatan Tempe 64,320
Kecamatan Pammana 30.712
Kecamatan Bola 19,435
Kecamatan Takkalla 19,981
Kecamatan Sajoanging 17,525
Kecamatan Penrang 14,799
Kecamatan Majauleng 30,713
Kecamatan Tanasitolo 39,324
Kecamatan Belawa 30,153
Kecamatan Maniangpajo 15,762
Kecamatan Gilireng 10,875
49
Kecamatan Keera 20,237
Kecamatan Pitumpanua 40,878
Jumlah Penduduk Kabupaten Wajo 378,024
Tabel 2. Persebaran Jumlah penduduk kabupaten Wajo
Inilah persebaran jumlah penduduk yang sebanyak ini dan tersebar pada
14 Kecamatan atau 142 desa dan 48 kelurahan, dengan kepadatan penduduk
per kilometer persegi adalah sekitar 151 jiwa.
Sumber : Statistik Daerah Kabupaten Wajo 2021
2. Jumlah Penduduk Desa Alelebbae
Penduduk Desa Alelebbae terdiri atas 295 KK dengan total jumlah
1005 jiwa per Mei 2021. Berikut perbandingan jumlah penduduk laki-laki
dan perempuan:
Laki-laki Perempuan Total
493 512 1005
Tabel 3. Jumlah penduduk Desa Alelebbae per Mei 2021
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
D. Keadaan Ekonomi
1. Mata Pencaharian di Desa Alelebbae
Sebagian besar penduduk Desa Alelebbae mempunyai mata
pencaharian sebagai petani / perkebunan. Dan kalau dipersentasekan
hampir 99% penduduk Desa Alelebbae adalah Petani.
50
2. Produk Pertanian
Adapun produk pertanian yang dihasilkan :
1) Tanaman padi = 8.300 kg/ha
2) Coklat = 1,5 Ton/ha
3) Cengkeh = 2,5 Ton/ha
4) Durian mouton = 0,5 Ton
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
E. Keadaan Pendidikan
Pendidikan adalah satu hal yang penting dalam memajukan tingkat
kesadaran masyarakat pada umumnya dan tingkat perekonomian pada khususnya,
dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat
kecakapan. Tingkat kecakapan juga akan mendorong tumbuhnya keterampilan
kewirausahaan, dan pada gilirannya mendorong munculnya lapangan pekerjaan
baru. Dengan sendirinya akan membantu program pemerintah untuk pembukaan
lapangan kerja baru guna mengatasi pengangguran. Pendidikan biasanya akan
dapat mempertajam sistematika pikir atau pola pikir individu, selain itu mudah
menerima informasi yang lebih laju.
Di desa Alelebbae tingkat pendidikan masih rendah, masih banyak anak-
anak yang tidak peduli terhadap pendidikan dan lebih memilih merantau cari
uang.
Sarana Jumlah
TK 1 Buah
51
SD/MI 1 Buah
SMP/MTS 1 Buah
SMA/MA - Buah
Tabel 4. Jumlah Sekolah di Desa Alelebbae
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
F. Keadaan Sosial Budaya
1. Keadaan Sosial di Desa Alelebbae
Keadaan sosial yang berada di Desa Alelebbae terjalin sangat baik,
mayoritas yang tinggal di Desa tersebut adalah masyarakat suku bugis,
yang merupakan masyarakat asli Desa tersebut, kerukunan dan
keharmonisan dalam lingkungan bermasyarakat tercermin terpeliharanya
rasa persatuan kekeluargaan, persaudaraan dan kebersamaan. Dan
bergotong royong jika ada salah satu masyarakat yang mengadakan
hajatan seluruh tetangga-tetangga berbondong-bondong untuk datang
membantu.
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
2. Keadaan Budaya di Desa Alelebbae
Keadaan budaya yang di Desa Alelebbae ini sangat menjunjung
tinggi jalinan Silaturahmi antar masyarakat dilihat dari setiap lebaran Idul
Fitri masyarakat di desa masih menerapkan “berziarah” atau
bersilaturahmi mengunjungi ke rumah-rumah keluarga dan tetangga dalam
kurun waktu 2-4 hari.
52
Keadaan adat dan budaya di Desa Alelebbae, masih sangat kental
dengan melakukan ritual kebudayaan yang sudah diwariskan dari setiap
generasi ke generasi selanjutnya, yaitu acara pernikahan dimana rangkaian
adat dilakukan serta beberapa budaya masyarakat pada saat “mappacci”
proses ini dilaksanakan pada malam sebelum akad nikah dilaksanakan.
Sumber : Kantor Desa Alelebbae 2021
G. Keadaan Agama
Jumlah Agama di Kabupaten Wajo Tahun 2021
N
o
Agama Jumlah Persentase (%)
1. Islam 375.331 99,7
2. Hindu 1.467 0,21
3. Kristen 996 0,009
4. Katholik 146 0,004
5. Buddha 76 0,002
Jumlah 378.024 100
Tabel 5. Jumlah Agama di Kabupaten Wajo
Sumber : Statistik Daerah Kabupaten Wajo 2021
Mayoritas Penduduk Kabupaten Wajo menganut Agama Islam
sekitar 99,7 persen dari total penduduk yang ada, dan selebihnya menganut
53
kepercayaan Hindu sekitar 0,27 persen, Kristen 0,009 persen, Katholik
0,004, serta Budha 0,002 persen. Sejauh ini kehidupan beragama di
Kabupaten Wajo berjalan cukup toleran dimana para penganut agama
tersebut hidup berdampingan tenang dan damai.
Ditinjau dari agama yang dianut, mayoritas penduduk di Kabupaten
Wajo beragama Islam.
No Sarana Jumlah
1. Mesjid 24 buah
2. Langgar/Surau 3 buah
3. Gereja 2 buah
4. Vihara 7 buah
Table 6. Jumlah Sarana Ibadah di Kabupaten Wajo
Desa Alelebbae terdiri atas Tiga (3) dusun yakni Dusun Alelebbae ,
Dusun Macekke dan Dusun Batu Titti dengan jumlah Masjid sebanyak tiga,
sebagai mana pada tabel berikut:
No Dusun Mesjid
1. Dusun Batu Titti Nur Hidayah
2. Dusun Alelebbae Babul Jannah
3. Dusun Macekke’e Al Ashar
Table 7. Jumlah Masjid di Desa Alelebbae
54
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Asal Mula Membaca-baca
Mabbaca-baca dalam bahasa Indonesia artinya membacakan doa.
Jadi dapat diartikan sebagai proses pembacaan doa. Tapi tradisi ini berbeda
dengan prosesi pembacaan doa pada umumnya. Doa dalam tradisi mabbaca-
baca dibacakan oleh orang yang dipercaya. Mabbaca-baca merupakan adat
istiadat yang membudaya di kabupaten Wajo. Sejak dahulu tradisi tersebut
sudah terlaksana hingga sekarang serta sudah menjadi rutinitas wajib bagi
masyarakat setempat pada sebuah musim. Bukan kepercayaan namun
bagian dari prosesi ibadah mereka kepada Tuhan dan jalinan antar sesama
manusia. Jadi Mabbaca-baca diartikan sebagai tradisi yang turun temurun
sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan (Erwin Irmanyanti Hamzah :
2018)
Warisan budaya tidak lepas dari kontribusi para pendahulu sebelum
akhirnya dirasakan oleh masyarakat hingga sekarang. Budaya kadangkala
lenyap pada dimensi tertentu namun ada pula yang tetap jalan hingga
menembus dimensi waktu. Terlepas dari aspek tersebut, sebuah tradisi yang
menjadi identitas berbagai daerah tidak lepas dari pengaruh masa lalu
hingga bisa hadir di tengah dinamika dan proses kehidupan.
Mabbaca-baca merupakan sebuah prosesi adat istiadat yang menjadi
rutinitas masyarakat kabupaten Wajo ketika hendak meminta keselamatan
56
55
agar pernikahannya langgeng dalam bentuk pembacaan doa secara bersama-
sama. Tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat sejak
dahulu hingga sekarang. Pada dasarnya adat ini hampir sama dengan tradisi
mabbaca-baca di daerah lain yang ada di sulawesi selatan yang
membedakan hanya dari segi penamaan serta pola konstruksi masyarakat
dalam meramu tata laksananya. (Erwin Irmanyanti Hamzah : 2018)
Jadi kehadiran tradisi ini tidak bisa dilepaskan dari proses masuknya
agama islam di kabupaten Wajo terkhusus di Desa Alelebbae. Selain itu,
tidak bisa kita hindarkan bahwa tradisi ini lahir ditengah-tengah masyarakat
atas dedikasi peranan para pendahulu.
Berkaitan dengan asal mula mabbaca-baca dimana hasil penelitian
yang didapatkan oleh peneliti dengan salah satu informan yang berinisial
N.A selaku masyarakat yang masih melakukan tradisi mabbaca-baca di
Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo berpendapat
bahwa :
Sebenarnya ini tradisi mabbaca-baca awalnya lahir dari budaya
yang secara turun-temurun dilakukan masyarakat setempat. Dan
berasal dari agama hindu, cuman masyarakat tidak mau
melenceng dari agama islam atau kepercayaannya makanya
tradisi ini tetap dianggap sebagai tradisi yang berasal dari ajaran
agama islam. (Wawancara B.T,26/05/2021 )
Menurut pendapat dari salah satu informan yang berinisial B.T
sebagai Imam desa di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten
Wajo bahwa asal mula mabbaca baca dari agama hindu dan kemudian
diwariskan kepada orang kepercayaan atau biasa disebut sebagai imam desa
56
dan hal tersebut sudah mendarah daging bagi masyarakat dan menjadikanya
sebagai kebiasaan dalam lingkungan atau biasa dikenal dengan budaya
Seiring berjalanya waktu budaya di Indonesia sudah mulai berkurang
dan hal ini bukan disebabkan dari penghapusan budaya tapi kebanyakan
budaya ditinggalkan oleh masyarakat itu sendiri dan mengikuti ajaran
zaman sekarang dimana kebanyakan budaya yang dianggap sesuatu yang
musyrik dilakukan padahal budaya yang sering dianggap oleh masyarakat
masih mengikutinya bahwa budaya adalah sosok kebiasaan dari leluhur atau
biasa dikenal dengan sesuatu yang digunakan untuk mengenang selain itu
hal lain yang begitu kuat pengaruhnya dalam mengurangi kebudayaan di
Indonesia adalah sebuah teknologi yang dapat mempengaruhi mindset
seseorang dengan cepat dimana teknologi yang kita kenal dapat
membagikan informasi di suatu tempat ke tempat yang begitu sangat luas
jangkauanya sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh dengan ajaran
modern yang sering diajarkan kepada anak masa sekarang yang dapat
membuat orang tidak peduli dengan budaya dan juga kita ketahui di
Indonesia dominan islam dimana kebanyakan pandangan para ulama bahwa
selain ajaran islam semua adalah musyrik dengan kata lain ajaran adat yang
selama ini dipertahankan sudah dianggap tidak layak bagi agama islam dan
mengapa hal tersebut tidak ada dalam ajaran agama islam.
57
2. Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo
a. Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae
Menurut Ariftanto dan Maimunah, “Makna adalah arti atau
pengertian yang erat hubungannya antara tanda atau bentuk yang berupa
lambang bunyi ,ujaran dengan hal atau barang yang dimaksudkan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka yang dimaksud makna adalah
kata yang terselubung dari sebuah tanda atau lambang , dan hasil penafsiran
dan interpretasi yang erat hubungannya dengan sesuatu hal atau barang
tertentu yang hasilnya relatif bagi penafsiran.
Kebudayaan itu bukan saja merupakan seni dalam hidup, tetapi juga
benda-benda yang terdapat di sekeliling manusia yang dibuat oleh manusia.
Itulah sebabnya kemudian kebudayaan diartikan sebagai cara hidup yang
dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya
untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur
pengalaman sosialnya. Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di
dunia. Pada kebudayaan, manusia menampakkan jejak-jejak dalam
panggung sejarah di zaman modern yang memungkinkan adanya perubahan
dalam setiap aspek budaya yaitu dari budaya tradisional menjadi budaya
modern.
Setiap kebudayaan yang diciptakan oleh manusia tentunya
mengandung makna yang tersirat di dalamnya. Ibarat sebuah simbol,
mabbaca-baca tentu tidak hadir begitu saja ditengah masyarakat kabupaten
58
Wajo. Seluk beluk kehadirannya tidak bisa dipungkiri kalau tradisi
mabbaca-baca dipelopori oleh nenek moyang dan akhirnya dinikmati hingga
sekarang. Jadi makna simbolik disini yaitu makna dari setiap yang
dilakukan dalam pelaksanaan mabbaca-baca, seperti makna simbol dari
sarana mabbaca-baca seperti symbol pisang, songkolo, telur, kemenyan, dan
dupa.
Sesuai dengan pernyataan tersebut salah informan yang
diwawancarai oleh peneliti yang berinisial I.M selaku sekretaris Desa
mengartikan mengatakan tentang arti mabbaca-baca :
Mabaca-baca merupakan tradisi yang turun temunurun dari nenek
moyang (Wawancara I.M,30/04/2021)
Sala satu pendapat informan yang berinisial I.M selaku sekretaris
desa mengartikan tradisi mabbaca baca berpendapat bahwa tradisi tersebut
adalah hal telah dilakukan sejak dulu yang selalu diberikan kepercayaan
kepada penerusnya hingga bisa bertahan sampai sekarang dalam artian
bahwa tradisi mabbaca-baca adalah amanah yang diwariskan kepada
penerusnya
Tradisi adalah kepercayaan yang tercipta dari lingkungan yang
dipertahan oleh leluhur dimana hal tersebut selalu diamanahkan oleh sala
kepercayaannya atau penerus yang lebih mudah dan bisa mempertahankan
tradisi tersebut dan juga memiliki daya tarik kepada orang sekitarnya agar
tradisi tersebut di tetap bisa diyakini oleh sekitarnya karena tanpa orang
sekitar yang mempercayai hal tersebut yakin bahwa tradisi akan hilang jadi
intinya bagaimana caranya seorang jadi kepercayaan tetap mempertahankan
59
orang orang disekitar lingkungan tersebut tetap percaya termasuk tradisi
mabbaca baca.
Selain itu pendapat yang lain juga di ungkapkan salah satu informan
membedakan makna symbol mabbaca-baca uang bernama N.A selaku tokoh
masyarakat di Desa Alelebbae Kecamatan Pirumpanua Kabupaten Wajo
berpendapat bahwa :
“Kalau saya melakukan ritual mabbaca-baca sebagai
bentuk/perwujudan dalam memanjatkan doa misalnya dalam
meminta keselamatan” (Wawancara N.A 13/05/2021)
Pendapat dari salah satu informan yang berinisial N.A selaku masyarakat
yang masih terlibat dalam melaksanakan tradisi Mabbaca-baca di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo mengungkapkan
bahwa Makna simbolik ritual Mabbaca-baca masyarakat desa memaknai
ritual Mabbaca-baca sebagai bentuk rasa syukur dan perwujudan dalam
memanjatkan doa untuk meminta keselamatan.
Dalam sebuah tradisi dilakukan oleh masyarakat itu bukanlah
sebuah tradisi sembarangan yang dilakukan masyarakat karena hal tersebut
dalam mindset masyarakat memiliki sebuah arti yang begitu sangat dalam
sehingga terkadang masyarakat yang mempercayai tentang tradisi di
lingkungan mereka itu sangat emosi ketika ada beberapa orang luar yang
tidak paham atau beda pemikiran dan mengata-gatai tradisi mereka adalah
hal yang buruk dilakukan, sebenarnya hal tersebut bukanlah atau sebuah
tradisi sesuatu hal baru didapatkan sebenarnya hal tersebut sebuah
kepercayaan yang telah diwariskan kepada leluhur dan diajarkan kepada
60
penerusnya beserta dengan arti-arti yang begitu sangat luas dan tradisi
tersebut telah dipelajari bertahun tahun. Hingga bisa berikan amanah
dalam memimpin sebuah tradisi atau biasa disebut sebagai orang
kepercayaan dalam membawakan tradisi tersebut.
b. Makna Simbolik Fasilitas dalam Proses Ritual Mabbaca-baca
Dalam menjalankan sebuah tradisi membutuhkan hal yang
dikatakan wajib dalam pelaksanaan ritual mabbaca-baca atau biasa disebut
sarana dan prasarana di mana maksud dari prasarana yaitu alat-alat yang
digunakan dalam proses mabbaca-baca.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan salah
satu informan yang berinisial N.A selaku masyarakat yang masih terlibat
dalam melaksanakan tradisi mabbaca baca di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo mengatakan :
Dalam proses ritual Mabbaca-baca item wajib yang harus
disediakan adalah Dupa yang artinya pengantara/pappalettu
selamnjutnya kemenyang yang fungsinya sama dengan dupa yang
membedakan dari segi bentuk dan kegunaannya( Wawancara N.A,
13/05/2021)
Pendapat dari salah satu informan yang berinisial N.A selaku
masyarakat yang masih terlibat dalam melaksanakan tradisi mabbaca baca
di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo
mengungkapkan arti mabbaca-baca dari segi bahan dan alat yang paling
utama digunakan saat pelaksanaan dimana dia mengartikan bahan dan alat
yang digunakan sebagai penyampaian terhadap keinginan atau istilah
lainya dalam bahasa umum adalah sebuah doa untuk mengabulkan semua
61
keinginan cdnya saat adakan tradisi mabbaca-baca Aqiqah dan doa
tersebut disampaikan melalui tradisi mabbaca-baca dengan tujuan agar
kedepannya dapat membangun keluarga yang bahagia dan diberikan
keselamatan
Adapun makna dari Dupa (dup), paduppa berarti kita melaksanakan
upacara tradisi ini, dan memiliki aroma yang sangat wangi yang bermakna
agar kita selalu merasakan aroma-aroma positif.
c. Makna Simbolik Proses Ritual Mabbaca-baca dalam Acara Aqiqah
Dalam menjalankan sebuah tradisi membutuhkan hal yang
dikatakan wajib dalam pelaksanaan ritual mabbaca-baca yaitu hidangan
yang memiliki makna dalam setiap penyajian makanan yang akan
dibacakan oleh tokoh yang dipercayakan oleh masyarakat desa Alelebbae.
Adapun makna dari setiap penyajian makanan seperti yang diutarakan
salah satu informan yaitu :
a. Otti Fanasa ( Pisang Nangka) = Parillaudampeng (Permintaan maaf)
Pisang Nangka merupakan unsur pokok dalam ritual mabbaca-baca
acara Aqiqah agar Allah senantiasa melindungi kita. Dan menu ini
tidak bisa digantikan oleh menu lain.
Hal ini berdasarkan hasil wawancara berinisial K, mengatakan bahwa :
Pisang tidak bisa diganti karena sudah jadi menu wajib dalam
melakukan ritual mabbaca-baca (Wawancara, K, 22/05/2021)
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa Dari hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti dengan salah satu informan yang berinisial K
62
selaku warga yang sampai saat ini masih mengikuti dan percaya tradisi
mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten
Wajo dimana dia mengartikan tradisi mabbaca-baca dari segi bahan
yang digunakan dimana dari setiap bahan memiliki maksud dan tujuan
dalam pelaksanaan tradisi mabbaca baca dan beberapa arti yang paling
umum diungkapkan sebagai permintaan maaf. Dan menu ini merupakan
unsur pokok yang tidak dapat digantikan oleh menu lain.
b. Sokko (Songkolo) = Parillaudampeng ( Permintaan Maaf )
Sokko (songkolo) merupakan sebuah unsur pokok atau menu wajib
yang jika tidak maka ritual mabbaca-baca tidak dapat dilakukan.
Adapun makna dari keempat macam songkolo :
1. Sokko Cella ( Merah ) = untuk na Wai e ( di air)
2. Sokko Onyi ( Kuning ) = untuk menari yase ( di atas )
3. Sokko Bolong ( Hitam ) = punnana tana e ( di tanah)
4. Sokko Pute ( Putih ) = punna lolangeng e ( makhluk yang
berkeliaran )
Hal ini berdasarkan hasil wawancara berinisial K, Mengatakan bahwa:
Songkolo tidak dapat digantikan oleh menu lain karena
sudah ditentukan bahwa harus pakai songkolo.
(Wawancara,K,22/05/2021)
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa Dari hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti dengan salah satu informan yang berinisial K
selaku warga yang sampai saat ini masih mengikuti dan percaya tradisi
mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten
63
Wajo dimana dia mengartikan tradisi mabbaca-baca dari segi bahan
yang digunakan dimana dari setiap bahan memiliki maksud dan tujuan
dalam pelaksanaan tradisi mabbaca baca dan beberapa arti yang paling
umum diungkapkan di antaranya memohon perlindungan dan
permintaan maaf dan tidak dapat digantikan oleh menu lain.
c. Nasu Lekku ( Ayam ) = paccera‟ ( persembahan)
Ayam yang dimasak dengan lengkuas ini termasuk komponen
penting dalam ritual mabbaca-baca.
Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti
dengan salah satu informan yang berinisial K selaku warga yang sampai
saat ini masih mengikuti dan percaya tradisi mabbaca-baca di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo mengatakan :
Nasu lekku(ayam) sudah jadi menu pokok dalam ritual
mabbaca-baca. (Wawancara, K,22/05/2021)
Ditempat lain yang diungkapkan informan yang berbeda melihat Ayam
merupakan bukan hal pokok dan menu ini dapat diganti dengan menu
lain. Hal ini berdasarkan pendapat informan berinisial B.T, selaku warga
yang sampai saat ini masih mengikuti dan percaya tradisi mabbaca-baca
di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo mengatakan
Bisaji diganti kalau ayam dengan menu lain seperti ikan.
(Wawancara,B.T,26/05/2021)
Dari kedua informan ini tentu melahirkan sebuah interpretasi yang
berbeda. Namun peneliti melihat pada hasil penelitian lain mengatakan
64
bahwa ayam sebagai salah satu bahan pembuatan lauk pauk yang
digunakan hampir dalam setiap jenis upacara tradisional(wajib adanya).
Hal ini diperkuat oleh peneliti sebelumnya ( Al Mushar Firandi; 2017)
d. Tello ( Telur ) = pelengkap (umum)
Telur adalah salah satu bahan wajib yang digunakan saat prosesi
mabbaca-baca dimana saat menggunakan telur biasanya telur di
padukan dengan beberapa masakan seperti di padukan songkolo yang di
diletakan di atas songkolo mengartikan sebagai puncak dimana maksud
tersebut adalah agar saat menjalani kehidupan kedepan dapat mencapai
apa yang diinginkan.
Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan informan berinisial K,
mengatakan bahwa :
Itu telur sudah jadi menu pokok dalam melakukan ritual
mabbaca-baca (Wawancara, K,22/05/2021)
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa Dari hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti dengan salah satu informan yang berinisial K
selaku warga yang sampai saat ini masih mengikuti dan percaya tradisi
mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten
Wajo dimana dia mengartikan tradisi mabbaca-baca dari segi bahan
yang digunakan dimana dari setiap bahan memiliki maksud dan tujuan
dalam pelaksanaan tradisi mabbaca baca sebagai komponen pokok dan
beberapa arti yang paling umum diungkapkan di antaranya memohon
perlindungan kepada Allah Swt.
65
e. Bembe (Kambing) = Paccera‟ (persembahan)
Kambing merupakan menu wajib dalam ritual mabbaca-baca di acara
Aqiqah, yang jika tidak ada maka ritual mabbaca-baca tidak dapat
dilakukan. Adapun persyaratan jika anak perempuan maka kambing
yang disembeli hanya 1 ekor dan jika anak laki-laki maka kambing
yang disembeli 2 ekor.
Hal ini berdasarkan hasil wawancara informan berinisial K yang
mengatakan bahwa :
Degaga sebenarna sullai-sullaingenna nasaba anu pura mettoni
itentukan makkeda bembe pa. (Wawancara,K,22/05/2021)
Artinya : „Tidak bisa diganti karena sudah merupakan komponen
pokok dalam acara ritual mabbaca-baca di acara aqiqah”
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa Dari hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti dengan salah satu informan yang berinisial K selaku
warga yang sampai saat ini masih mengikuti dan percaya tradisi mabbaca-
baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo dimana
dia memaknai sebagai paccera’(persembahan) yang memiliki arti memohon
perlindungan agar diberi keselamatan oleh Allah Swt. Dan tidak dapat
digantikan oleh menu lain.
Tradisi mabbaca-baca adalah sebuah keyakinan yang diwariskan dari
zaman dulu dimana hal tersebut memiliki sebuah makna sangat dalam bagi
masyarakat yang sampai saat ini masih menjalankan tradisi tersebut diman
makna yang dimaksud adalah permohonan maaf atas kesalahan dalam
menjalankan sebuah kehidupan, meminta perlindungan dan di berikan
66
kebahagiaan yang diartikan permohonan maaf dimana artinya sebagai
makhluk sosial yang tidak luput dari sebuah kesalahan agar dapat di arahkan
ke sesuatu yang lebih benar, kemudian meminta perlindungan yang
diartikan bahwa agama dapat dilindungi dari segi marabahaya dan di
perlihatkan jalan yang menghindari dari bahaya dan diberikan kebahagiaan
diartikan sebagai agar selalu di diarahkan ke sesuatu yang lebih baik dalam
menjalani kehidupan dan terhindar dari malapetaka yang dapat merusak
suasana dalam kehidupan
Sarana dan prasarana yang digunakan dalam proses mabbaca baca
semuanya memiliki arti dalam pelaksanaanya dimana prasarana yang biasa
digunakan sesuai dengan apa yang didapatkan di lapangan berupa makanan
makanan yang sudah ditentukan dan disajikan di sebuah piring yang telah
disediakan atau sesuai dengan aturan yang berlaku saat melakukan prosesi
mabbaca-baca dan adapun sarananya yaitu sebuah doa yang dilantunkan
kepada leluhur dengan bacaan ayat alquran.
3. Proses Pelaksanaan Mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo
a. Proses Pelaksanaan Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae
Masyarakat Bugis dikenal memiliki budaya atau tradisi yang sangat
kental salah satunya terletak di Kabupaten Wajo yang merupakan daerah
yang penduduknya adalah suku bugis yang masih kental dengan tradisi
Mabbaca-baca, terutama di Desa Alelebbae, Kecamatan Pitumpanua,
Kabupaten Wajo. Tradisi Membaca-baca, dalam bahasa bugis Mabbaca-
67
baca artinya membaca doa. Jadi Mabbaca-baca dapat kita artikan sebagai
proses pembacaan doa. Tapi tradisi Mabbaca-baca ini tidak seperti
membaca doa pada umumnya. Doa dibacakan oleh seorang Pembaca (orang
yang dipercaya waktu-waktu tertentu, seperti ketika sudah lebaran, setelah
panen padi, naik rumah baru, waktu-waktu tertentu untuk meminta
keselamatan dan mengucap syukur kepada sang pencipta atas segala yang
diberikan.
Pelaksanaan Mabbaca-baca dilakukan dengan menyediakan
berbagai macam makanan, dalam sampel di ambil dalam penelitian ini
adalah proses mebaca baca saat melakukan pernikahan dan saat melakukan
prosesi mabaca baca di pernikahan yang paling utama disiapkan adalah
makanan dan adapun makanan yang paling utama disediakan adalah sokko
bolong (songkolo hitam) dan sokko pute (songkolo putih), sokko cella
(songkolo merah), sokko onyi (songkolo kuning), nasu lekku (ayam
kampung yang dimasak dengan banyak lengkuas), otti fanasa ( pisang
nangka), rang tello ( telur rebus), dan masih banyak makanan lain serta yang
paling penting dan tidak boleh dilewatkan adalah dupa dan kemenyang.
Di dalam kesempatan, dimana anggota keluarga dan tetangga
berkumpul, solidaritas sosial yang berbentuk pemberian makanan yang
sudah dibacakan oleh pabbaca(pembaca)
Dan adapun proses pelaksanaan dilakukan saat pelaksanaan mabbaca-
baca terutama saat melakukan Aqiqah sebagai berikut :
68
1. Tahap Persiapan Mabbaca-baca saat melakukan Aqiqah
Pelaksanaan upacara mabbaca baca terdiri dari tahapan yaitu
tahap persiapan dan tahap pelaksanaan Tahapan persiapan adalah tahap
yang berguna untuk merumuskan dan Mengumpulkan alat serta bahan
yang akan digunakan dalam pelaksanaan upacara Mabbaca-baca.
Adapun tahapan prosesi persiapan tersebut seperti berikut. Sebelum
pelaksanaan upacara mabaca-baca, para kerabat ikut membantu proses
pelaksanaan Mabbaca-baca.
Adapun hasil wawancara yang dilakukan peneliti berkaitan
dengan prosesi mabbaca baca terkhusus saat melakukan dengan salah
satu informan berinisial K selaku masyarakat yang masih menerapkan
ritual mabbaca baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua
Kabupaten Wajo mengatakan :
“Pada engka maneng bali bola macawe e sibawa keluarga-keluarga
e jokka bantuki mappatala ero ifakewe akko mamba cake. Engka to
jokka molliwi pak imam atau pembaca ero biasa” (Wawancara K,
22/05/2021)
Artinya :
para tetangga terdekat dan para keluarga datang untuk membantu
untuk mempersiapkan bahan-bahan yang akan dipakai selama
kegiatan mabbaca. Ada juga yang pergi panggil pak imam atau
pabbaca yang sering dipanggil.
Pendapat dari salah satu informan berinisial K selaku
masyarakat yang masih menerapkan ritual mabbaca baca di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo berpendapat bahwa
saat melakukan prosesi ritual mabbaca-baca adalah semua orang yang
69
ada di lingkungan tersebut dan keluarga yang ada waktunya datang
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, para masyarakat
dalam proses mabbaca baca membagi tugas agar saling mempercayai
dalam melaksanakan tugas tersebut
2. Peralatan yang digunakan saat proses Mabbaca-baca dalam acara
Aqiqah
Menyambut pembacaan Mabbaca-baca ini, keluarga yang
melaksanakan Pembacaan mabaca baca terlebih dahulu membuat suatu
hidangan yang akan di bawa keluar dan di letakan di depan Imam atau
tokoh masyarakat yang disebut Pabbaca, hidangan tersebut dalam
bahasa bugis disebut nanre mabaca-baca (hidangan baca-baca)
Hidangan tersebut diletakan didepan Imam dan akan di doakan agar
menjadi. Dalam hidangan tersebut memiliki berbagai macam makanan
yang disajikan dalam proses mabbaca-baca.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan salah
satu informan yang berinisial S tentang bentuk penyajian dan jenis
makanan yang digunakan saat prosesi mabbaca-baca dalam acara sakral
aqiqah, mengatakan :
“Iyye mabiasae, iyyanaritu siseppe oti fanasa, 4 rufanna sokko
iyyanaritu pute, cella‟, bolong, onyi sibawa 2 rang tello‟, seddi
manu (inasu lekku), seddi bembe akko makkunrai dua bembe akko
burane wai sikaca silollong akkonyong”
Adapun makanan di depan prabaca saat melakukan prosesi
mabbaca-baca di antaranya :satu pisang nangka, songkolo sempat
macam(putih,hitam,merah,kuning) satu ekor ayam, dua telur rebus
satu ekor kambing jika yang di aqiqah itu perempuan dan jika laki-
70
laki kambing yang disembelih itu dua ekor. (Wawancara
S,29/05/2021)
Selain itu pendapat yang lain juga diungkapkan salah satu informan
yang bernama Hj. B persiapan yang dilakukan saat proses membaca
dilakukan
sebelum membaca-baca dimulai, tuan rumah mengeluarkan
hidangan mabaca-baca. hidangan itu berupa songkolo disusun ke
atas(sesso) di sertai dua telur rebus, satu ekor ayam (nasu lekku),
kambing satu ekor(perempuan) kambing dua ekor(laki-laki) (
Wawancara H.B, 29/05/2021)
Dari kedua pendapat informan tentang peralatan dan bentuk
penyajian yang dilakukan saat proses mabbaca-baca dilakukan
berpendapat bahwa sebelum membaca-baca dimulai, tuan rumah
mengeluarkan hidangan mabbaca-baca berupa lauk-pauk yang akan
dimakarm nantinya bersama para undangan. hidangan itu berupa satu
pisang nangka empat macam songkolo satu ekor ayam dua telur rebus
satu ekor kambing(perempuan) dan dua ekor kambing (laki-laki) yang
dimaksud sesuai dengan pendapat informan yaitu :
1) 1 (satu) pisang nangka
2) 4 (empat) macam songkolo disusun ke atas
a. Songkolo putih
b. Songkolo merah
c. Songkolo hitam
d. Songkolo kuning
3) 2(dua) telur rebus
4) 1 (satu) eko ayam nasu lekku‟
71
5) 1 Kambing (perempuan), 2 kambing (laki-laki)
6) 1 (satu) air disertai obokan
Dalam proses mabbaca-baca yang paling utama adalah sebuah
imam atau biasa dikenal dengan orang di berikan amanah dalam
memimpin saat melakukan ritual mabbaca-baca dimana orang tersebut
adalah orang telah mempelajari tatacara pelaksanaan hingga bacaan
yang ingin dilakukan saat melakukan ritual tersebut karna dalam bacaan
ada sebua yang dilontarkan yang memiliki keinginan agar dapat
dikabulkan kedepannya.
3. Bacaan Saat Proses Ritual Mabbaca-baca dalam acara Aqiqah
Berkaitan dengan hal tersebut hasil wawancara yang dilakukan
oleh peneliti dengan salah satu informan yang bernama B.T selaku
Imam desa yang sering memimpin saat melakukan ritual mabbaca
berpendapat tentang bacan diucapkan saat melakukan ritual mabbaca
baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo
mengatakan mengatakan :
Semua bacaan saat melakukan mabbaca-baca itu semuanya sama dan
adapun bacaanya :
“ Bismillahirrahmanirrahim Asyahadu Alla Ilaha Ilallah Wa
asyhadu anna MuhammaDarrasulullah.
“Nia‟ tongging ku ri Puang Allahu Ta‟ala teppang dupa lebbi
atena hawa mancaji dupa mappalettu aseng tongeng mu iko dupa e
tafalettukeng ri Fuangku Sewwa e Allahu Ta‟ala. Taddampengeng
tatulung ngatapaterimaiwi alusu‟na nyawa tuo na tau tongeng na
nabi ta Muhammad Saw. Millau damping nga millau tulung nga ri
alsina nutarimai siba madeceng ladengekku teppang dupa ku
makko tofa pattuana passelamakku iyya sekeluarga ri Puang
Allahu Ta'ala''
72
Lanjut baca Al Fatihah
“bismillāhir-raḥmānir-raḥīm al-ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn ar-
raḥmānir-raḥīm māliki yaumid-dīn iyyāka na'budu wa iyyāka
nasta'īn ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm ṣirāṭallażīna anamta 'alaihim
ghairil-magḍụbi 'alaihim wa laḍ-ḍāllīn” ( Wawancara informan
berinisial B.T, 26/05/2021)
Dari hasil wawancara dilakukan oleh peneliti dengan salah satu
informan yang berinisial B.T selaku imam desa yang sering memimpin
saat melakukan ritual mabbaca berpendapat tentang bacan diucapkan
saat melakukan ritual mabbaca baca di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo bahawa semua bacaan diucapkan saat
melakukan ritual apapun itu semuanya sama dan secara otomatis
persiapan pun juga dalam melakukan proses membaca juga sama yang
bertujuan agara doa yang diutarakan dapat dikabulkan
Pelaksanaan Mabbaca-baca dilakukan dengan menyediakan
berbagai macam makanan, namun makanan yang paling utama
disediakan adalah sokko bolong (songkolo hitam) dan sokko pute
(songkolo putih), nasu lekku (ayam kampung yang dimasak dengan
banyak lengkuas), otti fanasa ( pisang nangka), rang tello ( telur rebus),
dan masih banyak makanan lain serta yang paling penting dan tidak
boleh dilewatkan adalah dupa dan kemenyang.
Di dalam kesempatan, dimana anggota keluarga dan tetangga
berkumpul, solidaritas sosial yang berbentuk pemberian makanan yang
sudah dibacakan oleh pembaca. Dengan memperhatikan tradisi
mabbaca-baca sebagai bagian bentuk siklus sosial masyarakat dan
dengan mempertimbangkan bahwa tradisi seperti ini adalah bagian cara
73
anggota keluarga dan anggota masyarakat memindahkan nilai-nilai
agama melalui kenangan panjang tentang sejarah sosial kehidupan Nabi
Muhammad sebagai Rasul.
Namun seiring berjalannya waktu berbagai macam spekulasi
muncul di tengah masyarakat dengan kehadiran ritual tersebut. Hal ini
didasari karena ternyata masyarakat di desa tersebut masih belum
paham dengan motif ritual Mabbaca-baca apakah itu dari keyakinan
keagamaan atau hanya budaya atau tradisi yang turun-temurun, Selain
itu banyak masyarakat yang masih mengaitkannya dengan hal mistis
sehingga menimbulkan sebuah dampak bagi lingkungan.
Dampak sebuah tradisi sangatlah kuat bagi mindset masyarakat
dimana diketahui bahwa ajaran tradisi sudah mendarah daging bagi
masyarakat yang menekuni tradisi tersebut dengan adanya tradisi dapat
memperkuat keyakinan masyarakat tentang kehidupan di lingkungan
dimana kebanyakan ajaran diketahui bahwa memiliki suatu nilai positif
yang dapat mempertahankan keyakinan masyarakat sehingga dapat
bertahan sampai sejauh ini
Dalam perkembangan teknologi juga ada kaitanya dengan
menurunya adat yang ada di Indonesia bahkan sampai sejauh ini banyak
anak anak yang tidak tahu adat berasal dari daerah mereka itu
disebabkan sampai sejauh ini sudah banyak masyarakat yang
memandang negatif kondisi adat atau tradisi suatu daerah dimana saat
74
ini banyak anak anak yang ikut terpengaruh tentang pemahaman orang
luar yang memandang negatif adat atau tradisi di Indonesia
Adapun hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan
salah satu informan yang berinisial N.A. berkaitan dengan dampak
Negatif yang menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya
tradisi mabbaca-baca yang timbul di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo mengatakan :
Iya, sekarang ada beberapa kepala keluarga yang sudah
meninggalkan tradisi tersebut. Karena menganggap bahwa tradisi
tersebut musyrik ( Wawancara informan berinisial N.A, 13/05/2021)
Hasil wawancara dengan salah satu informan yang berinisial
N.A berkaitan dengan dampak Negatif yang menyebabkan terjadinya
pergeseran nilai-nilai budaya tradisi mabbaca-baca yang timbul di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo berpendapat bahwa
saat ini sudah banyak masyarakat yang memandang tradisi mabbaca
baca dari segi negatif bahkan menganggap tradisi mabbaca baca
sebagai msurik dilakukan oleh masyarakat
Pendapat lain yang diungkapkan salah satu informan yang
berinisial B.T sebagai Imam desa di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo yang melihat dari segi dampak saat
pelaksanaanya dihentikan atau menghilangkan kepercayaan terhadap
tradisi mabbaca-baca bagi warga menjalaninya di Desa Alelebbae
Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo mengatakan :
Bagi masysarakat yang pernah meyaklini tradisi dan
meninggalkanya akan terkena penyakit. Dan dihantui oleh mahluk
75
(arwah) yang selalu di kasih selama ini ( Wawancara, B.T,
26/05/2021)
Pendapat yang serupa juga diungkapkan salah satu informan
yang berinisial N.A sebagai sebagai warga yang masih mengikuti tradisi
mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten
Wajo yang melihat dari segi dampak saat pelaksanaanya dihentikan
atau menghilangkan kepercayaan terhadap tradisi mabbaca-baca bagi
warga menjalaninya di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua
Kabupaten Wajo mengatakan :
Dampak buruknya, Marah
“ Niga tuli yaleng yero fadato laona massappa makkeda magi dena
najampangi ki e” biasa langsung nafakennai lasa. ( Wawancara, N.A,
13/05/2021)
Artinya : yang selalu dikasih akan merasa sudah tdk diperhatikan lagi
sehingga akan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan
Pendapat dari beberapa informan selaku warga di Desa
Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo yang melihat dari
segi dampak saat pelaksanaanya dihentikan atau menghilangkan
kepercayaan terhadap tradisi mabbaca baca bagi warga menjalaninya di
Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo Berpendapat
bahwa bagi masyarakat yang pernah terlibat dalam pelaksanaan tradisi
mabbaca-baca dan tiba menghentikanya akan terkena dampak dari
leluhur dalam artian bahwa leluhur yang selama ini mereka anggap
sebagai petunjuk jalan keden agar terhindar dari segala mara bahaya
kemudian tiba menghentikanya dan hal ini sama saja mengkhianati
seseorang yang selama ini dipercaya
76
Dalam pelaksanaan sebuah adat kadang ada orang yang begitu
sangat percaya sehingga sampai sejauh ini masih ada beberapa adat di
Indonesia yang bertahan di sebabkan karena masih ada beberapa
kepercayaan dari masyarakat mereka yang sangat kuat dalam
mempertahankan tradisi tersebut dan mereka dapat bertahan berbagai
godaan dari lingkungan yang saat ini banyak ingin menghilangkan
tradisi adat di Indonesia
Adapun hasil wawancara yang diungkapkan salah satu informan
yang berinisial K sebagai warga yang masih sangat percaya terhadap
tradisi mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua
Kabupaten Wajo mengatakan :
Dengan menjalankan setiap ada acara-acara sakral seperti aqiqah
(Wawancara informan berinisial K, 22/05/2021)
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu
informan yang berinisial K sebagai warga yang masih sangat percaya
terhadap tradisi mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo berpendapat bahwa cara mempertahankan
tradisi mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua
Kabupaten Wajo dengan cara mengikuti setiap ada pelaksanaan yang
diadakan oleh Desa.
Dampak yang di sebabkan dari tradisi bagi orang yang sangat
mempercayainya memanlah bukanlah sesuatu tidak masuk akal tapi di
lakukan keyakinan yang begitu kuat dan buka berarti mereka penganut
77
tradisi tersebut adalah seorang musrik dan kebanyaka dari mereka
adalah orang orang yang taat terhadap aturan ajarana agama apalagi
kebanyakan dari masyarakat yang menjalankan tradisi tersebut dominan
islam bahkan kebanyakan masyarak menjalani tradisi tersebut lebih taat
terhadap jaran agama di bandingkan dengan masyarakat yang
mengaggap ajaran tradisi tersebut adalah ajaran musrik
Selain itu hal tersebut dampak sangat berpengaruh terhadap
pada kehidupan di zaman sekarang karena sudah banyak pengaruh dari
luar yang mengajarkan tentang tradisi mabbaca baca adalah musyrik
seperti yang dikatakan salah satu pendapat informan yang berinisial Hj.
B tentang pengaruh di zaman sekarang tentang tradisi mabbaca-baca
mengatakan :
Banyak sekarang yang tinggalkan ini ritual, apalagi dizaman
modern ini sudah banayak masyarakat yang tidak lakukan karna
menganggap tidak ada dalam ajaran agama islam, jadi hanya
orang-orang tertentu saja.( Wawancara, H.B, 29/05/2021)
Pendapat dari salah satu informan tentang pengaruh di zaman
sekarang tradisi mabbaca baca dimana saat ini peminat melakukan
tradisi tersebut sudah mulai berkurang disebabkan karena ajaran
modern yang menganggap tradisi mabbaca-baca tidak ada dalam ajaran
agama islam.
78
B. PEMBAHASAN
1. Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo
a. Makna Simbolik Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae
Menurut Ariftanto dan Maimunah, “Makna adalah arti atau
pengertian yang erat hubungannya antara tanda atau bentuk yang berupa
lambang bunyi ,ujaran dengan hal atau barang yang dimaksudkan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka yang dimaksud makna adalah
kata yang terselubung dari sebuah tanda atau lambang , dan hasil penafsiran
dan interpretasi yang erat hubungannya dengan sesuatu hal atau barang
tertentu yang hasilnya relatif bagi penafsiran.
Kebudayaan itu bukan saja merupakan seni dalam hidup, tetapi juga
benda-benda yang terdapat di sekeliling manusia yang dibuat oleh manusia.
Itulah sebabnya kemudian kebudayaan diartikan sebagai cara hidup yang
dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya
untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur
pengalaman sosialnya. Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di
dunia. Pada kebudayaan, manusia menampakkan jejak-jejak dalam
panggung sejarah di zaman modern yang memungkinkan adanya perubahan
dalam setiap aspek budaya yaitu dari budaya tradisional menjadi budaya
modern.
Setiap kebudayaan yang diciptakan oleh manusia tentunya
mengandung makna yang tersirat di dalamnya. Ibarat sebuah simbol,
79
mabbaca-baca tentu tidak hadir begitu saja ditengah masyarakat kabupaten
Wajo. Seluk beluk kehadirannya tidak bisa dipungkiri kalau tradisi
mabbaca-baca dipelopori oleh nenek moyang dan akhirnya dinikmati hingga
sekarang. Jadi makna simbolik disini yaitu makna dari setiap yang
dilakukan dalam pelaksanaan mabbaca-baca, seperti makna simbol dari
sarana mabbaca-baca seperti symbol pisang, songkolo, telur, kemenyan, dan
dupa.
Bentuk intrepretasi masyarakatterhadap nilai dalam bentuk ritual
adat yan dilakukan sebagai ciri khas dalam tradisi seperti yang terjadi di
Desa Alelebbae mengenai makna Simbolik Ritual Mabbaca-bac masyarakat
desa Memaknai Ritual Mabbaca-baca debagai bentuk rasa Syukur dan
perwujudan dalam memanjatkan doa untuk meminta keselamatan.
Pada penelitian ini menggunakan teori Nilai Religi dimana manusia
sebagai ciptaan Tuhan secara sadar memiliki hubungan individu antar
manusia dengan penciptanya. Hubungan tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai cara baik melalui agama maupun berbagai pola kepercayaan yang
selalu dipegang teguh dan melekat dalam kehidupam keseharian.
b. Makna Simbolik Fasilitas dalam Proses Ritual Mabbaca-baca
Dalam menjalankan sebuah tradisi membutuhkan hal yang dikatakan
wajib dalam pelaksanaan ritual mabbaca-baca atau biasa disebut sarana dan
prasarana di mana maksud dari prasarana yaitu alat-alat yang digunakan
dalam proses mabbaca-baca.
80
Adapun makna dari Dupa (dup), paduppa berarti kita melaksanakan upacara
tradisi ini, dan memiliki aroma yang sangat wangi yang bermakna agar kita
selalu merasakan aroma-aroma positif.
c. Makna Simbolik Proses Ritual Mabbaca-baca dalam Acara Aqiqah
Dalam menjalankan sebuah tradisi membutuhkan hal yang dikatakan
wajib dalam pelaksanaan ritual mabbaca-baca yaitu hidangan yang
memiliki makna dalam setiap penyajian makanan yang akan dibacakan oleh
tokoh yang dipercayakan oleh masyarakat desa Alelebbae.
Dalam proses proses ritual mabbaca-baca dalam acara aqiqa perlu
dipersiapkan beberapa menu wajib sebelum melakukan ritual mabbaca-baca
yang memiliki makna khusus dalam setiap menunya.
Adapun makna dari setiap penyajian makanan seperti yang diutarakan
salah satu informan yaitu :
1. Otti Fanasa ( Pisang Nangka) = Parillaudampeng (Permintaan maaf)
Pisang Nangka merupakan unsur pokok dalam ritual mabbaca-baca
acara Aqiqah agar Allah senantiasa melindungi kita. Dan menu ini
tidak bisa digantikan oleh menu lain.
2. Sokko (Songkolo) = Parillaudampeng ( Permintaan Maaf )
Sokko (songkolo) merupakan sebuah unsur pokok atau menu wajib
yang jika tidak maka ritual mabbaca-baca tidak dapat dilakukan.
Adapun makna dari keempat macam songkolo :
81
a. Sokko Cella ( Merah ) = untuk na Wai e ( di air)
b. Sokko Onyi ( Kuning ) = untuk menari yase ( di atas )
c. Sokko Bolong ( Hitam ) = punnana tana e ( di tanah)
d. Sokko Pute ( Putih ) = punna lolangeng e ( makhluk yang
berkeliaran )
3. Nasu Lekku ( Ayam ) = paccera‟ ( persembahan)
Ayam yang dimasak dengan lengkuas ini termasuk komponen
penting dalam ritual mabbaca-baca. Namun dapat diganti dengan item
lain seperti ikan.
4. Tello ( Telur ) = pelengkap (umum)
Telur adalah salah satu bahan wajib yang digunakan saat prosesi
mabbaca-baca dimana saat menggunakan telur biasanya telur di
padukan dengan beberapa masakan seperti di padukan songkolo yang di
diletakan di atas songkolo mengartikan sebagai puncak dimana maksud
tersebut adalah agar saat menjalani kehidupan kedepan dapat mencapai
apa yang diinginkan.
5. Bembe (Kambing) = Paccera‟ (persembahan)
Kambing merupakan menu wajib dalam ritual mabbaca-baca di acara
Aqiqah, yang jika tidak ada maka ritual mabbaca-baca tidak dapat
dilakukan. Adapun persyaratan jika anak perempuan maka kambing
yang disembeli hanya 1 ekor dan jika anak laki-laki maka kambing
yang disembeli 2 ekor.
82
Tradisi mabbaca-baca adalah sebuah keyakinan yang
diwariskan dari zaman dulu dimana hal tersebut memiliki sebuah
makna sangat dalam bagi masyarakat yang sampai saat ini masih
menjalankan tradisi tersebut diman makna yang dimaksud adalah
permohonan maaf atas kesalahan dalam menjalankan sebuah
kehidupan, meminta perlindungan dan di berikan kebahagiaan yang
diartikan permohonan maaf dimana artinya sebagai makhluk sosial
yang tidak luput dari sebuah kesalahan agar dapat di arahkan ke sesuatu
yang lebih benar, kemudian meminta perlindungan yang diartikan
bahwa agama dapat dilindungi dari segi marabahaya dan di perlihatkan
jalan yang menghindari dari bahaya dan diberikan kebahagiaan
diartikan sebagai agar selalu di diarahkan ke sesuatu yang lebih baik
dalam menjalani kehidupan dan terhindar dari malapetaka yang dapat
merusak suasana dalam kehidupan
Setiap kebudayaan yang diciptakan oleh manusia tentunya
mengandung makna yang tersirat di dalamnya. Ibarat sebuah simbol,
mabbaca-baca tentu tidak hadir begitu saja ditengah masyarakat kabupaten
Wajo. Seluk beluk kehadirannya tidak bisa dipungkiri kalau tradisi
mabbaca-baca dipelopori oleh nenek moyang dan akhirnya dinikmati hingga
sekarang. Jadi makna simbolik disini yaitu makna dari setiap yang
dilakukan dalam pelaksanaan mabbaca-baca, seperti makna simbol dari
sarana mabbaca-baca seperti symbol pisang, songkolo, telur, kemenyan, dan
dupa.
83
Adapun penelitian bersesuaian dengan Teori Interaksionisme
Simbolik dimana hal menunjukan Pentingnya interaksionisme simbolik
tercermin dari pandangan mengenai objek-objek. Interaksi simbolik adalah
makna yang di dapatkan berdasarkan hasil interaksi dengan orang lain dan
tindakan manusia adalah tindakan interpetatif yang dibuat oleh manusia itu
sendiri.
Sebagai makhluk sosial dan juga sebagai makhluk komunikasi,
manusia menggunakan berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh
manusia itu sendiri maupun yang bersifat alami. Pada dasarnya makna
simbolik terbagi atas dua makna yaitu secara khusu dan secara umum .
Pada tradisi mabbaca baca banyak mengandung makna melalui simbol-
simbol yang memiliki makna tertentu yang hanya dapat dipahami oleh
masyarakat suku masyarakat yang yang masih mempercayai tradisi itu
sendiri. Makanan tradisi mabbaca arti sangat dalam saat pelaksanaannya
dimana makna-makna tersebut disampaikan melalui sebuah sarana
prasarana yang disiapkan pada sebuah acara dan setiap tindakan memiliki
arti khusus dan secara umum
Makna secara umum tradisi mabbaca baca yaitui makan yang dapat
di artikan oleh masyarakat awam atau seorang yang tidak terlalu mendalami
pelaksanaan tradisi mabaca baca dimana hasil penelitian yang di dapatkan
makna mabaca baca secara umum yaitu tradisi yang di turunkan oleh leluhur
atau amanh yang di wariskan kepada penerusnya
84
2. Proses Pelaksanaan Mabbaca-baca di Desa Alelebbae Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo
a. Proses Pelaksanaan Ritual Mabbaca-baca di Desa Alelebbae
Masyarakat Bugis dikenal memiliki budaya atau tradisi yang sangat
kental salah satunya terletak di Kabupaten Wajo yang merupakan daerah
yang penduduknya adalah suku bugis yang masih kental dengan tradisi
Mabbaca-baca, terutama di Desa Alelebbae, Kecamatan Pitumpanua,
Kabupaten Wajo. Tradisi Membaca-baca, dalam bahasa bugis Mabbaca-
baca artinya membaca doa. Jadi Mabbaca-baca dapat kita artikan sebagai
proses pembacaan doa. Tapi tradisi Mabbaca-baca ini tidak seperti
membaca doa pada umumnya. Doa dibacakan oleh seorang Pembaca (orang
yang dipercaya waktu-waktu tertentu, seperti ketika sudah lebaran, setelah
panen padi, naik rumah baru, waktu-waktu tertentu untuk meminta
keselamatan dan mengucap syukur kepada sang pencipta atas segala yang
diberikan.
Pelaksanaan Mabbaca-baca dilakukan dengan menyediakan
berbagai macam makanan, dalam sampel di ambil dalam penelitian ini
adalah proses mebaca baca saat melakukan pernikahan dan saat melakukan
prosesi mabaca baca di pernikahan yang paling utama disiapkan adalah
makanan dan adapun makanan yang paling utama disediakan adalah sokko
bolong (songkolo hitam) dan sokko pute (songkolo putih), sokko cella
(songkolo merah), sokko onyi (songkolo kuning), nasu lekku (ayam
kampung yang dimasak dengan banyak lengkuas), otti fanasa ( pisang
85
nangka), rang tello ( telur rebus), dan masih banyak makanan lain serta yang
paling penting dan tidak boleh dilewatkan adalah dupa dan kemenyang.
Di dalam kesempatan, dimana anggota keluarga dan tetangga
berkumpul, solidaritas sosial yang berbentuk pemberian makanan yang
sudah dibacakan oleh pabbaca(pembaca).
Dan adapun proses pelaksanaan dilakukan saat pelaksanaan mabbaca-
baca terutama saat melakukan Aqiqah sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan Mabbaca-baca saat melakukan Aqiqah
Pelaksanaan upacara mabbaca baca terdiri dari tahapan yaitu tahap
persiapan dan tahap pelaksanaan Tahapan persiapan adalah tahap yang
berguna untuk merumuskan dan Mengumpulkan alat serta bahan yang
akan digunakan dalam pelaksanaan upacara Mabbaca-baca. Adapun
tahapan prosesi persiapan tersebut seperti berikut. Sebelum pelaksanaan
upacara mabaca-baca, para kerabat ikut membantu proses pelaksanaan
Mabbaca-baca..
2. Peralatan yang digunakan saat proses Mabbaca-baca dalam acara
Aqiqah
Menyambut pembacaan Mabbaca-baca ini, keluarga yang
melaksanakan Pembacaan mabaca baca terlebih dahulu membuat suatu
hidangan yang akan di bawa keluar dan di letakan di depan Imam atau
tokoh masyarakat yang disebut Pabbaca, hidangan tersebut dalam
bahasa bugis disebut nanre mabaca-baca (hidangan baca-baca)
Hidangan tersebut diletakan didepan Imam dan akan di doakan agar
86
menjadi. Dalam hidangan tersebut memiliki berbagai macam makanan
yang disajikan dalam proses mabbaca-baca.
peralatan dan bentuk penyajian yang dilakukan saat proses mabbaca-
baca dilakukan berpendapat bahwa sebelum membaca-baca dimulai,
tuan rumah mengeluarkan hidangan mabbaca-baca berupa lauk-pauk
yang akan dimakarm nantinya bersama para undangan. hidangan itu
berupa satu pisang nangka empat macam songkolo satu ekor ayam dua
telur rebus satu ekor kambing(perempuan) dan dua ekor kambing (laki-
laki) yang dimaksud sesuai dengan pendapat informan yaitu :
1. (satu) pisang nangka
2. (empat) macam songkolo disusun ke atas
b. Songkolo putih
c. Songkolo merah
d. Songkolo hitam
e. Songkolo kuning
3. (dua) telur rebus
4. (satu) eko ayam nasu lekku‟
5. 1 Kambing (perempuan), 2 kambing (laki-laki)
6. 1 (satu) air disertai obokan
Dalam proses mabbaca-baca yang paling utama adalah sebuah
imam atau biasa dikenal dengan orang di berikan amanah dalam
memimpin saat melakukan ritual mabbaca-baca dimana orang tersebut
adalah orang telah mempelajari tatacara pelaksanaan hingga bacaan
87
yang ingin dilakukan saat melakukan ritual tersebut karna dalam bacaan
ada sebua yang dilontarkan yang memiliki keinginan agar dapat
dikabulkan kedepannya.
Pada penelitian ini bersesuaian dengan Teori interaksionisme Simbolik
dimana hal ini menunjukkan pentingnya interaksionisme simbolik tercermin dari
pandangan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa manusia yang saling
berinteraksi , akhirnya melakukan tindakan bersama dan akhirnya membentuk
struktur social. Interaksi manusia itu sendiri terdiri dari berbagai kegiatan manusia
yang berhubungan dengan kegiatan manusia yang lain. Iteraksi secara simbolik
senantiasa mencakup penafsiran atas tindakan-tindakan tersebut.
Dalam prosesi tradisi saat dilaksanakan manusia memiliki peran dalam
pelaksanaanya dimana semua orang yang ada di lingkungan tersebut dan keluarga
yang ada waktunya datang untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan,
para masyarakat dalam proses mabbaca baca membagi tugas agar saling
mempercayai dalam melaksanakan tugas tersebut
Dalam prosesi mabbaca baca memiliki dua tahapan dimana tahapan
pertama yaitu persiapan, Tahapan persiapan adalah tahap yang berguna untuk
merumuskan dan Mengumpulkan alat serta bahan yang akan digunakan dalam
pelaksanaan upacara Mabbaca-baca. Adapun tahapan prosesi persiapan tersebut seperti
berikut. Sebelum pelaksanaan upacara mabbaca-baca, para kerabat ikut membantu proses
pelaksanaan Mabbaca-baca.
Selanjutnya tahapan kedua yaitu tahapan pelaksanaan dimana proses mabbaca-
baca dilakukan saat sebelum membaca-baca dimulai, tuan rumah mengeluarkan
88
hidangan mabbaca-baca berupa lauk-pauk yang akan dimakarm nantinya bersama
para undangan. hidangan itu berupa satu pisang nangka empat macam songkolo
satu ekor ayam dua telur rebus satu ekor kambing(perempuan) dan dua ekor
kambing (laki-laki)
Dalam proses mabbaca baca memiliki dua tahapan dimana tahapan
pertama adalah tahapan persiapan kemudian dilanjutkan dengan tahapan
pelaksanaan saat melakukan prosesi mabbaca baca terkurus saat acara mabbaca-
baca saat adakan aqiqah hal ini menunjukan saat melakukan promosi mabbaca
baca sangat erat hubungannya dengan nilai religi dimana pola kepercayaan yang
selalu dipegang teguh dan melekat dalam kehidupan keseharian, dalam pendapat
teori ini dapat memabngun rasa saling percaya dalam proses kehidupan bersosial
89
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Makna Simbolik
Ritual Mabbaca – baca di Desa Alelebbae Kecamatan Pitumpanua Kabupaten
Wajo maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Adapun Makna Mabbaca Baca adalah amanah yang diwariskan kepada
penerusnya kemudian arti ma baca baca dari segi bahan yang paling
utama digunakan saat pelaksanaan dimana dia mengartikan alat yang
digunakan sebagai penyampaian dari segi bahan yang digunakan saat
pelaksanaan adalah arti yang paling umum diungkapkan di antaranya
memohon perlindungan dan permintaan maaf atas kesalahan yang
dilakukan agar kedepannya dapat menjalankan kehidupan dengan tenang
2. Adapun prosesi ritual mabaca-baca adalah
Dalam proses mabbaca baca memiliki dua tahapan dimana tahapan
pertama adalah tahapan persiapan kemudian dilanjutkan dengan tahapan
pelaksanaan saat melakukan prosesi mabbaca baca dimana tahap persiapan
tersebut menyiapkan berbagai jenis hidangan wajib saat melakukan prosesi
mabbaca baca terkhusus di acara pernikahan dan kedua sarana dimanasara
yang dimaksud adalah sebuah doa kemudian semua orang yang ada
dilingkungan tersebut dan keluarga yang ada waktunya datang untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, para masyarakat dalam
proses mabbaca baca membagi tugas agar saling mempercayai dalam
90
90
melaksanakan tugas tersebut dan saat melakukan pelaksanaan ritual
bacaan diucapkan sudah memang ada yang disiapkan secara khusus saat
melakukan ritual apapun itu semuanya sama dan secara otomatis persiapan
pun juga dalam melakukan proses membaca juga sama yang bertujuan
agara doa yang diutarakan dapat dikabulkan
B. Saran Penelitian
a. Bagi Pemerintah
Semoga dengan penelitian ini pemerintah dapat lebih memperhatikan
identitas kebudayaan kabupaten Wajo agar tetap terjaga hingga
kedepannya dan dijadikan aset Daerah untuk memperkenalkannya kepada
daerah lain serta dapat menjadi acuan dalam menentukan sebuah ejaan
baru demi masa depan daerah.
b. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat agar tetap menjaga, melestarikan kebudayaannya
dan tetap memperkaya khasanah kebudayaan local, dengan tuntunan ajaran
islam agar tidak ada unsur kemusyrikan serta hal-hal yang menyimpan dari
ajaran islam yang sesungguhnya, berkat kedatangan islam telah memberi
warna baru dlam masyarakat Alelebbae khususnya dalam prosesi
pelaksanaan Mabbaca-baca.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan untuk mengkaji lebih banyak sumber
maupun referensi yang terkait dengan Makna Simbolik tradisi agar hasil
penelitian dapat lebih baik dan lebih lengkap lagi.
91
DAFTAR PUSTAKA
Nursalam.Suardi dan Syarifuddin. 2016. Teori Sosiologi Klasik, Modern,
Posmodern, Saintifik,, Hermeneutik, Kritis, Evaluatif dan Integratif.
Yogyakarta. Writing Revolution
Hal, F., Pada, S., Benteng, K., Kecamatan, S., & Pinrang, K. (2018). Phinisi
Integration Review Eksistensi Mabbaca Doang. 1(1), 52–64.
Hamid, F. (2013). Pendekatan Fenomenologi (Suatu Ranah Penelitian Kualitatif).
Penelitian Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1(1), 1–15.
Hasanuddin, U. (2018). Nilai Solidaritas Sosial Dalam Tradisi Mappadendang
Pada Masyarakat Paccekke Di Kabupaten Barru.
Ii, B. A. B., Beatty, A., Hefner, R. W., Mulder, N., Syam, N., & Manan, M.
(2001). LANDASAN TEORI Pengertian Kebudayaan. 22–33.
Ii, B. A. B., & Muhammadiyah, A. (2017). Peran Persyarikatan
Muhammadiyah…, Anggita Lusiana Saputri, Fakultas Agama Islam UMP,
2017 7. November 1912, 7–43.
Meloeng, Lexy J. 2006 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Pratiwi, C. A. (2017). Harai : Telaah Konsep Religi Koentjaraningrat Shinto
adalah kepercayaan asli dari Jepang yang lahir sejak zaman prasejarah dan
juga merupakan tradisi indigenous yang diterapkan turun temurun . Doktrin
dasar dalam agama Shinto adalah kesucian ( Hartz , 200. 5(2), 173–185.
Raimatang. (2016). Tradisi Massuro MabBaca Dalam Masyarakat Rompegading
Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros.
Religi Sebagai Salah Satu Identitas Budaya (Tinjauan Antropologis terhadap
unsur Kepercayaan dalam masyarakat). (2008).
Salim, M. (2016). Adat Sebagai Budaya Kearifan Lokal Untuk Memperkuat
Eksistensi Adat Ke Depan. Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana Dan
Ketatanegaraan, 5(2), 244–255. https://doi.org/10.24252/ad.v5i2.4845
Sugiyono, S. (2008). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta, CV.
Wekke, I. S. (2013). Islam Dan Adat : Tinjauan Akulturasi Budaya Dan Agama
Bugis . Saat kehidupan diatur dengan pangngaderreng ( undang- masyarakat
sampai penaklukan seluruh tanah Bugis tahun 1906 , maka unsur yang
awalnya hanya terdiri atas empat kemudian berubah menjadi lim. Analisis,
XIII(Nomor 1, Juni), 27–56.
92
92
Yuniarti, D. I. A. (2018). Nilai-Nilai Religius Yang Terkandung Dalam Tradisi
Temu Manten Pada Upacara Perkawinan Adat Jawa ( Studi Kasus di Dusun
Tanduran Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri). 51(1),
51.
https://kumparan.com/sulbarkini/mabbaca-baca-tradisi-lebaran-di-sulawesi-barat-
yang-masih-terjaga-1rDZcnH7m5B
L
A
M
P
I
R
A
N
Data Informan
1. Nama : Ilyas Mawi
Jenis kelamin : L
Usia : 51
Pekerjaan : Sekretaris Desa
Waktu : Jumat, 30 April 2021
Tempat : Kantor Desa
2. Nama : Nur Alam
S Jenis kelamin : L
Usia : 62
Pekerjaan : Petani
Waktu : Kamis, 13 Mei 2021
Tempat : Rumah Pribadi
3. Nama : Kasmari
Jenis kelamin : P
Usia : 47
Pekerjaan : IRT
Waktu : Sabtu, 22 Mei 2021
Tempat : Rumah Pribadi
4. Nama : Baco Tang
Jenis kelamin : L
Usia : 49
Pekerjaan : Imam Desa
Waktu :Rabu, 26 Mei 2021
Tempat : Rumah pengantin
5. Nama : H. Bolong
Jenis kelamin : P
Usia : 52
Pekerjaan : IRT
Waktu : Sabtu, 29 Mei 2021
Tempat : Rumah Pribadi
6. Nama : Sitti
Jenis kelamin : L
Usia : 58
Pekerjaan : IRT
Waktu : Sabtu, 29 Mei 2021
Tempat : Rumah Pribadi
DRAP WAWANCARA
Pertanyaan Jawaban
Ilyas Mawi
1. Apa yang anda ketahui
mengenai ritual Mabbaca-
baca ?
Jawaban
1. Mabbaca-baca adalah sebuah
tradisi yang turun temurun dari
nenek moyang
Nur Alam
1. Apakah makna simbol dari
sarana ritual mabbaca-baca ?
a. Dupa
b. Kemenyan
2. Sudah berapa lama bapak jadi
seorang Pembaca ?
3. Apakah dampak buruk jika
tradisi tersebut tiba-tiba
dihentikan
4. Apakah dalam ritual mabbaca-
baca semua bacaannya sama ?
a. Aqiqah
b. Menre Bola Baru ( Rumah
baru)
c. Pernikahan
d. Mabbaca Doang Selama (
Doa Keselamatan )
e. Kendaraan Baru
(mobil/motor)
5. Secara Pribadi, apakah Bapak
melihat pergeseran nilai-nilai
1. . Dupa :
Pengantara’/Pappalettu ( Untuk
menyampaikan )
b. Kemenyan : Fungsinya sama
dengan Dupa
2. 25
3. Dampak buruknya, Marah
“ Niga tuli yaleng yero fadato
laona massappa makkeda magi dena
najampangi ki e” biasa langsung
nafakennai lasa.
Artinya : yang selalu dikasih akan
merasa sudah tdk diperhatikan lagi
sehingga akan menimbulkan sesuatu
yang tidak diinginkan.
4. Sama.
Adapun bacaannya :
“ Bismillahirrahmanirrahim
Asyahadu Alla Ilaha Ilallah Wa
asyhadu anna
MuhammaDarrasulullah.
dari budaya tradisi Mabbaca-
baca
6. Apakah tradisi Mabbaca-baca
lahir dari unsur agama atau
budaya
“Nia’ tongging ku ri Puang Allahu
Ta’ala teppang dupa lebbi atena
hawa mancaji dupa mappalettu aseng
tongeng mu iko dupa e tafalettukeng
ri Fuangku Sewwa e Allahu Ta’ala.
Taddampengeng tatulung
ngatapaterimaiwi alusu’na nyawa tuo
na tau tongeng na nabi ta
Muhammad Saw. Millau dampeng
nga millau tulung nga ri alsina
nutarimai siba madeceng ladengekku
teppang dupa ku makko tofa pattuana
passelamakku iyya sekeluarga ri
Puang Allahu Ta'ala''
Lanjut baca Al Fatihah
“bismillāhir-raḥmānir-raḥīm al-
ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn ar-
raḥmānir-raḥīm māliki yaumid-dīn
iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn
ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm ṣirāṭallażīna
anamta 'alaihim ghairil-magḍụbi
'alaihim wa laḍ-ḍāllīn”
5. Iya, sekarang ada beberapa kepala
keluarga yang sudah meninggalkan
tradisi tersebut. Karena
menganggap bahwa tradisi tersebut
musyrik
6. Tradisi mabbaca-baca lahir dari
budaya yang turun temurun.
Kasmari
1. Apakah makna simbol dari
sarana ritual Mabbaca-baca ?
a. Otti Lereng (Pisang
Ambon)
b. Sokko (Songkolo)
a. Sokko Cella ( Merah )
b. Sokko Onyi ( Kuning )
c. Sokko Bolong ( Hitam )
d. Sokko Pute ( Putih )
c. Nasu Lekku ( Ayam )
d. Tello ( Telur )
e. Kue Tradisional ( beppa
pitu rupa )
2. Sudah berapa lama ibu
menjalankan ritual Mabbaca-
baca ?
3. Bagaimana ibu menjaga tradisi
mabbaca-baca selama ini ?
4. Bagaimana Prosesi Mabbaca-
baca ?
1. Makna symbol sarana
a. Otti Lereng (Pisang
Ambon) =
Parillaudampeng (
Permintaan Maaf)
b. Sokko (Songkolo) =
Parillaudampeng (
Permintaan Maaf )
1. Sokko Cella ( Merah
) = untuk na Wai e (
di air)
2. Sokko Onyi ( Kuning
) = untuk menari yase
( di atas )
3. Sokko Bolong (
Hitam ) = punnana
tana e ( di tanah)
4. Sokko Pute ( Putih )
= punna lolangeng e (
makhluk yang
berkeliaran )
c. Nasu Lekku ( Ayam ) =
paccera’ ( persembahan)
d. Tello ( Telur ) = menu
wajib (umum)
e. Kue Tradisional ( beppa
pitu rupa ) = isi barasanji
2. 25 tahun
3. Dengan menjalankan setiap
tahun dan setiap ada acara sacral
4. “Pada engka maneng bali bola
macawe e sibawa keluarga-
keluarga e jokka bantuki
mappatala ero ifakewe akko
mamba cake. Engka to jokka
molliwi pak imam atau pembaca
ero biasa”
Terjemahan : para tetangga
terdekat dan para keluarga
datang untuk membantu untuk
mempersiapkan bahan-bahan
yang akan dipakai selama
kegiatan mabbaca. Ada juga
yang pergi panggil pak imam
atau pabbaca yang sering
dipanggil.
Baco Tang
1. apakah makna simbol dari
sarana ritual mabbaca-baca
?
c. Dupa
d. Kemenyan
2. Sudah berapa lama bapak
jadi seorang Pembaca ?
3. Apakah dampak buruk jika
tradisi tersebut tiba-tiba
dihentikan
4. Apakah dalam ritual
mabbaca-baca semua
bacaannya sama ?
1. a. Dupa :
Pengantara’/Pappalettu ( Untuk
menyampaikan )
b. Kemenyan : Fungsinya sama
dengan Dupa
2. 20
3. Bagi masysarakat yang pernah
meyaklini tradisi dan
meninggalkanya akan terkena
penyakit. Dan dihantui oleh
mahluk (arwah) yang selalu di
kasih selama ini
4. Sama.
f. Aqiqah
g. Menre Bola Baru (
Rumah baru)
h. Pernikahan
i. Mabbaca Doang
Selama ( Doa
Keselamatan )
j. Kendaraan Baru
(mobil/motor)
5. Secara Pribadi, apakah
Bapak melihat pergeseran
nilai-nilai dari budaya
tradisi Mabbaca-baca
6. Apakah tradisi Mabbaca-
baca lahir dari unsur agama
atau budaya
Adapun bacaannya :
“ Bismillahirrahmanirrahim
Asyahadu Alla Ilaha Ilallah Wa
asyhadu anna
MuhammaDarrasulullah.
“Nia’ tongging ku ri Puang
Allahu Ta’ala teppang dupa
lebbi atena hawa mancaji dupa
mappalettu aseng tongeng mu
iko dupa e tafalettukeng ri
Fuangku Sewwa e Allahu
Ta’ala. Taddampengeng tatulung
ngatapaterimaiwi alusu’na
nyawa tuo na tau tongeng na
nabi ta Muhammad Saw. Millau
dampeng nga millau tulung nga
ri alsina nutarimai siba
madeceng ladengekku teppang
dupa ku makko tofa pattuana
passelamakku iyya sekeluarga ri
Puang Allahu Ta'ala''
Lanjut baca Al Fatihah
“bismillāhir-raḥmānir-raḥīm al-
ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn ar-
raḥmānir-raḥīm māliki yaumid-
dīn iyyāka na'budu wa iyyāka
nasta'īn ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm
ṣirāṭallażīna anamta 'alaihim
ghairil-magḍụbi 'alaihim wa laḍ-
ḍāllīn”
5. Iya, sekarang ada beberapa
kepala keluarga yang sudah
meninggalkan tradisi tersebut.
Karena menganggap bahwa
tradisi tersebut musyrik
Mabbaca-baca berasal dari agama
hindu. Tradisi mabbaca-baca lahir dari
budaya yang turun temurun.
Sitti
Makanan apa saja yang disiapkan saat
melakukan prosesi mabbaca baca ?
Adapun makanan di depan imam desa
saat melakukan prosesi mabbaca baca
diantaranya : satu piring ikan goreng,
satu piring ayam goreng, satu piring
kari ayam, satu piring kari sapi, satu
piring udang goreng, satu piring telur,
satu piring Rempa-rempa dan disertai
nasi yang sesuai dengan kondisi talam.
Dan dua talam yang berisikan, Sonkolo
warna kuning dan pisang dan Kue-Kue
Hj. Bolong
1. Bagaimana proses persiapan
saat melakukan mabbaca-baca
2. apakah ada pengaruh di zaman
sekarang dengan tradisi
mabbaca baca
1. sebelum membaca-baca dimulai,
tuan rumah mengeluarkan hidangan
mabaca-baca berupa lauk-pauk
yang akan dimakarm nantinya
bersama para undangan. hidangan
itu berupa tujuh buah talam yang
berisi 7 juga anak piring berisi lauk
pauk Secara lengkap anak talam
2. yang pengaruh di zamana sekarang
sangat kuat sehingga meyebabakan
sudah banyak tidak mengikuti
tradidi mabaca-baca di sebabkan
perkembanagan zaman dimana
perkembanagan jamana saat ini
megajarkan bahawa tradisi adalah
ajaran musrik yang saat ini banyak
oleh tua di kampung orang orang
kampung
DOKUMENTASI
z