Upload
etta-novayanti
View
423
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
Maladaptasi sistem imun dalam etiologi pre-eklampsia; sebuah
pembaruan perspektif epidemiologikal
Pendahuluan
Secara umum, invasi sitotrofoblas endovaskular dalam arteri spiralis dan disfungsi
sel endotelial adalah dua penyebab penting pada patofisiologi terjadinya pre-eklampsia
(Roberts dan Redman, 1993). Walaupun demikian, penyebab pre-eklampsia masih belum
dapat diketahui. Pada manusia, transplantasi organ akan ditolak tubuh apabila terdapat
perbedaan antara donor dan resipien dengan adanya histokompatibilitas komplek gen,
dalam hal ini antigen leukosit manusia. Unit feto-plasental mengandung antigen paternal
yang merupakan benda asing bagi tubuh maternal. Konsep yang menyatakan bahwa pre-
eklampsia mungkin merupakan suatu gangguan imunologis dikeluarkan pada awal abad
ke-20 (McQuarrie, 1923; Medawar, 1953; Scott dan Beer, 1976; Veit, 1902). Pada awal
tahun 1950, Medawar (1953) mengajukan konsep “fetus sebagai alograf”. Sejak itu
pernyataan ini telah mengasumsikan bahwa implantasi plasenta fetal akan dikontrol
dengan respon imun maternal yang dimediasi oleh sel T yang mengenali alo-antigen
turunan paternal yang dikeluarkan plasenta. Penelitian yang sedang berlangsung pada
akhir dekade telah menunjukkan bahwa implantasi mungkin termasuk sistem pengenalan
alogenetik baru pada sel natural killer (NK) yang lebih dominan dibandingkan sel T. Bab
Dr. Ashley Moffett`s menyediakan tinjauan mendetail tentang pemahaman terbaru pada
biologi imun dan patofisiologi imun plasentasi yang mana berhubungan dengan pre-
eklampsia, yang berfokus pada peran sel NK.
1
Dalam bab ini kami bertujuan untuk menjelaskan sebuah tinjauan terbaru dalam
penelitian epidemiologikal yang menguatkan atau menyangkal hipotesis yang
menyatakan maladaptasi antara sistem imun maternal dan alograf feto-plasental terlibat
pada etiologi pre-eklampsia.
Hipotesis primipaternitas melawan hipotesis interval
Pre-eklampsia sejati adalah penyakit pada kehamilan yang pertama (Roberts dan
Redman, 1993). Sebuah kehamilan normal yang terdahulu dihubungkan dengan
menurunnya insidensi terjadinya pre-eklampsia, hal ini juga akan terjadi walaupun yang
terjadi sebelumnya hanyalah suatu aborsi (Strickland et al. 1986). Efek perlindungan
multiparitas adalah, bagaimanapun, hilang dengan perubahan pasangan. Need (1975)
adalah orang pertama yang menyatakannya dalam kehamilan pasien yang pertama tanpa
pre-eklampsia, respon limfosit maternal, pada kultur campuran limfosit, penyerangan
terhadap limfosit ayah pertama akan lebih lemah daripada penyerangan terhadap limfosit
ayah yang berbeda dari kehamilan berikutnya yang mana telah terkomplikasi pre-
eklampsia berat. Feeney dan Scott (Feeney, 1980; Feeney dan Scott, 1980) dalam sebuah
survei retrospektif pada 34.000 persalinan multigravida, menemukan 47 pasien dengan
pre-eklampsia terjadi walaupun kehamilan yang sebelumnya normal. Pada 13 (28%)
pasien ini kehamilan yang terpengaruh adalah kehamilan oleh ayah yang berbeda,
dibandingkan dengan hanya 4,3% dalam grup kontrol yang besar. Di Nigeria, Ikedife
menemukan bahwa 34 dari 46 (74%) eklampsia pada pasien multipara memiliki pasangan
2
baru dalam kehamilan yang terpengaruh, dibandingkan dengan 5-10% wanita multipara
dengan kehamilan normal (Ikedife, 1980).
Istilah primipaternitas dikenalkan oleh Robillard et al. (1993) menguak hubungan
antara pre-eklampsia berat dan perubahan dalam pola paternitas diantara multigravida di
Guadeloupe (Perancis Hindia Barat). Pasien multipara dengan pre-eklampsia berat dan
atau eklampsia dan pemeriksaan kontrol. Informasi mengenai paternitas untuk indeks dan
kehamilan terdahulu dikumpulkan dari tiga grup: wanita dengan pre-eklampsia; wanita
dengan hipertensi kronik; dan sebuah grup kontrol yang terdiri oleh wanita tanpa
hipertensi selama hamil. Pada 21/34 (61,7%) ibu dengan pre-eklampsia, ayah janin
sekarang berbeda dengan ayah kehamilan sebelumnya, dibandingkan dengan 4/40 (10%)
diantaranya wanita dengan hipertensi kronik dan 10/60 (16,6%) di grup kontrol
(P<0.001). Karena pola paternitas yang berubah berkorelasi signifikan dengan pre-
eklampsia pada multipara tapi tidak dengan hipertensi kronik dan kontrol, penulis
mengajukan bahwa pre-eklampsia mungkin merupakan masalah yang disebabkan lebih
karena primipaternitas daripada primigraviditas. Adanya perhatian dihubungkan dengan
definisi yang digunakan oleh Robillard et al. (1993) telah dikeluarkan, penelitian
Amsterdam (Tubbergen et al. 1999), menggunakan kriteria diagnostik yang sangat ketat,
meneliti 333 pasien multipara dengan pre-eklampsia dan atau sindrom HELLP. Grup
kontrol terdiri atas 182 wanita multipara tanpa pre-eklampsia. Prevalensi paternitas baru
lebih signifikan (P<0.0001) untuk pasien pre-eklampsia dan juga pasien HELLP dalam
perbandingan dengan kontrol, dengan rasio bermakna 8.6 (95% CI: 3.1-23.5) dan 10.9
(95% CI: 3.7-23.5). Dalam paragraf diskusi Tubbergen et al. (1999) menekankan bahwa
setiap wanita multipara seharusnya ditanyakan apakah kehamilannya berasal dari
3
pasangan yang sama. Berdasarkan konsep primipaternitas, wanita multipara dengan
pasangan yang baru harus menjalani perawatan antenatal yang sama dengan
primigravida. Menggunakan pendekatan kelompok, Trupin et al. (1996) meneliti 5068
nulipara dan 5800 multipara, 573 diantaranya memiliki pasangan baru. Insidensi pre-
eklampsia pada nulipara (3,2%) dan multipara dengan perubahan paternitas (3%)
ditemukan sama, dibandingkan dengan insidensi yang signifikan lebih rendah (1,9%)
pada multipara yang mana tidak berganti pasangan.
Konsep primipaternitas baru-baru ini disangkal oleh Skjaerven et al. (2002).
Investigasi ini menggunakan data dari Registrasi Kelahiran Medik Norwegia, sebuah
registrasi berdasar populasi yang berisi data kelahiran antara 1967-1998. Mereka meneliti
551.478 wanita yang telah menjalani dua atau lebih persalinan tunggal, dan 209.423
wanita yang telah menjalani tiga atau lebih persalinan tunggal. Pre-eklampsia terjadi
selama 3,9% kehamilan pertama, 1,7% pada kehamilan yang kedua dan 1,8% pada
kehamilan yang ketiga pada wanita dengan pasangan yang sama. Risiko pada kehamilan
kedua atau ketiga berhubungan langsung dengan waktu yang dipakai sejak sebelum
persalinan dan, apabila interval antara persalinan lebih dari 10 tahun atau lebih, risiko
dirkirakan diantara wanita nulipara. Perubahan paternitas untuk kehamilan kedua
dihubungkan dengan pengurangan risiko pre-eklampsia setelah berkontrol sejak
persalinan yang pertama (OR 0.80, 95% CI: 0.72-0.90), tetapi interaksi antara perubahan
paternitas dan waktu antara persalinan hanya signifikan untuk wanita yang tidak pernah
mengalami pre-eklampsia. Interaksi antara riwayat pre-eklampsia dan waktu antara dua
persalinan sangat berarti signifikan dan, untuk wanita tanpa riwayat pre-eklampsia, risiko
pre-eklampsia pada kehamilan kedua meningkat dengan meningkatnya interval waktu.
4
Untuk interval lebih lama dari 15 tahun, OR-nya 2.11 (95% CI: 1.75-2,53). Untuk wanita
dengan riwayat pre-eklampsia, risiko cenderung menurun dengan meningkatnya interval
antara persalinan. Skjaerven et al. (2002) menyimpulkan bahwa pengaruh proteksi
seorang ayah baru dalam kehamilan kedua meragukan hipotesis primipaternitas, dan
berimplikasi bahwa peningkatan risiko pre-eklampsia dianggap berasal dari ayah baru
atau oleh mekanisme lain yang dikarenakan kontrol yang kurang untuk interval antara
persalinan.
Harus diperhatikan bahwa penelitian lain telah lebih dahulu mendeskripsikan
tentang efek interval persalinan. Mostello et al. (2002) mengadakan penelitian kontol-
kasus berdasarkan populasi menggunakan data sertifikat kelahiran dari Missouri. Data
dari wanita yang sudah melahirkan dua anak tunggal antara tahun 1989 dan 1997 (2332
kasus dengan pre-eklampsia di kehamilan kedua, dan 2370 kasus kontrol) telah dianalisis.
Faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya pre-eklampsia pada kehamilan kedua
termasuk lamanya interval persalinan, riwayat melahirkan bayi prematur, penyakit ginjal,
hipertensi kronik, diabetes melitus, obesitas, ras hitam dan antenatal care yang kurang.
Lebih penting, berlawanan dengan hasil penelitian orang Norwegia, paternitas yang sama
ditemukan memiliki efek proteksi.
Basso et al. (2001) meneliti hasil dari kehamilan kedua dalam kelompok wanita
Danish dengan riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya (8401 wanita) dan
pada semua wanita dengan riwayat pre-eklampsia pada kehamilan kedua (tapi tidak pada
kehamilan pertama) dan dengan sampel dari wanita yang sudah melahirkan dua kali
(26.596 wanita). Interval persalinan yang lama dihubungkan dengan risiko pre-eklampsia
yang lebih tinggi pada wanita tanpa riwayat pre-eklampsia apabila dengan pasangan yang
5
sama. Hampir mirip dengan penelitian Norwegia, perubahan pasangan dihubungkan
dengan peningkatan risiko pre-eklampsia pada wanita tanpa riwayat pre-eklampsia; efek
ini akan menghilang setelah disesuaikan dengan interval persalinan. Peneliti
menyebutkan bahwa mereka melihat hasil yang berbeda saat lama interval persalinan
distratifikasi.
Conde-Agudelo dan Belizan (2000), meneliti akibat interval persalinan pada
morbiditas dan mortalitas ibu, dilaporkan penelitian yang paling besar pada efek lamanya
interval persalinan sebagai faktor risiko pre-eklampsia. Penelitian ini, menggunakan data
Sistem Informasi Perinatal Pusat Amerika Latin untuk Perinatologi dan Pengembangan
Manusia di Montevideo, meneliti 456.889 wanita para yang melahirkan bayi tunggal.
Mereka menyatakan bahwa interval antar persalinan pendek (<6 bulan) dan panjang (>59
bulan) telah diobservasi berturut-turut pada 2.8 dan 19,5% dari wanita. Setelah
penyesuaian dengan faktor pengganggu, dibandingkan dengan wanita yang mengandung
pada 18-23 bulan setelah persalinan sebelumnya, wanita dengan interval persalinan 5
bulan atau kurang memiliki risiko tinggi kematian ibu (OR=2.54; 95% CI:1.22-5.38),
perdarahan trimester ketiga (1.73; 1.42-2.24), ruptur membran prematur (1.72; 1.53-
1.93), endometritis purpura (1.33; 1.22-1.45) dan anemia (1.30; 1.18-1.43). dibandingkan
dengan wanita dengan interval persalinannya 18-23 bulan, wanita dengan interval
persalinan lebih lama dari 59 bulan memiliki peningkatan signifikan risiko terjadi pre-
eklampsia (1.83; 1.72-1.94) dan eklampsia (1.80; 1.38-2.32).
Kami berkeyakinan bahwa ada perbedaan interpretasi data Norwegia yang tidak
layak menyangkal hipotesis primipaternitas. Pertama-tama, penelitian Norwegia memiliki
beberapa kelemahan penting. Registrasi kelahiran tidak memuat secara terperinci hal-hal
6
yang dibutuhkan untuk meneliti paternitas manusia. Disamping itu ada 12% data
paternitas yang hilang pada penelitian oleh Skjaerven et al. (2002), telah diketahui bahwa
ada nilai yang signifikan (1-30%) dari kesalahan pengakuan paternitas pada pasangan
stabil di kota berkembang (Lucassen dan Parker, 2001). Maka dari itu, tidak diragukan,
menjadikannya grup “ayah yang sama” pada penelitian baru-baru ini. Sehingga,
kesimpulan berkaitan dengan hubungan paternitas dan pre-eklampsia berdasarkan
registrasi kelahiran saja harus dihindari; ada banyak indikasi kasar dari paternitas yang
sebenarnya dan tidak memuat informasi yang dibutuhkan dalam kohabitasi seksual, yang
mana merupakan fundamental pada kemajuan ilmiah dari diskusi berlanjut ini. Skjaerven
et al. (2002) juga mengusulkan bahwa diagnosis pre-eklampsia di penelitian mereka
termasuk adanya 0.3 gr protein dalam 24 jam. Para penulis Norwegia tidak
memperhatikan kenyataan bahwa kebanyakan kota di Barat, dan kita tidak tahu alasan
lain mengapa orang Norwegia berperilaku berbeda, hanya menggunakan analisis urin 24
jam selama tahun 1980. Sehingga, diagnosis proteinuria pada sekurangnya 60% pasien
“pre-eklampsia” mereka bisa dipertanyakan. Hal ini merupakan perhatian yang relevan,
mengingat indeks pasien pada penelitian Norwegia kebanyakan adalah wanita yang
berumur, jelas sulit menjadikannya diagnosis pre-eklampsia yang dapat dipercaya pada
kategori wanita ini.
Kedua, tampaknya ada inkonsisten derajat biologis yang signifikan pada
penelitiannya. Skjaerven et al. (2002) gagal mendiskusikan penemuan yang dikeluarkan
oleh Li dan Wi (2000), yang melaporkan penelitian berdasarkan kelompok pada 140,147
wanita dengan dua persalinan yang berurutan selama 1989-1991 diidentifikasi melalui
jalur data sertifikat kelahiran tahunan Kalifornia. Diantara wanita tanpa pre-eklampsia/
7
eklampsia pada kehamilan pertama, perubahan pasangan meningkatkan 30% risiko
terjadinya pre-eklampsia/ eklampsia pasa kehamilan berikutnya dibandingkan dengan
wanita yang memiliki pasangan tetap (95% CI:1.1-1.6). Di sisi lain, diantara wanita
dengan riwayat pre-eklampsia/ eklampsia pada kehamilan pertama, pergantian pasangan
menurunkan risiko pre-eklampsia/ eklampsia dala kehamilan berikutnya (95% CI:0.4-
1.2). Lebih menarik lagi grup yang sama dari penulis Norwegia (Lie et al., 1998), pada
penelitian terdahulu, juga menemukan bahwa risiko perkembangan pre-eklampsia pada
ibu yang pernah menderita pre-eklampsia pada kehamilan pertamanya memiliki 13%
kemungkinan apabila dia hamil lagi dengan pasangan yang sama. Risiko ini menurun
hingga 11.8% jika dia berganti pasangan. Jika mungkin, seseorang bisa berasumsi makin
lama interval persalinan setelah mengalami saat traumatik dalam hidup walaupun dalam
hal ini kehamilan yang berkomplikasi pre-eklampsia dikombinasi adanya waktu maka
mereka akan mencari pasangan baru. Seperti data sebelumnya yang telah dikeluarkan
(Lie et al., 1998), sama halnya dengan data Li dan Wi (2000), menunjukkan kontradiksi
terhadap “hipotesis interval kelahiran”. Ini seharusnya juga diperhatikan bahwa, pada
publikasi International Journal of Epidemiology (Trogstad et al., 2001) mendahului
publikasi New England Journal of Medicine (dalam kelompok populasi yang sama,
dengan penulis yang berbeda), jurnal ini secara spesifik menegaskan bahwa interval
persalinan bukan faktor risiko pada wanita dengan riwayat pre-eklampsia dengan
kehamilan atas paternitas yang tetap ataupun baru. Kemudian, penemuan ini membuat
hipotesis interval persalinan tidak masuk akal. Sangat sulit untuk memahami setiap faktor
risiko (lingkungan, infeksi, stres, BMI, dan lain-lain) yang mungkin meningkatkan risiko
8
pada wanita dengan riwayat persalinan normal dan, pada waktu yang sama, menurunkan
risiko pada wanita dengan riwayat pre-eklampsia sebelumnya.
Jadikanlah ini seperti seharusnya, dengan menganggap penggabungan data
Norwegia dan Amerika Latin, biarkan kita berasumsi bahwa interval kehamilan yang
lama adalah faktor risiko penting terjadinya pre-eklampsia di masa mendatang pada
wanita multipara, terbebas dari usia ibu. Apa saja penjelasan yang mungkin?
1. Penelitian Norwegia dan Amerika Latin keduanya membenarkan pengetahuan
umum bahwa mayoritas pasangan (>80%) normalnya memiliki interval <5
tahun antara kelahiran anak-anaknya. Karena ini, satu yang harus dipirkan
ulang adalah alasan yang paling mungkin kenapa beberapa pasangan (<20%)
tampaknya “lebih memilih” untuk memperpanjang interval antara kelahiran
anak-anaknya. Sejauh ini, semua penelitian awalnya menyebutkan bahwa
telah meneliti hasil kehamilan berikutnya pada wanita multipara, tetapi dalam
kenyataannya, hasil kehamilan hanya memuat kehamilan setelah 16
(Norwegia) atau 19 (Amerika Latin) minggu masa gestasi. Dengan kata lain,
semua keguguran telah diabaikan. Kejadian satu atau lebih keguguran,
peristiwa yang sangat umum bagi wanita di masyarakat Barat, dapat
menjelaskan proporsi signifikan pasangan yang tampaknya “memilih” untuk
memperpanjang interval persalinan. Wanita dengan keguguran yang berulang
telah diketahui memiliki insidensi tinggi atas hasil kehamilan yang merugikan
di kehamilan berikutnya yang sedang berlangsung (Jivraj et al., 2001).
2. Hilangnya fertilitas juga bisa diperhitungkan pada interval persalinan >5 tahun
yang kurang dari 20% jumlah pasangan. Penyebab yang paling banyak yaitu
9
dengan menghilangkan fertilitas termasuk sindrom Obesitas dan Polikistik
Ovarium (PCO), keduanya memiliki hubungan jelas dengan pre-eklampsia
pada kehamilan berikutnya (Dekker, 1999; de Vries et al., 1998).
Bagaimanapun, bahkan infertilitas yang tak dapat dijelaskan memiliki
hubungan jelas dengan pre-eklampsia. Pada 1983, Moore dan Redman
menggambarkan, pada penelitian kontrol-kasus 24 pasien dengan pre-
eklampsia berat didiagnosis sebelum masa gestasi 34 minggu, dan 48 kontrol
yang diseleksi secara acak sebanding untuk umur dan paritas, yang mana
riwayat infertilitas merupakan faktor risiko signifikan terjadi pre-eklampsia.
Pandian et al. (2001) memeriksa hasil kehamilan tunggal pada pasangan
dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan yang ditemukan pada Klinik
Fertilitas Aberdeen, dan mereka menggunakan populasi obstetri secara umum
sebagai grup kontrol. Wanita dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan
berumur signifikan lebih tua (30.8 banding 27.9 tahun) dan kebanyakan
merupakan primipara (59 banding 40%, 95% CI=+1.3-+1.9) setelah
penyesuaian umur dan paritas, wanita dengan riwayat infertilitas memiliki
insidensi yang lebih tinggi terjadi pre-eklampsia dan abrupsi plasenta. Penulis
menyimpulkan bahwa wanita dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan
adalah wanita dengan komplikasi obstetri yang lebih tinggi termasuk pre-
eklampsia. Menariknya, grup Skandinavia yang lain (Basso et al., 2003) baru-
baru ini memeriksa hubungan antara infertilitas dan pre-eklampsia.
Menggunakan data wawancara yang dikumpulkan selama trimester kedua
kehamilan (1998-2001) dari wanita yang berpartisipasi di Kelompok
10
Persalinan Nasional Danish, mereka menemukan 20.034 dan 24.698 kelahiran
tunggal hidup dari wanita primipara dan multipara, berturut-turut, untuk
penyedia informasi pre-eklampsia dari rekam medis rumah sakit. Diantara
wanita yang tidak tahu hipertensi, penulis memperkirakan risiko yang lebih
tinggi terjadi pre-eklampsia pada mereka yang memperlama kehamilan
setelah penyesuaian umur ibu, BMI sebelum hamil, dan merokok.
Dibandingkan dengan primipara yang segera hamil (kategori referen), risiko
pre-eklampsi meningkat dengan bertambahnya interval konsepsi dan
kemudian distabilisasi untuk wanita yang membutuhkan 6 bulan atau lebih
untuk mengandung-dimana wanita dengan risiko pre-eklampsia meningkat
menjadi 50%. Pada multipara juga terjadi peningkatan risiko, tetapi hanya
bagi mereka yang melaporkan waktu-untuk-hamil menjadi lebih dari 12 bulan
(OR=2.47, 95% CI: 1.30-4.69). penulis menemukan bahwa waktu yang lama-
untuk-hamil dihubungkan dengan pre-eklampsia, mendukung hipotesis bahwa
beberapa faktor menunda penampakan klinis terjadinya konsepsi mungkin
juga berpengaruh dalam jalur penyebab terjadinya pre-eklampsia.
3. Penjelasan ketiga lebih hipotetikal.di masyarakat Barat, persentase
perkawinan yang berakhir dengan perceraian makin meningkat menjadi lebih
dari 40%. Seperti juga, bertambahnya jumlah hubungan yang mendekati
krisis. Dua mekanisme mungkin bisa dilakukan dalam hubungan seperti ini:
banyak wanita bisa saja memiliki hunbungan diluar nikah, yang kadang-
kadang menghasilkan kehamilan yang tak dikehendaki. Wanita ini memiliki
dua pilihan. Mereka bisa bercerai dan memulai hidup baru dengan pasangan
11
baru (yang mana bisa diperhitungkan sebagai paternitas baru) atau tetap
dengan suaminya dan, dengan alasan yang jelas, tidak akan mengakui
perubahan dalam paternitasnya. Kebenaran banyaknya kejadian non-paternitas
tidak diketahui tapi, seperti yang sudah disebutkan, laporan menunjukkan
insidensi serendah 1% per generasi hingga 30% di populasi Barat (Lucassen
dan Parker, 2001). Mekanisme ini mungkin relevan (setidaknya separuhnya)
dalam penjelasan penemuan Norwegia. Wanita dengan interval kehamilan
yang lama seringkali berumur belasan tahun saat hamil pertama kali atau di
umur awal 20an; wanita seperti ini diketahui memiliki risiko ketidaksetiaan
yang lebih tinggi dan perceraian dimasa depan (Atkins et al., 2001). Pada
beberapa pasangan yang memiliki anak, nafsu seks akan menurun hingga ke
tingkat yang rendah karena stres selama beberapa periode waktu (dan
berkurangnya kejadian kehamilan). Beberapa pasangan ini mungkin
memutuskan untuk memiliki bayi lagi dalam usaha menyelamatkan/
membangkitkan perkawinan mereka. Mungkin saja bahwa keputusan
emosional diikuti reaktivasi seksualitas yang tiba-tiba dan menyebabkan
interval yang pendek antara “keputusan” dan kehamilan berikutnya. Jika
pemaparan sperma yang terus-menerus dibutuhkan untuk menaikkan proses
pengaktifan sel NK-berhubungan toleransi imun spesifik pasangannya, salah
satunya mungkin akan bisa menjadi kehamilan “penyelamat perkawinan”
dengan insidensi pre-eklampsia yang tinggi (Dekker, 2002).
Eskenazia dan Harleyb (2001) juga mengulas bukti untuk dan melawan hipotesis
primipaternitas banding hipotesis interval persalinan, dan menekankan bahwa, dimana
12
Lie et al. (1998) dan juga Li dan Wi (2000) melaporkan rasio rentang yang mengontrol
waktu interval persalinan, kedua kelompok menyatakan bahwa interval waktu telah
diteliti dan bukan merupakan sebuah pengganggu. Lebih jauh, waktu antara persalinan
tidak tampak sebagai pengganggu dalam penelitian Li dan Wi (2000) yang mengusulkan
penulis untuk mengetatkan pemilihan populasi menjadi wanita yang melahirkan dengan
perbedaan waktu 1 dan 3 tahun.
Sebuah penelitian mendukung penuh konsep primipaternitas baru-baru ini
diterbitkan oleh Saftlas et al. (2003). Penulis ini meneliti wanita nulipara yang direkrut
sebelumnya dalam acara Kalsium - Percobaan Pencegahan Pre-Eklampsia, 1992-1995.
Mereka secara spesifik mengkaji apakah wanita nulipara dengan aborsi sebelumnya yang
mana kemudian memiliki pasangan baru akan kehilangan efek proteksi dari kehamilan
sebelumnya. Data mereka memperlihatkan wanita dengan riwayat aborsi yang sedang
mengandung lagi dengan pasangan yang sama memiliki hampir separuh risiko pre-
eklampsia (rasio rentang disesuaikan =0.54, 95% CI: 0.31, 0.97) wanita tanpa riwayat
aborsi sebelumnya. Sebaliknya, wanita dengan riwayat aborsi yang sedang mengandung
dengan pasangan baru memiliki risiko pre-eklampsia yang sama dengan wanita tanpa
riwayat aborsi (rasio rentang disesuaikan= 1.03, 95% CI: 0.72, 1.47). Maka dari itu, efek
proteksi aborsi sebelumnya berperan hanya pada wanita yang mengandung lagi dengan
pasangan yang sama. Menurut para peneliti data mereka mendukung kuat sebuah
mekanisme etiologi berdasarkan imun, dimana pemaparan lama pada antigen fetal dari
perlindungan pre-eklampsia kehamilan sebelumnya pada kehamilan berikutnya dengan
ayah yang sama. Dalam diskusi mereka, Satlas et al. (2003) juga menekankan bahwa
peneliti Skandinavia (Skjaerven et al.,2002) mengabaikan efek riwayat aborsi, terutama
13
menginduksi aborsi. Mereka mengatakan “Karena proteksi aborsi mencegah pre-
eklampsia dan didapatkan lebih sering pada pasangan tidak menikah, berpisah, atau
wanita yang bercerai daripada wanita dalam perkawinan yang stabil, kegagalan
menghitung terminasi kehamilan antara kelahiran yang diregistrasi akan menghasilkan
kekeliruan interval persalinan khususnya untuk wanita yang berganti pasangan. Lebih
lagi, penyesuaian untuk aborsi yang diinduksi akan menurunkan risiko relatif
dihubungkan dengan pergantian pasangan.” Walaupun interval intra kehamilan tidak
terlalu pasti berhubungan langsung dalam Percobaan CPEP, yang diikuti hanya oleh
wanita nulipara (umur median, 19.7 tahun) rata-rata interval intra kehamilan
diperkirakan 1 tahun, memperlihatkan bahwa rata-rata umur primigravida adalah kurang
1 tahun daripada wanita yang telah pernah hamil sebelumnya. Saftlas et al. (2003)
menekankan bahwa gangguan karena interval intra kehamilan juga tidak tampak
dikarenakan rasio rentang untuk wanita diatas atau dibawah usia median telah identik
secara virtual, meskipun fakta bahwa interval intra-kehamilan adalah, oleh kepentingan,
lebih pendek untuk wanita dibawah daripada wanita diatas usia median. Sebagai
tambahan, usia rata-rata wanita yang mana berganti pasangan hanya terpaut sebulan lebih
tua daripada wanita yang tetap dengan pasangannya yang sama.
Sebagai ringkasan, hipotesis primipaternitas tetap tak tergoyahkan.
Bagaimanapun kita harus tidak menjadi buta pada kenyataan bahwa mungkin ada efek
tambahan dihubungkan dengan interval persalinan lama. Khong et al. (2003) baru-baru
ini mendemonstrasikan bahwa perubahan struktural arteri spiralis yang dibutuhkan untuk
kehamilan tidak sempurna memecahkan persalinan berikutnya, dan bahwa derajat
perubahan anatomis dihubungkan dengan jumlah kehamilan sebelumnya; duplikasi dan
14
fragmentasi lamina elastik internal, dan proporsi jaringan non-muskular meningkat
sejalan bertambahnya paritas. Akan sangat penting untuk mengetahui apakah ya atau
tidak perubahan regresi ini dengan interval persalinan yang lama.
Paparan sperma
Marti dan Herrmann (1977) adalah orang pertama yang mengenali bahwa
pemaparan sperma yang berulang akan mencegah pre-eklampsia. Mereka meneliti 83
primigravida, 28 dengan pre-eklampsia, dan 55 dengan kehamilan tak terkomplikasi. Para
wanita dengan pre-eklampsia memiliki rata-rata 59.5 paparan fisiologis oleh semen
sementara kelompok kontrol non-pre-eklampsia memiliki 191.6 paparan. Dengan
tambahan, jumlah wanita menggunakan kontrasepsi oral (yang membolehkan paparan
sperma) dan periode total penggunaan kontrasepsi oral signifikan lebih rendah pada
wanita pre-eklampsia. Penulis menyatakan bahwa penemuan mereka mungkin
menyediakan sebuah penjelasan unutk insidensi pre-eklampsia yang tinggi pada anak
remaja. Satu kekurangan yang mungkin pada penelitian ini adalah fakta bahwa pre-
eklampsia ditetapkan dengan melihat nilai indeks gestasi (Goecke dan Schwabe, 1965).
Indeks gestasi (Goecke dan Schwabe, 1965) mengkombinasi tekanan darah sistole dan
diastole, proteinuria dan edema untuk mengklasifikasi pasien mengalami gestasi Edema-
Proteinuria-Hipertensi (EPH) ringan, sedang atau berat. Sehingga, adanya edema
fisiologis cukup untuk mengklasifikasikan seorang wanita hamil normotensi mengalami
gestasi EPH ringan. Menggunakan definisi yang lebih kontemporer untuk menetapkan
gangguan hipertensi diinduksi kehamilan, persoalan paparan sperma melindungi terhadap
15
pre-eklampsia telah ditetapkan ulang oleh Klonoff et al. (1989). Sebuah penelitian kasus
kontrol telah membandingkan riwayat kontrasepsi dan reproduksi 110 wanita primipara
pre-eklampsia dengan 115 wanita hamil tanpa pre-eklampsia. Kontrol dicocokkan pada
kasus dengan usia, ras dan jarak dari rumah sakit. Analisis regresi logistik tak bersyarat
mengindikasikan 2.37 kali lipat (95% CI: 1.01-5.58) risiko pre-eklampsia yang
meningkat pada pengguna kontrasepsi yang mencegah adanya paparan sperma,
contohnya kondom, diafragma, spermisida, dan interuptus. Lusinan respon gradien telah
diobservasi, dengan peningkatan risiko pre-eklampsia pada mereka yang memiliki
episode rendah paparan sperma. Sesuai Klonoff et al. (1989), metode barier bisa
berkontribusi sebanyak 60% kasus pre-eklampsia. Mills et al. (1991) tidak dapat
mengkonfirmasi efek “berlawanan” kontrasepsi barier ini. Setelah publikasi Klonoff et al.
(1989), mereka menganalisis, post hoc, data dari penelitian dua kehamilan perspektif
(“Kaiser Permanente Birth Defects Study” dan Penelitian Infeksi Vagina dan
Prematuritas), terutama terdiri dari wanita yang melahirkan pada pertengahan tujuh belas,
untuk memeriksa hubungan antara penggunaan kontrasepsi sebelum konsepsi, dan pre-
eklampsia. Jumlah pre-eklampsia diantara wanita yang menggunakan metode kontrasepsi
barier signifikan tidak lebih tinggi daripada jumlah wanita yang menggunakan metode
non-barier atau mereka yang tidak menggunakan kontrasepsi sama sekali.
Bagaimanapun, penelitian Mills et al. (1991) belum dibentuk secara spesifik untuk
mengeksplorasi hubungan antara penggunaan kontrasepsi dan pre-eklampsia, dan harus
diperhatikan bahwa hanya penggunaan kontrasepsi setahun sebelum penelitian kehamilan
dievaluasi. Mungkin saja wanita yang telah menggunakan metode barier selama periode
penelitian menggunakan metode non-barier sebelum ini. Wanita seringkali berhenti
16
meminum kontrasepsi oral beberapa waktu sebelum mereka benar-benar mencoba agar
hamil, karena perhatian tentang bayi yang terpapar oleh “pil” hormon, atau kekhawatiran
jika fungsi ovulasi tidak lagi utuh setelah tahun-tahun dengan kontrasepsi oral (Mosher
dan Pratt, 1990; Serfaty, 1992). Juga, walaupun dikatakan (Mills et al., 1991) bahwa
kriteria kontemporer digunakan untuk mendiagnosis gangguan hipertensi diinduksi
kehamilan, insidensi gangguan hipertensi diinduksi kehamilan yang dilaporkan pada
penelitian ini pada umumnya lebih tinggi daripada yang pernah dilaporkan oleh
kebanyakan autoritas. Pada “Kaiser Permanente Birth Defects Study,” 6,1% primigravida
akan mengalami pre-eklampsia, yang mana hal ini berkesesuaian dengan penelitian di
literatur. Bagaimanapun, melihat dari multipara mereka, satu yang dilanggar oleh 5.4%
insidensi pre-eklampsia, yang mana sangat tinggi. Pada “Penelitian Infeksi Vagina dan
Prematuritas”, insidensi pre-eklampsia pada wanita nulipara sebanyak 16,4% dan 13,3%
pada wanita multipara. Data ini meyebabkan perhatian serius tentang validitas
kesimpulan yang dibuat oleh Mills et al. (1991).
Beberapa penelitian di negara lain telah membenarkan hubungan antara
peningkatan risiko eklampsia dengan kontrasepsi barier (Cepicky dan Podrouzek, 1990;
Hernandez-Valencia et al., 2000). Belum lama ini, Einarsson et al. (2003) mempublikasi
data yang mendukung risiko berhubungan penggunaaan kontrasepsi barier. Penulis Texas
ini menggunakan bentuk kasus-kontrol dimana wanita dengan pre-eklampsia (kasus)
dicocokkan dengan dua wanita tanpa pre-eklampsia (kontrol) dalam usia dan paritasnya.
Sejumlah 113 kasus telah dibandingkan dengan 226 kontrol. Wanita dengan periode
pendek kohabitasi (<4 bulan) menggunakan metode kontrasepsi barier memiliki kenaikan
risiko substansial untuk terjadinya pre-eklampsia dibandingkan dengan wanita yang
17
mengalami kohabitasi selama lebih dari 12 bulan sebelum konsepsi (rasio rentang 17.1,
P=0.004).
Robillard et al. (1994) adalah orang yang pertama kali menampilkan penelitian
prospektif dalam hubungan antara paparan sperma dan pre-eklampsia. Mereka meneliti
durasi kohabitasi seksual dengan ayah sebelum terjadi konsepsi dan insidensi hipertensi
diinduksi kehamilan. Selama periode 5 bulan, 1011 wanita yang berturut-turut
melahirkan pada sebuah unit obstetri telah diwawancarai tentang paternitas dan durasi
kohabitasi seksual sebelum konsepsi. Diagram obstetri secara abstrak telah
menggambarkan tiga kelompok; mereka dengan hipertensi diinduksi kehamilan,
hipertensi kronik, dan mereka dengan tekanan darah normal. Insidensi hipertensi
diinduksi kehamilan sebanyak 11.9% diantara primigravida, 4.7% diantara multigravida
dengan paternitas yang sama, 24.0% diantara multigravida dengan paternitas yang baru.
Untuk primigravida dan multigravida, lamanya kohabitasi seksual sebelum konsepsi
berbanding terbalik dengan kejadian hipertensi diinduksi kehamilan (P<0.0001). Hasil
yang sama telah diobservasi setelah penilikan ras, edukasi, usia maternal, status
perkawinan, dan jumlah kehamilan. Memakai kohabitasi wanita yang lebih dari 12 bulan
sebagai referensi, penyesuaian rasio rentang (OR) untuk terjadinya pre-eklampsia apabila
periode kohabitasi selama 0-4 bulan sebanyak 11.6 (95% CI: 6.4-20.9), untuk periode 5-8
bulan sebanyak 5.9 (95% CI: 2.9-12.5), dan untuk periode 9-12 bulan sebanyak 4.2 (95%
CI: 1.7-10.4). dalam penelitian prospektif ini, Robillard et al. (1994) menunjukkan bahwa
multigravida dengan gangguan hipertensi diinduksi kehamilan memiliki pasangan baru
pada 66.7% kasus dibandingkan dengan 24.1% pada multigravida normotensi
(P=0.0001). Insidensi yang sangat tinggi (24.0%) hipertensi diinduksi kehamilan diantara
18
multigravida dengan paternitas baru terlihat berhubungan dengan periode pendek paparan
sperma sebelum konsepsi. Robillard et al. (1994) menduga bahwa gangguan hipertensi
diinduksi kehamilan dalah suatu masalah dari primipaternitas daripada primigraviditas,
dan bahwa pemanjangan durasi kohabitasi seksual sebelum konsepsi melindungi terhadap
kejadian gangguan hipertensi diinduksi kehamilan. Pada penelitian 21 pasien dengan
kejadian proteinuri hipertensi diinduksi kehamilan (pre-eklampsia), sementara pada 81
pasien yang lain berkembang menjadi hipertensi diinduksi kehamilan. Pada analisis ini,
pasien ini juga dikelompokkan sebagai hipertensi diinduksi kehamilan. Maka dari itu,
walaupun penelitian preospektif ini menyediakan data yang akurat, penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk melihat apakah paparan sperma memberikan proteksi mencegah pre-
eklampsia sejati, dan terutama pre-eklampsia yang dihubngkan dengan hasil perinatal
yang jelek. Pada penelitian kasus-kontrol yang relatif kecil, Verwoerd et al. (2002)
menemukan bahwa multigravida, tetapi bukan primigravida, dengan periode kohabitasi
seksual tanpa perlindungan >6 bulan, mengalami penurunan risiko terjadinya pre-
eklampsia. Sebaliknya pada penelitian Robillard, Morcos et al. (2000) dalam penelitian
kasus-kontrol retrospektif baru-baru ini dari 68 wanita paritas campuran dengan
hipertensi diinduksi kehamilan menemukan bahwa, pada wanita primipara, durasi
kohabitasi seksual dihubungkan dengan penurunan risiko hipertensi diinduksi kehamilan
yang kecil dan bahkan tidak signifikan. Untuk wanita multipara, lamanya interval
konsepsi dan penghentian penggunaan kontrasepsi barier dihubungkan dengan
peningkatan risiko hipertensi diinduksi kehamilan yang lebih besar. Bagaimanapun, pada
penelitian Morcos et al. (2000) memiliki beberapa masalah utama: (a) persentasi yang
relatif tinggi (20-40% kasus) memiliki riwayat aborsi sebelumnya, dan (b) kontrol dan
19
kasus keduanya memiliki faktor pembatas fertilitas yang signifikan. Rata-rata jumlah
bulan dari aktivitas seksual tanpa persalinan kontrol sebanyak 13.2 dan 10.9 bulan,
berturut-turut, pada kasus dan kontrol hipertensi primipara, dan 49.4 dan 27.1 bulan,
berturut-turut, pada kasus dan kontrol hipertensi multipara.
Paparan sperma alternatif di mukosa
Penggunaan oral mielin dan kolagen memiliki efek menguntungkan yang
signifikan pada pasien dengan multipel sklerosis dan reumatoid artritis. Efek ini
(tolerisasi oral) mungkin berhubungan pada jalur spesifik dimana antigen diproses oleh
sistem imun saluran digestif. Toleransi oral adalah metode yang sudah lama dikenal
untuk menginduksi toleransi imun. Menariknya, antigen yang menstimulasi usus-
dihubungkan dengan jaringan limfa (GALT) lebih dahulu mencetus tipe respon Th2
(Weiner et al., 1994). Pada 1986, dua tipe sel T pembantu inhibitor mutualis yang
berbeda telah digambarkan (Mossman et al., 1986). Tipe sel yang pertama, disebut Th1,
mensekresi IL-2, IFN-γ, dan limfotoksin. Hal ini berlawanan dengan sel Th2 yang
mensekresi IL-4, IL-6 dan IL-10 (Mossman dan Moore, 1991). Sitokin Th1 dihubungkan
dengan imunitas dimediasi sel dan memperlambat reaksi hipersensitivitas, sementara
sitokin Th2 membantu perkembangan respon antibodi dan reaksi alergi. Karena sitokin
Th1 dianggap berbahaya bagi kehamilan, dan sitokin Th2 seperti IL-10 dapat
menurunkan produksi sitokin Th1, sehingga dikemukakan oleh Wegmann di awal tahun
1990 bahwa kehamilan yang berhasil adalah merupakan fenomena Th2 (Marzi et al.,
1996; wegmann et al., 1993). Sekarang kita tahu bahwa paradigma ini jelas hanya sebuah
20
penyederhanaan yang berlebihan. Bagaimanapun, berdasarkan konsep toleransi mukosa,
dan paradigma tipe 1 banding 2, Koelman et al. (2000) mengevaluasi apakah seks oral
dihubungkan dengan insidensi rendah pre-eklampsia; 41 wanita primipara dengan
riwayat pre-eklampsia, ditetapkan secara ketat oleh kombinasi adanya hipertensi
diinduksi kehamilan, proteinuria dan hiperurisemia, dan kelompok kontrol dari 44 wanita
dengan kehamilan normal telah ditenya apakah mereka melakukan seks oral (ejakulasi
intraoral) dengan pasangan mereka sebelum indeks kehamilan. Pada 41 wanita pre-
eklampsia 18 (44%) melakukan seks oral dengan pasangannya sebelum indeks kehamilan
banding 36 dari 44 (82%) pada kelompok kontrol (P=0.0003). Dengan tambahan, 7 dari
41 (17%) pasien pre-eklampsia banding 21 dari 44 pasien kontrol (48%) mengakui bahwa
mereka telah meneguk sperma (P=0.003). maka dari itu, seks oral sebelum kehamilan
pertama tampaknya dihubungkan dengan penurunan signifikan insidensi pre-eklampsia.
Penulis mengakui bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui apakah
penemuan ini memperlihatkan tolerisasi terhadap antigen paternal atau apakah seks oral
dihubungkan dengan peningkatan paparan sperma oleh traktus genitalia.
Antigen paternal manakah yang penting dan bagaimana tubuh wanita menerima
pesan HLA paternal?
Jalur pasti dimana tubuh wanita menerima pesan HLA paternal belum diketahui.
Koelman et al. (2000) menunjukkan adanya molekul kelas I HLA yang terlarut
dalam plasma semen menghasilkan jalur utama yang langsung pada paparan
endometrium. Menariknya, molekul HLA terlarut juga bisa menginduksi apoptosis sel T
21
sitotoksik manusia (Zavazava dan kronke, 1996), dan induksi apoptosis bisa menjadi
sebuah mekanisme untuk menginduksi toleransi spesifik melawan membran molekul
HLA pasangannya. Sebuah model pengganti, diajukan oleh Clark (1993,1994),
menyatakan bahwa traktus genitalia memiliki sel T yang tidak biasa dengan tipe reseptor
γδ lebih banyak daripada tipe reseptor αβ untuk antigen. Dia mengusulkan bahwa sel T
ini bereaksi terhadap antigen di vagina dan uterus tanpa memerlukan pengikatan simultan
pada antigen tipe HLA-A, -B, -C, atau -D dalam antigen ditampilkan sel (APC).
Mekanisme seperti ini akan membuka jalur untuk pengenalan trofoblas manusia yang
kurang permukaannya untuk antigen klasik HLA.
Bagaimanapun, berdasarkan penelitiannya tentang kehamilan setelah inseminasi
intra uterina, Smith et al. (1997) mengemukakan bahwa faktor proteksi ada di
spermatozoa dan bukan pada cairan semen. Hasil ini didukung kuat oleh Wang et al.
(2002) di penelitian berikutnya. Mereka menggunakan model elegan untuk menegaskan
efek proteksi paparan sperma sebelumnya dan untuk menganalisis apakah proteksi ini
dibawa oleh sel sperma atau plasma semen. Penulis ini mengharapkan hasil dari
kehamilan dengan cara Injeksi Sperma Intra-Sitoplasmatik (ICSI), dimana fertilisasi
didapat dengan menginjeksi sperma pada plasma oosit. ICSI pada mulanya digunakan
pada kasus dimana ada kekurangan semen yang berat, termasuk azoospermia. Pada
beberapa pasien diperlukan pengambilan sperma secara bedah. Pasangan dimana
pasangan laki-lakinya mengidap azoospermia dan dimana sel sperma didapatkan dengan
metode bedah adalah “model” yang ideal untuk menguji proteksi toleransi imun spesifik
pasangan yang dibawa oleh sel sperma. Model ini menyediakan analisis independen dari
apa yang bisa terdapat dalam cairan semen, karena pada pasangan ini tidak terjadi
22
paparan sel sperma di traktus genitalia wanita selama berhubungan badan, sementara
paparan oleh cairan semen tidak terpengaruh. Kesemuanya, 1621 persalinan yang
dikandung sesuai standar IVF, ICSI menggunakan sel sperma yang didapat dengan
masturbasi, dan ICSI menggunakan sel sperma dengan metode bedah telah dianalisis; 195
(12%) terjadi hipertensi gestasional, dan 67 dari mereka (4.1%) terjadi pre-eklampsia.
Risiko hipertensi gestasional meningkat menjadi dua kali lipat, sementara risiko pre-
eklampsia meningkat menjadi tiga kali lipat pada ICSI menggunakan metode bedah
dibandingkan dengan standar IVF dan ICSI menggunakan sperma dengan masturbasi.
Penelitian ini menjelaskan bahwa paparan sebelumnya oleh sel sperma sebenarnya pasti
membawa sebagian besar proteksi, karena wanita di kelompok ICSI yang menggunakan
sel sperma dengan metode pengambilan bedah transkutaneus tidak pernah mengalami
kontak dengan sel sperma pasangannya – dan hal ini hanya pada pasien dengan
infertilitas yang lama yang terlihat terjadi peningkatan insidensi pre-eklampsia dan
hipertensi gestasional.
Hall et al. (2001) menyimpulkan hal yang berbeda. Peneliti ini memeriksa hasil
kehamilan wanita yang mengandung oleh donor inseminasi, dibandingkan dengan wanita
yang mengandung setelah IVF dengan spermatozoa pasangannya. Ini merupakan
penelitian kelompok retrospektif dari 218 wanita yang mendatangi klinik IVF, 45
diantaranya mengandung dengan inseminasi donor dan 173 yang mengandung dari
spermatozoa pasangannya. Kasus diidentifikasi dari unit IVF dan data diambil dari rekam
pasien dengan observer yang disamarkan. Analisis menunjukkan tidak ada perbedaan
antara kelompok, dengan 22% wanita yang mengandung dari spermatozoa donor dan
24% wanita yang mengandung dari spermatozoa pasangannya berkembang menjadi
23
penyakit hipertensi pada kehamilan. Inseminasi dengan spermatozoa pasangannya tidak
dihubungkan dengan penurunan insidensi terjadinya penyakit hipertensi, dan begitu juga
inseminasi dari spermatozoa donor. Harus diperhatikan bahwa (a) sampel penelitian ini
sangat kecil, dan (b) insidensi gangguan hipertensi diinduksi kehamilan terjadi sangat
tinggi di kedua kelompok. Kami merasa, bagaimanapun, bahwa Hall et al. (2001)
membuat satu kesalahan yang signifikan yang bisa menjelaskan hasil mereka yang
berlawanan. Kelompok wanita dengan metode IVF menggunakan sperma pasangannya
hampir pasti memiliki faktor pembatas fertilitas tambahan dibandingkan dengan
kelompok wanita dengan sperma donor. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Basso et
al. (2003) menemukan bahwa beberapa faktor memperlambat pengenalan konsepsi secara
klinis mungkin juga menjadi jalur penyebab terjadi pre-eklampsia.
Sebagai ringkasan, paparan sperma tidak meyediakan proteksi mencegah
terjadinya pre-eklampsia. Paparan yang sebenarnya oleh sel sperma tampaknya menjadi
faktor yang penting. Deposisi semen pada traktus genitalia wanita menimbulkan kaskade
peristiwa selular dan molekular yang menyerupai respon inflamasi klasik. Faktor penting
ini tampaknya adalah vesikel seminal yang mengubah faktor pertumbuhan β (TGFβ).
Vesikel seminal TGFβ disekresi lebih banyak pada bentuk laten.
Plasmin semen dan faktor uterus mengubah bentuk laten menjadi TGFβ bioaktif
(Tremellen et al., 1998). Inseminasi intra uterin in vivo TGFβ menghasilkan peningkatan
produksi faktor stimulasi koloni granulosit-monosit (GM-CSF) yang cukup untuk
menginisiasi leukositosis endometrial yang sebanding dengan yang terjadi pada
hubungan seksual (Robertson, 2002). Pemaparan TGFβ di uterus, dalam kombinasinya
dengan antigen ejakulasi paternal, menyokong pertumbuhan dan keselamatan fetus semi-
24
alogenik, dibuktikan dengan peningkatan signifikan pada berat fetal dan plasenta pada
penelitian hewan. Hal ini dipercaya difasilitasi oleh dua jalur. Yang pertama, dengan
inisiasi reaksi inflamasi setelah berhubungan badan, TGFβ meningkatkan kemampuan
untuk meneliti dan memproses antigen paternal yang ada di cairan ejakulat. Peran penting
TGFβ yang lain dan respon inflamasi post-koital yang berikutnya, adalah inisiasi deviasi
imun tipe 2 kuat. Pengolahan sebuah antigen oleh sel pembawa antigen dalam lingkungan
yang mengandung TGFβ tampaknya menginisiasi fenomena Th2 didalam sel T pemberi
reaksi (Robertson, 2002). Dengan menginisiasi respon imun tipe 2 kepada antigen
ejakulat paternal, TGFβ semen bisa mencegah induksi respon tipe 1 pada konsepsi semi-
alogenik yang diperkirakan bertanggungjawab pada terjadinya pertumbuhan plasenta dan
fetal yang jelek. Makrofag desidual, ada pada saat implantasi, akan mencegah aktivitas
lisis sel NK melalui pelepasan molekul seperti TGF, IL-10 dan prostaglandin-E2 (PGE2).
Dibawah pengaruh lingkungan sitokin lokal, sel pembawa antigen (seperti makrofag dan
sel dendritik) bisa menyebabkan, pengolahan dan adanya antigen ejakulat (sperma, sel
somatik, dan antigen terlarut) pada sel T dalam saluran nodus limfe (Tremellen et al.,
1998). Pada tikus, pengambilan mRNA sperma disandi untuk HLA paternal oleh antigen
desidual dibawa sel telah berlangsung. Ada penerjemahan berikutnya dari mRNA sperma
ini yang menyandi MHC paternal kelas I di dalam sel pembawa antigen maternal. Sel
pembawa antigen ini berjalan melalui uterus ke saluran nodus limfe selama respon
inflamasi post-koital. Tidak diketahui apakah mekanisme yang mengagumkan ini terjadi
pada manusia. HLA-G pastinya tidak berperan disini, karena sel sperma manusia tidak
memiliki mRNA untuk HLA-G (Hiby et al., 1999; Watson et al., 1983). Karena HLA-G
berupa monomorf sehingga tidak memungkinkan menjadi calon untuk mewakili
25
spesifitas HLA paternal. HLA-A dan HLA-B klasik juga tidak tampak berperan karena
tidak dikeluarkan oleh trofoblas.
Inseminasi donor dan donasi oosit
Analog dengan periode paparan sperma, inseminasi donor buatan telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti yang menghasilkan peningkatan substansial insidensi
pre-eklampsia (Schenker dan Ezra, 1994). Mengenai inseminasi donor buatan, penelitian
pokok pertama dilaporkan oleh Need et al. pada tahun 1983. Mereka melaporkan 584
kehamilan dengan inseminasi donor buatan (ADI) dalam program di seluruh Australia.
Insidensi keseluruhan pre-eklampsia (hipertensi diinduksi kehamilan proteinuria) tinggi
(9.3%) dibandingkan dengan insidensi yang diharapkan dari 0.5-5%. Insidensi meningkat
pada wanita multigravida dan juga primigravida. Insidensi pre-eklampsia yang
diharapkan pada wanita Australia primigravida sebanyak 5%, sementara sebanyak 10.1%
pada wanita primigravida yang hamil setelah ADI. Peningkatan insidensi pre-eklampsia
pada wanita primigravida setelah ADI ini mendukung penemuan Robillard et al. (1994),
yang menunjukkan efek proteksi pemanjangan periode paparan sperma. Insidensi pre-
eklampsia yang diharapkan sebanyak 0.9% pada pasien multigravida, sementara
sebanyak 7.8% pada wanita multigravida dengan ADI. Sehingga, efek proteksi yang
diharapkan dari kehamilan yang sebelumnya tidak terlihat, dalam kenyataannya ada
peningkatan pre-eklampsia sebanyak 47 kali lipat (diobservasi banding diharapkan) pada
kehamilan ADI setelah kehamilan cukup bulan sebelumnya, dan peningkatan sebanyak
15 kali lipat setelah kehamilan dengan durasi yang lebih pendek. Data dari pasien
26
multigravida yang telah menjalani ADI juga cenderung mendukung konsep
primipaternitas yang dibuat oleh beberapa kelompok independen peneliti (Feeney, 1980;
Feeney dan Scott, 1980; Ikedife, 1980; Robillard et al., 1993; Trupin et al., 1996;
Tubbergen et al., 1999). Grefenstette et al. (1990) menunjukkan hasil dari 487 kehamilan
setelah ADI dengan semen beku, dan menemukan peningkatan signifikan insidensi
hipertensi diinduksi kehamilan dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan dengan
kelompok kontrol dari penelitian nasional yang diadakan oleh INSERM di Perancis tahun
1981.
Laporan pertama mengenai efek donasi oosit pada insidensi gangguan hipertensi
diinduksi kehamilan dibuat oleh Serhal dan Craft (1987). Mereka melaporkan bahwa 5
dari 10 pasien hamil pertama mereka yang hamil dengan donasi oosit, yang kesemuanya
normotensi sebelum hamil, berkembang menjadi hipertensi proteinuria. Dua tahun
kemudian, mereka mempublikasi rangkaian 61 kehamilan dengan donasi oosit; insidensi
pre-eklampsia sebanyak 38% (Serhal dan Craft, 1989). Insidensi yang sama (32%) telah
dilaporkan oleh Pados et al. (1994), dan oleh Soderstrom-Anttila dan Hovatta (1995)
(41%). Bagaimanapun, akibat donasi oosit/ADI pada insidensi pre-eklampsia tidak terus
menerus dilaporkan oleh peneliti lainnya. Perkins (1993) mengikuti rangkaian kecil
kehamilan diinisiasi AID. Insidensi komplikasi hipertensi pada kelompok ini, 36 wanita
nulipara, tidak berbeda dari rata-rata semua kehamilan di institusi mereka. Friedman et
al. (1996) membandingkan hasil perinatal pada rangkaian kecil dari berturut-turut 22
kehamilan dengan ovum donor. Sampel dicocokkan dalam usia, paritas dan urutan gestasi
dengan sebuah kelompok kontrol terdiri dari 22 wanita yang telah melalui standardisasi
transfer embrio IVF selama periode yang sama. Kedua kelompok menunjukkan rata-rata
27
yang sama dari gangguan hipertensi. Antinori et al. (1995) melaporkan 44 pencapaian
kehamilan setelah donasi oosit, ditemukan insidensi gangguan hipertensi diinduksi
kehamilan sebanyak 13% yang meningkat hanya sedikit dibandingkan pada literatur,
terutama mengingat relatif tingginya umur wanita pada penelitian ini. Hendler et al.
(1997) membandingkan hasil kehamilan pada 35 kehamilan tunggal sedikitnya 24
minggu setelah hamil dengan donasi oosit pada satu pusat reproduksi, dengan 95
kehamilan tunggal yang hamil setelah IVF pada wanita dengan umur yang sama yang
melahirkan selama periode yang sama (1988-1996). Insidensi gangguan hipertensi
diinduksi kehamilan sebanyak 25.7% pada kelompok donasi oosit, banding 4.2% pada
kelompok kontrol (P< 0.01). perbandingan umur maternal pada wanita donasi oosit
dibandingkan dangan pasien IVF biasa adalah fitur penting penelitian ini. Hal ini
dikarenakan sebagian besar penelitian melaporkan insidensi tinggi komplikasi hipertensi
pada kehamilan donasi oosit diperburuk dengan meningkatnya usia pasien, yang mana
dan umur itu sendiri yang dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi
(Michalas et al., 1996). Salha et al. (1999) membandingkan efek tipe yang berbeda dari
gamet donasi. Pada penelitian kelompok retrospektif ini, sejumlah 144 wanita telah
diteliti. Pada sejumlah itu, 72 adalah pasien infertilitas yang telah hamil dengan donasi
sperma, ovum atau embrio. Sedangkan 72 wanita yang lain sebagai kontrol disesuaikan
pada umur dan paritas yang hamil dengan gamet mereka sendiri, secara spontan ataupun
setelah inseminasi intauterin dengan spermatozoa pasangannya. Penelitian pasien dibagi
menjadi tiga kelompok tergantung asal gamet yang di donasi. Kelompok 1 terdiri dari
kehamilan yang dicapai dengani nseminasi intrauterine dengan spermatozoa donor yang
sudah dicuci (n=33). Kelompok 2 terdiri dari wanita yang hamil dengan donaso oosit
28
(n=27), dan kelompok 3 terdiri dari wanita yang hamil dari donasi embrio (n=12).
Insidensi hipertensi diinduksi kehamilan pada kelompok penelitian donasi gamet
sebanyak 12.5% (9/72) dibandingkan dengan 2.8% (2/72) pada kelompok kontrol.
Sebagai tambahan, pre-eklampsia didiagnosis dalam 18.1% (13/72) dari kelompok
penelitian donasi gamet dibandingkan pada 1.4% (1/72) pada kontrol yang sesuai umur
dan paritas.
Sebagai ringkasan, sejalur dengan hipotesis maladaptasi imun, kehamilan dengan
donasi gamet, dan lebih spesifik kehamilan dengan donor embrio, jelas meningkatkan
risiko pre-eklampsia. Dengan kemungkinan peningkatan penggunaan teknik reproduksi
ini di masa mendatang, para klinisi obstetri membutuhkan adaptasi ANC mereka untuk
kehamilan risiko tinggi tersebut.
Pasangan yang “berbahaya”
Terdapat data yang menyediakan bukti adanya ayah yang “berbahaya”. Lie et al.
(1998) mempublikasi penelitian Norwegia (1967-1992; sekitar 60.000 kelahiran per
tahun) dimana mereka diidentifikasi sebagai 363.758 pasang kehamilan pertama dan
kedua dimana dua janin berasal dari ibu dan ayah yang sama; 14.266 pasang kehamilan
dimana janinnya berasal dari ibu yang sama tetapi ayah yang berbeda; dan 26.152 pasang
dimana janin berasal dari ayah yang sama tetapi ibu yang berbeda. Penemuan terbesar
penelitian ini adalah laki-laki “ayah” dari sebuah kehamilan pre-eklampsia yang mana
hampir dua kali lipat seperti yang terjadi pada “ayah” kehamilan pre-eklampsia pada
wanita yang berbeda (1.8; 95% CI: 1.2-2.6; setelah penyesuaian paritas), tanpa
29
memperhatikan apakah wanita ini sudah pernah mengalami kehamilan pre-eklampsia
atau tidak. “Ibu” tersebut memiliki peningkatan substansial pada kehamilan keduanya
(2.9%) jika mereka hamil dari laki-laki “ayah” kehamilan pertama yang pre-eklampsia
pada wanita lain. Risiko ini hampir sebanyak rata-rata risiko diantara kehamilan yang
pertama. Menjadi laki-laki yang “berbahaya” atau tidak, tergantung spesifik HLA-nya,
faktor semen (contohnya TGFβ yang rendah) atau faktor lain yang belum diketahui.
Terdapat predisposisi maternal diwariskan yang dikenali dengan baik untuk
terjadinya pre-eklampsia. Apakah terdapat komponen paternal diwariskan,
bagaimanapun, belum pasti, tetapi Esplin et al. (2001) menggunakan rekam medik dari
Pusat data Populasi Utah untuk mengidentifikasi 298 laki-laki dan 237 wanita yang lahir
diantara tahun 1947 sampai 1957 yang ibunya mengalami pre-eklampsia selama
kehamilannya. Untuk setiap laki-laki dan wanita pada kelompok penelitian, mereka
diidentifikasi dengan dua kecocokan, subjek kontrol yang tidak berhubungan yang mana
bukan hasil dari kehamilan pre-eklampsia. Mereka kemudian mengidentifikasi 947 anak
dari 298 subjek penelitian laki-laki dan 830 anak dari 237 subjek penelitian wanita yang
dilahirkan antara tahun 1970 dan 1992. Anak-anak ini dicocokkan dengan anak-anak dari
kelompok subjek kontrol (1950 anak kelompok kontrol laki-laki dan 1658 anak dari
kelompok kontrol wanita). Setelah penyesuaian tahun lahir anak, paritas maternal, dan
usia gestasi anak saat kelahiran, rasio rentang dari seorang dewasa yang ibunya
mengalami pre-eklampsia akan memiliki anak yang merupakan hasil kehamilan yang
dikomplikasi pre-eklampsia sebanyak 2.1 (95% CI: 1.0-4.3; P=0.04) pada klompok
penelitian laki-laki dan 3.3 (95% CI: 1.5-7.5; P=0.004) pada kelompok penelitian wanita.
Para penulis menyimpulkan bahwa pria dan wanita yang merupakan hasil dari kehamilan
30
dengan pre-eklampsia tampaknya juga akan memiliki anak hasil kehamilan dengan pre-
eklampsia dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Perspektif
Penelitian, yang kebanyakan epidemiologikal, yang diulas pada bab ini
menegaskan bahwa maladaptasi imun berpengaruh pada etiologi pre-eklampsia. Paparan
sperma memberikan setidaknya separuh pertahanan mencegah terjadinya pre-eklampsia.
Maladaptasi imun bisa menyebabkan invasi trofoblas ke endovaskular yang dangkal pada
pre-eklampsia, sehingga memicu terjadinya iskemik plasenta dan disfungsi sel endotelial,
sebuah teori yang sejalan dengan hipotesis iskemik plasenta (Smarason et al., 1993).
Sebaliknya, maladaptasi imun bisa menyebabkan pelepasan sitokin toksik, spesies radikal
dan enzim proteolitik dari sel desidua, yang mana akan menyebabkan perusakan dan atau
gangguan fungsi normal trofoblas dan sel endotelial maternal (Dekker dan Sibai, 1998).
Hipotesis maladaptasi imun tidak menyangkal hasil penelitian yang menunjukkan
keterlibatan faktor genetik pada etiologi pre-eklampsia. Pada awal tahun 1985, Beer dan
Need mengeluarkan hipotesis bahwa wanita responden yang secara genetik jelek,
digabung dengan pria yang merupakan seorang stimulator jelek secara genetik, akan
menghasilkan respon maternal yang tidak cukup bahkan tidak baik. Westendorp et al.
(1997) menunjukkan hubungan faktor genetik dan produksi sitokin. Peneliti ini
menemukan bahwa profil sitokin anti inflamasi bawaan tertentu (jumlah TNF yang
rendah dan jumlah IL-10 yang tinggi) mungkin akan memperbesar kemungkinan
penyakit meningokokus yang fatal. Pada teori, faktor genetik yang mirip, dalam
31
mengontrol keseimbangan Th1/Th2, bisa mempengaruhi respon maternal dalam melawan
antigen fetal (paternal) asing. Chen et al. (1996) menunjukkan adanya peningkatan
pengeluaran mRNA TNF-α pada leukosit dari wanita pre-eklampsia dibandingan pada
wanita dengan kehamilan normal dan wanita yang tidak hamil. Pengeluaran TNF-α yang
banyak ini dihubungkan dengan alel TNF1, yang ditemukan lebih meningkat sebagai
penanda pre-eklampsia (Chen et al. 1996). Bagaimanapun, pada penelitian besar baru-
baru ini, Lachmeijer et al. (2001) gagal menemukan hubungan antara polimorfisme
sembilan pada regio TNF dan pre-eklampsia atau sindrrom HELLP. Sesuai dengan
Hefker et al. (2001), penulis ini juga menemukan bahwa polimorfisme pada IL-1 dan
reseptor antagonis gen IL-1 (IL1ra) dan pre-eklampsia atau sindrom HELLP tidak
berhubungan.
Kesimpulan didapatkan dari penelitian yang telah kita ulas pada bab ini mungkin
memiliki akibat praktis untuk dokter yang praktek, walaupun etiologi pasti pre-eklampsia
masih belum diketahui:
1. Sesuai konsep primipaternitas, wanita multipara dengan pasangan baru harus
diperlakukan seperti memiliki risiko pre-eklampsia yang sama yang terjadi pada
wanita primigravida.
2. Inseminasi donor asli, donasi oosit, dan terutama donasi embrio dihubungkan
dengan peningkatan risiko terjadinya gangguan hipertensi diinduksi kehamilan.
3. Periode paparan sperma yang lama memberikan proteksi parsial mencegah
gangguan hipertensi diinduksi kehamilan. Pada saat ini, setiap wanita dengan
pasangan yang banyak sangat dianjurkan untuk menggunakan kondom untuk
mencegah penyakit menular seksual. Bagaimanapun, paparan sperma periode
32
tertentu pada hubungan yang stabil, apabila menghendaki kehamilan, dapat
dihubungkan dengan setidaknya proteksi parsial mencegah pre-eklampsia.
Pengamatan dari sebuah hubungan terbalik antara durasi kohabitasi seksual dan
insidensi pre-eklampsia menunjukkan bahwa paparan sperma yang lama penting untuk
berhasilnya sebuah implantasi (Robertson et al. 2003). Hal ini membuat pengertian
fisiologis karena wanita adalah salah satu pada sedikit mamalia yang terpapar semen
pasangannya pada banyak kesempatan sebelum terjadi konsepsi. Dari sebuah perspektif
evolusionaris, hal ini bisa dibuktikan bahwa induksi toleransi antigen paternal melalui
paparan sperma berulang memiliki keuntungan reproduktif. Hal ini bisa meningkatkan
implantasi dan ketahanan embrio yang dikandung pada hubungan jangka panjang dimana
dapat dibuktikan bahwa ayah janin yang dikandung berkomitmen pada janin yang
dihasilkannya. Pada istilah evolusi, insidensi pre-eklampsia yang relatif tinggi mewakili
kerugian signifikan reproduktif pada manusia dibandingkan dengan mamalia lain.
Eklampsia masih sebuah faktor komplikasi pada 1% persalinan pada negara berkembang,
dan terjadi dengan jumlah yang sama pada kelahiran di negara erkembang sampai tahun
1950an (Robillard et al., 2002). Banyak peneliti menduga bahwa penyakit ini
menyembunyikan sebuah keuntungan adaptif di suatu tempat. Hal ini mungkin benar
untuk kenaikan tekanan darah, karena peningkatan tekanan darah sistemik maternal akan
meningkatkan tekanan perfusi (Dadelszen et al., 2000). Bagaimanapun, keseluruhan
sindrom klinis pre-eklampsia sampai eklampsia telah mendorong para wanita untuk
beradaptasi pada beban reproduksi yang sangat hebat.
Perbedaan besar antara embrio manusia dan para mamalia adalah besarnya otak
yang memerlukan sekitar 60% jumlah nutrisi fetal yang dibutuhkan untuk perkembangan
33
otak pada trimester kedua dak ketiga kehamilan (Martin, 1996). Robillard et al. (2002)
baru-baru ini mengajukan hipotesis bahwa besarnya otak fetal memerlukan invasi
trofoblas ke endovaskular yang dalam. Sesuai hipotesis ini, invasi trofoblas ke
endovaskular yang dalam hanya terjadi apabila ada toleransi imunogenetik yang utama
pada toleransi jaringan antara maternal-paternal. Para peneliti ini mengemukakan bahwa
tingkat kesuburan dan hilangnya estrus mewakili harga yang harus dibayar manusia
untuk otak yang besar, kebutuhan invasi trofoblas ke endovaskular yang dalam, dan
insidensi rendah pre-eklampsia yang dapat diterima. Para wanita memiliki tingkat
kesuburan yang rendah, 25% pada usia kesuburan maksimal. Pada model matematikalis
pada populasi, para ahli demografi menggunakan interval pertengahan antara 7-8 bulan
konstitusi pasangan (tanpa kontrasepsi). Menjadi sangan subur pada kehamilan pertama
dapat dianggap sebuah kerugian dengan adanya risiko pre-eklampsia yang tinggi. Sesuai
Robillard et al. (2002, 2003), tingkat kesuburan 25%, seperti yang diamati pada spesies
manusia, adalah toleransi terbaik antara risiko pre-eklampsia dan multiparitas dengan
pasangan yang sama, tanpa mengancam kesuburan untuk kehamilan berikutnya.
Kesimpulan
Baru-baru ini, pada pemahaman etiologi pre-eklampsia, penelitian klinis
(epidemiologikal) telah menjadi fundamental dalam usaha untuk penyesuaian ulang
perdebatan terhadap kemungkinan adanya mekanisme imunologis. Istilah
“primipaternitas” (Robillard et al., 1993) telah terpilih untuk membantah dogma bahwa
“pre-eklampsia adalah penyakit para wanita primigravida” disebarluaskan pada banyak
34
buku ajar obstetri di akhir abad ke-20. Meskipun demikian, istilah “primipaternitas”
menyebabkan ambiguitas. Untungnya spesies manusia, multipara yang kebanyakan
berganti pasangan tidak mengalami pre-eklampsia (dan tidak juga pada kebanyakan
primigravida).
Pada penelitian prospektif kelompok Guadalope (Robillard et al., 1994) pada
primipara (seperti juga multipara yang dilaporkan telah berganti pasangan) menegaskan
hasil penelitian Marti dan Herrmann (1977): bahwa ada 40-45% peluang terjadinya
gangguan hipertensi pada kehamilan pada sejumlah kecil wanita yang konsepsinya terjadi
dalam 4 bulan kohabitasi seksual. Maka dari itu, “pergantian paternitas” harus dianggap
hanyalah satu diantara banyak faktor risiko terjadinya pre-eklampsia. Bersama,
penelitian-penelitian ini sampai pada kesimpulan logis yang sama, yang mana bahwa
durasi kohabitasi seksual, dan konsepsi pertama sebuah pasangan, bukan merupakan
faktor risiko independen, dan bahwa penjelasan biologis hal ini adalah kebutuhan adanya
paparan sperma sebelum konsepsi. Untuk alasan ini Robillard, Dekker dan Hulsey
mengajukan model alternatif “primipaternitas” pada tahun 1999 (Robillard et al., 1999).
Pada model ini pre-eklampsia dihubungkan dengan “pasangan yang cepat mengandung
setelah konstitusinya.”
Ulasan terperinci pada kebanyakan penelitian epidemiologikal dipublikasi selama
abad ke-20, dan pada keterangan buku Dieckmann (1952), Chesley (1978) dan
MacGillivray (1983) menampakkan sejumlah inkonsistenan yang mungkin sekarang
sudah bisa dijelaskan. Sebagai contoh, oleh para peneliti ini pre-eklampsia dilaporkan
lebih banyak terjadi pada remaja atau primigravida yang tidak menikah. Penemuan ini
sulit dijelaskan dengan dasar pre-eklampsia hanya merupakan penyakit pada wanita
35
primigravida. Dengan model primipaternitas, bagaimanapun, sekarang menjadi beralasan.
Kami juga telah membuat dua prediksi berdasarkan model primipaternitas: (1) fertilisasi
dengan donor sperma yang tidak diketahui dapat meningkatkan insidensi pre-eklampsia;
dan (2) bahwa efek proteksi sebuah terminasi kehamilan sebelumnya atau keguguran
hanya ada pada kasus dimana kehamilan berikutnya terjadi dengan pasangan pria yang
sama. Prediksi terakhir ini ditetapkan oleh Saftlas et al. (2003)
36
Sumber Pustaka
Fiona lyall and Michael Belfort. Pre-eclampsia Etiology and Clinical Practice, Cambridge
medicine: 2007. New York.
37