39

Manado Post Senin 16 Juli

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Putra Sulut Pahlawan Dunia

Citation preview

Page 1: Manado Post Senin 16 Juli
Page 2: Manado Post Senin 16 Juli
Page 3: Manado Post Senin 16 Juli
Page 4: Manado Post Senin 16 Juli
Page 5: Manado Post Senin 16 Juli
Page 6: Manado Post Senin 16 Juli

bersikukuh membawa amanat perdamaian dari negara. ”Ini tugas negara, saya tak akan mun-dur. Mati sekalipun saya siap,” ujar Sarundajang menjawab penolakan panglima Laskar Jihad Ja’far Umar Thalib dan sejumlah tokoh masyarakat Maluku Utara saat itu.

Sarundajang dan Ja’far Umar Thalib saat itu menjadi musuh bebuyutan. Tetapi karena mission impossible itu dilakukan dengan hati nurani tanpa ada kepentingan apa-apa dan selalu mengandalkan Tuhan, Sarundajang berhasil melumpuhkan keganasan Laskar Jihad, termasuk panglimanya. Memang selama konflik Maluku dan Maluku Utara satu dekade lalu, siapa yang tidak kenal dengan keganasan Laskar Jihad. Tetapi Sarundajang berhasil melakukan pendekatan-pendekatan yang akhirnya bisa mengajak Ja’far Umar Talib untuk hidup damai, seperti cita-cita para The Founding Fathers bangsa ini. Hampir sebelas tahun kemudian, Sabtu 14 Juli, pemandangan yang indah tergambar di Gedung Ir HC Soekarno, kampus UIN Maliki Malang. Ja’far menghadiri sebuah perhelatan bersejarah dalam perjalanan hidup Sinyo Harry Sarundajang, yang mantan Penjabat Gubernur Maluku Utara 2001-2002. Hari itu, Sarundajang mendapat gelar doktor kehormatan (Doktor Honoris Causa) di bidang Kepemimpinan Masyarakat Majemuk di Universitas Islam Negeri (UIN) Malik Ibrahim Malang.

Kedekatan Sarundajang-Ja’far memang tak pernah ter-bayangkan, jika mengingat pecahnya konflik horisontal di Maluku pada 1999-2001 dan Maluku Utara pada 2002. Saat itu Ja’far bersama Laskar Jihad-nya menyatakan siap mati untuk memerangi kelompok separatis yang mereka sebut sebagai Republik Maluku Selatan (RMS). ’’Beliau (Sarundajang) mampu meyakinkan saya untuk secara permanen menarik seluruh pasukan Laskar Jihad dari Maluku,’’ ujar Ja’far Umar Thalib yang ditemui usai mengikuti penganugerahan gelar doktor HC kepada putra gubernur terbaik di Indonesia itu.

’’Saat itu beliau mengatakan pemerintah Republik Indonesia akan menjamin dengan taruhan nyawa dan kehormatan beliau, bahwa wilayah Maluku dan Maluku Utara tidak akan lagi diganggu oleh kekuatan separatis, waktu itu RMS,’’ kenangnya waktu ditanya tentang apa yang membuatnya yakin untuk mengambil keputusan menarik seluruh pasukan Laskar Jihad dari dua wilayah konflik tersebut.

Dan, benar, berkat peran dan turun tangan Sarundajang mengupayakan damai d i Maluku dan Maluku Utara, konflik di dua wilayah itu pun berangsur mereda. Sejak itu pula, hubungan Sarundajang dan Jafar Umar Thalib makin erat hingga sekarang. Bahkan Rektor UIN Malang Prof Dr H Imam Suprayogo menilai, hubungan SHS dan Ja’far Umar

S E N I N , 1 6 J U L I 2 0 1 27

Max Mangimbulude

Sambungan dari hal 1ABAH......

Sambungan dari hal 11 KURSI......

Sambungan dari hal 1NIKMAT......

Sambungan dari hal 1DAMAIKAN.....

saya. Waktu kecil saya pernah menanam sorgum di desa saya. Waktu itu disebut jagung cantel. Bisa untuk nasi, bubur, camilan, ataupun tepung. Bisa juga untuk marning (popcorn dalam bentuk yang lebih kecil).

Menristek, Pak Gusti M. Hatta, menginformasikan bahwa di lingkungannya banyak ahli yang bisa digali ilmunya. Tidak hanya tentang menanam sorgum, tapi juga industri hilirnya. Ter-masuk yang dari IPB, Unpad, dan Unila. Mereka itulah yang berkumpul pekan lalu. Pertemuan pun berlangsung dengan dinamisnya.

Bahkan, mata Prof Sungkono sampai berlinang-linang. Saking terharu dan bersemangatnya. “Saya ini ahli sorgum yang baru sekarang didengar pendapat saya. Inilah mimpi saya. Sorgum

diperhatikan,” ujarnya.Putusan pun dibuat hari itu.

BUMN akan mencari 15.000 ha tanah tidak subur untuk ditanami sorgum secara besar-besaran. Selama ini, di Jabar BUMN memang sudah membina petani untuk menanam sorgum, tapi kecil-kecilan. Sebab, lahannya milik petani, yang luasannya memang terbatas.

Tapi, banyak petani lahan kering yang jatuh cinta. Sampai-sampai ada seorang petani yang aslinya bernama Supardi yang tinggal di Soreang, Kabupaten Bandung, mendapat panggilan baru: Abah Sorgum. Sebab, dia sangat gigih meyakinkan petani lain untuk menanam sorgum. Juga karena Abah Sorgum terus menciptakan makanan berbasis tepung sorgum.

Pengalaman Jabar itulah yang memberikan keyakinan untuk pengembangan besar-besaran. Lahan-lahannya siap didapat:

Sarundajang dibuka,” kata Rektor Prof Dr H Imam Suprayogo.

Acara yang berlangsung di Aula Ir Soekarno UIN Malang itu dimulai dengan pidato Prof Dr Amin Abdullah. Bersama Prof Dr Franz Magnis Suseno dan Prof Dr H Muhaimin MA, guru besar dari Universitas Gajah Mada (UGM)Jogyakarta itu menjadi promotor bagi SHS.

Lalu, Dr SHS menyampaikan pidato “Kepemimpinan Masya-rakat Majemuk”, yang berinti pada “hati nurani” dan mendayagunakan “kearifan lokal” dalam menye-lesaikan dan mengelola konflik di dalam masyarakat. Dua kata kunci itu merupakan inti paling dasar yang membawa SHS suk-ses mewujudkan perdamaian di Maluku Utara dan Maluku. Dengan dua ‘jimat’ itu, SHS sukses merangkul para musuhnya menjadi teman, bahkan bak saudara. Seperti Jafar Umar Thalib, Panglima Laskar Jihad, dan Dr Attamimi, Ketua MUI Maluku Utara. Kedua tokoh itu duduk di jejeran paling depan pada acara yang dihadiri ribuan undangan itu.

Gelar doctor honoris causa SHS bermula dari kerisauan dan kerinduan Prof Dr Imam Suprayogo. Rektor UIN Maliki Malang ini punya tekad kuat membuat kampusnya menebar nikmat keindahan keberagaman. Dua alasan pokok yang dikemukakan. Pertama, UIN Malang sebagai perguruan tinggi Islam semestinya dan seharusnya menjadi penebar Islam sebagai ‘rahmatan lil alamin’, rahmat bagi semesta alam, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, golongan dan kepercayaan. UIN Malang, dan semua perguruan tinggi Islam di Indonesia, kata Imam, harus mewujudnyatakan kerja-kerja kemanusian lintas batas dan lintas sekat agama, suku, ras dan golongan.

Kedua, sudah diketahui luas Indonesia merupakan pelahap ilmu-ilmu produksi barat. Prof Imam tak mencela hal itu. Tapi, di matanya, Indonesia merupakan ‘laboratorium kemajemukan’ yang tiada taranya di dunia. “Kita boleh menjadi konsumen ilmu-ilmu dari barat. Tetapi hendaknya Indonesia menjadi pemimpin dalam melahirkan ilmu, tradisi dan praktik kemajemukan yang membawa keselamatan, hidup berdampingan secara damai, dan mensejahterakan umat manusia,” katanya.

Rujukan ihwal ‘kompetisi terbuka dan fair’ tentang talenta terbaik dari setiap entitas di dalam masyarakat adalah Amerika Serikat (AS). Hasil yang paling mutakhir adalah terpilihnya Barack Obama, warga kulit hitam dan Afro-America pertama yang menjadi presiden di negara adi daya itu. Ini resultan dari tradisi sosial, budaya dan politik ratusan tahun.

Tapi lebih tua di Eropa. Hanya saja, tatkala negara-negara di ‘benua biru’ itu aktif menyebarkan benih-benih multikulturalisme, justru di beberapa negara muncul prilaku dan sikap yang tidak ramah bagi imigran. Di saat Eropa didera krisis ekonomi seperti sekarang ini, berbagai identitas dan simbol imigran seolah dianggap “asing”, bukan bagian dari kenyataan sosial setempat, dan dituding salah satu biang kerok keterpurukan ekonomi.

Indonesia punya image yang belum baik dalam hal mengelola kemajemukan. Beberapa kali dilanda konflik horisontal, kerap didera konflik komunal. Tetapi adalah benar kemajemukan di Indonesia nyaris sempurna. Jika bangsa ini berhasil mengelolanya, kerinduan Prof Imam amat beralasan. Menjadi pusat dan sumber rujukan dunia untuk belajar tentang hidup berdampingan secara rukun dan damai di tengah kemajemukan.

Perguruan tinggi Islam harus menjadi ‘roll model’ untuk itu. Kepeloporan itu, di mata Prof Imam, hendak menujukkan bahwa ‘umat Islam di Indonesia bukan cuma bisa bertikai, tetapi punya kesadaran dan kemampuan untuk menyelesaikan pertikaian’. Dari sana ditumbuhsuburkan benih-benih kepeloporan umat Islam untuk terus menjaga persatuan dan

kerukunan dalam keragaman,Tidak perlu jauh-jauh mencari

sosok yang menjadi tauladan ‘tokoh kemajemukan’. Prof Imam melacaknya di semua (bekas) daerah konflik: Kalbar, Kalteng, Sulteng, Maluku Utara dan Maluku. “Dari hasil pelacakan saya itu, nama Dr Sinyo Harry Sarundajang yang paling menonjol dan memenuhi semua kriteria,” kata Prof Imam.

Tentu bukan soal mudah untuk membawa nama SHS mendapat gelar doctor honoris causa di UIN Malang. Tetapi, kisah Prof Amin, proses, rangkaian dan prestasi SHS sesuai dengan visi, misi, dan core of value UIN Malang. “Senat UIN Malang dengan bulat menyetujui pemberian gelar doctor honoris causa kepada Dr Sinyo Harry Sarundajang,” katanya.

“Bobot gelar ini,” kata Rektor UGM Prof Dr Pratikno yang didaulat Prof Imam memberi sambutan, “sangat kuat. Karena diberikan oleh sebuah universitas Islam (kepada seorang penganut Kristen).” Lain halnya kalau gelar ini diberikan oleh UGM.

Di mata Pratikno, gelar doctor honoris causa ini bukan hanya penghargaan kepada pribadi SHS. Tetapi juga kepada Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), karena SHS adalah ketuanya. “Bahkan, gelar ini adalah persembahan Indonesia untuk dunia tentang mengelola kemajemukan,” tandasnya.

Itu sebabnya, Pratikno me-milih hadir pada acara ini dengan meninggalkan pertemuan para rektor se-ASEAN di Kuala Lum-pur. “Karena (pemberian gelar ini) bobotnya sangat kuat, momental dan menjadi sumbangsih (perguruan tinggi Islam) Indonesia untuk dunia,” ujarnya.

Wakil Menteri Agama Prof Dr Nasaruddin Umar memperkuat pernyataan Pratikno. “Pemberian gelar ini sangat tepat dan murni,” kata Umar. Kalau gelar ini diberikan oleh universitas di Jakarta, ada bias politiknya. “Tetapi gelar ini diberikan oleh UIN dan di Malang, jauh dari ibukota,” katanya.

Umar memberi bobot yang tinggi terhadap gelar doctor honoris causa UIN Malang untuk SHS ini. “Lebih berbobot dan lebih kuat dibandingkan dengan gelar doktor akademik yang diraih Pak Sarundajang dengan predikat cum laude di UGM,” tandas Umar.

Bagitulah, SH Sarundajang dipandang sebagai ‘personifikasi pemimpin yang cocok untuk masyarakat majemuk’. Sebuah kebutuhan riil dan amat didam-bakan oleh bangsa Indonesia. Prof Imam, Prof Pratikno, dan Prof Umar melegitimasi dan mem-perkukuhnya sebagai ‘harapan masa depan Indonesia’. Sekaligus ‘sumbangsih Indonesia untuk dunia’.

Tentu saja keputusan akademik UIN Malang dan ‘legitimasi ilmiah dan politik’ dari Prof Pratikno dan Prof Umar ini merupakan ‘benih-benih unggul’ yang harus disemai dan ditumbuhsuburkan. Perguruan tinggi Islam di Indonesia, hendaknya terpanggil untuk mengikuti jejak dan kepeloporan UIN Malang. Berbagai lembaga lintas agama memperteguhnya. Sementara lembaga-lembaga pubilk terus kukuh dan konsisten

mempraktikkan “semiliar cara, jurus dan kiat” kepemimpinan majemuk di Indonesia. Begitu juga lembaga-lembaga publik, organisasi formal dan informal. Tidak tergoda dengan kepentingan sesaat dan jangka pendek, dengan mengeksploitasi atau “berlindung” di balik sentimen suku, agama, ras, dan berbagai piranti primordialisme dan sektarianisme.

Tak mudah. Pemilu, plkada dan otonomi daerah memberi ruang bebas bagi penunggangan primordialisme dan politik sektarian. Jika birokrasi bisa melahirkan seorang SHS, perguruan tinggi memproduksi Prof Imam, Prof Protikno, Prof Franz Magnis Suseno dan banyak lagi tokoh lintas agama-etnik, partai politik masih miskin menghasilkan negarawan lintas agama-suku-ras-golongan. Partai politik, sadar atau tidak sadar, mengeksploitasi primordialisme dan sektarianisme dengan bersembunyi pada baju demokrasi dan demokratisasi.

Elit politik, nasional atau lokal doyan membakar politik aliran dan sektarian. Paling mutakhir Pilkada di DKI Jakarta yang secara tak terduga memunculkan Jakowi sebagai pemenang di putaran pertama. Calon petahana yang mengeksploitasi politik sektarian akhirnya kalah.

Ini sekaligus ‘cambuk’ bagi para elit politik. Kesadaran kemajemukan di tingkat rakyat justru lebih kuat. Hasil Pilkada DKI Jakarta putaran pertama menunjukkan kemajuan kesadaran kemajemukan di tingkat rakyat, tetapi keprihatinan di tingkat elit.

Tren kesadaran kemajemukan makin kuat di tingkat rakyat. Survei-survei mutakhir hampir semua menyebutkan, partai berbasis agama (Islam) hanya mendapat dukungan di kisaran 6-7 persen, terendah sejak Indonesia merdeka. Ini makin memperkuat penolakan rakyat terhadap eksploitasi agama (Islam) untuk kepentingan politik. Juga menjadi penguat Islam ideologis makin tersingkir.

Pasca reformasi, pilihan politik rakyat Indonesia menguat “ke tengah”. Tidak ke kanan (partai agama), juga tidak ke kiri (partai buruh selalu keok di pemilu). Ini menunjukkan, kehendak menjadikan Islam sebagai dasar negara tidak punya basis sosial dan politik di Indonesia. Paling tidak, basis sosial politiknya lemah.

Tetapi di tataran institusi dan masyarakat problem baru muncul. Paling menonjol dua hal: syariatisasi (memperjuangkan syari’ah Islam menjadi sumber hukum) dan kebebasan mendirikan rumah ibadah. Dua problem itu seperti menjadi ‘tema baru’ Islam ideologis dan Islam moderat bersama kaum minirotas. Syariatisasi memberi ruang baru bagi Islam ideologis untuk memperjuangkan Islam pada tataran kelembagaan dan perundangan. Bagi Islam moderat dan kaum minoritas, syariatisasi ‘dicurigai’ sebagai kelanjutan dari Islam Ideologis yang bercita-cita mengganti dasar negara Pancasila dengan Islam.

Sebagaimana hasil Pilkada Jakarta, trend partai politik Islam yang kian jauh dari pilihan rakyat, sekali lagi, menunjukkan kehendak memperjuangkan Islam sebagai

dasar negara sudah menjadi fakta masa lalu. Bukan lagi pilihan mayoritas rakyat Indonesia kini dan nanti. Bahwa syariatisasi dan kebebasan mendirikan rumah ibadah masih mengganggu. Tetapi cara kita menyikapi dan bereaksi terhadap problem itu jangan sampai memperkuat dan memberi ruang baru bagi Islam ideologis.

Hendaknya kita belajar dari sikap saling menghargai, menghormati dan hidup berdampingan dengan damai di tingkat akar rumput. Melebihi sekadar dialog antariman. Masyarakat di tingkat akar rumput langsung mempraktekkan kerukunan yang sejati, tanpa membawa-bawa firman dan tafsir kitab suci.

Sebut saja hal itu sebagai ‘kearifan lokal’ atau ‘kearifan akar rumput’. Paralel dengan pengalaman SHS selama menjadi Gubernur Maluku Utara dan Maluku, para pemimpin formal maupun non formal hendaknya memperteguh efektivitas dan optimalisasi kearifan itu untuk mengelola kemajemukan. “(Dengan kearifan itu) setiap masyarakat saya percaya punya kemampuan menyelesaikan konflik di antara mereka,” kata SHS. SHS memang telah menunjukkan teladan kepemimpinan yang mejemuk. Dia juga pribadi dari keluarga yang majemuk. Saya mengenal keluarga Sarundajang, jauh sebelum bertemu dengan SHS. Di kampung saya di Boltim, keluarga Sarundajang heterogen dalam soal keyakinan (agama) dan (asimilasi) suku.

Sementara dalam hal kebebasan mendirikan rumah ibadah, belajarlah dari Desa Mopuya, Dumoga. Mesjid, gereja, vihara dan pura didirikan berdampingan secara gotong royong oleh semua umat beragama di kampung itu. Akan halnya penghormatan terhadap kebebasan menjalankan ibadah, kesaksian Ny Dorothea Samola-Luntungan bisa menjadi teladan. Almarhum Erich Samola dengan tulus menyediakan tempat sholat kepada kerabatnya jika mereka bertamu di kantornya atau rumahnya. “Pak Mahtum (almarhum, salah satu wartawan senior Tempo) selalu sholat di ruang kerja Pak Erich. Saya juga menyediakan tempat sholat di kantor saya, jika Pak Mahtum berkunjung,” kata Ny Dorothea yang akrab kami sapa dengan Ibu Erich.

Komisaris Utama Manado Post itu menyampaikan kesaksian tadi kepada saya saat sarapan di Hotel Santika, sesaat sebelum menghadiri acara penganugrahan gelar doctor honoris causa kepada SHS di UIN Malang. Sudah pasti, ketulusan Alm Erich Samola, Ibu Erich dan keindahan keragaman di Mopuya merupakan hasil dari budaya kerukunan warga Sulut yang panjang. Kultur itulah, saya kira, sedikit banyaknya melahirkan karakter kepemimpinan majemuk pada diri SH Sarundajang. Ini pula, melalui personifikasi pada SHS, menjadi sumbangsih terbesar warga Sulut untuk Indonesia. Bahkan untuk dunia.

Sayang mutiara dan berlian itu tak terekspos pada pidato Prof Amin Abdullah yang antara lain memberi penjelasan singkat perjalanan hidup dan karir SHS. Juga, tak terucap maupun tersurat dalam pidato Dr HC Dr SH Sarundajang.***

Jatim (Banyuwangi Timur Laut yang kurang subur), Sulsel, Sultra, dan Sumba. Di lokasi-lokasi tersebut BUMN memang memiliki tanah tandus sangat luas yang kurang produktif. Akhir tahun ini lahan-lahan itu sudah harus berubah menjadi kawasan sorgum. Tentu dalam waktu yang dekat, diperlukan benih sorgum dalam jumlah besar. Sampai 50 ton. Tapi, tidak akan sulit. Bisa disiapkan lahan 100 ha yang akan ditanami sorgum khusus untuk benih. Kelebihan sorgum itu, saat untaian buahnya siap dipanen, batang dan daunnya masih hijau. Itu sangat seksi untuk makanan ternak. Tiap hektare bisa menghasilkan batang/daun sampai 50 ton. Karena itu, tanam sorgum dalam skala besar akan dikaitkan dengan program peternakan sapi skala besar pula. Baik yang di Sumba, Sulsel, Sultra, maupun Jatim.

Memang tepung sorgum memiliki kelemahan: Tepungnya

tidak bisa mengembang. Tidak seperti terigu. Karena itu, tepung sorgum tidak bisa untuk membuat roti. Harus dicampur gandum. Kalau dicampur gandum, rotinya justru akan lebih baik. Dengan demikian, impor gandum bisa berkurang 30 persen. Satu jumlah yang sangat besar. Tapi, sorgum memiliki kelebihan yang luar biasa. Di samping harganya lebih murah, tepung sorgum tidak mengandung unsur gluten, zat yang bisa membuat anak menjadi autis. Karena itu, untuk makanan seperti kue dan biskuit yang tidak memerlukan proses mengembang, sorgum adalah jawabnya.”

Walhasil, sorgum akan menjadi unggulan BUMN di samping program pangan lain, seperti Proberas, Yarnen, pencetakan sawah baru, pengadaan beras Bulog, peningkatan produksi gula, garam, pabrik sagu, dan ternak sapi. Semuanya berat, tapi bukan tidak mungkin terwujud. (*)

Thalib seperti kakak beradik. ‘’Kendati dahulu merupakan lawan. Tetapi sekarang hubungan mereka melebihi dari teman. Mereka seperti kakak beradik,’’ nilai Rektor Universitas Islam tertua di Indonesia itu.

Keberhasilan dalam mereda-kan konflik di Maluku Utara dan Maluku itu mengantarkan Sarundajang meraih berbagai penghargaan di tingkat nasional maupun internasional. Di antaranya, Bintang Jasa Utama (2004), Bintang Mahaputera Award (2009), dan Presidential Citation Award yang diserahkan langsung Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (2009).

Tak hanya itu, di kalangan masyarakat Muslim Maluku, Sarundajang mendapat julukan sebagai ’’Khalifah’’ atau malaikat. Sedangkan warga Kristen memberi gelar ’’Duta Perdamaian’’. Karena itu, pantaslah bila UIN Balik Ibrahim Malang kemudian memberikan gelar doktor HC kepada Sarundajang di bidang Kepemimpinan Masyarakat Majemuk. Inilah gelar doktor HC pertama yang dianugerahkan UIN Malang kepada tokoh non-Muslim. Sebelumnya, UIN Malang pernah menganugerahkan gelar Doktor HC kepada mantan Presiden Ir Soekarno, mantan Presiden Gus Dur, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan mantan Presiden BJ Habiebie.

Menurut Rektor UIN Prof Dr Imam Suprayogo, penganugerahan gelar doktor kehormatan kepada Sarundajang diberikan supaya gaya kepemimpinannya menjadi model ideal bagi seluruh pemimpin di Indonesia. ’’Kesuksesan dalam mengelola masyarakat majemuk patut kita jadikan pelajaran berharga untuk mengembangkan pola kepemimpinan daerah yang signifikan ke depan,’’ ujarnya.

Perjuangan Sarundajang meredakan konflik di Maluku Utara pada 2001 tidaklah mudah. Padahal, bom meledak 25 meter dari kamar tidurnya. Beberapa saat kemudian, Sarundajang mulai menemukan simpul-simpul konflik di Maluku Utara. Sarundajang mulai mengurainya dengan mendatangi tokoh-tokoh masyarakat garis keras Maluku Utara secara door to door. Mantan dosen luar biasa Universitas Sam Ratulangi itu bahkan masuk ke dapur rumah para tokoh itu dan makan bersama mereka.

Hasilnya, sungguh ampuh.

Secara berangsur, konflik bisa diurai. Bahkan, tak lama kemudian, Maluku Utara mampu menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (gubernur) definitif pada 2002.

Selesai tugas di Maluku Utara, Sarundajang sudah ditunggu tugas berikutnya yang tidak kalah berat, meredakan konflik di Maluku. Beberapa jam setelah menjejakkan kakinya di Ambon, ibu kota Maluku, dia langsung dipaksa mengikuti upacara uji kemampuan sebagai pemimpin wilayah. Sarundajang harus mencambuk dengan tiga ujung lidi ke tubuh lelaki kebal yang telanjang dada. Apabila bekas cambukan pada tubuh lelaki kebal itu mengeluarkan darah, Sarundajang dianggap memenuhi syarat adat memimpin Maluku. Namun, jika tidak, Sarundajang akan ditolak sebagai pejabat gubernur Maluku.

Sebuah keajaiban terjadi, setelah tiga kali mencambuk pria kebal tersebut, bekas lukanya mengeluarkan darah. Maka, Sarundajang pun dielu-elukan sebagai tokoh yang layak memimpin Maluku.

Menurut Sarundajang, untuk menangani sebuah konflik sosial di suatu daerah perlu pendekatan yang mengedepankan kearifan lokal dan dialog yang didasarkan pada hati nurani. ’’Saya bikin kegiatan outbond untuk para pemuda di sana. Supaya mereka bisa saling mengenal dan akrab,’’ ungkap bapak lima anak itu.

Dalam pidato ilmiahnya, Sarundajang menyatakan bahwa faktor penyebab banyaknya konflik sosial di Indonesia adalah ketidakadilan, ketidakmerataan, serta ketimpangan ekonomi. ’’Konflik di Maluku Utara dan Maluku itu bukan konflik agama. Hanya provokator saja yang membungkusnya dengan isu agama,’’ ujar alumnus D’administration Publique Francais, Perancis.

Dia menegaskan, tak sedikit pemimpin daerah yang malah menjadi bagian dari konflik. ’’Kegagalan para pemimpin dalam merawat dan mengelola kemajemukan atau keberagaman hampir dipastikan akan menjadi malapetaka bagi masyarakat yang dipimpinnya,’’ tandas tokoh yang juga pernah menerima gelar Doktor Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gajah Mada Jogjakarta tersebut. (*)

kursi) di Pilbup Minahasa. Sedangkan Partai Demokrat (5 kursi) dan Gerindra (3 kursi) harus berkoalisi untuk bisa mengusung calon.

Berkembang rumor saat ini PDI-P sedang menggodok sejumlah nama seperti Hangky A Gerungan, Recky J Montong, Jantje W Sajow, dan Ivan Sarundajang. Bagaimana dengan Partai Demokrat? Sejumlah namapun mulai disebutkan seperti Denny J Tombeng, Robby Mamuaya , dan Novi Mewengkang. Namun demikian Demokrat masih harus berkoalisi dengan salah satu partai yang memiliki kursi di DPRD.

Dari sekian partai, Republikan dan PDK, yang saat in i bergabung di Fraksi Demokrat, berpeluang membentuk koalisi. Namun demikian, bocoran yang diterima koran ini Republikan mematok harga lumayan besar sehingga belum ada deal dengan Demokrat maupun partai seat lainnya (PDS, PPRN, Barnas, dan Pelopor). Bagaimana dengan PDK? kabar yang diterima, bila ingin berkoalisi dengan PDK syaratnya kader PDK, yakni Harly Weku harus jadi papan II atau calon wakil bupati.

Partai Gerinda yang beberapa waktu lalu telah mengirim 5 nama calon bupati ke DPP, yaitu Hangky A Gerungan, Denny J Tombeng, Youke Kaseger, Wenny Lumentut, dan Novi Mewengkang. Posisi Gerindra juga sedang di persimpangan jalan. Bila mengusung Hangky A Gerungan berarti berkoalisi dengan partai seat (PDS, PPRN,

Barnas dan Pelopor), bila meng-usung Denny J Tombeng berarti berkoalisi dengan Demokrat, dan bila mengusung Youke Kaseger harus berkoalisi dengan gabungan partai non seat (Hanura, PKPI, PNBK, PPD, Kadaulatan, PPPI, PDP, PPI, PPP, PIS, PBR, PPIB, PKS,PPDI)

Ketua DPC Partai Gerin-dra Mantoyo Rambitan keti-ka dikonfirmasi koran ini membenarkan bila partainya telah mengusul 5 nama ke DPP. Di kubu Demokrat sendiri beberapa waktu lalu Sekretaris DPD PD Sulut Marthen Manopo bersama Ketua DPC PD Minahasa Denny Tombeng baru saja menjemput hasil Lembaga Survey Indonesia terkait Pilbup Minahasa. Dari hasil survey ini nama Denny Tombeng berada di atas calon lainnya. “Dari hasil survey kami semakin percaya maju di Pilbup Minahasa,” tegas Wakil Ketua DPRD Minahasa ini.

Di tempat terpisah Sekretaris DPD PDI-P Sulut Frangky Wongkar mengungkapkan 15 calon yang mengembalikan for-mulir di PDI-P, berpeluang di-usung di Pilbup Minahasa.

Yang menarik untuk disi-mak, bila Golkar berkoalisi dengan Demokrat dan PDI-P mengusung Hangky A Gerungan, kemungkinan Pilbup Minahasa hanya akan diramaikan 4 pasang calon masing-masing koalisi. yakni Golkar -Demokrat, koalisi (PDI-P, PDS, Barnas, PPRN dan Pelopor), koalisi (Gerindra dengan Partai Non seat), serta dan independen. Sedikitnya calon yang akan tampil juga tidak lepas dari 7 partai non seat yang konon sudah di genggaman Partai Golkar.(***)

Page 7: Manado Post Senin 16 Juli
Page 8: Manado Post Senin 16 Juli
Page 9: Manado Post Senin 16 Juli
Page 10: Manado Post Senin 16 Juli
Page 11: Manado Post Senin 16 Juli
Page 12: Manado Post Senin 16 Juli
Page 13: Manado Post Senin 16 Juli
Page 14: Manado Post Senin 16 Juli
Page 15: Manado Post Senin 16 Juli
Page 16: Manado Post Senin 16 Juli
Page 17: Manado Post Senin 16 Juli
Page 18: Manado Post Senin 16 Juli
Page 19: Manado Post Senin 16 Juli
Page 20: Manado Post Senin 16 Juli
Page 21: Manado Post Senin 16 Juli
Page 22: Manado Post Senin 16 Juli
Page 23: Manado Post Senin 16 Juli
Page 24: Manado Post Senin 16 Juli
Page 25: Manado Post Senin 16 Juli
Page 26: Manado Post Senin 16 Juli
Page 27: Manado Post Senin 16 Juli
Page 28: Manado Post Senin 16 Juli
Page 29: Manado Post Senin 16 Juli
Page 30: Manado Post Senin 16 Juli
Page 31: Manado Post Senin 16 Juli
Page 32: Manado Post Senin 16 Juli
Page 33: Manado Post Senin 16 Juli
Page 34: Manado Post Senin 16 Juli
Page 35: Manado Post Senin 16 Juli
Page 36: Manado Post Senin 16 Juli
Page 37: Manado Post Senin 16 Juli
Page 38: Manado Post Senin 16 Juli
Page 39: Manado Post Senin 16 Juli